30
Epidemiologi Pneumonia Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak di dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja, meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Di Amerika Serikat pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2 tahun. 1 UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada musim hujan. 1

DKP1 Irfan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gj

Citation preview

Epidemiologi PneumoniaPneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang terbanyak di dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia dapat menyerang siapa saja, meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Di Amerika Serikat pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2 tahun.1UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena penyakit pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada musim hujan. 1Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan ( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian ( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. 2

EPIDEMIOLOGI ABSES PARUKebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%.Faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat kematian untuk pasien dengan status imunokompromis mendasar atau obstruksi bronkial yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%.Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat menghasilkan prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat kematian abses paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif digabungkan adalah sekitar 20%.Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan. Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang mengalami abses paru adalah 41 tahun.3Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise, malnutrisi, debilitated dan khususnya orang-orang yang tidak pernah mendapatkan antibiotik adalah orang-orang yang paling rentan dan memiliki prognosis yang paling buruk.4

EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS PARUOrganisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (2 triliyun manusia) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang kurang dan perpindahan penduduk. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasienTB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Gambar Insidens TB didunia .5

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Sumber :1. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.20033. Hirshberg B, Sklair-levi M, Nir-paz R et-al. Factors predicting mortality of patients with lung abscess. Chest. 1999;115 (3): 746-504. Doherty G, Companies M. Current diagnosis and treatment surgery. McGraw Hill Professional. (2009) ISBN:00715908705. World Health Organization. 2009. Global Tuberkulosis Control : epidemiology, strategy, financing

TATALAKSANA PneumoniaPengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 3 1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : 1,2,31. Pemberian Antibiotik Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin TMP-SMZ MakrolidPenisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Marolid baru dosis tinggi Fluorokuinolon respirasiPseudomonas aeruginosa Aminoglikosid Seftazidim, Sefoperason, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin Karbapenem : Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, LevofloksasinMethicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) Vankomisin Teikoplanin LinezolidHemophilus influenzae TMP-SMZ Azitromisin Sefalosporin gen. 2 atau 3 Fluorokuinolon respirasiLegionella Makrolid Fluorokuinolon RifampisinMycoplasma pneumoniae Doksisiklin Makrolid FluorokuinolonChlamydia pneumoniae Doksisikin Makrolid Fluorokuinolon

Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) 4

Kategori Keterangan Kuman Penyebab Obat Pilihan I Obat Pilihan II

Kategori I Usia penderita < 65 tahun-Penyakit Penyerta (-)-Dapat berobat jalan -S.pneumonia-M.pneumonia-C.pneumonia-H.influenzae-Legionale sp-S.aureus-M,tuberculosis-Batang Gram (-) Klaritromisin 2x250 mg -Azitromisin 1x500mg Rositromisin 2x150 mg atau 1x300 mg Siprofloksasin 2x500mg atau Ofloksasin 2x400mg Levofloksasin 1x500mg atau Moxifloxacin 1x400mg Doksisiklin 2x100mg

Kategori II -Usia penderita > 65 tahun- Peny. Penyerta (+)-Dapat berobat jalan -S.pneumonia H.influenzae Batang gram(-) Aerob S.aures M.catarrhalis Legionalle sp -Sepalospporin generasi 2-Trimetroprim +Kotrimoksazol-Betalaktam -Makrolid-Levofloksasin-Gatifloksasin-Moxyfloksasin

Kategori III-Pneumonia berat.- Perlu dirawat di RS,tapi tidak perlu di ICU-S.pneumoniae-H.influenzae-Polimikroba termasuk Aerob-Batang Gram (-)-Legionalla sp-S.aureusM.pneumoniae - Sefalosporin Generasi 2 atau 3- Betalaktam +Penghambat Betalaktamase +makrolid-Piperasilin + tazobaktam-Sulferason

Kategori IV-Pneumonia berat-Perlu dirawat di ICU-S.pneumonia-Legionella sp-Batang Gram (-) aerob-M.pneumonia-Virus-H.influenzae-M.tuberculosis-Jamur endemic Sefalosporin generasi 3 (anti pseudomonas) + makrolid Sefalosporin generasi 4 Sefalosporin generasi 3 + kuinolon-Carbapenem/ meropenem -Vankomicin-Linesolid-Teikoplanin

2. Terapi Suportif Umum1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.34. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan. 55. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah:a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.5b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat asidosis respiratorik.c. Respiratory arrest.d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.8. Drainase empiema bila ada.9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan.5

3. Terapi Sulih (switch therapy)Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. 6Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah : 51. Temp 37,8 C, Kesadaran baik2. Denyut jantung 100 denyut / menit,3. Respirasi rate 24 napas / menit4. Tekanan darah sistolik 90 mmHg5. Saturasi O2 arteri 90% atau pO2 60 mmHg pada ruang udara,6. Kemampuan untuk mengambil asupan oral.

TUBERKULOSIS PARUPrinsip pengobatanTerdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).7

Kemoterapi TBProgram nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten.7

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol.7Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:Tabel Jenis dan Sifat OAT7,8Jenis OATSifatKeterangan

Isoniazid (H)BakterisidTerkuatObat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway

Rifampisin (R)bakterisidRifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis

Pirazinamid (Z)bakterisidPirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.

Streptomisin (S)bakterisidobat ini adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E)bakteriostatik-

Dosis obatTabel Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia7,8JenisDosis

Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu

Rifampisin (R)

harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)

harian : 25mg/kg BB intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)

harian = intermiten : 15 mg/kgBB usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari usia > 60 th : 0,50 gr/hari

Etambutol (E)

harian : 15mg/kg BB intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Tabel Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3.8Berat badanTahap Intensif tiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 mingguRH (150/150)

30 37 kg2 tablet 4KDT2 tablet 4KDT

38 54 kg3 tablet 4KDT3 tablet 4KDT

55 70 kg4 tablet 4KDT4 tablet 4KDT

> 71 kg5 tablet 4KDT5 tablet 4KDT

Tabel Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3.8Berat badanTahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + STahap Lanjutan3x semingguRH (150/150) + E (400)

Selama 58 hariSelama 28 hariSelama 2 Minggu

30 37 kg2 tab 4KDT + 500mgStreptomisin inj2 tab 4KDT2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol

38 54 kg3 tab 4KDT + 750mgStreptomisin inj3 tab 4KDT3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol

55 70 kg4 tab 4KDT + 1000mgStreptomisin inj4 tab 4KDT4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol

> 71 kg5 tab 4KDT + 1000mgStreptomisin inj5 tab 4KDT5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Tabel Dosis OAT untuk Sisipan.8Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hariRHZE (150/75/400/275)

30 37 kg 2 tablet 4KDT

38 54 kg 3 tablet 4KDT

55 70 kg 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT

Efek Samping OATTabel Efek Samping Pengobatan dengan OAT.8Jenis ObatRinganBerat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, nyeri otot dan gangguan kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai defisiensi piridoksin (pellagra) dan kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.

Hepatitis, ikhterus

Rifampisin (R)

gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom flu, sindrom perut. Hepatitis, sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok), purpura, anemia hemolitik yang akut, gagal ginjal

Pirazinamid (Z)

Reaksi hipersensitifitas : demam, mual dan kemerahan Hepatitis, nyeri sendi, serangan arthritis gout

Streptomisin (S)

Reaksi hipersensitifitas : demam, sakit kepala, muntah dan eritema pada kulitKerusakan saraf VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran

Etambutol (E)

Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan Buta warna untuk warna merah dan hijau

Pengobatan Tb Pada Keadaan Khusus a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.c. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDSTatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).d. Pleuritis TuberkulosaPermulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang sero-santokrom dan bersifat eksudat. Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya perkijuan ke aras saluran getah bening yang menuju saluran pleura. Pengobatan dengan obat-obat anti tuberkulosa (rimfampisin, INH, pirazinamid, etambutol, streptomisin) memakan waktu 6 12 bulan. Dan cara pemberian obat obat sama seperti pengobatan tuberkulosa paru,pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserab kembali, tapi untuk menghilangkannya eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi sempurna, tapi kadan-kadang dapat di berikan kortikosteroid secara sistemik. (prednisone 1 mg/kg bb selama 2 minggu kemudian dosis di turunkan secara perlahan).

ABSES PARUa. Terapi antibiotikPenisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi antibiotik peroral. Pada terapi peroral diberikan:Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,Metronidazol 4x500 mg, atauGentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.10b. Drainase posturalSelalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan produksi sputum purulen.10 c. BronkoskopiPenting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi lancar.10 Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.9d. BedahPembedahan dilakukan bila terapi antibiotik gagal, yaitu bila : Abses menjadi menahun Kavitas, produksi dahak, dan gejala klinik masih tetap ada setelah terapi intensif selama 6 minggu, atau Abses yang sudah sembuh tapi meninggalkan sisa jaringan parut yang cukup luas dan mengganggu faal paru.10Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel atau gangren paruyang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.9

Sumber :1. Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.20033. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ. Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-824. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S275. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia, 007;132:13486. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and outpatient, Chest 2007;131;12057. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.9. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009. Hal 2323-810. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40

Mekanisme batukBatuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik.2,3 Bila rangsangan pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik.Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada Faring, laring, trakca, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster.1,4 Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk.3 Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi.4

Sumber :1. Chung KF. The clinical and pathophysiological challenge of cough. Dalam: Chung KF, Widdicombc J, Boushcy H, Pcnyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003- h. 3-10.2. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting Respiratory illness in children. Oxford: Blackwell S Publications. 1994. Irwin 3. RS, Boulet LP, 7tier MM. Managing cough as a defense mechanism and as a symptom. A consensus panel report of the American College of Chest Physicians. Chest 1998; 114:133S-181S.4. Cloutier MM. Cough. Dalam: Loughlin GM, Eigen H. Penyuntings. Respiratory disease in children. Baltimore. Williams & Wilkins 1994.

PENYEBAB PENURUNAN BERAT BADANPasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang hebat, suatu gejala yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang (immuno-suppresive) dan merupakan penentu utama dari berat dan prognosa penyakit tersebut (Vasantha, 2008). Mariono (2003) dalam Usman (2008), malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang, kekuatan otot pernapasan berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya pertahanan paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum untuk berbagai penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).Linder (1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat di rumah sakit didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan dikaitkan dengan usia (