65
iii DARI REDAKSI Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah. Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 ini memuat artikel mengenai: Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Deliberatif, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria, Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-Undang, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan, Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan Perppu, Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia, Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100, Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia, dan Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013. Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca ahli (Mitra Bestari). Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan. Salam Redaksi.

Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

iii

DARI REDAKSI

Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal

Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk

memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah

ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah.

Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 ini memuat artikel

mengenai: Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi

Pancasila dan Demokrasi Deliberatif, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum

Agraria, Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan

Penyusunan Undang-Undang, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan, Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam

Penerbitan Perppu, Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia, Tanggung Jawab Hukum

dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100, Kerjasama Internasional Perpindahan

Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia, dan Transparansi dan Akuntabilitas

Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013.

Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih

dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus

Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca

ahli (Mitra Bestari).

Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta

sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.

Salam Redaksi.

Page 2: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014

DAFTAR ISI

Dari redaksi

Lembar Abstrak

Artikel:

Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi DeliberatifNadir ............................................................................................................................................

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Muhammad Fadli .........................................................................................................................

Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum AgrariaWasisto Raharjo Jati ....................................................................................................................

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-UndangArrista Trimaya ............................................................................................................................

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota MedanBudi S.P. Nababan .......................................................................................................................

Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan PerppuJanpatar Simamora .....................................................................................................................

Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia May Lim Charity .........................................................................................................................

Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100 Velliana Tanaya

Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia Eka Martiana Wulansari .............................................................................................................

Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013Sudaryatmo .................................................................................................................................

Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia .............................................................

iii

vii - xii

1 - 14

15 - 24

25 - 34

35 - 44

45 - 54

55 - 64

65 - 72

73 - 84

85 - 106

107 - 112

112-1 - 112-6

Page 3: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

UDC 342.8

Nadir

Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif

Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan

Demokrasi Deliberatif

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih

wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh

suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang

dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU

atas nama negara, dan seluruh elemen masyarakat secara

integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan

positif kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih

dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis,

humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Kata kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu

2014.

UDC 342.59

Fadli, Muhammad

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara

tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)

maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap

dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal

tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi

melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan

adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan

tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam

UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai

penyidik tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan

KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu

diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan

sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan

kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil

penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak

pidana pencucian uang dapat langsung disatukan

dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut

Umum dan dapat tercipta suatu penuntutan yang efektif

dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan

sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat diwujudkan

sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang,

Jaksa, KPK.

UDC 342.8

Nadir

Political Education In Carry Out Legislative General

Election Of 2014 In Pancasila And Deliberative

Democracy Sphere

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

The success implementation of legislative general election in

choosing people representatives of 2014 will very determined

by the success implementation of political education

conducted by political party, legislative candidates, General

Election Commission (KPU) on behalf of state, and all society

elements integrally and comprehensively give positive

guidance to society about their rights in choose or to be

chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and

prosperous in life of nation and state.

Keywords: political education, historical of election, election

2014.

UDC 342.59

Fadli, Muhammad

The Authority Of Corruption Eradication Commission

On The Prosecution Of Money Laundering)

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on

the prosecution of money laundering has not been explicitly

set in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on

Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year

2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering.

However the authority is still applied by prosecutor of KPK in

several cases. Caused two judges of corruption court

performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears

now is how the authority of the Commission in the prosecution

of money laundering? The task of the Commission is only to

investigate and to prosecute corruption cases as stipulated in

the Law Commission. While the Law on the Prevention and

Eradication of Money Laundering set Commission only as an

investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the

Commission on the prosecution of money laundering should

be set explicitly on the aforementioned laws so as to create

legal certainty in the running of the authority. As of the

combined result of the investigation paper between predicate

offense and money laundering can be directly incorporated in

the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as

to create an effective and speedy prosecution as such justice

is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on

Law Number 48 Year 2009 on Judicial Power.

Keywords: Authority, Prosecution, Money Laundering,

Prosecutor, KPK.

Page 4: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

UDC 340.155.1

Jati, Wasisto Raharjo

Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Partrimonial dan

Dualisme Hukum Agraria

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai

dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta.

Adapun dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam

dua bentuk yakni implementasi hukum agraria nasional

maupun hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme

tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun

ambivalensi dalam sistem pengaturan tanah di Yogyakarta.

Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah

antara tanah publik maupun tanah kerajaan. Ambivalensi

dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam

status sebagai wakil pemerintah pusat ataukah kerajaan.

Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai

hingga saat ini maupun komersialisasi tanah kraton. Maka

artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak

ambiguitas dan ambivalensi hukum agraria tersebut.

Kata kunci: ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria

nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.

UDC 340.14

Trimaya, Arrista

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) Sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan

Undang-Undang

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan

dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan

penyusunan Undang-Undang yang disusun secara

terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas

antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR

melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani

bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR

dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus

menangani bidang legislasi, sedangkan penyusunan

Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan

sebagai skala prioritas program pembentukan Undang-

Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional

yang disusun untuk jangka panjang, jangka menengah, dan

jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas

belum dijalankan secara optimal, baik oleh DPR maupun

oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar

Prolegnas hanya sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa

disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi

RUU tersebut belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan

Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu

menjawab alasan mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal

ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

UDC 342.25

Nababan, Budi S.P.

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang

Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga

Kerja Asing di Kota Medan

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah

satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran

tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi

pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal

150 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang

Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi

Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing,

Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi

perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing.

Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki

Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi Perpanjangan

lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap

tenaga kerja asing tidak dapat dipungut retribusi

perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.

Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi

Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing

conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi

perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di

Kota Medan.

Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan

Daerah.

UDC 342.25

Nababan, Budi S.P.

Encouraging The Birth Of The Local Regulation On

Retribution Fees Renewal License For Hiring Foreign

Workers At Medan City

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Globalization has affected the work force condition. One of the

conditions is the foreign workers phenomenon. The

attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue.

Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on

Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15

paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2

on Fees and Levies Traffic Control Extension License for

Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal

license retribution for foreign workers. But until now Medan

City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal

License for Hiring Foreign Workers, so that the foreign

workers are free from retribution renewal. It is clear that the

Local Regulation on Fees Renewal License for Hiring Foreign

Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal

retribution collecting for hiring foreign workers in Medan City.

Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.

UDC 340.155.1

Jati, Wasisto Raharjo

Politic Of Agrarian In Yogyakarta: Partrimonial

Identity & Agrarian Law Dualism

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal

in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two

forms; the implementation of the national agrarian law and

the royal agrarian law. The existence of such dualism has

caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land

in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma

between public land and royal land. Ambivalence came from

the provincial government's attitude is trapped in status as

representatives of the central government or kingdom. The

implication caused the land status of the conflict have not

been completed to date as well as the commercialization of the

palace ground. Then, this article will elaborate further about

the lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.

Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law,

dualism, royal agrarian law.

UDC 340.14

Trimaya, Arrista

Optimalization of the Preparation of the National

Legislation Program (Prolegnas) as a Law-Making

Planning Instrument

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As

an instrument for law-making planning, the Prolegnas is

arranged according to the plan, as well as integrated and

systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas

between the House of Representatives and the Government is

coordinated by the House of Representatives through a House

organ in charge with legislation. The preparation in the House

of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg),

while in the Government, it is being coordinated by the

Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia.

Ideally, the Prolegnas should serve as a priority in law-

making for a forward looking on long, medium, and short

terms national legal system. However, both the House of

Representatives and the Government have failed to fully

consider Prolegnas as a priority. There are some drafts in

Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any

Academic Manuscript attachment, and worse, without

proposed content of the bill. As a result, the House of

Representatives and the Government as the initiator of the bill

are often facing a problem of reasons behind a needed bill to

be drafted. This is why some thoughts that Prolegnas can not

deliver its function as an instrument for law-making planning.

Therefore, the preparation of Prolegnas must justify the real

need of any bills and not merely listing the title of the bills,

based on several indicators, such as the benchmarks used in

the preparation of Prolegnas, coordination between the

Government and the House of Representatives in preparation

of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and

political influences, especially in legislative politics so that the

preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making

would be at its best.

Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.

belum dapat digunakan sebagai instrumen penyusunan

Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas

harus memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan

bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan

beberapa indikator, yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam

penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan

DPR dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan

pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-

undangan agar penyusunan prolegnas sebagai instrumen

perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi

optimal.

Kata kunci: Prolegnas, instrumen, Undang-Undang,

optimal.

Page 5: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

UDC 342.51

Simamora, Janpatar

Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam

Penerbitan Perppu

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,

bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden

berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan

bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang

cukup kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada

pengaturan lebih lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur

apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang

memaksa”. Kondisi ini cukup berpotensi menimbulkan

penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif.

Kriteria suatu kondisi yang dapat dikategorikan sebagai

kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut

pandang yang dipergunakan oleh seorang presiden.

Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan

perundang-undangan yang harus terikat dengan asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam

rangka meminimalisasi dominasi pertimbangan subjektif

presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam

penerbitan Perppu, maka sangat diharapkan agar

mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu

Perppu dapat berlangsung secara objektif. Dengan

demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa

kriteria kegentingan yang memaksa sebagai syarat mutlak

penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada

pertimbangan subjektif Presiden.

Kata Kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden.

UDC 341.226.2

Charity, May Lim

Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di

Indonesia

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan

dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk

melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi

dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan waktu,

pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang

dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum positif

Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009

tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab

persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan

praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia

dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai

kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran

kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan

masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara

Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat

kurangnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight

UDC 342.51

Simamora, Janpatar

The Criteria of Emergency Condition for Making Perppu

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic

of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the

president has the right to assign Perppu (Government

Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu

has a strong foundation in Indonesian constitutional system.

However, until today there is no further adjustment of the

criteria or what elements are included in the category of

"emergency condition". This could potentially lead to the

issuance of Perppu by the president to be very subjective.

Criteria for a condition that can be categorized as an

emergency condition are highly dependent on the president's

view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations

that is bound by the principles of law making. In order to

minimize the dominance of the subjective considerations and

potential presidential power irregularities in the issuance of

Perppu, it is expected that the political mechanism in

Parliament in the framework of the discussion perppu can

take place objective. Thus, it will ultimately be able to be

evidenced that emergency condition criteria that force as an

essential condition in publishing Perppu is not solely based on

the subjective judgment of the president.

Keyword: Perppu, emergency criteria, president's right.

UDC 341.226.2

Charity, May Lim

The Problems of Indonesian Air Space Sovereignty

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Issue of legal status of the air space above the lands and

waters of a sovereign state that is used to make the flights

has been discussed formally in the Paris Conference in 1910.

Over the years, understanding of air space sovereignty in any

developing countries is set in the Chicago Convention and

Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on

Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights

has not answered the question of the sovereignty of airspace.

The writer revealed the practice of Indonesian air space

violation of sovereignty and how the Indonesian positive law

still has weaknesses in regulating the violation of air space

sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to

Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the

lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation

and problems on Flight Information System (FIR) which is still

managed by other countries, whereas the FIR airspace

settings is in Indonesian airspace territory. These problems

must be immediately sought the solution, and in this case the

writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

Aviation and build a cooperation of all parties to overcome

Indonesian air space sovereignty issues.

Keywords: flight, airspace territory.

Information System (FIR) yang masih dikelola oleh negara

lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah

udara Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera dicari

solusinya.

Kata kunci: penerbangan, wilayah udara.

UDC 347.822.2

Tanaya, Velliana

Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat

Terbang Sukhoi Superjet 100

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi

utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi

udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi

dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan

banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul.

Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa

penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda

Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan

lain-lain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari

perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari

peraturan baru yang dikeluarkan pada tahun 2001.

Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan

nasional Indonesia juga berdampak pada meningkatnya

jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah

kecelakaan pesawat udara di Indonesia semakin meningkat.

Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan

dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak

menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012,

kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100 terjadi. Sukhoi

Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi

berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta,

Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat

jatuh langsung ke sisi gunung berbatu. Sukhoi Superjet 100

kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam

membuat keputusan. Karena kelalaian ini orang

membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari

bandara, perusahaan pesawat terbang atau Airline crew.

Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah

untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung jawab

masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi

Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft

Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil

penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas

tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga

untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia.

Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.

UDC 347.822.2

Tanaya, Velliana

Legal Responsibility in Sukhoi Superjet 100 Aircraft

Accident

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

In the modern era the use of aircraft as the main

transportation is very high. In 2001, the air transport sector

has made a very high development in regulation and the side

effect thus resulting in many new airlines have emerged.

Considering the fact that previously there is only a few

airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia

Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines and etc. The

significant increasing number of this new airline company is

due to the flexibility of the new regulations issued in 2001.

The flexibility of the new regulation of Indonesia national air

carrier also impact on the increasing number of aircraft

accidents. From year to year the number of aircraft accidents

in Indonesia is increasing. Even after a new regulation is

made which is expected to reduce the number of aircraft

accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the

Sukhoi Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi

Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing

from Halim Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On

May 10, it appears that the planes crashed directly into the

side of a rocky mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash

was caused by the negligence of the crew in making

decisions. Because of this negligence people need explanation

and responsibility from airport, aircraft company or Airline

crew. Therefore, the purpose of this legal research is to

analyze the forms of responsibility of each party involved in

the case Sukhoi Superjet 100 accident cases is the Airport,

Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The

results of this legal research is also intended to clarify the

responsibilities of the parties in this case and also to advance

the aviation law in Indonesia.

Key words: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.

Page 6: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

UDC 341.232

Wulansari, Eka Martiana

Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana

Antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu

perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan

dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan

kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP ) merupakan salah satu upaya

pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada

narapidana. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),

dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan

bersedia memindahkan narapidana ke negara asal dengan

beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap

harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan

oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana

mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan

narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya

memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani

hukumanya di negara asal.

Kata Kunci: Kerjasama Internasional, Perpindahan

Narapidana.

UDC 341.232

Wulansari, Eka Martiana

Treaty on Transfer of Sentenced Person Between

Foreigners and Indonesian Citizen

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an

agreement between states with state as a legal subject made

in writing and creates rights and obligations in the area of

Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is

one of the government's efforts to maximize training to

inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be

implemented if the state where the court is willing to move the

prisoners to their home countries with few consequences: first,

inmates still have to wak on the appropriate punishment that

has been decided by the courts. Second, the transfer of

inmates requires a court verdict that had been legally

enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely

facilitating the inmates to wak on the appropriate punishment

in the country of origin.

keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.

Kata kunci bersumber dari artikel

Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Keywords sourced from the article

This abstract sheet may be copied without permission and fees

UDC 347.51

Sudaryatmo

Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana

Publik Untuk Korban Banjir Jakarta 2013

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.

Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia

adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana.

Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah

menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka.

Dan tidak jarang intensitas bencana tidak bisa

diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun

juga sering tidak berdaya karena besarnya jumlah dana

yang diperlukan untuk penanganan korban bencana.

Salah satu upaya untuk meringankan beban korban (dan

juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana

publik. Artikel ini adalah penelitian pendahuluan tentang

transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana

publik untuk korban banjir Jakarta 2013. Penelitian ini

hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang

dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara

khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan,

lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa,

lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga publik.

Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi

pemerintah, dan mendorong lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan

akuntable dan sebagai sarana kontrol sosial.

Kata Kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.

UDC 347.51

Sudaryatmo

Transparency and Accountability of Fundraising

Public for Victims of Flood Jakarta 2013

Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.

Most of Indonesia's territory geographically belongs to the

category of disaster-prone areas. Both natural disasters

and disasters due to human behavior are always causing

casualties, causing grief. And sometimes the intensity of

disasters can't be predicted, so let the victims, the

Government also often disempowered because of the large

amount of funds required to handling the victims. One of

the efforts to alleviate the burden of the victim (and the

Government) is through a public fundraising. This article is

preliminary research about the transparency and

accountability of public fund raising for flood victims in

Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising

conducted by the institute. Both institutions specifically

established for social and humanitarian missions,

commercial institutions, religious institutions, mass media,

associated employers and public institutions.The purpose

of this research is to provide input for the Government,

prompting the institutions that perform public fundraising

to be more transparent and accountable as a social control.

Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.

1

PENDIDIKAN POLITIK MENYONGSONG PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014

DALAM RANAH DEMOKRASI PANCASILA

DAN DEMOKRASI DELIBERATIF

(POLITICAL EDUCATION IN CARRY OUT LEGISLATIVE GENERAL

ELECTION OF 2014 IN PANCASILA AND DELIBERATIVE

DEMOCRACY SPHERE)

Nadir

Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan

Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Indonesia

Email: [email protected]

(Naskah diterima 19/12/2013, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

abstrak

Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh

suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU atas nama

negara, dan seluruh elemen masyarakat secara integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan positif

kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis,

humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata Kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu 2014.

Abstract

The success implementation of legislative general election in choosing people representatives of 2014 will very determined

by the success implementation of political education conducted by political party, legislative candidates, General Election

Commission (KPU) on behalf of state, and all society elements integrally and comprehensively give positive guidance to

society about their rights in choose or to be chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and prosperous in life of nation

and state.

Keywords: political education, historical of election, election 2014.

mengajarkan harus ada organ yang disebut

parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, dalam

bahasa Soepomo ketika pidato tanggal 31 Mei 1945

di depan sidang BPUPKI mengenai usul dasar

Negara Indonesia merdeka yaitu “Sistem Badan

Permusyawaratan”. Keanggotaan parlemen ini pada

umumnya diisi melalui Pemilu, ada juga

pengisiannya berdasarkan keturunan (seperti

majelis tinggi di Inggris), tetapi umumnya pengisian

keanggotaannya dilakukan melalui Pemilihan

umum dengan sistem kepartaian.

Jika dicermati dengan seksama ada yang

menarik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum

calon anggota legislatif tahun 2014 mendatang

partai-partai politik telah mulai menarik perhatian

masyarakat melalui kegiatan memprolamirkan foto-

foto kontestan calon anggota DPR, DPD, DPRD

Propinsi/Kabupaten/Kota telah banyak dipasang di

pinggir jalan. Selain itu juga tidak kalah menariknya

A. Pendahuluan

Salah satu ciri khas negara hukum adalah

adanya pelaksanaan pemilihan umum anggota

legislatif yang dilaksanakan sesuai dengan

konstitusi suatu negara yang melekat dalam negara

demokratis termasuk negara hukum Indonesia

pelaksanaan pemilu legislatif diadakan tiap 5 (lima)

tahun sekali sebagai salah satu bentuk pastisipasi

rakyat secara langsung dalam pemilu legislatif.

Dalam pandangan Fukuyama negara hukum

bertalian dengan demokrasi karena esensi negara

hukum adalah kesediaan penguasa tunduk pada

hukum.

Pelaksanaan pemilihan umum anggota

legislatif sangat esensial dan massif dalam Negara

demokrasi modern karenanya selalu menimbulkan

problematika sosiokultural. Meskipun selalu

menimbulkan problem tetapi harus diadakan

pemilu legislatif untuk mengisi keanggotaan dalam

parlemen. Oleh karena itu, teori demokrasi modern

Page 7: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14 Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)

32

mengenai jumlah Partai Politik yang tidak begitu

banyak jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum

legislatif tahun 2004 dan 2009 pasca reformasi.

Pemilihan umum tahun 2014 diikuti oleh 12 (dua

belas) partai politik dan 3 (tiga) partai lokal Aceh.

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang digelar dalam

kurun waktu 5 (lima) tahun sekali merupakan

bentuk apresiasi demokrasi konstitusional dan

terlaksananya tata kelola hak memilih dan dipilih

bagi tiap warga Negara yang lazim dilakukan di

banyak Negara di dunia.

Adapun partai politik yang lolos verifikasi dan

sebagai kontestan peserta Pemilu tahun 2014

berdasarkan nomor urut:

1. Partai Nasdem

2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

5. Partai Golongan Karya (Golkar)

6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

7. Partai Demokrat

8. Partai Amanat Nasional (PAN)

9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

10. Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)

11. Partai Damai Aceh (PDA)

12. Partai Nasional Aceh (PNA)

13. Partai Aceh (PA)

14. Partai Bulan Bintang (PBB)

15. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

Pemilihan umum merupakan fasilitasi

pelaksanaan kedaulatan rakyat memilih dan dipilih

yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Karena itu, seyogyanya Pemilihan

Umum harus mampu melibatkan partisipasi

rakyat, bukan saja hanya pada tahap pencoblosan

namun harus aktif dalam semua tahapan-tahapan

pelaksanaannya.

Pemilihan umum anggota legislatif (DPR, DPD,

DPRD Propinsi/kabupaten/kota di Negara

kesatuan Republik Indonesia merupakan salah

satu fasilitasi demokrasi untuk mengisi jabatan

kekuasaan pembentuk undang-undang di

Parlemen. Pemilihan umum legislatif merupakan

fasilitasi demokrasi yang dikemas sebagai

perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih

wakil-wakil rakyat di Parlemen.

Pemilu dengan sistem kepartaian ini rakyat

memilih partai, sedangkan partai-partai yang

menjadi kontestan dalam pemilu mengumumkan

nama-nama calonnya untuk menjadi anggota 1Parlemen. Karenanya, partai politik dibebani

kewajiban untuk melaksanakan pendidikan politik

kepada konstituen yang dapat digelar melalui

kampanye partai politik atau media lainnya.

Pendidikan politik bagi konstituen

menyongsong pemilu legislatif tahun 2014

dimaksudkan agar dapat mengahasilkan anggota

legislatif yang kridibel, akuntabel dan berkualitas

yang memiliki kekuasaan utama membentuk

pera turan perundang-undangan agar

menghasilkan produk perundang-undangan yang

responsif, otonom dan progresif serta jauh dari

produk perundang-undangan pesanan politik,

sehingga dengan pendidikan politik para konstituen

mengetahui calon anggota legislatif yang benar-

benar mampu duduk di parlemen.

Jika dicermati pelaksanaan Pemilihan umum

anggota legislatif bulan April tahun 2004 dan 2009

yang lalu terdapat banyak kelemahan: pertama,

seperangkat peraturan perundang-undangan

tentang Pemilu dan partai politik selalu berubah di

mana setiap menjelang pelaksanaan Pemilu selalu

memproduksi undang-undang baru. Kedua,

pengaturan Pemilu yang berubah-ubah terutama

terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa.

Ketiga banyaknya partai politik peserta pemilu

sehingga menyulitkan masyarakat untuk memilih

calon-calon anggota legislatif. Keempat, kecurangan

terjadi di mana-mana sehingga memicu sengketa.

Kelima, kurangnya partisipasi masyarakat dalam

pelaksanaan pemilu, dan banyak kekurangan

lainnya. Keadaan tersebut tentunya tidak ingin

terulang kembali dalam pelaksanaan pemilu

legislatif tahun 2014.

Dalam kaitannya dengan partisipasi

masyarakat, Jazim Hamidi menilai partisipasi

masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari

demokrasi, di mana kekuasaan adalah dari rakyat,

oleh rakyat dan untuk rakyat. Implementasi dari

prinsipnya ini bahwa seharusnya rakyat dalam

proses politik berhak mengetahui, berpendapat,

berperan serta, bereaksi baik positif maupun negatif

dalam setiap kebijakan pemerintah sesuai dengan 2hati nurani mereka.

Eksistensi partai politik benar-benar eksis

tatkala mendekati pelaksanaan pemilu. Semua

partai politik dengan calon anggota legislatifnya

ramai-ramai menyuarakan dan mempedulikan

keadaan masyarakat, sehingga populer di kalangan

masyarakat. Namun demikian, tatkala pelaksanaan

pemilu selesai, maka selesai pula dan beralih

menyuarakan kepentingan internal partai politik

atau kelompok partai mereka masing-masing.

Eksistensi partai politik tersebut dapat dilihat

ketika kampanye selesai, maka selesai pula

tanggung jawab mereka. Seyogyanya fungsi partai

politik melakukan pendidikan politik kepada

konstituen/masyarakat luas tidak ada batasan

waktu pelaksanaan pendidikan politik bagi

konstituen/masyarakat baik sebelum pelaksanaan

pemilihan umum ataupun setelah pemilihan umum

seperti pada masa jaring aspirasi turun ke rakyat.

Informasi dasar yang harus diperoleh masyarakat di

antaranya rekam jejak dari kandidat itu sendiri latar

belakang pendidikan, kemampuan dibidang ilmu

hukum dan kemampuan dibidang lain sesuai

dengan disiplin keilmuannya.

B. Refleksi Singkat Pertumbuhan dan

Perkembangan Pemilihan Umum Legislatif

Di Indonesia

B.1.Pemilihan Umum Tahun 1955

Negara Indonesia salah satu Negara pertama

kal i setelah proklamasi kemerdekaan

melaksanakan Pemilu sekitar tiga bulan setelah

kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan

Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu

sudah menyatakan keinginannya untuk bisa

menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.

Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau

Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta

tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran

tentang pembentukan partai-partai politik.

Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk

memilih anggota DPR dan MPR akan

diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau

kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru

terselenggara hampir sepuluh tahun setelah

kemudian tentu bukan tanpa sebab. Namun,

berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh

Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang

pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih

anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember

1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan

Konstituante. Dalam Maklumat X hanya

disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan

Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR 3dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut

bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang

bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang

berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab

dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah

menyelenggarakan pemilu, baik karena belum

tersedianya perangkat perundang-undangan untuk

mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat

rendahnya stabilitas keamanan Negara dan tidak

kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah

sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan

perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan

kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan

kekuatan asing yang mengharuskan negara ini

terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu

pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang

diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945,

paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :

1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk

dalam penyusunan perangkat Undang-Undang

Pemilu;

2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara

akibat konflik internal antar kekuatan politik

yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat

yang sama gangguan dari luar juga masih

mengancam.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa

konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan

mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak

berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada

indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan

politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya

adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 27

tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949

tentang Pemilu. Di dalam Undang-Undang Nomor

12 tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan

umum yang akan dilakukan adalah bertingkat

(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini

didasarkan pada alasan bahwa mayoritas

1 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2001, hlm. 75.

2 Jazim Hamidi, Pembentukan Perda Partisipatif, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2008, hlm. 46.

3 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

Page 8: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

54

warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta

huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung

dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada tahun 1950, ketika

Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana

Menteri, pemerintah memutuskan untuk

menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.

Sejak itu pembahasan Undang-Undang Pemilu

mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia

Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat

sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada

waktu itu Indonesia kembali menjadi negara

kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat

dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian,

pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh

pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari

Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya

menyelenggarakan pemilu karena Pasal 57 UUDS

1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh

rakyat melalui pemilihan umum, tetapi pemerintah

Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan

pembahasan undang-undang pemilu tersebut.

Selanjutnya Undang-Undang ini baru selesai

dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan

Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang

Pemilu. Undang-Undang inilah yang menjadi

payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan

secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27

Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 yang

mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung)

bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu

yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan

dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat

demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian

dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara

asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai

politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan

calon perorangan.

Menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya

kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya,

meski yang menjadi calon anggota DPR adalah

perdana menteri dan menteri yang sedang

memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas

negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan

untuk menggiring pemilih yang menguntungkan

partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak

dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan

akan memenangkan pemilu dengan segala cara.

Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua

keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih

anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun

perlu dipaparkan semuanya.

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante

dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi

anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di

Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada

pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil

pemilihan anggota Dewan Konstituante

menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat

dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap

menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya

merosot 114.267 dibandingkan suara yang

diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

B.2.Pemilihan Umum Tahun 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS

menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung

Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga

tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk

mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah

Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang

mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan

dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI

MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi

dengan menetapkan bahwa Pemilu akan

diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai

Presiden tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR

bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan

pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara

tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap 4berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa

diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti

setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi

kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang

kepartaian tanpa Undang-Undang kurang lebih

sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

Undang-Undang yang diadakan adalah

Undang-Undang tentang pemilu dan susunan dan

kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang

pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR

menyelesaikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

1969 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor

16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR

dan DPRD. Penyelesaian Undang-Undang itu

sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda

dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat

negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap

netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat

negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari

partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.

Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para

pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu

peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya

pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan

yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan

seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan

aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi,

cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971

berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971,

yang menggunakan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi

habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata

mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk

mengurangi jumlah partai yang meraih kursi

dibandingkan penggunaan sistem kombinasi.

Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak

menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan

dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang

melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah

pemilihan yang tidak terdapat partai yang

melakukan stembus acccord, pembagian kursi

hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971

adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi

dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap

kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus

accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang

menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan

kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih

ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi

diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara

terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang

melakukan stembus accoord dari perolehan kursi

pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai

yang melakukan stembus accoord, maka setelah

pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung

kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Namun demikian, cara pembagian kursi dalam

Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil

perolehan suara secara nasional dengan perolehan

keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling

gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI

dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya

lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh

kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.

B.3.Pemilihan Umum Tahun 1977

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977

diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei

1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun

DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-

Indonesia periode 1977-1982.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 5politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2

Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan

seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem

proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750

pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344

suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu

Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen.

Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232

kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu

1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai

daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh

mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil

meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17

persen, atau bertambah 5 kursi dibanding

gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.

Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis

eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh

utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan

suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh

penurunan suara dan kursi di basis-basis NU,

sehingga kenaikan suara secara nasional tidak

begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari

Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan,

tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,

Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga

merosot perolehan kursinya dibanding gabungan

kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni

hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi

di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan

Partai Katolik. Sebagai pemenang mayoritas hasil

pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

4 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013 5 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

Page 9: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

76

B.4.Pemilihan Umum Tahun 1982

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982

diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei

1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun

DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-

Indonesia periode 1982-1987.

Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi

secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal

merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan

Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar

dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut

tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan

masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar

meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai

politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan

umum ini adalah Golongan Karya.

B.5.Pemilihan Umum Tahun 1987

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987

diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23

April 1987 untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi

maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)

se-Indonesia periode 1987-1992.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 6politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan

kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi

dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya

mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP

antara lain karena tidak boleh lagi partai itu

memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari

Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya

penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU,

terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara

itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga

menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat

dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan,

sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan

DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam

Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah

perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada

Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

Namun sebagai pemenang mayoritas hasil

pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

B.6.Pemilihan Umum Tahun 1992

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992

diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9

Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi

maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)

se-Indonesia periode 1992-1997.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 7politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan

umum ini adalah Golongan Karya. Cara pembagian

kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan

Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan

suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini

pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang.

Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot

dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu

1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen,

pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen,

atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak

nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni

menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17

kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski

masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu

1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi

di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang

ka'bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini

kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada

penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa

Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama

sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di

Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan

perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan

6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya

mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang

berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di

berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini

PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16

kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi

56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987

dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di

DPR RI.

B.7.Pemilihan Umum Tahun 1997

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997

diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29

Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun

DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se

Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini

merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada

masa Orde Baru.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 8politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi

yang digunakan tidak berubah, masih

menggunakan cara yang sama dengan Pemilu

1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan

suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997.

Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu

1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar

kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan

suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41.

Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi

325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil

pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang

sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula

untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP

meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi

dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap

partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PDI, yang mengalami konflik

internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan

Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu,

perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan

hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan

45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan

umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini

diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati

Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum

PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.

B.8.Pemilihan Umum Tahun 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama

setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999

dilangsungkan pada tahun 1999 pada tanggal 7

Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ

Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar

Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan

Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan 9Partai Amanat Nasional.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan

perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat

menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu,

yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai

Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid di

mana saat itu, Megawati hanya menjadi calon

presiden. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi

karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk

memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara

pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh

anggota MPR di mana Pemilu tahun 1999 diikuti

kurang lebih 48 (empat puluh delapan) Parpol di

antaranya Partai Kebangkitan Bangsa; Partai

Syarikat Islam Indonesia 1905; Partai Katolik

Demokrat; Partai Rakyat Indonesia; Partai Politik

Islam Indonesia Masyumi; dan Partai Bulan Bintang.

B.9. Pemilihan Umum Tahun 2004

Pemilihan Umum Indonesia tahun 2004 adalah

pemilu dimana rakyat untuk memilih presiden secara

langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda

dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat

memilih langsung presiden dan wakil presiden

(sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh

MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui

Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan

presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara

terpisah (seperti Pemilu 1999) pada pemilu ini, yang

dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon

presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden

dan calon wakil presiden secara terpisah.

6 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

7 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

8 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

9 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.

Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

Page 10: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

13 Ibid.14 Ibid.15 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, hlm. 12616 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 128

98

Pentahapan Pemilu 2004

Pemilu tahun 2004 diselenggarakan secara

serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih

550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128

anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD

Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-

Indonesia periode 2004-2009.

Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar

mendapat suara terbanyak. Partai Demokrat dan

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru

dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34%

suara. Pemilihan umum 2004 dinyatakan sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah demokrasi.

B.10. Pemilihan Umum Tahun 2009

Pemilu tahun 2009 diselenggarakan untuk

memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah

(DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD

Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.

Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak

di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9

April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung

pada 5 April, namun kemudian diundur. Ada 38

partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam

pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara

terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai 10Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

C. Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014

C.1.Pendidikan Politik Pemberdayaan Masyarakat

Barang kali sudah banyak para ahli hukum

dan politik yang memberikan pengertian pendidikan

politik, istilah pendidikan politik dalam bahasa

Inggris sering disamakan dengan istilah political

sosialization. Istilah political sosialization jika

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan

bermakna sosialisasi politik. Karenanya istilah

political sosialization disamakan dengan pengertian

pendidikan politik dengan istilah sosialisasi politik.

Sebenarnya sosialisasi politik tidak dapat

disamakan dengan pendidikan politik karena dalam

sosialisasi politik bisa bermakna penyampaian

keinginan politik para calon anggota legislatif itu

sendiri yang menjurus kearah mobilisasi

masyarakat ke dalam satu calon anggota legislatif

tertentu yang dapat bermakna positif atau negatif.

Dalam pandangan Khoiron, Pendidikan politik

sering disebut dengan istilah political forming atau

politische bildung. Disebut forming karena di

dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk

insan politik yang menyadari status, kedudukan

politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut

bildung (pendidikan diri sendiri) karena istilah ini

menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri

dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk 11menjadi insan politik.

Pendidikan politik menurut Alfian (1986:235)

dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik

Indonesia, sebagai usaha yang sadar untuk

mengubah proses sosialisasi politik masyarakat

sehingga mereka memahami dan menghayati betul

nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem

politik yang ideal yang hendak dibangun.

Pendidikan politik dalam hal ini dipahami

sebagai perbuatan memberi latihan, ajaran, serta

bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan

potensi masyarakat dan calon anggota legislatif,

melalui proses dialogis yang dilakukan oleh partai

politik dan pemerintah sebagai pihak yang

bertanggung jawab pemajuan bangsa.

Pendidikan politik pada tingkatan warga yang

masih pada tahapan memenuhi kebutuhan

dasarnya atau sedang dalam menuju

kesejahteraannya, diperlukan metode dan media

yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan

politik yang ahistoris atau yang tidak kontekstual

dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi

dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik

akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga

sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga

bisa mencerna dan memahami hal-hal idiologis.

Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada

tataran permukaan yang mengungkit emosi

kepentingan, maka yang akan berkembang adalah 12politik uang atau politik bantuan.

Sudarwo menilai pendidikan politik

pemberdayaan masyarakat, yaitu suatu proses

peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan

kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi

bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

kehidupannya melainkan menghilangkan potensi

dan daya masyarakat sendiri. Karena itu, metode

dan media pendidikan politik yang berperspekti

pemberdayaan adalah adalah mempunyai 2 (dua)

output.

Pertama, output strategis ideologis dan kedua,

adalah output praktis pragmatis basic need.

Dengan demikian, ada 5 (lima) model pendidikan 13politik berbasis pemberdayaan masyarakat yaitu:

1. Penggerakan dan peningkatan daya warga

dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

2. Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan

sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem

lingkungannya.

3. Peningkatan membangun akses keberbagai

pusat sumberdaya yang dapat mendukung

kehidupannya.

4. Partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat

menjadi proses berafiliasi dan berganing politik

dengan partai poltik.

5. Membangun kemampuan dalam kontrol sosial

dan berbagai kebijakan publik.

Pendidikan politik dengan perspektip

pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan

dan kreativitas dalam pengemasan modul dan

kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan

politik yang terbaik adalah apabila menggunakan

media kerja yang langsung menyentuh kepentingan

dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat

digunakan adalah menggunakan metode

pendidikan orang dewasa dengan pendekatan 14partisipatif.

M. Shirozi, (2005 : 30) mengemukakan bahwa

terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai

berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap

hubungan antara pendidikan dan politik, yaitu: (i)

adanya kesadaran tentang hubungan yang erat

antara pendidikan dan politik. (ii) adanya kesadaran

akan peran penting pendidikan dalam menentukan

corak dan arah kehidupan politik. (iii) adanya

kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang

hubungan antara pendidikan dan politik. (iv)

diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang

politik. (v) pentingnya pendidikan kewarganegaraan.

Kurangnya pendidikan politik masyarakat

Indonesia menyebabkan masyarakat tidak

mengetahui mengenai hak dan kewajibannya dalam

pelaksanaan pemilu legislatif sehingga mudah

diarahkan untuk kepentingan personal calon anggota

legislatif. Dalam demokrasi modern proses demokrasi

yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik

yang responsif dalam ruang publik dari masyarakat

warga. Partisipasi politik yang responsif hanya dapat

dimungkinkan jika masyarakat warga pendididikan

politiknya cukup memadahi.

C.2.Pendidikan Politik Dalam Demokrasi

Deliberatif

Gagasan demokrasi deliberatif Habermas

dicetuskan melihat gersangnya dominasi partisipasi

masyarakat di dunia barat yang tidak memiliki

ruang konsultasi publik dalam ranah politik,

ekonomi, dan hukum.

Secara etimologis deliberatif berasal dari kata

deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah,

atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat

deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu

kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat

konsultasi publik, atau diskursus publik.

Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan

intensitas partisipasi warga negara dalam proses

pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-

kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh

pihak yang memerintah semakin mendekati

harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses

deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan

jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi,

Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang 15diperintah). Demokrasi deliberatif memiliki makna

tersirat, yaitu diskursus praktis, formasi opini dan

aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai 16prosedur. Dengan demikian, demokrasi deliberatif

ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi

partisipasi warga Negara. Hal ini merupakan suatu

upaya untuk semakin mendekat menuju cita-cita

demokrasi itu sendiri, yakni pemerintah oleh yang

memerintah.

Bagi Habermas ruang publik suatu jaringan

yang mengkomunikasikan informasi dari berbagai

cara pandang yang disaring sedemikian rupa,

sehingga menjadi opini publik yang relevan dengan

permasalahan masyarakat. Ruang publik

10 Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam http://kpud-banjarkota.go.id/1/laporan-hasil-pemilu/pemilu-legislatif/pemilu-legislatif-2014/15-pemilu-legislatif.html diakses 10 November 2013.11 M. Nur Khoiron, et.al, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). IKIS: Yogyakarta. hlm. 4.12 Fajar Sudarwo, Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada, dalam google.com diakses 23 Mei 2013.

Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

Page 11: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

1110

merupakan fenomena sosial seperti tindakan,

pelaku, atau kolektivitas, tetapi ruang publik

melampaui konsep sosiologi konvensional tentang 17tatanan sosial. Sebenarnya ada kesamaan antara

demokrasi deliberatif dan demokrasi pancasila di

mana demokrasi Pancasila juga mengajarkan

diskursus publik, partisipasi politik masyarakat,

serta kedaulatan rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi.

Cita-cita pendidikan politik yang ingin dibangun

dalam konsep demokrasi deliberatif paling tidak,

yaitu: Pertama, diskursus publik antara calon

anggota legislatif dengan masyarakat sebagai

konstituen dalam menyampaikan visi, visi yang

akuntabel. Kedua, partisipasi masyarakat sebagai

konstituen dalam menyampaikan aspirasi kepada

calon anggota legislatif guna menghasilkan produk

hukum yang responsif. Ketiga, kedaulatan rakyat

sebagai konsekuensi fasilitasi diadakannya

pelaksanaan pemilihan umum legislatif. Keempat,

harmonisasi antara pemerintah dengan yang

diperintah (pemerintah dengan warga negara).

Kelima, uji publik calon anggota legislatif kepada

masyarakat sebagai konstituen untuk diketahui

layak tidaknya duduk sebagai anggota parlemen.

Dalam demokrasi deliberatif, keputusan

mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat.

Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan

yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika

masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan

pemerintah, maka secara tidak langsung mereka

sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi

masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi

berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau

kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada

keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka 18masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.

Dalam hubungan ini Fatkhurohman menilai,

dalam demokrasi deliberatif Negara tidak lagi

menentukan hukum dan kebijakan-kebijkan politik

lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman, tetapi

masyarakat sispil melalui media dan organisasi

yang vokal memainkan pengaruh yang sangat

signifikan dalam proses pembentukan hukum dan

kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di

mana perundang-undangan dipersiapkan dan 19diarahkan secara diskursif.

Dalam hubungan ini menurut Carlyle bahwa

aspek pertama dan yang paling mendasar dari

pemikiran politik pada abad pertengahan adalah

bahwa otoritas politik merupakan ekspresi dari

keadilan sebuah prinsip yang diperoleh langsung

dari hukum Romawi, prinsip penting yang kedua

adalah hanya ada satu sumber otoritas politik, yaitu 20masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini John

Salisbury seorang filsuf Inggris di mana ia seorang

pejuang ambisius demi kebebasan individual

menyatakan bahwa setiap penguasa memiliki 21tanggung jawab terhadap masyarakatnya.

C.3.Pendidikan Politik Dalam Demokrasi

Pancasila

Perancang UUD 1945 dalam perdebatan di

BPUPKI dan PPKI menyepakati bahwa UUD yang

akan dibuat untuk menjadi landasan

penyelenggaraan berbangsa dan bernegara adalah

berdasarkan kedaulatan rakyat yang

penyelenggaraannya menggunakan mekanismen

demokrasi. Konsekuensinya, harus ada pemilihan

umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang

duduk diparlemen, baik pada parlemen pusat 22 maupun pada parlemen daerah.

Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif bukan

hanya sukses memilih para calon anggota legislator,

tetapi juga terciptanya pemilih yang berkualitas

sesuai dengan harapan peraturan perundang-

undangan di mana KPU berharap partisipasi

masyarakat untuk Pemilu tahun 2014 mencapai 75

Persen.

Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran

dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan

tanggung jawab setiap warga negara dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara serta

tanggung jawab sebagai anggota legislatif. Undang-

Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

Partai Politik tidak menyebutkan seperti apa dan

bagaimana bentuk pendidikan politik yang harus

dilakukan. Namun demikian, dalam konteks

menyongsong Pemilu tahun 2014 setidak-tidaknya

dapat dikonstruksikan pendidikan politik bagi

masyarakat sebagai konstituen agar tidak mudah

dimobilisasi dan politik uang, yaitu:

1. Peningkatan penyampaian visi misi calon

anggota legislatif dalam diskursus publik

kepada semua elemen masyarakat guna

diketahui capaian akhir visi misinya.

2. Peningkatan daya pengetahuan masyarakat

mengenai rekam jejak calon anggota legislatif

tentang: latar belakang pendidikan,

kompetensi pedagogi, kompetensi personal,

kompetensi sociocultural, kompetensi

pengetahuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu

lainnya, kompetensi moral, pengalaman

organisasi, pengabdian masyarakat sehingga

masyarakat mengetahui layak tidaknya calon

anggota legislatif untuk duduk sebagai anggota

DPR, DPD, DPRD.

3. Peningkatan pemahaman masyarakat tentang

kemampuan calon anggota legislatif dalam

mengemban fungsi legislasi, anggaran, dan

fungsi pengawasan.

4. Peningkatan partisipasi politik masyarakat

dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan.

5. Peningkatan inisiatif masyarakat dalam

merespon dan merumuskan kebijakan

pemerintah pusat maupun daerah.

6. Peningkatan penyampaian produk hukum

pemilu mekanisme kampanye, tata cara

pemilihan dan keabsahan pemilihan oleh KPU.

7. Peningkatan kesadaran hak memilih dan

dipilih serta kewajiban masyarakat dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Semua model atau bentuk pendidikan politik

yang penulis uraian di atas, dapat dilaksanakan

melalui dan kerjasama: (i) media elektronik televisi,

radio, sms lewat HP. (ii) media cetak surat kabar

harian, majalah. (iii) media mayantara internet. (iv)

asosiasi masyarakat perkumpulan petani,

perkumpulan dagang, jema'ah-jema'ah di desa-desa

dan lembaga formal maupun non formal yang dapat

memberikan tempat melakukan pendidikan politik.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 12 tahun

1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan

Pendidikan Politik Generasi muda disebutkan

bahwa Pendidikan politik merupakan rangkaian

usaha untuk meningkatkan dan memantapkan

kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang

kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai

budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga

harus merupakan bagian proses perubahan

kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang

dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha

menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar

demokratis, stabil, efektif, dan efisien. Karenanya,

pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-

nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu

negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir,

dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu

generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka

membangun watak bangsa (national character

building).

Nilai-nilai tersebut di atas adalah nilai-nilai

Pancasila yang merupakan hasil perenungan jiwa

yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding

people Indonesia yang dituangkan dalam satu

sistem saling mengisi dan saling mengkualifikasi.

Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam

melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan

politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang

sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa

Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan

pendidikan politik bagi generasi muda tersebut

seperti tercantum dalam Inpres Nomor 12 Tahun

1982, adalah asas umum, demokrasi, keterpaduan,

manfaat, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan,

aman.

Dalam hubungan ini Gaffar menilai, sedikitnya

ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pendidikan

politik dan sosialisasi politik di Indonesia tidak

memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan 23partisipasi politik masyarakat, yaitu:

1. Dalam masyarakat Indonesia anak-anak tidak

dididik untuk menjadi insan mandiri. Anak-

anak bahkan mengalami alienasi dalam politik

keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam

keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si

anak, merupakan domain orang dewasa. Anak-

anak tidak dilibatkan sama sekali.

2. Tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat

Indonesia sangat rendah. Di kalangan keluarga

miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya,

tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi,

karena mereka lebih terpaku kepada

kehidupan ekonomi dari pada memikirkan

segala sesuatu yang bermakna politik. Bagi

mereka, ikut terlibat dalam wacana politik

17 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yokyakarta, Kanisius, 2007, hlm. 18 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta. Kanisius, 2009, hlm. 128.19 Fatkhurohman, Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011, hlm. 43.20 Richard M. Ketchum (ed), 2004. Pengantar Demokrasi, Yogyakarta: Niagara. hlm. 36-3721 Richard M. Ketchum (ed), Op.Cit. hal. 3722 Anwar C, Aanalisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009, hlm. 11 23 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Indonesia, Yogyakarta 1999.

Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

Page 12: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

24 Ibid.25 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, hlm. 163

1312

tentang hak-hak dan kewajiban warga negara,

hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah

skala prioritas yang penting. Karenanya tingkat

sosialisasi politik warga masyarakat seperti ini

baru pada tingkat kongnitif, bukan

menyangkut dimensi-dimensi yang bersifat

evaluatif. Karenanya kebijakan pemerintah

menyangkut masalah penting bagi masyarakat

menjadi tidak penting buat mereka. Karena ada

hal lain yang lebih penting, yaitu pemenuhan 24kebutuhan dasar.

Miriam Budiardjo memberikan tesisnya bahwa

partai politik memiliki sejumlah fungsi yang dapat

difungsikan untuk melaksanakan pendidikan

politik di antara beberapa fungsi yang lain, di mana

dalam negara modern, partai politik mempunyai 25beberapa fungsi:

1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam

pendapat dan aspirasi masyarakat dan

mengaturnya sedemikian rupa sehingga

kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat

berkurang. Dalam masyarakat moderen yang

begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang

atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas

seperti suara di pandang pasir apabila tidak

ditampung dan digabung dengan pendapat dan

aspirasi orang lain yang senada. Proses ini

dinamakan “penggabungan kepentingan”

(interest aggregation). Sesudah digabung,

pendapat dan aspirasi ini diolah dan

dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses

ini dinamakan, “perumusan kepentingan”

(interest articulation).

2. Sebagai Sarana Sosialisasi dan Pendidikan

Politik

Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik

diartikan sebagai suatu proses dari seseorang

memperoleh sikap dan orientasi terhadap

fenomena politik di dalam lingkungan

masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses

sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur

dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses

sosialisasi politik diselenggarakan melalui

ceramah-ceramah penerangan, kursus-kursus

kader, kursus penataran, dan sebagainya.

Seiring dengan fungsi partai politik di atas,

maka partai politik dibebani tanggung jawab

sebagai salah satu kewajiban memberikan

pendidikan politik kepada masyarakat berupa

arahan kepada masyarakat bagaimana menjadi

warga negara yang beradap, demokratis, adil damai,

sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara bahkan KPU sebagai penyelenggara

Pemilu atas nama negara berkewajiban mendidik

masyarakat agar menjadi warga yang demokratis,

beradap menyongsong pemilu Tahun 2014

dikarenakan perkembangan masyarakat Indonesia

menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung

jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi

konstitusional sebagai sarana partisipasi politik

masyarakat bangsa.

D. Kesimpulan

Undang-undang partai politik membebani

kewajiban kepada partai politik untuk memberikan

pendidikan politik kepada masyarakat, namun

demikian pendidikan politik di Indonesia tidak

hanya menjadi kewajiban partai politik, melainkan

tanggung jawab kolektif antara KPU atas nama

negara, partai politik dan seluruh elemen

masyarakat. Keberhasilan pemilu tahun 2014 akan

sangat ditentukan oleh suksesnya pendidikan

politik itu sendiri meskipun undang-undang partai

politik tidak menyebutkan seperti apa dan

bagaimana pendidikan politik itu dilakukan, namun

sekurang-kurangnya memberikan pengarahan

kepada masyarakat pada waktu jaring aspirasi

guna menjadi warga negara yang beradap,

demokratis, adil damai, sejahtera dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara menyongsong pemilu

demokratis Tahun 2014.

Sebagai sumbang saran yang dapat penulis

ajukan dalam penulisan ini adalah (i) disarankan

mendirikan lembaga informal yang mampu

mengelola program pendidikan politik bagi pemilih

dan calon anggota legislatif. (ii) Partai politik, KPU

tidak dapat menjalankan pendidikan politik

sehingga disarankan bekerja sama dengan seluruh

elemen masyarakat dan pihak akademisi yang lebih

mampu mengetahui kondisi sosial kemasyarakat

dan demokrasi karena mereka sering action

research. (iii) disarankan memberikan kesempatan

kepada pihak LSM, media, Ormas, termasuk juga

lembaga penelitian dan lembaga pemantau

independent karena mereka memiliki akses dan

tanggung jawab dalam melakukan pendidikan

politik. (iv) Undang-undang Nomor 2 tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2

tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan

kewajiban kepada partai politik untuk melakukan

pendidikan politik, disarankan adanya perubahan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik memberikan bentuk atau model

pendidikan politik agar lebih jelas dan terarah.

Setiap menjelang pelaksnaan Pemilu selalu

memproduksi paket undang-undang politik baru,

disarankan untuk melakukan reset terlebih dahulu

agar undang-undang yang teleh dibentuk tidak

mudah lekang waktu.

Daftar Pustaka

Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam diakses 10 November 2013

C, Anwar. 2009. “Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009.

Fatkhurohman, 2011. “Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011.

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Indonesia.

Hamidi, Jazim. 2008. Pembentukan Perda

Partisipatif. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Harun, Andi. 2005. Angkasa Reformasi Terus

Bergerak di Mana Sang Pelopor Mengorbit.

Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris.

Yogyakarta: Kansius.

Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif.

Yogyakarta: Kanisius.

Ketchum, Richard M. (ed). 2004. Pengantar

Demokrasi. Yogyakarta: Niagara.

Khoiron, M. Nur. et.al, 1999. Pendidikan Politik Bagi

Warga Negara (Tawaran Operasional dan

Kerangka Kerja).Yogyakarta. IKIS.

Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketata-

negaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarwo, Fajar. Pemberdayaan Masyarakat

Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk

Mencegah Konflik Pemilukada, dalam

google.com. diakses 23 Mei 2013.

Wattimena, Reza A. A. 2007. Melampaui Negara

Hukum Klasik. Yokyakarta. Kanisius.

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_cont

ent&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16

Desember 2013.

Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

Page 13: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

1514

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(THE AUTHORITY OF CORRUPTION ERADICATION

COMMISSION ON THE PROSECUTION OF MONEY LAUNDERING)

Muhammad Fadli

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan

Jl. Sultan Alauddin No. 102 Makassar Indonesia

Telp. (0411) 854731 Fax. 0411871160

Email : [email protected]

(Naskah diterima 16/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara

tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap

dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi

melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan

tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai penyidik

tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu diatur

secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan

kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak pidana

pencucian uang dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dan dapat

tercipta suatu penuntutan yang efektif dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan dapat diwujudkan sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang, Jaksa, KPK.

Abstract

The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on the prosecution of money laundering has not been explicitly set

in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year 2010

on the Prevention and Eradication of Money Laundering. However the authority is still applied by prosecutor of KPK in

several cases. Caused two judges of corruption court performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears now is how

the authority of the Commission in the prosecution of money laundering? The task of the Commission is only to investigate

and to prosecute corruption cases as stipulated in the Law Commission. While the Law on the Prevention and Eradication of

Money Laundering set Commission only as an investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the Commission on

the prosecution of money laundering should be set explicitly on the aforementioned laws so as to create legal certainty in the

running of the authority. As of the combined result of the investigation paper between predicate offense and money

laundering can be directly incorporated in the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as to create an

effective and speedy prosecution as such justice is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on Law Number

48 Year 2009 on Judicial Power.

Key words : Authority, Prosecution, Money Laundering, Prosecutor, KPK.

A. Pendahuluan

Masalah tindak pidana pencucian uang atau

money laundering belakangan ini makin

mendapat perhatian khusus dari dunia

internasional. Perhatian yang demikian ini dipicu

semakin maraknya tindak pidana pencucian

uang dari waktu ke waktu, namun di sisi lain

masih banyak negara belum menetapkan sistem

hukumnya untuk memerangi atau menetapkan-1nya sebagai kejahatan yang harus diberantas.

Pada awalnya, secara internasional money

laundering terkait dengan perdagangan obat

bius/narkotika dan kejahatan besar lainnya, dan

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14

1 N.H.T Siahaan, 2008, Money Laundering & Kejahatan Perbankan (edisi revisi), Jala Permata, Jakarta, hlm. 1.

Page 14: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam UU PPTPPU

menjelaskan bahwa:

“Yang dimaksud dengan "penyidik tindak

pidana asal" adalah pejabat dari instansi

yang o l eh undang -undang d ibe r i

kewenangan untuk melakukan penyidikan,

yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta

Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai Kementerian

Keuangan Republik Indonesia. Penyidik

tindak pidana asal dapat melakukan

penyidikan tindak pidana pencucian uang

apabila menemukan bukti permulaan yang

cukup terjadinya tindak pidana pencucian

uang saat melakukan penyidikan tindak

pidana asal sesuai kewenangannya.”

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, KPK

diberi kewenangan oleh undang-undang dalam

hal penyidikan tindak pidana pencucian uang

yang tindak pidana asalnya sesuai dengan

kewenangannya, yaitu penyidikan tindak pidana

korupsi. Penyidikan yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum diawali dengan adanya bahan

masukan suatu tindak pidana. Sumber bahan

masukan suatu tindak pidana berupa

pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya

suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik

dari berbagai sumber, yaitu dari adanya laporan,

pengaduan, tertangkap, atau diketahui sendiri

oleh aparat penegak hukum dari hasil 9penyidikan. Selanjutnya kewajiban penyidik

untuk mencari atau mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana

yang terjadi. Selanjutnya penyidik melimpahkan

berkas perkara kepada penuntut umum guna

dilakukan penuntutan tindak pidana di dalam

persidangan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Penuntutan

adalah menuntut seorang terdakwa di muka

hakim pidana adalah menyerahkan perkara

seorang terdakwa dengan berkas perkaranya

kepada hakim, dengan permohonan, supaya

hakim memeriksa dan kemudian memutuskan 10perkara pidana itu terhadap terdakwa.”

Penuntutan tindak pidana pencucian uang yang

9 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 60-61.10 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), CV Sapta Artha Jaya Jakarta, hlm 164.11 Yudho Rahardjo, Kewenangan Jaksa KPK Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat, http://www.gresnews.com/berita/hukum/ 981111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakan-pasal-tppu-harus-diperkuat/, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.

2 Ibid., hlm. 3-4.3 Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 6.4 Iman Sjahputra, 2006, Money Laundering (Suatu Pengantar), Harvarindo, Jakarta, hlm. 2.5 Yenti Garnasih, Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013, hlm. 7.6 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money Laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 3-4.7 Ibid.8 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 54.

1716

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24

tidak dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan

seperti korupsi. Kini pencucian uang sudah

dikaitkan dengan proses atas uang hasil

perbuatan kriminal yang umumnya dalam

jumlah besar, sementara di berbagai negara,

termasuk indonesia, uang yang diperoleh dari

hasil korupsi adalah termasuk kategori kriminal,

maka masalah money laundering dikaitkan pula 2dengan perbuatan korupsi. Menurut Adnan

Buyung Nasution: “Sebagaimana terhadap

kejahatan yang berkaitan dengan narkoba,

pemberantasan pencucian uang juga dipandang

sebagai suatu strategi untuk memberantas

korupsi, yaitu dengan menghancurkan atau

menghalangi pelaku untuk dapat menikmati 3hasil korupsi tersebut.”

Pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pencucian uang

atau money laundering merupakan kejahatan

yang berupa upaya untuk menyembunyikan

asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan 4sebagai uang yang diperoleh secara legal.

Menurut Yenti Garnasih, “Pencucian uang

merupakan suatu proses yang dilakukan untuk

mengubah hasil kejahatan seperti, korupsi,

kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan

dan kejahatan serius lainnya, sehingga kejahatan

tersebut menjadi nampak seperti hasil dari

kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah 5disamarkan atau disembunyikan.” Sedangkan

dalam Black's Law Dictionary, money laundering 6diartikan sebagai berikut:

“term used to describe investment or other

transfer of money flowing from racketeering,

drug transaction, and other illegal sources into

legitimate channels so that it's original sources

can not be traced. Money laundering is a

federal crime; 18 USCA 1956.”

Black's Law Dictionary memberikan

pengertian pencucian uang atau (money

laundering) adalah penyetoran/penanaman uang

atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan

uang yang berasal dari pemerasan, transaksi

narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal

melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang

tersebut tidak dapat diketahui/dilacak. Dari

terminologi dalam Black's Law Dictionary

tersebut dapat diketahui bahwa berbagai bentuk

dana “uang kotor” berasal dari kegiatan-kegiatan

atau transaksi menyimpang, seperti hasil

pemerasan, penghindaran pajak, bisnis

perjudian, korupsi, komisi, pungli, sogokan,

penyelundupan, serta perdagangan gelap 7narkotika dan obat terlarang.

Pemberantasan TPPU tidak terlepas dari

pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi

merupakan salah satu tindak pidana asal

(predicate crime) dari tindak pidana pencucian

uang. Tindak pidana pencucian uang menganut

asas kriminalitas ganda (double criminality).

Kriminalitas ganda bermakna adanya dua

kejahatan pidana yang masing-masing sebagai

perbuatan tersendiri yang dalam terminologi

hukum dikenal sebagai concursus realis yang

terdiri dari kejahatan asal dan tindak pidana 8pencucian uang (money laundering). Salah satu

tindak pidana asal pencucian uang berasal dari

tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a UU PPTPPU. Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

merupakan salah satu penyidik tindak pidana

asal yang diatur dalam Pasal 74 UU PPTPPU.

Adapun Penyidik dalam UU PPTPPU dirumuskan

dalam ketentuan Pasal 74, yaitu: “Penyidikan

tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh

penyidik tindak pidana asal sesuai dengan

ketentuan hukum acara dan ketentuan

peraturan perundang-undangan, kecuali

ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”

d i l akukan o l eh KPK be lakangan in i

dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Hal tersebut

dikarenakan di dalam UU PPTPPU tidak diatur

mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan

tindak pidana pencucian uang. Walaupun dalam

UU PPTPPU penyidik KPK dapat melakukan

penyidikan tindak pidana pencucian uang yang

tindak pidana asalnya adalah tindak pidana

korupsi. Akan tetapi kewenangan tersebut hanya

terbatas pada kewenangan penyidikan

sedangkan kewenangan KPK dalam penuntutan

tindak pidana pencucian uang belum diatur

dalam UU PPTPPU atau dalam peraturan

perundang-undangan manapun. Namun telah

dipratikkan bahwa jaksa penuntut umum di KPK

tetap menjalankan kewenangan penuntutan.

Padahal Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya

mengatur mengenai kewenangan Jaksa Penuntut

Umum di KPK. Menurut Yenti Garnasih, “tidak

ada satu pun pasal yang memberikan

kewenangan penuntutan tindak pidana

pencucian uang kepada KPK, baik itu Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

maupun Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang. Jadi harus segera diberikan

dasar hukum bagi KPK agar berwenang

melakukan penuntutan perkara tersebut. Selama

ini hakim pengadilan tipikor selalu memberikan

opini yang berbeda (dissenting opinion) apabila

Jaksa Penuntut Umum KPK mencantumkan

pasal tindak pidana pencucian uang dalam

dakwaannya. Vonis hakim dalam kasus

Fathanah dan Djoko Susilo memperlihatkan

adanya dissenting opinion. Kasus Djoko adalah

yang pertama kali dan Fathanah adalah yang

kedua kalinya. Beruntung hanya 2 hakim yang

memberikan dissenting opinion, kalau 3 dari lima

hakim yang mengadili perkara menyatakan

dissenting opinion maka perkara tindak pidana 11pencucian uang bisa gugur di dalam vonis.”

Berdasarkan latar belakang permasalahan

tersebut, maka akan dibahas mengenai

bagaimanakah kewenangan penuntutan tindak

pidana pencucian uang yang dilakukan oleh

Jaksa Penuntut Umum KPK dalam praktik.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)

Page 15: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

12 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.13 Ni'matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78.14 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 100.15 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2012, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, hlm. 137-139.

B. Pembahasan

B.1.Negara Hukum

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah

negara hukum”. Indonesia merupakan negara

hukum yang berarti Indonesia menjunjung tinggi

hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan hukum

terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam

negara dan kekuasaan hukum terletak di atas

segala kekuasaan yang ada dalam negara dan

kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang

berlaku. Hakikatnya adalah segala tindakan atau

perbuatan tidak boleh bertentangan dengan hukum

yang berlaku, termasuk untuk merealisasikan

keperluan atau kepentingan negara maupun 12keperluan warganya dalam bernegara.

Salah satu asas penting dalam negara

hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas

legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap

tindakan badan atau pejabat administrasi

berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar

undang-undang badan atau pejabat administrasi

negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan

yang dapat mengubah atau mempengaruhi 13keadaan hukum warga masyarakat. Jadi badan

atau lembaga negara manapun harus menjunjung

tinggi asas legalitas sebagai asas yang wajib

dijunjung dalam bingkai negara hukum, begitupula

KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang yang

dimilikinya harus berlandasakan dengan asas

kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang

harus memiliki dasar hukum atau didasarkan

dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, termasuk kewenangan KPK dalam

penuntutan tindak pidana pencucian uang yang

belum diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

B.2.Teori Kewenangan

Pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas

(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van

wetmatigheid van bestuur), negara hukum yang

menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama

penyelenggaraan pemerintahan, wewenang

pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu berasal

dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M.

Huisman menyatakan pendapat berikut:

“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid

toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden

verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet

allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar

ook aan ambtenaren (b i jvoorbee ld

belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu

enz.) of aan special colleges (bijvoorbeeld de

kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan

privaatrechtelijke rechtspersoonen”. (Organ

pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia

memiliki sendiri wewenang pemerintahan.

Kewenangan hanya diberikan oleh undang-

undang. Pembuat undang-undang dapat

memberikan wewenang pemerintahan tidak

hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga

terhadap para pegawai {misalnya inspektur

pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya}

atau terhadap badan khusus {seperti dewan

pemilihan umum, pengadilan khusus untuk

perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap 14badan hukum privat.

Prinsip ini tersirat bahwa wewenang

pemerintahan berasal dari peraturan perundang-

undangan, artinya sumber wewenang bagi

pemerintah adalah peraturan perundang-

undangan. Seiring dengan pilar utama negara

hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau

het beginsel van wetmatigheid van bestuur),

berdasarkan prinsip ini pemerintahan berasal dari

peraturan perundang-undangan. Secara teoritis,

Kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui

tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat, 15sebagai berikut:

a. Atribusi

Dalam istilah hukum, atribusi diterjemahkan

sebagai “pembagian (kekuasaan); dalam kata

atributie van rechtsmacht; pembagian

kekuasaan kepada berbagai instansi

(kompetensi mutlak), sebagai lawan dari

distributie van rechtmacht”. Salah satu

kekuasaan yang diberikan oleh undang-

undang kepada pemerintah adalah atribusi.

Menurut Indroharto, atribusi adalah

pemberian wewenang pemerintah yang baru

oleh suatu ketentuan dalam perundang-

undangan baik yang dilakukan oleh original

legislator atau delegated legislator.

b. Delegasi

Delegasi dalam istilah hukum adalah

penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih

tinggi kepada yang lebih rendah. HD. Van Wijk

berpendapat bahwa pengertian delegasi adalah

penyerahan wewenang pemerintah dari suatu

badan atau pejabat pemerintahan lain. Bentuk

delegasi yang biasa adalah bentuk di mana

dalam instansi pertama suatu wewenang

pemerintahan yang dilambangkan kepada

suatu lembaga pemerintahan diserahkan oleh

lembaga ini kepada lembaga pemerintahan

lainnya.

c. Mandat

Wewenang yang didapat melalui atribusi dan

delegasi bisa dimandatkan kepada badan atau

pegawai bawahan jika pejabat yang

memperoleh wewenang itu tidak sanggup

untuk melakukan sendiri. H.D. Van Wijk

menjelaskan arti mandat adalah suatu organ

p e m e r i n t a h a n y a n g m e n g i z i n k a n

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya. Berbeda dengan delegasi, mengenai

mandat, pemberi mandat tetap berwenang

untuk melakukan sendiri wewenangnya

apabila ia menginginkannya, dan memberi

petunjuk kepada mandataris tentang apa yang

diinginkannya.

Hans Kelsen mengemukakan hanya perilaku

manusia yang diberikan wewenang oleh tatanan

hukum. Perilaku individu tersebut diberikan

wewenang hukum dirinya yakni, kapasitas untuk

menciptakan norma hukum. Kapasitas untuk

bertindak pada dasarnya merupakan kapasitas

untuk melakukan transaksi hukum. Kapasitas

untuk melakukan transaksi hukum yaitu kapasitas

untuk menciptakan kewajiban dan hak, juga

merupakan wewenang hukum karena kewajiban

hukum dan hak ditetapkan oleh norma-norma

hukum dan norma-norma itu diciptakan dengan 16 transaksi hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum

berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui 17oleh negara.

Kewenangan merupakan kapasitas untuk

bertindak yang diberikan kepada suatu individu

oleh tatanan hukum untuk melakukan tindakan

tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan

untuk melakukan tindakan hanya diberikan pada

individu tertentu yang diberikan oleh tatanan

hukum untuk melakukan suatu tindakan

berdasarkan hukum itu sendiri. Dengan demikian,

kewenangan Jaksa Penuntut Umum Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam

melakukan penuntutuan terhadap tindak pidana

pencucian uang harus diberikan oleh tatanan

hukum atau dapat dikatakan kewenangan yang

dijalankan tersebut perlu mendapatkan dasar

hukum dari peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf (a)

menyatakan, dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi

berasaskan pada asas kepastian hukum. Jadi

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,

Komisi Pemberantasan Korupsi harus

berlandaskan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

B.3.Kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK

dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian

Uang

Salah satu tugas KPK berdasarkan Pasal 6

huruf (c) UU KPK yaitu, melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

KPK merupakan lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun yang dibentuk dengan tujuan

meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap

upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal

ini menunjukkan dalam pelaksanaan tugas dan

wewenangnya, KPK bebas dari campur tangan

pihak manapun termasuk dalam tugas,

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Jaksa

Penuntut umum KPK dalam menjalankan tugas

berdiri sendiri dan bebas dari intervensi manapun.

Jaksa penuntut umum yang bertugas di KPK

diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana

Pasal 51 Ayat (1) UU KPK. Jadi kedudukan Jaksa

Penunut Umum KPK yang diangkat dan

diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

tidak lagi berada di bawah koordinasi Kejaksaan

Agung. Hal tersebut juga tidak terlepas dari

kesepakatan kerja sama yang dilakukan oleh

Kejaksaan Agung dan KPK. Jaksa Penuntut Umum

16 Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, hlm. 165-167.17 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dn Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana, Jakarta, hlm. Hlm.61.

1918

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24

Page 16: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

yang menjalankan tugas di KPK harus tunduk

terhadap UU KPK.

Adapun pengertian Jaksa Penuntut Umum

dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu, penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan

dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 14

menyatakan Penuntut umum mempunyai

wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas

perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik

pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila

ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan

ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka

penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c.

memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau

mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat

dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f.

menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa

tentang ketentuan hari dan waktu perkara

disidangkan yang disertai surat panggilan, baik

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk

datang pada sidang yang telah ditentukan; g.

melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi

kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain

dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum menurut ketentuan undang-

undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Dari

perincian wewenang tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa jaksa atau penuntut umum di

indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik

perkara dalam tindak pidana umum, misalnya

pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya dari

permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti jaksa atau

penuntut umum di Indonesia tidak dapat

melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap

tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini

disebut sistem tertutup, artinya tertutup

kemungkinan jaksa atau penuntut umum

melakukan penyidikanmeskipun dalam arti

inseidental dalam perkara-perkara berat,

khususnya dari segi pembuktian dan masalah

teknis yuridisnya. Pengecualiannya adalah jaksa

atau penuntut umum dapat menyidik perkara

dalam tindak pidana khusus, misalanya tindak 18pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.

Tindak pidana khusus tersebut termasuk tindak

pidana pencucian uang.

18 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 21.

Pengertian jaksa sebagaimana diuraikan dalam

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa

adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk bertindak sebagai penuntut

umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 1 Ayat (2) menyatakan pengertian penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan

dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan

Pasal 1 Ayat (3) Penuntutan adalah tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi,

Jaksa Penuntut Umum yang melaksanakan tugas

di KPK pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi

yang sama sebagaimana yang dijelaskan dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, yaitu melakukan penuntutan terhadap

tindak pidana dan melaksanakan penetapan

hakim. Dalam UU KPK, Jaksa Penuntut Umum di

KPK diberi tugas khusus yaitu, melakukan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal

51 Ayat (1) UU KPK menentukan bahwa Penuntut

adalah Penuntut Umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan

diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi, Ayat (2) Penuntut Umum sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) melaksanakan fungsi

penuntutan tindak pidana korupsi, Ayat (3)

Penuntut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

adalah Jaksa Penuntut Umum.

Pasal 72 Ayat (5) huruf c UU PPTPPU

menjelaskan sebagai berikut, jika penuntut umum

mengajukan surat permintaan keterangan

mengenai harta kekayaan dari orang yang telah

dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka,

atau terdakwa maka surat permintaan tersebut

harus ditandatangani oleh Jaksa Agung atau

Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan

diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut

umum, hal ini menunjukkan bahwa jaksa yang

diberi kewenangan dalam melakukan penuntutan

tindak pidana pencucian uang dalam UU PPTPPU

masih terbatas jaksa yang dibawahi oleh Kejaksaan

Agung, bukan Jaksa Penuntut Umum yang

diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU KPK.

Mengingat karakteristik kasus tindak pidana

pencucian uang bersifat kompleks dan multi

dimensi serta praktik internasional di negara lain,

Marwan Effendi berpendapat adalah hal yang tepat

untuk memberikan Jaksa sebagai penyidik tindak

pidana pencucian uang sebagaimana dalam

penjelasan Pasal 4 UU PPTPPU yaitu, dampak

positif Jaksa sebagai penyidik tindak pidana

pencucian uang sebagai berikut: apabila dalam

penyidikan tindak pidana korupsi jaksa penyidik

menemukan adanya tindak pidana pencucian

uang, maka Jaksa Penyidik tindak pidana asal atau

penyidik predicate crime tidak perlu lagi

menyerahkan kepada penyidik POLRI sehingga

tidak akan terjadi proses saling menunggu 1 9penyelesaian penyidikannya. Dengan

dilakukannya penyidikan sendiri oleh Jaksa

Penyidik atau penyidik predicate crime terhadap

tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan

penyidikan tindak pidana korupsi sangat

mendukung proses penyidikan cepat (speedy

investigation) hal mana sejalan dengan ketentuan

Pasal 75 UU PPTPPU yaitu dalam hal penyidik

menemukan bukti permulaan yang cukup

terjadinya tindak pidana pencucian uang dan

tindak pidana asal, penyidik menggabungkan

penyidikan tindak pidana asal dengan tindak

pidana pencucian uang dan memberitahukannya

kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis 20 Transaksi Keuangan).

Apabila berkas hasil penyidikan antara tindak

pidana asal atau predicate crime dan tindak pidana

pencucian uang atau dilimpahkan penyidik KPK

kepada Jaksa penuntut umum yang ada di KPK,

maka konsekuensi logisnya yaitu, Jaksa Penuntut

Umum dapat menyatukan langsung dakwaannya

dalam bentuk kumulatif, sehingga dapat tercipta

suatu penuntutan yang cepat (speedy prosecution)

dan efektif. Jika berkas penyidikan tindak pidana

asal atau predicate crime dengan berkas tindak

pidana pencucian uang terpisah penyidikannya

maka proses persidangan juga akan disidangkan

oleh majelis hakim yang berbeda karena majelis

yang satu untuk tindak pidana asal dan majelis

yang lain untuk tindak pidana pencucian uang,

karena belum tentu dapat dilimpahkan secara

berbarengan. Oleh karena itu, jika penyidikan

tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian

uang di satu tangan, maka jaksa penuntut umum

dapat mendakwakan secara kumulatif antara

tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian

uang dan melimpakannya secara bersamaan ke

pengadilan. Dengan demikian akan terjadi suatu

peradilan cepat (speedy trial) karena cukup 21disidangkan oleh suatu majelis hakim.

B.4.Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya

Ringan

Proses peradilan pidana terdapat beberapa

tahapan yang harus dilalui bagi para pencari

keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan,

pemeriksaan di pengadilan hingga tahap

penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya

hukum jika dipergunakan oleh para pihak yang

memerlukan waktu, tenaga, maupun biaya yang

tidak sedikit bagi para pencari keadilan. Hal ini

diatur di dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat

(4) yang menyebutkan bahwa: peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini

menghendaki peradilan yang sederhana atau tidak

terlalu formal legalistik, proses yang berbelit-belit

dan berkepanjangan dan lebih mengutamakan

keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang

dibutuhkan dalam proses yang sederhana adalah

cepat dan biaya yang dibutuhkan dalam proses

menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk

masyarakat tidak mampu. Asas ini masih menjadi

keniscayaan dan masih dalam das sollen, karena

dalam kenyataannya (das sein) semua proses

peradilan terutama peradilan pidana, prosesnya

menghabiskan waktu yang lebih banyak.

Hal ini berkaitan dengan permasalahan

kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian

uang yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum KPK.

Sebagaimana diketahui kewenangan penuntutan

tersebut belum diatur secara jelas di dalam

peraturan perundang-undangan sehingga

penuntutan tindak pidana pencucian uang

seharusnya diserahkan kepada Jaksa Penuntut

Umum di bawah Kejaksaan Agung bukan Jaksa

Penuntut Umum KPK sebagaimana peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Mengutip

19 Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan hukum pidana), Referensi, Jakarta, hlm. 72-73.20 Ibid.21 Ibid., hlm. 73.

2120

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24

Page 17: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

23 Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 75.

22 Dewi Mardiani, Pakar: KPK Tak Keliru Bila Gunakan TPPU, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/ 13/11/22/mwnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakan-tppu, diakses pada tanggal 20 Desember 2013.

pendapat Mudzakir, “Kewenangan KPK dalam

tindak pidana pencucian uang itu dasarnya adalah

UU PPTPPU yang baru dan Undang-Undang

Pengadilan Tipikor. Dalam undang-undang itu

kewenangan KPK terbatas melakukan penyelidikan

dan penyidikan tindak pidana pencucian uang.

Kewenangan penuntutan itu berada dan harus di

tangan Jaksa di bawah Kejaksaan Agung. Tidak

disebutkan bahwa termasuk jaksa yang dimiliki 22KPK.”

Jika penuntutan tindak pidana pencucian

uang yang disidik oleh KPK diserahkan kepada

Jaksa Penuntut Umum di bawah Kejaksaan Agung

tentunya tidak akan berjalan efektif, hal ini

dikarenakan penuntutan tindak pidana korupsi

yang disidik oleh KPK akan di sidangkan di tempat

berbeda dengan penunututan tindak pidana

pencucian uang yang disidik oleh KPK sehingga

proses peradilan tidak lagi dapat berjalan efektif dan

efisien [Hal tersebut disebabkan, hasil penyidikan

penyidik KPK terhadap tindak pidana pencucian

uang yang disidik bersama tindak pidana korupsi

akan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri

kemudian dilakukan penuntutan tersendiri di

pengadilan yang berbeda. Hal ini tentunya akan

melalui proses yang panjang dan tidak efisien

begitupula dalam hal pemeriksaan saksi-saksi di

persidangan], karena saksi yang sama akan

bersaksi di pengadilan yang berbeda. Hal tersebut

sangat berbeda jauh dengan tujuan yang

diharapkan dalam Undang Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2

Ayat (4) yang menyatakan bahwa: peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya

ringan. Hal yang lebih menghawatirkan adalah

terjadinya disparitas putusan. Jika putusan

peradilan terhadap tindak pidana asal tidak terbukti

sedangkan di pengadilan berbeda tindak pidana

pencucian uang tersebut terbukti dilakukan. Hal ini

tentunya akan menjadi permasalahan ke depannya.

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu

solusi atau penyelesaian yang lebih mendasar dan

ide pemikiran kembali sehingga kewenangan

penuntutan KPK dalam tindak pidana pencucian

uang memiliki kepastian hukum dan asas peradilan

sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga dapat

benar-benar direalisasikan. Salah satu cara yang

perlu dilakukan adalah segera melakukan revisi

terhadap UU KPK dan UU PPTPPU untuk

memperluas kewenangan Jaksa Penuntut Umum

KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian

uang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun

2009 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).

Pasal 5 UU PTPK menyatakan bahwa: Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya

pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili,

dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Sedangkan dalam Pasal 6 UU PTPK, dinyatakan

sebagai berikut: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU PTPK,

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana

pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah

tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana

yang secara tegas dalam undang-undang lain

ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengadilan

tindak pidana korupsi kompetensi peradilan dalam

menangani tindak pidana korupsi telah diperluas

dalam mengadili tindak pidana pencucian uang

yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak

pidana korupsi. Seharusnya hal tersebut juga

diatur pula dalam UU KPK maupun UU PPTPPU

kewenangan penyidikan KPK sekaligus penuntutan

terhadap tindak pidana pencucian uang yang

berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan

demikian, proses penyidikan dan penuntutannya

dapat dilakukan secara efektif seperti yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009

tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang

berwenang mengadili tindak pidana pencucian

uang yang tindak pidana asalnya berasal dari

tindak pidana korupsi sehingga proses peradilan

akan berjalan efektif dan efisien (speedy trial). Selain

itu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, dinyatakan bahwa: “Pengadilan

dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan

dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.” Jadi perkara tindak pidana

pencucian uang yang diajukan oleh Jaksa Penuntut

Umum KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi

tetap menjadi wajib untuk diperiksa dan diadili oleh

pengadilan tindak pidana korupsi.

Jika melihat penggabungan proses penyidikan

tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian

uang, maka akan lebih efektif dan efisien jika berkas

hasil penyidikan tindak pidana pencucian uang juga

dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum KPK,

tidak lagi melimpahkan kepada Jaksa penuntut

Umum yang ada di Kejaksaan Negeri. Mengingat

pengadilan tindak pidana korupsi yang

dikhususkan mengadili tindak pidana korupsi telah

diberikan wewenang oleh undang-undang mengadili

tindak pidana pencucian uang yang berasal dari

tindak pidana korupsi. Seharusnya kewenangan

jaksa penuntut umum yang ada di KPK yang

dikhususkan melakukan penuntutan tindak pidana

korupsi diperluas dalam hal melakukan penuntutan

tindak pidana pencucian uang yang berasal dari

tindak pidana korupsi, sehingga speedy

investigation, speedy posecution, dan speedy trial

dapat tercipta. Prinsip Speedy investigation, speedy

prosecution, dan speedy trial sejalan dengan asas di

KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman yaitu, asas

peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah atau

ringan dengan tetap mempertimbangkan keadilan 23dan kepastian hukum.

C. Penutup

UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK

dalam melakukan penyidikan dan penuntutan

tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam

undang-undang tersebut tidak diatur secara tegas

mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK

dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang,

sedangkan di dalam UU PPTPPU hanya

memberikan kewenangan kepada KPK dalam

menyidik tindak pidana pencucian uang yang

tindak pidana asal (predicate crime) merupakan

tindak pidana korupsi. Kewenangan Jaksa

Penuntut Umum di KPK masih sebatas kewenangan

dalam melakukan penuntutan tindak pidana

korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (2)

UU KPK. Di lain pihak, kewenangan pengadilan

tindak pidana korupsi telah diperluas dalam

mengadili tindak pidana pencucian uang yang

tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana

korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor

46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi. Sebaiknya kewenangan Jaksa Penuntut

Umum KPK juga turut diperluas dalam melakukan

penuntutan tindak pidana pencucian uang yang

tindak pidana asalnya atau predicate crime-nya

adalah tindak pidana korupsi. Maka penuntutan

dapat dilakukan secara efektif dan “tidak berbelit-

belit” sehingga tindak pidana asal dan tindak

pidana pencucian uang dapat disidangkan satu

pengadilan.

Sebagai negara hukum segala tindakan

pemerintah atau lembaga negara harus didasarkan

atas ketentuan hukum yang berlaku. Kewenangan

Jaksa Penuntut Umum KPK masih terbatas dalam

penuntutan tindak pidana korupsi. Kewenangan

penuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap

tindak pidana pencucian uang belum diatur secara

tegas dalam peraturan perundang-undangan

sehingga diperlukan dasar hukum ke depannya.

Agar kewenangan tersebut dapat dijalankan dan

selaras dengan kewenangan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi yang kewenangannya telah

diperluas dalam mengadili tindak pidana pencucian

uang yang tindak pidana asalnya dari tindak pidana

korupsi. Selain itu, jika Jaksa Penuntut Umum di

KPK diberi kewenangan penuntutan, maka proses

penyidikan hingga penuntutan tindak pidana

pencucian uang di KPK dapat saling berkaitan

sehingga proses peradilan cepat, sederhana, dan

biaya ringan atau peradilan cepat (speedy trial) dan

tidak berbelit-belit dapat diwujudkan sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal

T h e o r y ) d n T e o r i P e r a d i l a n

(Judicialprudence). Jakarta: Kencana.

Djafar Saidi, Muhammad. 2007. Perlindungan

Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian

Sengketa Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi

Bersama KPK (Komisi Pemberantasan

Korupsi). Jakarta: Sinar Grafika.

Effendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana

(Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan

hukum pidana). Jakarta: Referensi.

Garnasih, Yenti. 2003. Kriminalisasi Pencucian

Uang (Money laundering). Jakarta:

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana

Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: CV Sapta

Artha Jaya.

2322

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24

Page 18: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

1 Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,(Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2008), hlm. 165.

HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara

edisi revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Huda, Ni'matul. 2005. Hukum Tata Negara

Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jahja, Juni Sjafrien. 2012. Melawan Money

laundering (mengenal, mencegah, &

memberantas Tindak Pidana Pencucian

Uang). Jakarta: Visimedia.

Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni Dasar-

Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusa

Media.

Makarao, Muhammad Taufik dan Suhasril. 2004.

Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana

Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya

bakti.

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat.

2012. Hukum Administrasi Negara dan

Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung:

Nuansa Cendekia.

Sjahputra, Iman. 2006. Money Laundering (Suatu

Pengantar). Jakarta: Harvarindo.

Siahaan, N.H.T. 2008. Money Laundering &

Kejahatan Perbankan Edisi Revisi. Jakarta:

Jala Permata.

Yusuf, Muhammad, dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang. The Indonesia

Netherlands National Legal Reports Program

(NLPR): Jakarta.

Makalah

Garnasih, Yenti. Penanganan Kejahatan Aliran

Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian

Uang, Makalah disampaikan Pada

Simposium Nasional Hukum Pidana dan

Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi

Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi

dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,

diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum

Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin

Universitas Hasanuddin Makassar, pada

tanggal 19 Maret 2013.

Sumber Elektronik

Mardiani, Dewi. 2013. Pakar: KPK Tak Keliru Bila

GunakanTPPU. http://www.republika.

co.id/berita/nasional/hukum/13/11/22/m

wnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakan-

tppu, diakses pada tanggal 20 Desember

2013.

Rahardjo, Yudho. 2013. Kewenangan Jaksa KPK

Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat.

http://www.gresnews.com/berita/hukum/9

81111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakan-

pasal-tppu-harus-diperkuat/, (dikases pada

tanggal 10 Desember 2013).

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang

2524

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24

POLITIK AGRARIA DI YOGYAKARTA:

IDENTITAS PARTRIMONIAL & DUALISME HUKUM AGRARIA

( AGRARIAN IN YOGYAKARTA:

PARTRIMONIAL & AGRARIAN LAW

Wasisto Raharjo Jati

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Jalan Godean Km.5 Yogyakarta Indonesia

[email protected](Naskah diterima 08/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta. Adapun

dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam dua bentuk yakni implementasi hukum agrarian nasional maupun

hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun ambivalensi dalam sistem

pengaturan tanah di Yogyakarta. Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah antara tanah publik

maupun tanah kerajaan. Ambivalensi dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam status sebagai wakil

pemerintah pusat ataukah kerajaan. Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai hingga saat ini

maupun komersialisasi tanah kraton. Maka artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak ambiguitas dan

ambivalensi hukum agraria tersebut.

Kata kunci: ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.

Abstract

This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two

forms; the implementation of the national agrarian law and the royal agrarian law. The existence of such dualism has

caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma between

public land and royal land. Ambivalence came from the provincial government's attitude is trapped in status as

representatives of the central government or kingdom. The implication caused the land status of the conflict have not been

completed to date as well as the commercialization of the palace ground. Then, this article will elaborate further about the

lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.

Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law, dualism, royal agrarian law

POLITIC OF

IDENTITY DUALISM)

A. Pendahuluan

Membincangkan masalah hukum agraria di

Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah unik dalam

lanskap politik agraria di Indonesia. Hal ini

dikarenakan di daerah tersebut berlaku hukum

nasional yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok

Agraria dan hukum kerajaan yang keduanya hingga

kini masih eksis diberlakukan. Adanya dualisme

hukum agraria tersebut menjadikan tanah-tanah

yang berada di DIY sendiri menjadi tersekat-sekat

antara tanah nasional, tanah penduduk, tanah

Sultan (Sultan Ground), maupun tanah Pakualaman

(Pakualaman Ground). Adanya perbedaan status

tanah tersebut berasal dari adanya ketentuan Pasal

18 UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui

adanya status keistimewaan yang dimiliki daerah

tertentu sebelum beridirinya republik. Hal itulah

yang kemudian mengakomodasi tanah berbasis

kerajaan sendiri memiliki keistimewaan khusus

dalam sistem agraria di Indonesia. Kasus

Yogyakarta sebenarnya sangatlah menarik untuk

dicermati sebagai daerah kerajaan yang memiliki

pengaturan tanah secara kultural tersendiri di saat

daerah-daerah yang sebelumnya berstatus wilayah

kerajaan mengafiliasikan diri ke dalam sistem

agraria nasional. Hak ulayat kerajaan atas tanah

masih diakui sebagai bentuk pengakuan status

istimewa dari negara.

Dalam pola pengaturan hak kepemilikan akan

tanah ulayat/adat berlaku prinsip “het hoagste

richtten aauzien van garand” dimana masyarakat

memiliki hak adat tertinggi untuk mengambil

manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah

lingkungan hidup mereka serta memiliki kearifan 1lokal untuk memiliki bersama. Pengertian

Page 19: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

2 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, (Jakarta : Grasindo, 2010), hlm.16.

3 Mungki Kusumaningrum, Status atas Hak Tanah Magersari di Yogyakarta, (Semarang : Progam Pascasarajana, 2004), tesis tidak dipubliksasikan, hlm. 52.4 Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa,(Jakarta : Penerbit Obor, 2008), hlm. 68.

masyarakat di sini ditekankan sebagai masyarakat

genealogis yang terbentuk karena adanya ikatan

kekeluargaan sehingga membentuk suatu 2hubungan yang sangat akrab dan intim. Maka

perkembangan dari hubungan tersebut

menimbulkan adanya pola komunalisasi tanah

secara sepihak oleh para elite dari masyarakat

hukum adat tersebut sehingga kemudian

membentuk kerajaan/daerah vorstenlanden

sendiri. Vorstenlanden merupakan sebuah kerajaan

dalam pola subordinasi kekuasaan kolonial yang

terpisah dari pemerintahan kolonial seperti halnya

Mangkunegaran, Kasunanan, Pakualaman, dan

Kasultanan yang umumnya terletak di Jawa.

Secara konstitusional, hak ulayat atas tanah di

DIY diakui dari berbagai bentuk perundangan mulai

dari UU No.3 Tahun 1950 (yang kemudian diubah

menjadi UU No.9 Tahun 1955) tentang

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

maupun yang terbaru kini UU No. 13 Tahun 2012

tentang Keistimewaan Yogyakarta. Tanah

kemudian dicantumkan sebagai bagian dari

identitas kultural dan keistimewaan Yogyakarta.

Sementara di lain pihak, UU No. 5 Tahun 1960

tentang Pokok Agraria juga diberlakukan sebagai

Keppres No 33 tahun 1984 juncto Peraturan

Mendagri No 66 tahun 1984, UUPA diberlakukan

secara penuh di DI Yogyakarta tetapi dalam

pengaturan penguasaan tanah hanya diatur

beberapa konversi perorangan bekas hak adat

menjadi hak milik, sedangkan untuk Tanah

Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Pakualaman

(Paku Alam Ground) belum diterapkan konversinya

dalam sistem hukum tanah nasional.

Adapun pemaknaan konversi tersebut

dimaknai sebagai adanya landreform yang selama

ini belum dilaksanakan di Yogyakarta.

Permasalahan konversi tanah ini memang menjadi

peka untuk dibicarakan karena hal tersebut sudah

menyinggung eksistensi keistimewaan Kesultanan

maupun Pakualaman. Dalam pasal 32 UU No.13

Tahun 2012 disebutkan bahwa kerajaan sendiri

adalah subjek hukum yang mengatur tanah

keprabon dan tanah non keprabon. Artinya negara

nasional bertindak sebagai agen ganda yakni

mengakui otoritas kerajaan dalam mengatur tanah,

namun juga mengakui otoritas negara dalam

mengatur tanah non keprabon.

Sebenarnya yang menjadi masalah dalam

dualisme hukum agraria di Yogyakarta adalah

masalah hak milik dan hak pakai tanah (angguduh)

yang hingga kini belum terselesaikan dalam

masalah agraria di Yogyakarta. Kedua hak tersebut

yang secara bersamaan diakui hukum justru

mengundang rivalitas dan kontestasi antar

keduanya. Rivalitas keduanya bersumber pada pola

saling klaim-mengklaim status tanah yang banyak

terjadi kasusnya di Yogyakarta. Namun di lain

kesempatan, kedua hak agraria tersebut juga

memiliki harmonis Oleh karena itulah, sangatlah

urgen dan signifikan untuk melihat penerapan

dualisme hukum agraria yang berlaku di Yogyakarta

ini. Maka yang menjadi pertanyaan penting dalam

pembahasan ini adalah bagaimana bentuk pro-

kontra dalam penerapan hukum agraria di

Yogyakarta?. Pertanyaan tersebut menjadi penting

bagi kita untuk melihat seberapa besar tingkat

harmonisasi ataukah kontestasi dalam penerapan

hukum agraria tersebut. Maka sebelum menjawab

pertanyaan utama tersebut, alangkah baiknya bagi

kita untuk mengetahui lebih lanjut histori legalitas

hukum agraria dalam kasus Yogyakarta.

B. Konstelasi Hukum Agraria di Yogyakarta

Selama masa kolonialisme di Indonesia,

Yogyakarta dinyatakan sebagai negeri yang merdeka

dan diakui eksistensinya oleh penguasa

pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan

di Batavia. Keberadaan tanah di Yogyakarta diakui

setelah adanya perjanjian Giyanti pada 13 Februari

1775. Yogyakarta bersama Surakarta, Pakualaman,

dan Mangkunegaran diberikan status daerah

kerajaan (vorstenlanden) dan Sultan sebagai pemilik

hak mutlak tanah-tanah di wilayah itu (vorstdomein).

Di dalam sebuah kerajaan tradisional yang bersifat

feodal, persoalan yang bernilai strategis secara politik

bagi kekuasaan Sultan adalah masalah agraria,

dalam hal ini menyangkut kepemilikan atas tanah-

tanah di Kesultanan Yogyakarta. Tanah merupakan

perlambang dari eksistensi kerajaan maupun

legitimasi seorang raja memerintah masyarakatnya.

Maka penguasaan atas seluruh tanah merupakan

manifestasi dari hubungan patronase dari raja

kepada masyarakatnya.

Hubungan yang inheren tersebut ada

dikarenakan adanya dua konsepsi yakni konsepsi

vors tendomein (mi l ik ra ja ) dan juga

vorsteneigendomsrecht (hak milik raja) yang

kemudian mengkultuskan dan menahbiskan raja

adalah segala – segalanya dan semua yang ada

dalam kerajaannya merupakan untuk raja/mutlak

milik raja serta tidak dapat diganggu gugat. Hal itu

kemudiaan diperkuat dengan dikukuhkannya

Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 16, pasal

1, tahun 1918 yang dikeluarkan oleh pihak kraton

yang berbunyi

“Sakabening bumi kang ora ana yektine

kadarbe ing liyan mawa wewenang egendom

dadi bumi kagungane kraton ingsun 3Ngajogjakarta Hadiningrat”

Artinya segala tanah yang tidak punya bukti

kepemilikan ataupun bukan dalam kekuasaan hak

eigendom pemerintahan kolonial menjadi tanah

milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam hal

ini dapat pula dideskripsikan bahwa Yogyakarta

memiliki pola kepatuhan terhadap kehidupan

tanah leluhur serta memiliki corak keistimewaan

dengan kraton yang dipimpin oleh sultan dan

memiliki pola pengelolaan tanah sendiri.

Aturan Rijkblad Kasultanan Tahun 1821 No.16

dan Rijkblad Puro Paku Alaman Tahun 1821 No.18

merupakan bentuk hukum agraria yang

diberlakukan di Yogyakarta selama zaman

kolonialisme Belanda. Adapun substansi dalam

aturan tersebut meliputi pengaturan tanah yang

terbagi hak-hak pakainya seperti berikut ini.

1) “Siti Maosan Ndalem” yakni tanah yang berada

d a l a m k o n t r o l l a n g s u n g S u l t a n

Hamengkubuwono X seperti halnya bangunan

Kraton Yogyakarta.

2) “Siti Kejawen” yakni tanah yang yang diberikan

oleh kerabat Sultan maupun abdi dalem seperti

halnya bangunan ndalem bagi kerabat sultan

maupun tanah perdikan bagi abdi dalem

sebagai balas jasa pengabdian kepada kraton

3) “Siti Magersari” yakni tanah yang digunakan

publik sebagai wujud penghargaan kraton

untuk masyarakat Yogyakarta.

Dalam hal ini tanah magersari sendiri

merupakan hak guna lahan masyarakat untuk

menumpang memakai tanah kraton sepanjang izin

permohonan pemakaiannya disetujui oleh pihak

kraton melalui kantor Kawedanan Hageng

Punokawan (KHP) Wahono Sarto Kriyo dan Tepas

Panitikismo. Adapun karakteristik tanah magersari

ini antara lain dijelaskan di bawah ini :

1) Hak yang sangat lemah

Dikarenakan bila sultan berkehendak atas

suatu tanah magersari yang diduduki

penduduk tertentu maka penduduk itu harus

meninggalkan tanah tersebut dan pindah ke

tempat lainnya.

2) Turun - temurun (erfelijk gebruiksrecht)

Kepemilikan tanah magersari sendiri bersifat

trans generasi serta hanya generasi itu saja

yang boleh memakai tanah tersebut

dikarenakan adanya ikatan pola pewarisan hak

pakai yang hierarkis dan kuat dari generasi

dulu hingga sekarang.

3) Tidak dapat dialihkan (tijdelijke vervreemding)

Tidak dapat dialihkan di sini lebih diartikan

sebagai status pengguna lahan tersebut tidak

bole di serahterimakan orang lain yang tidak

sesuai denga perjanjian sewa tanah dengan

kraton dan juga diperjualbelikan tanpa seizin

pihak kraton selaku pemilik tanah yang sah.

Bentuk – bentuk hak konsensi lahan yang

diperbolehkan dan juga diizinkan oleh pihak

kraton antara lain seperti:

1) Hak amanggon

Hak izin yang diberikan oleh pihak kraton

untuk masyarakat Yogyakarta yang

berminat menggunakan lahan magersari

hanya untuk ditempati tinggal beserta

bangunannya dan juga untuk melakukan

kegiatan lainnya.

2) Hak anggadhuh

Hak atas tanah magersari yang diberikan

kepada masyarakat Yogyakarta dalam

bentuk hak pakai lahan dan hak guna lahan.

3) Hak amakarya

Hak amakarya di sini merupakan hak

untuk mendayagunakan tanah magersari

untuk menghasikan produk – produk yang 4menguntungkan (hasil pertanian).

Hukum adat merupakan perangkat hukum

yang beraneka ragam isi norma-norma hukumnya.

Hukum adat masyarakat-masyarakat hukum adat

yang mengatur pertanahan, pada dasarnya ada

keseragaman karena mewujudkan konsepsi, asas-

2726

Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34

Page 20: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

asas hukum dan sistem pengaturan yang sama

dengan hak penguasaan tertinggi yang dalam

perundang-undangan dikenal sebagai hak ulayat.

Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari

istilah “adatrecht” yang pertama kalinya

diperkenalkan oleh C. Snouck Hurgonje. Hukum

adat disini diartikan sebagai adat-adat yang

mempunyai akibat hukum. Yogyakarta sebagai

daerah yang masih memiliki kesultanan telah

melakukan politik kontrak dengan belanda ketika

masa penjajahan. Mereka tidak di atur dengan

sebuah UU (ordonantie) melainkan dalam sebuah

perjanjian. Politik kontrak kesultanan Yogyakarta

Pertama kali terjadi pada tanggal 13 Februari 1755.

Yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti yang

dilanjutkan dengan perjanjian-perjanjian

berikutnya sampai pada politik kontrak kesultanan

Yogyakarta terakhir yang dibuat pada tanggal 18

Maret 1940.

Adapun sistem pola pengelolaan tanah tersebut

dinamakan sebagai tanah/hak magersari dimana

tanah kraton selain dipergunakan oleh sultan dan

kerabatnya juga bisa dipergunakan oleh rakyatnya.

Dari situ kemudian berkembang pandangan bahwa

tanah magersari merupakan wujud caos ndalem

perhatian raja terhadap rakyatnya. Oleh karena itu

kemudian dalam implementasi level praksisnya

adalah tanah kraton dipergunakan oleh rakyatnya

hanya sebatas menempati dan membangun suatu

bangunan tertentu tanpa melakukan kegiatan

transaksi jual beli terhadap keberadaan tanah

kraton yang dipakainya. Namun apabila ada rakyat

yang tidak patuh dengan poin yang terakhir

tersebut, maka yang bersangkutan harus bersiap

hak guna pakai tanah magersari tersebut dan harus

dikembalikan (dikundurake) kepada sultan selaku

pemilik tanah yang sah. Hak magersari atau dalam

bahasa kraton adalah ngindung secara harfiah

merupakan hak seseorang untuk menumpang

dengan asumsi mendirikan atau menempati suatu

tanah pekarangan dengan izin tertentu pula.

Makna ngindung sendiri dalam sistem agraria

di Yogyakarta secara harfiah dimaknai sebagai

menumpang atau secara perdata dapat diartikan

sebagai hak guna bangunan yang didirikan di atas

tanah kerajaan. Ngindung pada mulanya

merupakan bentuk kebijakan raja terhadap

bawahannya agar memiliki tempat tinggal tersendiri

guna melancarkan tugas-tugasnya di kraton.

Adapun pegawai kerajaan yang diberikan hak

ngindung biasanya disesuaikan dengan pangkat

yang mereka peroleh dalam sistem birokrasi

kerajaan. Adapun para kelompok priyayi biasanya

memiliki hak ngindung yang lebih besar

dibandingkan dengan pegawai kerajaan yang 5statusnya sebagai bangsawan. Bangsawan sendiri

selain mempunyai hak guna bangunan juga

memiliki hak menyewakan tanah. Hal ini terkait

sebagai upaya menjaga hubungan patrimonialisme

maupun loyalitas rakyat kepada kerajaan.

Merekalah yang acap kali disebut sebagai broker

tanah di masa kolonialisme karena seringkali

menyewakan tanah untuk kepentingan partikelir

seperti Sedangkan para pegawai kerajaan sendiri

umumnya memiliki hak guna bangunan saja,

namun tidak memepunyai hak menyewakan tanah

kerajaan tersebut.

Adapun ngindung (hak menumpang tanah)

dalam perkembangannya kemudian diperluas tidak

hanya dipergunakan oleh kalangan pegawai kraton

maupun bangsawan semata. Namun juga diperluas

penggunaan konsensi tanah kerajaan tersebut yang

tidak hanya tersebar di wilayah Yogyakarta, namun

juga ada yang berada di kawasan luar Yogyakarta

diklaim ada tanah kerajaan tersebut. Model

pembagian hak ngindung tersebut secara lebih

jelasnya dapat dilihat berikut ini:

a. Tanah yang diberikan kepada hak pakai

(Gebruiksrecht) kepada pemerintah Hindia

Belanda (Gubermen), untuk kantor-kantor,

sekolah-sekolah, rumah-rumah gadai, asrama-

asrama militer/polisi, kereta api. Hak pakai ini

terdaftar pada kantor pendaftaran tanah

(kadaster).

b. Tanah yang diberikan kepada N.I.S untuk

keperluan jalan kereta api.

c. Tanah yang diberikan kepada orang asing/

timur asing dengan hak eigendom dan opstal,

terdaftar pada kantor pendaftaran tanah.

d. Tanah yang diberikan kepada underneming

untuk emplasemen pabrik dan perumahan

pegawainya dengan hak konsensi, telah

berakhir perjanjiannya, sekarang diurus

pemerintah Daerah DIY.

e. Tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada

kerabat/sentono raja (tanah kesentanan).

f. Tanah yang diberikan karena jabatan para abdi

dalem sri sultan, seperti: Pepatih Dalem, Bupati

Nayoko, Bupati.

g. Tanah untuk buah-buahan, disebut tanah

kebonan,

h. Tanah untuk pembinaan agama islam,

dinamakan tanah mutihan (tanah untuk

mensucikan diri)

i. Tanah untuk pejabat yang berjasa, disebut

tanah pardikan (tanah pemberian karena jasa-

jasanya)

j. Tanah pekarangan untuk rakyat dalam kota

diberikan dengan hak anganggo.

k. Tanah untuk rakyat diluar kota, diberikan hak

anggarap melalui bekel dan patuh, sebagian

hasilnya dihaturkan kepada raja sebagai bulu

bekti,glendong pengarem-arem.

Maka mengingat besarnya arti historis dan

kemanfaatannya yang tinggi di kalangan

masyarakat Yogyakarta. Koversi tanah kerajaan

menuju tanah nasional yang dikuasai oleh negara

sepenuhnya menjadi terhambat. Dalam hal ini, ada

berbagai permasalahan yang tumpang tindih antara

status tanah yang belum sepenuhnya jelas maupun

hak pemakaiannya. Bagi pihak kraton, tanah jelas

sangatlah penting sebagai aset ekonomi dan aset

budaya yang telah berakar pada sejarah sehingga

masih resisten dengan penguasaan negara. Namun

di satu sisi pula, integrasi Yogyakarta kepada

Republik Indonesia juga harus dimaknai sebagai

bentuk afirmasi Yogyakarta kepada hukum agraria

nasional sehingga wajib melepaskan tanah kerajaan.

Maka dalam titik inilah, sebenarnya tanah sebagai

bagian dari keistimewaan menjadi lokus masalah

penting yang cukup pelik. Bahkan ada berbagai

pihak yang menilai bahwa keberadaan tanah

kerajaan yang berstatus sebagai Sultanaat Grond

maupun Pakualaman Grond sendiri adalah free rider

dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan keistimewaan

sendiri hanya cukup masalah budaya, tata ruang,

maupun penetapan saja. Agenda landreform

(mengganti hukum agraria kolonial dengan hukum

agraria nasional) perlu dikedepankan dalam sistem

pengaturan tanah di Yogyakarta.

C. Kontestasi Hukum Agraria dengan Hukum

Kraton

Sultan Hamengkubuwono IX sebenarnya

sudah menyadari arti kepemilikan hak milik bagi

masyarakat ketika mengintegrasikan diri dalam

wilayah republik. Hak milik sendiri bagi Sultan

adalah upaya memutus feodalisme yang berakar

dalam kultur masyarakat dengan memberikan

kebebasan bagi masyarakat melalui hak

kepemilikan tanah. Dalam aturan yang

dikeluarkannya Peraturan Daerah No.5 Tahun

1954 tentang Hak Tanah di Yogyakarta. Sultan

meniadakan hak keistimewaan kerajaan atas tanah

di Yogyakarta maupun wilayah luar dengan

menghapus Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 6jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23. Adanya hak

ngindung selama ini dipandang tidak memiliki

kepastian dan ketentraman hati bagi si pengguna

tanah karena traumatik atas aksi pengambilalihan

tanah secara paksa oleh otoritas kerajaan.

Meskipun pengunaan hak ngindung sendiri dapat

dilakukan secara turun-menurun, namun kerajaan

masih memegang hak milik atas status tanah

tersebut. Hal itulah yang kemudian direformasi oleh

Sultan Hamengkubuwono IX dalam pasal 4 ayat 4

dalam perda tersebut bahwa masyarakat dapat

melakukan sertifikasi hak milik atas tanah kerajaan

jika tanah tersebut sudah ditempati selama 20

tahun. Artinya tanah kerajaan baik itu Sultanaat

Grond maupun Pakualaman Grond bisa diakuisisi

masyarakat berdasarkan hukum nasional. Perda

No. 5 Tahun 1954 yang dikeluarkan oleh Sultan

Hamengkubuwono IX merupakan pionir dalam

pelaksanaan landreform di Indonesia sebelum

diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960. Sultan

paham betul bahwa redistribusi tanah secara adil

melalui sertifikasi hak milik merupakan sesuatu

yang esensial dalam hajat hidup orang banyak. Hal

inilah yang kemudian mendorong diterapkannya

reformasi agraria dengan menkonversikan tanah

kerajaan menjadi tanah privat. Selain masih

mempertahankan hak eigendom yakni hak milik

bersama bagi kepemilikan tanah komunal.

Peraturan yang dibuat oleh Sultan tersebut

sangatlah berani dan visioner. Berani dikarenakan

kerajaan harus merelakan keistimewaan ekonomi

yang dimilikinya atas persil-persil tanah tersebut

dengan meredistribususikan tanah secara komunal

kepada masyarakat luas. Visioner karena

feodalisme yang berujung pada sikap penghambaan

rakyat kepada rajanya harus direduksi karena baik

raja maupun masyarakat saling membutuhkan dan

berada dalam posisi yang setara.

Secara garis besar, peraturan tersebut memang

bagus, namun ada penggalan kekurangan yang

5 Gatot Murniatmo, Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 88.

6 Munsyariff, “Kebijakan Pengaturan Pertanahan di Yogyakarta”, paper presented at Focus Group Discution Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 23 Desember 2010

2928

Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34

Page 21: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

berada dalam aturan tersebut. Pemerintah daerah

sendiri masih memegang prinsip domeinverklairing

1918 yang mana dikatakan semua tanah yang tidak

bertuan dan tidak bisa dibuktikan secara hukum

maka otomatis akan diakuisisi oleh pemerintah.

Memang domeinverklaring tersebut dalam

peraturan daerah tersebut sudah mereduksi

pengaruh feodalisme kerajaan dalam hak milik

menjadi hak asal-usul atas tanah ulayat sehingga

kemudian membagi tanah di Yogyakarta menjadi

dua macam yakni tanah keprabon dan tanah non

keprabon. Masalahnya yang timbul kemudian

adalah adanya multintepretasi dalam memaknai

hak asal-usul tersebut sebagai bentuk klaim

sepihak kerajaan atas tanah berdasarkan histori.

Hal itulah yang kemudian menjadikannya sebagai

lokus permasalahan dengan hukum agraria

nasional.

Sejatinya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan

Keppres Nomor 33 Tahun 1984, membawa

konsekuensi bahwa semua tanah di wilayah

Propinsi DIY tunduk pengaturannya,

penggunaannya, peruntukannya, peralihan

ataupun kepemilikannya. Dalam Diktum IV UUPA

disebutkan bahwa tanah swapraja dan tanah eks-

swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya

UU ini hapus danmenjadi tanah negara yang akan

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Adapun dalam ketentuan perundangan lainnya

yakni Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961

mengatur penggunaan/pemanfaatan tanah-tanah

swapraja atau bekas swapraja yang hapus dan 7beralih kepada negara. Legitimasi kuat negara

melalui tanah-tanah kraton Yogyakarta sebagai

tanah eks swapraja dapat disimak dari pengaturan

lahan di Yogyakarta adalah terletak pada poin pasal

3 dalam UU Pokok Agraria yang berbunyi antara

lain:

“ bahwa pelaksanaan tanah ulayat dan hak

yang serupa dengan itu dari masyarakat –

masyarakat hukum adat sepanjang menurut

kenyataannya masih ada, harus sedemikian

rupa sehingga harus sesuai dengan

kepentingan nasional dan negara yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak

boleh bertentangan dengan Undang – undang

atau peraturan yang lebih tinggi lainnya.”

Artinya hak-hak tanah yang selama ini

bernuansa feodalisme sendiri dikonversikan

menjadi hukum nasional, misalnya saja:

a. Konversi Hak Anggaduh dan Anganggo menjadi

Hak Milik

b. Konversi Hak Andarbe Desa/Kalurahan

menjadi Hak Pakai

c. Konversi Hak Magersari/Ngindung dengan Hak

Sewa,

Oleh karena itulah, sebenarnya masih adanya

status Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond

sebenarnya tidak tersinkronisasi dengan UU Pokok

Agraria. Hal tersebut dapat disimak sebagai berikut ini:

1) Distorsi yang dimulai sejak pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria merupakan

pemicu awal dari munculnya hak-hak atas

tanah “melayang” yang terjadi sekarang ini.

Sandaran hukum adat yang menjadi titik berat

dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak

secara konsisten dijabarkan dalam pasal-

pasalnya. Terlihat dari masih diadopsinya

prinsip-prinsip hak atas tanah barat melalui

konversi hak atas tanah barat seperti Hak

Opstal menjadi Hak Guna Bangunan (HGB)

dan Hak Erfpacht menjadi Hak Guna Usaha

(HGU). Hal itu kemudian menjadi rancu bila

dipaksakan dalam tanah magersari itu sendiri

dikarenakan masyarakat Yogyakarta hanya

mengenal hak milik dan hak pakai. Hak milik di

sini kraton memiliki kepemilikan atas tanah

dan hak pakai dapat dijelaskan masyarakat

hanya diizinkan memakai tanah tersebut

hanya untuk tempat tinggal semata.

2) Undang-Undang Pokok Agraria ini bisa dibilang

sebagai undang-undang sektoral dan masih

ambigu dikarenakan posisi UU ini yang rentan

untuk dibajak dan dilangkahi oleh UU lainnya

semisal UU Pertambangan maupun UU

Eksplorasi Migas yang bisa menuntut warga di

sekitar area tambang tersebut untuk

menyerahkannya kepada negara atas nama

kesejahteraan umum dan itu pun tanpa harus 8melalui izin Undang-Undang Pokok Agraria.

3) Tanah Ulayat/adat sendiri teralienasikan

dengan berbagai peraturan penjelas maupun

peraturan pendukung dari Undang-Undang

Pokok Agraria maupun peraturan tersebut

sehingga masyarakat hukum adat sendiri

merasa termarjinalkan untuk menggunakan

tanah mereka sendiri dan apabila untuk

menggunakannya maka harus minta izin dulu

kepada negara.

Maka yang menjadi hal krusial dalam

menengahi dualism hukum agraria yang berada di

Yogyakarta adalah adanya konsensus bersama

terhadap intepretasi “hak asal-usul” maupun

“setifikasi hak milik”. Selama ini yang berkembang

dalam kontestasi penerapan hukum agraria melalui

UU Pokok Agraria dengan hukum agraria kerajaan

yang diatur dalam Surat Keputusan Kawedanan

Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo No.29/

dan No.K/81 selalu menimbulkan multiintepretasi

banyak pihak menyoal status tanah yang berada di

Yogyakarta. Adapun wacana yang berkembang

mengenai paradigma yang berkembang dalam

memaknai hak asal-usul sendiri dimaknai hak yang

berasal dari pengakuan sejarah bahwa semua

tanah di Yogyakarta sendiri adalah milik kerajaan

sebagai hak ulayat. Maka konteks tanah yang tidak

bertuan atau tidak bisa dibuktikan legalitas

hukumnya akan diakui sebagai tanah kerajaan.

Sedangkan pemahaman sertifikasi hak milik sendiri

dimaknai sebagai bentuk kepemilikan tanah

melalui hak milik setelah menempati tanah tersebut

selama 20 tahun. Kedua pemahaman tersebt

setidaknya saling berivalitas selama ini sehingga

sekiranya perlu dijernihkan pemaknaannya.

D. Multintepretasi atas “Hak Asal-Usul”

dengan “Sertifikasi Hak Milik” dalam

Dualisme Hukum Agraria di Yogyakarta

Yang perlu untuk dijernihkan pertama kali

mengenai kedua hal tersebut adalah status Daerah

Istimewa Yogyakarta sebagai kawasan swapraja

terleih dahulu. Status swapraja yang diberikan

pada Yogyakarta pada dasarnya merupakan

sebentuk kontral politik yang dilakukan oleh

Hamengku Buwono IX dengan ubernur Jendral

Tjarda van Sterkenborgh yang menghasilkan 59

pasal dan 16 ketentuan pokok, menghasilkan

ketentuan tentang kekuasaan Sultan yang bersifat

otonom dalam mengatur tanah miliknya sendiri

(tanah Kasultanan/Sultan Ground). Makna

swapraja yang ditekankan disini adalah perihal

suksesi kekuasaan di Yogyakarta yang

berlangsung secara turun-temurun. Adapun

ketentuan tersebut mengalami makna swapraja

dalam UU No.3 Tahun 1950 sendiri tidak

mengalami perubahan dimana status swapraja

masih diikutkan dalam UU tentang Pembentukan

Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

Adapun bagi Sultan Hamengkubuwono IX

selaku integrator Yogyakarta memaknai dimensi

keistimewaan hanya perihal suksesi kekuasaan

dalam kepala daerah semata dengan tujuan

eksistensi kraton dan pakualaman sebagai aset

penjaga budaya tidaklah hilang sama sekali.

Adapun mengenai peraturan pertanahan yang

berada dalam substansi Perda No 5 Tahun 1954

diatur dalam status tanah keprabon dan tanah non

keprabon. Artinya prinsip domeinverklairing 1918

yang termaktub dalam hak asal-usul sendiri lebih

pada pengaturan tanah keprabon tersebut dan

bukanlah merambah pula pada tanah keprabon

tersebut. Namun kemudian makna hak asal-usul

sendiri sering disalahtafsirkan sebagai pengakuan

hak atas tanah yang dinilai belum dilegalkan dan

tidak bertuan secara absolut menjadi milik

kerajaan. Kondisi itulah yang seringkali

menimbulkan adanya perasaan cemas jika adanya

pengambilalihan oleh pemerintaha dengan

mengatasnamakan kraton.

Sedangkan yang dimaksudkan sertifikasi hak

milik di Yogyakarta diatur dalam Kepres No.

33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5

Tahun 1984 menyebutkan bahwa UU Pokok Agraria

sendiri mulai diberlakukan di Yogyakarta pada 1

April 1984. Dalam ketentuan perda tersebut

disebutkan bahwa tanah-tanah kerajaan dapat

disertifikasi hak milik oleh masyarakat jika sudah

ditempati selama 20 tahun lebih, bahkan bisa dibeli

dengan mengajukan konsensi pembelian kepada 9Panitikismo terlebih dahulu. Namun demikian,

adanya praktik pembelian tanah secara besar-

besaran atas tanah Sultan sendiri dinilai akan

merugikan masyarakat kecil yang sudah

menempati tanah kerajaan tersebut selama

bertahun-tahun sehingga pada praktinya praktik

UU Pokok Agraria sendiri belum diberlakukan

dalam pengaturan tanah kerajaan. Namun dalam

perkembangan berikutnya, manakala kraton dan

pakualaman ditetapkan sebagai subjek hukum

dalam UU No.13 Tahun 2012 dinilai menyebabkan

kerancuan tersendiri. Rancunya ialah potensi

konflik pemakaian Sultanaat Grond maupun

penggusuran sepihak bisa dilakukan demi 7 Ibid, hlm. 14.8 Ni'matul Huda, 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DIY, Jurnal Hukum, No. 13 Vol 7, hlm. 90-106. 9 Ahmad Nashih Lutfhi, Keistimewaan Yogyakarta : Yang diingat dan Yang dilupakan, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 165.

3130

Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34

Page 22: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

kepentingan yang lebih besar. Sekali lagi hal

tersebut menunjukkan adanya ambiguisme antara

pemerintah dengan kerajaan dimana keberadaan

tanah kerajaan sendiri masih dianggap sebagai

persil ekonomi bagi kerajaan. Kondisi tersebut yang

kemdian dimanfaatkan oleh para kerabat keratin

dan pakualaman untuk berbisnis ekonomi dengan

menggunakan tanah kraton dengan menyaru

sebagai investor.

Maka jika dirunut lebih mendalam lagi,

dualisme hukum agraria di Yogyakarta lebih

disebabkan adanya prinsip hukum yang dinilai

masih mengambang dalam sistem agraria nasional.

Pertama, terdapat dua paradigma hukum yang

berlaku yakni Lex Specialis Derogat Legi Generalis

dalam ketentuan pasal 32 UU No.13 Tahun 2012

tentang status kraton dan pakualaman dan Lex

Superior Derogat Legi Inferiori dalam ketentuan

Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda

DIY No. 5 Tahun 1984. Dalam prinsip yang

pertama, UU No 13 Tahun 2012 sendiri dapat

dikatakan lex specialis karena adanya status

keistimewaan bagi provinsi DIY sehingga diberikan

kewenangan tersendiri tentang pembuatan sistem

politik dan hukum salah satunya adalah

pengaturan tanah dengan mengatasnamakan

keistimewaan. Namun pada saat yang bersamaan,

DIY sebagai bagian dari sistem NKRI juga

diberlakukan UU Pokok Agraria melalui Keppres No.

3/1984 dimana Pemerintah DIY wajib menaatinya

sebagai lex superior sehingga dalam peraturan

sistem agraria di Yogyakarta. Pokok substansi yang

mencolok dari UU PA ini adalah asas

domeinverklairing yakni pemerintah provinsi atas

nama pemerintah pusat bisa menganeksasi tanah-

tanah yang dinilai bermasalah dan tidak bisa

dibuktikan secara legal. Pemerintah provinsi wajib

melaksanakannya sebagai agen pemerintah pusat

di daerah dengan mengimplementasikan UU Pokok

Agraria tersebut. Hal inilah yang kemudian

membuat posisi pemerintah DIY dalam upaya

mengeksekusi tanah tak bertuan menjadi tidak

jelas apakah bertindak atas pemerintah pusat

ataukah kerajaan. Dari adanya ruang abu-abu

itulah, komersialisasi tanah kraton maupun penye-

lewengan tanah kraton marak terjadi di Yogyakarta

baik terselubung maupu legal-formal. Meskipun

tanah non keprabon sendiri berstatus independen

dari pengaturan kerajaan, namun bisa saja

pemerintah provinsi melakukan pengaturan tanah

tersebut dengan membonceng kepentingan pusat.

Selain halnya dualisme prinsip hukum yang

mebuat posisi status tanah di Yogyakarta

menjadi dalam posisi “ketidakpastian” dan

“ketidakjelasan”. Masalah lainnya yang perlu

dijernihkan adalah pola tumpang tindih dan

maupun klaim sepihak. Hal inilah yang sekiranya

m e m b u a t k o n f l i k a n t a r a p i h a k

kraton/pakualaman dengan masyarakat perihal

status tanah yang mereka tempati. Maka posisi

pemerintah ataukah kerajaan menjadi kabur di

sini dikarenakana tidak adanya posisi yang jelas

antara dua entitas tersebut. Bagi pihak yang

bersengkata dengan kraton terkait sengketa

tanah kerajaan bisa mendalilkan pasal 7 dalam

perda 5 tahun 1954 yang bisa melakukan

sertifikasi hak milik jika sudah menempati 20

tahun atau dibeli dengan harga pantas.

Sementara bagi pihak pemerintah/kraton,

sengketa tersebut merupakan bagian dari upaya

menghalang-halangi kraton dalam melakukan

inventarisasi tanah maupun pemerintah dalam

mengeksekusi tanah yang belum jelas statusnya

tersebut.

Tabel 1

Maka jika mencermati lebih lanjut mengenai

tabulasi konfl ik tanah kerajaan yang

berlangsung. Secara keseluruhan, konflik sendiri

berlangsung dalam tiga ranah antara

masyarakat, pemerintah, kraton sehingga sulit

dibedakan mana yang benar mana yang salah.

Dalam berbagai hal, masyarakat jelas berharap

adanya sertifikasi hak milik bagi tanah yang

dimilikinya agar terjadi kepastian hukum yang

mententramkan hati penggunannya. Namun di

sisi yang berlawanan, pemerintah jelas betindak

dalam upaya pentertiban tanah sekaligus pula

tetap menjaga sultanaat grond sebagai aset persil

ekonomi bagi kerajaan.

E. Kesimpulan

Adanya dualisme dalam penerapan hukum

agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah

membawa dampak pada ambiguitas dan

ambivalensi terhadapa otoritas regulasi agraria

daerah. Adapun ambiguitasnya terletak pada

multintepretasi terhadap pemaknaan “hak asal-

usul” maupun “sertifikasi hak milik” dalam

dualisme hukum agraria di Yogyakarta. Adanya hak

asal-usul tersebut memberikan kewenangan bagi

kraton untuk melakukan penataan dan

menginventarisasi kembali tanah keprabon dan

juga tanah non keprabon yang disinyalir dimiliki

secara tidak sah. Sedangkan sertifikasi hak milik

dimaknai sebagai bentuk demokratisasi agraria

dengan memberikan sertifikasi hak milik tanah

kepada masyarakat sesuai dengan agenda

landreform UU Pokok Agrarai. Ambivalensi dilihat

dari ketidakjelasan posisi pemerintah/kraton

dalam sistem regulasi tanah di Yogyakarta. Sebagai

bawahan pemerintah pusat, secara jelas

pemerintah provinsi harus melaksanankan agenda

reformasi agraria. Namun sebagai kraton,

pemerintah dihadapkan pada konflik kepentingan

mengingat banyaknya kepentingan baik internal

kerabat maupun pebisnis yang menaruh bisnisnya

ats tanah tersebut. Maka kondisi tersebut harus

segera diakhiri dengan menetapkan satu hukum

agraria saja yang berlaku di DIY dan membedakan

dengan jelas antara pemerintah dengan kraton

supaya tidak ada lagi konflik kepentingan atas

tanah-tanah tersebut.

Daftar Pustaka

Huda, Ni'matul. 2000, Beberapa Kendala dalam

penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja

di DIY. Jurnal Hukum.

Kusumaningrum, Mungki. 2004. Status atas Hak

Tanah Magersari di Yogyakarta. Tesis

Pascasarjana UNDIP.

Lutfhi, Ahmad Nashih. 2009. Keistimewaan

Yogyakarta : Yang diingat dan Yang

dilupakan, STPN Press, Yogyakarta. hlm. 165.

Munsyariff, 2010. Kebijakan Pengaturan

Pertanahan di Yogyakarta. Buletin BPN.

Murniatmo, Gatot.1989. Pola Penguasaan,

Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara

Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta,

Depdikbud, Jakarta. hlm. 88.

Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal,

Grasindo, Jakarta. hlm.16.

Sumardjono, Maria. 2008. Tanah dalam Perspektif

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Penerbit

KOMPAS, Jakarta. hlm. 165.

Wiradi, Gunawan. 2008. Dua Abad Penguasaan

Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di

Jawa Dari Masa Ke Masa, Penerbit Obor,

Jakarta. hlm.68.

3332

Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34

2003

Konflik Sultanaat Grond15 penghuni Asrama Gatitomo Tungkak dengan Kraton

2006Sengketa Pasir Besi diPakualaman Grond

PPLP dengan Pemerintah dan Kraton/Pakualaman

2008

Penyelewengan dankomersialisasi Sultanaat Grond di Ambarrukmo

ahli waris SultanHamengku Buwono VIIdengan pemerintah

2012Konflik Hak Guna Sultanaat Grond

Lima warga Suryowijayandengan Kraton/Pemerintah

2013Konflik eksekusi tanah di bekas bioskop Indra

Ahli waris dengan Pemerintah

2013Pembangunan Hotel Quest

Masyarakat denganpemerintah / kraton

Tahun Konflik Sengketa Tanah Aktor yang Berkonflik

Page 23: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

OPTIMALISASI PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS)

SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN

PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG

(OPTIMALIZATION OF THE PREPARATION OF THE NATIONAL LEGISLATION

PROGRAM (PROLEGNAS) AS A LAW-MAKING PLANNING INSTRUMENT)

Arrista Trimaya

Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan

Sekretariat Jenderal DPR-RI

Jl. Jenderal Gatot subroto, Jakarta 10270, Indonesia

Email: [email protected]

(Naskah diterima 06/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui.13/03/2014)

Abstrak

Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan

penyusunan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas antara

DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang

legislasi, sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan sebagai skala prioritas

program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang disusun untuk

jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas belum dijalankan

secara optimal, baik oleh DPR maupun oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya

sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi RUU tersebut

belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu menjawab alasan

mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas belum dapat

digunakan sebagai instrumen penyusunan Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas harus memuat

justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan beberapa indikator,

yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam

penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-undangan agar

penyusunan prolegnas sebagai instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi optimal.

Kata kunci: Prolegnas, instrumen, Undang-Undang, optimal.

Abstract

Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As an instrument for law-making planning, the Prolegnas is

arranged according to the plan, as well as integrated and systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas

between the House of Representatives and the Government is coordinated by the House of Representatives through a House

organ in charge with legislation. The preparation in the House of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg),

while in the Government, it is being coordinated by the Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia. Ideally,

the Prolegnas should serve as a priority in law-making for a forward looking on long, medium, and short terms national legal

system. However, both the House of Representatives and the Government have failed to fully consider Prolegnas as a

priority. There are some drafts in Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any Academic Manuscript

attachment, and worse, without proposed content of the bill. As a result, the House of Representatives and the Government

as the initiator of the bill are often facing a problem of reasons behind a needed bill to be drafted. This is why some thoughts

that Prolegnas can not deliver its function as an instrument for law-making planning. Therefore, the preparation of Prolegnas

must justify the real need of any bills and not merely listing the title of the bills, based on several indicators, such as the

benchmarks used in the preparation of Prolegnas, coordination between the Government and the House of Representatives

in preparation of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and political influences, especially in legislative politics

so that the preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making would be at its best.

Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.

3534

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34

Page 24: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

7 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2013.8 Suhariyono AR.,2007. Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm. 36.9 Ahmad Yani, 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104.10 Soetandyo Wignjosoebroto, 2008. Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Rakyat, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, 21-22 Mei, Jakarta, hlm.86.

1 Pataniari Siahaan, 2008. Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan Terarah Melalui Program Legislasi Nasional, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 71.2 Ibid, hlm 72.3 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.5 Ibid.6 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa materi yang diatur dalam Prolegnas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

A. Pendahuluan

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 kali

memberikan dampak yang sangat besar dalam

sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Perubahan tersebut secara khusus telah

menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang, yang sebelumnya berada di

tangan Presiden. Perubahan paradigma pemegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang pada

dasarnya menguatkan posisi DPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat, meskipun perubahan tersebut

tidak menghapus keberadaan Presiden untuk turut 1membentuk Undang-Undang.

Perubahan dalam sistem ketatanegaraan

negara Republik Indonesia membawa konsekuensi

bahwa DPR lebih proaktif dalam pembentukan

Undang-Undang, walaupun dalam prosesnya tetap

melibatkan Presiden melalui mekanisme

pembahasan untuk mendapatkan persetujuan 2bersama. Atas dasar kekuasaan signifikan

tersebut, DPR mempunyai fungsi legislasi, yaitu

fungsi membentuk Undang-Undang yang dibahas

dengan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 69

huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 3Perwakilan Rakyat Daerah.

Pembentukan Undang-Undang, baik yang

berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada

Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-4undangan mendefinisikan Prolegnas sebagai

instrumen perencanaan program pembentukan

Undang-Undang yang disusun secara terencana,

terpadu, dan sistematis.

Fokus utama Prolegnas tentu berkaitan juga

dengan salah satu elemen dari hukum, yaitu

materi/substansi hukum di dalam pembangunan

sistem hukum yang mencakup empat unsur atau

sub-sistem hukum yang satu sama lain saling

terkait, yaitu: (1) materi atau substansi hukum; (2)

sarana atau kelembagaan hukum; (3) aparatur

hukum; dan (4) budaya atau kesadaran hukum

masyarakat.

Perbedaan antara pengertian Prolegnas sebagai

instrumen dan substansi tersebut penting untuk 5dikemukakan. Hal ini disebabkan selama ini

pemahaman terhadap Prolegnas pada umumnya

cenderung pada pengertian materi/substansi.

Dengan demikian tidak mengherankan apabila ada

sebagian orang yang menganggap bahwa

sesungguhnya Prolegnas itu tidak penting karena

hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh

Kementerian/LPNK, padahal sesungguhnya yang

harus dikedepankan adalah kedudukannya sebagai

instrumen/mekanisme yang merupakan bagian

dari proses pembentukan peraturan perundang-

undangan. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang

dilakukan dalam Prolegnas.

Ketentuan mengenai Prolegnas juga diatur

dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, dan Rancangan

Peraturan Presiden. Secara garis besar dijelaskan

bahwa dalam mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang (RUU) yang datang dari Pemerintah, panitia

antarkementerian dan pemrakarsa dapat

mempersiapkan Naskah Akademik-nya terlebih

dahulu. Dalam rapat antarkementerian,

pemrakarsa dapat mengundang pakar, baik dari

perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah

RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan

kesempatan untuk mengadakan sosialisasi kepada

masyarakat. Sosialisasi dimaksudkan sebagai

perwujudan asas keterbukaan untuk mendapatkan

masukan atas substansi RUU.

Prosedur tersebut dalam praktiknya belum

sepenuhnya dijalankan, baik oleh Pemerintah

maupun oleh DPR. Hal inilah yang mengakibatkan

penyusunan RUU tidak optimal. Banyak judul RUU

yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya sekedar

dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan 6Naskah Akademik, bahkan substansi RUU tersebut

belum dipersiapkan. Pemrakarsa RUU sering tidak

mampu menjawab alasan mengapa suatu RUU

perlu dibentuk sehingga banyak kalangan menilai

Prolegnas hanya merupakan kumpulan daftar judul

RUU tanpa ada patokan yang jelas, baik dari

Pemerintah maupun DPR dalam menentukan RUU

yang menjadi prioritas.

Daftar judul RUU yang telah ditetapkan dalam

daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2013 adalah 70

(tujuh puluh) RUU ditambah 5 (lima) RUU 7kumulatif terbuka. Dari 75 daftar RUU yang telah

ditetapkan, terdapat judul RUU yang mempunyai

kemiripan substansi atau kedekatan substansi. Hal

ini terjadi karena tidak ada paparan atau

keterangan singkat mengenai masing-masing

substansi yang ingin diatur dalam setiap

Rancangan Undang-Undang yang ada dalam Daftar

Rancangan Undang-Undang Prolegnas 2013,

antara lain:

a. substansi pada judul Rancangan Undang-

Undang tentang Keperawatan seharusnya

dapat masuk dalam Rancangan Undang-

Undang tentang Tenaga Kesehatan; dan

b. substansi pada judul Rancangan Undang-

Undang tentang Percepatan Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Rancangan Undang-

Undang tentang Percepatan Pembangunan

Daerah Kepulauan seharusnya dapat

digabungkan dalam satu judul karena

substansi yang tercermin dari kedua judul

tersebut saling berkaitan.

Judul RUU yang mempunyai kemiripan

substansi atau kedekatan substansi tersebut dapat

menimbulkan masalah dan akan membingungkan,

terutama bagi pembentuk RUU terkait dengan

ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang 8akan diatur. Hal ini menunjukkan proses

penyusunan Prolegnas masih membuka peluang

terjadinya ketidaktelitian. Dengan demikian

menjadi sangat penting apabila penyusunan

Prolegnas tahun yang akan datang tidak memuat

judul RUU saja, tetapi juga mencantumkan

ringkasan need analysis atau justifikasi kebutuhan 9RUU, sehingga duplikasi dapat dihindarkan.

B. Latar Belakang Masalah

Untuk menyusun suatu Prolegnas yang

memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata

dan bukan hanya memuat judul RUU saja, harus

dicantumkan suatu kajian yang memuat ringkasan

kebutuhan tersebut berdasarkan beberapa

indikator. Beberapa indikator yang dapat

digunakan yaitu: apa saja tolok ukur yang

digunakan dalam penyusunan Prolegnas?

Bagaimana koordinasi antara Pemerintah dan DPR

dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas agar

dapat berfungsi optimal sebagai instrumen

perencanaan pembentukan Undang-Undang? dan

apakah ada pengaruh politik hukum, khususnya

politik perundang-undangan dalam penyusunan

Prolegnas.

C. Kerangka Teoritis

Hukum yang berisi norma-norma dan aturan-

aturan jika ingin ditaati oleh berbagai kepentingan

harus dapat diimplementasikan dalam hukum

positif yang berlaku dan harus direalisasikan di

lapangan. Aktualisasi dari hukum positif tersebut

tertuang dalam peraturan tertulis yang

mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait

agar dapat memaksimalkan manfat yang akan

diperoleh masyarakat. Khusus untuk Undang-

Undang, penuangannya dilakukan dalam bentuk

legislasi, dimana legislasi adalah suatu proses

pembentukan undang-undang (lege<lex), yang

dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara 10khusus untuk tujuan itu. Dalam hal ini badan

yang dimaksud adalah legislatif (DPR dan

Pemerintah).

Perencanaan penyusunan Undang-Undang

dilakukan dalam suatu Prolegnas. Prolegnas

merupakan instrumen perencanaan program

pembentukan Undang-Undang yang disusun

secara terencana, terpadu, dan sistematis yang

disusun berdasarkan metode dan parameter

tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi

pembangunan hukum nasional. Pembangunan

hukum nasional mengandung makna

3736

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - : 35 - 44Maret 2014

Page 25: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat

rekayasa sosial (law as a tool of social engineering),

instrumen penyelesaian masalah (dispute

resolution), dan instrumen pengatur perilaku 11masyarakat (social control).

D. Pembahasan

D.1.Tolok Ukur Dalam Penyusunan Prolegnas

Pembentukan Undang-Undang, baik yang

berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada

Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

menyatakan bahwa perencanaan program

pembentukan Undang-Undang disusun secara

terencana, terpadu, dan sistematis diatur dalam

Prolegnas. Lebih lanjut ketentuan Pasal 18

menyatakan bahwa dalam penyusunan Prolegnas

tersebut penyusunan daftar RUU didasarkan atas:

a. perintah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat;

c. perintah Undang-Undang lainnya;

d. sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. rencana pembangunan jangka panjang

nasional;

f. rencana pembangunan jangka menengah;

g. rencana kerja Pemerintah dan rencana

strategis DPR; dan

h. aspirasi kebutuhan hukum masyarakat.

Penyusunan Prolegnas didasarkan pada visi

pembangunan nasional, yaitu terwujudnya Negara

hukum yang adil dan demokratis melalui

pembangunan sistem hukum nasional dengan

membentuk peraturan perundang-undangan yang

aspiratif.

Sedangkan maksud dan tujuan penyusunan

Prolegnas yaitu:

a. memberikan gambaran obyektif tentang

kondisi umum di bidang peraturan perundang-

undangan tingkat pusat;

b. menyusun skala prioritas penyusunan RUU

s e b a g a i s u a t u p r o g r a m y a n g

berkesinambungan dan terpadu sebagai

pedoman bersama dalam pembentukan

Undang-Undang oleh lembaga yang berwenang

dalam rangka mewujudkan sistem hukum

nasional;

c. menyelenggarakan sinergi antara lembaga yang

berwenang membentuk peraturan perundang-

undangan di tingkat pusat;

d. mempercepat proses pembentukan

perundang-undangan sebagai bagian dari

pembentukan sistem hukum nasional;

e. membentuk peraturan perundang-undangan

sebagai landasan dan perekat bidang

p e m b a n g u n a n l a i n n y a , s e r t a

mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai

sarana rekayasa sosial/pembangunan,

instrumen pencegah/penyelesaian sengketa,

pengatur perilaku anggota masyarakat dan

sarana pengintegrasian bangsa dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

f. mendukung upaya dalam rangka mewujudkan

supremasi hukum, terutama penggantian

terhadap peraturan perundang-undangan

warisan kolonial dan hukum nasional yang

sudah tidak sesuai dengan perkembangan

masyarakat;

g. menyempurnakan peraturan perundang-

undangan yang sudah ada selama ini namun

tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

masyarakat; serta

h. membentuk peraturan perundang-undangan

baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan 12masyarakat.

Pelaksanaan Prolegnas sampai dengan tahun

2009-2014 belum menunjukkan hasi l

pembangunan hukum yang sesuai dengan harapan

dan rasa keadilan masyarakat. Hukum belum

secara sungguh-sungguh memihak kepada

kepentingan rakyat dan hukum yang berlaku masih

belum dapat mengimplementasikan nilai-nilai atau

norma-norma yang hidup di dalam masyarakat,

padahal sudah ada penentuan skala priotas dalam

Prolegnas. Dalam menyusun Prolegnas khususnya

di DPR yang dikoordinasikan oleh Baleg memang

sudah beberapa kali dilakukan Rapat Dengar

Pendapat Umum (RDPU) guna menerima masukan 1 3dari masyarakat. Meskipun demikian

sesungguhnya usaha tersebut jauh dari maksimal.

Partisipasi masyarakat dalam penyusunan

Prolegnas seharusnya lebih dari sekedar RDPU,

mengingat jika hanya melalui RDPU, batas waktu

yang diberikan bagi masyarakat untuk dapat

memberikan masukan sangat pendek. Hal ini

tentunya akan sangat berpengaruh terhadap

kualitas masukan/saran yang diberikan oleh

masyarakat kepada Baleg.

Prolegnas merupakan proses penting dalam

perencanaan penyusunan Undang-Undang.

Sebagai perangkat pengaturan legal–formal dalam

kehidupan bernegara, Undang-Undang seharusnya

dapat merespon kebutuhan masyarakat yang

mendesak. Terlebih lagi dalam konteks perbaikan

kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah

dilakukan di Indonesia. Undang-Undang

seharusnya dapat secara jeli membidik persoalan-

persoalan penting dalam masyarakat. Dalam

konteks ini, prioritas penyusunan Undang-Undang

menjadi hal yang strategis. Tidak adanya prioritas

yang jelas sejak awal akan membuat Undang-

Undang yang penting justru hanya mendapatkan

porsi waktu yang sedikit sehingga kualitas

substansinya menurun untuk tetap dapat

mengakomodasi aspirasi daerah.

Di samping itu, ketentuan Perpres Nomor 68

Tahun 2005 harus benar-benar dijalankan, yaitu

bahwa pengajuan Prolegnas jangan hanya judul-

judul saja, tapi juga harus dilengkapi dengan NA

s e b a g a i l a n d a s a n y a n g d a p a t

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini

dikuatkan dengan ketentuan Pasal 43 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan

bahwa RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau

DPD harus disertai Naskah Akademik. Kemudian,

jika dalam keadaan tertentu Pemerintah akan

mengajukan usul RUU di luar Prolegnas, maka

terlebih dahulu harus mengajukan izin prakarsa

kepada Presiden, dengan disertai penjelasan

mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:

a. urgensi dan tujuan penyusunan;

b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan

diatur; dan

14d. jangkauan serta arah pengaturan.

Sedangkan keadaan tertentu yang dimaksud

adalah:

a. untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-

Undang;

b. untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian

internasional;

c. untuk melaksanakan putusan Mahkamah

Konstitusi;

d. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan

konflik, atau bencana alam; dan

e. keadaan tertentu lainnya yang memastikan

adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang

dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan 15Menteri.

D.2.Koordinasi antara Pemerintah dan DPR

dalam Penyusunan Prolegnas

Sampai saat ini beberapa prosedur

penyusunan Prolegnas belum efektif berlaku. Hal ini

disebabkan karena:

a. penyusunan peraturan perundang-undangan

masih mengabaikan pentingnya kegiatan

koordinasi lintas atau antar-lembaga;

b. sinkronisasi, harmonisasi seluruh peraturan

perundang-undangan untuk membuka akses

dan meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pembentukan Undang-Undang; dan

c. kurangnya sosialisasi produk perundang-

undangan yang terbentuk dan telah 16diundangkan.

Berkaitan dengan harmonisasi masih terdapat

p e r m a s a l a h a n k h u s u s , m i s a l n y a

pengharmonisasian dalam kerangka penyusunan

Prolegnas sampai saat ini belum berjalan dan belum

terkonsepsi dengan jelas. Forum konsultasi sebagai

media pengharmonisasian RUU pada saat ini

dilaksanakan dalam bentuk rapat Pembahasan

Tahunan Prolegnas yang cenderung hanya 17menyusun daftar prioritas Prolegnas.

Di samping itu, terdapat permasalahan lain

yang sering timbul dalam penyusunan Prolegnas,

yaitu tidak semua RUU diajukan instansi

pemrakarsa melalui satu pintu, yaitu melalui

Menteri Hukum dan HAM. Terdapat beberapa RUU

yang tiba-tiba sampai ke DPR; sebagian RUU adalah

non-Prolegnas bahkan berhasil disahkan oleh DPR.

Setiap tahun terjadinya penambahan RUU prioritas

11 Jurnal Legislasi Indonesia, 2005. Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,, Vol. 2, Nomor. 1-Maret, hlm. iii.12 Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, 2008. Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 4. 13 Ketentuan mengenai RDPU diatur dalam Pasal 137 ayat (2) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

14 Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.15 Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.16 Penulis turut menjadi tim pendamping dalam pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan mendasarkan pada Risalah Pembahasan RUU dimaksud yang telah dibukukan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI dalam Buku Proses Pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.17 Chairijah, 2008. Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional. Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm 5.

3938

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44

Page 26: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

23 Satya Arinanto, 2007. Hukum Sebagai Produk Politik dan Politik Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.4.24 Rival Gulam Ahmad, Bivitri Susanti, et.al. 2007. Jurus Merancang Peraturan Untuk Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk Praktisi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 21.25 M.P. Jain, Administrative Law Of Malaysia and Singapore, 1989. Kuala Lumpur: Malayan Law Jurnal Pte. Ltd, dalam Satya Arinanto,2008. Politik Hukum 3, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.19.26 Satya Arinanto, Op.Cit., hlm. 6.27 Derick W. Brinkerhoff dan Benjamin L. Crosby, Managing Policy Reform, Concepts, and Tools for Decision Makers in Developing and Trasitioning Countries, 2002. Kumarian Press Inc., California, hlm. 55 dalam Bivitri Susanti, Rival Ghulam Ahmad, et.al., 2006. Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 59.

dari jumlah yang telah ditetapkan. Untuk keadaan

tertentu sebagaimana ditentukan oleh Pasal 23 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hal ini

diperbolehkan, misalnya untuk mengatasi keadaan

luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam, dan

keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya

urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat

disetujui DPR dan pemerintah.

Permasalahan lainnya adalah penyusunan

Prolegnas di lingkungan Pemerintah seringkali tidak

didukung oleh kelengkapan data pokok program

pengajuan RUU maupun data pendukung dari

Kementerian/LPNK yang mengajukan program

RUU-nya sehingga berakibat kurangnya akurasi

dalam pengelolaannya. Intinya, koordinasi dan

konsultasi penyusunan Prolegnas antara Badan

Legislasi dan Menteri Hukum dan HAM merupakan

suatu forum untuk membicarakan pembangunan

hukum dalam kurun waktu tertentu. Pada

kenyataannya, koordinasi dan konsultasi ini masih

bersifat menggabungkan antara RUU dari DPR dan

RUU dari Pemerintah. Dalam hal ini kondisi yang

dihadapi adalah adanya kesulitan untuk

menentukan alasan mengapa suatu RUU masuk ke

dalam Prolegnas.

Kesulitan yang paling tampak dalam koordinasi

penyusunan Prolegnas adalah menetapkan urutan

prioritas RUU untuk satu tahun. Penataan

Prolegnas berdasarkan urutan akan mengalami

kesulitan, pertama, terkait dengan indikator yang

akan digunakan dan, kedua, berhubungan dengan 18implementasi program. Dengan demikian dalam

menetukan prioritas RUU salah satu indikator yang

digunakan adalah bahwa RUU tersebut sudah

tersusun draf RUU-nya dan sudah dilengkapi

dengan Naskah Akademiknya. Sistem dan prosedur

semakin penting sebagai pedoman penyusunan

Prolegnas dan penyusunan RUU, baik di

lingkungan DPR maupun Pemerintah, yang

memuat tahapan penyiapan dan penyusunan

Prolegnas dan RUU, mulai dari kegiatan

inventarisasi, pengumpulan data, penyusunan draf

Prolegnas atau Naskah Akademik RUU, sampai

pada penetapan Prolegnas atau perumusan naskah 19 awal RUU.

Menurut penelitian yang dilakukan PSHK,

proses penentuan prioritas input penyusunan

Prolegnas lebih banyak diwarnai oleh daftar kriteria

topik tanpa penjelasan mengenai masalah yang ada,

signifikansi dan urgensi, pokok-pokok pengaturan,

dan ruang lingkup peraturan. Prosedurnya pun

biasanya berupa pengumpulan daftar usulan tanpa

pembahasan. Akibatnya seringkali daftar Undang-

Undang dalam Prolegnas tidak mempunyai visi,

yaitu ke arah mana negara mau dibawa dalam

konteks pembentukan peraturan perundang-

undangan. Padahal visi dalam pembentukan

Undang-Undang merupakan hal penting karena

kebanyakan perubahan sistemik dalam masa 20transisi dilakukan melalui Undang-Undang.

Dengan demikian untuk mengatasi berbagai

persoalan tersebut, mutlak diperlukan koordinasi

antara DPR dan Pemerintah dalam penyusunan

dan penetapan Prolegnas, khususnya dalam

penentuan RUU skala prioritas. Hal ini

dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih

dalam pengaturan materi muatan dari judul-judul

RUU yang sudah diajukan dalam Prolegnas.

Penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah

harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan

sistematis yang pelaksanaannya dikoordinasikan

oleh DPR melalui Baleg sehingga Prolegnas dapat

berfungsi optimal sebagai instrumen perencanaan 21pembentukan Undang-Undang.

D.3.Pengaruh Politik Hukum dalam Penyusunan

Prolegnas

Di masa orde baru, proses legislasi dijauhkan

dari masyarakat. Partisipasi tidak dikenal dalam

istilah penyusunan peraturan perundang-

undangan. Elite politik mendominasi proses

legislasi. Masyarakat diposisikan sebagai obyek

pembangunan, bukan pelaku perubahan sosial.

Hukum juga digunakan sebagai alat untuk

melakukan rekayasa sosial (law as a tool of social 22engineering), suatu perubahan sosial yang

dirancang penguasa untuk mencapai target

pembangunannya. Ketika hukum menjadi alat

rekayasa sosial, peraturan pun dilihat sebagai alat

untuk membentuk perubahan sosial tertentu yang

diinginkan penguasa.

Perancangan peraturan atau proses legislasi

mau tidak mau bertumpu pada visi pemegang

kekuasaan negara, bahkan mencari dan

mempertahankan kekuasaan pun menjadi

persoalan. Ini mewarnai proses legislasi dan

menjadikannya sebagai politik legislasi. Artinya

cara-cara pembentukan peraturan dengan sengaja

dipilih oleh penguasa. Cara-cara tersebut untuk

mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan oleh

penguasa. Akibatnya, peraturan bisa diarahkan

pada tujuan-tujuan tertentu.

Keadaan tersebut masih berlangsung sampai

era reformasi ini. Dalam penyusunan Prolegnas,

kerapkali dijumpai intervensi dalam penyusunan

dan pembuatan Undang-Undang dari segi politik.

Banyak RUU yang kental dengan muatan politik

lebih diutamakan untuk dibahas daripada RUU

yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

Misalnya, saat pembahasan RUU Pemilu dan RUU

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, lebih

banyak diminati oleh ”wakil rakyat” daripada saat

pembahasan RUU di bidang kesejahteraan rakyat.

Hal ini disebabkan dalam dua RUU tersebut banyak

kepentingan ”yang bermain” untuk mengatas-

namakan partai politiknya. Disini jelas terlihat

bahwa hukum sebagai produk politik, dalam arti

Undang-Undang yang dihasilkan nantinya

merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak 23politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.

Namun demikian, memang dibenarkan jika

politik dapat melakukan intervensi terhadap

pembentukan dan pelaksanaan hukum sebab

hukum bukanlah merupakan suatu subsistem

yang ster i l dar i subsistem-subsistem

kemasyarakatan lainnya. Khusus untuk politik

legislasi berkisar antara lain pada:

a. sasaran pengaturan;

b. peran elite politik;

c. peran masyarakat;

d. posisi perancang; dan

24e. metode perancangan peraturan.

Sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi

rakyat semakin berkembang. Keadaan ini juga

menciptakan kebutuhan akan legislasi. Hukum

diperlukan untuk mengambil tindakan apapun

yang mempengaruhi orang, badan, properti, atau

hak. Namun selain fungsi legislasi, fungsi lain juga

diperlukan, seperti melangsungkan debat pada

permasalahan-permasalahan kepentingan

nasional, mendiskusikan anggaran, ventilasi 25kepentingan publik, dan lain-lain.

Untuk meminimalisir intervensi politik dalam

produk legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan

konfigurasi politik demokratis, di mana dalam

susunan sistem politik membuka kesempatan bagi

partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif

menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini

ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil

rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan

diselenggarakan dalam suasana terjadinya 26kebebasan politik.

Konsep participary governance juga dapat

diterapkan dalam penyusunan Prolegnas yang

aspiratif. Masyarakat tidak semestinya berdiam diri

dan mengeluhkan pemerintahan yang tidak peduli

pada persoalan masyarakat. Masyarakat

mempunyai hak dan kewajiban untuk

menyampaikan pesan pada Pemerintah tentang

kebutuhannya, serta bagaimana Pemerintah

seharusnya memenuhi kebutuhan mereka

tersebut, lewat kebijakan yang diambil. Partisipasi

bertujuan memastikan keberhasilan pelaksanaan

suatu kebijakan. Meningkatkan partisipasi akan

membantu memastikan bahwa kepentingan

masyarakat dapat lebih besar terpenuhi dan dapat

menghasilkan titik temu antara kepentingan

tersebut dengan solusi yang diambil, yang pada

akhirnya meningkatkan kepuasan banyak pihak 27 akan suatu kebijakan.

E. Kesimpulan

1. Prolegnas harus disusun dengan tolak ukur

kebutuhan riil masyarakat dan harus

sungguh-sungguh memihak kepada

kepentingan rakyat pada umumnya. DPR dan

Pemerintah harus mempunyai jangkauan ke

18 Muhammad A.S Hikam, 2005. Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Program legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi Indonesia: Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,), Nomor 1 Vol. 2, Jakarta, hlm. 28.19 Ibid.20 Masukan PSHK Untuk Badan Legislasi DPR Dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR, November, 2004.21 Pasal 2 Perpres Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.22 Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound,seorang ahli Sosiologi hukum, menurutnya hukum merupakan alat dan sarana untuk merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat.

4140

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44

Page 27: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

depan (visioner) dalam pembuatan RUU,

maksudnya RUU yang disusun sedapat

mungkin akan mengimplementasikan nilai-

nilai atau norma-norma yang hidup di dalam

m a s y a r a k a t s e r t a m e n g a k o m o d i r

permasalahan di masyarakat. Dalam

pengajuan Prolegnas juga harus dilengkapi

dengan NA sebagai landasan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai

dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatkan bahwa

RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau

DPD harus disertai Naskah Akademik.

2. Koordinasi antara DPR dan Pemerintah dalam

penyusunan dan penetapan Prolegnas mutlak

diperlukan, khususnya dalam penentuan RUU

skala prioritas. Hal ini dimaksudkan agar tidak

terjadi tumpang tindih dalam pengaturan

materi muatan dari judul-judul RUU yang

sudah diajukan dalam Prolegnas. Penyusunan

Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah harus

dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan

s i s t e m a t i s y a n g p e l a k s a n a a n n y a

dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg

sehingga Prolegnas dapat berfungsi optimal

sebagai instrumen perencanaan pembentukan

Undang-Undang.

3. Pengaruh politik hukum, khusunya politik

perundang-undangan dalam penyusunan

Prolegnas, masih sangat kuat terutama dalam

penyusunan dan pembahasan RUU yang

kental dengan muatan politis. Namun, untuk

meminimalisir intervensi politik dalam produk

legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan

partisipasi rakyat dalam penyusunan Prolegnas

agar RUU yang dihasilkan dapat optimal untuk

menjawab kebutuhan masyarakat.

Daftar Pustaka

Buku

Ahmad, Rival Gulam. Bivitri Susanti, et.al. 2007.

Jurus Merancang Peraturan Untuk

Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk

Praktisi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan,

Arinanto, Satya. 2008. Politik Hukum 1. Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009. Evaluasi

Prolegnas 2005-2009. Jakarta: Badan

Legislasi DPR Republik Inndonesia.

Susanti, Bivitri. Rival Ghulam Ahmad, et.al. 2006.

Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR

2005. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum:

Paradigma, Metode, dan Dinamika

Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma.

Yani, Ahmad. 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi,

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Artikel

AR, Suhariyono. 2007. Peningkatan Kualitas

Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia. Jurnal Legislasi

Indonesia Vol.4 No.2, Jakarta: Direktorat

Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Departemen Hukum Dan Hak Asasi

Manusia.

Hikam, A.S Muhammad. 2005. Pembentukan

Undang-Undang Berdasarkan Program

legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi

Indonesia: Program Legislasi Nasional. Vol.

2, Nomor. 1-Maret, Jakarta: Direktorat

Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Departemen Hukum dan HAM RI.

Oka Mahendra, A.A. 2005. Program Legislasi

Nas iona l Ins t rumen Perencanaan

Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, dalam Jurnal Legislasi Indonesia:

Program Legislasi Nasional, Vol. 2, Nomor. 1-

Maret, Jakarta: Dierktorat Jenderal

Peraturan Perundang-undangan Departemen

Hukum dan HAM RI.

Siahaan, Pataniari. 2008. Membangun Kerangka

Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan

Terarah Melalui Program Legislasi Nasional.

Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas

Sebagai Politik Pembangunan Hukum

Nasional, Jakarta: Baleg DPR RI.

Thaib, Dahlan. 2008. Membangun Kualitas Produk

Legislasi Nasional dan Daerah. Proceeding

Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik

Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta:

Baleg DPR RI.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Program Legislasi

Nasional dan Kebutuhan Rakyat. Proceeding

Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik

Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta:

Baleg DPR RI.

Sumber Lain Yang Tidak Diterbitkan

Arinanto, Satya. 2008. Hukum Sebagai Produk

Politik dan Politik Hukum. Jakarta: Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Chairijah. 2008. Peran Program Legislasi Nasional

Dalam Pembangunan Hukum Nasional.

Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan

Perancangan Peraturan Perundang-

undangan Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia, Jakarta.

Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-

undangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia (MPR RI). Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27

T a h u n 2 0 0 9 t e n t a n g M a j e l i s

Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,

Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5043.

______Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan., Lembaran Negara Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 5234.

______Peraturan Presiden tentang Tata Cara

Penyusunan dan Pengelolaan Program

Legislasi Nasional. Perpres Nomor 61 Tahun

2005.

______Peraturan Presiden tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, dan Rancangan Peraturan

Presiden. Perpres Nomor 68 Tahun 2005.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Keputusan DPR tentang Program Legislasi

Nasional Rancangan Undang-Undang

Prioritas Tahun 2013. Keputusan DPR

Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013, Jakarta:

Sekretariat Jenderal DPR RI.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Keputusan DPR tentang Peraturan Tata Tertib

Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia. Keputusan DPR Nomor 08/DPR

RI/I/2005-2006, Jakarta: Sekretariat

Jenderal DPR RI.

4342

Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44

Page 28: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

1 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, hlm 64.2 Dionisius Narjoko, Policy Brief: Akibat Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen Indonesia. http://www.dlsu.edu.ph/research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects/_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf, diakses 27 Desember 2013.

MENDORONG LAHIRNYA PERATURAN DAERAH TENTANG

RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING

DI KOTA MEDAN

(ENCOURAGING THE BIRTH OF THE LOCAL REGULATION

ON RETRIBUTION FEES RENEWAL LICENSE

FOR HIRING FOREIGN WORKERS AT MEDAN CITY)

Budi S.P Nababan

Fungsional Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara

Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia, Telp. 0813-61459795

Email : [email protected]

(Naskah diterima 27/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran

tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal 150 huruf c

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan lzin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi perpanjangan izin mempekerjakan

tenaga kerja asing. Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi

Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap tenaga kerja asing tidak dapat dipungut

retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi

Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi perpanjangan

lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan.

Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan Daerah.

Abstract

Globalization has affected the work force condition. One of the conditions is the foreign workers phenomenon. The

attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue. Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on

Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15 paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2 on

Fees and Levies Traffic Control Extension License for Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal license

retribution for foreign workers. But until now Medan City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal License

for Hiring Foreign Workers, so that the foreign workers are free from retribution renewal. It is clear that the Local Regulation

on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal retribution collecting for

hiring foreign workers in Medan City.

Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.

berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi

penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar

negara. Pergerakan tenaga kerja antar negara ini 1dikenal dengan globalisasi tenaga kerja. Globalisasi

tenaga kerja telah mempengaruhi situasi

keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja di 2Indonesia. Di Indonesia kehadiran pekerja asing

sebagai suatu kebutuhan sekaligus tantangan yang

A. Pendahuluan

Secara harafiah globalisasi berarti proses

transformasi dari fenomena lokal menuju ke arah

global. Globalisasi telah mengubah masyarakat

dan jika masyarakat berubah, hukum pun akan

ikut berubah sesuai dengan adagium ibi societas

ibi ius.

Salah satu wujud nyata dari globalisasi adalah

terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke

4544

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44

Page 29: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

8 Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://www.m.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527514/, diakses tanggal 27 Januari 2014. 9 HR Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta, Restu Agung, 2008, hlm 322.10 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) secara khusus diatur dalam Kepmenekertrans Nomor 220 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengesahan RPTKA. RPTKA menjadi dasar untuk memperoleh IMTA. Adapun pengaturan IMTA diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20/Men/2004 Tentang Tata Cara Memperoleh IMTA dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 07/Men/2006 Tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh IMTA.

tidak dapat dihindari lagi, karena negara kita 3membutuhkan tenaga asing pada berbagai sektor.

Tenaga kerja asing (selanjutnya disingkat TKA)

sudah menjadi fenomena yang lumrah sebagai

bagian dari tenaga kerja di Indonesia. Pada akhir

tahun 2005 tercatat sebanyak 50.903 TKA yang

bekerja di Indonesia. Jumlah ini meningkat

dibandingkan pada tahun 2004 yang berjumlah

43.091 orang. Sebagian besar TKA tersebut bekerja

di sektor industri yaitu 13.212 orang (25,95 %),

sektor perdagangan sebanyak 9.817 orang (19,28

%) dan paling sedikit di sektor pertanian sebanyak

1.103 orang (2,17 %). Selanjutnya jumlah TKA atau

ekspatriat yang bekerja di Indonesia per Januari 4hingga Agustus 2013 sebanyak 48.002 orang.

Kehadiran TKA dalam perekonomian nasional

suatu negara mampu menciptakan kompetisi yang

bermuara pada efisiensi dan meningkatkan daya

saing perekonomian. Dipandang dari filosofis dan

spirit globalisasi, pada negara berkembang

penggunaan TKA dimaksudkan untuk alih

pengetahuan (transfer of knowledge) dan alih 5teknologi (transfer of technology) .

Dalam menggunakan TKA, Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4279) mensyaratkan pemberi

kerja TKA untuk mendapatkan izin tertulis dari

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau

Pejabat yang ditunjuk yaitu izin memperkerjakan

tenaga kerja asing yang dapat diberikan untuk

jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja

Asing (selanjutnya disingkat IMTA) ini sebenarnya

merupakan tambang emas bagi Pemerintah

Daerah. Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan

salah satu retribusi yang diperbolehkan Pemerintah

Pusat untuk dipungut oleh Pemerintah Daerah

dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli

Daerahnya.

Sebagai bagian dari negara hukum, tentunya

segala kebijakan dan tindakan Pemerintah Kota

Medan harus berdasarkan aturan hukum. Hal ini

menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak

maupun retribusi dari masyarakat, karena

pemungutan pajak dan retribusi tanpa didasari

aturan hukum merupakan perampokan. Di

Amerika Serikat dikenal dengan dalil “Taxation

Without Representation Is Robbery” sedangkan di

Inggris dikenal dengan dalil “No Taxation Without

Representation”.

Kedua dalil tersebut memiliki esensi yang sama

dengan kandungan Pasal 23A UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan

bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan Negara harus diatur

dengan undang-undang”. Sehingga berdasarkan

ketentuan Pasal 23A konstitusi ini, tanpa adanya

pengaturan (regeling) tidak ada landasan yuridis

bagi Pemerintah untuk memungut pajak ataupun

retribusi.

Cukup banyak orang asing yang bekerja di 6Kota Medan, namun sayangnya sampai sekarang

Kota Medan belum memiliki peraturan daerah

sebagai dasar hukum dalam pemungutan retribusi

perpanjangan IMTA. Padahal keberadaan para TKA

tersebut mampu memberikan kontribusi bagi kas

daerah Kota Medan.

Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji

mengapa diperlukan Peraturan Daerah Tentang

Retribusi Perpanjangan IMTA di Kota Medan. Dalam

hal ini penulis mengkajinya secara yuridis normatif

yang didasarkan pada sumber kepustakaan

mengenai penggunaan tenaga kerja asing,

pengaturan hukum terhadap tenaga kerja asing,

serta retribusi daerah.

B. Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang

Ketenagakerjaan menyebutkan TKA adalah warga

Negara asing pemegang visa dengan maksud

bekerja di wilayah Indonesia. TKA di Indonesia

dibatasi dan sangat selektif penggunaan. Hal ini

dimaksudkan dalam rangka mendayagunakan

tenaga kerja Indonesia secara optimal serta

memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi 7tenaga kerja Indonesia. Menurut Sunarno, Staf Ahli

Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga di

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, saat

ini komposisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah

adalah sebanyak 49% maksimal diisi oleh TKA, 8sisanya 51% diisi oleh TKI.

Tujuan penggunaan TKA adalah untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan

profesional di bidang tertentu yang belum dapat

diisi oleh tenaga kerja Indonesia serta mempercepat

proses pembangunan nasional dengan jalan

mempercepat alih ilmu pengetahuan dan tekonologi

dan meningkatkan investasi asing sebagai 9penunjang pembangunan di Indonesia.

Oleh karena itu, pada prinsipnya ada 2 (dua)

alasan utama mempekerjakan TKA, yakni:

a. TKA yang bersangkutan membawa modal

(sebagai investor) dalam rangka membuka

lapangan pekerjaan atau kesempatan kerja

yang lebih luas;

b. TKA yang akan dipekerjakan harus memiliki

keahlian (skill) atau wawasan pada bidang

tertentu yang belum dipunya atau dikuasai

oleh tenaga kerja Indonesia sehingga

diharapkan terjadinya alih pengetahuan

(transfer of knowledge) dan alih teknologi

(transfer of technology).

Dalam penempatan TKA di Indonesia, beberapa

yang penting yang harus diperhatikan adalah

sebagai berikut:

a. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan

tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis

dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk,

kecuali bagi perwakilan negara asing yang

mempergunakan tenaga kerja asing sebagai

pegawai diplomatik dan konsuler tidak wajib

memiliki izin.

b. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang

mempekerjakan tenaga kerja asing.

c. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di

Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk

jabatan tertentu dan waktu tertentu.

d. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja

asing harus memiliki rencana penggunaan 10tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri.

Untuk mendapatkan izin penggunaan TKA,

perusahaan pengguna TKA harus membuat lebih

dulu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing

(RPTKA). RPTKA adalah rencana penggunaan TKA

pada jabatan tertentu yang dibuat oleh Pemberi

Kerja TKA (kecuali Instansi Pemerintah, Badan-

Badan Internasional dan Perwakilan Negara Asing)

untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh

Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dengan kata

lain RPTKA merupakan dasar untuk mendapatkan

izin mempekerjakan tenaga kerja asing. RPTKA ini

sekurang-kurangnya memuat alasan penggunaan,

jabatan TKA, jangka waktu penggunaan, dan

penunjukkan tenaga kerja pendamping.

C. Pengaturan Hukum Terhadap Tenaga Kerja

Asing

Ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan,

pengaturan mengenai TKA pada dasarnya adalah

untuk menjamin dan memberi kesempatan kerja

yang layak bagi warga negara Indonesia di berbagai

lapangan dan level pekerjaan. Karenanya dalam

mempekerjakan TKA di Indonesia dilakukan

melalui mekanisme dan prosedur yang ketat

dimulai dengan seleksi dan prosedur perizinan

hingga pengawasan.

Sampai dengan sekarang pengaturan hukum

tentang TKA masih tersebar dalam berbagai

peraturan perundang-undangan. Beberapa

peraturan perundang-undangan tersebut yang

masih relevan antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan khususnya Bab VIII

menyangkut penggunaan TKA;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2012

tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan

Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

c. Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1995

tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga

Negara Asing Pendatang;

d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 223/Men/2003 tentang

Jabatan-Jabatan Di Lembaga Pendidikan Yang

Dikecualikan Dari Kewajiban Membayar

Kompensasi;3 Situasi Tenaga Kerja Dan Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia, Jakarta 2006, Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.4 Tahun 2013 Jumlah Pekerja Asing Di Indonesia Menurun. http://www.m.tribunnews.com, diakses tanggal 20 Januari 2014.5 Tim Perbankan dan Enquiry Point, Tenaga Kerja Asing Pada Perbankan Nasional. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 5, Nomor 3, Desember 2007, hlm 1.6 Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan sebanyak 148 pencari kerja pada tahun 2012 menyampaikan permohonan izin untuk menjadi tenaga kerja asing. Kota Medan Dalam Angka 2013, Badan Pusat Statistik Kota Medan.7 Penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4746

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - : 45 - 54Maret 2014

Page 30: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 228/Men/2003 tentang

Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan

Tenaga Kerja Asing;

f. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 20/Men/III/2004

tentang Tata Cara Memperoleh Ijin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;

g. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: No. 21/Men/IV/2004

tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Sebagai Pemandu Nyanyi;

h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 07/MEN/III/2006 juncto

Nomor: 15/MEN/2006 tentang Penyederhanaan

Prosedur Penerbitan Ijin Mempekerjakan Tenaga

Kerja Asing;

i. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 02/Men/XII/2004

tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial

Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing; dan

j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor: 02/Men/III/2008 tentang

Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Selain diatur dalam peraturan perundang-

undangan di bidang ketenagakerjaan, penggunaan

TKA juga harus memperhatikan peraturan lain

seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor

31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing

dan Tindakan Keimigrasian dan Peraturan Daerah

tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan

Tenaga Kerja Asing dimana TKA tersebut bekerja.

D. Retribusi Daerah Dalam Bingkai Otonomi

Daerah

Perkembangan masyarakat Indonesia di era

orde baru telah memberikan pengalaman yang

cukup berarti, antara lain kebijakan di daerah yang

diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan

“top down” sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan

di daerah, maka salah satu cara mengatasi

ketidaksesuaian antara kebijakan yang ditetapkan

pusat dengan kondisi daerah adalah harus segera

dibuat sebuah kerangka kebijakan yang sangat

strategis. Kerangka inilah yang dikenal dengan 11otonomi daerah.

Kerangka otonomi daerah telah disusun dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini

kemudian dilengkapi dengan sejumlah peraturan

turunannya telah membawa perubahan dalam

pelaksanaan tata kepemerintahan di daerah.

Pemerintahan daerah menurut Undang-Undang

tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan

DPRD, menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD

1945. Asas otonomi daerah ialah hak, wewenang dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan

perundang-undangan. Sedangkan tugas

pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah

kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah

provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa

serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa

untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dalam alam otonomi, Pemerintah Daerah

diberikan kesempatan agar berkembang sesuai

dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung

sepenuhnya pada Pemerintah Pusat. Selain itu

dalam otonomi daerah terjadi efisiensi alokasi arus

barang publik ke daerah, mendekatkan pelayanan

kepada masyarakat lokal guna mendorong

demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan

partisipasi masyarakat daerah.

Selanjutnya Pemerintah Daerah diberi

kewenangan membuat kebijakan untuk mengatur 12rumah tangganya sendiri (desentralisasi). Seiring

dengan kewenangan yang telah diberikan,

Pemerintah Daerah juga dibebani tanggung jawab

yang sangat besar dalam mengatur dan mengurus

rumah tangganya. Ini berarti Pemerintah Daerah

membutuhkan pendanaan yang sangat besar

dalam mendanai kelangsungan hidup daerahnya.

Untuk mendukung pendanaan atas urusan

Pemerintah Daerah, undang-undang tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Daerah telah menegaskan bahwa sumber-

sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan

daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana

Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain

pendapatan yang sah.

Pendapatan Asli Daerah merupakan

pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil

pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang

bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada

Daerah dalam menggali pendanaan dalam

pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan 13asas desentralisasi. Pendapatan Asli Daerah

antara lain berupa pajak daerah dan retribusi

daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber

pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah untuk meningkatkan dan

memeratakan kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan retribusi daerah, Undang-

Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

yang lama hanya mengatur prinsip-prinsip dalam

menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut

daerah, sehingga provinsi maupun kabupaten/kota

diberi kewenangan untuk menetapkan jenis

retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan

pemerintah. Pemberian peluang Pemerintah Daerah

untuk menetapkan retribusi selain yang telah

ditentukan dalam peraturan pemerintah pada

awalnya diharapkan agar dapat meningkatkan

penerimaan daerah, namun kenyataannya hampir

semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah

memberikan dampak yang kurang baik terhadap

iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang

mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena

tumpang tindih dengan pungutan pusat dan 14merintangi arus barang dan jasa antar daerah.

Menyadari bahwa kewenangan perpajakan dan

retribusi yang ada saat itu kurang mendukung

pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Pusat

menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dengan

tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan kewenangan yang lebih besar

kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi

sejalan dengan semakin besarnya tanggung

jawab Daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat.

2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam

penyediaan layanan dan penyelenggaraan

pemerintahan dan sekaligus memperkuat

otonomi daerah.

3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha

mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan

sekaligus memperkuat dasar hukum

pemungutan pajak daerah dan retribusi

daerah.

Lahirnya Undang-Undang tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah yang baru tersebut

juga diikuti dengan sejumlah peraturan pelaksana

seperti Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun

2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas

dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan

Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 216, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5358).

Bahkan beberapa Pemerintah Daerah telah

merespons ketentuan Pasal 150 huruf c Undang-

Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang

Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi

Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja

Asing dengan membentuk Perda tentang Retribusi

Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja

Asing, seperti Provinsi Bali, Kabupaten Muara

Enim, Sumatera Selatan dan Kota Batam.

E. Pembentukan Perda Tentang Retribusi

Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga

Kerja Asing Di Kota Medan

Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh

Pemerintah Daerah sebagaimana yang

diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (6) UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

11 Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku, Yogyakarta, 2000, hlm 139-140. 12 Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi, yakni:

a. Memberikan peluang akses bagi Daerah setidaknya terhadap ketersediaan anggaran dalam APBN dan optimalisasi penerimaan Daerah;

b. Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berada pada posisi yang relatif lebih baik daripada Pemerintah Pusat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas perpajakan pada sektor tertentu bagi perekonomian daerah;

c. Daerah dapat membantu meningkatkan mobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah sejalan dengan meningkatnya penerimaan perpajakan nasional.

Jusuf Anwar, Tantangan Implementasi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah. Makalah Seminar Program Magister Ekonomika UGM, Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta, 4 Juni 2005, hlm 5.

13 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).

4948

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54

Page 31: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

masyarakat, mengingat retribusi perpanjangan IMTA

sebelumnya merupakan pungutan Pemerintah Pusat

berupa PNBP yang kemudian menjadi retribusi

daerah. Selain itu tarif retribusi perpanjangan IMTA

yang akan ditetapkan berdasarkan tingkat

penggunaan jasa dan tidak melebihi tarif PNBP

perpanjangan IMTA yang berlaku pada kementerian

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang ketenagakerjaan. Pemanfaatan penerimaan

retribusi perpanjangan IMTA diutamakan untuk

mendanai kegiatan pengembangan keahlian dan

keterampilan tenaga kerja lokal yang alokasinya

ditetapkan melalui APBD.

Namun sayangnya pihak eksekutif maupun

pihak legislatif Kota Medan sepertinya belum

menyadari sepenuhnya potensi ini. Padahal Kota

Medan sebagai kota terbesar ke tiga di Indonesia

memiliki cukup banyak orang asing yang memohon

izin untuk bekerja seperti yang tersaji pada Tabel 1

dibawah ini.

Tabel 1Pemohon Izin TKA Tahun 2012

15 Refly Harun, Mempertimbangkan Hak-hak Konstitusional Warga Negara dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang 21-22 Februari 2005, hlm. 8.16 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm.7. 17 Buchari Zaenun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5.18 Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); “Jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Retribusi Jasa Umum:

1. Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;

2. jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;

3. jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;

4. jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;

5. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;

6. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; dan

7. pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.

b. Retribusi Jasa Usaha:

1. Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan

2. jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.

c. Retribusi Perizinan Tertentu:

1. perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;

2. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan

3. biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan; ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

19 Adapun proses perpanjangan IMTA adalah sebagai berikut:

pembentukan Perda. Meskipun demikian, bukan

berarti dalam pembentukan perda mengabaikan

hak-hak masyarakat, Pemerintah Daerah terikat

oleh rambu-rambu hukum tertentu, yang tidak lain

sesungguhnya merupakan hak konstitusional 15 warga negara.

Suatu perda merupakan refleksi dari suatu

kebijakan (political will) yang ditindaklanjuti dengan

proses pembuatan keputusan (policy making) dan

proses pembuatan ketentuan hukum (law making

process). Proses pembuatan suatu perda tidak bisa

dilakukan oleh eksekutif saja namun harus

melibatkan lembaga legislatif. Oleh karenanya para

pembuat kebijakan (policy makers) dan pembuat

perda (law makers) baik di eksekutif maupun di

legislatif perlu memiliki pemahaman yang baik atas 16permasalahan yang dihadapi di daerah.

Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat

penting artinya sebab Perda merupakan

konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya 17sendiri.

Selain membentuk Perda dalam melaksanakan

otonomi, Pemerintah Daerah mempunyai

kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan

Asli Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 150

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang 18Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , jenis Retribusi

Daerah dapat ditambah sepanjang memenuhi

kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang.

Salah satu retribusi daerah yang dapat

ditambah adalah retribusi perpanjangan IMTA yang

tergolong dalam retribusi perizinan tertentu.

Kewenangan Pemerintah Daerah untuk memungut

retribusi perpanjangan IMTA mulai diberlakukan

sejak tanggal 1 Januari 2013 sesuai dengan

ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tentang

Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi

Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja

Asing. Hal ini untuk memberikan kesempatan

kepada daerah mempersiapkan kebijakan daerah

dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka

pelaksanaan pemungutan Retribusi Perpanjangan

IMTA.

IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau

Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja Tenaga

Kerja Asing. Adapun yang dimaksud dengan

Perpanjangan IMTA adalah izin yang diberikan oleh

gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang

ditunjuk kepada pemberi kerja tenaga kerja asing

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-19undangan. Sedangkan Retribusi Perpanjangan

IMTA adalah pungutan atas pemberian

perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga

kerja asing.

Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA di

Kota Medan relatif tidak akan menambah beban bagi

Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2013.

Untuk tahun 2013 sendiri menurut Kepala

Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri

Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, ada

sekitar 350 orang jumlah tenaga kerja asing yang

melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota

Medan. Mereka yang melapor tersebut di antaranya

berkewarganegaraan Malaysia, RRC, dan Jerman.

Sebagian besar di antaranya bekerja sebagai

pendidik karena kebanyakan perusahaan dan

l embaga pend id ikan jasa par iw isa ta

mempekerjakan ekspatriat untuk meningkatkan

kualitas lulusan ataupun karyawannya. Selain itu

ada juga yang bekerja sebagai general manager di

hotel atau restoran, atau juru masak sejenis koki,

chef, dan pastri. Ada juga yang bekerja di

perusahaan perkebunan. Mayoritas TKA berjenis

kelamin laki-laki dan rata-rata berusia diatas 30 20tahun.

Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA

dapat menambah pundi-pundi kas daerah Kota

Medan. Namun karena tidak adanya perda yang

mengatur hal tersebut maka TKA tidak bisa

dikenakan retribusi perpanjangan izin IMTA dan

menimbulkan kesan bagi masyarakat bahwa TKA

tidak mempunyai kontribusi terhadap pendapatan

daerah Kota Medan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi

Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Dinas Sosial

dan Tenaga Kerja Kota Medan mengatakan bahwa

kebanyakan TKA selama ini membayar biaya

perpanjangan izin dana pengembangan

keterampilan dan keahlian (DPKK) langsung kepada

Pemerintah Pusat, sedangkan ke kas Pemerintah

1) Dalam hal pemberi kerja TKA akan memperpanjang IMTA, maka harus mengajukan permohonan perpanjangan kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota;

2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh :

a. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.

b. Gubernur atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

c. Bupati/Walikota atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh ) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir.

4) Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan:

a. Copy IMTA yang masih berlaku;

b. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;

c. Copy polis asuransi;

d. Pelatihan kepada TKI pendamping;

e. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan

f. Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap, maka Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan IMTA paling lama 3 (tiga) hari kerja.

Adapun IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.20 Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan Berprofesi Sebagai Pendidik, http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/, diakses tanggal 19 Januari 2014.

No. Lapangan Usaha Laki-laki

Perempuan

Jumlah

2 3 4 5

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan

1

-

1

Pertambangan dan Penggalian 1 - 1

Industri Pengolahan 35 1 36

Listrik, Gas, dan Air -

-

-

Bangunan - - -

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 15 3 18

Angkutan, pergudangan, dan komunikasi

1 1 2

Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan/Tanah, dan Jasa Keuangan

2 - 2

Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan

38 50 88

Total 93 55 148

5150

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54

Page 32: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

21 Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi, http://www.m.koransindo.com, diakses tanggal 20 Januari 2014. 22 Menanggapi Program Legislasi Daerah ini, Budiman Panjaitan, Ketua Badan Legislasi DPRD Medan, menjelaskan tidak bisa memastikan kapan ke 12 Ranperda tersebut bisa selesai dibahas dan disahkan menjadi Perda. Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan, http://www.suaranasionalnews.com/?p=37765. diakses tanggal 20 Januari 2014.

Kota tidak ada. Berdasarkan DPKK, biaya

perpanjangan izin TKA sebesar USD 1.200 per

tahun. Seharusnya ketika masa izin habis maka

TKA tersebut memperpanjang izin ke dinas tenaga 21 kerja di tempatnya bekerja.

Solusi terhadap persoalan tersebut adalah

dengan membentuk Perda tentang Retribusi

Perpanjangan IMTA. Sebenarnya Pemko Medan

tahun 2013 telah mengusulkan Ranperda tentang

Retribusi Perpanjangan IMTA kedalam Program

Legislasi Daerah Tahun 2013, namun disayangkan

hingga akhir tahun 2013 ranperda ini belum selesai

dibahas. Kemudian pada tanggal 9 Januari 2014

DPRD Kota Medan telah menetapkan Program

Legislasi Daerah Tahun 2014 yang memuat 24 (dua

puluh empat) usulan ranperda yang terdiri dari 24

ranperda (12 ranperda di antaranya sisa masa kerja

2013 dan 12 ranperda lainnya merupakan usulan

baru dari Pemko Medan). Ke 12 ranperda sisa masa

kerja 2013 tersebut sudah diajukan Pemko Medan,

salah satunya adalah Ranperda tentang Retribusi 22Perpanjangan IMTA.

Sudah menjadi rahasia umum jika tahun 2014

ini merupakan tahun politik, di mana anggota

DPRD disibukkan dengan urusan kampanye untuk

mencalonkan diri kembali sebagai anggota legislatif

baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun

pusat. Namun demikian bukan berarti DPRD harus

melalaikan tugasnya di bidang legislasi. Ranperda

tentang Retribusi Perpanjangan IMTA haruslah

menjadi skala prioritas untuk dibahas dan

ditetapkan menjadi Perda Kota Medan mengingat

potensi TKA yang bekerja di Kota Medan.

F. Penutup

Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk

memungut Retribusi Perizinan Tertentu selain yang

telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, yang salah satunya adalah Retribusi

Perpanjangan IMTA.

Kota Medan sebagai salah satu daerah yang

memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi belum

memiliki payung hukum untuk memungut retribusi

tentang perpanjangan IMTA, sehingga sudah

sewajarnyalah membentuk Perda Retribusi tentang

Perpanjangan IMTA. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun

2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas

dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan

Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa

Perda Kota Medan tentang Retribusi Perpanjangan

Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio

sine qua non bagi pemungutan retribusi

perpanjangan IMTA.

Daftar Pustaka

Buku

Abdussalam, HR. 2008. Hukum Ketenagakerjaan.

Jakarta: Restu Agung.

Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

R.I. 2006. Situasi Tenaga Kerja Dan

Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia.

Jakarta.

Kairupan, David. 2013. Aspek Hukum Penanaman

Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Syaukani. 2000. Menatap Harapan Masa Depan

Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gerbang

Dayaku.

Siregar, Mahmul. 2008. Kepastian Hukum Dalam

Transaksi Bisnis Internasional dan

Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di

Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Volume 27

Nomor 4.

Tim Perbankan dan Enquiry Point. 2007. Tenaga

Kerja Asing Pada Perbankan Nasional.

Bu l e t in Hukum Pe rbankan dan

Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3,

Desember.

Zaenun, Buchari. 1990. Administrasi dan

Manajemen Pemerintah Negara Indonesia

Menurut Undang-Undang Dasar 1945.

Jakarta: Haji Mas Agung.

Makalah

Anwar, Jusuf. Tantangan Implementasi Undang-

Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam

Membangun Ekonomi Daerah. Makalah

Seminar Program Magister Ekonomi UGM,

Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta 4 Juni

2005.

Harun, Refly. Mempertimbangkan Hak-Hak

Konstitusional Warga Negara Dalam

Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert

Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat

dalam Proses Penyusunan Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang

21-22 Februari 2005.

Internet

Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah

Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan,

http://www.suaranasionalnews.com/?p=37

765. diakses tanggal 20 Januari 2014.

K o t a M e d a n D a l a m A n g k a 2 0 1 3 ,

http//:www.medankota.bps.go.id, diakses

tanggal 23 Januari 2014.

5352

Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54

Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan

B e r p r o f e s i S e b a g a i P e n d i d i k ,

http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/,

diakses tanggal 19 Januari 2014.

Narjoko, Dionisius. Policy Brief: Menanggapi Akibat

Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja:

Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen

Indonesia, http://www.dlsu.edu.ph/

research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects

/_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf,

diakses 27 Desember 2013.

Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing,

http://www.m.tempo.co/read/news/2013/1

1/06/090527514/, diakses tanggal 27

Januari 2014.

Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi,

http://www.m.koransindo.com, diakses

tanggal 20 Januari 2014.

Page 33: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

KRITERIA UNSUR KEGENTINGAN YANG MEMAKSA

DALAM PENERBITAN PERPPU

(THE CRITERIA OF EMERGENCY CONDITION FOR MAKING PERPPU)

Janpatar Simamora

Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

Jln. Sutomo No. 4A Medan 20234, Indonesia

E-mail: [email protected](Naskah diterima 11/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden

berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang cukup

kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada pengaturan lebih

lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang memaksa”. Kondisi

ini cukup berpotensi menimbulkan penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif. Kriteria suatu kondisi

yang dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut pandang yang

dipergunakan oleh seorang presiden. Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan

yang harus terikat dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka meminimalisasi

dominasi pertimbangan subjektif presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam penerbitan Perppu, maka

sangat diharapkan agar mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu Perppu dapat berlangsung secara

objektif. Dengan demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa kriteria kegentingan yang memaksa sebagai

syarat mutlak penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan subjektif Presiden.

Kata kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden.

Abstract

Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the

president has the right to assign Perppu (Government Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu has a

strong foundation in Indonesian constitutional system. However, until today there is no further adjustment of the criteria or

what elements are included in the category of "emergency condition". This could potentially lead to the issuance of Perppu by

the president to be very subjective. Criteria for a condition that can be categorized as an emergency condition are highly

dependent on the president's view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations that is bound by the principles of

law making. In order to minimize the dominance of the subjective considerations and potential presidential power

irregularities in the issuance of Perppu, it is expected that the political mechanism in Parliament in the framework of the

discussion perppu can take place objective. Thus, it will ultimately be able to be evidenced that emergency condition criteria

that force as an essential condition in publishing Perppu is not solely based on the subjective judgment of the president.

Keywords: Perppu, emergency criteria, president's right.

A. Pendahuluan

Setelah cukup lama menuai perdebatan di

tengah-tengah publik, akhirnya Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sah

menjadi undang-undang setelah mendapat

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Perppu ini sendiri ditetapkan di Yogyakarta pada 17

Oktober 2013 oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal yang

sama. Dilihat dari proses awal pembentukannya,

Perppu ini dianggap sebagai jalan penyelamatan

terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang

belakangan mengalami ketergerusan wibawa dan

kepercayaan publik, khususnya pasca

terbongkarnya dugaan kasus suap yang melibatkan

mantan Ketua MK, Akil Mochtar.

Sebagaimana disebutkan Janpatar Simamora

dalam tulisannya yang berjudul “Integritas MK

Tumbang” di Koran Jakarta, edisi Senin 07 Oktober

2013 bahwa mencuatnya aksi operasi tangkap

tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) di rumah dinas Ketua MK pada Rabu malam,

02/10/2013, menjadi sejarah baru dalam

perspektif pembongkaran kasus suap yang

melibatkan petinggi negara selevel pimpinan

lembaga tinggi negara. Dalam aksi KPK itu, Akil

5554

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54

Page 34: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Mochtar tertangkap basah bersama Chaerunisa,

politisi sekaligus anggota DPR dari Fraksi Partai

Golkar serta seorang pengusaha. Mereka terseret

dalam arus penangkapan yang sedang digulirkan

KPK karena diduga sedang melakukan transaksi

penyerahan sejumlah uang terkait dengan sengketa

pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan

Tengah. Jujur harus diungkapkan bahwa

tertangkapnya Akil Mochtar yang tidak lain adalah

pimpinan tertinggi di MK ketika itu telah

menggemparkan dunia peradilan negeri ini.

Tidak hanya itu, kasus suap yang paling

menggemparkan ini juga telah menumbangkan

marwah MK yang selama ini dikenal publik sebagai

lembaga yang masih bersih dan jauh dari noda liar

penelikungan hukum. Dunia penegakan hukum

benar-benar telah terjerembab dalam suasana duka

yang cukup mendalam dan akan sulit dipulihkan

pada kedudukan semula. Persepsi sejumlah pihak

selama ini yang menempatkan MK sebagai lembaga

peradilan yang (cukup) bersih dan memberikan

banyak harapan bagi para pencari keadilan,

ternyata tidak jauh beda dengan lembaga peradilan

lainnya. Bahkan, persoalan suap yang melibatkan

Ketua MK kala itu seolah telah “berhasil”

memutarbalikkan harapan publik selama ini.

MK yang kerap didengungkan dengan

pernyataan “masih bersih” ternyata sangat

berseberangan dengan fakta yang sesungguhnya.

Kalau sudah demikian, barangkali pernyataan yang

jauh lebih relevan untuk digulirkan adalah

mungkin “MK masih kotor”. Kekotoran tersebut

justru langsung menancap di pusaran kekuasaan

lembaga peradilan yang merupakan lembaga yang

dibidani melalui reformasi konstitusi (constitution

reform) itu. Sang pengawal konstitusi itu ternyata

tidak jauh bedanya dengan sejumlah oknum

penegak hukum yang begitu mudah menggadaikan

sumpah jabatan dengan segepok materi yang

disuguhkan oleh mereka-mereka yang hendak

meruntuhkan wibawa penegakan hukum demi

memenuhi hasrat pribadi dan golongannya.

Kondisi itulah yang kemudian membuat

pemerintah mengambil langkah hukum dalam

bentuk penerbitan Perppu. Versi pemerintah kala

itu, bahwa pasca tertangkapnya Akil Mochtar oleh

KPK dalam dugaan kasus suap telah menimbulkan

suatu kondisi kegentingan di tengah-tengah

kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya

kegentingan dalam bidang dunia peradilan. Wibawa

MK yang sebelumnya begitu kukuh sebagai

lembaga peradilan yang dipersepsikan publik masih

bersih, ternyata dalam sekejap melorot drastis dan

menimbulkan guncangan kepercayaan publik

terhadap lembaga pengawal konstitusi itu.

Namun demikian bahwa belakangan, cukup

banyak pihak yang mempersoalkan urgensi

penerbitan Perppu kala itu. Pasalnya, tidak

ditemukan adanya unsur kegentingan yang

memaksa sebagai syarat utama dalam penerbitan

Perppu. Kasus yang mendera mantan Ketua MK,

Akil Mochtar dipersepsikan tidaklah dapat

dikategorikan sebagau suatu kondisi yang

berdampak pada keadaan bangsa dan negara

dalam situasi kegentingan yang memaksa. Oleh

sebab itu, semestinya tidak relevan jika bila

kemudian persoalan itu dijadikan dasar dalam

penerbitan sebuah Perppu. Polemik itupun pada

akhirnya berujung pada langkah pengajuan judicial

review ke MK atas Perppu dimaksud. Namun

sayangnya kemudian, berhubung karena Perppu

dimaksud sudah disahkan menjadi undang-1undang , maka MK menyatakan bahwa

permohonan pemohon tidak dapat diterima karena 2sudah kehilangan objek.

Sebenarnya dalam catatan historisnya, jauh

sebelum keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2013

itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah

beberapa kali mengeluarkan produk hukum yang

bernama Perppu. Dalam kurun waktu sejak Susilo

Bambang Yudhoyono menduduki jabatan sebagai

presiden hingga tahun 2010, setidaknya tercatat 3sudah 16 Perppu yang telah diterbitkan. Dari

sekian banyak Perppu dimaksud, selalu saja

diwarnai dengan ragam kritikan yang pada intinya

hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak

cukup alasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan

Perppu. Sejumlah dasar yang dijadikan Presiden

dalam penerbitan sejumlah Perppu selama ini

selalu diklaim sejumlah kalangan tidak cukup

memadai untuk dikategorikan sebagai suatu

kondisi “kegentingan yang memaksa” sebagai

landasan utama dalam penerbitan sebuah Perppu.

Ketidakjelasan parameter noodverordenings

dalam Perppu telah mengundang perdebatan

hangat di masyarakat. Parameter 'kegentingan yang

memaksa' merupakan parameter yang subjektif

yang ditentukan Presiden. Karena subjektif itulah,

frasa 'kegentingan yang memaksa' menjadi kabur

dan dapat dimultitafsirkan serta berpotensi menjadi

alat presiden untuk melanggengkan kekuasaannya.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk

menelaah apa sebenarnya tujuan dari Pasal 22

UUDNRI Tahun 1945 yang memberikan payung 4hukum untuk pembentukan Perppu. Apa pula

sesungguhnya kriteria unsur “kegentingan yang

memaksa”?. Mengapa penerbitan Perppu selama ini

begitu sering memunculkan silang pendapat di

tengah-tengah publik?. Hal inilah yang akan

menjadi objek bahasan pada bagian berikutnya

dalam tulisan ini.

B.1.Landasan Konstitusional Pembentukan

Perppu

Dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia, keberadaan Perppu cukup mendapat

landasan konstitusional yang memadai sebagai

sebuah produk hukum. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945 menentukan bahwa dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa, maka presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang (Perppu). Selanjutnya

dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan pula

bahwa Perppu dimaksud harus mendapat

persetujuan dari DPR dalam persidangan

berikutnya. Namun dalam hal DPR tidak

memberikan persetujuan, maka Perppu dimaksud

harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sebaliknya, jika ternyata kemudian DPR

berkesimpulan bahwa Perppu dimaksud layak

untuk disetujui, maka dengan sendirinya Perppu

dimaksud akan disahkan menjadi undang-undang.

Didasarkan pada ketentuan dimaksud,

sesungguhnya keberadaan Perppu cukup

mendapat landasan konstitusional sebagai hak

seorang presiden. Perppu mendapat pengakuan

dalam konstitusi seperti halnya undang-undang.

Oleh sebab itu, menjadi sangat beralasan bagi

seorang presiden jika bila kemudian ditemukan hal-

hal yang termasuk dalam kategori kegentingan yang

memaksa dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara untuk mengeluarkan sebuah produk

hukum yang bernama Perppu.

Selanjutnya, guna menindaklanjuti ketentuan

dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya terkait

dengan keberadaan Perppu sebagai salah satu

produk hukum yang merupakan ranah

kewenangan presiden, maka keberadaannya pun

dipertegas kembali dalam hierarki peraturan

perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, bahwa adapun jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan di tanah

air saat ini terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat;

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang;

d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan

g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 19 Desember 2013. Pengesahan Perppu ini diwarnai dengan mekanisme voting dengan peta suara, sebanyak 221 anggota DPR mendukung dan 148 anggota DPR yang menolak. Adapun proses pembacaan putusan di MK terkait dengan pengujian Perppu ini baru dilakukan pada tanggal 30 Januari 2014. 2 Setidaknya terdapat 4 (empat) permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan 1 (satu) dalam Penetapan MK dalam perkara yang sama karena pemohon menarik kembali permohonannya. Namun dari seluruh permohonan dimaksud, MK berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon telah kehilangan objek, sehingga secara otomatis, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan Pemohon tidak lagi dipertimbangkan. Atas dasar itulah kemudian MK memutuskan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima.3 Adapun keenambelas Perppu dimaksud di antaranya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Perppu Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepaulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2006 tentang

5756

Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64

Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UU; Perppu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Perppu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang; Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; dan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lihat dalam “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudah-terbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari 2014.4 Janpatar Simamora, Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1, Februari 2010, hlm. 58.

Page 35: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut

ditegaskan bahwa adapun kekuatan hukum

peraturan perundang-undangan sebagaimana

disebutkan dalam hierarki dimaksud adalah

didasarkan pada hierarki atau urutan daripada

peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep

ini sama halnya dengan pandangan Hans Kelsen

yang mengatakan bahwa kesatuan norma-norma

hukum ditunjukkan oleh fakta bahwa

pembentukan norma yang satu, yakni norma yang

lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih

tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh

norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa

regressus (rangkaian proses pembentukan hukum)

ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi dan

pada akhirnya membentuk suatu kesatuan tatanan 5hukum.

Dilihat dari hierarki peraturan perundang-

undangan dimaksud, tampak dengan jelas bahwa

keberadaan Perppu cukup diakui secara tegas sama

halnya dengan peraturan perundang-undangan

lainnya. Dalam hierarki peraturan perundang-

undangan, Perppu ditempatkan sejajar dengan

undang-undang.

Kemudian dalam Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa

yang menjadi materi muatan Perppu adalah sama 6halnya dengan materi muatan undang-undang.

Sedangkan materi muatan undang-undang

sebagaimana disebutkaan dalam Pasal 10 ayat (1)

adalah berisikan hal-hal sebagai berikut:5 Hans Kelsen, 1971. General Theory of Law and State, Russel and Russel: New York (Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media: Bandung, hlm. 179.)6 Ketika materi muatan Perppu disamakan dengan materi muatan undang-undang, maka sebagai konsekuensinya bahwa materi muatan Perppu juga harus memuat atau mencerminkan asas-asas peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. adapun asas-asas dimaksud adalah: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.7 Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembentukan aturan hukum di bawahnya diatur dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dengan tata urutan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; dan

7. Peraturan Daerah.

Kemudian dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dijelaskan bahwa Perppu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.

Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.8 Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ketika itu diatur dalam Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan jenis dan hierarki sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b) Perintah suatu undang-undang untuk diatur

dengan undang-undang;

c) Pengesahan perjanjian internasional;

d) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah

Konstitusi; dan/atau

e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam

masyarakat.

Dalam perjalanan sejarahnya, sekalipun telah

beberapa kali dilakukan penggantian regulasi

terkait dengan hierarki peraturan perundang-

undangan, keberadaan Perppu selalu mendapat

ruang pengaturan yang cukup memadai seperti

halnya peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada saat berlakunya TAP MPR Nomor

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata 7Urutan Peraturan Perundang-undangan, Perppu

diakui keberadaannya dengan derajat hierarki

tersendiri, yaitu setingkat di bawah undang-undang

dan setingkat di atas Peraturan Pemerintah.

Kemudian, pada saat keberadaan TAP MPR Nomor

III/MPR/2000 digantikan dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 8Peraturan Perundang-undangan, keberadaan

Perppu disejajarkan dengan undang-undang.

Dilihat dari sejumlah pengaturan dimaksud,

tentu dapat dipahami bahwa sesungguhnya

keberadaan Perppu cukup mendapat eksistensi

selama ini. Hal ini menunjukkan betapa urgensinya

keberadaan Perppu dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia. Bahkan sebelum amandemen

UUD 1945, terdapat penjelasan yang pada intinya

menegaskan bahwa Pasal 22 UUD 1945 adalah

mengenai noodverordeningsrecht presiden. Aturan

semacam ini memang sangat dibutuhkan dalam

rangka terjaminnya keselamatan negara oleh

pemerintah pada saat keadaan genting, yang

memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan 9cepat. Dengan demikian, maka secara

konstitusional, tidak terbuka ruang untuk

memperdebatkan keberadaan Perppu itu sendiri

dalam perspektif landasan hukumnya. Kalaupun

hendak dipersoalkan, barangkali hanya terkait

dengan mekanisme penerbitannya serta unsur-

unsur yang harus dipenuhi dalam proses

penerbitan Perppu dimaksud.

B.2.Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam

Penerbitan Perppu

Sampai saat ini, belum ditemukan satu

regulasi pun yang mengatur masalah penerbitan

Perppu secara detail oleh presiden. Misalnya, apa

sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal

kegentingan yang memaksa” sebagai syarat mutlak

dalam penerbitan Perppu sebagaimana diatur

dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Selain itu, apa saja yang menjadi unsur-unsur

pokok dari istilah “kegentingan yang memaksa”

juga belum diketemukan sampai sekarang.

Sejumlah pertanyaan inilah yang kemudian kerap

mengemuka di tengah-tengah publik ketika

presiden menerbitkan suatu Perppu.

Jika diartikulasikan satu per satu secara

gramatikal kata-kata “ihwal kegentingan yang

memaksa”, maka dapat dipahami bahwa istilah

“ihwal” memiliki makna “hal atau perihal”.

Sedangkan istilah “kegentingan” kurang lebih

mengandung makna “dalam keadaan bahaya atau

darurat maupun dalam suasana tegang”. Adapun

istilah “memaksa” dalam hal ini dapat diartikan

sebagai “sesuatu yang sangat mendesak”.

10Menurut Jimly Asshiddiqie, bila kemudian

dilakukan penelahaan lebih jauh terkait dengan

ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa

setidaknya terdapat sejumlah unsur secara

kumulatif yang kemudian dapat membentuk suatu

keadaan darurat bagi negara (state of emergency)

serta menimbulkan suatu kondisi kegentingan yang

memaksa. Adapun unsur-unsur dimaksud yaitu,

pertama, adanya ancaman yang membahayakan

(dangerous threat), kedua, adanya kebutuhan yang

mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga

adalah terkait dengan unsur adanya keterbatasan

waktu (limited time). Istilah “kegentingan yang

memaksa” dapat juga digambarkan sebagai suatu

kondisi yang tidak normal sehingga membutuhkan

upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera

mengakhiri kondisi dimaksud. Dalam kondisi yang

demikianlah, maka kehadiran Perppu diharapkan

menjadi instrumen hukum laksana undang-

undang yang berlaku dan mempunyai kekuatan 11mengikat kepada masyarakat.

Menurut Bagian Penjelasan UUD 1945

(sebelum amandemen), frasa “hal ihwal

kegentingan yang memaksa” merupakan

terjemahan dari noodverordeningsrecht. Dalam

bahasa hukum Amerika, hal ini sama dengan

konsep “clear and present danger”, situasi bahaya 12yang terang benderang. Dengan demikian, maka

setidaknya dapat dirinci sejumlah unsur-unsur

dari istilah “ihwal kegentingan yang memaksa”

sebagai berikut:

a) Terdapat suatu kondisi atau keadaan yang

sangat genting, berbahaya;

b) Situasi dimaksud dapat mengancam

keselamatan bangsa dan negara jika

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Adapun dalam ayat (4) disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu kemudian dalam ayat (5) disebutkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).9 Ibnu Sina Candranegara, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara,Jurnal Yudisial, Volume 5 Nomor 1, April 2012, hlm. 3. 10 Jimly Asshiddiqie. 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 207.11 Reza Fikri Febriansyah. 2009, Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, Desember 30, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negara-republik-indonesia.html, diakses pada 20 Desember 2013.12 Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora. 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, UD. Sabar, Medan, hlm. 47-48.

5958

Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64

Page 36: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

13 Ibid., hlm. 48.14 Ni'matul Huda, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, hlm. 77.

pemerintah tidak secepatnya mengambil

tindakan konkret;

c) Keadaan dimaksud membutuhkan proses

penanganan secara cepat. Jadi ada semacam 13“paksaan” untuk diselesaikan dengan segera;

d) Tidak ada alternatif sebagai sarana lain

sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal

yang mampu untuk menyelesaikan keadaan

genting dimaksud.

e) Dilakukan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Sekalipun misalnya, kriteria atau unsur-unsur

istilah “ihwal kegentingan yang memaksa” dapat

diuraikan secara lebih spesifik, namun harus diakui

bahwa hal itu tidak serta merta akan menjadikan

jaminan bahwa presiden akan merujuk hal

dimaksud dalam proses penerbitan Perppu. Pasal

22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan

“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah

sebagai pengganti undang-undang”. Jika dikaji

secara mendalam pasal dimaksud, maka

sesungguhnya begitu nyata terlihat adanya

subjektivitas presiden dalam menerbitkan sebuah

Perppu.

Artinya bahwa syarat objektivitas penerbitan

Perppu tidak dapat dipaksakan kepada presiden

sebagai pemegang otoritas penuh penerbitan

Perppu. Kalaupun hendak dikoreksi, maka hal itu

dapat dilakukan melalui jalur politik di DPR pada

saat pembahasan Perppu menjadi undang-undang.

Presiden diberikan keleluasaan dalam menafsirkan

apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal

kegentingan yang memaksa”. Atas dasar itulah

maka kemudian setiap kali presiden menerbitkan

Perppu, maka setiap saat itu juga akan muncul pro

kontra pandangan terkait dengan keberadaan

Perppu itu sendiri.

Presiden bisa saja melihat suatu persoalan dan

kemudian mengkategorikannya sebagai suatu ihwal

kegentingan yang memaksa, sehingga harus

mengeluarkan Perppu dalam rangka mengatasi

persoalan dimaksud. Namun demikian, masyarakat

atau berbagai kalangan bisa saja melihat persoalan

yang sama tersebut sebagai sesuatu hal yang belum

termasuk dalam kategori ihwal kegentingan yang

memaksa. Demikian juga sebaliknya, masyarakat

bisa saja melihat suatu persoalan yang terjadi di

tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara

sebagai sebuah persoalan yang mengandung unsur

ihwal kegentingan yang memaksa, namun belum

tentu presiden akan mempunyai pandangan yang

sama dengan pandangan masyarakat luas.

Sebagai pemegang otoritas penuh, pandangan

presiden lah yang akan menjadi dasar dan ukuran

bagi terbitnya suatu Perppu. Apalagi kemudian

dalam Pasal 22 ayat (1) ditemukan kata “berhak”.

Dari sudut pandang kekuasaan presiden, hak

untuk menetapkan Perppu atas dasar penilaian

presiden sendiri yang bersifat sepihak mengenai

adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa itu, 14dapat dikatakan bahwa hal itu bersifat subjektif.

Hal ini dikarenakan presiden memiliki hak

sepenuhnya untuk menetapkan suatu Perppu jika

bila memang syarat-syarat untuk itu sudah cukup

memadai menurut pandangan subjektif seorang

presiden. Di sinilah kelahiran sebuah Perppu

berpeluang menimbulkan polemik karena terkesan

tidak objektif.

Memang terasa tidak adil apabila kemudian

sebuah produk hukum yang akan berlaku secara

umum justru diputuskan dengan sejumlah syarat

maupun kriteria yang sangat subjektif. Namun

demikian bahwa konstitusi telah menegaskan hal

dimaksud sebagai hak seorang presiden. Jika

memang pada akhirnya dirasa tidak adil atau tidak

mencerminkan nilai-nilai partisipatif, maka yang

harus digagas kemudian adalah bagaimana agar

ketentuan penerbitan Perppu oleh presiden

mendapat ruang pengaturan yang lebih detail, jelas

dan tegas. Jadi, bukan dengan mempersoalkan

pandangan subjektif presiden dalam menerbitkan

Perppu, karena kewenangan penerbitan Perppu

telah diamanatkan konstitusi sebagai hak penuh

seorang presiden.

B.3.Optimalisasi Peran DPR dalam Pengesahan

Perppu Menjadi UU

Upaya melakukan pengaturan terkait dengan

mekanisme dan syarat penerbitan Perppu secara

lebih detail, jelas dan tegas sebagaimana dalam

uraian di atas tentunya bukanlah hal mudah.

Pasalnya, ketentuan mengenai kewenangan proses

penerbitan Perppu diatur dalam UUD sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 22. Sebagai konsekuensi

dari pola pengaturan yang demikian, proses

perubahannya hanya dapat dilakukan melalui

proses amandemen terhadap UUD itu sendiri.

Sementara mengingat rumitnya serta panjangnya

proses perubahan terhadap UUD, maka menjadi

kurang efektif kiranya kalau hanya mengharapkan

perubahan mengenai mekanisme dan syarat

penerbitan Perppu oleh presiden melalui pintu

amandemen terhadap UUD itu sendiri.

Guna lebih mengobjektifkan penerbitan

Perppu, ditemukan pintu masuk lainnya selain

daripada lewat jalur amandemen terhadap UUD NRI

Tahun 1945. Adapun pintu masuk tersebut adalah

melalui proses persetujuan di DPR terhadap sebuah

Perppu dalam rangka pengesahannya menjadi

undang-undang. Sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa

Perppu yang telah dikeluarkan presiden harus

mendapat persetujuan oleh DPR dalam persidangan

berikutnya. Apabila kemudian sebuah Perppu

mendapat persetujuan dari DPR, maka secara

otomatis Perppu dimaksud akan berubah wujud

menjadi undang-undang. Namun manakala DPR

melakukan penolakan, maka dengan sendirinya

pula Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku.

Proses politik di DPR ini dapat digunakan

sebagai sarana dalam rangka mengobjektifkan

sebuah Perppu yang dikeluarkan oleh presiden,

atau setidak-tidaknya dapat meminimalisasi sisi

subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu.

Dengan demikian, kelahiran dan keberadaan

sebuah Perppu tidak terkesan hanya didominasi

pandangan presiden semata, namun ditemukan

mekanisme “pertanggungjawaban” secara politis

oleh presiden terhadap DPR dalam menerbitkan

sebuah Perppu.

Dalam hal proses penerbitan Perppu Nomor 1

Tahun 2013 misalnya, setidaknya terdapat dua

pertimbangan pokok yang dijadikan presiden dalam

menerbitkan dimaksud, yaitu:

a) bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki

integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi

dan ketatanegaraan serta tidak merangkap

jabatan sebagai pejabat negara; dan

b) bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan

Negara hukum Indonesia serta untuk

mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan

masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga negara yang menjalankan

fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar,

perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, terutama terhadap

ketentuan mengenai syarat dan tata cara

seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim

konstitusi serta pembentukan majelis

kehormatan hakim konstitusi.

Dalam hal ini, apa yang menjadi pertimbangan

pemerintah memang cukup realistis. Pasalnya,

kasus yang menimpa Akil Mochtar kian menambah

kondisi penegakan hukum yang begitu carut marut,

sehingga tidak mengherankan jika kemudian

kepercayaan publik begitu tergerus habis terhadap

lembaga penegak hukum. Sebagaimana

dikemukakan oleh Janpatar Simamora dalam

tulisannya “Mengadili Sang Pengadil” di Harian

Waspada, Edisi Senin, 07 Oktober 2013 bahwa

perkara yang menimpa Akil Mochtar telah

mengakibatkan lembaga penegak hukum menjadi

kehilangan pamor dan wibawanya. Yang bergejolak

dan berkuasa justru wajah hukum dengan

menonjolkan kekuasaan dan kekuatan uang.

Semua orang tahu bahwa dalam alam penegakan

hukum, salah satu asas yang sering didengung-

dengungkan berbagai pihak ke permukaan adalah

asas equality before the law. Asas ini menekankan

adanya persamaan di hadapan hukum. Siapapun

sama di hadapan hukum, tanpa mengenal adanya

pengecualian. Ketika seseorang diduga melakukan

pelanggaran hukum atau jenis perbuatan lainnya

yang bertentangan dengan hukum, maka proses

penyelesaiannya adalah melalui mekanisme hukum

yang berlaku. Namun fakta menunjukkan bahwa

hukum tidak jarang justru begitu mudah lumpuh

ketika berhadapan dengan kekuatan materi dan

kekuasaan. Hukum begitu gampang dibeli dengan

imbalan sejumlah uang dan kekuasaan.

Terlepas dari itu, dalam perjalanannya

kemudian, setelah Perppu Nomor 1 Tahun 2013

bergulir ke DPR dalam rangka memperoleh

persetujuan, tampaknya mayoritas anggota DPR

memiliki pandangan yang sama bahwa tragedi suap

yang menimpa salah satu hakim MK cukup layak

dijadikan sebagai salah satu persoalan bangsa dan

negara yang memenuhi kriteria atau unsur

kegentingan yang memaksa sebagaimana syarat

utama dalam penerbitan sebuah Perppu. Sehingga

dengan demikian, maka Perppu dimaksud diterima

DPR dan disetujui menjadi undang-undang.

6160

Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64

Page 37: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Hal itu menunjukkan bahwa upaya untuk

lebih mengobjektifkan proses penerbitan Perppu

masih bisa dilakukan selain melalui mekanisme

perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Tinggal

kemudian yang menjadi persoalan adalah

bagaimana agar DPR dapat menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dengan baik, khususnya dalam

rangka menilai layak tidaknya sebuah Perppu

untuk diterima keberadaannya dan disahkan

menjadi sebuah undang-undang. Hal ini sangat

penting untuk ditegaskan agar kemudian proses

politik dalam rangka mendapatkan persetujuan

terhadap Perppu untuk menjadi undang-undang

tidak terkesan hanya sebatas formalitas belaka atau

seperti “tukang stempel” yang hanya menerima dan

mengesahkan tanpa melalui proses pengkajian

secara matang.

Kalau mekanisme politik di DPR dapat berjalan

dengan baik, maka sesungguhnya tidak perlu

dikhawatirkan hak subjektif presiden dalam

menerbitkan sebuah Perppu. Kalaupun pada

akhirnya sisi subjektif pertimbangan presiden

teramat kentara pada saat terbitnya sebuah Perppu,

maka DPR dapat “mengubahnya” menjadi lebih

objektif melalui proses politik di Senayan atau

bahkan menolaknya untuk menjadi sebuah

undang-undang. Dengan demikian, setiap Perppu

yang dikeluarkan oleh presiden akan benar-benar

didasarkan pada fakta nyata bahwa negara dan

bangsa sedang dalam keadaan kegentingan yang

memaksa sebagaimana kriteria atau unsur keadaan

memaksa menurut pandangan mayoritas

penduduk negeri ini.

C. Penutup

Kewenangan presiden dalam menerbitkan

Perppu merupakan kewenangan konstitusional

karena diatur dalam UUD. Namun sampai saat ini,

belum ditemukan adanya pengaturan terkait apa

sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal

kegentingan yang memaksa” dalam penerbitan

Perppu. Namun semikian, jika dicermati kata-kata

“ihwal kegentingan yang memaksa”, maka

setidaknya dapat diidentifikasi sejumlah kriteria

atau unsur yang tergolong dalam kategori

kegentingan yang memaksa, yaitu, pertama,

terdapat suatu hal atau keadaan yang sangat

darurat atau mendesak; kedua, tidak ada alternatif

sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi

normal yang mampu untuk menyelesaikan

keadaan darurat atau mendesak dimaksud dan

ketiga, keadaan dimaksud membutuhkan proses

penanganan secara cepat sehingga “dipaksa”

untuk diselesaikan dengan segera.

Sekalipun dapat diidentifikasi sejumlah

kriteria atau unsur yang dapat dikategorikan

sebagai suatu kegentingan yang memaksa, namun

demikian mengingat penerbitan Perppu

merupakan kewenangan mutlak presiden, maka

menjadi sangat dimungkinkan terjadi di mana

Perppu yang dikeluarkan disandarkan pada

pertimbangan subjektif seorang presiden. Oleh

sebab itu, kiranya perlu dipertegas apa

sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah

“ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945 serta apa saja syarat-syarat yang

terkandung di dalamnya. Hanya saja mengingat

rumitnya dan panjangnya proses yang harus

dilalui dalam melakukan amandemen terhadap

UUD, maka peran DPR dalam pembahasan Perppu

pada sidang berikutnya diharapkan dapat berjalan

optimal. Sehingga dengan demikian, maka kadar

subjektif pertimbangan presiden dalam

menerbitkan Perppu akan dapat diminimalisasi

dan diarahkan menuju pertimbangan-

pertimbangan seobjektif mungkin.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. 2007, Hukum Tata Negara

Darurat, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo

Persada.

Candranegara, Ibnu Sina, Pengujian Perppu Terkait

Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar

Lembaga Negara, Jurnal Yudisial, Volume 5

Nomor 1, April 2012.

Febriansyah, Reza Fikri. 2009, Eksistensi dan

Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem

Norma Hukum Negara Republik Indonesia,

D e s e m b e r 3 0 , h t t p : / / d i t j e n p p .

kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75-

eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-

dalam-sistem-norma-hukum-negara-

republik-indonesia.html, diakses pada 20

Desember 2013.

Huda, Ni'matul, Pengujian Perppu oleh Mahkamah

Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7

Nomor 5, Oktober 2010.

Kelsen, Kelsen. 1971, General Theory of Law and

State, Russel and Russel: New York

(Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011,

Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,

Nusa Media: Bandung.

Siallagan, Haposan dan Simamora, Janpatar. 2011,

Hukum Tata Negara Indonesia, Medan: UD.

Sabar.

Simamora, Janpatar, Multitafsir Pengertian “Ihwal

Kegentingan yang Memaksa” dalam

Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum

UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1,

Februari 2010.

2010, “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY

Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www.

hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b

78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudah-

terbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari

2014.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (sebelum dan sesudah

amandemen).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-

Undang.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Undan-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-

XI/2013, tentang perkara Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi terhadap UndangUndang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-

XI/2013, tentang perkara Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-

XI/2013, tentang perkara Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-

XI/2013, tentang perkara Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

Perubahan Kedua Atas UndangUndang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-

XI/2013.

6362

Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64

Page 38: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

A. Pendahuluan

Masalah status hukum ruang udara di atas

wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat

yang digunakan untuk melakukan penerbangan

mulai dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris

1910 yang berlangsung dari 10 Mei dan berakhir 29

Juni 1910. Latar Belakang Konferensi Paris 1910

adalah kenyataan banyaknya penerbangan yang

berlangsung di Eropa tanpa memperhatikan

kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong)

karena pada saat itu belum ada pengaturannya.

Balon bebas tinggal landas dari suatu negara dan

mendarat di negara lain tanpa ada izin dari negara

yang bersangkutan akan membahayakan. Pesawat

udara dapat digunakan untuk mengangkut militer, 1 H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers, hlm. 11.

PERMASALAHAN KEDAULATAN WILAYAH RUANG UDARA DI INDONESIA

(THE PROBLEMS OF INDONESIAN AIR SPACE SOVEREIGNTY)

Abstrak

Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan

untuk melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan

waktu, pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum

positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor

1 tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan

praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai

kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan masuknya

pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat kurangnya pengaturan

dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight Information System (FIR)

yang masih dikelola oleh negara lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah udara Indonesia.

Permasalahan tersebut harus segera dicari solusinya.

Kata kunci: penerbangan, wilayah udara.

Abstract

Issue of legal status of the air space above the lands and waters of a sovereign state that is used to make the flights has

been discussed formally in the Paris Conference in 1910. Over the years, understanding of air space sovereignty in any

developing countries is set in the Chicago Convention and Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on

Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights has not answered the question of the sovereignty of airspace.

The writer revealed the practice of Indonesian air space violation of sovereignty and how the Indonesian positive law still

has weaknesses in regulating the violation of air space sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to

Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation

and problems on Flight Information System (FIR) which is still managed by other countries, whereas the FIR airspace

settings is in Indonesian airspace territory. These problems must be immediately sought the solution, and in this case the

writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on Aviation and build a cooperation of all parties to overcome

Indonesian air space sovereignty issues.

Key words : flight, airspace territory.

May Lim Charity

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Jl. HR. Rasuna Said Kav.6-7, Jakarta Selatan Indonesia

Email : [email protected]

(Naskah diterima 17/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

mata-mata yang dapat mengancam keamanan 1nasional negara di bawahnya.

Di Indonesia, penerbangan sudah diatur sejak

zaman dahulu. Landasan hukum penerbangan

adalah Luchtvaart Besluit 1932 (Staatblad 1934

No.118) dan Luchtvaart Ordonantic 1934 (Staatblad

1934 No. 205 jo Staatblad 1942 No. 36). Selanjutnya

Luchtvaart besluit diganti dengan Undang-Undang

Nomor 83 tahun 1958 tentang Penerbangan.

Kemudian Undang-Undang tersebut diganti dengan

Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang

Penerbangan. Seiring berjalannya waktu berganti

dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992

tentang Penerbangan, berganti lagi sampai terakhir

6564

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 57 - 66

Page 39: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

4 H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers, hlm. 3. 5 H.K Martono. Op Cit, hlm. 12.6 Ibid, hlm. 27-28.7 H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta, 2003. PT. Fikahati Aneka, hlm. 127.8 Lihat Chicago Convention On International Civil Aviation, 7 December 1944.

2 OECD, OECD Workshop on Principle for The Liberalizationof Air Cargo Transportation, Principles for The Liberalization of Air Cargo, 2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/9/1806687.pdf.3 H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta, 2013, PT. Fikahati Aneska 2013, hlm. 2.

yang dipakai sekarang adalah Undang-Undang Nomor

1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Tentu pemikiran

para ahli dan anak bangsa dalam menelurkan ide

terhadap Undang-Undang Penerbangan tersebut

harus diapresiasi setinggi mungkin.

Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur

permasalahan lebih rinci bila dibandingkan dengan

Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 yang hanya

terdiri dari 15 bab dan 76 pasal. Undang-Undang

Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan terdiri

dari 24 Bab dan 446 pasal.

Menilik dari ketentuan Undang-Undang

tersebut, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang penerbangan lebih bisa

memberikan kepastian hukum secara lebih baik

bagi semua pihak. Akan tetapi persoalan

penerbangan sekarang ini dan ke depannya menjadi

tidak mudah. Banyak persoalan dari berbagai sisi,

antara lain dibukanya single european sky dan

kemudian lahir ruang udara baru yaitu ruang udara 2baru Uni Eropa. Sejalan dengan kebijakan open sky

tersebut, tentu saja Indonesia sebagai bagian dari

World Trade Organization (WTO) menginginkan hal

itu juga dilakukan di tanah air. Belum lagi

persoalan angkutan penerbangan sipil dengan

segala lingkup permasalahannya.

Tulisan ini tidak membahas mengenai

persoalan-persoalan tersebut, akan tetapi mencoba

fokus pada persoalan penerbangan yang terkait

dengan prinsip kedaulatan udara terhadap praktek

di lapangan dengan banyaknya pelanggaran

pesawat asing yang melanggar kedaulatan wilayah

udara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

mencoba menawarkan solusi melalui revisi

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penerbangan.

Seperti kita ketahui bersama, di dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penerbangan, yaitu pelanggaran wilayah diatur

dalam Pasal 401, Pasal 402 dan Pasal 414. Pasal

401 menyebutkan “Setiap orang yang

mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau

pesawat udara Indonesia atau pesawat udara

asing yang memasuki kawasan udara terlarang

dipidana dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun dan denda paling banyak

Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

sedangkan menurut Pasal 402 menyebutkan

“Orang yang mengoperasikan pesawat udara

Indonesia atau pesawat udara asing yang

memasuki kawasan udara yang hanya dapat

digunakan untuk penerbangan pesawat udara

negara dipidana dengan pidana penjara paling

lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak

Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal

414 menyebutkan “Setiap orang yang

mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin

Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63

ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Walaupun

pengaturan mengenai kedaulatan wilayah udara

sudah dimuat dalam ketentuan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,

namun dalam pandangan penulis, ketentuan

tersebut tidaklah memadai. Bila berbicara

mengenai kedaulatan sebuah negara, kita jangan

hanya berbicara mengenai kedaulatan tanah dan

kedaulatan air, tapi juga kedaulatan menyeluruh

termasuk kedaulatan udara.

B.1.Sejarah Kedaulatan Wilayah Udara

Di bidang ruang udara, kedaulatan tersebut

telah diperkenalkan oleh Montgolfer Bersaudara

yang berhasil meluncurkan balon pertama berawak

pada tahun 1783. Akan tetapi profesi hukum

ternyata sangat lambat menangani masalah-

masalah hukum di bidang penggunaan ruang

udara. Baru pada tahun 1901, seorang ahli hukum

Perancis, Fauchille yang sangat visioner

mengetengahkan bahwa ruang udara di atas

wilayah suatu negara membutuhkan kebebasan 3untuk pemanfaatan penerbangan.

Di antara para ahli hukum internasional pada

umumnya belum ada kesepakatan yang baku

secara internasional dapat diterima mengenai

pengertian udara (air law). Kadang-kadang

digunakan istilah hukum udara (air law) atau

hukum penerbangan (aviation law) atau hukum

navigasi udara (air navigation law) atau hukum

pengangkutan udara (air transportation law) dan

hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law)

atau hukum udara aeronautica (air-aeronautical

law) saling bergantian tanpa dibedakan satu

terhadap lain. Istilah aviation law atau navigation

law atau air transportation law atau aerial law atau

aeronautical law atau air aeronautical law

pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan 4air law.

Undangan Konferensi Paris 1910 disampaikan

kepada negara-negara Eropa seperti Austria,

Hongaria, Inggris, Belgia, Bulgaria, Denmark,

Prancis, Jerman, Portugal, Rumania, Rusia,

Spanyol, Swedia, Swiss dan Turki pada Agustus

1909. Dalam undangan tersebut termuat beberapa

pertanyaan yang diajukan oleh Pemerintah Prancis

kepada setiap negara. Antara Desember 1908

sampai dengan Agustus 1909 kedua pemerintah

Inggris dan Prancis sepakat menghindari

pembahasan masalah-masalah mendasar,

terutama apakah ruang udara yang digunakan

untuk penerbangan internasional merupakan

wilayah negara di bawahnya (negara kolong) atau

apakah ruang udara merupakan ruang bebas yang

dapat digunakan untuk keluar masuk pesawat 5udara milik negara lain.

Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention

Relating to the Regulation of Aerial Navigation yang

ditandatangani pada 13 Oktober 1919 tersebut

terdiri dari dua bagian, masing-masing: naskah

utama (the main part) dan naskah tambahan.

Naskah utama masing-masing mengatur

kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai

(innocent passage), zona larangan terbang

(nationality and registration mark), sertifikat

pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dan

radio penerbangan, izin penerbangan,

keberangkatan dan kedatangan pesawat udara,

larangan pengangkutan bahan berbahaya,

klasifikasi pesawat udara (aircraft classification),

komisi navigasi penerbangan dan ketentuan

penutup dan naskah tambahan terdiri atas delapan 6Annex (A-H).

B.2.Prinsip Kedaulatan Negara di Ruang Udara di

Atas Wilayahnya

Masalah pemikiran ruang udara telah

merupakan persoalan jauh sebelum ruang udara 7tersebut dijadikan daerah lintas penerbangan.

Memang timbul perdebatan apakah ruang udara

tersebut benar-benar bebas, untuk mempertahan-

kan kedaulatan sebuah negara di bawahnya

ataukah terbatas, seperti laut teritorial

sebagaimana diatur dalam hukum laut

internasional, dalam arti ada lintas damai bagi

pesawat udara asing.

Di Indonesia sendiri kedaulatan wilayah udara

tersebar di berbagai peraturan antara lain:

- Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang

Penerbangan

Pasal 1 angka 2

“Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan

udara diatas wilayah daratan dan perairan

Indonesia”

Pasal 5

“Negara Kesastuan Republik Indonesia

berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah

udara Republik Indonesia”

- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008

Tentang Wilayah Negara

Pasal 6 ayat 1 c

“Batas wilayah negara di udara mengikuti

batas kedaulatan negara di darat dan dilaut,

dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan

berdasarkan perkembangan Hukum

Internasional”

- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Tata Ruang

Pasal 6 ayat 5

“Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya

diatur dengan undang-undang tersendiri”

- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013

Tentang Keantariksaan

Pasal 1 angka 3

“Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi

dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang

mengandung udara yang bersifat gas”8Article 1 Chicago Convention 1944

menyatakan “The contracting States recognize that

every State has complete and exclusive sovereignty

over the airspace above its territory”. Artinya, dapat

kita simpulkan kedaulatan di atas teritorial wilayah

negara merupakan kedaulatan penuh dari suatu

negara.

Konvensi Internasional yang mengatur

penerbangan sipil internasional dan telah mengikat

190 negara adalah Convention on International Civil

Aviation atau sering dikenal dengan sebutan

6766

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity

Page 40: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Konvensi Chicago 1944 (Chicago Convention). Dalam

pasal 37 dengan jelas dikatakan bahwa untuk

meningkatkan keamanan dan keselamatan

penerbangan negara peserta Konvensi Chicago

1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil

(personil, pesawat, jalur penerbangan dan lain lain)

dengan peraturan, standar, prosedur dan

organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar

yang dibuat International Civil Aviation Organization

(ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan

memperbarui standar and recomended practices

(SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18

dengan berbagai dokumen dan circular

penjabarannya yang harus dipatuhi oleh negara 9peserta Konvensi Chicago.

B.3.Contoh Kasus Pelanggaran Kedaulatan

Wilayah Udara Indonesia

Permasalahan masuknya pesawat asing ke

daerah wilayah kedaulatan Indonesia sudah sering

terjadi. Ada beberapa contoh kasus pelanggaran

wilayah udara Indonesia:

101. Kasus di Pulau Bawean

Kejadian penegakan hukum oleh TNI

Angkatan Udara pada tanggal 3 Juli 2003

adalah pada saat dilaporkan bahwa ada 5

Pesawat F-18 yang terbang dari Kapal Induk

USS Carl Vinson yang berlayar pada ALKI dan

berada di sekitar Pulau Bawean. Pesawat

tersebut terbang dengan melaksanakan

berbagai manuver, ketinggian bervariasi

antara Flight Level 15.000-35.000 feet,

kecepatan sekitar 450 Kts dan Squawk

number (IFF mode 3/A) 1200. Tidak ada

komunikasi dengan ATC Bali atau Surabaya

sebagai unit PLLU tersebut, karena pesawat

tersebut tidak melakukan komunikasi

sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

penerbangan. Leader Pesawat TNI AU

melaksanakan misi identifikasi visual dan

pesawat F-18 tersebut diminta kontak ke ATC

setempat karena “Bali Control” tidak

mengetahui status mereka, akhirnya pesawat

tersebut kembali ke Pangkalan Iswahyudi.

112. Kasus di Bandara Mopah Merauke

Pada tanggal 10 November 2008, Pesawat jenis

V8 bernomor VH3-PFP milik Cape Air

Transport, pesawat dengan pilot Captain

William Henry Scott Bloxam, warga negara

Australia. Saat itu pesawat tidak membawa

surat izin penerbangan (security clearance dan

data approval) maupun visa. Istri sekaligus co-

pilot bernama Vera Scott Bloxam dan

penumpang Hubert Hofer, Karen Burke dan

Keith Rowald Mortimer.

123. Kasus di Sultan Iskandar Muda

Tanggal 20 Mei 2013, pesawat Donnier 328

(USAF) rute Maldives-Banda Aceh (BTJ) tidak

dilengkapi dengan Flight Clearance for

Indonesian Territory.

Pelanggaran wilayah udara tersebut masih

banyak lagi. Pelanggaran wilayah udara tersebut

tidak terjadi di wilayah udara Indonesia saja. Hal

tersebut juga terjadi di negara-negara lain.

Seperti diketahui kedaulatan udara Indonesia

adalah bagian tugas utama Tentara Nasional

Indonesia (TNI). Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

menyatakan “TNI bertugas melaksanakan kebijakan

pertahanan negara meliputi”: a. mempertahankan

kedaulatan wilayah negara; b. Melindungi

kehormatan dan dan keselamatan bangsa; c.

Melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut

serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan

perdamaian regional dan internasional. Sementara

tugas TNI angkatan Udara menurut Pasal 10

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang

Tentara Nasional Indonesia adalah a.

melaksanakan tugas TNI di bidang matra

pertahanan; b. Menegakkan hukum dan menjaga

keamanan di wilayah yurisdiksi nasional sesuai

dengan ketentuan hukum nasional dan inter-

nasional yang telah diratifikasi; c. Melaksanakan

tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan

kekuatan matra udara serta d. Melaksanakan

pemberdayaan wilayah pertahanan udara.

Permasalahannya, point (b) yaitu “menegakkan

hukum dan menjaga keamanan di wilayah

yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan

hukum nasional dan internasional yang telah

diratifikasi” belum jelas, karena menurut ketentuan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009

tentang Penerbangan “ketentuan lebih lanjut

mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan,

penetapan kawasan udara terlarang, kawasan

udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap

pesawat udara dan personel pesawat udara serta

tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan

pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur

dengan Peraturan Pemerintah”

Menjadi pertanyaan kritis apakah pemahaman

kita sama dalam penuangan pelanggaran wilayah

udara tersebut melalui Peraturan Pemerintah,

misalnya saja mengenai security clearance

(perizinan keamanan terbang) dan Flight Approval

(izin terbang). Pengaturan mengenai keduanya

harus benar-benar detail dan rinci, misalnya

mengenai security clearance yang hendaknya

dilakukan juga kepada penerbangan sipil tidak

berjadual. Mungkin akan timbul perdebatan

mengenai ini di berbagai instansi terkait, akan

tetapi menurut penulis wilayah nusantara

Indonesia yang begitu luas sangat memungkinkan

sekali bagi pelanggaran wilayah kedaulatan negara

seperti pemotretan wilayah udara ilegal, survey iegal

teradap sumber daya alam Indonesia, terorisme,

penyelundupan senjata dan lainnya.

Selain itu mengenai flight approval (izin

terbang). Pada saat ini yang bisa diefektifkan dalam

penanganan pelanggaran pesawat udara asing yang

tidak memiliki flight approval hanya Pasal 17

Peraturan Dirjen Hubud No. Skep/195/IX/2008

tentang Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Terbang

(Flight Approval) yang menentukan bahwa pesawat

udara yang tidak memiliki Flight Approval

dikenakan biaya pendaratan tambahan:

a. untuk kegiatan angkutan udara dalam negeri

sebesar 100 kali dari biaya pendaratan yang

telah ditetapkan;

b. untuk kegiatan angkutan udara luar negeri

sebesar Rp. 60.000.000,-

Pasal 414 ketentuan Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan

“Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara

asing di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah)”. Sementara izin yang dimaksud

adalah izin dari Menteri Perhubungan Udara dan ini

adalah izin mengenai angkutan udara dan

sanksinya berupa peringatan, pembekuan sertifikat

dan atau pencabutan sertifikat (ketentuan Pasal 63

ayat (5)) dan bukan pelanggaran wilayah udara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan

penjelasannya (memasuki wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia tanpa izin).

Selain itu pada ketentuan Pasal 8 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang

penerbangan ditentukan: personel pesawat udara,

pesawat udara, dan seluruh muatannya yang

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

Permasalahannya adalah norma hukum aerial

instrusion tersebut tidak diikuti dengan sanksi dan

tindak pidananya, baik itu pidana maupun

alternatif sanksi lainnya. Ketentuan hukum yang

ada hanya diatur dalam bentuk Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor 195/XI/2008.

B.4.Permasalahan Wilayah Udara di Lintas Batas

Negara

Ketentuan Article 2 Chicago Convention 1944

menyatakan “for the purpose of this convention the

territory of a State shall be deemed to be the land

areas dan territorial waters adjacent thereto under

the soverignty, suzerainty, protection or mandate of

such State”. Artinya, negara pihak Konvensi

Chicago harus memberikan pelayanan lalu lintas

pener-bangan wilayah udaranya. Wilayah udara

dimaksud disebut Flight Information Region (FIR).

Secara lebih singkat FIR adalah FIR adalah wilayah

udara yang di dalam wilayah udara tersebut

diberikan flight information services dan flight

alerting services. Pemberian pelayanan ini adalah

untuk keselamatan penerbangan. Flight Information

Services terdiri dari SIGMET (Significant

Meteorological Information) dan AIRMET (AIRman's

Meteorological Information), sementara Flight

Alerting Services adalah pemberian informasi jika

keadaan darurat, atau mengadakan koordinasi

dengan otoritas terkait untuk menangani keadaan

darurat.

Di Indonesia sendiri, wilayah udara Indonesia dibagi

dalam tiga zona FIR:

a. FIR Jakarta meliputi wilayah bagian Barat

Indonesia mulai bagian barat Pulau

Kalimantan hingga bagian Barat Indonesia

mulai Barat Jawa Tengah;

b. FIR Ujung Pandang meliputi wilayah bagian

timur Indonesia;

c. FIR Singapura meliputi wilayah Kepulauan

Riau dan Natuna.

9. Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT. Telaga Ilmu Indonesia, hlm. 5.

10. Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar Kedaulatan Udara RI., . suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15.html.

11. Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia Menerobos ke Merauke, http://tekno.kompas.com.read/2008/09/ 15/00391254/lima.warga.australia.menerobos.ke.merauke.

12. Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuga-news/pesawat-militer-as-di-sim-bisa-terbang -lagi.html.

http://www

6968

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity

Page 41: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Penulis menyadari FIR tentu saja bukan

merupakan wilayah kedaulatan negara, sehingga

memberikan pengelolaan FIR kepada negara lain

bukanlah berarti memberikan pengelolaan batas

wilayah udara kepada negara lain. Akan tetapi

berkaitan dengan permasalahan tersebut, dalam

Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan disebutkan: “Wilayah udara

Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi

penerbangannya didelegasikan kepada negara lain

berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan

dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan

navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas)

tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”

Untuk itulah perlu kiranya kepekaan kita

bersama dalam mengantisipasi persoalan ini,

karena ada wilayah udara Indonesia yang dikelola

oleh negara tetangga, yaitu wilayah Indonesia yang

berada di FIR Singapura. Wilayah udara ini dibagi

dalam penggolongan Zona yaitu:

a. Zona A: sekitar Batam dan sebagian Provinsi

Riau dikelola Singapura.

b. Zona B: sekitar perairan perbatasan di Laut

Natuna dikelola oleh Malaysia.

c. Zona C: sekitar perairan Laut Natuna hingga

perairan Belitung dan perairan Kalimantan

Barat dikelola Singapura.

Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang

Penerbangan yang menyatakan “Wilayah udara

adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah

daratan dan perairan Indonesia” dan Pasal 5

“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat

penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik

Indonesia”. Selain itu, sebagian besar negara di

dunia, termasuk Indonesia yang meratifikasi

Konvensi Chicago 1944 menganut pemahaman

setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan

eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya

dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.

Berdasarkan Article 11 Chicago Convention

1944 : “subject to the provision of this convention, the

laws and regulations of a contracting State relating to

the admission to or departure from its territory of

aircraft engaged in International air navigation or to

the operation and navigation of such aircraft while

within its territory shall be applied to the aircraft of all

contracting States without distinction as to nationality

ans shall be complied with by such aircraft upon

entering or departing from a while within the territory

of that State”, Singapura dan Malaysia memiliki

kewenangan memberikan pelayanan lalu lintas

penerbangan di FIR singapura termasuk wilayah

Indonesia Riau dan Natuna, akan tetapi wilayah

udara di wilayah Indonesia tetap adalah kedaulatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. Penutup

Kedaulatan wilayah udara sebuah negara

adalah kedaulatan sebagaimana tercantum dalam

Article 1 Chicago Convention 1944 yang menyatakan

bahwa wilayah udara yang berada di atas wilayah

teritorial suatu negara adalah hak eksklusif negara

bersangkutan. Hukum positif Indonesia yaitu

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan, menyatakan Wilayah Udara adalah

wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan

dan perairan Indonesia.

Permasalahan yang terjadi di wilayah udara

Indonesia sangat beranekaragam, di antaranya

masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara

Indonesia dengan ketentuan hukum yang minim di

dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009

tentang Penerbangan serta permasalahan Flight

Information Region (FIR) yang masih dikelola oleh

negara lain.

Penulis menyarankan untuk segera dilakukan

revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penerbangan terkait permasalahan kedaulatan

wilayah udara Indonesia. Perlu kiranya kerjasama

dari berbagai instansi terkait dalam kaitan revisi

Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penerbangan dan lobi internasional terhadap

pengelolan FIR oleh negara tetangga supaya

kedaulatan wilayah udara yang berada di atas

territori Indonesia menjadi sepenuhnya milik

Indonesia.

Daftar Pustaka

H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers

OECD, OECD Workshop on Principle for The

Liberalizationof Air Cargo Transportation,

Principles for The Liberalization of Air Cargo,

2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/

9/1806687.pdf

H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung

Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta,

2013, PT. Fikahati Aneska

H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional

dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers

H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di

Ruang Udara, Jakarta, 2003., PT. Fikahati

Aneska

Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori

dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT.

Telaga Ilmu Indonesia

Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar

Kedaulatan Udara RI., http://www.

suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15.

html

Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia

Menerobos ke Merauke, http://tekno.

kompas.com.read/2008/09/15/00391254/l

ima.warga.australia.menerobos.ke.merauke

Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa

Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuga-

news/pesawat-militer-as-di-sim-bisa-terbang

-lagi.html

Convention On International Civil Aviation Signed At

Chicago, On 7 December 1944 (Chicago

Convention)

7170

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity

Page 42: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SUKHOI

SUPERJET 100

(LEGAL RESPONSIBILITY IN SUKHOI SUPERJET 100

AIRCRAFT ACCIDENT)

Velliana Tanaya

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

M.H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Village Tangerang Indonesia

Email : [email protected]

(Naskah diterima 14/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi

udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan

banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul. Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa

penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan lain-

lain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari peraturan

baru yang dikeluarkan pada tahun 2001. Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan nasional Indonesia

juga berdampak pada meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah kecelakaan pesawat

udara di Indonesia semakin meningkat. Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan dapat mengurangi

jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012, kecelakaan Pesawat Sukhoi

Superjet 100 terjadi. Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi berangkat dari Bandara Halim

Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat jatuh langsung ke sisi gunung

berbatu. Sukhoi Superjet 100 kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam membuat keputusan. Karena

kelalaian ini orang membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari bandara, perusahaan pesawat terbang atau

Airline crew. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung

jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft

Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas

tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia.

Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.

Abstract

In the modern era the use of aircraft as the main transportation is very high. In 2001, the air transport sector has made a very

high development in regulation and the side effect thus resulting in many new airlines have emerged. Considering the fact

that previously there is only a few airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala

Airlines and etc. The significant increasing number of this new airline company is due to the flexibility of the new regulations

issued in 2001. The flexibility of the new regulation of Indonesia national air carrier also impact on the increasing number of

aircraft accidents. From year to year the number of aircraft accidents in Indonesia is increasing. Even after a new regulation

is made which is expected to reduce the number of aircraft accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the Sukhoi

Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing from Halim

Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On May 10, it appears that the planes crashed directly into the side of a rocky

mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash was caused by the negligence of the crew in making decisions. Because of this

negligence people need explanation and responsibility from airport, aircraft company or Airline crew. Therefore, the purpose

of this legal research is to analyze the forms of responsibility of each party involved in the case Sukhoi Superjet 100 accident

cases is the Airport, Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The results of this legal research is also

intended to clarify the responsibilities of the parties in this case and also to advance the aviation law in Indonesia.

Keyword: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.

7372

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72

Page 43: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

9 Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 297.10 Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2009, hlm. 88.11 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit., hlm. 189.12 Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang Ibid.,hlm. 6.13 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 190.14 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 119.15 “Adam Air Penerbangan KI-574”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Air_Penerbangan_574>, diakses 12 Oktober 2012.

A. Pendahuluan

Pada jaman dahulu sebelum terjadinya revolusi

industri, manusia harus berjalan kaki dari satu

tempat untuk menuju ke tempat lainnya. Seiring

dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,

manusia menciptakan roda pada tahun 3500

Sebelum Masehi (untuk selanjutnya akan disebut

“SM”) sebagai cikal bakal penemuan transportasi

modern. Pada tahun 2000 SM manusia kemudian

mulai menggunakan tenaga kuda sebagai sarana

transportasi. Perkembangan di bidang transportasi

ini terus berlanjut sampai pada tahun 1750-1850

dimana terjadinya Revolusi Industri yaitu

perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi

dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk 1tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses.

Puncak perkembangan transportasi udara

terjadi pada tahun 1903 ketika Orville Wright dan

Wilbur Wright atau yang dikenal dengan Wright

Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat 2terbang ciptaannya di Amerika Serikat. Setelah

penemuan Wright bersaudara, pesawat terbang

kemudian mengalami banyak perubahan dan

modifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan

transportasi udara baik untuk kebutuhan jarak

dekat maupun jauh dan tidak hanya di Amerika

Serikat namun juga di berbagai negara, termasuk 3Indonesia. Pada tahun 1911 telah dilakukan

demonstrasi penerbangan pesawat bermotor

pertama di Indonesia tepatnya di Surabaya dan

seiring dengan perkembangan-perkembangan

industri di Indonesia, muncullah maskapai

penerbangan pertama di Indonesia.. Maskapai

penerbangan sendiri merupakan suatu perusahaan

penerbangan yang bergerak dalam bidang angkutan

udara yang mengangkut penumpag, barang, pos,

dan kegiatan keudaraan lainnya dengan

mengangkut bayaran, dengan menggunakan

pesawat terbang bersayap tetap maupun bersayap

putar yang melakukan kegiatan penerbangan 4secara berjadwal maupun tak berjadwal.

Pengaturan mengenai penerbangan yang

pertama terdapat dalam Undang-undang Republik

Indonesia No. 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan

yang kemudian diganti dengan Undang-undang

Republik Indonesia No.15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan. Undang-undang ini pada akhirnya

dicabut karena dianggap tidak efektif dengan

absennya pasal-pasal penting, sebagai berikut:

1. Sumber daya yang professional dalam 5pengoperasian penerbangan

2. Persyaratan kepemilikan pesawat udara untuk 6memperoleh ijin usaha angkutan udara niaga.

3. Sanksi administratif, sanksi peringatan atau

pencabutan sertifikat, lebih lanjut lagi sebagian

sanksinya dijabarkan dalam peraturan

pemerintah, sedangkan peraturan pemerintah 7tidak terdapat sanksi administratif.

Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan diharapkan dapat mengatasi

kekurangan dari undang-undang yang sebelumnya.

Pada tahun 2001, terjadi kemajuan yang

sangat pesat di bidang transportasi udara yang

ditandai dengan banyaknya maskapai penerbangan

baru yang bermunculan. Hal ini merupakan fakta

yang mengejutkan mengingat sebelumnya hanya

dikenal beberapa maskapai penerbangan seperti

Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines,

Mandala Airlines dan sebagainya. Penambahan

maskapai penerbangan yang signifikan ini terjadi

karena adanya kelonggaran dalam peraturan yang

dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan Republik

Indonesia (untuk selanjutnya akan disebut

“MENHUB RI”) pada tahun 2001 yaitu Keputusan

Menteri No 11 Tahun 2001 yang merubah kebijakan

nasional tentang industri udara.

Dengan keputusan tersebut pemerintah

merubah jenjang tahapan pemberian ijin yang

diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga,

yang meliputi daerah operasi, rute dan 8pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Hal

ini menyebabkan semakin banyaknya maskapai

yang hadir di Indonesia dan menurunnya harga

tiket yang tadinya sangat mahal. Penurunan

harga tiket pesawat terbang sebagai akibat

persa ingan antar maskapai -maskapai

penerbangan baru yang muncul membuat

penggunaan jasa pesawat terbang menjadi

meningkat dan hal tersebut dapat dilihat dengan

banyaknya pengguna pesawat terbang yang

seringkali memenuhi bandara udara.

Peningkatan penyelenggaraan angkutan udara

nasional di Indonesia berdampak pula pada

meningkatnya angka kecelakaan pesawat terbang

yang menjadi semakin sering terjadi. Dari tahun ke

tahun jumlah kecelakaan pesawat terbang di

Indonesia tak dapat dianggap sebagai hal yang

ringan. Jenis kecelakaan yang terjadi bervariasi,

yaitu dari kecelakaan ringan seperti pendaratan

yang keluar landasan sampai dengan kecelakaan

berat yang terjadi pada saat penerbangan di udara 9(cruising flight) yang berakibat fatal. Jumlah korban

yang timbul dari kecelakaan tersebut tidaklah

sedikit, yaitu hampir lebih dari 500 (lima ratus) jiwa

setiap tahunnya. Akibat tingginya tingkat

kecelakaan pesawat terbang Indonesia, Uni Eropa

melarang semua pesawat terbang Indonesia. Pada

tahun 2008, ICAO pun menemukan terlalu banyak

kecelakaan yang melibatkan pesawat terbang

Indonesia, sehingga ICAO, FAA dan Tim Uni Eropa

menyimpulkan adanya penyimpangan yang serius 10di Indonesia. Hal ini menyebabkan jatuhnya

pengaturan atau penguasaan sebagian wilayah

udara Indonesia di bawah pengawasan Pemandu

Lalu Lintas Udara negara lain. Pemandu Lalu Lintas

Udara adalah pengawas lalu lintas udara yang

bertujuan memandu dan meningkatkan

keselamatan penerbangan, keterpadanan dan 11pergerakan seluruh pesawat udara di ruang udara.

Reputasi penerbangan di Indonesia yang

sebelumnya sudah cukup buruk menjadi semakin

buruk ditambah lagi pengaturan lalu lintas udara

yang dikuasai oleh negara lain. Dari segi teknis,

kualitas peralatan sudah sangat tua dan juga

kurang memadainya pendidikan di bidang yang

bersangkutan juga menyebabkan Indonesia

tertinggal dari kemajuan teknologi dan

pengoperasian lalu lintas udara dari negara lain. Hal

ini menunjukan bahwa pengaturan bandar udara 12terhadap lalu lintas udara tidak efisien.

Kelancaran lalu lintas udara diatur oleh Bandar

udara yang berfungsi untuk membantu Pilot dalam

mengendalikan keadaan darurat, memberikan

informasi yang dibutuhkan pilot (seperti informasi

cuaca, informasi navigasi penerbangan, dan 13informasi lalu lintas udara).

Pembentukan Undang-undang Penerbangan

yang baru diharapkan dapat menurunkan jumlah

kecelakaan pesawat terbang, namun yang terjadi

adalah sebaliknya. Regulasi baru tersebut

nampaknya tidak diperdulikan oleh beberapa

maskapai penerbangan, melihat masih tingginya

angka kecelakaan pesawat dan semakin banyak

munculnya maskapai penerbangan baru di

Indonesia yang masih tidak memenuhi standar

kelaikudaraan, Kelaikudaraan adalah terpenuhinya

persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan

atau komponen-komponennya untuk menjamin

keselamatan penerbangan dan mencagah 14terjadinya pencemaran lingkungan.

Salah satu penyebab tingginya angka

kecelakaan pesawat yang di Indonesia adalah

rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam

pengelolaan penerbangan serta peralatan yang

dipakai. Profesionalitas sangat diperlukan dalam

pelaksanaan tugas di bidang penerbangan

mengingat tanggung jawab yang sangat besar

sehingga apabila terjadi 1 (satu) kesalahan yang

kecil saja dapat memakan korban puluhan atau

bahkan ratusan jiwa. Rendahnya kualitas dan

profesionalitas di bidang penerbangan dapat dilihat

dari kasus kecelakaan Adam Air Penerbangan KI-

574 di perairan majene Sulawesi Barat pada tanggal

1 Januari 2007. Kecelakaan ini terjadi karena

Kapten penerbang pesawat terlalu sibuk untuk

mencari letak malfunction pesawat sehingga tidak

memperhatikan ketinggian pesawat terbang dan

pada akhirnya pesawat terbang terlalu rendah 15sehingga mendarat di perairan dan tenggelam.

Penyebab jatuhnya pesawat terbang Adam Air

adalah kerusakan pada alat sistem navigasi yang

membantu pesawat untuk mengetahui arah.

Setelah kecelakaan Adam Air baru diketahui bahwa

seringkali terjadi kerusakan diperangkat sistem

navigasi pesawat saat terbang. Akan tetapi oleh

pihak Adam Air komponen tersebut tidak langsung

diganti tetapi hanya diperbaiki dan dianggap masih

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), hlm. 773.2 “Moda Transportasi/Sejarah transportasi, <http://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transportasi/Sejarah_transportasi>, diakses 25 Januari 20143 “Moda Transportasi/Sejarah transportasi”, Loc.cit.4 Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, edisi 1: PT.Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 369.5 Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2010), hal.22.6 Ibid., hlm. 19.7 Ibid., hlm. 43.8 “Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan Udara Dalam Negeri”, <http://hubud.dephub.go.id/?id+page+detail+30>, diakses 12 oktober 2012.

7574

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)

Page 44: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

16layak beroperasi. Hal seperti inilah yang

menyebabkan kecelakaan pesawat terjadi tidak

hanya satu atau dua kali saja dalam setahun dan

rata-rata kasus kecelakaan pesawat terbang terjadi

karena kelalaian teknis serta kelalaian manusia.

Kecelakaan pesawat terbang menyebabkan

kerugian bagi pihak maskapai penerbangan dan

terutama keluarga korban karena selain kehilangan

salah satu anggota keluarganya seringkali korban

kecelakaan pesawat sangat susah untuk ditemukan

jenazahnya.

Bilamana dilihat dari peningkatan jumlah

kasus kecelakaan pesawat di Indonesia dari tahun

ke tahun seharusnya dilakukan upaya untuk dapat

memajukan profesionalitas pengelolaan di bidang

penerbangan dan pemerintah sebagai pembuat

peraturan segera mengambil tindakan yang sifatnya

menanggulangi dan mengatasi agar tingkat

kecelakaan pesawat di Indonesia semakin

berkurang. Upaya yang dapat ditempuh oleh pihak

maskapai penerbangan adalah dengan merekrut

sumber daya manusia yang berkualitas serta

professional dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya mengingat tingginya risiko di

bidang penerbangan yakni menyangkut nyawa

banyak orang. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

jumlah pengguna jasa pesawat terbang. Dalam 1

(satu) pesawat dapat mengangkut kira-kira 50 (lima

puluh) sampai 100 (seratus) orang penumpang

tergantung jenisnya.

Contoh lainnya dari rendahnya kualitas dan

profesionalitas sumber daya manusia di maskapai

penerbangan Indonesia adalah jatuhnya pesawat

Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968 di

Papua tahun 2011. Hasil dari penyelidikan adalah

kecelakaan ini disebabkan oleh kesalahan pilot. Hal

ini disebabkan pilot membatalkan pendaratan dan

membelokan pesawat ke arah kiri secara tajam

dengan kemiringan yg sangat tinggi yaitu 38 (tiga

puluh delapan) derajat. Hal itu juga diikuti dengan

ketidakpatuhan pilot untuk mengikuti prosedur

normal untuk menarik sirip sayap (flap) sehingga

mengakibatkan pesawat kehilangan ketinggian 17secara cepat. Kedua contoh kecelakaan pesawat

terbang yang pernah terjadi di Indonesia membawa

pada kesimpulan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi

sudah terjadi pelanggaran hampir di setiap aspek

dalam maskapai penerbangan, yakni lapangan,

manajemen dan teknis penerbangan.

Maskapai penerbangan Internasional negara

lain hampir tidak pernah mengalami kecelakaan

pesawat pada waktu yang berdekatan. Hal tersebut

dikarenakan adanya kepatuhan, kedisiplinan dan

profesionalitas dalam melaksanakan kewajibannya

dan tanggung jawabnya. Apabila terjadi satu

kecelakaan yang kecil saja, maka sudah dapat

dipastikan bahwa maskapai penerbangan itu akan

dilarang untuk beroperasi, atau harus dilakukan

pemeriksaan secara mendetail oleh pihak yang

berwenang di bidang penerbangan. Hal ini

dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan

berikutnya. Kedisiplinan maskapai penerbangan

asing dikarenakan kuatnya penegakan regulasi

dari pihak pembuat undang-undang sedangkan di

Indonesia dengan lemahnya penegakan hukum di

bidang penerbangan maka tidaklah asing bila setiap

tahunnya terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat saja

terjadi dalam berbagai aspek sehingga tidak hanya

maskapai penerbangan saja yang selalu diminta

pertanggung jawaban karena masih terdapat pihak

lain seperti pengelola Bandar udara serta awak

pesawat yang dapat saja berkontribusi dalam

kecelakaan tersebut. Seperti halnya dalam

kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100

yang terjadi pada tanggal 9 Mei 2012 ketika sebuah

pesawat Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam

penerbangan demonstrasi yang berangkat dari

Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta,

Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, reruntuhan

Superjet Sukhoi terlihat di tebing di Gunung Salak,

sebuah gunung berapi di provinsi Jawa Barat.

Karena bidang yang luas di mana puing-puing

pesawat menabrak gunung, penyelamat

menyimpulkan bahwa pesawat langsung menabrak

sisi berbatu gunung. Kecelakaan pesawat Sukhoi

Superjet 100 ini disebabkan oleh kelalaian pihak 18awak pesawat dalam mengambil keputusan.

Hal ini kemudian membuka ruang bagi orang

untuk mendapatkan pertanggung jawaban baik

dari pihak pengelola Bandar Udara, Awak Pesawat

atau Maskapai Penerbangan dalam hal terjadinya

kecelakaan pesawat terbang, yang akan tim peneliti

teliti lebih lanjut dalam penelitian berjudul

“Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan

Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100” dengan

rumusan masalah Bagaimana Bentuk Pertanggung

Jawaban Hukum Oleh Bandara, Awak Pesawat,

Perusahaan Penerbangan dan Pemerintah Dalam

Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100?

B. Pembahasan dan Analisis

B.1.Kronologis Kecelakaan Pesawat Udara

Sukhoi Superjet 100, di Gunung Salak, Jawa

Barat tanggal 9 Mei 2012

Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi RRJ-

95B, registrasi 97004 dengan nomor penerbangan

RA 36801 yang dioperasikan oleh Sukhoi Civil

Aircraft Company melakukan penerbangan promosi

(demonstration flight) dari Bandar Udara Inter-

nasional Halim Perdanakusuma. Penerbangan yang

mengalami kecelakaan adalah penerbangan kedua

pada hari itu. Dalam penerbangan tersebut terdapat

45 orang yang terdiri dari 2 pilot, 1 navigator, 1 flight

test engineer dan 41 orang penumpang yang terdiri

dari 4 orang personil dari Sukhoi Civil Aircraft

Company (SCAC), 1 orang personil dari pabrik mesin

pesawat (SNECMA) dan 36 orang tamu undangan

yang terdiri dari 34 orang warga negara Indonesia, 1

warga negara Amerika dan 1 warga negara Perancis.

Penerbangan direncanakan menggunakan aturan

terbang secara instrumen (Instrument Flight

Rules/IFR) pada ketinggian 10.000 kaki selama 30

menit dengan bahan bakar yang mampu untuk

terbang selama 4 jam. Wilayah yang diijinkan untuk

penerbangan ini adalah di area Bogor sementara itu

pilot mempunyai asumsi bahwa penerbangan

tersebut telah disetujui untuk terbang ke arah radial 19200 HLM VOR sejauh 20 Nm.

Peta yang tersedia pada pesawat tidak memuat

informasi mengenai area Bogor sebagai area latih

pesawat militer maupun kontur dari pegunungan

disekitarnya. Dalam penerbangan tersebut Pilot In

Command (PIC) bertugas sebagai pilot yang

mengemudikan pesawat dan Second In Command

(SIC). Bertugas sebagai pilot monitoring. Di-cockpit,

pada tempat duduk observer (jump seat) duduk

seorang wakil dari calon pembeli.

Pada pukul 07:20 UTC (Universal Time

Coordinated) atau 14:20 WIB, pesawat tinggal

landas dari landasan 06, kemudian berbelok ke

kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR

dan naik ke ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul

07:24 UTC (14:24 WIB), pilot melakukan

komunikasi dengan Jakarta Approach dan

memberikan informasi bahwa pesawat telah berada

pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai

ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul 0726 UTC

(1426 WIB), pilot minta ijin untuk turun ke

ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit

(lintasan melingkar) ke kanan. Ijin tersebut

diberikan oleh petugas Jakarta Approach. Tujuan

pilot untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki dan

membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu

tinggi untuk proses pendaratan di Halim 20menggunakan landasan 06.

Pada pukul 07:32:26 UTC (1432 lewat 26 detik

WIB, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data

Recorder/FDR pesawat menabrak tebing Gunung

Salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR, atau

pada koordinat 06°42'45”S 106°44'05”E dengan

ketinggian sekitar 6.000 kaki di atas permukaan

laut. Tiga puluh delapan (38) detik sebelum

benturan, Terrain Awareness Warning System

(TAWS) memberikan peringatan berupa suara:

“TERRAIN AHEAD, PULL UP” dan diikuti oleh enam

(6) kali “AVOID TERRAIN”. PIC mematikan (inhibit)

TAWS tersebut karena berasumsi bahwa

peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh

database yang bermasalah. Tujuh (7) detik

menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa

suara “LANDING GEAR NOT DOWN” yang berasal

dari sistem peringatan pesawat. Peringatan

“LANDING GEAR NOT DOWN” aktif apabila pesawat

berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas

permukaan tanah dan roda pendarat belum 21diturunkan.

Pada jam 0750 UTC (1450 WIB) petugas

Jakarta Approach menyadari bahwa target pesawat

Sukhoi RRJ95B sudah hilang di layar radar. Tidak

ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target

pesawat dari layar radar.

Pada tanggal 10 Mei 2012 (keesokan harinya),

Badan Search and Rescue Nasional (BASARNAS)

berhasil menemukan lokasi pesawat. Semua awak

pesawat dan penumpang meninggal dalam

kecelakaaan ini serta pesawat dalam kondisi

hancur. Pada tanggal 15 Mei 2012, Cockpit Voice 16 “Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan Pesawat”, <http://www.ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/keselamatan-penerbangan-mainmenu-48/104-adam-air?start=2,> diakses 12 Oktober 2012.17 “Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”, <http://id. wikipedia. org/ wiki/ Merpati_Nusantara_Airlines_Penerbangan_8968>, diakses 12 Oktober 2012.18 K e c e l a k a a n S u k h o i S u p e r j e t 1 0 0 d i G u n u n g S a l a k < h t t p : / / i d . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / Kecelakaan_Sukhoi_Superjet_100_di_Gunung_Salak>, diakses 20 November 2012.

19 Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004 Mount Salak, West Java”. National Transportation Safety Committee, 18 Desember 2012, hal. ix.20 Aircraft Accident Investigation Report ,Loc.cit., hal.ix.21 Aircraft Accident Investigation Report. Loc.cit., hal.ix.

7776

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)

Page 45: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Recorder (CVR) telah ditemukan dalam keadaan

hangus akan tetapi memory module dalam keadaan

baik dan berisikan 2 jam rekaman dengan kualitas

yang baik. Pada tanggal 31 Mei 2012, Flight Data

Recorder (FDR) ditemukan dalam keadaan baik dan

berisikan 150 jam rekaman dari 471 parameters.

Kedua flight recorder (black box) ini dibaca di

laboratorium recorder milik KNKT oleh ahli dari

KNKT dan disaksikan oleh ahli dari Russia. Seluruh

parameter berhasil di-download dan dari hasil

download tersebut tidak ditemukan adanya indikasi

kerusakan sistem pada pesawat selama

penerbangan. Hasil simulasi yang dilakukan setelah

kejadian diketahui bahwa, TAWS berfungsi dengan

baik dan memberikan peringatan dengan benar.

Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat

dihindari jika dilakukan tindakan menghindar

(recovery action) sampai dengan 24 detik setelah 22peringatan TAWS yang pertama.

Pelayanan Jakarta Radar belum mempunyai

batas ketinggian minimum untuk melakukan vector

pada suatu daerah tertentu dan Minimum Safe

Altitude Warning (MSAW) yang ada pada sistem

tidak memberikan peringatan kepada petugas

Jakarta Approach sampai dengan pesawat

menabrak. Vector adalah perintah berupa arah yang

diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada 23pilot pada pelayanan radar.

B.2.Tanggung Jawab Bandar Udara dalam

Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100

Bandar Udara bertanggung jawab

menyediakan pelayanan PKP-PK (Pertolongan

Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran)

yang berkewajiban untuk memberikan pertolongan

guna menyelamatkan para penumpang, sekaligus

menghindari kerugian yang lebih besar sebagai

dampak dari suatu kecelakaan pesawat terbang.

Bandara juga bertanggung Jawab untuk

memastikan suatu pesawat dapat mendarat dan

lepas landas dengan aman, dimana peran Pengatur

Lalu Lintas sangat besar untuk memastikan

terjaminnya suatu keamanan penerbangan di udara

sesuai dengan Peraturan Keselamatan Penerbangan

Sipil 139 Sub Bagian 139H dalam poin 139.135

tentang penerapannya PK-PK.

Dalam hal kecelakan Sukhoi Superjet, banyak

dugaan bahwa pengatur lalu lintas udara (air traffic

controler/ATC) Jakarta yang menyebabkan

kecelakaan karena memberikan ijin penurunan

ketinggian jelajah pesawat dari semula 10.000 kaki

(3.048 meter dpl) menjadi 6.000 kaki (1.830 meter

dpl) padahal di selatan Bogor ada jajaran Gunung

Halimun dan Salak, masing-masing memiliki

ketinggian puncak 6.219 kaki (1.895 meter dpl) dan

7.151 kaki (2.180 meter dpl). Sesuai dengan kotak

hitam perekam data, menunjukkan bahwa semua

sistem dalam pesawat Sukhoi SuperJet-100

berfungsi normal hingga detik terakhir tanpa ada

masalah. Meskipun kawasan Gunung Salak saat

itu diliputi awan Cumulonimbus, tetapi tidak terjadi

hempasan yang menurunkan ketinggian pesawat 24secara drastis.

Guna melakukan demo terbang (joyflight) di

Indonesia, SCAC menetapkan Bandara Halim

Perdanakusuma sebagai basis dan memilih PT

Indoasia Ground Utama sebagai kru darat untuk

mempersiapkan semua kebutuhan pra- dan pasca-

terbang. Mengingat padatnya lalu lintas udara di

ruang udara Jakarta bagian utara, maka demo

terbang bakal dilakukan di ruang udara Jakarta

bagian selatan dan bakal berlangsung dua kali.

Sempat muncul usulan rute demo terbang

Jakarta-Pelabuhan Ratu, namun pada akhirnya

disepakati demo terbang hanya berlangsung atas

Depok-Bogor sejauh maksimum 25 mil nautika (45

km) dari bandara Halim Perdanakusuma dengan

ketinggian jelajah maksimum 10.000 kaki (3.048

meter dpl). Dengan demikian demo terbang hanya

akan berlangsung di ruang udara Atang Sanjaya

Training Area, yang adalah kawasan militer hingga

ketinggian maksimum 6.000 kaki (1.828 meter dpl).

Di atas batas ketinggian 6.000 kaki ini

bukanlah kawasan militer sehingga diperbolehkan

untuk lalu lintas udara sipil. Yang menjadi titik

kesalahan kru darat, mereka tidak menyertakan

peta topografi dan mem-briefing karakter ruang

udara tujuan sehingga pilot dan kopilot

menganggap (bahkan meyakini) ruang udara itu

adalah datar (seperti ternyata dalam percakapan

pilot dengan tamu undangan di kokpit pada pukul

14:30:44 s/d 14:30:48 WIB) tanpa menyadari

bahwa persis di sisi selatan terdapat jajaran

Gunung Halimun dan Gunung Salak.

ATC Jakarta pun turut menanggung beban,

yang diawali dari kekeliruan pencatatan Sukhoi

SuperJet-100 dalam database mereka menjadi

Sukhoi-30, sehingga di tampilan di layar radar

adalah Su-30 (akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30

adalah akronim untuk pesawat militer, sehingga

petugas ATC Jakarta pun menganggap

penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu sebagai

penerbangan “militer” yang membuatnya

diperkenankan untuk turun ke ketinggian 6.000

kaki saat berada di ruang udara Atang Sanjaya

Training Area, padahal seharusnya tidak

diperbolehkan.

Kesalahan berikutnya, ruang udara Gunung

Salak dan Gunung Halimun ternyata tidak

dimasukkan pula dalam database radar sehingga

tidak diketahui nilai ketinggian jelajah minimal

untuk terbang di sini. Dan kesalahan berikutnya

lagi, meski radar ATC Jakarta memiliki sistem alarm

yang bakal memberitahukan petugas jika ada

pesawat yang terbang terlalu rendah (dibawah

ketinggian jelajah minimal), namun pada saat

tragedi terjadi alarm itu ternyata dalam kondisi non-

aktif. Masalah kurangnya sumberdaya manusia di

ATC Jakarta juga menjadi bidikan KNKT mengingat

saat penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu

berlangsung, petugas ATC Jakarta yang

mengawasinya juga harus menangani 14

penerbangan lainnya secara simultan dan sendirian

sehingga terpaksa berperan sebagai petugas,

asisten dan supervisor sekaligus.

Beban kerja yang berat inilah yang

menyebabkan menghilangnya Sukhoi SuperJet-100

dari layar radar baru disadari dalam 24 menit pasca

kecelakaan. Sebaliknya otorisasi penurunan

ketinggian jelajah ke 6.000 kaki ternyata tidak

menjadi masalah mengingat hal itu memang

diperbolehkan dengan catatan hanya sebatas di

ruang udara Atang Sanjaya Training Area. ATC

Jakarta pun turut menanggung beban, yang diawali

dari kekeliruan pencatatan Sukhoi SuperJet-100

dalam database mereka menjadi Sukhoi-30,

sehingga di tampilan di layar radar adalah Su-30

(akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30 adalah

akronim untuk pesawat militer, sehingga petugas

ATC Jakarta pun menganggap penerbangan Sukhoi

SuperJet-100 itu sebagai penerbangan “militer”

yang membuatnya diperkenankan untuk turun ke

ketinggian 6.000 kaki saat berada di ruang udara

Atang Sanjaya Training Area, padahal seharusnya

tidak diperbolehkan.

Ada beberapa factor sehingga kemungkinan

terjadinya kelalaian atau kelengahan sangat besar

dalam melaksanakan pekerjaan bagi ATC. Faktor-25faktor tersebut meliputi:

1. Personal

Kebutuhan akan personal di bidang ATC

sangat jelas. Pada unit Are Control Centre

kebutuhan idealnya adalah 10 (sepuluh) orang 26dengan perincian sebagai berikut:

a. 2 (Dua) Orang sebagai shift leader/

supervisor yang mengawassi setiap Air

Traffic Controller yang sedang bertugas dan

mengatur mekanisme kerja pada saat itu.

b. 4 (empat) Senior Air Traffic Controller yang

memiliki Radar Rating yang melakukan

fungsi pengaturan dan pemanduan lalu

lintas udara dengan memeprgunakan

peralatan radar.

c. 2 (dua) orang Senior Air Traffic Controller

yang melakukan pengaturan lalu lintas

udara tanpa peralatan radar.

d. 2 (dua) orang Junior Air Traffic Controller

sebagai Flight Data.

Tidaklah jarang hanya ada 5 (lima) orang saja

pada prakteknya di lapangan. Dalam kondisi

seperti dalam kenyataan diatas peranan

supervisor hampir tidak terlihat. Hal mana

disebabkan karena mereka ikut juga bekerja

sebagai controller sehingga fungsi pengawasan

tidak berjalan semestinya. Pada setiap shift selalu

dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok

bagian barat dan kelompok bagian timur yang 27biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu:

a. Satu orang shift leader;

b. Satu orang Senior Air Traffic Controller yang

memiliki Radar Rating;

c. Satu orang Senior Air Traffic Controller (non

radar).

Mengingat bahwa unit-unit ATC bekerja selama

24 jam, maka waktu kerjanya dibagi menjadi 3 28(tiga) kelompok, yaitu:

a. Kelompok pagi, dari jam 07.00-14.00;

b. Kelompok siang, dari jam 14.00-19.00;

c. Kelompok malam, dari jam 19.00-07.00.

22 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.23 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.24 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.

25 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Cetakan Kedua, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 146.26 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 146.27 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.28 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.

7978

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)

Page 46: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

2. Kapasitas Kerja

Kurang personal juga mempengaruhi kapasitas

kerja, karena disamping harus mengadakan

pengaturan dan pengawasan lalu lintas udar,

seorang ATC juga harus melakukan

Koordinasi. Untuk satu pesawat udara paling

sedikit memerlukan 2 (dua) kali koordinasi.

Apabila pada saat jadwal penerbangan yang

padat, maka kurang lebi haru dilakukan 40

(empat puluh) kali koordinasi dan hal ini

menyangkut hal-hal pokok saja. Agar

koordinasi berjalan lancar seharusnya hal ini

dilakukan oleh seorang Asisten Controller

sehingga Air Traffic Controller dapat

memaksimalkan peforma kerjanya pada

pengaturan dan pengendalian pesawat udara

yang aktif saja. Dalam pelaksanaan tugas ATC

seringkali pada saat yang sama seorang ATC

harus melakukan 2 (dua) pekerjaan sekaligus,

hal ini dapat dilakukan berkat kemantapan

serta pengalaman yang bersangkutan. Akan

tetapi tidak semua orang mempunyai kapasitas

yang sama. Terlebih dalam pekerjaan ini

membutuhkan ketelitian dan ketangkasan

dalam mengambil kebijaksanaan dalam suatu

keputusan yang harus seketika itu 29dilaksanakan.

3. Sarana Komunikasi

Dalam hal sarana komunikasi terdapat TX

(Transmitter) dan RX (Receiver), yaitu suatu

perangkat pesawat radio untuk memancarkan

dan menerima. Akan tetapi pada keadaaan

cuaca buruk pesawat radio seringkali

terganggu, terkadang pemberian instruksi

harus diulang berkali-kali karena suara yang

didengar tidak jelas atau terputus-putus.

Berikut adalah perangkat-perangkat

komunikasi dalam hal pengendalian lalu lintas 30udara, yaitu:

a. Local Baterray, merupakan perangkat

komunikasi didarat yang dipergunakan untuk

mengadakan kordinasi sesama unit ATC.

b. Inter Automatic Direct Speech, merupakan

perangkat komunikasi sesama ATC unit

pada pelabuhan udara yang berbeda.

Seringkali dalam operasi penerbangan

perangkat-perangkat ini berbunyi pada saat yang

bersamaan. Seorang Pemandu ATC harus mampu

mendengarkan dan mencatat semua yang

dikoordinasikan, bila terjadi kesalahan maka dapat 31mengakibatkan kejadian yang fatal.

Dalam hal pertanggung jawaban di dalam

dunia Penerbangan terdapat dua macam tanggung

jawab, masing-masing dalam arti liability dan 32tanggung jawab dalam arti responsibility. Dalam

hal Liability ATC tidak bertanggung jawab untuk

membayar kerugian yang diderita oleh pihak

korban kecelakaan pesawat, sebab tanggung jawab

tersebut ditanggung oleh perusahaan penerbangan

berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-undang 33Hukum Perdata dan ajaran hukum yang berlaku.

Menurut ajaran hukum tersebut majikan dan

pegawainya dianggap menjadi satu untuk

keperluan tanggung jawab. Tanggung jawab dalam

hal Responsibility berdasarkan Undang-undang

Dasar Republik 1945 siapa pun akan diperlakukan

sama didepan hukum, termasuk dengan pemandu

lalu lintas udara (ATC). Pemandu lalu lintas udara

tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya

tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan.

Mereka dapat dikenakan sanksi administratif

berupa teguran lisan maupun tertulis, cabut

sertifikat kecakapan, tidak ada perpanjangan

sertifikat kecakapan dan sampai dapat diajukan di

pengadilan sesuai dengna tingkat kesalahan 34mereka. Akan tetapi dalam kasus Sukhoi pihak

bandara dianggap tidak bersalah sehingga tidak ada

pertanggung jawaban yang dituntut. Hal ini

dikarenakan kesalahan berada pada pihak pilot in

command dan sesuai dengan Undang-undang yang

berlaku pihak perusahaan penerbangan yang

bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat

Sukhoi.

B.3.Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan

dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi.

Dalam hal jatuhnya pesawat Sukhoi,

perusahaan penerbangan Sukhoi yang berasal dari

Rusia yang bernama Sukhoi Civil Aircraft Company

(untuk selanjutnya akan disebut “SCAC”) harus

memberikan ganti rugi pada pihak keluarga korban

sesuai dengan Peraturan Menteri No. 77 Tahun

2011 (untuk selanjutnya akan disebut “PM

No.77/2011”) mengenai Tanggung Jawab

Pengangkut Angkutan Udara. Mengenai tanggung

jawab pengangkut Angkutan Udara yang dimaksud

dengan pengangkut dalam PM No.77/2011 pasal 1

ayat 2, yaitu:

“Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin

kegiatan angkutan udara bukan niaga yang

melakukan kegiatan angkutan udara niaga

berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang

Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan

Usaha Angkutan Udara yang membuat kontrak

perjanjian angkutan udara niaga.”

Dalam PM No.77/2011 juga terdapat definisi

kecelakaan dalam pasal 1 ayat 12 yaitu, Kecelakaan

adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang

mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan

atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa

atau luka serius.

Sesuai dengan PM No.77/2011 dalam kasus

kecelakaan Sukhoi, SCAC milik Rusia ini harus

memberikan asuransi sebagai bentuk pertanggung

jawaban atas kecelakaan pesawat Sukhoi yang

jatuh pada tanggal 9 Mei 2012 lalu. Jenis Tanggung

jawab dan besaran ganti kerugian ini diatur dalam

Bab II PM No.77/2011 dimana Pengangkut yang

mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung

jawab atas kerugian terhadap:

a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap

atau luka-luka;

b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat

d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;

e. Keterlambatan angkutan udara; dan

f. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Menteri Perhubungan meminta agar SCAC

untuk memberikan Asuransi pada pihak keluarga

korban dan ahli waris dari korban kecelakaan

pesawat. Sesuai dengan PM No.77/2011 pasal 3

huruf (a) ,yaitu: “Penumpang yang meninggal dunia

di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan

pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada

hubungannya dengan pengangkutan udara

d i b e r i k a n g a n t i k e r u g i a n s e b e s a r

Rp.1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima

puluh juta rupiah) per penumpang.”

Setelah hasil Investigasi KNKT atas kecelakaan

pesawat ini maka SCAC diwajibkan untuk

memberikan pertanggung jawaban berupa asuransi

senilai Rp.1.250.000.000 ( satu milyar dua ratus

lima puluh juta rupiah) sebagai ganti rugi atas

kecelakaan pesawat yang menimpa keluarga

penumpang pesawat Sukhoi.

B.4.Tanggung Pemerintah dan KNKT dalam

Kecelakaan Pesawat Sukhoi.

Pemerintah yang sebagaimana disebut dalam

penelitian ini adalah pihak-pihak yang

bertanggung jawab untuk memberikan sanksi

administratif dalam hal terjadi kecelakaan

dibidang penerbangan. Pihak-pihak tersebut

adalah Menhub, Dirjen Perhubungan Udara dan

KNKT. Dalam hal ini Menhub sebagai pemegang

otoritas penerbangan nasional yang bertanggung

jawab terhadap pengelolaan penerbangan sipil

terutama dalam aspek keamanan terbang

memberikan tugas pada Dirjen Perhubungan

Udara untuk mengawasi pelaksanaan Investigasi

Kecelakaan pesawat terbang yang dilaksanakan

oleh KNKT. Disini KNKT bertugas untuk mencari

sumber permasalahan dalam kecelakaan pesawat

terbang Sukhoi dan berkewajiban untuk

melaporkan hasil Investigasi kepada Dirjen

Perhubungan Udara.

Ini diatur dalam Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009

mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri

Perhubungan Kepada Direktur Jendral

Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan dalam

pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri diatur

dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun 2012.

KNKT sebagai pihak Investigator juga berfungsi

sebagai berikut:

1. Komite bertanggung jawab untuk menyelidiki

dan melaporkan kecelakaan sistem

transportasi udara, insiden serius dan

kurangnya keamanan dalam pengoperasian

sistem transportasi udara di Indonesia.

2. Komite ini juga berpartisipasi sebagai

perwakilan yang terakreditasi di luar negeri

dalam investigasi kecelakaan dan insiden

serius yang melibatkan transportasi yang

dibangun, terdaftar dan atau pengoperasian

pesawat Indonesia.

3. Komite melakukan investigasi dan studi sistem

transportasi udara untuk mengidentifikasi,

memperbaiki dan mencari faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi keamanan dan

berpotensi menjadi faktor-faktor yang

signifikan dalam kecelakaan.

29 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.30 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.31 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm.148.32 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit, hlm. 380.33 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit,hlm. 380.34 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit, hlm. 380.

8180

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)

Page 47: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

4. Komite bertanggung jawab untuk secara

independen menasihati Menteri komunikasi

melalui NTSC pada tren keselamatan dan isu-

isu keamanan luas.

5. Penyelidikan kecelakaan pesawat yang

dilakukan sesuai dengan Annex 13 dari

Konvensi mengenai penerbangan sipil

internasional, dan mempertimbangkan hukum

Indonesia dengan peraturan yang ada.

Dalam Investigasi kecelakaan suatu pesawat

seperti dalam hal kasus kecelakaan Sukhoi, KNKT

berfungsi untuk mencari “Apa yang salah dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab

kecelakaan dalam Pesawat”. Tujuan KNKT dalam

melaksanakan Investigasi untuk mencegah

terjadinya kecelakaan yang serupa dimasa

mendatang. Dalam hasil laporan Investigasi KNKT

ditemukan 3 (tiga) factor yang berkontribusi

terhadap kecelakaan pesawat Sukhoi ini, yaitu:

1. Awak pesawat tidak menyadari kondisi

Pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang

dilalui karena beberapa factor yang berakibat

awak pesawat mengabaikan peringatan dari

TAWS.

2. Pelayangan Radar belum mempunyai batas

ketinggian minimum pada pesawat yang

diberikan vector (perintah berupa arah yang

diberikan oleh pengatur lalu lintas udara

kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem dari

Radar di Jakarta belum dilengkapi dengan

MSAW (minimum safe altitude warning) yang

berfungsi untuk daerah Pegunungan Salak.

3. Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak

pesawat dari percakapan yang berkepanjangan

dan tidak terkait dengan penerbangan. Hal ini

menyebabkan pilot yang menerbangkan

pesawat tidak dengan segera mengubah arah

pesawat ketika orbit dan pesawat keluar tanpa

sengaja.

Setelah Investigasi kecelakaan selesai KNKT

berkewajiban untuk mengumumkan hasil laporan

yang sudah disetujui oleh Menhub dan Dirjen

Perhubungan Udara kepada Publik yang kita kenal

sebagai “Media Release” dan pihak KNKT harus

mengeluarkan rekomendasi keselamatan kepada

Dirjen Perhubungan Udara, Bandara Internasional

Soekarno-Hatta, Departemen Industri Penerbangan

dan Industri Rusia SCAC. Menhub dan Dirjen

Perhubungan Udara sebagai pemegang otoritas

tertinggi disini bertanggung jawab untuk

memberikan sanksi administratif pada pihak yang

lalai dalam kecelakaan pesawat, akan tetapi para

pihak yang dipersalahkan tewas seketika pada saat

kecelakaan pesawat dan pihak ATC disini dianggap

tidak bersalah. Jadi kesalahan sepenuhnya terletak

pada pilot pesawat Sukhoi yang lalai dalam

mengambil keputusan disaat darurat.

C. Kesimpulan

Dari seluruh uraian uraian dalam penelitian

ini, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pihak

Bandara, Awak Pesawat, Perusahaan Penerbangan

dan Pemerintah memiliki tanggung jawab hukum

secara berbeda-beda dalam hal kecelakaan pesawat

Sukhoi Superjet 100 ini. Untuk lebih jelasnya

mengenai masing-masing tanggung jawab adalah

sebagai berikut:

a. Pihak Bandara tidak bertanggung jawab untuk

membayar kerugian yang diderita oleh pihak

korban kecelakaan pesawat akan tetapi pihak

bandara berkewajiban untuk memberikan

pertolongan dalam kecelakaan penerbangan

sesuai dengan Peraturan Keselamatan

Penerbangan Sipil 139 Sub Bagian 139H,

sebab tanggung jawab tersebut ditanggung oleh

perusahaan penerbangan berdasarkan Pasal

1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

dan ajaran hukum yang berlaku. Akan tetapi

ATC dapat dikenai tanggung jawab secara

administratif oleh Menhub apabila terjadi

kelalaian dalam pengoperasian lalu lintas

penerbangan dalam kasus Sukhoi Superjet 100

pihak Bandara dinyatakan tidak bersalah dan

pihak KNKT sudah mengkonfirmasi bahwa

kecelakaan pesawat tersebut semata-mata

dikarenakan kelalaian pilot dan dikarenakan

pilot tewas seketika dalam kecelakaan naas

tersebut maka pihak perusahaan penerbangan

yang berkewajiban untuk bertanggung jawab

kepada keluarga pihak korban kecelakaan

tersebut.

b. Sesuai dengan hasil investigasi KNKT

menonjolkan bahwa sebab kecelakaan pesawat

Sukhoi Superjet 100 disebabkan oleh kelalaian

pilot. Dimana terdapat 3 (tiga) faktor utama:

1. Awak pesawat tidak menyadari kondisi

Pegunungan di sekitar jalur penerbangan

yang dilalui karena beberapa factor yang

berakibat awak pesawat mengabaikan

peringatan dari TAWS.

2. Pelayangan Radar belum mempunyai batas

ketinggian minimum pada pesawat yang

diberikan vector (perintah berupa arah yang

diberikan oleh pengatur lalu lintas udara

kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem

dari Radar di Jakarta belum dilengkapi

dengan MSAW (minimum safe altitude

warning) yang berfungsi untuk daerah

Pegunungan Salak.

3. Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak

pesawat dar i percakapan yang

berkepanjangan dan tidak terkait dengan

penerbangan. Hal ini menyebabkan pilot

yang menerbangkan pesawat tidak dengan

segera mengubah arah pesawat ketika orbit

dan pesawat keluar tanpa sengaja.

Dalam hal ini pilot sebagai pihak yang

bertanggung jawab sepenuhnya atas

kecelakaan pesawat terbang ini seharusnya

diberikan sanksi administratif atas

kelalaiannya.

c. Perusahaan penerbangan SCAC sebagai

perusahaan penerbangan yang terlibat dalam

kecelakaan ini bertanggung jawab sepenuh

pada korban dan brrkewajiban untuk

mengganti rugi atas kerugian yang diderita atas

keluarga pihak korban kecelakaan SCAC

berkewajiban memberikan ganti rugi berupa

asuransi pada pihak keluarga korban sekitar

Rp.1.250.000.000,- ( satu milyar dua ratus lima

puluh juta rupiah) sesuai dengan Peraturan

Menteri No.77 Tahun 2011 angka 3 huruf (a).

d. Pemerintah yang memegang otoritas tertinggi

adalah Menhub dimana Menhub bertugas

untuk melaporkan hasil kecelakaan pesawat

udara yang terjadi di Indonesia pada presiden.

Dibawah Menhub terdapat Dirjen Hubud yang

bertugas untuk memberikan perintah kepada

KNKT, mengawasi pelaksanaan Investigasi dan

memberikan sanksi kepada pihak yang

dianggap lalai dalam kecelakaan pesawat.

Setelah Dirjen Hubud terdapat sebuah lembaga

yang bertugas untuk melakukan penyelidikan

terhadap sebab dan faktor sebuah kecelakaan

transportaidi Indonesia yaitu KNKT. Setelah

hasil investigasi selesai, pihak KNKT

berkewajiban untuk melapor kepada Dirjen

Hubud dan Melakukan Media Release untuk

kejelasan mengenai sebab kecelakaan pesawat

Sukhoi Superjet 100. Setelah hasil laporan

KNKT diterima oleh Dirjen Hubud maka

barulah Dirjen Hubud dapat menetapkan

sanksi administratif apakah yang akan

diberikan pada pihak-pihak yang lalai.

Disinilah letak tanggung jawab pemerintah

yaitu mencari titik terang suatu insiden

kecelakaan transportasi, memberikan sanksi

administratif dan memberikan kejelasan

kepada publik perihal kecelakaan Sukhoi

Superjet 100. Tugas dan Tanggung Jawab

Pemerintah diatur dalam Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009

mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri

Perhubungan Kepada Direktur Jendral

Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan

dalam pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri

diatur dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun

2012.

Daftar Pustaka

Buku:

Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil

Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004

Mount Salak, West Java”. National

Transportation Safety Committee, 18

Desember 2012

Hakim, Chappy, Awas Ketabrak Pesawat Terbang,

Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2009,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4,

Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1995

Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan

Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional,

Cetakan Kedua,, Bandung: Mandar Maju,

1995

Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,

edisi 1, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,

2007

Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan

Internasional, Cetakan ke II, Jakarta,

PT.Raja Grafindo Persada, 2007

Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara,

Cetakan ke II, Jakarta, PT.Raja Grafindo

Persada, 2010

Website :

Moda Transportasi/Sejarah transportasi,

<http://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transp

ortasi/Sejarah_transportasi>, diakses 25

Januari 2014

8382

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)

Page 48: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan

Udara Dalam Negeri”, <http://hubud.

dephub.go.id/?id+page+detail+30>, diakses

25 Januari 2014

Adam Air Penerbangan KI-574”, <http://id.

wikipedia.org/wiki/Adam_Air_Penerbangan_

574>, diakses 27 Januari 2014

Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan

Pesawat”, <http://www.ilmuterbang.

com/artikel-mainmenu-29/keselamatan-

KERJASAMA INTERNASIONAL PERPINDAHAN NARAPIDANA

ANTARA WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA INDONESIA

(TREATY ON TRANSFER OF SENTENCED PERSON BETWEEN

FOREIGNERS AND INDONESIAN CITIZEN)

Eka Martiana Wulansari

Bagian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-undangan

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia

Email : [email protected](Naskah diterima 07/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan

dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP ) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada narapidana. Treaty

on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan bersedia memindahkan

narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap harus menjalani hukuman

sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana mensyaratkan adanya Putusan

Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata

adalah upaya memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya di negara asal.

Kata kunci: Kerjasama Internasional, Perpindahan Narapidana.

Abstract

Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an agreement between states with state as a legal subject made in

writing and creates rights and obligations in the area of Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is one of

the government's efforts to maximize training to inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be implemented

if the state where the court is willing to move the prisoners to their home countries with few consequences: first, inmates still

have to wak on the appropriate punishment that has been decided by the courts. Second, the transfer of inmates requires a

court verdict that had been legally enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely facilitating the inmates to wak

on the appropriate punishment in the country of origin.

Keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.

bersangkutan di negara asal guna menjalani sisa

masa hukumannya, dalam suatu prosedur yang

dikenal sebagai Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP).

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)

semakin mengemuka di era globalisasi dimana

interaksi dan hubungan antar negara maupun

“people to people contact” menjadi semakin

meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma

hukum Internasional dan hukum nasional berlaku

sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu

negara didalam menerapkan suatu kebijakan.

Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan

narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan,

antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama

atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering

mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan

A. Pendahuluan

Bagi Indonesia, meningkatnya hubungan

dengan negara-negara lain telah membawa dampak

bagi peningkatan arus orang dan barang yang

keluar dan masuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat

dari banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang

berada di negara lain maupun Warga Negara Asing

(WNA) yang berada di Indonesia.

Peningkatan mobilitas antar negara

berimplikasi pada perlunya dipatuhi hukum

nasional yang mengatur interaksi orang dan barang

di wilayah tersebut. Pelanggaran hukum nasional

sering kali berdampak pada sanksi hukum

termasuk pemidanaan pelaku tindak pidana tampa

membedakan kewarganega raan yang

bersangkutan. Keadaan ini mendorong masyarakat

internasional untuk membentuk suatu mekanisme

pemindahan narapidana dari negara tempat yang

8584

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84

penerbangan-mainmenu-48/104-adam-

air?start=2,> diakses 27 Januari 2014

Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”,

<http://id.wikipedia.org/wiki/Merpati_Nusa

ntara_Airlines_Penerbangan_8968>, diakses

27 Januari 2014

Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak

<http://id.wikipedia.org/wiki/Kecelakaan_S

ukhoi_Superjet_100_di_Gunung_Salak>,

diakses 28 Januari 2014

Page 49: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan

reintegrasi ke dalam masyarakat.

Kebebasan dasar dan hak dasar yang disebut

dengan Hak asasi Manusia (HAM) yang melekat

pada manusia secara kodrati merupakan anugrah

Tuhan Yang Maha Esa (YME). Pancasila sebagai

dasar negara mengandung pemikiran yang sejalan

bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan YME dengan

mengandung dua aspek yang terdiri atas aspek

individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas 1(bermasyarakat).

Kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi

orang lain, dan HAM tidak dapat diingkari.

Pengingkaran terhadap HAM berarti mengingkari

martabat kemanusiaan. Oleh karena itu setiap

orang, pemerintah, negara, atau organisasi apapun

mengemban kewajiban untuk bertanggung jawap

dalam menghormati, mengakui, melindungi,

membela dan menjamin HAM pada setiap manusia

tampa kecuali, termasuk HAM bagi narapidana

dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

(LAPAS). Hal ini berarti bahwa HAM harus selalu

menjadi titik tolak dan tujuan dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Kewajiban menghormati

HAM tersebut, tercermin dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 yang

menjiwai keseluruhan pasal dalam batang

tubuhnya terutama yang berkaitan dengan

persamaan kedudukan setiap warga negara dalam

hukum dan pemerintahan, dan hak asasi untuk

mendapatkan penghidupan yang layak.

Narapidana pada dasarnya tidak berbeda

dengan manusia lainya yang sewaktu-waktu dapat

melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat

dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.

Dalam hal ini, yang harus diberantas adalah faktor-

faktor yang dapat menyebabkan narapidana

berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,

kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban

sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

Pemidanaan ada lah upaya untuk

menyadarkan narapidana atau anak pidana agar

menyesali perbuatannya, dan mengembalikanya

menjadi masyarakat yang baik, taat kepada hukum,

menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan

keagamaam sehingga tercapai kehidupan

masyarakat yang aman, tertib, dan damai. LAPAS

merupakan tempat untuk mencapai tujuan

pemidanaan tersebut melalui pendidikan,

rehabilitasi dan reintegrasi. Dalam sistem

Pemasyarakatan Indonesia, narapidana

diintegrasikan dalam masyarakat, maka gerak

usaha berpusat dan ditujukan kepada integritas

kehidupan dan penghidupan dari narapidana 2bersangkutan.

Tujuan utama dari sistem Pemasyarakatan

adalah rehabilitasi, yang diatur dalam Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Pasal

10 ayat (4) yang telah dirativikasi dengan UU Nomor

12 Tahun 2005 tentang Rativikasi Kovenan Hak

Sipil dan Politik (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)

Dalam Article 10:4 menyatakan: “The penitentiary

system shall comprise treatment of prisoners the

essential aim of which shall be their reformation and

social rehabilitation”.

Menurut Jhon Kaplan alasan yang dapat

digunakan dalam memidana penjahat adalah 3rehabilitasi (rehablitation): The mot immediately

appealing justification for punishment is the claim

that it may be used to prevent crime by so changing

the personality of the offender that he will conform to

the dictates of law, in a word by reforming

him...(banyak permohonan dengan segera

membenarkan pemidanaan sebagai tuntutan dan

hal tersebut dapat digunakan mencegah kejahatan

dengan merubah kepribadian prilaku kejahatan

begitu ia akan mematuhi hukum, dalam satu kata

untuk memperbaiki dia). Rehabilitasi disini juga

diartikan sebagai tujuan dari pemidanaan. Teori

tentang tujuan pemidanaan, dikemukaan oleh

Herbert L. Parker menyatakan bahwa ada dua

pandangan konseptual yang masing-masing

mempunyai implikasi moral yang berbeda satu

sama lain, yaitu pandangan retributif (retributive 4view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).

Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara

adalah Pemasyarakatan.“Negara tidak berhak

membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat

daripada sebelum ia dipenjarakan” dan “tidak boleh

selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu

penjahat”. Hal ini mengandung makna bahwa

pemenjaraan harus diletakkan dalam kerangka

untuk membangun para pelanggar hukum agar

mereka dapat kembali berintegrasi secara sehat

dengan masyarakat. Sahardjo kemudian sepuluh

prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana.

Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan 5terdiri atas: orang yang tersesat harus diayomi

dengan memberikankepadanya bekal hidup sebagai

warga negara yang baik danberguna dalam

masyarakat; penjatuhan pidana bukan tindakan

pembalasan dendam dari negara; rasa tobat

tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan

dengan bimbingan; negara tidak berhak membuat

seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat

daripada sebelum ia masuk lembaga; selama

kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana

harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak

boleh diasingkan dari masyarakat; pekerjaan yang

diberikan kepada narapidana tidak bolehbersifat

mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi

kepentingan lembaga atau negara saja. pekerjaan

yang diberikan harus ditujukan untuk

pembangunan negara; bimbingan dan didikan

harus berdasarkan asas pancasila; tiap orang

adalah manusia dan harus diperlakukan

sebagaimanusia meskipun ia telah tersesat, tidak

boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu

penjahat; narapidana itu hanya dijatuhi pidana

hilang kemerdekaan; dan sarana fisik lembaga

dewasa ini merupakan salah satuhambatan

pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan

dalam rangka membentuk Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik dan 6bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan

ber fungs i meny iapkan warga b inaan

pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara

sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan

kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas 7dan bertanggung jawab.

Narapidana merupakan manusia yang

memiliki spesifikasi tertentu. Secara umum

narapidana adalah manusia biasa, seperti kita

semua, tetapi kita tidak dapat menyamakan begitu

saja, karena menurut hukum, ada spesifikasi

tertentu yang menyebabkan seseorang disebut

narapidana. Narapidana adalah orang yang tengah

menjalani pidana, tidak peduli apakah itu pidana

penjara, pidana denda atau pidana percobaan.

Namun pada umumnya orang hanya menyebut

narapidana bagi mereka yang sedang menjalani

pidana penjara. Karena memiliki spesifikasi

tertentu, maka dalam membina narapidana tidak

dapat disamakan dengan kebanyakan orang.

Membina narapidana harus menggunakan prinsip-

prinsip pembinaan narapidana. Prinsip-prinsip

yang paling mendasar kemudian dinamakan

prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada

empat komponen penting dalam pembinaan 8narapidana, yaitu: diri sendiri, yaitu narapidana itu

sendiri; keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau

keluarga dekat; masyarakat, adalah orang-orang

yang berada di sekeliling narapidana pada saat

masih di luar lembaga permasyarakatan rutan,

dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau

pejabat setempat; dan petugas, dapat berupa

petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan,

petugas sosial, petugas Lembaga Permasyarakatan,

Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain

sebagainya. Keempat komponen pembina

narapidana, harus tahu akan tujuan pembinaan

narapidana, perkembangan pembinaan

narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai

program serta pemecahan masalah. Dalam

membina narapidana, keempat komponen harus

bekerjasama dan saling memberi informasi, terjadi

komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan

narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang

diharapkan.

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)

merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

memaksimalkan pembinaan kepada narapidana.

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat

dilaksanakan apabila negara dimana Pengadilan

bersedia memindahkan narapidana ke negara asal

dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama,

narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai

yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, 2 Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta: 27 April 2002. hlm 29.3 Alasan yang dapat digunakan dalam memidana penjahat terdiri atas: pembalasan (retribution), menakutkan (deterrence), membuat tidak mampu (incapacitation), dan rehabilitasi (rehablitation),Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases and Material, the Foundation Press Inc, New York, 1978, hlm.27.4 Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California: 1968, hlm.9.

5 Sahardjo, S.H., "Pohon Beringin Pengayom hukum Pancasila", Pidato pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Universitas Indonesia, hlm. 8 dan 15.6 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.7 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.8 Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008.

8786

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 50: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

pemindahan narapidana mensyaratkan adanya

Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang

disepakati semata-mata adalah upaya memfasilitasi

para narapidana untuk dapat menjalani 9hukumanya di negara asal.

B. Urgensi Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) di Indonesia

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem.

Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana

mempunyai beberapa komponen yang bekerja

saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan.

Sedikitnya ada empat belas komponen yaitu:

falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem,

klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan

terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat

pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana,

keluarga narapidana dan pembina/pemerintah.

Pembinaan narapidana dilakukan di tempat

pembinaan. Tempat pembinaan narapidana terdiri 10atas:

1. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan

Narapidana harus dipidana dan dibina di

Lembaga Pemasyarakatan saja. Narapidana

yang menjalani pidana di Lembaga

Pemasyarakatan, pada dasarnya selama

menjalani pidana, telah kehilangankebebasan

untuk bergerak, artinya narapidana yang

bersangkutanhanya dapat bergerak di dalam

Lembaga Pemasyarakatan sajaKebebasan

bergerak, kemerdekaan bergerak, telah

dirampasuntuk jangka waktu tertentu, atau

bahkan seumur hidup. Namun dalam

kenyataannya, bukan hanya kemerdekaan

bergerak sajayang hilang, tetapi juga berbagai

kemerdekaan yang lain ikut terampas. Dalam

proses pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan

yang mendapat porsi besar dalam

melaksanakan pemidanaan, setelah melalui

proses persidangan di pengadilan. Pada

awalnya tujuan pernidanaan adalah penjeraan,

membuat pelaku tindak pidana menjadi jera

untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan

itu kemudian berkembang menjadi

perlindungan hukum, baik kepada masyarakat

(pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku

tindak pidana (pihak yang merugikan), agar

keduanya tidak melakukan tindakan hukum

sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya

perlindungan hukum, maka pelaku tindak

pidana dalam menjalani pidananya, juga

mendapat perlakuan yang manusiawi,

mendapat jaminan hukum yang memadai.

Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha

Lembaga Pemasyarakatan untuk membina

narapidana, untuk mengenal diri sendiri,

sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi

lebih baik, menjadi positif, tidak lagi

melakukan tindak pidana dan mampu

mengembangkan diri sendiri menjadi manusia

yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama,

dan keluarganya. Berbagai upaya telah

dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam

rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang

efektif dan efisien, agar narapidana dapat

mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa

pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut

usia, misalnya Lembaga Pemasyarakatan

Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan

dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan

Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga

Pemasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin

Bandung, dan Lembaga Pemasyaraktan

Dewasa dihampir semua kota kabupaten.

B e g i t u j u g a d i d i r i k a n L e m b a g a

Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin,

misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus

Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan

Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi

berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga

Pemasyarakatan Kelas I. II. dan III. Masih

dalam kaitan upaya melaksanakan

pemidanaan, telah dipisahkan menurut

tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan

dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).

Sekali pun telah diusahakan berbagai hal

dalam rangka pembinaan narapidana selama

menjalani pidana, namun ternyata dampak

psikologis akibat pidana penjara masih

nampak dan memerlukan pemikiran yang

tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis

akibat dari pidana penjara, jauh lebih berat

dibanding pidana penjara itu sendiri. Sehingga

sebenarnya seorang narapidana tidak hanya

dipidana secara fisik, tetapi juga secara

psikologis. Pidana secara psikologis merupakan

beban yang berat bagi setiap narapidana.

Sehingga diperlukan pemikiran untuk

memecahkan.Berbagai dampak psikologis 11tersebut antara lain:

a. Loos of personality, seorang narapidana

selama dipidana akan kehilangan

kepribadian diri, identitas diri, akibat

peraturan dan tata cara hidup di Lembaga

Pemasyarakatan. Narapidana selama

menjalani pidana, diperlakukan yang sama

atau hampir sama antara satu narapidana

dengan narapidana lainnya. Kenyataan ini

akan membentuk satu kepribadian yang

khas pula, yaitu kepribadian narapidana.

Cara perlakuan terhadap narapidana oleh

petugas Lembaga Pemasyarakatan, lebih

menjurus kepada pola hidup feodalisme,

sehingga terjadi klas-klas tertentu dalam

struktur kemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan. Masyarakat narapidana

terhagi dalam stratifikasi sosial, antara lain:

klas petugas (penguasa, priyayi), klas

narapidana pembantu pegawai (tamping,

pemuka), klas narapidana jenis kejahatan

keras (perampok, pembunuh), dan klas

narapidana jenis kejahatan ringan

(pencurian, penipuan). Stratifikasi sosial

tersebut membentuk tingkat penguasaan

wilayah yang berdasar kekuatan, besar,

banyak atau kerasnya tingkat kejahatan

yang dilakukan. Seorang narapidana yang

telah banyak melakukan kejahatan dengan

kekerasan, akan disegani dan berpengaruh

diantara teman-temannya. Demikian pula

seorang narapidana yang berkali-kali

masuk Lembaga Pemasyarakatan hanya

karena kasus pencurian, akan disepelekan

oleh teman-temannya. Akibatnya dalam

kehidupan kelompok berdasarkan sel

tempat tinggalnya, akan muncul satu

pimpinan kelompok, yang ditakuti dan

disegani. Dalam kumpulan sel yang disebut

blok akan muncul pula satu pimpinan blok

(non formal leader), sekalipun dalam blok

tersebut telah ditunjuk seorang pimpinan

yang sah (formal leader). Munculnya

dualisme kepemimpinan dalam blok akan

menimbulkan persaingan yang keras,

sehingga dapat terjadi perkelahian karena

berebut kekuasaan. Keadaan yang

demikian akan memecah belah kepribadian

narapidana, yang dari luar (sebelum masuk

Lembaga Pemasyarakatan) telah mengalami

keretakan kepribadian. Banyak sekali

n a r a p i d a n a y a n g k e h i l a n g a n

kepribadiannya, setelah berada di Lembaga

Pemasyarakatan, karena tidak mampu

menahan goncangan kehidupan dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

b. Loos of security, selama menjalani pidana,

narapidana selalu dalam pengawasan

petugas. Seseorang yang secara terus

menerus diawasi, akan merasakan kurang

aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa

selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau

bertindak, karena takut kalau tindakannya

merupakan suatu kesalahan, yang dapat

berakibat dihukum atau mendapat sanksi.

Pengawasan yang dilakukan setiap saat,

narapidana menjadi ragu dalam bertindak,

kurang percaya diri, jiwanya menjadi labil,

salah tingkah dan tidak mampu mengambil

keputusan secara baik. Situasi yang

demikian, dapat mengakibatkan

narapidana melakukan tindakan

kompensasi demi stabilitas jiwanya.

Padahal tidak setiap kompensasi

berdampak positip. Rasa tidak aman di

dalam Lembaga Pemasyarakatan akan tetap

terbawa sampai keluar dari Lembaga

Pemasyarakatan, dan baru akan hilang jika

mantan narapidana telah mampu

beradaptasi dengan masyarakat.

c. Loos of liberty, pidana hilang kemerdekaan

telah merampas berbagai kemerdekaan

individual, misalnya kemerdekaan

berpendapat, kemerdekaan membaca surat

kabar secara bebas, melakukan hobby,

mendengarkan radio, menonton televisi,

memilih dan dipilih dalam pemilu, dan

sederetan kemerdekaan individual lainnya.

Secara psikologis, keadaan yang demikian

menyebabkan narapidana menjadi tertekan

jiwanya, pemurung, malas, mudah marah,

dan tidak bergairah terhadap program-

program pembinaan bagi diri sendiri.

Padahal pembinaan narapidana

memerlukan stabilitas kepribadian, rasa

aman dan perasaan bebas untuk

menentukan sikap. 9 Op.cit.,Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM10 Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008. 11 Ibid.

8988

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 51: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

d. Loos of personal communication, kebebasan

untuk berkomunikasi terhadap siapa pun

juga terbatasi. Narapidana tidak bisa bebas

untuk berkomunikasi dengan relasinya.

Keterbatasan ini disebabkan karena setiap

pertemuan dengan relasi dan keluarganya

waktunya sangat terbatas dan kadangkala

pembicaraan didengar oleh petugas yang

mengawasinya. Begitu juga halnya dengan

surat-surat yang harus diperiksa/ditilik,

buku bacaan dan surat kabar harus

disensor dulu. Sebagai manusia sosial,

narapidana memerlukan komunikasi

dengan teman, keluarga atau dengan orang

lain. Keterbatasan kesempatan untuk

berkomunikasi merupakan beban psikologi

tersendiri.

e. Loos of good and service, narapidana juga

merasakan kehilangan akan pelayanan.

Dalam Lembaga Pemasyarakatan,

narapidana harus mampu mengurus

dirinya sendiri. Mencuci pakaian, menyapu

ruangan, mengatur tempat tidurnya sendiri

dan lain sebagainya. Narapidana tidak boleh

memilih warna pakaian, atau membuat

pakaian dengan model tersendiri, semua

telah diatur agar sama, baik mengenai

warna maupun modelnya. Begitu juga

mengenai masakan, dan menu makanan,

semua telah diatur oleh pihak Lembaga

Pemasyarakatan. Hilangnya pelayanan,

menyebabkan narapidana kehilangan rasa

affection, kasih sayang, yang biasanya

didapat di rumah. Hal ini menyebabkan

seseorang menjadi garang, cepat marah,

atau melakukan hal-hal lain sebagai

kompensasi kejiwaannya.

f. Loos of Heterosexual, selama menjalani

pidana, narapidana ditempatkan dalam

blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya.

Penempatan ini menyebabkan narapidana

juga merasakan betapa naluri seks, kasih

sayang, rasa aman bersama keluarga ikut

terampas. Kasih sayang terhadap anak,

isteri/suami dan anggota keluarga yang lain

tak dapat ditemui selama di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Akan menyebabkan

penyimpangan seksual, misalnya

homoseks, lesbian, masturbasi, dan lain

sebagainya. Semua merupakan penyaluran

nafsu seks yang terpendam. Tentu saja

merupakan abnormalitas seksual, yang jika

tidak ditangani secara benar akan tetap

berlanjut setelah lepas dari Lembaga

Pemasyarakatan.

g. Loos of Prestige, narapidana juga telah

kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk

perlakuan dari petugas terhadap

narapidana telah membuat narapidana

menjadi terampas harga dirinya. Misalnya,

penyediaan tempat mandi yang terbuka

untuk mandi bersama-sama, WC yang

terbuka, kamar tidur (sel) yang hanya

berpintu teralis besi dan lain sebagainya.

Alasan keamanan menjadi dasar utama dari

perlakuan terhadap narapidana, tetapi

dampak psikologis menjadi lebih besar

dibanding hasil dari alasan keamanan

tersebut. Kebiasaan-kebiasaan tersebut

akan membuat narapidana memiliki harga

diri yang rendah.

h. Loos of Belief, akibat dari berbagai

perampasan kemerdekaan, sebagai dampak

dari pidana penjara, narapidana menjadi

kehilangan akan rasa percaya diri sendiri.

Ketidakpercayaan akan diri sendiri,

disebabkan tidak ada rasa aman, tidak

dapat membuat keputusan, kurang mantap

dalam bertindak, kurang memiliki stabilitas

jiwa yang mantap. Ketidakpercayaan

terhadap diri sendiri akan mengganggu

program pembinaan, sebab kreatifitas

narapidana juga tidak dapat tersalurkan

dengan sempurna. Rasa percaya diri sangat

penting sekali dalam membina narapidana.

Kepercayaan dirinya dapat dicapai jika

narapidana telah mengenal diri sendiri.

i. Loos of Creativity, selama menjalani pidana,

narapidana juga terampas kreatifitasnya,

ide- idenya, gagasan-gagasannya,

imajinasinya, bahkan juga impian dan cita-

citanya. Karena apa yang menjadi cita-

citanya tidak segera dapat terwujud, tidak

segera dapat dilaksanakan. Kemandegan

dalam melaksanakan kreatifitas manusia,

akan mengganggu jiwa seseorang. Seperti

halnya kebutuhan manusia yang lain,

seperti makan, membaca, maka kreatifitas

adalah bagian dari kebutuhan manusia

dalam proses berpikir. Manusia ingin selalu

mengembangkan diri dalam berkreasi,

menemukan sesuatu, dan pikiran manusia

tidak akan berhenti berpikir. Itulah

sebabnya krcatifitas juga tidak pernah

berhenti, terus berkembang. Kreatifitas

tidak hanya berhenti dengan berpikir saja,

tetapi juga menuntut untuk diwujudkan.

Proses perwujudan yang akan menjadi

kendala bagi narapidana, sehingga menjadi

masalah tersendiri, menjadi problem

psikologis bagi narapidana.

2. Di luar Lembaga Pemasyarakatan

Berbagai bentuk pembinaan narapidana di luar

Lembaga Pemasyarakatan dan memenuhi

syarat untuk menjalani pembinaan di luar

lembaga pemasyarakatan, sebagian telah

dilaksanakan pemerintah oleh Lembaga

Pemasyarakatan, tetapi sebagian lagi masih

merupakan gagasan, ide yang masih

memerlukan pengembangan. Bentuk

pembinaan narapidana di luar Lembaga 12Pemasyarakatan yaitu:

a. Pembinaan dalam keluarga narapidana.

Bentuk pembinaan ini adalah pembinaan

narapidana yang ditempatkan di dalam

keluarga narapidana sendiri. Narapidana

yang telah memenuhi persyaratan tertentu,

kepadanya dapat diberikan pembinaan di

luar Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan

dapat berupa VI (Voorwaardelyke

Invrijheidsstelling) dalam bahasa Indonesia

disebut Pelepasan Bersyarat, atau PRT (Pre

Release Treatment) yang juga disebut

sebagai cuti bersyarat. Baik VI maupun PRT

merupakan bentuk dari pembinaan

n a r a p i d a n a d i l u a r L e m b a g a

Pemasyarakatan, artinya narapidana yang

mendapatkan VI atau PRT masih tetap

berstatus sebagai narapidana, hanya tidak

m e n j a l a n i p i d a n a d i L e m b a g a

Pemasyarakatan, tetapi tinggal dalam

keluarganya, sampai habis masa

pidananya. Selama tinggal di keluarganya,

narapidana tersebut dapat melakukan

semua aktivitasnya sebagai manusia,

sepanjang tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku. Jadi memperoleh

kebebasan yang mutlak, sama dengan

manusia pada umumnya. Untuk

mendapatkan VI maupun PRT diperlukan

persyaratan administrasi tertentu, sehingga

tidak semua narapidana bisa mendapatkan

VI atau PRT. Selama di keluarganya,

narapidana tersebut mendapat bimbingan

dari petugas Balai Bispa. Perkembangan

pembinaan dan kepribadian narapidana

menjadi tugas dan pengawasan Balai Bispa.

Selama tidak melakukan tindak pidana

atau melanggar hukum yang berlaku,

narapidana yang mendapat VI/PRT akan

tetap menjalani sisa pidananya di luar

Lembaga Pemasyarakatan. Peran Kepala

Desa dan masyarakat untuk membina dan

memberikan informasi kepada pihak

Lembaga Pemasyarakatan tentang

narapidana yang menjalani VI/PRT sangat

diharapkan sekali, sebab setiap masukan,

baik yang positif maupun yang negatif akan

sangat berguna bagi perkembangan

pembinaan narapidana di Indonesia.

b. P e m b i n a a n d a l a m L e m b a g a

Pemasyarakatan Terbuka. Narapidana yang

telah memenuhi persyaratan tertentu dan

telah mendapat ijin dari Kepala Lembaga

Pemasyarakatan, dapat ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, jika

narapidana tersebut bersedia. Lembaga

Pemasyarakatan Terbuka, merupakan

bangunan rumah biasa yang ditempatkan

di alam terbuka, biasanya di tanah

pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan,

atau tanah pertambakan, perkebunan dan

lain sebagainya. Para narapidana tersebut

bertugas menggarap tanah pertanian,

perkebunan atau tambak. Mereka dapat

berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.

Melakukan kegiatan kemasyarakatan atau

keagamaan dengan masyarakat di

sekitarnya, menerima kunjungan keluarga

dan lain sebagainya. Pengawasan jauh lebih

longgar dibanding saat berada di Lembaga

Pemasyarakatan.

c. Bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana juga dapat bekerja atau sekolah

di luar Lembaga Pemasyarakatan. Untuk

dapat bekerja, sekolah atau kuliah di luar

Lembaga Pemasyarakatan, harus

memenuhi persyaratan tertentu.

Narapidana yang bekerja, sekolah, kuliah

diluar Lembaga Pemasyarakatan, kalau

pagi hari keluar dari Lembaga

Pemasyarakatan untuk menunaikan

tugasnya, dan setelah selesai kembali lagi ke

Lembaga Pemasyarakatan. Jadwal

pekerjaan, sekolah, kuliah harus diberikan

kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan/

12 Ibid.

9190

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 52: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Rutan, agar pihak yang mengawasi

narapidana tersebut tahu kapan

narapidana harus kembali ke Lembaga

Pemasyarakatan. Supaya narapidana tidak

menggunakan waktu luangnya untuk

kegiatan lain, selain yang telah diijinkan.

d. Pidana Waktu Luang. Seseorang yang telah

dipidana, se-harusnya dapat meng4jukan

permohonan kepada hakim, untuk

menjalankan pidananya hanya pada

saat/waktu luang saja. Terutama untuk

pidana jangka pendek, misalnya pidana

karena pelanggaran lalu lintas, pidana

karena tidak punya KTP dan lain

sebagainya. Pidana yang hanya berkisar

empat belas hari sampai satu bulan, dapat

dilakukan hanya pada saat waktu luang

saja, misalnya pada hari libur Sabtu dan

Minggu sejumlah pidana yang dijatuhkan

kepadanya. Pidana waktu luang belum

diterapkan di Indonesia, karena perangkat

bukunya belum ada. Tetapi bukan tidak

mungkin, pidana waktu luang diterapkan di

Indonesia dimasa mendatang, apalagi

penerapan beberapa undang-undang sudah

mulai dijalankan secara konsisten. Dengan

menjalani pidana waktu luang, seorang

narapidana akan memperoleh banyak

keuntungan, misalnya tidak kehilangan

pekerjaan, tercegah penularan kejahatan

dan beberapa kehilangan akibat pidana

penjara dapat dikurangi.

e. Rumah Transisi. Dalam pembinaan

narapidana di Indonesia, rumah transisi

belum ada. Rumah transisi adalah sebuah

rumah biasa yang ditempati oleh keluarga

petugas dan dalam keluarga itu juga

ditempatkan narapidana yang telah

memenuhi syarat untuk bekerja atau

belajar di luar Lembaga Pemasyarakatan.

Jadi narapidana yang telah memenuhi

persyaratan dan dapat bekerja atau belajar

di luar Lembaga Pemasyarakatan,

ditempatkan dalam sebuah rumah di luar

Lembaga Pemasyarakatan yang disebut

rumah transisi. Rumah transisi dapat

ditempati petugas dengan keluarganya,

tetapi dapat pula ditempatkan petugas

Lembaga Pemasyarakatan yang ditugaskan

secara bergilir. Dalam rumah transisi,

narapidana dapat bergaul dengan

masyarakat pada umumnya, dapat

mengikuti kegiatan kemasyarakatan,

keagamaan, atau kegiatan lain yang

diijinkan oleh undang-undang. Rumah ini

dimaksudkan untuk transisi narapidana

sebelum secara langsung dan penuh hidup

dengan masyarakat tanpa pengawasan

petugas. Fungsi rumah transisi juga

mempersiapkan narapidana untuk mulai

bekerja, sehingga setelah habis menjalani

pidana, sudah mempunyai pekerjaan atau

penghasilan yang tetap. Rumah transisi

didirikan di tengah pemukinan penduduk,

dapat di tengah kota, pinggiran kota, atau di

desa. Penempatan narapidana di rumah

transisi juga harus diperhatikan tentang

keahlian, latar belakang pendidikan/

pekerjaan, sehingga lebih cepat

menyesuaikan dengan masyarakat

sekitarnya, atau lebih cepat mendapatkan

pekerjaan. Rumah transisi dapat berupa

sebuah rumah, tetapi dapat pula berupa

rumah susun, atau bagian dari rumah

susun. Artinya sebagian rumah susun

digunakan untuk rumah transisi, sedang

bagian yang lain digunakan untuk

masyarakat biasa.

Pada dasarnya tujuan pembinaan narapidana

di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah

mengurangi dampak psikologis akibat pidana

penjara, disamping juga upaya untuk mendekatkan

diri dari narapidana kepada masyarakat. Seringkali

seorang narapidana yang selama bertahun-tahun di

dalam Lembaga Pemasyarakatan, kurang tahu

akan perkembangan di luar Lembaga

Pemasyarakatan. Baik perkembangan fisik akibat

pembangunan, atau perkembangan berita,

teknologi dan perkembangan masyarakat. Dengan

pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan,

secara perlahan-lahan narapidana akan mampu

beradaptasi dengan masyarakatnya. Setelah habis

masa pidananya, narapidana benar-benar telah 13siap untuk terjun ke masyarakat.

Dalam upaya meningkatkan pembinaan bagi

narapidana, Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) merupakan salah satu bentuk dari Perjanjian

Internasional yang berkaitan dengan narapidana,

yang dimaksud dengan narapidana adalah WNA

dan WNI yang melakukan kejahatan disuatu

negara, dan diputuskan bersalah oleh Pengadilan

yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga ia

tersebut harus menjalani hukumanya di negara 14tersebut. Dalam Pasal 2, UU Nomor 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

(Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2006

Nomor 63, Lembar Tambahan Negara Nomor 4634),

yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa

Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang

disahkan dengan undang-undang sebagai warga

negara.

Narapidana WNA dalam LAPAS Indonesia

mengalami permasalahan yang sangat kompleks

diantaranya tentang perbedaan kebiasaan,

kebudayaan dan bahasa. Selain itu narapidana juga

mengalami permasalahan dalam menjalani ibadah

yang sesuai dengan agama dan kepercayaanya juga

permasalahan makanan. Untuk mengurangi

permasalahan tersebut perangkat hukum yang

perlu dipersiapkan diantaranya, setiap LAPAS

harus menerapkan Standar Perlakuan Minimum

PBB terhadap narapidana. Selain itu perlu dibentuk

skema Transfer of Sentenced Person (TSP) sebagai

bentuk bantuan hukum terhadap narapidana WNA

dan sebagai bentuk kerjasama internasional.

Mekanisme lainya yang perlu diperhatikan adalah

model regional dari Transfer of Sentenced Person

(TSP), Standar Transfer of Sentenced Person (TSP)

dari PBB dan Undang-Undang yang bersifat

nasional yang mengatur tentang Transfer of 15Sentenced Person (TSP).

Di Indonesia, Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) baru memperoleh perhatian pada awal

tahun 2000, namun masih terbatas pada beberapa

instansi yang terkait dengan permasalahan Treaty

on Transfer of Sentenced Person (TSP). Faktor-faktor

yang menyebabkan adanya perhatian pemerintah

terhadap Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) yaitu, pertama, keanggotaan Indonesia pada

beberapa Konvensi Internasional, antara lain United

Nations Convention Against Transnasional

Organized Crime (UNTOC) dan United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC). Kedua,

tawaran dari negara lain untuk membentuk

perjanjian bilateral Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP).

Ugensi Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) di Indonesia antara lain adanya kepentingan

nasional yang mendesak dan semakain banyak

negara sahabat yang menawarkan pembentukan

kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) dengan Indonesia namun belum dapat direspon

di antaranya Malaysia, Thailand, China/Hongkong,

filiphina, Perancis, Nigeria, Iran, India, bulgaria,

Rumania, Brasil, Australia, dan Suriah.

Permintaan dari negara-negara sahabat

tersebut perlu dipertimbangkan dengan positif

dalam upaya menjaga bilateral yang telah

berlangsung dengan baik dan sal ing

menguntungkan. Sampai saat ini Indonesia belum

dapat menaggapi permintaan dari negara-negara

sahabat karena belum adanya legislasi nasional

mengenai Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP). Dapat dipahami bahwa tawaran negara-

negara asing untuk membentuk kerjasama Treaty

on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan

Indonesia di dasari pada kepentingan jangka

pendek untuk memulangkan warga negara mereka

yang dipidana di Indonesia. Di lain pihak,

seharusnya pemerintah Indonesia juga dapat

berupaya untuk meluangkan warga negaranya yang

di hukum di luar negeri, guna melindungi dan

menjamin perlindungan HAM mereka dengan

memberikan hak-hak rehabilitasi, reintegrasi dan

asimilasi untuk kembali ke masyarakat.

Dalam hal, kepentingan nasional yang

mendesak dapat terlihat dalam data yang

dikeluarkan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI,

Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler

Kementrian Luar Negeri RI pada tahun 2012,

jumlah WNI di luar negeri lebih dari 4.5 juta orang.

Angka tersebut belum termasuk WNI undocumented

yang jumlahnya juga sangat signifikan. Mayoritas

WNI tersebut adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

yang mayoritas wanita dengan tingkat pendidikan

rendah, sehingga rentan terkena permasalahan

hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya

kasus hukum yang dialami oleh WNI luar negeri

seperti ditunjukan pada Tabel 1 sampai dengan 16Tabel 4 berikut ini.

13 Ibid.

14 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8, hlm. 169.15 Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under International Instruments And Domestic Legislation: A Comparative Study, By Michael Plachta. Frieburg, Germany: Max-Planck-Institut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The George Washington University, George Washington Journal of International Law and Economics, 1995, hlm. 49516 Ibid.,hlm. 3

9392

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 53: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Tabel 1

17Data WNI di Luar Negeri Tahun 2011-2012

Tabel 2

18Profil WNI di Luar Negeri Tahun 2011-2012

Tabel 3

Jumlah WNI yang di Penjara di Luar Negeri 19Tahun 2011-2012

Tabel 4

Kasus-Kasus WNI Terancam Hukuman Mati di 20Luar Negeri Tahun 2011-2012

Permasalahan WNI di Luar Negeri sangat

beragam,antara lain:Evakuasi WNI terkait dengan 23 “Perjanjian Ekstradisi” adalah penyerahan orang oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan orang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdeksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya (Pasal 1, UU Nomor 1 Tahun 1979);“Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA)” adalah merupakan bantuan berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta; “Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty on Transfer of Sentenced Person/TSP)” adalah kerjasama negara-negara anggota dapat mempertimbangkan untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian bilateral atau multilateral untuk mentransfer terdakwa yang dihukum penjara kewilayah hukum mereka atau bentuk lain dari penghilangan kebebasan karena tindak pidana yang dimaksud di dalam konvensi dengan tujuan agar mereka dapat menyelesaikan hukumanya disana; “The Transfer of Criminal Proceedings”, adalah kerjasama negara-negara anggota akan mempertimbangkan kemungkinan untuk saling mentransfer hasil dari penyidikan suatu tindak pidana yang disebutkan di dalam konvensi di dalam kasus-kasus dimana transfer itu dianggap sebagai kepentingan dari administrasi yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang memberikan yuridiksi, denganmaksud untuk menkonsentrasikan penyidikan; “Law Enforcement Cooperation”, adalah kerjasama negara-negara anggota yang

Wilayah Jumlah %

Afrika

5.918 0.14%Eropa

85.393 2.02%

Amerika 185.159 4.38%

Asia 2.654.796 62.80%

Pasifik 90.465 2.14%Timur Tengah 1.205.652 28.52%

Total 4.227.383 100.00%

konflik politik dan bencana alam;Penanganan

kasus-kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam

hukuman mati; pemulangan TKI dari shelter

berbagai Perwakilan RI;penanganan WNI

overstayers di Arab Saudi;penanganan WNI

pendatang asing tanpa ijin (PATI) di Malaysia;

kasus-kasus penembakan WNI oleh Polisi Di Raja

Malaysia (PDRM); penanganan ABK WNI yang

terlibat dalam penyelundupan manusia (people

smuggling) di Australia; dan kasus ABK korban 21ekspoitas.

Langkah-Langkah Strategis Perlindungan

terhadap WNI, selama ini antara lain: Pertama,

langkah pencegahan (preventive), yaitu program

kegiatan yang bertujuan untuk mencegah ter-

jadinya kasus. Langkah pencegahan ini disesuaikan

dengan karakteristik permasalahan yang berbeda di

setiap perwakilan. Langkah-langkah tersebut

berupa kampanye penyadaran publik; desiminasi

informasi; kerjasama dengan para stakelolder baik di

pusat maupun daerah; welcoming program; outreach

pelayanan kekonsuleran; pemberdayaan

masyarakat di luar negeri; pendidikan dan pelatihan

bagi SDM di perwakilan. Kedua, langkah deteksi

dini(early detection), yaitu program kegiatan yang

bertujuan agar permasalahan atau kasus dapat

segera diketahui sebelum menjadi isu yang tidak

terkendali.Langkah-langkah tersebut berupa

pengembangan data base system basis IT;

singkronisasi dan integrasi database; penyediaan

hotline service; kunjungan ke penjara, tahanan

imigrasi, polisi dan sebagainya; penguatan jejaring

kerja kepada pejabat instansi setempat dan

stakeholders lainya baik di pusat maupun

Pemerintah RI. Ketiga, langkah perlindungan secara

cepat dan tepat (immediate response) yaitu, program

kegiatan untuk menyelesaikan kasus yang telah

terjadi. Langkah-langkah tersebut berupa

menanggapi secara cepat dan tepat setiap

pengaduan masyarakat; melakukan penanganan

khusus secara terukur; optimalisasi satgas Citizen

Service di Perwakilan RI; menyediakan sleter untuk

perlindungan fisik; pemberian bantuan hukum;

pemberian bantuan sosial dan kemanusiaan; dan 22repratiasi. Dengan adanya hukum nasional

tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) di

Indonesia merupakan salah satu langkah-langkah

strategis dari pemeritah agar lebih mudah dalam

melindungi WNI di luar negeri.

Di lain pihak, banyak narapidana WNA yang

saat ini di penjara di Indonesia, dan seringkali

menimbulkan permasalahan karena adanya

tuntutan perlakuan yang dikaitkan dengan

penegakan nilai-nilai Universal HAM. Disamping itu,

keterbatasan kapasitas lembaga pemasyarakatan

untuk dapat menampung seluruh narapidana WNA

di Indonesia turut menjadi faktor yang perlu

dipertibangkan dalam menjawap tawaran kerjasama

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP).

Salah satu keuntungan adanya hukum

nasional mengenai Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) adalah Indonesia dapat memiliki

kepastian hukum dan parameter yang jelas dalam

pelaksanaan Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) sesuai kepentingan nasional dan dalam

koridor yang dimungkinkan berdasarkan hukum

internasional, termasuk jenis-jenis kejahatan berat

tertentu yang mungkin bertentangann dengan rasa

keadilan masyarakat Indonesia. Adanya dasar

hukum juga memberikan kepastian bagi seluruh

instansi terkait dalam menyusun posisi terkait

dengan tawaran kerja sama Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP).

Penyusunan legislasi nasional dapat mengacu

atau mengadaptasi ketentuan yang terkait Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) yang telah

disepakati pada forum multiteral, bilateral dan

hukum nasional dengan mempertimbangkan

kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat.

Dalam skema kerjasama Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP) harus tetap mengacu pada

perlunya masing-masimg negara menghornmati

dan menegakan hukum nasional dimana hukuman

pidana dijatuhkan termasuk aspek penegakan

hukum dan pemantuan pelaksanaan hukum.

Seiring dengan semakin berkembangnya rezim

hukum Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)

dan pratiknya yang telah lazim di manca negara,

serta guna memenuhi kebutuhan Indonesia untuk

melindungi warganegaranya di luar negeri yang

sedang menjalani hukuman, maka bagi pemerintah

RI dapat segera untuk menyamarkan persepsi dan

mengambil langkah-langkah kongkrit untuk

mempersiapkan suatu instrumen hukum nasional

yang mengatur kewenangan, prosedur dan

mekanisme Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) antar negara.

C. Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP)

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),

merupakan suatu perjanjian antar negara dengan

subjek hukum negara dan dibuat secara tertulis

serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang

Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) dapat saja termuat dalam satu atau

lebih dari satu dokumen dan dapat saja di beri

nama apapun yang dalam proses pembuatannya di

sesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000

Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4012). Hal ini merupakan salah

satu cara untuk mewujudkan tujuan negara dan

pembangunan hukum nasional yang dilakukan

dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baru sebagai landasan hukum

mekanisme kerja Hukum Internasional.

Instrumen kerjasama dalam Hukum Inter-

nasional baik secara bilateral maupun multilateral,

digunakan oleh negara-negara yang masih dalam

satu kawasan maupun tidak, terutama untuk

menyamakan persepsi tentang Hukum Positif di

masing-masing negara. Instrumen hukum yang

digunakan dalam kerjasama Hukum Internasional

antara lain Perjanjian Ekstradisi; Perjanjian

Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana

(Mutual Legal Assistance In Criminal Matters/MLA);

Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty On

Transfer of Sentenced Person/TSP); The Transfer of

Criminal Proceedings; Law Enforcement Cooperation; 23Joint Investigation; dan Handing Over of Property.

Indonesia sudah memiliki dua Instrumen

17 Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri RI, di sampaikan pada acara Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif Nasional Pelaksanaan Kerjasama Internasional Transfer of Sentences Persons”, Bandung, 8-10 Maret 2013.18 Ibid.19 Ibid.20 Ibid. 21 Ibid,22 Ibid.

2011 2012

Negara

Jumlah Kasus2011

Jumlah yang

Dilepaskan dari

Ancaman Hukuman Mati Tahun

2011

Sisa Kasus 2011

Jumlah Kasus 2012

Jumlah yang Dilepaskan

dari Ancaman Hukuman Mati Tahun

2012

Jumlah Kasus yang

Masih di Proses

Arab Saudi 40 7 33 33 30 36Malaysia 149 16 133 66 31 168RRC 14 11 3 19 11 11Iran 3 2 1 0 - 1Singapura 2 1 1 1 1 1

BrunaiDarussalam

1 - 1 0 - 1

Total 209 37 172 119 73 218

9594

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Total 4.227.383

TKI (60%) 2.536.429

Profesional (8%)

338.190

ABK (6%) 253.624

Pelajar (20%) 845.476

WNI lainya (ibu rumah tangga menikahdengan WNA, dll) (6%)

253.646

Negara Kasus Jumlah

Australia

People Smuggling (383), Narkoba (3), Keimigrasian (2) 288

Filipina

Terorisme (10), Narkoba (7), Perampokan (1) 18

Brunai

PerampAsusial (2), Pemerkosaan (2), Penyendupan (2), Narkoba (1)Pembunuhan (1) Memiliki Bahan Peledak (1)

okan dan Pencurian (24), Kemigrasian (3), Tindakan 36

Vietnam Narkoba (1), Pencurian (1) 2

Kamboja Pencurian (1) 1

Laos Pencurian (1) 1

Thailand Keimigrasian/legal entry (12), Perampokan (3) 15

Malaysia Pelanggaran Imigrasi (2430), Perkelahian (832), Kepemilika Senjata Api (24), Ketertiban Umum (2), Lain-lain (80), Illegal Fishing (1), Narkoba (703), Perampokan (3)

4073

Total 4415

Page 54: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

26 United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna, Handbook on the International Transfer of Sentenced Persons, United Nations, New York, 201227 Australian Institute of Criminology, Trends & Issues, In Crime and Criminal Justice, No.38,The International Transfer of Prisoners, July 1992, Canberra ACT 2601, Australia, http://www.aic.gov.au28 Article 2, The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons between the Government of The Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China and the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland entered into force on 19 March 1998.29 Article 3, Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the United Arab Emirates, London 24 January 201330 Article 2, Convention on the Transfer of Sentenced Persons Strasbourg, 21.III.198331 Council of Europe, Committee of Ministers, Recommendation Rec(2006)2 of the Committee of Ministers to member stateson the European Prison Rules

kerjasama dalam Hukum Internasional, yaitu

“Perjanjian Ekstradisi” dan “Perjanjian Bantuan

Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal

Assistance in Criminal Matters/MLA)”.

Perjanjian Ekstradisi di Indonesia diatur dalam

UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979

Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3130). Indonesia juga sudah

melakukan beberapa Perjanjian Ekstradisi 24diantaranya adalah: Perjanjian Ekstradisi antara

Indonesia dengan Malaysia dalam UU Nomor 9

Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor

3044); Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia

dengan Filipina dalam UU Nomor 10 Tahun 1976

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976

Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3078); Perjanjian Ekstradisi

antara Indonesia dengan Thailand dalam UU Nomor

2 Tahun 1978 (Diundangkan di Jakartapada

tanggal 18 Maret 1978); Perjanjian Ekstradisi antara

Indonesia dengan Australia dalam UU Nomor 8

Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indoesia

Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor

3565); dan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia

dengan Korea dalam UU Nomor 42 Tahun 2007

tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara

Republik Indonesia dan Republik Korea (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 126,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4771).

Sedangkan, Perjanjian Bantuan Timbal Balik

dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in

Criminal Matters/MLA) di Indonesia diatur dalam

UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal

Balik Dalam Masalah Pidana (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4607). Indonesia juga sudah melakukan

Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah

Pidana antara Indonesia dengan China (RRC) dalam

UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Bantuan

Perjanjian Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

antara Indonesia dengan Republik Rakyat China

(RRC) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4621).

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),

berbeda dengan Perjanjian Ekstradisi dan

Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah

Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal

Matters/MLA). Perjanjian Ekstradisi adalah bentuk

kerjasama Internasional di bidang hukum dimana

dikehendaki untuk tuntutan hukum atau

menjalani hukuman yang belum terpenuhi atas

pelanggaran hukum atau kriminal terhadap hukum

negara pemohon, dan Perjanjian Bantuan Timbal

Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal

Assistance in Criminal Matters/MLA) adalah bentuk

kerjasama Internasional yang merupakan bantuan

berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

negara yang diminta. Sedangkan Treaty on Transfer

of Sentenced Person (TSP) adalah bentuk kerjasama

Internasional dimana narapidana sudah menjalani

hukumannya di suatu negara, kemudian

dipindahkan ke negara asalnya untuk menjalani

sisa hukumanya.

Prosedur Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) berbeda dengan pertukaran

narapidana (exchange of prisioners) yang biasanya

terkait dengan Prisioners of Wars (POW) dimana

pertukaran dilakukan dengan resiprokal dengan

jumlah tahanan yang sama atau senilai. Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah upaya

memindahkan narapidana yang dilakukan atas

dasar kasus per kasus sesuai dengan kepentingan

negara pada saat itu dan tidak selalu bersifat 25resipokal.

Salah satu faktor dalam hukum internasional

dibentuknya mekanisme Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP) adalah hak asasi manusia

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3)

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

yang dishkan pada tanggal 25 Januari 2011, dan

telah diratifikasi atau disetujui oleh 167 Negara,

menetapkan bahwa "penting Tujuan "dari sistem

pemasyarakatan adalah" reformasi dan rehabilitasi

sosial "dari tahanan. ketentuan International

Perjanjian sehubungan dengan "rehabilitasi 26sosial".

Di berbagai negara telah mempunyai

pengaturan tentang Transfer of Sentenced Person

(TSP) sebagai dasar dalam kesepakatan antara

negara pengukum dengan negara penerima di

seluruh dunia untuk melakukan Transfer of

Sentenced Person (TSP). Alasan dilakukannya

Transfer of Sentenced Person (TSP) karena alasan

kemanusian dan hak asasi manusia. Selain itu

Transfer of Sentenced Person (TSP) juga meyebabkan

penghematan anggaran rehabilitasi terhadap WNA 27dan dapat menurunkan angka residivis.

Pengaturan mengenai Transfer of Sentenced

Person (TSP) di bebagai negara sangat beragam.

Berikut berupakan beberapa prinsip umum dari

Transfer of Sentenced Person (TSP), antara lain:

Prinsip dari Transfer of Sentenced Person (TSP)

merupakan perpindahan seorang terpidana yang

dapat ditransfer dari yurisdiksi/negara mentransfer

ke yurisdiksi/negara penerima yang dilakukan

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

disepakati dalam perjanjian antara kedua negara

yang telah bersepakat untuk melakukan

perpindahan narapidana untuk menyelesaikan sisa 28masa hukumannya di negara asalnya.

Transfer of Sentenced Person (TSP) dapat terjadi

apabila ada kesepakatan antara kedua negara

untuk melakukan perpindahan/transfer terhadap

narapidana dari wilayah Negara penghukum ke

wilayah Negara asal terpidana dalam rangka untuk

mejalani sisa masa hukuman yang harus dijalani 29 yang sesuai dengan kesepakatan.

Prinsip-prinsip umum tentang Transfer of

Sentenced Person (TSP) yaitu para pihak yang

sepakat dalam pengalihan terpidana. Seorang

terpidana dapat ditransfer ke wilayah lain, dalam

rangka untuk menjalani sisa masa hukuman yang

dijatuhkan pada dirinya. Untuk itu terpidana dapat

mengajukan permohonan Transfer of Sentenced

Person (TSP). Transfer of Sentenced Person (TSP)

dapat diminta/diajukan oleh wilayah negara 30penghukum maupun wilayah negara peminta.

Prinsip-Prinsip yang diberlakukan dalam 31Transfer of Sentenced Person (TSP ) terdiri atas:

1. Setiap orang yang dipidana dengan pidana

perampasan kemerdekaan harus

diperlakukan dengan menghormati hak asasi

manusia;

2. Setiap orang yang menjalani masa hukuman

perampasan kemerdekaan masih mempuyai

hak walaupun dalam masa penahanan;

3. Ada batasan waktu minimum bagi pidana

perampasan kemerdekaan yang akan diajukan

untuk permohonan pertukaran narapidana;

4. Kondisi penjara untuk menjalani sisa

hukuman tidak boleh melanggar hak asasi

manusia;

5. Dalam menjalani masa hukuman di pejara

harus mengedepankan rehabilitasi terhadap

terpidana;

6. Setiap narapidana di berikan hak untuk

mengajukan permohonan perukaran

narapidana agar lebih dekat dengan

kebudayaan narapidana sehingga rehabilitasi

terhadap terpidana dapat terpenuhi;

7. Dilakukan kerjasama dengan dinas sosial

untuk membantu rehabilitasi narapidana;

8. Setiap petugas penjara harus melaksanakan

pelayanan publik di penjara sesuai dengan

standar minimum di penjara yang berlaku dan

melakukan pembinaan terhadap narapidana;.

9. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap

penjara secara reguler maupun independen.

Secara garis besar prinsip-prinsip Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) yang berkaitan

9796

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

bekerjasama secara erat, sejalan dengan sistem hukum dan administrasi domestik masing-masing untuk meningkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum untuk memerangi kejahatan yang dimaksud dalam konvensi; ”Joint Investigation”adalah kerjasama penyidikan antara dua atau lebih negara melalui perjanjian berdasarkan kasus per kasus;“Handing Over of Property”, adalah kerjasama dimana pihak yang diminta sepanjang hukumnya memperbolehkan dan atas permintaan dari pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian atau yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang ditemukan sesudah itu. H.R Abdussalam, Hukum Pidana Internasional 2 (dua), Jakarta: Restu Agung, 2006, hlm.12-13.24 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Revika Aditama, Bandung: 2000, hlm.228.25 Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri RI, pada Pertemuan Focus Groub Discussion (FGD) mengenai “Persepektif Nasional pelaksanaan Kerja Sama Internasional Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung, 8-10 maret 2013, hlm. 2

Page 55: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

32dengan Kedaulatan Hukum antara lain:

1. Transfer of Sentenced Person (TSP) dilakukan

berdasarkan suatu Perjanjian;

2. Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah

mutlak untuk melanjutkan masa menjalani

hukuman (continued of enforcement) dan bukan

untuk mengubah atau mengurangi masa

menjalani hukuman (conversion of

enforcement);

3. Narapidana merupakan warganegara

administering/receiving state;

4. Dual Criminality;

5. Pelaksanaan putusan setelah dipindahkan

dapat dilakukan dengan berkelanjutan

(continued enforcement) atau dikonversikan

(conversion of sentence);

6. Narapidana yang telah dipindahkan dapat

diberikan ampunan (pardon), amnesty

(amnesty), atau dikomutasikan (commutation);

7. Terdapat Jumlah minimum sisa masa

hukuman yang harus dijalani di negara

Pentransfer sebelum narapidana dapat

mengajukan permohonan pemindahan (alasan

praktis);

8. Terdapat ketentuan dan mekanisme yang

memastikan bahwa hukuman bagi terpidana

telah berkekuatan hukum tetap, tanpa adanya

hak untuk upaya hukum, dan terpidana tidak

diperlukan lagi dalam proses hukum (bagi

dirinya atau perkara lain, pidana maupun

perdata);

9. Pemindahan baru dapat dilaksanakan secara

mutlak jika mendapat persetujuan 3 (tiga)

pihak yaitu: persetujuan narapidana sendiri

(sentenced persons) tanpa diwakilkan,

persetujuan negara Peminta (Requesting State),

dan persetujuan negara Pentransfer

(Transfering state);

10. Prinsip penolakan negara Pentransfer untuk

melaksanakan pemindahan narapidana harus

tanpa kewajiban untuk menyampaikan alasan

penolakan (wihout obligation to obtain the

explanation);

11. Bersifat Non Retroactive; dan

12. Tetap diperlukan hak monitoring di

Indonesia.Hanya berlaku bagi terpidana yang

di-vonis hukuman penjara dalam periode

waktu tertentu.

Untuk melaksanakan Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP) dibutuhkan suatu

Perjanjian bilateral atau multilateral antar negara.

Ada 2 (dua) tipe perjanjian internasional atau

konvensi tentang bentuk dasar dariTreatyon 33Transfer of Sentenced Person (TSP):

1. Multilateral Treaty, adalah perjanjian legal

antara beberapa negara, seperti yang dikenal

pada saat ini yaituCouncil of Europe Convention

on the Transfer of Sentenced Persons atau

Konvensi Dewan Eropa tentang Transfer

Narapidana. Konvensi ini telah ditandatangani

oleh 44 (empat puluh empat) negara, termasuk

Canada. Bentuk perjanjian internasional

lainnya adalah perjanjian multilateral

Commonwealth of Nations Scheme for the

Transfer of Convicted Offenders atau Pedoman

negara-negara Commenwealth tentang Transfer

Tahanan atau orang yang terhukum yang

ditandatangani oleh 7 (tujuh) negara, dan The

Inter-American Convention on Serving Criminal

Sentences Abroad atau Konvensi Antar Negara

Bagian Amerika tentang Layanan Hukuman

Pidana Luar Negeri yang ditandatangani oleh 6

(enam) negara; dan

2. Perjanjian bilateral adalah perjanjian antar dua

negara dan dalam perkembangannya dapat

disesuaikan dengan kebutuhan masing-

masing negara. Misalnya, Australia

menandatangani perjanjian bilateral

tentangTreaty on Transfer of Sentenced Person 34(TSP) dengan Thailand pada awal tahun 2001,

Perjanjian Bilateral antara Perancis dan

Thailand Nomor 24319 tentang Convention on

the cooperation in the execution of penal

sentences” yang ditandatangani pada tanggal

29 Agustus 1983. Filipina membuat Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan

Spanyol dengan Resolusi Nomor 39 tentang

“Resolution Concurring In the Ratification of The

Treaty on The Transfer of Sentenced Persons

Between The Republic of The Philippines and

The Kingdom of Spain”. Amerika Serikat

memiliki 12 (dua belas) perjanjian bilateral

tentang transfer narapidana asing, yaitu

dengan negara Bolivia, Canada. Prancis,

Hongkong SAR, Kepulauan Marshall, Mexico,

Micronesia, Palau, Panama, Peru. Thailand,

dan Turki.

Berkaitan dengan Treaty on Transfer of

Sentenced Person (TSP), ada satu prinsip lagi yang

dianut oleh PBB (United Nations) yaitu prinsip 20

(dua puluh) dalam prinsip-prinsip utama

perlindungan untuk semua orang yang sedang

menjalani penahanan dalam penjara dalam bentuk

apapun, menyebutkan bahwa: jika tahanan atau

narapidana begitu menghendakinya, ia dapat, jika

memungkinkan, ditempatkan ditempat penahanan

atau pemenjaraan yang berada cukup dekat dengan

kediaman tetapnya”. Hal ini penting untuk

mempertahankan hubungan dengan para anggota

keluarga dan teman-teman. Jika para tahanan dan

terpidana ditempatkan jauh dari rumah mereka, hal

ini memembuat kunjungan sebagaimana halnya

dengan cuti mengunjungi keluarganya menjadi

lebih berat dan menghabiskan lebih banyak biaya.

Kemungkinan dari perpindahan ke suatu tempat

yang lebih dekat ke rumah harus dibicarakan

dengan semua tahanan sesegera mungkin setelah

kedatanganya di penjara. Di dalam banyak sistem

mungkin sulit, khususnya untuk tahanan wanita

dan anak, karena jumlah LAPAS atau penjara

wanita dan anak di tempat yang diinginkan lebih

sedikit dari pada jumlah LAPAS umum. Dalam

kasus para narapidana, ada pengertian bahwa

mereka harus jika memungkinkan, bisa menjalani

hukuman tersebut di negara mereka (Bentuk

perjanjian dalam pemindahan untuk tahanan orang

asing, diangkat dalam Kongres Kejahatan Ke-7 PBB, 35Tahun 1985).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah

memberikan pedoman Model Treaty mengenai

Transfer of Sentenced Person (TSP) sejak Tahun

1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB (United

Nations Resolution Nomor A/RES/45/119 tentang

United Nations Model Treaty on The Transfer of

Supervision of Offenders Conditionally Sentenced or

Conditionally Released). Dasar pertimbangan utama

adanya perjanjian mengenai Transfer of Sentenced

Person (TSP) adalah HAM. Dalam Transfer of

Sentenced Person (TSP), HAM yang melekat dan

menjadi dasar pertimbangan dilakukanya 36perjanjian tersebut adalah kondisi-kondisi seperti:

1. Seorang narapidana yang melakukan tindak

pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman

atau pidana di negara tersebut tetap mendapat

hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang

sama dengan narapidana lainya.

2. Seorang narapidana yang di penjara atau

dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan

dampak seolah-olah narapidana tersebut

mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi

narapidana tersebut harus menyerahkan

kebebasannya selama menjalani hukuman

akan tetapi narapidana tersebut juga

mengalami beberapa kendala tambahan seperti

komunikasi/bahasa asing dengan petugas

LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan

mudah terjerat melakukan berbagai

pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala

menjalankan Agama dan Kepercayaanya,

kebersihan yang kurang memadai dan

keterbatasan tenaga medis.

3. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan

dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga

akan menyulitkan dalam proses pembinaan

dan rehabilitasinya.

4. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan

dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga

menyebabkan narapidana menderita karena

hilangnya kontak dengan keluarganya dan

akan memakan biaya yang mahal LAPAS

untuk mendatangkan keluarga narapidana.

5. Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana

akan adanya tindakan diskriminasi,

pengucilan atau perasaan asing dengan

narapidana lainya.

Beberapa negara yang sudah melaksanaan

Transfer of Sentenced Person (TSP) diantaranya

adalah Amerika Serikat (USA) dan Hongkong;

Kerajaan Spayol dan Republik Colombia. Transfer of

Sentenced Person (TSP) merupakan perkembangan

baru di dunia modern yang dilaksanakan pertama

kali di Syria dan Lebanon pada Tahun 1951.

Dikawasan Eropa mekanisme Transfer of Sentenced

Person (TSP) baru berkembang sejak Tahun 1962

yaitu di 5 (lima) negara Skandinavia yang membuat

perjanjian yang salah satu isinya memuat

ketentuan mengenai dapat diberlakukannya

35 Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku Panduan Internasional mengenai PratekPemenjaraan yang Baik, Penal Reform Internasional, Maret, 2001, hlm. 150-151. 36 Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-April 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced Person, Jakarta: 2009, hlm.39.

9998

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

32 Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif Nasional Implementasi Internasional Transfer of Sentenced Person,Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung, 9 Maret 201333 Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal 26 Juli 2009.34 Agreement between the Government of Australia and the Government of the Kingdom of Thailand on The Transfer of Offenders and Co-operation In the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th July 2001, Volume 2208. 1-39238.

Page 56: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

41 Dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan itikad baik berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI).42 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yaitu Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transasional yang Terorganisasi, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960). Dalam article 17 tentang Transfer of Sentenced Person, menyatakan bahwa: “State parties may consider bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences covered by this Convention, in other that they may complete their sentences their”. (negara-negara peserta Konvensi harus mempertimbangkan untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur mengenai pemindahan narapidana ke wilayah territory mereka untuk menjalani sisa hukuman penjara atau pembatasan atas gerak lainya yang dilindungi oleh Konvensi ini).43 United Nations Convention Against Corruption, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620), dalam Bab IV (empat) memuat mengenai transfer narapidana WNA dan WNI, bantuan hukum timbal balik, transfer proses pidana, kerjasama penegakan hukum, penyelidikan bersama, dan tehnik-tehnik penyelidikan khusus. Dalam article 45menyatakan bahwa: ”State may consider entering into bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention in order that they may complete their sentences there”.(negara dapat membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur pemindahan narapidana atau orang yang telah dijatuhi hukuman untuk kembali ke wilayah mereka untuk menyelesaikan masa hukumannya).

Keputusan Pengadilan suatu negara di negara lain 37yang terlibat dalam perjanjian. Di Afrika, Transfer

of Sentenced Person (TSP) baru berkembang pada

Tahun 1961 yaitu pada 12 (dua belas) negara bekas

jajahan Perancis yang membuat perjanjian dalam

masalah peradilan. Sedangkan di Amerika Serikat

(USA) Transfer of Sentenced Person (TSP) baru

berkembang pada Tahun 1971 dengan

mengadakan perjanjian dalam masalah peradilan

dengan Mexico, kemudian dengan Kanada.

Perkembangan lebih cepat dicapai di Eropa dimana

pada Tahun 1983 dibawah Komite Eropa mengenai

masalah kejahatan telah menghasilkan Konvensi

Eropa mengenai Convention of The Transfer of

Sentenced Person, yang ditandatangani di

Strasbourg pada tanggal 21 Maret Tahun 1983, dan

ditandatangani oleh kurang lebih 44 (empat puluh

empat) negara, baik oleh anggota maupun bukan

anggota dari Council of Europe. Hingga Tahun 1996

Konvensi ini telah diratifikasi lebih dari 30 (tiga

puluh negara) termasuk Amerika Serikat (USA).

Negara-negara Liga Arab pada Tahun 1983 juga

telah mempunyai perjanjian Transfer of Sentenced

Person (TSP) dalam bentuk Riyadh Arab Agreement

on Yudicial 1983 dan juga telah menghasilkan Arab

Agreement on Yudicial Cooperation. Di kawasan

Amerika Selatan juga telah mempunyai perjanjian

Transfer of Sentenced Person (TSP), dalam bentuk

Inter-American Convention on Serving of Criminal

Sentences Aboard pada Tahun 1980, namun

sampai dengan Tahun 1996 hanya 2 (dua) negara

saja yang ikut meratifikasinya yaitu Kanada dan

Venezuela, sedangkan negara lainya baru pada 38tahap penandatanganan.

Ratifikasi perjanjian antara Pemerintah USA

dengan Pemerintah Hong Kong pada tanggal 15

April tahun 1997 tentang Transfer of Sentenced

Person (TSP) antara kedua negara yang

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Europe

Convention on The Transfer of Sentenced. Perjanjian

ini terjadi pada saat Pengembalian Hong Kong dari

dibawah kedaulatan Inggris ke Cina. Sedangkan

Cina bukan merupakan bagian dari Uni Eropa

maka dalam pelaksanaanya perlu adanya perjanjian

bilateral antara Hong Kong dengan USA. Isi dari

perjanjian tersebut antara lain definisi dan istilah

yang digunakan dalam perjanjian; para pihak

menentukan wilayah mana yang akan dilaksanakan

Transfer of Sentenced Person (TSP);para pihak

menunjuk otoritas pelaksana Transfer of Sentenced

Person (TSP); para pihak menentukan jangka waktu

atau sisa pidana yang harus dijalani apabila

melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP);

mengharuskan bagi setiap narapidana yang akan

ditranfer telah menyetujui secara sukarela untuk

melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP);

mempersiapkan dana untuk memenuhi syarat-

syarat administrasi dalam proses melaksanakan

Transfer of Sentenced Person (TSP); mempersiapkan

fasilitas pelaksanaan Transfer of Sentenced Person

(TSP); menetapkan bahasa yang digunakan dan

dalam membuat permintaan Transfer of Sentenced

Person (TSP) dan alokasi biaya dan perjanjian

Transfer of Sentenced Person (TSP)mulai berlaku 30

(tiga puluh) hari setelah para pihak saling

menyetujui atau sepakat masing-masing

persyaratan untuk dilakukan Transfer of Sentenced 39Person (TSP).

Di USA, sudah dikenal mekanisme perjanjian

bilateral dan multilateral mengenai perpindahan

narapidana asing ke negara asalnya tetapi

mekanisme perjanjian perpindahan narapidana ini

belum diatur dalam Undang-Undang Kongres yang

menerapkan kebutuhan perpindahan narapidana

tersebut. Karena belum diatur dalam Undang-

Undang Kongres maka kebutuhan, kendala-kendala

dan keberhasilan pelaksanaan perpindahan

narapidana di setiap negara-negara bagian di USA

tidaklah sama. Di USA hampir semua narapaidana

dapat mengajukan permohonan perpindahan untuk

menjalani sisa masa hukumanya di negara asalnya.

Hal tersebut diberitahukan bahwa perpindahan

narapidana merupakan hak mereka untuk

melakukanya pada waktu yang tepat. Efektifitas

perpindahan narapidana asing ini dirasakan

sebagai salah satu cara untuk mengoptimalkan

rehabilitasi terhadap narapidana tersebut dengan

menyelesaikan sisa masa tahananya di negara

asalnya karenadari segi bahasa, budaya dan 40kedekatan narapidana dengan keluarganya.

Pada saat ini hampir sebagian besar negara di

dunia telah melakukan pemindahan narapidana

antar negara. Apabila kita melihat tetangga dekat

Indonesia seperti Malayasia, Filipina, Thailand,

Vietnam, semuanya telah memiliki perangkat

hukum nasional sebagai landasan hukum Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) Indonesia hingga

saat ini belum dapat menerapkan perpindahan

narapidana dengan alasan belum adanya hukum

nasional yang mengatur, walaupun telah ada

keperluan dan urgensi untuk dilakukannya hal

tersebut. Saat ini terdapat banyak WNI yang

menjalani pidana penjara di berbagai negara, selain

itu terdapat pula permintaan dari beberapa negara

lain untuk memulangkan WNI Indonesia yang

ditahan di luar negara untuk menjalani rehabilitasi,

resosialisasi, dan reintegrasi mereka ke dalam

masyarakat, namun hal tersebut belum bisa

dilakukan karena ketiadaan dasar hukum nasional.

Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam

sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah

prinsip pemindahan narapidana asing di dalam

negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat

ini merujuk kepada sumber hukum internasional

yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai

negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty

mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak

tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB

(UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United

Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision

of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally

Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian

tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana

dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas

Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum

dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika

memang Indonesia sepakat untuk menjalankan

Treatyon Transfer of Sentenced Person (TSP)

dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau

multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga 41Pemrakarsa.

Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia

belum mempunyai perangkat peraturan

perundang-undangan pokok yang mengatur

tentang mekanisme, muatan materi dan tatacara

pelaksanaan dari Transfer of Sentenced Person

(TSP). Sebagai suatu bentuk kerjasama

internasional, dasar hukum dalam melaksanakan

Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia

hanya ditekankan dalam beberapa Konvensi

Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia

sebagai mekanisme kerja Hukum Internasional,

antara lain: United Nations Convention Against 42Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan

United Nations Convention Against Corruption 43(UNCAC) di mana Indonesia sudah menjadi negara

pihak kedua konvensi tersebut. Namun, perlu

dipahami bahwa United Nations Convention Against

Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC),

hanya mengatur mengenai pemindahan narapidana

untuk jenis kejahatan yang masuk dalam ruang

lingkup UNTOC dan UNCAC, sedangkan jenis yang

diharapkan dapat diatur dalam perjanjian bilateral

dengan negara lain yang meliputi semua jenis

kejahatan sesuai dengan hukum nasional

Indonesia.

Dalam kaitanya dengan Perjanjian

Internasional dalam UU Nomor Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan

bahwa dalam hal penandatanganan Perjanjian

Internasional, dilakukan oleh Kepala Negara, Kepala

Pemerintahan, atau Menteri Luar Negeri. Treaty on

Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan

Perjanjian Internasional, bukan kerjasama tehnik

dalam sebagai pelaksana Perjanjian Internasional

yang sudah ada, oleh karena itu dalam pembuatan

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) ini yang

akan menandatangani adalah Presiden, dan bentuk

perjanjianya akan diratifikasi dalam bentuk

Undang-Undang karena karena menyangkut

37 Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM, 2006, hlm.4.38 Ibid., hlm. 5.39 Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties, Contemporary Practice of The United States Relating to International Law, The American Society of International Law, 1997, hlm.61640 Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An Argument For The Domestic Enforceability Of Treaty-Based Rights Under International Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara Journal of International Law, 2005. hlm. 22.

101100

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 57: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

kedaulatan, HAM dan pembentukan kaidah hukum

baru,sehingga dalam proses pembuatanya harus

melihat mekanisme Perjanjian Internasional yang 44sudah diakui dengan undang-undang.

Di Indonesia undang-undang merupakan

bentuk dari peraturan perundang-undangan yang

mengikat secara nasional, pembaharuan

masyarakat dengan jalan hukum berarti

pembahuan hukum melalui undang-undang dalam

peraturan perundang-undangan. Hal ini selaras

dengan teori hukum pembangunan yang

dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja,

bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan

dalam masyarakat, dengan menjadikan hukum

sebagai sarana untuk mengubah alam pemikiran

masyarakat tradisional menjadi masyarakat 45modern.

D. Penutup

Bahwa Treaty on Transfer of Sentenced Person

(TSP) semakin mengemuka di era globalisasi dimana

interaksi dan hubungan antar negara maupun

“people to people contact” menjadi semakin

meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma

hukum Internasional dan hukum nasional berlaku

sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu

negara didalam menerapkan suatu kebijakan.

Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan

narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan,

antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama

atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering

mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan

dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan

reintegrasi ke dalam masyarakat.

Dasar pertimbangan utama adanya perjanjian

mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah

HAM. Dalam Transfer of Sentenced Person (TSP),

HAM yang melekat dan menjadi dasar

pertimbangan dilakukanya perjanjian tersebut

adalah kondisi-kondisi seperti:

1. Seorang narapidana yang melakukan tindak

pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman

atau pidana di negara tersebut tetap mendapat

hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang

sama dengan narapidana lainya;

2. Seorang narapidana yang di penjara atau

dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan

dampak seolah-olah narapidana tersebut

mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi

narapidana tersebut harus menyerahkan

kebebasannya selama menjalani hukuman

akan tetapi narapidana tersebut juga

mengalami beberapa kendala tambahan seperti

komunikasi/bahasa asing dengan petugas

LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan

mudah terjerat melakukan berbagai

pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala

menjalankan Agama dan Kepercayaanya,

kebersihan yang kurang memadai dan

keterbatasan tenaga medis; dan

3. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan

dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga

akan menyulitkan dalam proses pembinaan

dan rehabilitasinya.

4. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan

dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga

menyebabkan narapidana menderita karena

hilangnya kontak dengan keluarganya dan

akan memakan biaya yang mahal LAPAS

untuk mendatangkan keluarga narapidana.

5. Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana

akan adanya tindakan diskriminasi,

pengucilan atau perasaan asing dengan

narapidana lainya.

Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced

Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam

sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah

prinsip pemindahan narapidana asing di dalam

negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat

ini merujuk kepada sumber hukum internasional

yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai

negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty

mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak

tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB

(UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United

Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision

of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally

Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian

tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana

dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas

Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum

dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika

memang Indonesia sepakat untuk menjalankan

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)

dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau

multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga

Pemrakarsa, dan Undang-Undang nasional tentang

Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), karena

menyangkut kedaulatan, HAM dan pembentukan

kaidah hukum baru, sehingga dalam proses

pembuatanya harus melihat mekanisme Perjanjian

Internasional yang sudah diakui dengan undang-

undang.

Daftar Pustaka

Buku

Abu Daud Busroh, “Ilmu Negara”, PT. Bumi Aksara,

Jakarta, 2009.

Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan

Media Utama (MUU), Juli, 2008

A.V. Dicey, The Relation Between Law and Public

Opinion; Richard D. Schwartz and Jerome H.

Skolnik (eds), Society and the Legal Order,

Basic Books Inc. Publishers, New York,

London, 1970

Bernard Arif Sidharta, Penelitian Hukum Normatif,

Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal,

dalam buku Metode Penelitian Hukum

Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, Jakarta: 2011

Carl J.Friedrich (editor), The Phillosophy of Kant.

Immanuel Kant's Moral and Political Writings,

The Modern Library, New York, 1949

David J. Harris, Cases and Materials on

International Law, London: Sweet and

Maxwell, 1982

Djokosoetono, dihimpun oleh Harun Al Rasyid,

“Ilmu Negara”, In-Hill-Co, Jakarta, 2006

Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Desain

Instruksional Dasar Hukum Internasional,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Haula Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum

Internasional, Keni Media, Bandung,

Cetakan4, 2011

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan

Negara, diterjemahkan dari General Theory of

Law and State , Nusamedia dan Penerbit

Nuansa, Bandung, 2006

Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction,

Stanford University Press, California: 1968

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional,

CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8

Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases

and Material, the Foundation Press Inc, New

York, 1978

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian

Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,

Malang, Cetakan Ketiga, Juli 2007

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional,

terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja.

Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000

Keterangan Pemerintah dalam RUU tentang

Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah

Pidana, Risalah Proses Pembahasan RUU

tentang Bantuan Timbal Balik Dalam

Masalah Pidana, Biro Persidangan DPR RI,

2006.

L.B. Curzon, Roman Law, London, 1966

Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-

April 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced

Person, Jakarta: 2009.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu

Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada

Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

Kencana, Jakarta, 2003, hal. 88-90.

Muladi, HAM dalam Persepektif Sistem Peradilan

Pidana, dalam HAM Hakekat, Implikasinya

dalam Presepektif Hukum dan Masyarakat,

PT Refika Aditama, Cetakan Pertama:

Januari 2005

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar

Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar

Bakti, 1988

Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum

dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung:

2002

ndM.N. Shaw, Internasional Law, Butterworths, 2 .,

ed., 1986

Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku

Panduan Internasional mengenai Pratek

Pemenjaraan yang Baik, Penal Reform

Internasional, Maret, 2001

Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge:

Cambridge University Press, 1997

N.A. Maryan Green, Internasional Law of Peace, ndLondon, Mc Donald and Evans, 2 .ed., 1998,

hal.213.

Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat

Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat 44 Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10, Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.45 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung: 2002, hlm.89.

103102

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 58: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian

Luar Negeri RI, di sampaikan pada acrara

Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif

Nasional Pelaksanaan Ker jasama

Internasional Transfer of Sentences Persons”,

Bandung, 8-10 Maret 2013. 2008

Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Cet.1, Visimedia, Jakarta: 2007

Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai

Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum

Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi

dan Bantuan Hukum Timbal Balik,

Direktorat Pidana Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum, Kementrian

Hukum dan HAM, 2006

Phillip C. Jessup, Transnational Law, New York,

1968

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam

Indonesia (UII), Hukum Hak Asasi Manusia,

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas

Islam Indonesia (UII) atau PUSHAM UII,

Yogyakarta, 2008, Cetakan Pertama

Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai

Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan

HAM RI, Jakarta: 27 April 2002.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana

Internasional, PT Revika Aditama, Bandung:

2000

________________,makalah yang disampaikan pada

“Seminar Legislasi Nasional”, Badan Legislatif

DPR RI”, Jakarta, 21 Mei 2005.Soehino, “Ilmu

Negara”, liberty, Yogyakarta, 1980

Soe r j ono Soekan to da l am B e b e r a p a

PermasalahanHukum Dalam Kerangka

Pembangunan di Indonesia (Suatu Tinjauan

Secara Sosiologis), Cetakan 3, UI Press,

Jakarta, 1983

Sub Direktorat Statistik dan Dokumentasi,

Direktorat Bina Registrasi dan Statistik,

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,

Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta:

2012.

United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna,

Handbook on the International Transfer of

Sentenced Persons, United Nations, New

York, 2012

Vinogradof, Historical types of International Law,

Biblliotheca Visserania I,1923.

Vaughan Lowe. International Law, Clarendon Law

Series, Oxford University Press, 2007

Jurnal

Agreement between the Government of Australia and

the Government of the Kingdom of Thailand on

The Transfer of Offenders and Co-operation In

the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th

July 2001, Volume 2208. 1-39238.

Australian Institute of Criminology, trends & issues,

in crime and criminal justice, No.38,The

International Transfer of Prisoners, July 1992,

ISSN 0817-8542, ISBN 0 642 18071 7, GPO

Box 2944, Canberra ACT 2601, Australia,

http://www.aic.gov.au

Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian

Internasional Kementrian Luar Negeri RI,

pada Pertemuan Focus Groub Discussion

(FGD) mengenai “Persepektif Nasional

Pelaksanaan Kerja Sama Internasional

Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung,

8-10 Maret 2013

Ekkehart Muller-Rappard, The Transfer Of Sentenced

Persons-Comments on The Relevant Council of

Europe Legal Instruments, The Pace University

School of Law, Pace Yearbook of International

Law, 1991:155

Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under

International Instruments And Domestic

Legislation: A Comparative Study, By Michael

Plachta. Frieburg, Germany: Max-Planck-

Institut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The

George Washington University, George

Washington Journal of International Law and

Economics, 1995: 495

Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties,

Contemporary Practice of The United States

Relating to International Law, The American

Society of International Law, 19:616

Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-

April 2009, PerjanjianTransfer of Sentenced

Person, Jakarta

Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An

Argument For The Domestic Enforceability Of

Treaty-Based Rights Under International

Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara

Journal of International Law, 2005: 22

Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif

Nasional Implementasi Internasional Transfer

of Sentenced Person, Hotel Grand Royal

Panghegar, Bandung, 9 Maret 2013

Taman, Fajar, 23 November Tahun 2009, 20:18:13

GMT.Sudah Siapkah Kita Menghadapi

Pemindahan Narapidana Antar Negara

(Transfer of Sentenced Person/TSP), Majalah

Hukum dan HAM Online, Vol. 5 Nomor 26,

http:majalah.depkumham.go.id/node/141,

The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons

between the Government of The Hong Kong

Special Administrative Region of the People's

Republic of China and the Government of the

United Kingdom of Great Britain and Northern

Ireland entered into force on 19 March 1998.

Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between

the Government of the United Kingdom of

Great Britain and Northern Ireland and the

Government of the United Arab Emirates,

London 24 January 2013.

Internet

ASEAN Charter, www.asean.org/archive/.../

ASEAN-Charter.pdf‎

Convention on the Transfer of Sentenced Persons

Strasbourg, 21.III.1983, conventions.coe.int/

Treaty/en/Treaties/.../112.htm‎

Council of Europe, Committee of Ministers,

Recommendation Rec(2006)2 of the Committee

of Ministers to member stateson the European

Prison Rules, https://wcd.coe.int/

ViewDoc.jsp?id=955747

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum

Indonesia, www.jimly.com

Mohd. Burhan Tsani (Guru Besar Fakultas Hukum

Universitas Gajah Mada), Status Hukum

Internasional dan Perjanjian Internasional

dalam Hukum Nasional Republik Indonesia

(dalam perspektif Hukum Tata Negara),

http://www.scribd.com/doc/l6710653/Stat

us-Hukum-Internasional-Dan-Perjanjian-

Internasional-Dalam-Hukum-Nasional-RI-

Dalam-Perspektif-Hukum-Tata-Negara. 1

Desember 2009

Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/

law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal

26 Juli 2009.

Tanggung Jawab Negara (State Responsibility),

Selasa, 02 April 2013, www.goggle.com

UN Convention Against Transnational Organized

Cr ime, www.unodc.org/unodc/en/

treaties/.../signatures.ht..

UN Convention Against Corruption, www.unodc.org/

.../Convention/08-50026_E.pdf ‎

UN Charter, treaties.un.org/doc/Publication/

CTC/uncharter.pdf‎

Kumpulan Peraturan Perundang-undangan

Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945.

________, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974

tentang Perjanjian Ekstradisi antara

Indonesia dengan Malaysia (LN Nomor 36,

Tahun 1974, LTN Nomor 3044).

________,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976

tentang Perjanjian Ekstradisi antara

Indonesia dengan Filipina (LN Nomor 38,

Tahun 1976, LTN Nomor 3078).

________,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978

tentang Perjanjian Ekstradisi antara

Indonesia dengan Thailand (LN Nomor 12,

Tahun 1978, LTN Nomor 3117).

________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979

tentang Ekstradisi (LN Nomor 2, Tahun 1979,

LTN Nomor 3130).

________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (LN

Nomor 76, Tahun 1981, LTN Nomor 3209).

________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan (LN Nomor 77,

Tahun 1995, LTN Nomor 3614).

________,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (LN Nomor 165,

Tahun 1999, LTN Nomor 3886).

________,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional. Manusia

(LN Nomor 185, Tahun 2000, LTN Nomor

4012).

________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006

tentang Bantuan Timbal Balik Dalam

Masalah Pidana Manusia (LN Nomor 18,

Tahun 2006, LTN Nomor 4607).

________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006

tentang Bantuan Perjanjian Timbal Balik

105104

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )

Page 59: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Dalam Masalah Pidana antara Indonesia

dengan Repub l ik Rakya t Ch ina

(RRC),Manusia (LN Nomor 33, Tahun 2006,

LTN Nomor 4621).

________,Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006

tentang Konvensi Anti Korupsi (LN Nomor

32, Tahun 2006, LTN Nomor 4620).

________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia Manusia (LN Nomor 63, Tahun

2006, LTN Nomor 4643).

________,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009

tentang Konvensi PBB menentang Tindak

TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGGALANGAN DANA PUBLIK

UNTUK KORBAN BANJIR JAKARTA 2013

(TRANSPARENCY AND ACCOUNTABILITY OF FUNDRAISING PUBLIC

FOR VICTIMS OF FLOOD JAKARTA 2013)

Sudaryatmo

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jl. Pancoran Barat VII No. 1, Durentiga, Jakarta

Selatan, Indonesia

Email : [email protected]

(Naskah diterima 13/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)

Abstrak

Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Baik

bencana alam maupun bencana akibat ulah menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka. Dan tidak jarang

intensitas bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya karena

besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk penanganan korban bencana. Salah satu upaya untuk meringankan

beban korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana publik. Artikel ini adalah penelitian

pendahuluan tentang transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013.

Penelitian ini hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara

khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan, lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa, lembaga

assosiasi pengusaha dan lembaga publik. Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi pemerintah, dan

mendorong lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan akuntable dan sebagai

sarana kontrol sosial.

Kata kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.

Abstract

Most of Indonesia's territory geographically belongs to the category of disaster-prone areas. Both natural disasters and

disasters due to human behavior are always causing casualties, causing grief. And sometimes the intensity of disasters

can't be predicted, so let the victims, the Government also often disempowered because of the large amount of funds

required to handling the victims. One of the efforts to alleviate the burden of the victim (and the Government) is through a

public fundraising. This article is preliminary research about the transparency and accountability of public fund raising for

flood victims in Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising conducted by the institute. Both institutions

specifically established for social and humanitarian missions, commercial institutions, religious institutions, mass media,

associated employers and public institutions.The purpose of this research is to provide input for the Government, prompting

the institutions that perform public fundraising to be more transparent and accountable as a social control.

Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.

A. Pendahuluan

Secara geografis sebagian besar dari wilayah

Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah

rawan bencana. Wilayah sekitar cincin api dari

sepanjang bukit barisan di Sumatra, menyusur Pulau

Jawa sampai ke Nusa Tenggara, kemudian naik ke

atas sampai ujung Pulau Sulawesi adalah wilayah

yang sangat rawan terjadi bencana gempa tektonik.

Selain faktor alam, aktivitas pertambangan,

perkebunann dan konversi lahan untuk

perumahan/industri yang tidak terkendali

berpotensi juga mengganggu daya dukung

lingkungan dan berakibat timbulnya bencana

ekologis seperti banjir yang akhir-akhir ini terjadi di

beberapa daerah.

Baik bencana alam maupun bencana akibat

ulah menusia selalu melahirkan korban,

melahirkan duka. Dan tidak jarang intensitas

bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan

korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya

karena besarnya jumlah dana yang diperlukan

untuk penanganan korban bencana.

Salah satu upaya untuk meringankan beban

korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui

penggalangan dana publik. Apa saja aspek yang

107106

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106

Pidana Transasional yang Terorganisasi

Manusia (LN Nomor 5, Tahun 2009, LTN

Nomor 4960).

________,Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN

Nomor 68, Tahun 1999, LTN Nomor 3845).

________,Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

2006 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN

Nomor 61, Tahun 2006, LTN Nomor 4632).

Page 60: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

harus diperhatikan dalam penggalangan dana

publik untuk korban bencana? Artikel ini adalah

penelitian pendahuluan tentang transparansi dan

akuntabilitas penggalangan dana publik untuk

korban banjir Jakarta 2013.

Adapun maksud dan tujuan dilakukan

penelitian dengan obyek penggalangan dana publik

untuk korban banjir Jakarta 2013, yaitu yang

pertama sebagai bahan masukan bagi pemerintah

(Pusat dan Daerah) untuk perbaikan, baik di level

regulasi dan pengawasan, khususnya aktivitas

penggalangan dana publik untuk keperluan

sosial/kemanusiaan.

Kedua, mendorong lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik untuk lebih transparan

dan akuntable dalam melakukan penggalangan dan

pendistribusian dana publik, sehingga bisa

meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat

terhadap lembaga yang bersangkutan. Ketiga,

sebagai bentuk kontrol sosial atas aktivitas

penggalangan dana publik dan mencegah adanya

pihak-pihak yang menyalahgunakan bencana

sebagai kedok untuk mencari keuantungan pribadi.

Kempat, adanya lembaga penggalang dana publik

yang kredibel, dapat meningkatkan partisipasi

masyarakat untuk menyisihkan sebagian harta

untuk didonasikan, sekaligus untuk menggalang

solidaritas terhadap korban bencana banjir, sehingga

dapat meringankan penderitaan korban banjir;

Penelitian ini hanya terbatas pada

penggalangan dana publik yang dilakukan oleh

lembaga, baik lembaga yang secara khusus

didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan,

lembaga keagamaan, lembaga komersial, media

massa, lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga

publik. Penggalangan dana publik yang dilakukan

oleh perorangan/kelompok masyarakat tidak

termasuk dalam obyek kajian dalam penelitian ini.

Karena alasan terbatasnya anggaran

penelitian, dari daftar lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik, dipilih 11 lembaga.

Kepada 11 lembaga penggalang dana publik

tersebut,YLKI mengirimkan donasi untuk korban

banjir, masing-masing Rp 100.000,- ( seratur ribu

rupiah ) melalui transfer bank kepada 10 lembaga,

dan satu lembaga donasi melalui SMS sebesar Rp

5000 ( lima ribu rupiah ). Dengan demikian, dalam

penelitian ini YLKI juga bertindak dalam kapasitas

sebagai donatur.

Tiga bulan sejak mengirimkan donasi untuk

korban banjir, YLKI mengirimkan surat kepada 11

lembaga untuk meminta laporan pertanggung-

jawaban penggalangan dana publik bagi korban

banjir Jakarta, meliputi jumlah dana publik yang

berhasil dihimpun, distribusi dimana dana publik

disalurkan kepada korban banjir, termasuk jumlah

penerima manfaat. Hal yang juga tidak kalah

penting adalah dari total dana publik yang bisa

dihimpun, berapa persen yang digunakan untuk

biaya operasional lembaga dan berapa persen yang

disalurkan ke korban banjir.

B. Pembahasan

B.1.Regulasi tentang Penggalangan Dana Publik

untuk Kerperluan Bencana

Pada 26 April 2007, Pemerintah telah

mengundangkan Undang-undang Nomor 24 tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak itu,

Undang-undang tersebut menjadi acuan dalam

penanggulangan bencana. Salah satu aspek penting

dalam penanggulangan bencana adalah soal

pendanaan. Namun sayangnya, Undang-undang

penanggulangan bencana belum mengatur secara

detail soal aspek pendanaan, lebih khusus lagi

penggalangan dana publik untuk keperluan

bencana.

Dalam Undang-undang penanggulangan

b e n c a n a d i a t u r , b a h w a p e n d a n a a n

pananggulangan bencana menjadi tanggung jawab 1pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Lebih

lanjut diatur, pemerintah mendorong partisipasi

masyarakat dalam penyediaan dana yang 2bersumber dari masyarakat. Namun undang-

undang penanggulangan bencana belum mengatur

bagaimana bentuk dan mekanisme partisipasi

masyarakat dalam penggalangan dana publik

untuk penanggulangan bencana. Baik partisipasi

dalam kapasitas sebagai penyelenggara

penggalangan dana publik, seperti syarat-syarat

minimal yang harus dipenuhi sebuah lembaga

sebelum melakukan aktivitas penggalangan dana

publik, maupun partisipasi masyarakat sebagai

donatur, seperti misalnya apa saja hak-hak donatur

yang harus diperhatikan lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik.

Pengaturan penggalangan dana publik yang

lebih detail diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan

pengumpulan sumbangan. Ada dua substansi

penting dalam PP ini. Pertama, perlunya izin dari

pejabat yang berwenang bagi setiap lembaga yang

melakukan penggalangan dana publik untuk 3keperluan sosial/kemanusiaan.

Pengertian pejabat yang berwenang ini

tergantung dari ruang lingkup aktivitas

penggalangan dana publik. Untuk penggalangan

dana publik/sumbangan berskala nasional atau

lintas propinsi diperlukan izin dari Kementrian

Sosial. Untuk kegiatan berskala propinsi atau lintas

kabupaten/kota diperlukan izin dari Gubernur, dan

untuk penggalangan dana publik/sumbangan

berskala kabupaten/kota diperlukan izin dari 4Bupati/Walikota.

Kedua, substansi pengaturan tentang rasio

antara biaya operasional (overhead) lembaga

dibandingkan dengan total sumbangan/dana publik

yang berhasil dihimpun. Pembiayaan usaha

pengumpulan dana publik/sumbangan adalah

maksimal 10 persen dari total sumbangan yang 5dihimpun. Ketentuan ini penting dalam rangka

untuk memastikan bahwa dana yang dihimpun dari

publik akan sebagian besar diperuntukan bagi

korban bencana, bukan untuk pengurus lembaga

yang melakukan aktivitas penggalangan dana publik.

B.2.Perijinan

Terkait aspek perijinan, dari 11 lembaga yang

melakukan penggalangan dana publik untuk

korban banjir Jakarta 2013, ada tiga yang memiliki

perijinan. Satu lembaga memberikan penjelasan

tertulis bahwa perijinannya sedang dalam proses,

dan tujuh lembaga tidak memberikan informasi

tentang perijinan yang menjadi pijakan hukum

lembaga tersebut melakukan penggalangan dana

publik.

Dari tiga lembaga yang memiliki perijinan, dua

lembaga mengantongi ijin dari Kementrian Sosial

(PKPU, Elshinta Peduli dan MNC TV Peduli). MNC

TV Peduli memiliki perijinan dari Kementrian Sosial:

No. 360/HUK-PS/2013. Perijinan yang dimiliki

MNC TV Peduli cukup detail dan jelas, baik

mengenai tujuan perijinan, yaitu untuk

penggalangan dana publik bagi korban banjir di

Jakarta, jangka waktu penggalangan dana publik,

juga termasuk kewajiban MNC TV Peduli untuk

membuat laporan kepada Pemda DKI, paling lambat

tiga bulan setelah kegiatan penyaluran dana

bantuan banjir selesai distribusikan.

PKPU memiliki ijin untuk ruang lingkup

kegiatan berskala nasional dari Kementrian Sosial

Nomor No.08/HUK/2011, yang apabila dibaca

dengan teliti, perijinan itu hanya untuk melakukan

kegiatan sosial. Tidak ada statement dalam ijin

tersebut untuk melakukan kegiatan penggalangan

dana publik, juga tidak ada mekanisme pelaporan

kepada Kementrian Sosial.

Ijin yang dimiliki Elshinta Peduli yaitu ijin dari

Kementrian Sosial dengan Nomor ijin 639/HUK-

PS/2005. Namun ijin tersebut sudah daluwarsa

dan tidak pernah diperbaharui. Sedangkan PT XL

Axiata, melalui penjelasan tertulis kepada YLKI,

menyatakan ijin penggalangan dana publik untuk

korban banjir Jakarta masih dalam proses dan

kegiatan ini sudah dikomunikasikan kepada Dinas

Sosial Pemda DKI.

B.3.Profil Lembaga

Profil lembaga yang melakukan penggalangan

dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013

cukup beragam. Dari 11 lembaga tersrbut, yang

paling banyak adalah lembaga sosial kemanusiaan

dan keagamaan ( Aksi Cepat Tanggap, Lazismu,

PKPU, PMI DKI Jakarta, Daarut Tauhid), disusul

lembaga komersial (MNC TV, Radio Elshinta, PT XL

Axiata, Mabua Harley Davidson ). Sisanya lembaga

negara (DPR RI) dan himpunan assosiasi

pengusaha (HIPMI Jaya ).

Bagi lembaga sosial, kemanusiaan dan

keagamaan, melakukan kegiatan penggalangan

dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013

tidak begitu aneh, karena lembaga ini didirikan dari

awal memang untuk melakukan kegiatan sosial

kemanusiaan dan pada saat yang sama juga

memiliki kegiatan penggalangan dana publik.

Namun tidak demikian halnya dengan lembaga

komersial. Kalau lembaga komersial memiliki

kepedulian pada korban banjir dalam bentuk

sebagai donatur tidak ada masalah. Akan tetapi

ketika lembaga komersial juga melakukan

penggalangan dana publik, suatu wilayah yang

bukan core bisnisnya, ini hal yang layak

dipertanyakan, karena aktivitas penggalangan dana

publik bukan urusan sederhana, tetapi

membutuhkan keahlian, manajemen khusus baik

dalam pengelolaan, pendistribusian dan pelaporan.

1 Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.2 Pasal 60 ayat (2) undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

3 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.4 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.5 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

109108

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112 Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)

Page 61: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Ada tiga kategori lembaga komersial dalam

menunjukkan kepedulian pada korban banjir.

Pertama, sebagai donatur sebagaimana disebutkan

di atas. Kedua, sebagai penggalang/ pengumpul

dana publik, kemudian dana yang terkumpul

disalurkan kepada lembaga yang memiliki keahlian

di bidang penanganan bencana. Ketiga, sebagai

p e n g u m p u l d a n a p u b l i k s e k a l i g u s

mendistribusikan dana publik yang berhasil

dihimpun. Kategori ketiga ini sebaiknya dihindari,

kecuali lembaga komersial tersebut membuat

lembaga khusus di luar struktur korporasi yang

khusus bergerak di bidang sosial kemanusiaan.

Di luar lembaga sosial kemanusiaan dan

lembaga komersial, yang agak aneh adalah adanya

lembaga negara yang juga melakukan

penggalangan dana publik, yaitu Dewan Perwakilan

Rakyat. Apabila0 memiliki kepedulian terhadap

korban banjir, DPR harusnya tidak bertindak

seperti lembaga sosial kemanusiaan, tetapi akan

lebih strategis apabila menggunakan kewenangan

yang dimilikinya, yaitu melalui instrumen legislasi

atau kewenangan budgeting dalam bentuk

menambah alokasi anggaran untuk keperluan

bencana, bukan ikut-ikutan lembaga swadaya

masyarakat untuk melakukan penggalatan dana

publik.

B.4.Rekening

Penyaluran donasi untuk kepentingan publik/

korban bencana banjir adalah salah satu aspek

penting dalam pengelolaan penggalangan dana

publik. Pertama, rekening harus atas nama

rekening lembaga, sehingga semua arus uang

masuk akan tercatat oleh bank. Dari sepuluh

lembaga yang menyediakan akses sumbangan

melalui bank, 9 lembaga menggunakan rekening

lembaga dan satu lembaga (DPR) menggunakan

rekening pribadi salah satu staf Ketua DPR. Satu

lembaga menggunakan akses sumbangan melalui

SMS (PT XL Axiata).

Penggunaan rekening lembaga dalam

penggalangan dana publik oleh lembaga sosial

kemanusiaan tidak merupakan masalah dan

memang seharusnya begitu. Namun tidak demikian

halnya dengan lembaga komersial. Penggalangan

dana publik oleh lembaga komersial dengan

menggunakan rekening atas nama PT, seperti yang

dilakukan MNC TV Peduli dan Mabua Harley

Davidson berpotensi menimbulkan masalah,

karena dana publik bercampur dengan dana

corporasi. Sebuah lembaga komersial yang memiliki

kepedulian pada korban banjir dengan melakukan

penggalangan dana publik, seyogyanya membuat

lembaga sosial terpisah, dengan menggunakan

rekening lembaga sosial, bukan rekening atas nama

PT, seperti yang dilakukan Elshinta peduli

kemanusiaan.

Penggalangan dana publik yang dilakukan DPR

dengan menggunakan rekening pribadi adalah

sebuah kesalahan fatal. Selain melanggar

ketentuan yang ada, juga kelihatan DPR

menggampangkan masalah dalam hal aktivitas

melakukan penggalangan dana publik. Hal ini

memprihatinkan, karena DPR yang seharusnya

tahu peraturan, justru berbuat melanggar

peraturan.

B.5.Laporan ke Donatur

Salah satu hak donator adalah memperoleh

laporan penggunaan dana publik yang berhasil

dihimpun, sesuai dengan peruntukan

sebagaimana dijanjikan di awal, yaitu untuk

korban banjir Jakarta. Dari 11 lembaga yang

melakukan penggalangan dana publik, ada empat

lembaga yang memberikan laporan tertulis ke YLKI

( MNC TV Peduli, PT XL Axiata, ACT dan Elshinta

Peduli ). Itupun setelah YLKI mengirimkan surat,

meminta laporan. Seharusnya, ada atau tidak ada

permintaan, sebagai bentuk apresiasi kepada

donatur, lembaga yang melakukan penggalangan

dana publik mengirimkan laporan kepada

donatur.

Rendahnya kesadaran lembaga yang

memberikan laporan kepada donatur ini

menunjukkan masih rendahnya perhatian lembaga

yang melakukan penggalangan dana publik

terhadap hak-hak donatur.

B.6.Laporan Keuangan dapat Diakses di Website

Hal yang tidak kalah penting dalam

penggalangan dana publik adalah aspek

transparansi. Salah satu yang bisa dilakukan

adalah mempublikasikan laporan keuangan yang

telah di audit dalam website lembaga, sehingga

dengan mudah dapat diakses oleh donatur/publik.

Dari 11 lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik, semuanya mempunyai

website, namun hanya ada dua lembaga (MNC TV

Peduli dan PKPU ) yang mencantumkan laporan

keuangan dalam website, sehingga dapat diakses

oleh publik/donatur.

B.7.Ratio Biaya Overhead Lembaga Dibanding

Biaya Program

Bagi para donatur, ketika mau menyumbang

ke suatu lembaga, angka ratio biaya overhead

lembaga dibanding biaya program ini sangat

penting. Apakah dana publik yang terhimpun ini

sebagian besar memang jatuh ke korban, atau

habis untuk biaya overhead untuk menggaji

pengurusnya.

Dari 11 lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik untuk korban banjir

Jakarta 2013, hanya ada dua lembaga yang

memberikan keterangan ( ACT dan PT XL Axiata ).

Untuk ACT, dari total dana publik yang berhasil

dihimpun untuk korban banjir Jakarta 2013

sebesar Rp 263.566.618, dipakai untuk biaya

operasional lembaga sebesar Rp 13.179.330 atau

setara 5 persen dari total dana terkumpul, dan

sisanya full untuk korban banjir Jakarta dalam

bentuk bantuan pangan, sandang dan personal

hygiene.

Untuk PT XL Axiata, dari total dana yang

berhasil dihimpun melalui SMS, setelah dipotong

Pajak Pertambahan Nilai 10 %, sebesar Rp

54.964.503. Ini berasal dari 5.625 pengirim SMS

dengan nilai sumbangan Rp 2000 per SMS dan

9.443 pengirim SMS dengan nilai sumbangan Rp

5.000 per SMS. Dana tersebut disalurkan kepada

korban banjir Jakarta melalui Yayasan Dompet

Dhuafa dalam bentuk program pemulihan ekonomi

masyarakat pasca bencana banjir di Kelurahan Jati

Pulo Jakarta Barat. Dari total dana untuk korban

banjir yang disalurkan melalui Yayasan Dompet

Dhuafa tersebut, jumlah sebesar Rp 5.500.000,-

atau setara 10 persen dari total dana terhimpun

digunakan untuk fee manajemen Dompet Dhuafa.

B.8.Hak-Hak Donatur

Masyarakat yang menyumbang sebagai

donatur mempunyai hak sebagai donatur. Hak-hak

donatur ini harus diperhatikan oleh setiap lembaga

yang melakukan aktivitas penggalangan dana

publik.

Dari 11 lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik untuk korban banjir

Jakarta 2013, perhatian akan arti penting hak-hak

donatur masih sangat minim. Hampir tidak

ditemukan lembaga yang pada saat mendorong

masyarakat untuk menyumbang, pada saat yang

sama juga melakukan sosialisasi hak-hak donatur.

C. Kesimpulan

Setiap kali terjadi bencana selalu diikuti

dengan maraknya penggalangan dana publik.

Sebagai bentuk partisipasi masyarakat, hal ini

merupakan fenomena positip. Namun demikian,

perlu ada penataan, sehingga penggalangan dana

publik dapat benar-benar bermanfaat bagi korban

bencana. Sebagian lembaga yang melakukan

penggalangan dana publik, belum sepenuhnya

memberi perhatian yang memadai tentang arti

pentingnya hak-hak donatur. Di balik sebuah

lembaga yang melakukan aktifitas penggalangan

dana publik, melekat kewajiban untuk

memperhatikan hak-hak donatur.

Dari uraian di atas, ada sejumlah rekomendasi.

Pertama, perlu ada pembenahan di aspek regulasi.

Undang-undang penanggulangan bencana sudah

menyinggung soal arti pentingnya partisipasi

masyarakat dalam penanggulangan bencana,

termasuk aspek penggalangan dana publik. Namun

pengaturan masih sangat umum dan kurang

spesifik detail dan perlu disinergikan dengan

regulasi di sektor perpajakan, khususnya adanya

kebijakan insentif perpajakan bagi organisasi

nirlaba/donatur.

Kedua, perlu ada rating lembaga yang

melakukan penggalangan dana publik. Ini penting,

bagi masyarakat selaku donatur sebagai panduan

dan referensi dalam menyalurkan donator, dan juga

bagi lembaga yang melakukan penggalangan dana

publik untuk semakin peduli pada hak-hak

donatur.

Daftar Pustaka

Buku :

Abidin, Hamid., Kusumastuti, Yuni., Saidi, Zaim.,

2007. Kebijakan Insentif Perpajakan untuk

Organisasi Nirlaba: Pelajaran dari

Mancanegara, Piramedia, Depok.

Dirjdosisworo, Soedjono, 2002. Memorandum

Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Silk, Thomas (editor), 1999. Filantropi dan Hukum

di Asia: Tantangan untuk Indonesia, Asia

Pacific Philanthrop Consortium , Jakarta.

111110

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112 Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)

Page 62: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang

Pengumpulan Uang dan Barang (Lembaran

Negara Tahun 1961 Nomor 214, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2273).

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang

Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan

112-1112

Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112

(Lembaran Negara tahun 1980 Nomor 49 ).

Artikel:

Sudaryatmo, Aturan penggalangan dana publik

untuk bencana, Koran Tempo, 16 Oktober

2009.

Sudaryatmo, Bencana dan Pelembagaan Filantropi,

Kompas, 3 Juni 2006.

Sudaryatmo, Aksi Filantropi Pascabencana, Koran

Tempo, 10 Juni 2006.

Page 63: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

112-3112-2

Page 64: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

112-5112-4

Page 65: Dummy JLI Vol.11 No.1-1 - ditjenpp.kemenkumham.go.idditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/jli2013/JLI_Vol.11_No.1.pdf · Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia,

112-6