Upload
andi-nina
View
186
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan website dianggap efektif karena pengguna informasi dapat
mencari data dan informasi tanpa dipungut biaya yang relatif tinggi. Pelaporan
keuangan yang dipublikasikan melalui internet tidak hanya dibatasi dengan
menggunakan statistic dan grafik saja, tetapi meliputi hyperlink, search engine,
multimedia atau pun berkomunikasi dengan para narasumber. Internet dapat
digunakan untuk mengembangkan penyediaan informasi keuangan pada perusahaan
sendiri dalam hal ketepatan waktu penyediaan informasi bagi pengguna informasi
keuangan. Melalui media internet juga dapat menghilangkan keterbatasan karena
perbedaan wilayah dan juga dapat meningkatkan frekuensi pelaporan informasi
keuangan kepada public, mengingat kebutuhan akan menyediakan informasi dengan
cepat.
Didalam melakukan pengembangan publikasi laporan keuangan dengan
menggunakan media internet (internet financial reporting) walaupun dilakukan
dengan sukarela akan tetapi aktifitas tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Untuk membangun website tentu diperlukan seorang tenaga ahli yang dapat
mengelola sistem jaringan. Untuk menyewa seorang ahli IT tentu dibutuhkan biaya
yang besar. Oleh sebab itu keberadaan internet financial resporting juga dipengaruhi
oleh pencapaian kinerja keuangan yang meliputi likuiditas, leverage dan
profitabilitas (Almilia 2008).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah, diajukan beberapa pertanyaan
yang akan dibuktikan di dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Apakah likuiditas perusahaan berpengaruh terhadap praktik penerapan internet
financial reporting ?
2. Apakah leverage perusahaan berpengaruh terhadap praktik penerapan internet
financial reporting ?
3. Apakah profitabilitas perusahaan berpengaruh terhadap praktik penerapan
internet financial reporting ?
4. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik penerapan internet
financial reporting ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan kepada perumusan masalah, secara umum penelitian ini
memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1. Membuktikan secara empiris pengaruh likuiditas perusahaan terhadap internet
financial reporting.
2. Membuktikan secara empiris pengaruh leverage perusahaan terhadap internet
financial reporting.
3. Membuktikan secara empiris pengaruh profitabilitas perusahaan terhadap
internet financial reporting.
4. Membuktikan secara empiris pengaruh ukuran perusahaan terhadap internet
financial reporting
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Bagi pihak manajemen perusahaan
Sebagai pertimbangan manajemen didalam membuat kebijakan untuk
memberikan informasi keuangan perusahaan, dengan memahami faktor –
faktor yang mempengaruhi internet financial reporting.
2. Bagi akademis
Sebagai sarana informasi tentang Internet Financial Reporting serta dapat
menambah wawasan pada bidang akuntansi yang terus berkembang dan
diharapkan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Dapat memperluas wawasan dan pengetahuan serta memahami faktor yang
mempengaruhi internet financial reporting untuk memperluas wawasan
tentang perusahaan.
1.5 Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan tahapan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan secara garis besar mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta
sistematika pembahasan penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini diawali dengan landasan teori yang mendukung
perumusan hipotesis, dilanjutkan dengan penelitian terdahulu,
kerangka pemikiran dan hipotesis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian yang mencakup variable penelitian dan definisi
operasional, penentuan sampel, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data serta metode analisis.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diawali dengan penjelasan atau deskripsi dari obyek
penelitian, dilanjutkan dengan analisis data dan pembahasan atas
analisis data.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab penutup yang menyajikan secara singkat
mengenai apa yang telah diperoleh dari hasil penelitian yang telah
dilaksanakan dalam bagian simpulan. Dalam bab ini ditutup
dengan saran yang dapat dipertimbangkan terhadap hasil
penelitian.
Perkembangan teknologi telah membawa perubahan bukan hanya dalam pola
pikir masyarakat, tetapi juga cara perusahaan berbisnis dan bagaimana informasi
dipertukarkan. Sejalan dengan cepatnya perkembangan bidang teknologi tersebut,
perusahaan juga semakin terpacu untuk menggunakan teknologi terkini sebagai salah
satu strategi untuk tetap bertahan dan memenangkan persaingan yang makin lama makin
ketat dan berat. Salah satu teknologi informasi yang makin banyak digunakan saat ini
adalah internet. Internet mempunyai beberapa karakteristik dan keunggulan diantaranya
mudah menyebar (pervasiveness), tidak mengenal batas (borderless-ness), tepat waktu
(real-time), berbiaya rendah (low cost), dan mempunyai interaksi yang tinggi (high
interaction) (Ashbaugh et al., 1999). Internet mengintegrasikan teks, gambar, gambar
bergerak, dan suara-suara (Debreceny et al., 2002). Karakteristik yang lengkap tersebut
membuat internet dapat dengan mudah diterima dan menjadi sangat populer di
masyarakat.
Internet menawarkan suatu bentuk unik pengungkapan yang menjadi media bagi
perusahaan dalam menyediakan informasi kepada masyarakat luas sesegera mungkin
(Abdelsalam et al., 2007). Atas dasar itulah muncul suatu media tambahan dalam
penyajian laporan keuangan melalui internet atau website yang lazim disebut Internet
Financial Reporting ( IFR). Ashbaugh et al. (1999) menyatakan bahwa IFR dipandang
sebagai alat komunikasi yang efektif kepada pelanggan, investor dan pemegang saham.
IFR merupakan respon dari perusahaan untuk menjalin komunikasi dengan berbagai
pemangku kepentingan, khususnya investor, dengan lebih baik dan lebih cepat. Jones
(2002) berpendapat bahwa responsiveness merupakan salah satu hal yang penting untuk
meningkatkan kualitas komunikasi dan mempengaruhi kepercayaan investor pada pasar
modal.
Pengungkapan informasi pada website merupakan suatu upaya bagi perusahaan
untuk mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dengan pihak luar.
Pengungkapan informasi pada website merupakan suatu sinyal dari perusahaan pada
pihak luar, terutama berupa informasi yang dapat dipercaya dan akan mengurangi
ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang (Wolk et al., 2000).
Pengungkapan oleh perusahaan memungkinkan investor untuk membedakan mana
perusahaan yang baik dan yang buruk. Elemen penting IFR adalah derajat atau kuantitas
pengungkapan (Ashbaugh et al., 1999). Semakin tinggi tingkat pengungkapan informasi
dalam kuantitas atau transparansi, maka semakin besar dampak dari pengungkapan pada
keputusan investor.
Penelitian yang menguji hubungan antara pengungkapan sukarela terhadap cost
of equity capital (COE) perusahaan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya
Botosan (1997), Khomsiyah dan Susanti (2003), Juniarti dan Yunita (2003), Maysar
(2008) serta Francis et al. (2008) yang menemukan adanya hubungan negatif antara
tingkat pengungkapan dan COE. Penelitian mengenai pengungkapan sukarela dalam
bentuk IFR di berbagai negara telah banyak dilakukan, khususnya penelitian untuk
mengidentifikasi determinan IFR (Xiao et al., 2005). Beberapa variabel yang telah
teridentifikasi sebagai determinan IFR meliputi ukuran perusahaan, leverage, likuiditas,
umur perusahaan, profitabilitas, tipe auditor, dan aset berwujud. Ada juga beberapa
penelitian yang menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pengungkapan
dalam website perusahaan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Pirchegger dan
Wagenhofer (1999) dan Sasongko dan Luciana (2008). Di Indonesia sendiri penelitian
IFR masih sedikit dan juga masih berfokus pada faktor- faktor yang mempengaruhi
praktek IFR, seperti Suripto (2006), Chandra (2008), Fitriana (2009), Chariri dan Lestari
(2005), serta Machmudin et al. (2010). Hasilnya, ukuran perusahaan muncul sebagai
faktor yang sering muncul mempengaruhi penerapan IFR, yang sejalan dengan hasil
penelitian di luar negeri. Kemudian leverage, profitabilitas, sektor industri muncul
sebagai faktor lain yang turut mempengaruhi penerapan IFR.
Dari beberapa penelitian IFR tersebut, belum ada penelitian yang menganalisis
dampak pengungkapan sukarela melalui website. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba
meneliti bagaimana dampak praktek IFR di Indonesia untuk mengisi kesenjangan
tersebut sebagai kontribusi secara akademis. Penelitian ini berfokus pada dampak IFR
pada COE mengingat bahwa praktek IFR yang merupakan suatu bentuk pengungkapan
sukarela akan mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dan pemegang saham.
Dengan demikian, pengungkapan melalui internet ini diharapkan akan mengurangi COE
dan akan berujung pada peningkatkan nilai perusahaan di mata pihak eksterna.
Selain itu, penelitian ini dirasa perlu dilakukan mengingat bahwa Bapepam-LK
(kini OJK) mengeluarkan kewajiban pelaporan keuangan di website perusahaan melalui
Keputusan KEP-431/BL/2012 di akhir tahun 2012. Perlu untuk diteliti apakah
perusahaan akan mendapatkan manfaat dari peraturan ini, khususnya apakah dengan
mengungkapkan laporan keuangan dalam website perusahaan dapat mengurangi COE.
Hal ini diharapkan menjadi kontribusi praktis penelitian ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.2 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan (Agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktek
bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini
menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal)
yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam
bentuk kontrak kerja sama. Literatur akuntansi tentang pengungkapan sendiri seringkali
mengacu pada konsep keagenan dengan menyediakan dorongan untuk melakukan
pengungkapan wajib maupun sukarela terhadap laporan keuangan. Dorongan ini
ditunjukkan pada literatur sebagai alat penggerak yang digunakan untuk mengurangi
asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Shareholder sebagai prinsipal
menggunakan informasi akuntansi untuk mengawasi kinerja manajemen yang bertindak
sebagai agen. Pada gilirannya, agen ini akan menggunakan pengungkapan akuntansi
sebagai kesempatan untuk mengisyaratkan kinerjanya kepada prinsipal (Watts dan
Zimmerman, 1986; Healy dan Pelepu, dalam Wolk,et.al. 2000). Sekarang ini internet
dapat menyediakan sarana yang ekonomis dan efisien untuk mengkomunikasikan kinerja
manajemen kepada stakeholder maupun shareholder. Teori keagenan muncul karena
adanya perbedaan kepentingan sehingga masing-masing pihak berusaha memperbesar
keuntungan bagi diri sendiri. Jika pihak-pihak tersebut bertindak untuk kepentingannya
sendiri, maka hal tersebut akan menimbulkan konflik antara prinsipal dan agen. Menurut
Morris (1987), Wolk et.al, 2000), teori keagenan menggambarkan bahwa konflik yang
terjadi akan menimbulkan biaya agensi yang pada akhirnya akan ada insentif untuk
menguranginya.
Teori keagenan mengasumsikan bahwa prinsipal menginginkan pengembalian
yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang mereka tanamkan, salah
satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi dividen dari tiap saham yang mereka miliki.
Sedangkan agen menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian
kompensasi/bonus/insentif yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerja yang telah
mereka lakukan. Prinsipal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya
memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian dividen. Semakin tinggi laba,
semakin tinggi harga saham dan semakin besar dividen, maka agen dianggap berhasil
dan memiliki kinerja yang baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi.
Dalam kerangka teori keagenan, terdapat tiga macam hubungan keagenan,
yaitu: 1) hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis),
2) hubungan keagenan antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity Hypothesis) dan 3)
hubungan keagenan antara manajer dengan pemerintah (Political Cost Hypothesis). Hal
ini berarti ada kecenderungan bagi manajer untuk melaporkan sesuatu dengan cara-cara
tertentu dalam rangka memaksimalkan utilitas mereka dalam hal ini hubungannya
dengan pemilik, kreditur maupun pemerintah. Praktek
IFR merupakan media untuk menyampaikan informasi sebagaimana yang dikehendaki
dalam kontrak keagenan. Alasan yang mendasari perlunya praktek pengungkapan
laporan keuangan oleh manajemen perusahaan kepada shareholder dijamin dalam
hubungan antara prinsipal dan agen. Laporan keuangan merupakan sarana akuntabilitas
manajemen kepada pemilik. Sehingga sebagai wujud pertanggungjawaban, agen akan
berusaha memenuhi seluruh keinginan prinsipal, dalam hal ini adalah pengungkapan
sukarela yang lebih luas.
2.3. Teori Sinyal (Signal Theory)
Teori sinyal mengemukakan tentang bagaiamana seharusnya sebuah perusahaan
memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi
mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan
pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa
perusahaan tersebut lebih baik dari perusahaan lain.
Dalam kerangka teori sinyal disebutkan bahwa dorongan perusahaan untuk
memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajer
perusahaan dan pihak luar, hal ini disebabkan karena manajer perusahaan mengetahui
lebih banyak informasi mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang dari pada
pihak luar (Wolk et al., 2000). Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan
mengurangi asimetri informasi tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri
informasi adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, berupa informasi keuangan
yang positif dan dapat dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai
prospek perusahaan yang akan datang sehingga dapat meningkatkan kredibilitas dan
kesuksesan perusahaan (Wolk et al., 2000).
2.4. Laporan Keuangan (Financial Reporting)
Laporan keuangan menggambarkan posisi keuangan suatu perusahaan dan
kinerja perusahaan selama periode waktu tertentu. Unsur-unsur yang berkaitan langsung
dengan pengukuran posisi keuangan adalah aktiva, kewajiban dan ekuitas. Sedangkan
unsur yang berkaitan dengan kinerja adalah penghasilan dan beban yang termuat dalam
laporan laba-rugi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan
produk atau hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Laporan keuangan inilah yang
menjadi bahan informasi bagi para pemakainya sebagai salah satu bahan dalam proses
pengambilan keputusan. Selain sebagai informasi, laporan keuangan juga dapat
digunakan sebagai sarana pertanggungjawaban perusahaan terhadap pihak-pihak yang
berhubungan langsung dengan perusahaan. Laporan keuangan juga dapat digunakan
sebagai salah satu indikator kesuksesan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya
(Hanafi, 2005). Laporan keuangan tersebut harus disusun sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dan peraturan Bapepam. Selanjutnya laporan keuangan tersebut harus diaudit oleh
Akuntan yang terdaftar di Bapepam. Laporan tahunan tersebut terdiri atas:
1. Laporan Laba Rugi
2. Laporan Perubahan Modal
3. Neraca
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan atas Laporan Keuangan
2.4.1. Luas Pengungkapan Laporan Keuangan
Pengungkapan saat ini sudah banyak dilakukan untuk tujuan melindungi
(proactive), memberikan informasi (informative), atau untuk melayani kebutuhan khusus
(differential). Tujuan proactive dilakukan untuk melindungi para pemakai laporan
keuangan, baik publik maupun masyarakat umum yang masih awam. Tujuan
informative adalah menyediakan informasi yang dapat membantu keefisienan dalam
pengambilan keputusan bagi pemakai laporan keuangan. Sedangkan tujuan differential
merupakan gabungan dari tujuan perlindungan publik dan tujuan informatif, artinya
pengungkapan informasi harus dibatasi pada apa yang dipandang
bermanfaat bagi pemakainya. Namun secara umum tujuan suatu pengungkapan adalah
memberikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan
dan melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda
(Suwardjono, 2005).
Kualitas pengungkapan ditunjukkan dengan tingkat keluasan pengungkapan
sebagai salah satu indikator. Semakin luas tingkat pengungkapan maka semakin valid
informasi yang diberikan. Tingginya kualitas informasi akuntansi sangat berkaitan
dengan tingkat kelengkapan pengungkapan. Yularto dan Chariri (2003) mengidentifikasi
konsep mengenai pengungkapan sehubungan dengan kualitas laporan keuangan menjadi
tiga, yaitu:
1. Adequate disclosure (cukup)
Tingkat pengungkapan yang memadai adalah pengungkapan yang harus dipenuhi agar
laporan keuangan secara keseluruhan tidak menyesatkan bagi pemakai dalam
mengambil keputusan .
2. Fair disclosure (wajar)
Tingkat pengungkapan yang wajar adalah tingkat yang harus dicapai agar semua pihak
mendapat perlakuan atau pelayanan informasi yang sama.
3. Full disclosure (lengkap)
Tingkat pengungkapan yang penuh menuntut penyajian secara penuh terhadap semua
informasi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.
Dari ketiga konsep tersebut hanya konsep adequate disclosure dan fair
disclosure yang sering digunakan. Sedangkan konsep full disclosure jarang
digunakan karena adanya pertimbangan-pertimbangan khusus dari manajemen antara
lain:
1) Menimbulkan informasi yang berlebihan.
2) Memicu sering munculnya interpretasi yang salah dari pembaca.
3) Tersebarnya informasi penting sehingga bisa melemahkan strategi bersaing
perusahaan.
2.4.2. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)
Pengungkapan wajib adalah pengungkapan yang dibuat oleh perusahaan
mengenai informasi-informasi penting yang menyangkut aktivitas dan kondisi
perusahaan secara riil yang bersifat wajib dan diatur dalam peraturan hukum
(Suwardjono, 2005). Peraturan yang mengatur hal tersebut dikeluarkan oleh pemerintah
melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-38/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996, yang
menyatakan bahwa perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan
publik berkewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan. Seiring dengan
perkembangan dalam dunia bisnis, peraturan tersebut disempurnakan dalam Keputusan
Ketua Bapepem-LK No. Kep-134/BL/2006.
2.4.3. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)
Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan
diluar apa yang telah diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas
(Suwardjono, 2005) . Sehingga tidak semua perusahaan melakukan praktek
pengungkapan yang sama, namun sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut. Meek
et. al. (1995) dalam Fitriani (2001) menegaskan bahwa pengungkapan sukarela
merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan dalam memberikan informasi
akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang relevan untukpembuatan keputusan
oleh pemakai laporan tahunannya. Manajemen selalu berusaha untuk mengungkapkan
informasi privat yang menurut pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan
pemegang saham,khususnya apabila informasi tersebut merupakan berita gembira (good
news).
Manajemen juga akan menyampaikan informasi yang dapat meningkatkan
kredibilitas dan kemajuan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan
(Suwardjono, 2005).
Terdapat lima manfaat pengungkapan sukarela yaitu:
1) memperbaiki reputasi perusahaan,
2) menyajikan informasi yang dapat menghasilkan keputusan investasi yang lebih baik
bagi investor,
3) memperbaiki akuntabilitas,
4) memperbaiki prediksi risiko yang dilakukan oleh investor, dan
5) menyajikan kewajaran harga saham yang lebih baik.
Sedangkan biaya dari pengungkapan sukarela meliputi:
1) biaya competitive disadvantage, dan
2) biaya untuk mengumpulkan dan memproses.
2.5. Internet Financial Reporting (IFR)
Praktek IFR tidak dapat dipisahkan dari teori keagenan (agency theory) dan
teori sinyal (signal theory). Dalam kerangka teori keagenan, terdapat tiga macam
hubungan keagenan, yaitu:
1) hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis),
2) hubungan keagenan antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity Hypothesis) dan
3) hubungan keagenan antara manajer dengan pemerintah (Political Cost Hypothesis).
Hal ini berarti ada kecenderungan bagi manajer untuk melaporkan sesuatu dengan cara-
cara tertentu dalam rangka memaksimalkan utilitas mereka dalam hal hubungannya
dengan pemilik, kreditur maupun pemerintah. Praktek IFR merupakan media untuk
menyampaikan informasi sebagaimana yang dikehendaki dalam kontrak keagenan.
Dalam kerangka teori sinyal disebutkan bahwa dorongan perusahaan untuk
memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara manajer
perusahaan dan pihak luar karena manajer perusahaan mengetahui lebih banyak
mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (Wolk et al.,
2000). Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi
asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan
memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang
positif dan dapat dipercaya yang akan mengurangi ketidakpastian mengenai
prospek perusahaan yang akan datang sehingga dapat meningkatkan kredibilitasnya dan
kesuksesan perusahaan (Wolk et al., 2000). Ettredge et al. (2001) menyatakan bahwa
IFR membantu perusahaan dalam menyebarluaskan informasi mengenai keunggulan-
keunggulan perusahaan yang merupakan sinyal positif perusahaan untuk menarik
investor. Hal ini berarti, IFR merupakan sarana untuk mengkomunikasikan sinyal positif
perusahaan kepada publik, terutama investor. Praktik IFR berkembang pesat dari waktu
ke waktu. Deller et al. (1999, dalam Jones et al., 2003) menyatakan bahwa perusahaan-
perusahaan besar di Eropa, Amerika dan Australia menggunakan internet sebagai media
alternatif untuk pelaporan keuangan perusahaan. Praktek IFR juga berkembang di
Austria dan Jerman (Pirchegger dan Wagenhofer,1999 dalam
Oyelere et al., 2003).
Internet Financial Reporting adalah suatu cara yang dilakukan perusahaan untuk
mencantumkan laporan keuangannya melalui internet, yaitu melalui website yang
dimiliki perusahaan. Literatur akuntansi yang ada menyatakan bahwa IFR dikenal
sebagai pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), bukan karena isi
pengungkapannya tetapi karena alat yang digunakan. Venter (2002) dalam Luciana
(2008) terdapat tiga cara penyajian laporan keuangan melalui website, yaitu :
1. Membuat duplikat laporan keuangan yang sudah dicetak ke dalam format electronic
paper.
2. Mengkonversi laporan keuangan ke dalam format HTML (Hypertext Markup
Language).
3. Meningkatkan pencantuman laporan keuangan melalui website sehingga lebih mudah
diakses oleh pihak yang berkepentingan daripada laporan keuangan dalam format cetak.
Menurut Luciana (2008), Internet Financial Reporting memiliki beberapa
keuntungan antara lain :
1. Menawarkan solusi biaya rendah (bagi kedua belah pihak). Bagi investor,
memberikan kemudahan dalam mengakses informasi perusahaan. Sedangkan bagi
perusahaan, dapat mengurangi biaya untuk mencetak serta mengirim informasi
perusahaan kepada investor Menawarkan ketepatan waktu dalam penyebaran serta akses
informasi sehingga informasi lebih relevan karena tepat waktu.
2. Sebagai media komunikasi massa untuk laporan perusahaan. Informasi dapat diakses
oleh pengguna yang lebih luas daripada media komunikasi yang lama. Tidak ada batasan
wilayah sehingga dapat mengembangkan jumlah investor potensial.
3. Menawarkan informasi keuangan dalam berbagai format yang memudahkan dan bisa
didownload (Hanifa dan Rashid; 2005 dalam Luciana, 2008). Adobe Acrobat format
dalam portable document format (PDF) biasanya merupakan format yang paling umum
digunakan. Selain itu format yang digunakan adalah HTML, Excel, XBRL.
4. Memungkinkan pemakai berinteraksi dengan perusahaan untuk bertanya atau
memesan informasi tertentu dengan cara yang jauh lebih mudah dan murah dibanding
mengirim surat atau telepon ke perusahaan.
Selain memberikan beberapa keuntungan, pengungkapan informasi keuangan
melalui website perusahaan juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
1. Belum adanya standar khusus yang mengatur pengungkapan informasi keuangan
dalam website perusahaan (Seetharman, 2005;Silva dan Christensen, 2004 dalam
Hanny, Anis, 2006).
2. Biaya untuk membangun serta merawat website terkadang melebihi manfaat yang
didapat (Asbaugh et al., 1999).
3. Sehubungan dengan market competition, dengan diungkapkannya informasi secara
luas, perusahaan akan berpotensi kehilangan keunggulan kompetitifnya (Asbaugh et al.,.
1999).
Williams dan Ho (1999, dalam Oyelere et al., 2003) membandingkan pelaporan
keuangan dalam website perusahaan di Australia, Singapura, Malaysia dan Hongkong.
Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Australia dan
Singapura lebih banyak menyampaikan informasi keuangan perusahaan melalui internet
daripada melalui annual reports, sedangkan di Malaysia dan Hongkong, pelaporan
keuangan disajikan dalam bentuk IFR dan paper based reporting secara seimbang. Hasil
penelitian tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Xiao et al. (2004) yang
melakukan penelitian terhadap perusahaan-perusahaan di Cina. Hussey et al. (1999,
dalam Marston dan Polei, 2004) yang melakukan studi time series menyatakan dari 100
perusahaan, terdapat peningkatan jumlah dari 54 menjadi 63 perusahaan yang
melakukan IFR antara Agustus 1997 dan Maret 1998. Peneliti lain Gray dan Debreceny
(1997, dalam Marston dan Polei, 2004) menemukan bahwa 68% dari 50 perusahaan
yang dijadikan sampel telah melakukan praktek IFR. Meskipun fenomena IFR
berkembang pesat akhir-akhir ini, akan tetapi masih banyak juga perusahaan-perusahaan
yang memilih untuk tidak melakukan praktek IFR. Hal ini dapat dikatakan bahwa
terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaaan untuk menerapkan
IFR atau tidak. Pengaruh faktor tersebut terhadap praktek IFR dapat dilihat pada bagian
berikut.
2.6. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah faktor penentu penting dalam pengungkapan
perusahaan. Hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara
ukuran perusahaan dan tingkat pengungkapan (Meek, Roberts dan Gray, 1995). Terdapat
beberapa argumentasi yang mendasar hubungan ukuran perusahaan dengan tingkat
pengungkapan. Pertama, perusahaan besar yang memiliki sistem informasi pelaporan
yang lebih baik cenderung memiliki sumberdaya untuk menghasilkan lebih banyak
informasi dan biaya untuk menghasilkan informasi tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan perusahaan yang memiliki keterbatasan dalam sistem informasi pelaporan.
Kedua, perusahaan besar memiliki insentif untuk menyajikan pengungkapan sukarela,
karena perusahaan besar dihadapkan pada biaya dan tekanan politik yang lebih tinggi
dibandingkan perusahaan kecil. Ketiga, perusahaan kecil cenderung untuk
menyembunyikan informasi penting dikarenakan competitive disadvantage. Wallace,
Naser dan Mora (1994, Yunianti,Lina, 2005) memberikan bukti bahwa tingkat
pengungkapan berhubungan positif dengan ukuran perusahaan.
Perusahaan yang besar memiliki shareholder dalam jumlah banyak dan tersebar
luas sehingga dapat meningkatkan agency cost (Hossain et al., 1995 dalam Oyelere et
al., 2003). Watts dan Zimmermann (1978, dalam Marston dan Polei, 2004) menyatakan
bahwa terkait dengan teori agensi, perusahaan besar memiliki agency cost yang besar
karena perusahaan besar harus menyampaikan pelaporan keuangan yang lengkap kepada
shareholders sebagai wujud pertanggungjawaban manajemen. Agency cost tersebut
berupa biaya penyebarluasan laporan keuangan, termasuk biaya cetak dan biaya
pengiriman laporan keuangan kepada pihak-pihak yang dituju oleh perusahaan (Oyelere
et al., 2003). Praktek IFR dalam penyebarluasan laporan keuangan merupakan usaha
untuk mengurangi besarnya agency cost. Marston dan Polei (2004) menyatakan bahwa
perusahaan yang lebih besar memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga
investor akan membutuhkan informasi keuangan perusahaan yang lebih banyak untuk
membuat keputusan investasi yang lebih efektif. Lebih lanjut, terkait dengan political
cost, Marston Polei (2004) menjelaskan bahwa perusahaan besar lebih mudah diawasi
kegiatannya di pasar modal dan di lingkungan sosial pada umumnya, sehingga memberi
tekanan pada perusahaan untuk melakukan pelaporan keuangan yang lebih lengkap dan
luas melalui IFR. Hasil penelitian Creven Marston (1999), sebagaimana dikutip
Marston, Polei (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan
dengan IFR.
2.7. Umur Listing
Menurut UU Pasar Modal No 8 tahun 1995 (Sunariyah, 2004) menjelaskan
bahwa perusahaan yang akan listing dan yang telah listing memiliki kewajiban untuk
melakukan pelaporan keuangan. Susanto (1992, dalam Prayogi, 2003) menyatakan
bahwa perusahaan yang terdaftar di BEJ akan memberikan pelaporan keuangan yang
lebih lengkap dibanding dengan perusahaan-perusahaan lain. Alasannya, perusahaan-
perusahaan tersebut mempunyai pengalaman lebih dalam pelaporan keuangan tahunan.
Pernyataan tersebut dipertegas oleh Marwoto (2000, dalam Prayogi, 2003) yang
berpendapat bahwa umur listing perusahaan berhubungan positif dengan kualitas
pelaporan keuangan perusahaan karena perusahaan yang sudah lama terdaftar dalam
bursa memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan laporan
keuangan.
Perusahaan yang lebih lama listing menyediakan publisitas informasi yang lebih
banyak dibanding perusahaan yang baru saja listing sebagai bagian dari praktik
akuntabilitas yang ditetapkan oleh BAPEPAM. Perusahaan yang lebih berpengalaman
mempunyai kecenderungan untuk mengubah metode pelaporan informasi keuangannya
sesuai dengan perkembangan teknologi untuk menarik investor melalui penggunaan
IFR. Sedangkan perusahaan yang baru melakukan go publik mungkin saja memiliki
website, tetapi belum tentu melakukan praktek IFR. Perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) cenderung akan melakukan pelaporan keuangannya secara lebih
transparan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum terdaftar
di BEI. Hal tesebut disebabkan perusahaan yang sudah lama listing di BEI memiliki
lebih banyak pengalaman dalam mempublikasikan laporan keuangannya. Perusahaan
yang lebih berpengalaman tersebut akan melakukan pelaporan keuangan sesuai dengan
perkembangan jaman. Tidak hanya secara paper-based reporting system tetapi sudah
secara paper-less reporting system.
2.8. Leverage
Agency Theory menjelaskan dan memprediksi bahwa semakin besar leverage
perusahaan, semakin potensial transfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang
saham (Jansen dan Meckling, 1976 dalam Oyelere et al., 2003). Akan tetapi leverage
yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi lebih sulit dalam
membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan (Firth dan Smith, 1992 dalam Ghozali
dan Mansur, 2002). Hal ini tentu saja mengancam posisi manajer perusahaan karena
mereka dianggap tidak dapat mengelola perusahaan dengan baik. Jansen dan Meckling
(1976, dalam Rizal, 2001) menyatakan bahwa terkadang manajer cenderung
menyampaikan informasi-informasi positif untuk menutupi kekurangan perusahaan. Hal
ini berarti manajer dapat menyampaikan informasi-informasi positif perusahaan yang
lebih lengkap untuk “mengaburkan” perhatian kreditur dan pemegang saham untuk tidak
terlalu fokus hanya pada leverage perusahaan yang tinggi. Sebagai contoh, Jansen dan
Meckling (1976, dalam Zuhrotun, 2006) menyatakan adanya penerbitan surat utang
mendorong manajer untuk meyakinkan pihak kreditur bahwa perusahaan akan
membayar utang obligasinya melalui penyampaian informasi mengenai rencana
perusahaan untuk melakukan investasi yang memberikan ekspansi imbal balik yang
tinggi pula sehingga dapat menutup utang perusahaan.
Seiring dengan meningkatnya leverage, manajer dapat menggunakan IFR untuk
membantu menyebarluaskan informasi-informasi positif perusahaan dalam rangka
“mengaburkan” perhatian kreditur dan pemegang saham untuk tidak terlalu fokus hanya
pada leverage perusahaan yang tinggi. Hal ini disebabkan pelaporan keuangan melalui
internet dapat memuat informasi perusahaan yang lebih banyak dibandingkan melalui
paperbased reporting. Teori keagenan dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara tingkat leverage perusahaan dengan pengungkapan sukarela. Berdasarkan teori
ini, semakin tinggi tingkat leverage, perusahaan memiliki insentif untuk meningkatkan
pengungkapan sukarela kepada stakeholder baik berupa media pengungkapan tradisional
maupun media lain yaitu pengungkapan informasi perusahaan melalui website
perusahaan (Jensen and Meckling, 1976, dalam Zuhrotun, 2006). Terdapat hasil
penelitian yang beragam yang menjelaskan hubungan antara tingkat leverage perusahaan
dengan tingkat pengungkapan sukarela. Ismail (2002, dalam Zuhrotun, 2006)
memberikan bukti adanya hubungan positif antara internet financial reporting dan
tingkat leverage perusahaan dalam struktur modal perusahaan, sementara penelitian
yang dilakukan oleh Oyelere (2003) tidak mendukung adanya asosiasi antara tingkat
leverage dan pengungkapan sukarela. Meek et al (1995) memberikan bukti adanya
asosiasi negatif antara leverage dan pengungkapan sukarela pada perusahaan di Amerika
Serikat, Inggris dan Eropa.
Leverage merupakan kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka
panjangnya. Dalam Teori Keagenan dijelaskan bahwa semakin tinggi leverage
perusahaan, semakin baik transfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham
perusahaan. Perusahaan yang memiliki proporsi utang lebih besar dalam struktur
permodalannya akan mempunyai biaya agensi yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
perusahaan yang memiliki leverage tinggi mempunyai kewajiban yang lebih tinggi
untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang (Chow, 1987).
Perusahaan dengan jumlah hutang yang tinggi akan menanggung biaya agensi yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya transfer kekayaan dari debtholder kepada
stockholder. Di sisi lain dengan proporsi leverage yang lebih tinggi, maka kebutuhan
informasi mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya oleh
kreditur akan lebih tinggi. Salah satu cara untuk mengurangi biaya agensi serta konflik
kepentingan yang muncul yaitu dengan melakukan pengungkapan informasi yang lebih
banyak, yaitu dengan menyajikan pengungkapan informasi keuangan melalui website
perusahaan.
2.9. Reputasi Auditor
Auditing membantu mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dan
investor (Malone et al., 1993 dalam Oyelere et al., 2003). Untuk mempertahankan
reputasinya dalam rangka mengurangi konflik kepentingan tersebut, Kantor Akuntan
Publik (KAP) ternama mempunyai dorongan yang kuat untuk menjaga independensi
mereka dan berusaha melaporkan informasi selengkap mungkin kepada pemegang
saham dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (Rezaee, 2003). Ahmed (1996,
dalam Oyelere et al., 2003) menemukan hubungan yang signifikan antara reputasi
auditor dengan pengungkapan. Rezaee (2003) menyatakan bahwa KAP bereputasi tinggi
(Big Four) memiliki kemampuan yang lebih besar dalam mendeteksi kecurangan
pelaporan keuangan karena Big Four memiliki: kemampuan yang lebih besar untuk
bertahan dari tekanan klien, lebih peduli pada reputasi mereka, memiliki sumber daya
yang lebih besar berkaitan dengan kompetensi personelnya dan teknologi maju yang
dimiliki serta memiliki strategi dan proses audit yang lebih baik.
Ali dan Hartono (2003) menyatakan bahwa kualitas aktual audit tidak dapat
diobservasi, sehingga auditor berusaha untuk mengkomunikasikan kualitas mereka
melalui signal seperti reputasi atau brand names. Untuk itu terkait dengan teori sinyal,
Healy dan Palepu (2001, dalam Xiao et al., 2004) menyatakan bahwa penggunaan KAP
yang bereputasi merupakan sinyal positif perusahaan karena perusahaan akan
diinterpretasikan oleh publik bahwa perusahaan memiliki informasi yang tidak
menyesatkan dan telah melaporkan informasi setransparan mungkin. Tentu saja hal
tersebut akan menaikkan citra perusahaan dan mendorong perusahaan untuk
menyebarluaskan laporan keuangan melalui IFR dalam rangka menggalang kepercayaan
investor karena laporan keuangan perusahaan dapat dipercaya. Perusahaan akan
cenderung menggunakan KAP yang memiliki reputasi yang baik yaitu KAP yang masuk
dalam Big Four yaitu Ernst&Young, Deloite Touche Tohmatsu, KPMG, serta Price
Waterhouse Copper. KAP yang berafiliasi dengan KAP Big Four tersebut dianggap
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk bertahan dari tekanan klien, lebih peduli
pada reputasi mereka, memiliki sumberdaya yang lebih besar berkaitan dengan
kompensasi individu dan teknologi maju yang dimiliki serta memiliki strategi dan proses
audit yang lebih baik (Hanny, Anis, 2006). Berdasarkan Fact Book tahun 2005 diketahui
KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan KAP Big Four adalah :
1. Purwanto, Sarwoko dan Sanjaya (berafiliasi dengan Ernst & Young)
2. Osman, Ramli dan Satrio (berafiliasi dengan Deloitte Touche Tohmatsu)
3. Sidharta, Sidharta dan Wijaya (berafiliasi dengan KPMG)
4. Haryanto, Sahari dan Rekan (berafiliasi dengan Price Waterhouse Copper)
2.10. Struktur Kepemilikan Pihak Asing
Teori keagenan menyatakan bahwa semakin menyebar kepemilikan saham
perusahaan, perusahaan diekspektasikan akan mengungkapkan informasi lebih banyak
yang bertujuan untuk mengurangi biaya keagenan. Konflik keagenan semakin besar bagi
perusahaan yang memiliki penyebaran kepemilikan saham perusahaan. Beberapa
penelitian oleh Chau dan Gray, 2002; Eng dan Mak, 2003; dan Ghazali dan Weetman,
2006, (Luciana,2008) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan mempengaruhi
pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Chau dan Gray (2002 Luciana, 2008),
menguji perusahaan-perusahaan di Hongkong dan Singapura, menunjukkan hubungan
yang signifikan antara proporsi kepemilikan pihak luar (outside ownership) dengan
tingkat pengungkapan sukarela.
Foreign Ownership atau proporsi kepemilikan saham oleh pihak asing adalah
jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing. Perusahaan dengan
kepemilikan asing akan cenderung melakukan pengungkapan yang lebih luas
dibandingkan dengan perusahaan dengan kepemilikan domestik dengan alasan :
1. Perusahaan dengan kepemilikan asing cenderung memiliki teknologi yang cukup,
sehingga mendukung terciptanya sistem informasi manajemen yang lebih efisien,
sehingga lebih mudah memberi akses dalam sistem pengendalian intern dan kebutuhan
informasi bagi perusahaan induknya,
2. Perusahaan dengan kepemilikan asing cenderung memberikan pelatihan yang cukup
bagi tenaganya mengenai pekerjaan yang diberikan, kemungkinan juga terdapat
permintaan informasi yang lebih besar kepada perusahaan dengan kepemilikan asing
dari pelanggan, pemasok dan analisa masyarakat (Luciana, 2008).
2.11. Likuiditas
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban
jangka pendeknya. Kekuatan perusahaan yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas yang
tinggi akan berhubungan dengan pelaporan keuangan perusahaan selengkap dan seluas
mungkin. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi akan cenderung
termotivasi untuk menginformasikan laporan keuangannya selengkap dan seluas
mungkin dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat likuiditas yang rendah.
Likuiditas dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban
jangka pendek. Semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk melunasi utang jangka
pendeknya maka semakin likuid perusahaan tersebut. Dimana tingkat likuiditas
perusahaan akan mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan investasi. Investor
tidak akan menanamkan modalnya pada perusahaan yang kurang likuid karena mereka
akan beranggapan bahwa perusahaan yang kurang likuid memiliki kecenderungan akan
mengalami suatu kebangkrutan.
Belkoui (1979, dalam Prayogi, 2003) berkeyakinan bahwa kekuatan perusahaan
yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas yang tinggi akan berhubungan dengan
pelaporan keuangan selengkap mungkin. Hal ini didasarkan pada harapan bahwa
perusahaan dengan finansial yang kuat akan cenderung melaporkan keuangan selengkap
dan seluas mungkin daripada perusahaan yang memiliki kondisi finansial yang lemah.
Selain itu, perhatian para regulator dan investor terhadap status going concern
perusahaan akan memotivasi perusahaan dengan likuiditas tinggi untuk melakukan IFR
agar informasi mengenai tingginya likuiditas perusahaan diketahui banyak pihak
(Owusu Ansah, 1997 dalam Oyelere et al., 2003). Hasil penelitian Oyelere et al. (2003)
menunjukkan likuiditas berpengaruh signifikan terhadap IFR. Lebih lanjut Oyelere et al.
(2003) menjelaskan, penggunaan internet untuk menyediakan informasi keuangan
merupakan ekspresi management’s confidence terhadap prospek masa depan. Dengan
demikian tingkat likuiditas perusahaan memiliki pengaruh terhadap keputusan
perusahaan dalam menerapkan praktik IFR.
2.12. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pelaporan keuangan melalui internet di Indonesia masih jarang
dilakukan. Tetapi penelitian ini sudah banyak dilakukan diluar negeri. Luciana (2008)
meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela “Internet
Financial and Sustainability Reporting”. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan, profitabilitas, dan kepemilikan mayoritas mempengaruhi tingkat
pengungkapan sukarela perusahaan. sedangkan leverage perusahaan tidak
mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela tersebut.
Disamping itu penelitian yang dilakukan Arum (2008) yang meneliti tentang
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan keuangan melalui internet (Internet
Financial Reporting) dalam website perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa profitabilitas dan public ownership mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pelaporan keuangan melalui perusahaan. sedangkan ukuran perusahaan,
likuiditas, jenis industri, leverage, reputasi auditor, umur listing, serta foreign ownership
tidak berpengaruh terhadap pelaporan keuangan internet.
Penelitian lainnya yang meneliti tentang pelaporan keuangan melalui internet
diteliti juga oleh Hanny dan Anis (2006). Judul penelitiannya adalah Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Pelaporan Keuangan melalui Internet (Internet Financial
Reporting) dalam Website Perusahaan . Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa ukuran
perusahaan, likuiditas, leverage, reputasi auditor, dan umur listing berpengaruh terhadap
pelaporan keuangan melalui internet, sedangkan profitabilitas dan jenis industri tidak
berpengaruh terhadap pelaporan keuangan.
Penelitian ukuran perusahaan dan jenis industri yang diteliti oleh Craven and
Marston (1999) juga menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan
terhadap pelaporan keuangan melalui internet. Sedangkan jenis industri tidak
berpengaruh. Berikut daftar peneliti sebelumnya yang dideskripsikan sebagai berikut:
Teori Sinyal, Teori Pasar Efisien dan Teori Keagenan
Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk
memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Motivasi perusahaan
untuk memberikan informasi adalah untuk mengurangi asimetri informasi antara
perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai
perusahaan dan prospek yang akan datang dibandingkan pihak luar seperti investor dan
kreditor. Kurangnnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka
melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan.
Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri.
Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal
pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan
akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang (Wolk
et al., 2000).
Masalah keagenan bisa menggambarkan mengapa manajemen perusahaan
melakukan pengungkapan informasi secara sukarela. Dengan pengungkapan sukarela
tersebut manajemen memberikan keyakinan kepada pemegang saham atas aktivitas kerja
mereka yang selalu berusaha untuk mengoptimalkan kesejahteraan pemegang saham,
karena manajemen mengetahui bahwa kinerja mereka dan aktivitas perusahaan pasti
akan selalu dipantau oleh para pemegang saham. Para pemegang saham akan melakukan
pengawasan apakah manajer telah bertindak dengan mempertimbangkan kepentingan
pemegang saham (Watson et al., 2002).
Sebagai konsekuensi dari ketersediaan dan kemudahan untuk mengakses
informasi, maka seluruh investor akan memiliki informasi yang relatif sama sehingga
tidak ada yang dapat memiliki informasi lebih dari yang lainnya. Oleh karenanya, dalam
hubungannya dengan informasi, suatu pasar dikatakan efisien apabila tidak terdapat
kemungkinan untuk memiliki abnormal return dengan menggunakan informasi tersebut (
Ross 2002).
2.2 Kerangka Pemikiran
Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang mengangkat topik pengaruh tingkat
pengungkapan informasi terhadap indikator-indikator kinerja keuangan perusahaan
seperti cost of capital, cost of equity, cost of debt , earnings, return dan likuiditas saham
telah banyak dilakukan di luar maupun di Indonesia. Inti dari penelitian tersebut pada
dasarnya adalah memberikan gambaran sejauh mana pengungkapan informasi tentang
kinerja keuangan maupun non-keuangan perusahaan yang dilakukan manajemen
berpengaruh kepada indikator-indikator keuangan.
Penelitian Welker (1995) menguji tingkat pengungkapan terhadap likuiditas yang
diukur dengan relative bid-ask spread. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara pengungkapan dan likuiditas. Penelitian lain yang menguji
hubungan tingkat pengungkapan dengan likuiditas saham dilakukan oleh Espinosa,
Tapia dan Trombetta ( 2008). Dengan menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar
di Spanish Stock Exchange, penelitian tersebut menguji apakah transparansi yang diukur
dengan tingkat pengungkapan sukarela berhubungan dengan likuiditas saham. Dengan
menggunakan bid-ask spread sebagai salah satu proksi likuiditas saham, hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan sukarela yang semakin luas
mengakibatkan bid-ask spread yang semakin kecil. Artinya semakin luas tingkat
pengungkapan sukarela maka saham perusahaan tersbut semakin tinggi likuiditasnya
(berhubungan positif). Tingkat pengungkapan sukarela yang berpengaruh positif
terhadap likuiditas juga dipaparkan oleh Schuster dan O’Connell (2006) sebagai manfaat
atas pengungkapan informasi yang semakin luas.
Juniarti dan Yunita (2003) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
tingkat pengungkapan terhadap biaya ekuitas dan signifikansi pengaruh tersebut pada
perusahaan yang sahamnya tergolong sebagai saham bluechip dan non bluechip.
Penelitian tersebut menggunakan teori sinyal dalam penelitiannya, yaitu bahwa laporan
keuangan merupakan suatu sinyal untuk mengkomunikasikan informasi penting yang
dimiliki manajemen perusahaan. Laporan keuangan yang tidak memberikan
pengungkapan yang memadai akan dipandang oleh sebagian investor sebagai laporan
keuangan yang berisiko. Apabila investor menilai suatu perusahaan berisiko tinggi
berdasarkan laporan keuangan yang dihasilkannya, maka return yang diharapkan
investor juga tinggi yang pada akhirnya menyebabkan tingginya biaya ekuitas yang
harus dikeluarkan perusahaan. Penelitian serupa pun dilakukan oleh Botosan (1997),
Khomsiyah dan Susanti (2003), Maysar (2008) serta Francis et al. (2008) yang
menemukan adanya hubungan negatif antara tingkat pengungkapan terhadap COE.
Pengaruh lain tingkat pengungkapan bagi manajemen perusahaan adalah meningkatnya
jumlah investor (Lang dan Lundholm,1996).
Perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan penggunaan internet
sebagi media pengungkapan oleh perusahaan telah membuka sebuah domain penelitian
baru pada bidang akuntansi dan keuangan. Penelitian awal IFR umumnya bertujuan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengarui penerapan dan tingkat pengungkapan
IFR. Ukuran perusahaan (firm size) merupakan variabel yang paling sering muncul
sebagai determinan IFR, di mana semakin besar ukuran perusahaan, makin tinggi
pengungkapan melalui internet. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil penelitian tentang
pengungkapan pada umumnya, yang menggunakan media pengungkapan secara
konvensional.
Asbaugh et al. (1999) test the influence of firm size, profitability, level of
traditional reporting practice, and the individual ownership percentage. They find that
only firm size variable that has significant influence over the probability of CIR. The
larger the firm, the higher is the probability of CIR.
Salah satu penelitian pertama tentang determinan IFR dilakukan oleh Asbaugh
(1999) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan merupakan variabel yang
mempengaruhi probabilitas IFR. Serupa dengan penelitian tersebut, Pichegger dan
Wagenhofer (1999) meneliti kualitas IFR perusahaan publik di Austria dan
menyimpulkan bahwa kualitas IFR berhubungan positif dengan ukuran perusahaan yang
dinyatakan dalam bentuk kepemilikan saham atau nilai kapitalisasi perusahaan.
Debrecency et al. (2002) juga mempelajari 660 perusahaan di 22 negara yang berbeda
dan menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan, teknologi informasi dan perusahaan yang
terdaftar pada NY Stock Exchange merupakan faktor utama dari adopsi IFR. Ezat dan
El-Masry (2008) menguji pengaruh corporate governance terhadap timeliness IFR.
Hasilnya, terdapat hubungan yang positif antara ketepatan waktu IFR dengan ukuran
perusahaan, sektor industri, likuiditas, struktur kepemilikan, komposisi dewan direksi
dan ukuran dewan direksi. Hasil yang kurang lebih sama juga didapat dari penelitian
yang dilakukan oleh Ismail (2002); Hanifa dan Rashid (2005) dalam Fitriana (2009);
Andrikopoulos (2007); dan Aly (2009) dimana ukuran perusahaan adalah faktor yang
paling berpengaruh terhadap praktik penerapan IFR. Kemudian leverage, profitabilitas,
kepemilikan saham oleh investor institusional, sektor industri muncul sebagai variabel
penjelas lain mengenai adopsi IFR.
Selain itu Lodhia et al. (2004) melakukan penelitian mengenai pelaporan
perusahaan melalui internet pada perusahaan di Australia. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa walaupun di Australia pelaporan perusahaan melalui internet sedang
berkembang tapi perusahaan- perusahaan tersebut tidak secara maksimal menggunakan
internet untuk mengungkapkan informasi keuangan pada pemegang saham. Spanos
(2006) mengevaluasi praktek IFR di Yunani dan berkesimpulan bahwa website belum
dimanfaatkan secara maksimal untuk mendistribusikan informasi bagi investor.
Kemudian, Fisher et. al. (2004) mencoba meneliti konsekuensi penerapan IFR
terhadap profesi audit. Melalui kuesioner yang ditujukan pada auditor menunjukkan
bahwa para auditor menaruh perhatian pada isi, konteks dan penyajian dalam penyajian
laporan berbasis Web.
Di Indonesia sendiri penelitian IFR masih relative sedikit. Penelitian di Indonesia
masih berfokus pada faktor- faktor yang mempengaruhi praktek IFR seperti penelitian
yang dilakukan Suripto (2006); Chandra (2008); Fitriana (2009); Chariri dan Lestari
(2005), dan Machmudin et al. (2010). Machmudin et al. (2010), yang merupakan
penilitian yang terbaru dan paling komprehensif mengenai IFR di Indonesia,
menyimpulkan bahwa IFR pada perusahaan yang terdaftar di BEI secara rata-rata masih
rendah. Selain itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi ukuran perusahaan, multi-
listing, laju pertumbuhan, leverage dan total blockholder sebagai variabel-variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap IFR.
Guna melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya yang berfokus pada
determinan IFR tersebut, penelitian ini bermaksud menguji dampak IFR, khususnya
COE. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Juniarti dan Yunita (2003), terdapat
pengaruh yang signifikan antara tingkat pengungkapan dengan cost of equity capital
(COE). Botosan (1997), Khomsiyah dan Susanti (2003), Maysar (2008) serta Francis ,
Nanda dan Olsson (2008) juga menemukan adanya hubungan negatif antara tingkat
pengungkapan terhadap (COE). Maka dengan adanya berbagai penelitian tersebut,
diharapkan praktek pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan melalui
website juga akan mempengaruhi COE perusahaan seiring dengan semakin transparan
dan mudahnya akses yang dimilki oleh para pelaku pasar. Berdasarkan uraian di atas,
hipotesa pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
2.3 Hipotesis
Hipotesis 1 : Tingkat pengungkapan sukarela melalui internet (IFR)
berpengaruh negatif terhadap cost of equity capital (COE)
Terdapat 3 komponen yang menentukan kualitas IFR, yaitu (1) isi pengungkapan
atau content, (2) ketepatan waktu atau timeliness, dan (3) penyajian atau presentation.
Selain menguji dampak IFR secara keseluruhan, penelitian ini juga bermaksud menguji
dampak ketiga komponen IFR tersebut secara terpisah. Hal ini perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran komponen IFR mana yang paling berpengaruh terhadap COE.
Semakin banyak informasi yang diungkapkan dalam website perusahaan akan
mengurangi asimetri infomasi yang ada antara manajemen dan pihak di luar perusahaan.
Peningkatan transparansi informasi melalui website perusahaan akan membuat estimasi
risiko yang dihadapi investor menjadi rendah dan akhirnya mengakibatkan COE
perusahaan pun menjadi turun. Oleh sebab itu diduga akan ada hubungan negatif antara
tingkat pengungkapan melalui website dari aspek konten dengan COE.
Hipotesis 2 : Tingkat pengungkapan sukarela melalui internet (IFR) dari aspek
konten berpengaruh negatif terhadap cost of equity capital (COE)
Semakin cepat informasi diberikan kepada para stakeholder, semakin cepat
investor akan bereaksi terhadap informasi baru yang masuk sehingga menyebabkan
saham segera melakukan penyesuaian. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Beaver (1968), Ball dan Brawn (1968), serta Fama et al. (1969) bahwa saham akan
bergerak ketika informasi yang berguna memasuki pasar. Dengan adanya penyesuaian
yang cepat tersebut, maka dapat meningkatkan kepercayaan investor karena transaksi
yang dilakukan terjadi pada harga yang wajar. Kepercayaan investor yang meningkat ini
mengakibatkan estimasi risiko yang dihadapi investor semakin berkurang yang pada
akhirnya akan menyebabkan COE perusahaan juga akan turun. Oleh sebab itu diduga
akan ada hubungan negatif antara tingkat pengungkapan melalui website dari aspek
ketepatan waktu dengan COE.
Hipotesis 3 : Tingkat pengungkapan sukarela melalui internet dari aspek
ketepatan waktu berpengaruh negatif terhadap cost of equity capital (COE)
Cara perusahaan menyajikan informasi dalam website mempengaruhi investor
dalam memperoleh informasi tersebut. Semakin baik format atau cara penyajian
informasi, semakin mudah investor memperoleh dan selanjutnya menganalisis informasi
yang ada, sehingga keputusan yang diambilpun menjadi lebih baik. Kemudahan
mengakses informasi akan memudahkan investor dalam mengestimasi risiko yang ada
dan pada akhirnya akan menyebabkan turunnya COE perusahaan. Oleh sebab itu diduga
adanya hubungan yang negatif antara tingkat pengungkapan informasi dalam website
dari aspek presentasi dengan COE.
Hipotesis 4 : Tingkat pengungkapan sukarela melalui internet dari aspek
presentasi berpengaruh negatif terhadap cost of equity capital (COE)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Model penelitian
Penelitian ini menggunakan dua model penelitian yang berbeda, yaitu Model 1
dan Model 2 yang akan dijelaskan kemudian. Perbedaan kedua model tersebut terletak
pada pengukuran variabel IFR sebagai variabel dependen. Pada Model 1, digunakan
ukuran total IFR, sementara pada Model 2 variabel IFR dipecah berdasarkan
komponennya. Persamaan ini mengikuti model yang digunakan oleh Botosan (1997),
yang juga digunakan oleh Hail (2002) dan Francis et al. (2005).
Model 1 :
Model 2 :
Dimana :
COE = Cost of equity capital
IFR = indeks IFR, menggunakan indeks dalam penelitian Machmudin et al. (2010)
berdasarkan
checklist yang dikembangkan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Untuk setiap item dalam checklist yang tersedia dalam website, diberi kode 1,
dan 0 bila tidak. IFR ini merupakan nilai rata-rata dari ukuran praktek IFR yang
diperoleh dari total nilai dibagi dengan jumlah item dalam checklist.
Indeks Content = Indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai yang diperoleh dari
setiap item dari aspek konten/isi kemudian dibagi dengan total item dari seluruh aspek
konten/isi dalam checklist yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya.
Indeks Timeliness = Indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai yang diperoleh dari
setiap item dari aspek ketepatan waktu kemudian dibagi dengan total item dari seluruh
aspek ketepatan waktu dalam checklist yang telah digunakan pada penelitian
sebelumnya.
Indeks Presentation = Indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai yang diperoleh
dari setiap item dari aspek presentasi kemudian dibagi dengan total item dari seluruh
aspek presentasi dalam checklist yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya.
SIZE = adalah ukuran perusahaan di hitung dengan menggunakan natural logaritma
total asset 2009 ROA = diukur dengan mengunakan return on asset ratio 2009
DE = debt to equity ratio yang merupakan ukuran hutang perusahaan dan diukur dengan
melihat total debt perusahaan 2009 dengan total ekuitas 2009.
MB = adalah market to book ratio,yang diukur dengan melihat harga saham per lembar
dengan book value per sharepada tanggal 31 Desember 2009
Growth = adalah tingkat pertumbuhan perusahaan yang diukur dengan melihat
pertumbuhan penjualan per perusahaan. 2008 2008 2009 sales sales sales
ADR = adalah dummy variable dimana apabila perusahaan listing pada selain bursa di
Indonesia akan diberikan nilai 1 dan perusahaan yang hanya listing di Indonesia akan
diberi nilai 0 (nol)
Finance = adalah rasio hutang luar negeri perusahaan 2009 dengan total kewajiban
jangka panjang 2009 Pengukuran COE yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi
dari Hail and Leus (2005) berdasarkan Ohlson and Juetnner-Nauroth (2005) dan
digunakan juga oleh Easton (2004) dan Francis et al (2005). Dengan pendekatan
ini,COE diukur dengan persamaan :
3.2 Variabel dan Pengukuran
Metode Pengumpulan Data dan Pemilihan Sampel
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah checklist IFR yang digunakan
oleh Machmudin et al. (2010) dan beberapa data sekunder yang diperoleh dari laporan
tahunan, laporan keuangan tahun 2009 dan website perusahaan. Kriteria pemilihan
sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009
2. Indeks IFR tersedia dalam penelitian Machmudian et al. (2010)
3. Perusahaan menggunakan website untuk mencantumkan laporan keuangan dan
berbagai informasi non keuangan lainnya dan tetap aktif selama periode penelitian.
4. Perusahaan bukan berasal dari sektor finansial. Pengecualian ini dilakukan karena
adanya perbedaan karakteristik perusahaan keuangan dengan perusahaan sektor lainnya.
5. Perusahaan memiliki data yang lengkap untuk semua pengukuran variabelnya.
6. Tidak memiliki ekuitas negative
3.3 Definisi Operasional Variabel
3.4 Sample
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.6 Metode Analisis Data
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
4.2 Analisis Data
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Statistik deskriptif sampel penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Rata-rata
variabel dependen COE sebesar 0.1916 dengan COE terbesar 0,747yang dimiliki oleh
Sinar Mas Agro Resources dan Teknologi. Indeks rata-rata (average index) IFR untuk
model pertama memiliki rata-rata 28.80%, sementara indeks tertinggi dimiliki oleh PT
Asahimas Flat Glass Tbk sebesar 0,6957. Sedangkan masing-masing aspek yaitu aspek
konten, ketepatan waktu dan presentasi rata-ratanya adalah 33.26%,15.72%,25.15%.
Dari ketiga aspek pengungkapan yang dilakukan yang terlihat bahwa perusahaan dalam
sampel ini lebih memperhatikan aspek konten dari websitenya dibandingkan dengan
aspek ketepatan waktu dan presentasinya. Dari 179 perusahaan dalam sampel ini,
terdapat 5 perusahaan yang listing di lebih dari satu bursa atau sekitar 2,.79% yaitu
Indosat Tbk, Telekomunikasi Indonesia, Aneka Tambang, Timah dan PT Tri Polyta
Indonesia Tbk. Perusahaan dengan ukuran terbesar adalah Unitex, sementara perusahaan
yang memiliki ROA tertinggi adalah Unilever Indonesia. Perusahaan dengan struktur
hutang terbesar adalah PT.First Media Tbk, perusahaan dengan market to book rasio
terbesar adalah Unitex Tbk, perusahaan dengan growth terbesar adalah Jakarta
International Hotel and Development, serta PT Sekawan Intipratama Tbk sebagai
perusahaan dengan struktur hutang luar negeri terbesar.
Hasil pengujian Pearson Correlation sebagaimana disajikan dalam Tabel 2
menunjukkan bahwa rata-rata pengungkapan yang di simbolkan dengan average index
tidak berpengaruh terhadap COE. Namun jika dilihat dari ketiga aspek yaitu konten,
ketepatan waktu dan presentasi, hanya aspek ketepatan waktu yang berpengaruh
signifikan negatif terhadap variabel dependen yaitu COE dan hanya variabel kontrol
debt to equity ratio (DE) berpengaruh signifikan positif terhadap COE. Pada kedua
model terdapat masalah heteroskedastisitas namun permasalahan ini diselesaikan dengan
metode regresi dengan merubah standar error (Robust).
Hasil uji regresi Model 1 sebagimana disajikan dalam Tabel 3 menunjukkan
bahwa praktek IFRyang diukur secara total (dengan menggunakan average index) tidak
berpengaruh signifikan terhadap COE. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis 1, dimana
diharapkan adanya hubungan signifikan negatif antara IFR dengan COE. Hasil ini juga
tidak sejalan dengan penelitian mengenai pengungkapan sukarela yang dikaitkan dengan
COE. Sementara itu, terlihat adanya beberapa variabel kontrol yang berpengaruh
signifikan terhadap COE, yaitu ROA dan market to book ratio.
Hasil uji regresi Model 2 disajikan dalam Tabel 4. Dari hasil uji tersebut terlihat
bahwa praktek IFR yang dinilai dari masing-masing komponen IFR memiliki pengaruh
yang berbeda-beda terhadap COE. Content dan timeliness berpengaruh negatif
signifikan terhadap COE pada level kepercayaan 95%, mendukung hipotesis 2 dan 3.
Sementara itu, presentation juga berpengaruh signifikan terhadap COE, namun dengan
arah yang berlawanan dengan hipotesa 4. Walaupun belum ada penelitian sebelumnya
yang membuktikan secara langsung dampak IFR terhadap COE perusahaan, namun
penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian mengenai pengungkapan yang
dikaitkan dengan COE, salah satunya adalah penelitian Coles et al., (1995).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dari pengujian Model 1, penelitian ini
tidak menemukan pengaruh IFR yang diukur secara total terhadap COE perusahaan.
Namun demikian, pengujian dengan Model 2 menunjukkan bahwa content dan
timeliness berpengaruh signifikan negatif terhadap COE. Hal ini mengindikasikan
bahwa semakin banyak informasi yang disajikan oleh perusahaan, baik informasi
keuangan maupun non keuangan melalui website, semakin rendah CO. Hal tersebut
disebabkan karena semakin berkurangnya asimetri informasi yang terjadi antara pihak
dalam dan pihak luar perusahaan sehingga estimasi risiko investor terhadap perusahaan
menjadi semakin rendah. Rendahnya risiko tersebut berujung pada rendahnya return
yang diharapkan oleh investor sehingga pada akhirnya akan menyebabkan COE menjadi
turun. Hal ini sejalan dengan kesimpulan beberapa penelitian lainnya, diantaranya
Botosan (1997), Khomsiyah dan Susanti (2003), Juniarti dan Yunita (2003), Maysar
(2008), serta Francis et al. (2008) yang menemukan adanya hubungan negatif antara
tingkat pengungkapan dan COE.
Begitupun dengan ketepatan waktu yang dilakukan oleh perusahaan, di mana
semakin tepat waktu informasi tersebut diberikan kepada pihak luar perusahaan melalui
website maka COE akan semakin turun. Adanya hubungan signifikansi positif yang
terjadi pada salah satu aspek praktek IFR yaitu aspek presentasi terhadap COE sulit
untuk dijelaskan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini melakukan pengujian atas dampak praktek internet financial
reporting (IFR) terhadap cost of equity capital (COE) perusahaan. Dalam penelitian ini
diperoleh hasil bahwa ketika praktek IFR dinilai secara keseluruhan meliputi komponen
konten, ketepatan waktu dan presentasi, tidak terlihat pengaruh IFR yang signifikan
terhadap COE. Namun ketika masing-masing komponen diuji secara terpisah, terlihat
bahwa konten dan ketepatan waktu berpengaruh signifikan negatif terhadap COE. Hal
ini sesuai dengan hasil berbagai penelitian sebelumnya yang menguji dampak
pengungkapan sukarela terhadap COE dengan menggunakan teori keagenan. Dapat
disimpulkan bahwa dengan memanfaatkan website sebagai media pengungkapan,
perusahaan dapat memperoleh manfaat dalam bentuk menurunnya COE. Kesimpulan
penelitian ini diharapkan dapat memotivasi perusahaan untuk memanfaatkan teknologi
internet untuk menyampaikan informasi kepada pihak-pihak di luar perusahaan,
khususnya investor. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mendorong perusahaan
untuk memenuhi ketentuan Bapepam-LK (kini OJK) KEP-431/BL/2012 yang
mewajibkan penyajian Laporan Tahunan dalam website perusahaan.
Di sisi lain, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa presentasi berpengaruh
signifikan positif terhadap COE. Hasil ini berbeda dengan hipotesa yang diajukan dan
tidak sesuai dengan teori yang ada. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hubungan
antara aspek presentasi dan COE tidak dapat dijelaskan.
5.2 Saran
Mengingat kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini, rekomendasi yang
dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Menambah data yang digunakan dengan menambah periode tahun (data time series)
untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih lengkap.
2. Melakukan penelitian lanjutan dengan melihat bagaimana dampak praktek internet
financial reporting terhadap cost of equity capital perusahaan di Indonesia setelah
peraturan Bapepam-LK (kini OJK) KEP-431/BL/2012 berlaku efektif.
5.3 Implikasi Hasil