Upload
hathuy
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH1
Oleh
Dr. Humphrey R Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb
I. PENDAHULUAN
Indonesia sesuai dengan konstitusi
tepatnya dalam Pasal 1 angka 1 UUD 1945
menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti sesuai
dengan konstitusi negara Indonesia harus
dibangun sesuai dengan prinsip-prinsip negara
kesatuan. Jika kita melihat sejarah masa lalu
bentuk negara Indonesia pernah mengalami
perubahan pada Tahun 1949 yakni menjadi
negara serikat atau Republik Indonesia Serikat.
Republik Indonesia Serikat tentu melandaskan
pembangunan hukum negaranya dengan
landasan sistem federal. Namun bentuk Negara
Indonesia yang federal tersebut tidak berlangsung
lama hanya sekitar 1 tahun dan akhirnya
dikembalikan lagi dalam bentuk Negara
kesatuan.
1 Materi ini disampaikan dalam acara Memorial Lecture Prof. Ateng Syafruddin dengan Tema “Pengemabangan Pemikiran Prof. Ateng Syafruddin mengenai Pasang Surut Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Pembentukan Peraturan Daerah” (edisi revisi) yang dilaksanakan Pada Tanggal 23 November 2016.
3 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Banyak pihak yang memberikan pendapat
bahwa Indonesia tidak cocok membentuk
negaranya dengan sistem federal karena
beragamnya suku/etnis di Indonesia jika diberikan
keleluasaan yang besar seperti dalam sistem
federal maka akan melemahkan persatuan
sebagai bangsa Indonesia. Pendapat ini ada
benarnya jika kita melihat kebelakang puluhan
tahun bahkan ratusan tahun bangsa Indonesia
berjuang melawan penjajah dengan terkotak-
kotak dalam perjuangan masing-masing suku
sepeti jong celebes, jong java, jong ambon dll kita
tidak kunjung mendapat kemerdekan namun
ketika kita bersatu dalam naungan sumpah
pemuda pada tahun 1928 kita hanya butuh
waktu 17 tahun untuk bisa mendapatkan
kemerdekaan. Ini menandakan ketika bangsa
Indonesia bersatu maka tentu akan semakin kuat,
karena itu lah bentuk negara kesatuan
merupakan bentuk negara yang paling cocok
bagi bangsa Indonesia.
Sebagai negara yang berbentuk kesatuan
tidak berarti seluruh pelaksanaan sistem
pemerintahan hanya dipusatkan di pemerintah
pusat melainkan juga harus memberikan peranan
bagi setiap daerah untuk dapat melaksanakan
pemerintahan di daerah, hal ini menjadi penting
mengingat perlunya peran dari pemerintah
4 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
daerah untuk sama-sama memajukan bangsa
Indonesia sesuai dengan karakteristik daerah
masing-masing. Negara kesatuan dapat
dibedakan kedalam 2 bentuk: 1) Negara
kesatuan dengan sistem sentralisasi 2) Negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dalam
negara kesatuan dengan sistem sentralisasi segala
sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus
oleh pemerintah pusat dan daerah-daerah hanya
tinggal menjalankan segala apa yang di
instruksikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan
dalam negara kesatuan yang dengan sistem
desentralisasi, kepada daerah diberikan
kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri(otonomi
daerah) yang dinamakan dengan daerah
otonom.2
Beberapa pendapat yang memberikan
definisi terkait dengan negara kesatuan selalu
mengatakan bahwa sutau negara dapat
dikatakan sebagai negara kesatuan apabila
pemerintah pusat memiliki kendali penuh
terhadap jalannya pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah dan pemerintah daerah
hanya bertugas untuk menjalankan apa yang
2 Fahmi Amrusyi, “Otonomi Dalam Negara Kesatuan”, dalam Abdurrahman, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta, 1987, hlm. 56.
5 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
menjadi kebijakan di pemerintah pusat. L.J Van
Apeldorn mengatakan bahwa suatu negara
disebut sebagai negara kesatuan apabila
kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah
pusat, sementara provinsi-provinsi menerima
kekuasaan dari pemerintah pusat. Provinsi-provinsi
itu tidak mempunyai hak mandiri.3 Selanjutnya
Thorsten V. Kalijarvi memberikan pendapatnya
tentang negara kesatuan yakni negara-negara
dimana seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu
atau beberapa organ pusat, tanpa pembagian
kekauasaan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah bagian-bagian negara itu.
Pemerintah bagian-bagian negara itu hanyalah
bagian pemerintah pusat yang bertindak sebagai
wakil-wakil pemerintah pusat untuk
menyelanggarakan adminisrasi setempat.
Merujuk daripada pendapat kedua ahli
dimaksud kita dapat melihat bahwa suatu negara
kesatuan sebanarnya bersistem sentralistik, akan
tetapi jika melihat kondisi yang ada saat ini pola-
pola senralisitik yang demikian itu sudah tidak
terlalu ketat, artinya pemerintah daerah saat ini
sudah diberikan kewenangan yang cukup luas
untuk dapat mengurusi rumah tangga daerahnya
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
3 Van Apeldorn, dalam Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, hlm. 20.
6 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
karakteristik dan ciri khas daerahnya masing-
masing. Berbeda jika kita melihat pada zaman
orde baru bahwa kebijakan banyak sekali lahir
dari pemrintah pusat dan daerah hanya tinggal
menjalankan apa yang menjadi kebijakan yang
telah ditetapkan di pemerintah pusat. Kondisi saat
ini yang sudah banyak memberikan keleluasaan
bagi pemrintah daerah untuk mengambil
kebijakan tentu semakin memperkuat
desentralisasi (pembagian kekuasaan) dan hal ini
sangat baik dalam sistem demokrasi karena tentu
lebih banyak menampung apa yang menjadi
aspirasi rakyat di daerah untuk bisa diwujudkan
dalam pemerintah daerahnya.
II. Hubungan Pusat Dan Daerah dalam Bingkai
Negara Kesatuan
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah sebagai wujud
otonomi daerah merupakan hal yang
diamanahkan dalam konstitusi hal ini bertujuan
agar daerah betul-betul bisa mengembangkan
potensi daerahnya dengan tujuan akhir dapat
bersama-sama membangun bangsa Indonesia ke
arah yang lebih baik. Sri Soemantri pernah
mengingatkan bahwa pelimpahan wewenang ke
pemerintah daerah itu merupakan hakikat dari
suatu negara kesatuan bukan hanya sekedar
perintah dari konstitusi. Melibatkan daerah dalam
7 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
pembangunan Indonesia sengat penting agar
tetap dapat menjaga persatuan di tengah
beragamnya suku bangsa di Indonesia.
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah sering disebut
sebagai desentralisasi kekuasaan pemerintahan.
Desentralisasi adalah suatu bentuk upaya untuk
memberikan wewenang kepada pemerintah
daerah dalam mengatur dan mengurus urusan
daerahnya dan menentukan arah kebijakan yang
akan diambil oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan yang terbaik bagi daerahnya.
Desentralisasi secara garis besar dapat dibagi
kedalam 3 macam yakni: pertama, desentralisasi
politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
kebudayaan. Desentralisasi politik adalah
pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
yang menimbulkan hak mengurus kepentingan
rumah tangga sendiri bagi badan-adan politik di
daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah
tertentu. Desentralisasi fungsional adalah
pemberian hak dan kewenangan pada
golongan-golongan untuk mengurus suatu
macam atau golongan kepentingan dalam
masyarakat baik terikat ataupun tidak pada suatu
daerah tertentu. Desentralisasi kebudayaan ialah
memberikan hak kepada golongan-golongan
8 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk
menyelenggarakan kebudayaan sendiri.4
Negara kesatuan yang menganut
pembagian kekuasaan (sistem desentralisasi)
tentu akan menimbulkan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemrintah daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi
harus berdasarkan beberapa hal yakni sebagai
berikut:
1. Permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan Negara
Penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan prinsip kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.
Kata kerakyatan adalah paham
demokrasi yaitu pemerintahan oleh
rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Dalam pemerintahan daerah,
pemerintahan daerah harus
diselenggarakan oleh rakyat daerah
setempat berdasarkan aspirasi dan
kepentingan daerahnya. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat
4 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5
9 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
kebijaksanaan artinya bahwa dalam
menyelenggarakan pemerintahan
demokratis tersebut harus berdasarkan
kearifan yakni segala tindakan yang
menghasilkan kedamaian (peacefull)
bukan keributan. Dalam
permusyawaratan perwakilan artinya
bahwa sistem demokrasi dalam
pemerintahan daerah dapat
diselenggarakan dalam
permusyawaratan langsung maupun
permusyaratan yang diwakilkan.
2. Pemeliharaan dan Pemngembangan
Prinsip-Prinsip Pemerintahan Asli
Penyelenggaraan pemerintahan pusat
dan daerah tidak boleh membongkar
susunan dan struktur asli pemerintahan
masyarakat bangsa Indonesia tetapi
harus memelihara dan
mengembangkannya. Dalam UUD 1945
dan penjelasannya sangat jelas
disebutkan bahwa daerah-daerah yang
memiliki susunan asli yaitu bekas-bekas
daerah swapraja dijadikan daerah
istimewa dengan mengembangkannya
menjadi pemerintah daerah yang
demokratis dan modern. Begitupun
dengan kesatuan-kesatuan masyarakat
10 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
hukum adat harus tetap dihormati
statutsnya dan kemudian
dikembangkan menjadi satuan
pemerintahan yang modern dan
demokratis.
3. Ke-Bhinekaan
Penyelenggaraan pemrintahan baik
pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah harus berdasarkan kebhinekaan
sesuai dengan semboyaan “bhinneka
tunggal ika”. Bhinneka artinya
keragaman, yaitu perbedaan budaya,
adat istiadat, agama, suku, dan ras
yang dimiliki bangsa Indonesia.
Keragaman inilah yang menjadi dasar
persatuan bukan persatuan yang
menjaga keragaman. Prinsip
kebhinekaan tersebut ditegaskan
dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah dengan cara menghormati,
mengakui, dan mengembangkan
susunan asli pemerintahan bangsa
Indonesia.
4. Berdasarkan Negara Hukum.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
disebutkan bahwa Indonesia adalah
negara hukum artinya segala sesuatu
11 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
yang menyangkut urusan kehidupan
berbangsa dan bernegara maka harus
sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Begitu pun dengan urusan
pemerintahan baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah harus
dijalankan berdasarkan hukum yang
berlaku. Selain itu dalam Pasal 18 UUD
1945 juga dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pemrintahan daerah
harus berdasarkan prinsip
permusyawaratan/demokrasi. Dengan
demikian, penyelenggaraan
pemerintahan daerah harus
berdasarkan hukum dan demokrasi.
Prinsip yang sesuai dengan hukum dan
demokrasi akan melahirkan prinsip
perencanaan dan prinsip keadilan dan
kesejahtearaan sosial. Prinsip
perencanaan kekuasaan dan prinsip
keadilan dan kesejahteraan merupakan
suatu prinsip yang sangat penting untuk
membangun pemerintahan di daerah
karena perencanaan kekuasaan yang
baik akan mempengaruhi sistem
demokrasi dan sistem demokrasi yang
baik akan mempengaruhi
kesejhateraan mayarakat.
12 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Keempat prinsip tersebut diatas dalam hal
untuk melakukan disentralisasi kiranya perlu
diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam hal
melakukan kebijakan desentrlisasi ke pemerintah
daerah agar desentralisasi kekuasaan dapat
terlaksana dengan baik antara kebijakan
pemerintah pusat maupun kebijakan pemerintah
daerah. Selain dari ke empat prinsip desentralisasi
tersebut diatas yang juga perlu mendapat
perhatian ialah terkait dengan pembagian
kewenangan antara pemeritah pusat dan
pemerintah daerah karena pembagian
kewenangan ini akan berdampak pada
pembagian tugas yang kemudian akan
berdampak pada sinergitas pembangunan di
tingkat nasional dan daerah. Pada dasarnya
selalu adan urusan pemerintahan yang lebih
tepat ditangani oleh pemerintah pusat dan ada
pula urusan urusan yang lebih tepat ditangani
secara bersama-sama dengan daerah. Berkaitan
dengan hal dimaksud ada beberapa hal yang
perlu dipedomani dalam pembagian
kewenangan yakni:5
5 Anwar Shah, dalam Josef Mario Monteiro, Hukum Pemerintah Daerah: Konsepsi, Kewenangan, Organisasi, Desa, Produk Hukum Desa dan Peraturan Daerah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016, hlm. 37-38.
13 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
1. Efficient Profosion of public service
(pelayanan publik yang efisien)
Pelayanan publik yang disediakan dengan
efisien artinya jika pelayanan publik
tersebut lebih cenderung berkaitan
langsung dengan masyarakat daerah
sebaiknya pengurusannya dilaksanakan
langsung oleh pemerintah daerah.
Pemerintah pusat hanya sebatas
pengawasan dan memberikan kebijakan
makro (kursif penulis)
2. Equitable Provism of Public Service
(penyediaan layanan publik yang sama)
Artinya ialah penyediaan layanan publik
harus mendapat perlakuan yang sama
terhadap semua waga negara tanpa
memperhatikan/mempertimbangkan
tempat dari penduduk yang atau
pekerjaan oleh sektor publik secara
keseluruhan.
Kiranya hal demikian ini merupakan suatu
hal yang masih belum sepenuhnya terjadi
di Indonesia mengingat pola
pembangunan di Indonesia di waktu yang
lalu masih bersifat jawa sentris sehingga
pembangunan pelayanan publik lebih
banyak dilakukan di jawa (indonesia
bagian barat) sedangakan di Indonesia
14 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
bagian timur pembangunan masih cukup
minim dilakukan. Namun saat ini dengan
berbagai kebijakan yang dilakukan
Presiden Jokowi pembangunan daerah
Indonesia timur terutama Papua sudah
terlihat semakin massif dan yang terakhir
kebijakan pemerintah untuk
menyamaratakan harga BBM di jawa dan
papua merupakan kebijakan yang sangat
baik dan patut untuk diapresiasi.
3. Provision of Quazy Goods (peyediaan
pelayanan semi privat)
Hal-hal yang digolongkan semi privat
seperti pendidikan, kesehatan
kepemudaan dll sebaiknya urusan-urusan
yang demikian diberikan pengurusannya
kepada pemerintah daerah karena
pemerintah daerah lah yang bisa lebih
memahmi kebutuhan di daerah tersebut.
Sedangkan peerinta pusat berperan untuk
membuat suatu kebijakan nasional
misalnya dengan membuat standar
minimum pelayanan sehingga setiap
daerah dapat memilki standard pelayanan
minum yang baik untuk masyarakat.
4. Presenvation of internal common market
(jaminan pasar domestik)
15 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Pembagian kewenangan terkait dengan
arus perdangan di daerah harus menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat untuk
dapat memberikan akses arus
perdagangan yang baik minimal dengan
menetapkan suatu kebijakan pelaksanaan
di daerah terkait dengan akes market.
5. Economic Stabilitation
Stabilitas ekonomi merupakan tanggung
jawab pemerintah pusat dan daerah untuk
dapat melaksanakan stabulitas ekonomi
dengan baik. Oleha karena itu perlu
pembagian tugas yang baik antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
untuk mencapai stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 24 Tahun
2014 tentang pemerintah daerah. Dalam undang-
undang dimaksud telah dijelaskan secara rinci
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dan yang menjadi kewenangn pemerintah
daerah maupun yang menjadi kewenangan
bersa ma anatar pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dalam Pasal 9 UU No. 24
16 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Tahun 2014 dinyatakan bahwa klasidikasi urusan
pemerintahan dibagi atas:
1. Urusan Pemerintahan Absolut, adalah
Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat;
2. Urusan Pemerintahan Konkuren, adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan
ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah;
3. Urusan Pemerintahan Umum, adalah
Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
17 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Untuk dapat memperjelas kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka
dpat dilihat dari skema dibawah ini:
Dengan adanya disentralisasi ataupun
pembagian kekuasaan antara pemrintah pusat
dan pemerintah daerah bukan berarti tidak ada
lagi pemusatan kekuasaan di pemerintah pusat
melainkan sistem desentralisasi harus terus dapat
berkordinasi dengan kekuasaan di pemerintah
18 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
pusat agar tidak terjadi disintegrasi di masyarakat.
Perlu untuk di ingatkan bahwa jika ruang
disentralisasi dibuka seluas-luasnya maka akan
menimbulkan keranggangan sosial yang tentu
akan berdampak buruk bagi persatuan begitu
pun sebaliknya jika sentralisasi terlalu kuat maka
daerah akan sulit berkembang sesuai dengan
kekhasan daerahnya yang merupakan bagian
dari kemajemukan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu format yang baik
agar kedua hal tersebut dapat berjalan
seimbang. Mekanisme menyeimbangakan hal
demikian ialah dengan cara memberikan ruang
bagi daerah untuk menentukan kebijakan namun
tetap dalam pengawasan pemerintah pusat.
Sistem pengawasan yang baik oleh
pemerintah pusat kepada daerah yang diberikan
kewenangan otonom akan sangat
mempengaruhi jalannya sebuah negara
kesatuan. Bagir Manan menyebutkan bahwa
dalam negara kesatuan pemerintah pusat
berwenang untuk campur tangan yang lebih
intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah.6
Adanya campur tangan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah merupakan
6 Bagir Manan, Beberapa Hal disekitar Otonomi Daerah Sebagai Sistem Penyelenggaraan Pemerintah, Majalah Padjajaran Jilid V, Bina Cipta, Bandung, 1974, hlm. 34.
19 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
bahagian dari fungsi kontrol agar kebijakan yang
dilakukan di daerah dapat dipastikan sejalan
dengan kebijakan di pemerintah pusat yang
merupakan kebijakan nasional. Selain itu
pengawasan juga bertujuan untuk dapat
menghindari kesalahan aatu kekeliruan yang
diakukan oleh pemerintah daerah dalam
menerjemahkan kebijakan nasional yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan
adanya ruang pengawasan yang diberikan oleh
UU kepada pemerintah pusat maka kekhwatiran
akan lepasnya kontrol dan kekuasaan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah tidak perlu
terlalu dikhawatirkan.
III. Pembentukan Peraturan Daerah
Hal yang penting dalam pemberian
kekuasaan dari pusat ke daerah adalah
diberikannya kesempatan bagi daerah untuk
membuat peraturan daerah. Dengan adanya
peraturan daerah maka daerah otonom dapat
membuat suatu kebijakan sendiri yang
terlegitimasi secara hukum untuk dapat
menentukan arah pembangunan daerahnya
tersebut sesuai dengan ciri khas daerahnya.
Namun disisi lain pemberian kewenangan bagi
daerah untuk bisa membuat peraturan sendiri
tentu juga memiliki dampak bagi pemerintah
pusat, dampaknya ialah apabila peraturan
20 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
daerah yang disusun oleh daerah otonom tidak
sinkron dengan pemerintah pusat atau bahkan
bertentangan maka tentu akan berakibat pada
terhambatnya pelaksanaan kebijakan
pembangunan nasional. Oleh karena itu
pembentukan peraturan daerah harus
dilaksanakn dengan sebaik-baiknya agar dapat
mendukung kebijakan pembangunan nasional.
Belakangan ini Presiden Jokowi seringkali
mengingatkan dan memerintahkan Menteri
dalam Negeri agar dapat mengevaluasi berbagai
Peraturan Daerah yang menghambat kemajuan
ekonomi, bahkan Presiden Jokowi pada saat
memberikan keterangan di media sempat
menyatakan jika ada Peraturan Daerah yang
terindikasi menghambat investasi dan laju
pertumbuhan ekonomi tidak perlu dikaji terlalu
lama dan langsung saja dibatalkan. Pesan
Presiden ini menandakan bahwa sebagai daerah
otonom harus bisa mendukung pemerintah pusat
dalam melakukan pembangunan nasional bukan
justru sebaliknya malah memberikan hambatan
diakarenakan adanya aturan dalam bentuk
Peraturan Daerah yang justru menghambat
pembangunan nasional. Pada Tahun 2016 sudah
ada 3.143 Peraturan Daerah yang dibatalkan,
menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
3.143 Peraturan Daerah tersebut dapat
21 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
menghambat investasi dan saat ini Kementerian
dalam Negeri sedang mengkaji berbagai
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.7 Karena itu
kemungkinan peraturan daerah yang akan
dibatalkan akan bertambah.
Pembentukan peraturan daerah memang
harus menjadi perhatian pemerintah daerah dan
pemerintah pusat artinya pada saat
pembentukan peraturan daerah yang
merupakan kewenangan DPRD dan Kepala
Daerah setempat ada baik jika melibatkan unsur
pemerintah pusat dalam pembahasan peraturan
daerah dimaksud agar dapat disinkronkan
dengan peraturan di pemerintah pusat sehingga
tidak terjadi tumpang tindih aturan yang akan
membuat disharmonisasi aturan. Selain itu pada
saat pembentukan peraturan daerah harus
memperhatikan dasar-dasar dalam pembentukan
peraturan daerah yakni:
1. Hierari peraturan perundang-undangan
Hierariki peraturan perundang-undangan
ialah memperhatikan norma hukum
berjenjang sebagaimana dalam stefanbau
7 http://news.rakyatku.com/read/10073/2016/06/21/daftar-lengkap-3-143-perda-yang-dibatalkan-kemendagri> diakses Tanggal 19 November 2016.
22 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yakni peraturan perundang-undangan
yang secara tingkatan berada dibawah
maka tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undnagan yang
berada diatasnya. Jika melihat susunan
hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam UU No. 11 Tahun 2011
tentang Peraturan Perundang-undangan
secara jelas mengatur hierarki peraturan
perundang-undangan yaitu:
a. UUD 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan pemerintah
pengganti undang-undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dari hierarki peraturan perundang-
undangan tersebut terlihat bahwa setiap
peraturan yang dikeluarkan pemerintah
pusat jenjangnya berada diatas
dibandingkan dengan pemerintah daerah.
Oleh karena itu sudah seharusnya
peraturan daerah bisa mensinkronkan
23 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
dengan peraturan pemerintah di tingkat
pusat.
2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam
pembentukan Perda merupakan wujud
penyelenggaraan pemerintahan yang baik
sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance, diantaranya keterlibatan
masyarakat, akuntabilitas, dan
transparansi.8 Selanjutnya dengan adanya
partisipasi masyarakat, maka peraturan
daerah yang dihasilkan dapat
mencerminkan kenyataan sosial yang
berlaku/terjadi di masyarakat daerah.
Pada dasarnya urgensi partisipasi
masyarakat dalam pembentukan
Peraturan Daerah adalah:
a. Menjaring pengetahuan, keahlian atau
pengalaman masyarakat sehingga
perda yang dibuat benar-benar
memenuhi syarat pembuatan Peraturan
daerah yang baik.
b. Menjamin Peraturan Daerah sesuai
dengan kenyataan yang ada di dalam
masyarakat, menumbuhkan rasa
8 Mas Ahamad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Bandung, 2001, hlm. 87.
24 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
memiliki, rasa tanggung jawab dan
akuntabilitas peraturan daerah.
c. Menumbuhkan adanya kepercayaan,
penghargaan, dan pengakuan
masyarakat terhadap pemerintah
daerah.
3. Peraturan yang Harmonis
Pembentukan peraturan perundang-
undangan harus dilakukan secara harmonis
antara satu peraturan dengan peraturan
yang lain baik secara vertikal maupun
secara horizontal. Hal ini penting
mengingat jika terjadi disharmonisasi
peraturan maka akan timbul ketidakpastian
hukum yang akan berujung pada
ketidakadilan di masyarakat.
Ketiga dasar pembantukan peraturan daerah ini
perlu untuk dicermati oleh lembaga lesgislatif di
daerah agar keefektifan keberlakuan peraturan
daerah dapat berjalan dengan baik selain itu
dengan memperhatikan dasar pembentukan
peraturan daerah dimaksud dapat mensinergikan
antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah
begitupun juga dapat memberikan manfaat yang
lebih baik kepada masyarakat atas hasil
peraturan daerah yang dibuat.
Selanjutnya dalam pembentukan
peraturan daerah kiranya juga perlu
25 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
memperhatikan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik
sehingga peraturan daerah dapat menjadi suatu
peraturan yang memiliki kualitas yang baik. Berikut
beberapa asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan:9
1. Asas cita hukum Indonesia yaitu, Pancasila
disamping sebagai rechtside juga
merupakan norma fundamental negara.
2. Asas Bernegara berdasarkan atas hukum
dan asas pemerintahan bersarkan sistem
konstitusi. Berdasarkan prinsip ini undang-
undang sebagai alat pengaturan yang
khas ditempatkan dalam keutamaan
hukum dan juga sebagai dasar dan batas
penyelengaraan pemerintah.
3. Asas lainnya yang meliputi asas formal dan
asas materil.
Asas formal dan asas materil dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan telah dijelaskan
secara rinci dalam Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2001
tentang Peraturan Perundang-undangan yaitu:
1. Kejelasan tujuan;
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan
tujuan” adalah bahwa setiap
9 Jazim Hamidi, Optik Hukum Peraturan Daerah; Menggagas Peraturan Daerah Yang Responsif dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011, hlm. 73-74.
26 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat;
Setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus benarbenar
memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
4. Dapat dilaksanakan;
Setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Setiap Peraturan Perundangundangan
dibuat karena memang benar-benar
27 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
6. Kejelasan rumusan; dan
Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta
bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
7. Keterbukaan.
Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Selain dari dasar dan asas pembentukan
suatau peraturan perundang-undangan termasuk
dalam pembentukan peraturan daerah juga hal
yang menjadi penting untuk mendapatkan
perhatian ialah terkait dengan landasan dalam
membuat peraturan daerah dimaksud. Berikut
28 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
ada beberapa landasan yang perlu dicermati
sebelum pembentukan peraturan daerah:
1. Landasan Filosofis yakni uraian yang
memuat tentang pemikiran terdalam yang
wajib terkandung dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu nilai-nilai
Pancasila.
2. Landasan Yuridis yakni uraian tentang
ketentuan hukum yang harus menjadi
acuan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
3. Landasan sosiologis yakni pembuatan
suatau peraturan harus mencerminkan
fakta dalam masyarakat sehingga dapat
diterima oleh masyarakat dan memiliki
daya laku efektif dan tidak banyak
memerlukan pegerahan institusi penegak
hukum dalam melaksanakannya.
4. Landasan Ekonomis yakni memuat
pertimbangan-pertimbangan ekonomi baik
mikro maupun makro, sehingga perda
yang dibentuk tidak terlalu memberatkan
kepada mereka yang terkena pada saat
pelaksanaannya.
5. Landasan Ekologis yakni memuat
pertimbangan-pertimbangan ekologis
yang berkaitan dengan keselamatan dan
29 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
kelestarian lingkungan hidup serta
ekosistemnya.
6. Landasan kultural yakni harus
mempetimbangkan berbagai kultur yang
ada di daerah sehingga tidak menibulkan
konflik dengan nilai-nilai kultur yang hidup
dalam masyarakat.
Dalam pembentukan peraturan daerah
tentu harus memperhatikan dasar, asas, dan
landasan dalam pembentukan peraturan daerah
dimaksud agar pembentukan peraturan daerah
dapat memiliki kualitas yang baik, akan tetapi
dengan melihat banyaknya peraturan daerah
yang dibatalkan dikemudian hari maka perlu
dipertimbangkan bahwa sebelum pembentukan
peraturan daerah ada baiknya untuk peraturan
daerah tersebut dilakukan kordinasi dan
pembahasan terlebih dahulu dengan pemerintah
pusat dalam hal ini kementerian dalam negeri.
Prof. Ateng dalam berbagai kesempatan sering
menyampaikan bahwa kunci berjalannya
pemerintahan secara baik dalam suatu negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi perlu
adanya kordinasi yang baik antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Sama halnya
dengan pementukan peraturan daerah ada
baiknya sebelum peraturan daerah tersebut
dimintakan pengesahan sebaiknya dilakukan
kordinasi dengan kementerian dalam negeri agar
30 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
peraturan daerah yang akan disahkan sudah
melalui tahap kordinasi dengan pemerintah pusat
sehingga peraturan daerah yang berpotensi
bertentangan dengan peraturan pemerintah
pusat dapat diminimalisir.
Selain itu bukan tidak mungkin dibuat suatu
unit atau suatu badan khusus dibawah
kementerian dalam negeri untuk bisa melakukan
sinkronisasi, harmonisasi, dan/atau kordinasi
terhadap peraturan-peraturan daerah yang telah
ada atau yang akan dibuat sehingga dapat
sejalan dengan peraturan yang ada di
pemerintah pusat.
IV. Berbagai Permasalahan terkait Peraturan
Daerah
Terkait dengan peraturan daerah yang
dibuat/dilegislasi oleh lembaga legislatif di daerah
ada beberapa permasalahan yang sering terjadi
yakni:10
1. Pembentukan Perda
Dari hasil penelitian dan pengamatan ada
beberapa yang kerap terjadi masalah dalam
pembentukan perda antara lain:
10 Asep Warlan, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pembentukan Peraturan Daerah, 2016.
31 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
a. Seringkali dikacaukan antara kebijakan
publik dan kebijakan pimpinan satu
lembaga atau instansi.
b. Dalam merumuskan tidak cermat, sehingga
mengganggu dan merugikan publik.
proses dirumuskannya suatu kebijakan
publik tidak melalui mekanisme menurut
per-perUUan;
c. lebih tergantung pada kepentingan
personal yang keluar dari pimpinan
pemerintahan atau lembaga;
d. Kerap terjadi ganti pejabat, ganti
kebijakanyang menunjukkan tidak
jelasnya kepastian;
e. Prosesnya tidak dilakukan melalui pelibatan
secara aktif stakeholders, sehingga tidak
aspiratif;
f. Perumusan norma dalam suatu peraturan
hanya sekedar pengulangandari
peraturan perundang-undangan yang
lainnya;
g. para pihak dan para pelaksana tidak mau
bekerja sama;
h. para pelaksana bekerja secara tidak
efisien;
i. para pelaksana bekerja setengah hati;
j. tidak menguasai permasalahan;
k. permasalahan yang digarap diluar
jangkauan kekuasaannya;
32 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
l. kondisi eksternal tidak menguntungkan;
m. tidak berhasil mewujudkan dampak/hasil
seperti yang diharapkan;
n. pelaksanaannya jelek;
o. perda-nya memang jelek;
p. perda- nya memang bernasib jelek;
q. perda-nya sejak awal memang jelek;
r. dirumuskan secara sembrono;
s. tidak didukung informasi yg memadai;
t. alasan pembentukan yang keliru;
u. asumsi dan harapan yang tidak realistis.
Dalam peraturan perundang-undangan
dijelaskan bahwa dalam pembentukan perda
perlu memperhatikan asas-asas dan rambu-
rambu sebagai berkiut antara lain:
a. Daerah menetapkan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah dalam
rangka penyelenggaraan otonomi;
b. Daerah menetapkan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah untuk
menjabarkan lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
c. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, Peraturan Daerah
lain, dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi;
33 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
d. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal
yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
e. Peraturan Daerah dapat memuat
ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan hukum, seluruhnya
atau sebagian kepada pelanggar;
f. Peraturan Daerah dapat memuat
ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan dan denda sebanyak-
banyaknya Rp 50 juta dengan atau tidak
merampas barang tertentu untuk Daerah,
kecuali jika ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan;
g. Kepala Daerah menetapkan Peraturan
Kepala Daerah yang bersifat mengatur
apabila ada atribuasi atau delegasi dari
Peraturan Daerah atau peraturan
perundang-undangan lain;
h. Adanya political will yang kuat dari
pimpinan daerah;
i. Adanya dukungan dana, SDM, sarana dan
prasarana yang memadai;
j. Dilakukan penelitian dan pengkajian
substansi secara komprehensif dengan
melibatkan ahli.
k. Mendapat dukungan dan persetujuan dari
berbagai instansi terkait;
34 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
l. Memperhatikan dan mengakomodasi
pemikiran dan aspirasi masyarakat seluas
mungkin;
m. Perancangan dilakukan dengan secermat
mungkin sesuai dengan asas-asas umum
penyusunan peraturan perundang-
undangan yang baik (alegmene
beginselen van behoorlijk wetgeving).
n. pengkajian dan penelitian yang
komprehensif dan seksama mengenai hal-
hal yang menyangkut fakta, data,
informasi tentang masalah-masalah
lingkungan hidup di daerah yang
bersangkutan; serta sekaligus melakukan
evaluasi terhadap keberadaan berbagai
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah yang berlaku, yang berkenaan
dengan lingkungan hidup;
o. penyusunan Rancangan Naskah Akademik
atau Hasil Kajian dan Rancangan
Peraturan Daerah dan Rancangan
Peraturan Kepala Daerah untuk kemudian
dikaji, didiskusikan, dan didialogkan
dengan berbagai pihak pemangku
kepentingan (stakeholders) guna
memperoleh masukan dan tanggapan,
untuk selanjutanya dibuat kesepakatan;
p. penyusunan finalisasi Naskah Akademik
atau Hasil Kajian dan Rancangan
35 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Peraturan Daerah dan atau Rancangan
Peraturan Kepala Daerah;
q. penyampaian Rancangan Peraturan
Daerah kepada DPRD dan selanjutnya
dilakukan pembahasan di DPRD sesuai
dengan tata tertib, yang juga harus
transparan dan dapat diakses oleh
masyarakat.
2. Pembatalan Perda
Permasalahan kewenangan Pemerintah
melalui Menteri Dalam Negeri dalam
membatalkan Perda menjadi permasalahan yang
berkembang di publik karena ada yang
berpandangan bahwa Menteri Dalam Negeri
tidak dapat melakukan pembatalan suatu produk
hukum (Perda) yang dibuat oleh DPRD, suatu
lembaga legislatif yang merepresentasikan rakyat.
Namun demikian dalam kurun waktu 2007 sampai
dengan 2015 terdapat 3 ribu lebih Peraturan
Daerah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri11
bahkan pada tahun 2016 ini perda yang
dibatalkan sebanyak 3147 Perda. Namun pasca
terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
137/PUU-XIII/2015 yang memberikan tafsir Pasal
251 ayat (2), (3), (4) dan (8) UU No. 23 Tahun 2014
11Sambutan Kepala Kantor Wilayah Depkum Ham Banten pada acara Pembukaan Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan, Kamis 25 Juni 2009 di Hotel Sari Kuring Cilegon.
36 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
tentang Pemerintah Daerah dalam Putusannya
tersebut Mahkamah Konstitusi berpandangan
bahwa Menteri dalam negeri (Kemendagri)
dalam hal pembatalan Peraturan Daerah tidak
memiliki kewenangan lagi pasca terbitnya
Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut. Putusan
Mahkamah Konstitusi dimaksud masih
memberikan kewenangan kepada Mendagri
untuk membatalkan Peraturan Daerah Provinsi
mengingat dalam uji materi tersebut tidak
dilakukan uji materi terhadap kewenangan
Mendagri dalam membatalkan Peraturan Daerah
Provinsi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
memang menimbulkan banyak perbedaan
pendapat dari para ahli hukum ada yang
menyatakan Mendagri selaku eksekutif tetap
dapat melakukan eksecutive riview tetapi ada
juga pendapat ahli lain yang mengatakan bahwa
eksekutif seharusnya tidak bisa melalukan riview
karena hal tersebut merupakan kewenangan
lembaga lain yakni lembaga yudikatif. Terlepas
dari perbedaan pendapat dimaksud namun
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah
bersifat final dan mengikat.
Dengan adanya Putusan Mahakamah
Konstitusi maka Kementerian Dalam Negeri atau
pun Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
harus mengoptimalkan perannya pada saat
Rancangan Peraturan Daerah dilakukan sesuai
37 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Pasal 245 UU No. 23 Tahun 2014 agar setiap
Peraturan Daerah yang akan diterbutkan bisa
selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat
sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan yang
dapat menghambat pembangunan maupun
pertumbuhan ekonomi.
3. Perda Syariat
Gelombang demokratisasi yang dibawa oleh
momentum otonomi daerah tersebut telah
mendorong umat Islam di beberapa daerah
(sebut saja misalnya Tasikmalaya, Garut, dan
Cianjur, di wilayah Jawa Barat) mendesak Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)-nya untuk
menerapkan syariat Islam di daerahnya melalui
tuntutan pembuatan berbagai Perda Syariat.
Keinginan tersebut semakin kuat ketika secara
yuridis formal melalui Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 18 tahun
2001, Pemerintah “memperkenankan”
pelakanaan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Permasalahan yang
muncul kemudian adalah dalam sistem demokrasi
perwakilan (representative democracy) seperti
yang berlaku di Indonesia, upaya
mengakomodasikan aspirasi dan tuntutan
masyarakat tersebut sangat tergantung pada
“kemampuan” dan “kemauan” anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kongkretnya,
38 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
untuk menyikapi maraknya tuntutan aspirasi
masyarakat untuk menerapkan syariat Islam
tersebut, diperlukan peningkatan kualitas peran
dan tanggung jawab anggota DPRD, khususnya
peran dan tanggungjawab di bidang legislative
drafting (teknik perancangan draf peraturan
perundang-undangan). Mereka juga dituntut
lebih proaktif, kreatif, dan mandiri dalam
melakukan pembaharuan di bidang legislative
drafting daerah pada khususnya, dan
pembaharuan sistem pemerintahan yang sesuai
dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat pada
umumnya.12
4. Produktivitas DPRD
Bedasarkan hasil pengamatan di berbagai
media dan pengalaman yang diperoleh dalam
membantu konsultasi penyusunan Perda, terbukti
bahwa inisiaitif pembuatan Perda dari DPRD baik
untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
jauh lebih sedkit ketimbang yang dihasilkan atas
dasar inisiatif eksekutif. Hal ini dikarena terdapat
sejumlah kendala yang mempengaruhi
produktivitas DPRD. Adapun kendala-kendala
yang mempengaruhi produktivitas DPRD dalam
memproduk Peraturan Daerah (Perda), yaitu
12Tatang Astarudin,Perda Syariat; Aspirasi Masyarakat Daerah?ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/syariat.pdf
39 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
faktor individual berkaitan dengan kapasitas, latar
belakang pendidikan dan pekerjaan, kemauan.
Faktor Institusional yang meliputi tidak punya data
base permasalahan pemerintahan, budaya
politik, pengaruh kekuatan politik (eksternal).13
5. Harmonisasi
Pembatalan terhadap ribuan Perda di
Indonesia sebagaimana disebutkan di atas,
merupakan permasalahan yang dihadapkan
kepada Pemerintah Daerah agar di dalam
membentuk Peraturan Daerah harus sesuai
dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan materi muatan
tidak bertentangan dengan peraturan yang
memiliki kedudukan lebih tinggi dari Peraturan
Daerah. Karena hal tersebut merupakan
permasalahan yang paling menonjol yang
dihadapi dalam rangka pelaksanaan
pembangunan peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Salah satu penyebab terjadinya hal
tersebut adalah karena masih tingginya ego
sektoral maupun kepentingan dari instansi
sebagai pengusul inisiatif. Disamping itu juga
dalam proses penyusunan peraturan perundang-
13Sofyan Arief, Kinerja DPRD Dalam Melaksanakan Kekuasaan Legislasi(Study Di Dprd Kota Malang)
40 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
undangan kadang kala kelompok tertentu
berusaha mempengaruhi substansi dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan
sebagai akibatnya produk yang dihasilkannya
tidak netral. Ditingkat daerah permasalahan
tersebut juga muncul, apalagi dengan adanya
otonomi daerah yang membawa konsekuensi
kepada masing-masing daerah untuk mencari
sumber-sumber pendapatan asli daerahnya.
Sebagai akibatnya peraturan-peraturan daerah
yang dihasilkan sering kali secara nasional justru
akan merugikan kepentingan perekonomian
nasional karena masing-masing daerah berlomba-
lomba untuk menarik dana dari masyarakat baik
dalam bentuk peraturan perpajakan, retribusi
maupun perizinan.14
Tidak hanya, ketiadaan harmonisasi antar
Perda dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi, namun permasalahan harmonisasi
terjadi juga pada tingkat Undang-Undang
dengan Undang-Undang sektoral. Contohnya
mengenai pemanfaatan jalan selain untuk
kepentingan lalu lintas, berdasarkan PP 38 Tahun
2007 menjadi urusan Pemda (Dinas Perhubungan),
namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 22
14Diani Sadiawati, Peran Pembangunan Hukum Dalam Menunjang Investasi Di Indonesia dalam Laporan Tim Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kelompok Kerja Bidang Hukum Ekonomi Dan Industri
41 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
Tahun 2009 tentang LLAJ menjadi urusan
Kepolisian. Dan untuk urusan Rumah Sakit Khusus
menjadi urusan provinsi, namun UU Rumah Sakit
mengatur Rumah Sakit dibagi lagi menjadi Tipe A,
B, C, dan D. Provinsi dengan analogi tipe Rumah
Sakit Umum, berarti hanya mempunyai urusan
pada Rumah Sakit Khusus Tipe B. Pada gilirannya
akan memunculkan benturan antara UU Pemda
dengan UU Sektoral.15
Jika kita melihat berbagai permasalahan
terkait dengan peraturan daerah tersebut diatas
terlihat secara jelas bahwa permasalahan
peraturan daerah sudah ada sejak dari
pembentukan perda, melakukan harmonisasi baik
secara vertikal maupun horizontal dengan
peraturan perundang-undangan lainnya dan
pembatalan peraturan daerah itu sendiri.
Permasalahan ini terjadi karena beberapa hal
diantaranya: pertama, masih terjadi di beberapa
daerah yang kurang memahami tentang
mekanisme pemberlakuan peraturan daerah
seperti misalnya adanya kewajiban untuk
memberitahukan atau menyerahkan peraturan
daerah ke pemerintah pusat. Kedua, masih ada
keenganan pemerintah daerah untuk
menyerahkan Peraturan daerah kepada
15 http://des-otda.blogspot.com/2011/05/isu-strategis-revisi-uu-322004.html
42 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
pemerintah pusat karena tidak adanya sanksi
bagi daerah yang tidak menyerahkan tentu hal ini
berdampak pada sulitnya pemerintah pusat untuk
melakukan pengkajian terhadap peraturan
daerah yang telah dibuat oleh daerah otonom.
Ketiga agar sanksi dari permerintah pusat tidak
diberikan oleh pemerintah daerah berupa
pemabatalan perda yang dibuat maka
pemerintah daerah memilih untuk tidak
menyerahkan peraturan daerah dimaksud ke
pemerintah pusat.
Dalam rangka untuk bisa menyelesaikan
terkait permasalahan peraturan daerah ini kiranya
perlu melakukan beberapa langkah yakni:
a. Perlu dibentuknya suatu badan/unit yang
memiliki kewenangan khusus dalam
melakukan pengawasan, pembinaan dan
pengkordinasiaan bahkan bisa dengan
segera mewakili pemerintah untuk
melakukan judicial review terhadap perda
yang dianggap bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Unit ini kiranya
sudah dapat dilibatkan sejak awal
pembahasan peraturan daerah sehingga
betul-betul bisa memahami maksud dari
perda tersebut dan dapat menilai legalitas
dari peraturan daerah yang dibuat oleh
pemerintah daerah melalui DPRD.
43 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
b. Setiap rencana pembuatan peraturan
daerah (prolegda) harus disampaikan
kepada pemerintah pusat disertai dengan
naskah akademik dan alasan pembuatan
perda baik alasan filosofi, yuridis maupun
sosiologis.
c. Perlu adanya penugasan bagi badan/unit
yang memiliki kewenangan khusus dalam
pegawasan perda untuk melakukan
pengkajian dan penelitian setiap peraturan
daerah yang disampaikan ke pemerintah
pusat dengan limitasi waktu tertentu.
Kewajiban pemerintah daerah untuk
menyampaikan peraturan daerah ke
pemerintah pusat harus perlu dibuatkan
aturanhukum yang disertai dengan sanksi
apabila tidak menyerahkan ke pemerintah
pusat maka peraturan daerah tersebut
dinyatakan tidak berlaku.
Kewenangan pemerintah daerah dalam
menerbitkan peraturan daerah harus betul-betul
menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah
agar peraturan daerah yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah dapat sejalan dengan
kebijakan nasional yang dicanangkan oleh
pemrintah pusat melalui peraturan perundang-
undangan agar aturan di daerah bisa bersinergi
dan saling mendukung dengan kebijakan di
44 Dr. Humphrey R. Djemat S.H., L.LM., FCB. Arb.
tingkat nasional. Hal ini akan sangat berpengaruh
pada visi-misi pimpinan nasional yaitu Pesiden
yang ingin membangun pemerintahan efektif
dengan tata kelola pemerintahan yang bersih,
demokratis dan terpercaya sebagaimana yang
tetuang dalam nawacita Presiden Jokowi. Hal ini
akan terwujud jika peraturan perundang-
undangan di daerah maupun di pusat terjalin
sinergitas yang baik yang tentunya akan
menjamin kepastian hukum dan petumbuhan
ekonomi ke arah yang lebih baik.