33
BAB V PEMBAHASAN Dalam usaha mengungkap dan menemukan bukti-bukti otentik dari optimasi wanamina berwawasan lingkungan di wilayah pesisis Pantai Utara Kota Semarang, telah dilakukan penelitian dengan melakukan serangkaian ujicoba lapangan dalam wujud pembuatan kolam budidaya lengkap dengan aspek pendukungnya yakni 2 kolam berkultivan Bandeng dan bervegetasi Rhizophora (RB), 2 kolam berkultivan Nila dan bervegetasi Rhizophora (RN), kemudian juga di buat 2 kolam berkultivan Bandeng dan Nila bervegetasi Rhizophora (RNB) dengan kultivan control Nila bervegetasi Rhizophora {KRN}, kultivan control Bandeng bervegetasi Rhizophora {KRB} dan kultivan control Bandeng dan nila bervegetasi Rhizophora {KRNB}, selain itu juga disediakan 2 kolam berkultivan Bandeng dan bervegetasi Aviccenia (AB), 2 kolam berkultivan Nila dan bervegetasi Aviccenia (AN), kemudian juga di buat 2 kolam berkultivan Bandeng dan Nila bervegetasi avvicenia (ANB) dengan kultivan control Nila bervegetasi avvivenia{KAN}, kultivan control Bandeng bervegetasi avvivenia {KAB} dan kultivan control Bandeng dan nila bervegetasi avvicenia {KANB}. Dalam pelaksanaannya masing-masing kolam setelah proses pemanenan selesai di lakukan pengulangan ujicoba. Selama kegiatan uji coba berlangsung telah dicatat berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan jumlah sebar kultivan, berat,tinggi/lebar, rata-rata persatuan ikan, panjang ikan, hingga jumlah panen per kolam ujicoba. Setiap kolam mendapat perlakukan yang sama dan cara sama, begitu juga pengambilan media pendukung biologi, kimia maupun fisika juga sama.

BAB V

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

BAB V

PEMBAHASAN

Dalam usaha mengungkap dan menemukan bukti-bukti otentik dari optimasi wanamina berwawasan lingkungan di wilayah pesisis Pantai Utara Kota Semarang, telah dilakukan penelitian dengan melakukan serangkaian ujicoba lapangan dalam wujud pembuatan kolam budidaya lengkap dengan aspek pendukungnya yakni 2 kolam berkultivan Bandeng dan bervegetasi Rhizophora (RB), 2 kolam berkultivan Nila dan bervegetasi Rhizophora (RN), kemudian juga di buat 2 kolam berkultivan Bandeng dan Nila bervegetasi Rhizophora (RNB) dengan kultivan control Nila bervegetasi Rhizophora {KRN}, kultivan control Bandeng bervegetasi Rhizophora {KRB} dan kultivan control Bandeng dan nila bervegetasi Rhizophora {KRNB}, selain itu juga disediakan 2 kolam berkultivan Bandeng dan bervegetasi Aviccenia (AB), 2 kolam berkultivan Nila dan bervegetasi Aviccenia (AN), kemudian juga di buat 2 kolam berkultivan Bandeng dan Nila bervegetasi avvicenia (ANB) dengan kultivan control Nila bervegetasi avvivenia{KAN}, kultivan control Bandeng bervegetasi avvivenia {KAB} dan kultivan control Bandeng dan nila bervegetasi avvicenia {KANB}.

Dalam pelaksanaannya masing-masing kolam setelah proses pemanenan selesai di lakukan pengulangan ujicoba. Selama kegiatan uji coba berlangsung telah dicatat berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan jumlah sebar kultivan, berat,tinggi/lebar, rata-rata persatuan ikan, panjang ikan, hingga jumlah panen per kolam ujicoba. Setiap kolam mendapat perlakukan yang sama dan cara sama, begitu juga pengambilan media pendukung biologi, kimia maupun fisika juga sama.

5.1. Karakteristik Biofisik Lingkungan 5.1.1. Parameter Fisika Perairan Pengetahuan mengenai kondisi kualitas perairan tambak yang dicerminkan oleh nilai konsentrasi beberapa parameter kualitas air, baik secara fisika, kimia maupun secara biologi sangat diperlukan. Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap lokasi penelitian. Selain itu pengukuran kualitas air ini dilengkapi dengan suhu udara sebagai faktor pendukung. Pengukuran kualitas air ini dibagi pada beberapa titik penelitian yang didasarkan pada lokasi dimana didapat 18 titik pengambilan sampel. Pengambilan sample dan pengukuran kualitas lingkungan dilaksanakan berdasar informasi pasang tertinggi dan surut terendah pada siang hari yaitu pada pukul 09.00-13.00 WIB (pasang) dan pukul 15.00-17.00 WIB (surut). Sampilng dilakukan tiga periode, yaitu bulan Oktober, Desember dan Januari.Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan menunjukkan bahwa tipe pasang surut permukaan air laut di lokasi penelitian adalah bersifat harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini memiliki pengertian bahwa pada lokasi ini hanya terdapat satu kali periode pasang dan satu kali surut dalam sehari. Pasang surut pada penelitian ini berpengaruh bagi waktu sampling. Pengambilan sample penelitian dilakukan pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Secara garis besar, pengukuran kualitas perairan di lokasi penelitian di sajikan pada table berikut ini

Tabel 5.1.

Hasil Pengukuran Kualitas Air Lokasi Penelitian

ParameterOktoberDesemberJanuari

Pagi HariSiang HariPagi HariSiang HariPagi HariSiang Hari

Suhu26.4732.8127.8130.4027.4733.98

Kedalaman51.5044.7839.2728.8928.5044.78

Kedalaman Caren54.1371.3365.0854.1354.1371.33

Kecerahan16.0916.7123.7216.0916.0916.71

Kecerahan Caren17.6717.9224.6717.6717.6717.92

Salinitas26.0030.9828.0030.2325.5431.12

pH8.118.008.897.828.167.28

DO5.127.265.896.915.107.16

5.1.1.1. Suhu

Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air (Nontji, 2005).

Berdasarkan Peres dan Oliva-Teles, (1999) yang menemukan bahwa pada suhu 25 0C, rasio efisiensi pakan secara signifikan lebih tinggi pada pakan yang mengandung protein 56 % dibandingkan dengan jenis kandungan protein pakan yang lain, sementara pada suhu 18 0C tidak ada perbedaan rasio efisiensi pakan antara pakan yang mengandung protein 48 % dan 56 %. Peningkatan rasio efisiensi pakan pada suhu yang lebih tinggi dapat dijelaskan melalui peningkatan proporsi penyerapan makanan yang tersedia untuk pertumbuhan ketika suhu optimum telah dicapai untuk pertumbuhan bagi spesies ikan. Suhu perairan juga sangat mempengaruhi ekskresi amonia dari ikan yang dipelihara (Tanaka dan adowaki, 1995). Peningkatan laju ekskresi ammonia pada suhu perairan yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa laju metabolisme yang semakin tinggi pula yang secara parsial memicu proses deaminasi asam amino dan penurunan bobot tubuh (Forsberg dan Summerfelt, 1992). Tingkatan spesifik dari ekskresi ammonia dengan peningkatan bobot tubuh merefleksikan tingkat metabolisme spesifik yang lebih rendah dalam tubuh hewan yang lebih besar. Selain itu, dalam kondisi yang sama kecepatan ekskresi ammonia secara signifikan lebih cepat pada ikan L. Argentimaculatus dibandingkan dengan E. areolatus, yang mengindikasikan proses pembentuk katabolisme (Leung et al., 1999). Menurut Effendi (2003), suhu memiliki peran terhadap proses fisika kimia dan biologi. Setiap organisme yang memiliki kisaran suhu maksimum maupun minimum dalam melangsungkan kehidupannya. Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya kelarutan oksigen dalam air. Oleh karena itu, maka pada kondisi tersebut organisme akuatik seringkali tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut untuk keperluan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Siagian (2001) in Suwondo et al., (2006) menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan organisme bentik adalah berkisar antara 25 - 320C. Welch (1980) menambahkan bahwa suhu diatas 34 400C merupakan suhu letal yang dapat menyebabkan kematian bagi makroavertebrata bentik. Saenger (2002) dalam Suwondo et al (2006) menambahkan bahwa laju respirasi dan fotosintesis memiliki dampak yang sangat signifikan dengan laju terendah pada suhu 170C dan tertingggi pada suhu 250C. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 200C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C.Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, limbah, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu berada pada kisaran 26,5o C sampai dengan 33,98o C. Secara umum perbedaan suhu tidak terlalu signifikan. Pada umumnya lokasi yang memiliki suhu udara rendah adalah pada titik yang berada pada daerah mangrove. Hal tersebut dikarenakan titik-titik tersebut masih berada di daerah yang tidak mendapatkan penyinaran langsung dari sinar matahari. Adapun titik yang memiliki suhu tinggi yaitu pada titik yang berada pada yang mendapatkan pemaparan sinar matahari secara langsung. Tingginya intensitas penyinaran matahari, menyebabkan tingginya tingkat penyerapan panas ke dalam perairan. Kondisi kisaran suhu perairan lokasi penelitian masih dalam batas nilai toleransi bagi kehidupan organisme perairan pada umumnya.

Nybakken (1988) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu factor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan temperatur 100 C, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-300 C. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian sangat mendukung kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.

Gambar 5.1Kisaran Suhu Hasil Penelitian

Berdasarkan uji statistic yang telah dilakukan, keberadaan mangrove memiliki pengaruh terhadap suhu perairan ini dilihat berdasarkan nilai F hitung sebesar 334,611 dengan nilai signifikansi 0,000 adalah < 0,05 maka dikatakan bahwa untuk tiap-tiap waktu pengkuran suhu memiliki rata-rata hasil pengukuran suhu pada masing2 kelompok (perlakuan) yang tidak sama. Daerah pada table test of between-subjects effect memiliki Fhitung 334,611 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000.

5.1.1.2. Kecerahan

Adapun parameter fisik yang tak cukup berpengaruh adalah kecerahan. Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas fotosintesa. Kecerahan merupakan faktor penting bagi proses fotosintesa dan produksi primer dalam suatu perairan. Sumber yang yang mempengaruhi tingkat kecerahan antara lain berasal dari material organik maupun non organik (partikel liat dan tanah yang terlarut, phytoplankton dan zooplankton yang mengapung, penguraian tanaman yang mati); kedua yang disebabkan oleh alam (runoff dari daratan, pengadukan perairan yang disebabkan oleh aktivitas gelombang dan perubahan musim); ketiga yang berasal dari aktivitas manusia (runoff dari lahan pertanian, buangan dari industri dan pemukiman, nutrien terlarut yang berasal dari air buangan dan terlarutnya bahan organik hasil dari perawatan tanaman. Padatan tersuspensi dapat membuat perairan alami menjadi lebih keruh dan bahkan membentuk endapan organik di dasar perairan. Endapan bahan organik ini dapat mengurangi kandungan oksigen perairan melalui proses oksidasi secara alami, termasuk respirasi mikroba dan dekomposisi secara aerobik (Mugg et al., 2003 dalam Pramahpatami 2008). Dari keseluruhan titik pengamatan, nilai kekeruhan menunjukkan angka angka yang cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan lokasi pengambilan sample adalah dekat dengan pantai dimana aktivitas gelombang sangat mempengaruhi.

Kedalaman perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan organisme untuk berinteraksi dengan cahaya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap ke dalaman dimana ditemukan bahwa tingkat kedalaman dari tambak berbeda, berkisar antara 28 -51 cm. Kondisi ini merupakan hal penting untuk diketahui karena berkaitan dengan faktor cahaya yang masuk ke perairan untuk proses fotosintesis dimana juga akan mempengaruhi produktivitas primer perairan.

5.1.2. Parameter Kimia Perairan 5.1.2.1. Salinitas

Salinitas sangat berpengaruh dalam proses osmoregulasi organisme perairan, salinitas yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat mengakibatkan terganggunya tekanan osmotik kultivan. Perubahan salinitas dapat menyebabkan stress bahkan kematian pada udang (Bocek ed, 1991). Di alam gambaran dominan lingkungan estuaria (perairan pantai) ialah berfluktuasinya salinitas (Nybakken, 1992). Secara definitif, suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi bergantung pada musim, topografi estuaria, pasang surut, dan jumlah air tawar. Faktor lain yang mempunyai kekuatan berperan dalam mengubah pola salinitas adalah pasang surut.Salinitas merupakan gambaran padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organic telah dioksidasi. Salinitas biasa dinyatakan dalam satuan g/kg atau (effendi, 2003).

Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri, et al, 2008). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai factor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005). Salinitas khususnya diwilayah pesisir terlebih lagi di ekosistem mangrove memiliki tingkat fluktuasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan wilayah pesisir merupakan daerah peralihan pasang surut dimana pengaruh darat dan laut sangat berpengaruh terhadap mangrove maupun habitat biota akuatik. Pada lokasi penelitian untuk salinitas berkisar antara 26 28 saat pasang dan 30 31 saat surut. Dari hasil pengukuran dapat dilihat salinitas berada pada kisaran yang optimum bagi kehidupan mangrove yaitu sampai dengan 340/00 (Kep Men LH No 51 Tahun 2004).

Gambar 5.2Kisaran Salinitas Hasil Penelitian

Dari pengambilan data pagi dan siang, nilai rata-rata yang lebih besar ditunjukkan pada pengambilan data pada siang hari. Kesimpulannya adalah nilai salinitas dipengaruhi oleh waktu saat pengukuran, pada pengukuran dan pengamatan menunjukkan bahwa siang hari nilai salinitas lebih tinggi dibanding pengukuran pada pagi hari.

5.1.2.2. pH (derajat keasaman)

pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhluk makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka.

pH yang biasa dikenal sebagai derajat keasaman digunakan sebagai penunjuk apakah suatu larutan tersebut bersifat asam atau basa. pH di perairan khususnya pesisir sangat fluktuatif tergantung dari masukan air tawar dari darat maupun air laut. pH juga sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Derajat keasaman atau pH merupakan nilai yang menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam air. Nilai pH suatu perairan dapat mencerminkan keseimbangan antar asam dan basa dalam perairan tersebut. Nilai pH berkisar antara 1-14, pH 7 adalah batasan tengah antara asam dan basa (netral). Semakin tinggi pH suatu perairan maka makin besar sifat basanya, demikian juga sebaliknya, semakin rendah nilai pH maka semakin asam suatu perairan.

Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1978).

Sebagian besar biota akuatik memiliki sensitifitas yang sangat terhadap pH. pH optimum yang disukai adalah berkisar antara 7 8,5 (Effendi, 2003). pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi akan berakhir apabila pH rendah. Nilai pH di lokasi penelitian pada saat pasang berkisar antara 8,11 8,89. Adapun pada saat surut berkisar antara 7,82 - 8,64 dengan. Berdasarkan baku mutu Kep Men LH No 51 Tahun 2004 nilai pH pada seluruh titik pengamatan memiliki kondisi yang baik bagi kehidupan organisme dan mangrove. Nilai pH juga sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos khususnya kelas gastropoda, dimana nilai pH yang disukai adalah > 7 (Moss in Suwondo et al., 2006).

Gambar 5.3Kisaran pH Hasil Penelitian

5.1.2.3. Disolve Oksigen (DO)

Oksigen merupakan salah satu gas terlarut di perairan alami dengan kadar bervariasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Selain diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan, oksigen juga diperlukan dalam proses dekomposisi senyawa-senyawa organic menjadi senyawa anorganik. Sumber oksigen terlarut terutama berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer. Difusi oksigen ke dalam air terjadi secara langsung pada kondisi stagnant (diam) atau karena agitasi (pergolakan massa air) akibat adanya gelombang atau angin. Kadar oksigen terlarut pada perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas air lainnya, misalnya kekeruhan, suhu, salinitas, TSS, pergerakan massa air, tekanan atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (Effendi, 2003). Terkait dengan limbah, kadar oksigen bisa jadi menjadi sangat rendah sebagai akibat aktivitas mikroorganisme pengurai yang membutuhkan oksigen dalam proses penguraian yang mengakibatkan do menjadi rendah. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 5,12 5,89 mg/L pada saat pasang dan antara 6,91 - 7,26 mg/L pada saat surut.

Gambar 5.4Kisaran DO Hasil Penelitian

Berdasarkan grafik tersebut di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa fluktuasi nilai oksigen dengan rentang waktu pagi dan siang hari tidak terlalu besar. Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh pergerakan massa air akibat pasang surut yang terus terjadi di daerah penelitian, proses respirasi dari organisme laut termasuk fitoplankton dan algae serta mangrove itu sendiri yang dilakukan melalui akar nafasnya. Proses fotosintesis yang dilakukan oleh mangrove juga dapat memberikan sumbangan oksigen untuk organisme lainnya sehingga dapat dikatakan tingginya oksigen pada wilayah perairan lokasi penelitian ini sebagai indikator bahwa perairan tersebut tidak tercemar dan dalam kondisi yang masih bersifat alami.

Berdasarkan standar baku mutu air laut bagi peruntukan biota laut Kep Men LH No 51 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut adalah >5. Suwondo et al., (2006) menambahkan bahwa organisme di pantai dapat hidup minimal dengan kondisi DO 4 ppm tergantung dari ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran bahan pencemar, dan suhu air. Oleh karena itu untuk seluruh titik yang merupakan ekosistem mangrove masih memenuhi syarat dan baik dalam kondisi pasang maupun surut. Dari hasil pengukuran kemudian akan dilihat pengaruh yang di timbulkan oleh keberadaan mangrove di lokasi penelitian. Untuk mengetahui pengaruh dari keberadaan mangrove dilakukan uji univariate, didapat hasil nilai Fhitung 0,225 dan nilai sig 0,99 oleh karena p > 0.05, maka terdapat interaksi yang signifikan antara keduanya. 5.1.3. Parameter Biologi Perairan 5.1.3.1. Plankton

Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia dan biologi. Sifat fisik yang penting antara lain adalah suhu dan salinitas, sifat kimia antara lain adalah kandungan oksigen terlarut dan nutrisi (P dan N). Sifat fisiko kimia itu sangat mendukung sifat biologi perairan seperti fotosintesis. Di perairan laut fotosintesis dilaksanakan oleh tumbuhan renik' yakni fitoplankton. Fitoplankton merupakan organisme nabati dari golongan plankton yang mempunyai klorofil (zat hijau daun) di dalam tubuhnya. Fitoplankton hanya terdiri dari alga yang mikroskopis. Alga sendiri hidup disamping hidup sebagai plankton, juga hidup sebagai bentos, peryphyton, dan neusten. Fitoplankton dapat membuat makanannya sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis Oleh karena itu fitoplankton disebut juga sebagai produsen primer. Dengan kemampuannya sebagai produsen primer fitoplankton sangat berperan dalam bidang perikanan.

Untuk mengetahui populasi plankton pada tambak penelitian, telah dilakukan pengambilan sampel pada 18 stasiun, dilakukan pada pagi dan sore hari. Sampel diambil dengan menggunakan plankton net deng mesh size 300 mikron. Hasil tabulasi mengenai jenis, jumlah plankton serta indeks keanekaragaman dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel

Jumlah jenis, kemelimpahan dan indeks keanekaragaman plankton di wilayah pesisirStasiunJumlah JenisJumlah IndividuIndeks Keanekaragaman (H)Indeks Perataan (e)Kategori Keanekaragaman

St 191402.670.960.43Rendah

St 2101576.001.110.50Sedang

St 39294.001.000.48Sedang

St 48.331094.671.200.58Sedang

St 511444.001.280.58Sedang

St 69259.001.230.62Sedang

St 78225.001.370.65Sedang

St 810288.330.870.39Rendah

St 96201.671.000.56Sedang

St 10102800.000.620.26Rendah

St 1171129.670.810.41Rendah

St 127863.000.900.55Rendah

St 1361785.670.490.26Rendah

St 146811.330.530.29Rendah

St 1551059.670.670.43Rendah

St 1691286.330.690.29Rendah

St 177630.330.750.37Rendah

St 186729.330.560.32Rendah

Keterangan:St 1 : RB 1

St 2 : RB 2

St 3 : RN1

St 4 : RN 2

St 5 : RNB 1

St 6 : RNB 2St 7 : KRN

St 8 : KRNB

St 9 : KRB

St 10 : AN 1St 11 : AN2St 12 : KANSt 13 : KAB

St 14 : KANB

St 15 : AB 1

St 16 : AB 2

St 17 : ANB 1

St 18 : ANB 2

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa nilai keanekaragaman tertinggi pada stasiun 7 sebesar 1,37 (kategori sedang) dengan jumlah individu 225 individu per liter. Kemudian di susul berturut turut stasiun 5 sebesar 1,28 (kategori sedang) dengan jumlah individu 444 individu per liter, stasiun 6 sebesar 1,23 (kategori sedang) dengan jumlah individu 259 individu per liter, stasiun 4 sebesar 1,20 (kategori sedang) dengan jumlah individu 1094,67 individu per liter, stasiun 2 sebesar 1,11 (kategori sedang) dengan jumlah individu 1576 individu per liter, stasiun 3 dan 9 sebesar 1 (kategori sedang) dengan jumlah individu 294 dan 201,67 individu per liter, stasiun 1 sebesar 0,96 (kategori rendah) dengan jumlah individu 1402,67 individu per liter, stasiun 12 sebesar 0,9 (kategori rendah) dengan jumlah individu 863 individu per liter, stasiun 8 sebesar 0,87 (kategori rendah) dengan jumlah individu 288,33 individu per liter, stasiun 11 sebesar 0,81 (kategori rendah) dengan jumlah individu 1129,67 individu per liter, stasiun 17 sebesar 0,75 (kategori rendah) dengan jumlah individu 630,33 individu per liter, dan yang terkecil adalah stasiun 13 sebesar 0,49 (kategori rendah) dengan jumlah individu 1785,67 individu per liter. Untuk jenis family dan genus dapat dilihat pada lampiran.Dari hasil identifikasi, diketahui bahwa kehadiran tertinggi dari genus Brachionus sp yang merupakan kelompok zooplankton. Hal ini diduga terjadi karena factor lingkungan yaitu suhu lingkungan yang mendukung pertumbuhan zooplankton tersebut. Menurut Fogg (1975) bahwa suhu berpengaruh langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan zooplankton dimana suhu yang optimal mendukung zooplankton adalah 20-25 oC. Kemelimpahan plankton juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi, kualitas perairan dengan demikian dapat diduga keberadaan mangrove sesuai dengan gunsi ekologisnya menyediakan nutrient yang melimpah, yang mendukung pertumbuhan dari plankton. Tingginya nutrient ini berasal dari dahan dan ranting mangrove yang masuk ke air yang kemudian terdekomposisi.5.1.4. Karakteristik Fisika Kimia Sedimen

Analisis terhadap sifat-sifat tanah dilakukan pada titik penelitian. Sifat-sifat tanah tersebut diharapkan dapat menjadi gambaran secara umum bagi lokasi penelitian dalam upaya diketahuinya kapasitas asimilasi ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Sifat-sifat tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi beberapa parameter, diantaranya : fraksi sedimen, N organik, dan P. Pengukuran tersebut selain digunakan untuk mengetahui kapasitas asimilasi ekosistem mangrove, juga digunakan untuk mengetahui karakteristik sedimen pada mangrove di lokasi penelitian. Penelitian terkait dengan fraksi sedimen pada seluruh lokasi penelitian dilakukan pada keseluruhan stasiun penelitian. Adapun hasil analisis fraksi sedimen disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil penelitian, fraksi sedimen di Lokasi penelitian adalah lumpur dengan kisaran (46,89 99,43)%, dan liat berkisar antara (0,57 - 51,66)%.

Tabel 5.1.Hasil Uji Laboratorium Sedimen Pada Saat Penelitian

KodeN (PPM)P (PPM)K (PPM)

A168,905396,1011,161

A268,390397,8011,201

A368,895398,0111,231

R167,655193,0317,596

R267,675191,1817,576

R367,593190,4517,507

K140,201231,3516,220

K239,570229,0816,257

K339,710228,7116,252

Secara umum substrat yang terdapat di lokasi penelitian berupa substrat lumpur. Tekstur sedimen sangat menentukan terhadap daya dukung penerimaan limbah yang masuk. Semakin kasar suatu tekstur, maka semakin besar pula kemampuannya dalam menerima laimbah. Sebaliknya semakin kecil ukuran suatu tekstur sedimen, maka semakin kecil pula daya dukung sedimen dalam menerima beban limbah. Kemampuan tersebut sangat terkait dengan kondisi oksidatif sedimen. kondisi oksidatif tersebut menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik, namun sebaliknya akan lebih bisa bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya.

Kandungan bahan organik dalam sedimen berbeda-beda berdasarkan jenis substrat yang menyusunnya. Substrat yang lebih halus memiliki kemampunya menyimpan bahan organik yang lebih baik dari pada substrat yang lebih kasar. Nilai rata-rata N-organik pada masing-masing titik penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing lokasi yang berbeda. Lokasi penelitian yang ditanami avvicenia memiliki konsentrasi N organik rata-rata sebanyak 68,73 ppm. Sedangkan lokasi yang ditanami rhizophora memiliki konsentrasi N organic sebesar 67,41 ppm. Sedangkan pada lokasi yang tidak ditanami mangrove memiliki konsentrasi N organik sebesar 39,82 ppm. Tingginya N organik pada keseluruhan stasiun secara umum berkorelasi positif dengan tingginya C organik. Selain itu diduga bahwa tingginya N total adalah disebabkan oleh perbedaaan fraksi sedimen dimana fraksi sedimen yang lebih halus lebih banyak memerangkap bahan organik dari pada sedimen yang berukuran lebih kasar. Wu et al., (2008) menyatakan bahwa sedimen merupakan media utama yang mampu memerangkap nitrogen. Zhang et al., (2010) menambahkan bahwa 97% TN dan 95% TP pada ekosistem mangrove diendapkan oleh sedimen.

Kadar Total P sangat tergantung pada bahan organik yang tersedia, semakin tinggi bahan organik yang tersedia, maka semakin banyak fosfat yang tersedia. Menurut Sanchez (1976) tingkat P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dam sifat-sifat tanah seperti : pH tanah, Kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik, dan aktivitas mikroorganisme tanah. Nilai rata-rata P-organik pada masing-masing titik penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing lokasi yang berbeda. Lokasi penelitian yang ditanami avvicenia memiliki konsentrasi P organik rata-rata sebanyak 397,3 ppm. Sedangkan lokasi yang ditanami rhizophora memiliki konsentrasi N organic sebesar 191,55 ppm. Sedangkan pada lokasi yang tidak ditanami mangrove memiliki konsentrasi N organik sebesar 229,71 ppm.

Sebaran pH sedimen berkisar antara 6,40 7,44. Adapun secara terperinci nilai pH pada lokasi yang ditanami avvicenia pada saat pasang berkisar antara 6,70 6,94 dan pada saat surut 6,62 6,90. Sedangkan pada lokasi rhizophora pada saat pasang nilai pH berkisar 6,40 6,85, dan berkisar antara 6,40 6,80 pada saat surut. Adapun stasiun yang tidak ditanami mangrove memiliki rata-rata nilai pH pada saat pasang surut 7,20 7,44 dan pada saat pasang 7,12 7,43. Secara umum stasiun yang menghadap ke laut memiliki nilai pH substrat yang tinggi. Sebaliknya stasiun yang berada pada pusat pencemaran memiliki nilai pH substrat yang rendah. Hal tersebut dikarenakan pada pusat pencemaran memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi. pH substrat memiliki nilai berbanding terbalik dengan kadar C organik (Notohadiprawiro, 1986).

Berdasarkan uji statistic yang dilakukan, ditemukan bahwa data berdistribusi normal dan homogeny. Sehingga dapat dilakukan uji untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh keberadaan mangrove terhadap kualitas sedimen.

NilaiMost Extreme Differences Absolutediatas merupakan nilaistatistik Dpadauji K-S (Kolmogorov-Smirnov), nilai D pada uji terhadap masing-masing variabel diatas adalah0,400, 0,336,dan0,329, artinya (p > 0,05), maka cukup bukti untukmenerima H0, dimana data terdistribusi secara normal. Nilai Zpada uji ini juga dapat dilihat dan paling sering digunakan sebagai indikator, dimana nilainya berturut-turut untuk Makassar dan NYBOT adalah0,112 ; 0,262 ;dan0,283. berartip>0,05, makaH0 dapat diterima bahwa data terdistribusi secara normal.

Dari table deskriptif, kandungan N rata-rata tertinggi dihasilkan dari jenis vegetasi Avicennia sebanyak 6875.086. Berdasarkan Uji Homogenitas Lavenne Test Terlihat sig = 0. 057 atau 0,06 atau 6% (pembulatan), oleh karena p > 0.05 atau 5%, maka Ho diterima. Artinya keenam kelompok mempunyai varian sama (homogen). Dengan menerima Ho, maka varian sama (homogen). Sedangkan pada tahap uji ANOVA dapat dilihat bahwa nilai signifikansinya sebesar 0,000. Nilai signifikansi atau p-value tersebut mengizinkan kita untuk menolak hipotesis nol pada tingkat signifikansi 5%. Artinya minimal ada satu di antara ketiga perlakuan itu yang memberikan pengaruh terhadap kandungan unsur N,P, dan/atau K.Sedangkan berdasarkan tahap uji terakhir post hoc (uji lanjutan) pada tabel LSD di atas, kita bisa melihat bahwa nilai signifikansinya sebesar 0,000. Nilai signifikansi atau p-value tersebut memperlihatkan bahwa kelompok yang menunjukan adanya perbedaan rata-rata kandungan unsure N,P, dan K (ditandai dengan tanda bintang "*") adalah kelompok avicennia, rhizopora, dan tanpa vegetasi.

5.1.5. Hubungan Mangrove dan Karakteristik Biofisik Lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik air dan sedimen sangat mempengaruhi distribusi jenis mangrove maupun makrozoobentos. Bagi kehidupan mangrove suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Suhu optimum mangrove adalah diatas 200C dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 50C (Saparinto, 2007). Pada lokasi penelitian suhu berkisar antara 26,470C 27,810C saat pasang dan surut 32,81 34,470C. Menurut Hutcings dan Saenger (1987) dalam temperature optimum bagi pertumbuhan daun Rhizophora stylosa, Avicennia spp., adalah berkisar antara 26-280C, Oleh karena itu suhu di keseluruhan lokasi penelitian berada pada kondisi baik bagi seluruh organisme akuatik maupun bagi kehidupan mangrove. Temperatur perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : musim, ketinggian dari permukaan laut, lintang, penutupan awan, sirkulasi udara, aliran, serta kedalaman suatu perairan (Effendi 2003). Selain itu suhu juga dipengaruhi oleh faktor antropogenik seperti limbah dan sebagainya.

Salinitas memiliki peran penting bagi pertumbuhan, daya adaptif, dan zonasi mangrove (Aksornkoae, 1993). Mangrove dapat tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas air payau (> 0,5) sampai dengan salinitas air laut 30 - 33. Salinitas yang tinggi (> 35) dapat berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif (Bengen, 2002). Pada keseluruhan lokasi penelitian didapatkan nilai salinitas berkisar antara 26,00 28,16 saat pasang dan 30,23 31,12 saat surut. Ini menunjukkan bahwa salah satu parameter kualitas lingkungan berupa salinitas berada pada kondisi yang optimum bagi pertumbuhan mangrove.

Kaitannya dengan oksigen terlarut (DO), mangrove dan biota yang berasosiasi dalam ekosistem mangrove sangat membutuhkan bagi proses respirasi dan fotosintesis (Aksornkoae, 1993). Namun demikian oksigen terlarut dapat diperoleh lebih dari bantuan hewan yang melobangi substrata tau dengan adaptasi perakaran. Pada lokasi penelitian didapat nilai oksigen terlarut berkisar antara 5,12 5,89 mg/L pada saat pasang dan antara 6,91 - 7,26 mg/L pada saat surut. Angka ini sangat mendukung bagi kehidupan mangrove dan biota yang berasosiasi dikarenakan masih dalam range yang diinginkan. Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa oksigen yang ada pada ekosistem mangrove berkisar antara 3,8 7,3 mg/L, sedangkan baku mutu bagi biota laut dalam Kep Men LH No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa oksigen terlarut harus lebih dari 5 mg/L.

5.1.6. Hubungan Mangrove Dan Kultivan dengan Hasil Budidaya

5.1.6.1. Laju Pertumbuhan Harian (SGR)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan bobot harian tertinggi ditemukan pada pemeliharaan bandeng dengan tegakan rhizophora sebesar 2,49 % dan yang terendah adalah pemeliharaan nila tanpa tegakan mangrove sebesar 1,74 %. Data mengenai laju pertumbuhan bobot harian pada tiap perlakuan selama penelitian selengkapnya tersaji pada grafik 9

Gambar 5.5

Laju Pertumbuhan Harian Kulitivan pada Tiap Perlakuan

Dari hasil penelitian dapat kita lihat keberadaan mangrove memberikan hasil yang lebih baik bagi pertumbuhan harian kultivan ujicoba. Hal ini diduga dikarenakan secara fungsional, terdapat fungsi pokok dari ekosistem mangrove,yaitu fungsi ekologis dimana fungsi ekosistem mangrove antara lain sebagai sumber bahan organik bagi perairan serta sumber makanan. Keberadaan mangrove menyuplai kebutuhan pakan alami akibat proses dekomposisi daun yang gugur. Selain itu keberadaan mangrove menyebabkan kualitas air di lokasi penelitian terjaga. Dengan adanya keberadaan mangrove suplai oksigen akan terus terjaga mengingat kegiatan respirasi akar nafas serta kegiatan fotosintesis yang secara terus-menerus dilakukan.

Terkait dengan perbedaan nilai pertumbuhan harian kultivan pada kedua jenis mangrove, dimana kultivan nila lebih rendah dari pada kultivan bandeng adalah akibat adanya fluktuasi salinitas yang cukup besar, dimana pada kultivan nila lebih rentang dibandingkan kultivan bandeng. Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan nila, sehingga ikan nila melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila salinitas semakin tinggi, ikan nila akan berupaya terus agar kondisi homeostasi dalam tubuhnya tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja osmotik tersebut memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Sehingga semakin tinggi salinitas sampai titik maksimum, pertumbuhan ikan nila menurun, karena budget energy yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan akan habis digunakan untuk penyeimbangan tekanan osmotik.

Selain factor jenis pakan antara ikan nila dan bandeng juga turut serta mempengaruhi tingkat pertumbuhan harian. Dimana seperti yang kita ketahui ikan bandeng memakan makanan yang berasal dari klekap yang notabene merupakan hasil dari dekomposisi dari serasah mangrove, sehingga secara nyata keberadaan mangrove akan menyediakan cadangan makanan lebih bagi ikan bandeng. Sedangkan pada ikan nila akan tergantung kepada pakan buatan yang diberikan.

5.1.6.2. Laju Pertumbuhan Mutlak (pertumbuhan biomassa)Selain tingkat kelangsungan hidup serta pertumbuhan harian, dilakukan juga penghitungan biomassa selama 120 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot mutlak tertinggi ditemukan pada kultivan bandeng, yaitu pemeliharaan pada tegakan rhizophora sebesar 1,69 gram dan yang terendah adalah kultivan kombinasi nila dan bandeng pada tegakan avvicenia sebesar 0,22 gram, Data pertambahan bobot mutlak pada pemeliharaan selama penelitian selengkapnya tersaji pada Grafik 6.

Gambar 5.6

Pertumbuhan Biomassa Kulitivan pada Tiap Perlakuan

Dari data diatas dapat dibuktikan bahwa keberadaan tegakan mangrove memberikan pertumbuhan biomassa yang lebih baik. Hal ini diduga. Hal ini diduga dikarenakan dari segi biologi dimana mangrove sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika; serta penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. Diduga jenis mangrove rhizopora memiliki karakteristik daun yang lebih mudah mengalami pelapukan, sehingga pada perlakuan dengan vegetasi rhizopora lebih tersedia banyak sumber makanan berupa serasah-serasah hasil pelapukan serta plankton. Hal ini pulalah yang menyebabkan kultivan bandeng mengalami pertumbuhan yang lebih baik pada tegakan rhizophora, dimana seperti yang telah diketahui bersama bandeng merupakan organism herbivore yang memakan serasah hasil pelapukan serta plankton.

Dari hasil penelitian juga terlihat bahwa tambak yang ditanami dengan mangrove jenis rhizophora memiliki nilai produksi kultivan yang lebih baik. Ini diduga pada tambak dengan tegakan ini lebih memberikan ketersediaan pakan yang baik. Diduga disebabkan karakteristik guguran daun dari rhizophora yang lebih mudah mengalami dekomposisi, sehingga meningkatkan kesuburan perairan dan meningkatkan cadangan pakan. Sehingga kebutuhan pakan akan selalu tersedia.

Pertumbuhan akan terjadi jika jumlah energi dari pakan yang dikonsumsi ikan lebih besar daripada yang dibutuhkan ikan untuk pemeliharaan tubuh harian. Pemanfaatan energi untuk pertumbuhan akan terjadi apabila energi untuk pemeliharaan, aktifitas fisik dan pengaturan suhu tubuh telah terpenuhi. Pertumbuhan ikan terjadi apabila ada perubahan dalam bobot tubuh ikan atau terdapat sejumlah hasil metabolisme yang disimpan dalam tubuh (anabolisme) (Nurbani, 1998).

Selain itu keberadaan mangrove menyebabkan kualitas air di lokasi penelitian terjaga. Dengan adanya keberadaan mangrove suplai oksigen akan terus terjaga mengingat kegiatan respirasi akar nafas serta kegiatan fotosintesis yang secara terus-menerus dilakukan. Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Effendie (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti genetik dan keadaan fisiologi (kesehatan dan kematangan gonad) dan oleh faktor eksternal yaitu lingkungan tempat ikan hidup, seperti sifat kimia air, kimia tanah, suhu air, sisa metabolisme, ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan. Kualitas air yang masih baik membuat kultivan pada masing-masing perlakuan tersebut dapat mengoptimalkan pakan untuk pertumbuhan bobotnya.

Dari hasil penelitian telah dilakukan tabulasi data pertumbuhan kultivan untuk masing-masing perlakuan dimana setelah dilakukan tabulasi kemudian dilanjutkan pada pengujian homogenitas dan normalitas data dengan pengujian menggunakan program minitab 14.

Hipotesis

H0 : Residual berdistribusi Normal

H1 : Residual tidak berdistribusi normal

Gambar 5.7

Hasil Pengujian Normalitas Data hasil Penelitian

Dengan kriteria uji Tolak H0 jika p value < berdasarkan pengujian diatas dapat dilihat bahwa P value (> 0.150) > (0.05), H0 diterima dengan kesimpulan pada taraf signifikansi 5%, nilai residual data berdistribusi normal. Setelah dilakukan uji normalitas data dilanjutkan kepada uji homogenitas varian dengan hipotesis:

H0 : Variansi Homogen

H1 : Variansi tidak homogen

Gambar 5.8

Hasil Pengujian Homogenitas Data hasil Penelitian

Dengan kriteria uji Tolak H0 jika p value < berdasarkan pengujian diatas dapat dilihat bahwa P value (> 0.150) > (0.05), H0 diterima dengan kesimpulan pada taraf signifikansi 5%, nilai residual data homogeny. Untuk mencapai tujuan dari penelitian dilakukan pengujian untuk melihat pengaruh jenis mangrove serta kultivan terhadap hasil produksi budidaya dengan hipotesis:1. H0 : Tidak ada pengaruh vegetasi terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

H1

: Ada pengaruh vegetasi terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

2. H0 : Tidak ada pengaruh kultivan terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

H1

: Ada pengaruh kultivan terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

3. H0 :Tidak ada pengaruh interaksi antara vegetasi dan kultivan terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

H1 :Ada pengaruh interaksi antara vegetasi dan kultivan terhadap pertumbuhan biomassa budidaya

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan iji factorial dan interaksi ditemukan P value vegetasi = 0.4967, P value kultivan = 0.5063 dan P value vegetasi*kultivan = 0.8432. Dengan kriteria uji : Tolak H0 jika P Value < alpha maka diambil keputusan pada taraf signifikansi 5%, ternyata dari variable vegetasi, kultivan, dan interaksi antara keduanya, tidak ada yang mempengaruhi secara dominan terhadap pertumbuhan biomassa hasil budidaya. Besar pengaruh dari ketiga variable sama, yakni sebesar 28.59%. Dari dua macam tegakan mangrove, yang memberikan pertumbuhan biomassa terbaik adalah rhizopora dengan kultivan bandeng.

5.1.6.3. Keterkaitan dengan Kelulushidupan (SR)

Selain melihat pengaruh jenis mangrove serta kultivan terhadap pertumbuhan, peneliti juga bermaksud untuk melihat pengaruh diatas terhadap kelulushidupan. Dimana berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan nilai kelulushidupan dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 5.2

Nilai SR Tiap Kultivan Selama Penelitian

NoPerlakuanKelulushidupan

1AN76.00%

2AB83.00%

3ANB80.00%

4RN17.00%

5RB65.00%

6RNB52.50%

Berdasarkan data pada Tabel 5.2 terlihat bahwa hasil pemeliharaan benih selama 4 bulan, kelulushidupan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah pada kultivan Bandeng pada avvicenia sebesar 83 %, dan yang terkecil kultivan nila (nila 1) pada rhizophora sebesar 16 %. Data tersebut telah mengalami pengujian dengan uji normalitas dan homogenitas. Berdasakan hasil pengujian yang telah dilakukan dan dapat diketahui bahwa data kelulushidupan benih tersebut menyebar normal, dan bersifat homogen, dan dengan pengujian tersebut maka data kelulushidupan benih telah memenuhi syarat untuk dianalisis. Analisa data kelulushidupan benih pada tiap tegakan mangrove tersaji pada Tabel 5.2

Gambar 5.9

Hasil Perhitungan SR saat Penelitian

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kultivan nila memiliki nilai kelullushidupan terendah. Terutama pada tambak dengan tegakan rhizophora. Diduga hal ini di karenakan faktor fluktuasi salinitas yang cukup tinggi, Ikan nila mengalami tekanan lingkungan dan tidak mampu bertoleransi dengan tingginya salinitas yang secara terus menerus kadarnya semakin meningkat mendekati nilai letal sehingga nila mati. Posisi tambak yang dekat dengan laut, serta system budidaya yang belum dilakukan secara intensif sehingga masuk keluarnya air laut kurang terkontrol.Tabel 5.3.

Hasil Analisis Terhadap Kelulushidupan

Berdasarkan data kelulushidupan benih selama penelitian dibuat histogram seperti tersaji pada Gambar 5.8.

Gambar 5.10

Histogram data kelulushidupan benih selama penelitian.

Tabel 5.4. Hasil Analisis

Setelah dilakukan pengujian terhadap homogenitas dan normalitas data, kemudian dilanjutkan dengan uji interaksi dengan program mini tab 14 dimana dapat dilihat bahwa nilai asymp sig. sebesar 0,065 yang lebih kecil dari 0,05, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Ha ditolak dan H0 diterima (H0 diterima jika Asymp sig lebih besar dari alpha 0,05), berarti tidak ada hubungan antara kegiatan budidaya dengan tegakan avicenia dengan rhizopora pada tiap kombinasi kultivan. Daftar Pustaka

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jambatan, Jakarta, 356 hal.Leung KMY, Chu JCW and Wu RSS. 1999. Effects of body weight, water temperature and ration size on ammonia excretion by the areolated grouper (Epinephelus areolatus) and mangrove snapper (Lutjanus argentimaculatus). Aquaculture 170:215227.Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta.Suwondo E, Febrita, F Sumanti. 2006. Struktur komunitas gastropoda pada hutan mangrove di Pulau Sipora kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. J.Biogen. 2(1): 25-29.Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht.Nybakken, James W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:PT. Gramedia.Peres H and Oliva-Teles A. 1999. Influence of Temperature on Protein Utilization in Juvenile European Seabass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture 170: 337348.Nybakken JW. 1992. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka.Dahuri R, J Rais, SP Ginting, Sitepu. 2008. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta. Pradya Paramita.Wu Y, A Chung, NFY Tam, N Pi, MH Wong. 2008. Constructed mangrove wetland as secondary treatment system for municipal wastewater. J.Ecoleng. 34:137146.Zhang JE, JL Liu, Y Ouyang, BW Liao, BL Zao . 2010. Removal of nutriens and heavy metals from wastewater with mangrove Sonneratia apetala Buch-Ham. J.Ecoleng. 36: 807812.Saparinto, Cahyo (2007) Pendayagunaan Ekosistem Mangrove, Semarang: Dahara PrizeTanaka Y and Kadowaki S. 1995. Kinetics of Nitrogen Excretion by Cultured Flounder (Paralichthys oliaceus). J. World Aquacult. Soc. 26, 188193.Forsberg JA and Summerfelt RC. 1992. Effect of Temperature on Diel Ammonia Excretion of Fingerling Walleye. Aquaculture 102, 115126.

Bocek, A., 1991. Water Quality Management And Aeration In Shrimp Farming. Water Harvesting Project of Auburn University, Auburn

Fogg, G.E.1958.Extracellular products of phytoplankton and the estimation of primary production. Rapp.P-V Reun. Cons.Int Ekplor. Mer 144:46-60

Sanchez, P.A., 1976. Properties and Management of Soils in the Tropics. Wiley, New York.Notohadiprawiro, T. 1986. Tanah Estuarin, Watak, Sifat, Kelakukuan Dan Kesuburannya. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM. YogyakartaBengen, Dietriech G, 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.Aksornkoae, S. (1993). Ecology and Management of Mangrove. IUCN. The World Conservation Union, Bangkok, Thailand. 176 pp.Welch, E.B. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge University Press, Cambridge, hlm.337