33
37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko. 4.1.1 Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. Stasiun Maroko (Stasiun 1) adalah salah satu pusat kegiatan budidaya perikanan KJA di waduk Saguling, yang menjadi pintu masuk air dari sungai Citarum ke Waduk Saguling. Perairan di stasiun ini masih terpengaruh langsung dengan sumber air dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran limbah industri. Berdasarkan hasil survey dan informasi dari penduduk sekitar lokasi ini, di stasiun Maroko ini masih banyak ikan patin yang hidup di alam maupun yang dibudidayakan di Karamba Jaring Apung (KJA). Selain itu di sekitar KJA tumbuh subur tanaman eceng gondok dan terdapat sampah domestik (Gambar 7). Banyaknya tanaman eceng gondok yang tumbuh di perairan Maroko ini dapat merupakan indikasi bahwa perairan di stasiun Maroko telah mengalami penyuburan (eutrofikasi) karena limbah bahan organik. Gambar 7. Stasiun Maroko.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian di ...media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110090076_4_2992.pdf · III menurut PP No.82 tahun 2001, yaitu untuk kegiatan perikanan

  • Upload
    vanthuy

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko.

4.1.1 Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan.

Stasiun Maroko (Stasiun 1) adalah salah satu pusat kegiatan budidaya

perikanan KJA di waduk Saguling, yang menjadi pintu masuk air dari sungai

Citarum ke Waduk Saguling. Perairan di stasiun ini masih terpengaruh langsung

dengan sumber air dari Sungai Citarum yang telah mengalami pencemaran limbah

industri. Berdasarkan hasil survey dan informasi dari penduduk sekitar lokasi ini, di

stasiun Maroko ini masih banyak ikan patin yang hidup di alam maupun yang

dibudidayakan di Karamba Jaring Apung (KJA). Selain itu di sekitar KJA tumbuh

subur tanaman eceng gondok dan terdapat sampah domestik (Gambar 7). Banyaknya

tanaman eceng gondok yang tumbuh di perairan Maroko ini dapat merupakan

indikasi bahwa perairan di stasiun Maroko telah mengalami penyuburan (eutrofikasi)

karena limbah bahan organik.

Gambar 7. Stasiun Maroko.

38

Ikan patin hasil tangkapan dari stasiun Maroko ini memiliki karakteristik

morfologis yang berbeda dibandingkan ikan patin dari kolam budidaya Cijengkol

Subang. Karakteristik ikan patin dari Maroko memiliki warna putih-perak (silver) di

bagian pectoral dan warna hitam sangat mengkilat pada bagian dorsal dan sirip

berwarna kehitaman, berbeda dengan ikan pembanding yang memiliki sirip merah

(Gambar 8.).

Gambar 8. Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko

Selain warna yang berbeda, ikan patin Maroko memiliki kadar lendir yang

banyak serta lebih cepat mati walaupun diberi pasokan oksigen yang cukup. Hal ini

menunjukkan bahwa ikan-ikan yang hidup di perairan Maroko berada dalam kondisi

stress karena perairannya telah mengalami pencemaran baik limbah industri maupun

limbah domestik. Karena ikan ini hidup di perairan yang telah mengalami

pencemaran maka kondisi fisik ikan kurang baik dan menyebabkan cepat mati. Hal

ini sesuai pernyataan Parsons (1994), tingginya tekanan lingkungan menyebabkan

ikan stress dan perubahan habitat menyebabkan perubahan morfologi ikan.

Ikan patin hasil tangkapan di stasiun Maroko memiliki tubuh yang ramping

dengan bobot lebih besar berkisar antara 200-500 g dengan panjang total berkisar

antara 25-41 cm. Hal ini dikarenakan mobilitas atau pergerakannya luas

dibandingkan dengan ikan yang dibudidaya dalam kolam (Lampiran 11).

39

4.1.2 Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Maroko.

Kualitas air perairan Maroko masih tergolong baik, hal ini di tunjukkan

dengan rata-rata suhu perairan masih sebesar 21,95oC, yang masih dalam batas

toleransi bagi kelangsungan hidup organisme air. pH perairan Maroko rata-rata 7,5,

dan oksigen terlarut 3,8 mg/L, masih sesuai dengan baku mutu air kelas II dan kelas

III menurut PP No.82 tahun 2001, yaitu untuk kegiatan perikanan.

Hasil analisis AAS terhadap sampel air dari Maroko, kandungan logam berat

Pb dan Cd pada perairan Maroko tidak terdeteksi. Kondisi ini dikarenakan pada saat

pengambilan sampel air, tinggi permukaan perairan Waduk Saguling meningkat

akibat intensitas curah hujan yang tinggi sehingga terjadi pengenceran kandungan

logam berat pada air atau konsentrasi logam berat Pb dan Cd lebih kecil dari nilai

ketelitian alat AAS yang digunakan (Lampiran 12).

4.1.3 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada organ Ikan Patin di Stasiun

Maroko

Menurut Darmono (1995), kebanyakan logam berat secara biologis terkumpul

dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai

racun kumulatif. Apabila logam berat tersebut masuk ke dalam tubuh ikan patin dan

terakumulasi dan organ-organ tertentu, diantaranya insang, hati dan daging akan

menyebabkan terganggunya fungsi organ tersebut dan akan berbahaya apabila di

konsumsi oleh manusia dalam jumlah besar.

Hasil pengukuran kadar logam berat Pb pada insang, hati dan daging ikan

patin yang berukuran 25-41 cm telah melebihi ambang batas, sedangkan kandungan

Cd pada ukuran 25 cm masih di bawah baku mutu SNI 7387:2009 (Tabel 6).

40

Tabel 6. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd Pada Insang, Hati dan Daging

Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko.

Organ Ukuran

(cm)

Kandungan Logam Berat (ppm)

Pb Cd

Insang

25

32

41

20,34

0,84

120,00

0,01

5,01

10,56

Hati

25

32

41

22,42

2,01

120,00

0,01

5,26

11,13

Daging

25

32

41

21,61

6,74

130,00

0,01

5,43

11,24

Baku Mutu SNI 0,30 0,10

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan

Cd, tertinggi dalam organ insang (120 ppm dan 10,56 ppm), hati (120 ppm dan

11,13 ppm), dan daging (130 ppm dan 11,24 ppm) ikan patin hasil tangkapan di

stasiun Maroko, terdapat pada ikan berukuran 41 cm, dibandingkan ikan patin

berukuran 25 cm dan 32 cm. Tingginya kandungan logam berat pada ikan ukuran 41

cm diduga karena ikan tersebut telah lama hidup dan berinteraksi dengan perairan

yang tercemar logam berat, sehingga mengakibatkan ikan patin tersebut

mengakumulasi logam berat lebih banyak. Sanusi (1980) dalam Budiono (2003),

bahwa terjadinya proses akumulasi logam berat di dalam tubuh hewan air terjadi

karena pengambilan logam berat (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat

dibandingkan dengan proses ekskresi. Besarnya kandungan logam berat dipengaruhi

oleh spesies dan jenis kelamin, selain itu dipengaruhi oleh faktor fisika kimia air

meliputi suhu air, pH, dan salinitas. Waktu kontak organisme dengan air juga

mempengaruhi akumulasi logam berat pada ikan dan hewan lainnya (Moretti et al.

1990 dalam McDowell 1992).

Tingginya kandungan logam berat pada ikan patin ini dimungkinkan karena

ikan patin merupakan ikan karnivor yang memakan invertebrata bentik, udang renik

(crustacea), insekta, moluska, rotifera, ikan kecil dan daun-daunan sehingga terjadi

41

proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Ini sesuai dengan pernyataan Newman

(1991), apabila logam berat yang terkandung di dalam perairan rendah maka yang

akan sangat berperan di dalam proses pengambilan (up-take) logam berat tersebut

adalah melalui rantai makanan.

Bila dibandingkan antara kandungan logam berat Cd dengan Pb dalam ikan

patin, memperlihatkan bahwa kandungan logam berat Cd pada organ patin jauh lebih

rendah di bandingkan logam berat Pb. Kondisi ini diduga karena logam berat Pb

lebih banyak digunakan oleh industri-industri di sekitar Waduk Saguling. Menurut

Lu (1985), timbal (Pb) banyak digunakan dalam industri misalnya sebagai zat

tambahan bahan bakar, pigmen timbal dalam cat, tinta, pestisida, fungisida dan juga

sering digunakan pada industri plastik, sebagai bahan stabilizer (Darmono 1995).

4.1.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Maroko

Pengamatan histopatologi digunakan sebagai parameter untuk mengetahui

perubahan yang terjadi akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan. Tingginya

kandungan logam berat dalam organ ikan patin akan mempengaruhi struktur jaringan

sel pada organ insang, hati dan daging.

Hasil pengamatan visual organ ikan patin didapatkan pada organ insang

terdapat nodul putih, lamela terpisah dan terdapat warna kehitaman pada lamela

insang, Pada Hati terlihat adanya nodul putih, bercak- bercak kuning dan hitam,

sedangkan pada tekstur daging terlihat normal. perubahan fenotip dari organ-organ

tersebut dimungkinkan karena kandungan bahan pencemar dalam organ (Gambar 9).

42

Gambar 9. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Maroko

Hasil pengamatan histopatologi ikan patin ukuran 25 - 42 cm terlihat adanya

kerusakan pada insang berupa Melano Makrofag Center, edema, hiperplasia dan

kongesti, sedangkan kerusakan pada hati berupa Melano Mekrofag Center dan

nekrosis (Tabel 7).

Pada organ insang dan hati ikan patin telah mengalami kerusakan namun

tidak terlihat adanya kerusakan pada jaringan daging. Hasil pengamatan histopatologi

insang ikan patin, pada ikan patin ukuran 41 cm mengalami kerusakan tingkat sedang

yang ditandai dengan terjadinya kongesti pada insang. sedangkan pada ukuran 25 cm

dan 32 cm hanya terjadi kerusakan tingkat ringan karena hanya terdapat MMC,

edema dan hiperplasia seperti pada Gambar 10.

43

Tabel 7. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin

Hasil Tangkapan di Stasiun Maroko.

Organ Ukuran Histopatologi

Kerusakan Tingkat Kerusakan

Insang

25

32

41

MMC,E, Hp

E, Hp

Hp, K

*

*

**

Hati

25

32

41

MMC MMC

MMC, N

*

*

***

Daging

25

32

41

Normal Normal Normal

-

-

- Keterangan : * Kerusakan Ringan, ** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat

MMC = Melano Makrofag Center, E = Edema, Hp = Hiperplasia,

K = Kongesti, N = Nekrosis

Tinginya logam berat yang terkandung pada ikan patin ukuran 41 cm sejalan

dengan tingkat kerusakan yang terjadi pada jaringan tersebut, hal ini dimungkinkan

karena jaringan atau sel insang tidak mampu lagi untuk beregenerasi sehingga

jaringan tersebut akan rusak. Darmono (2001) dan Lu (1995) menyatakan, logam

berat yang terakumulasi dalam insang ikan dapat mensubstitusi ko-faktor logam

enzim seng (Zn) carbonik anhidrase yang berperan penting dalam menghidrolisis

CO2. Hal tersebut memungkinkan terganggunya enzim tersebut sehingga

menyebabkan metabolisme terganggu dan mengakibatkan kerusakan jaringan.

Menurut Agius and Robert (1981) dalam Ersa (2008), Melano makrofag

center (MMC) adalah kumpulan makrofag, yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan

ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan

limfoid yang diakibatan oleh peradangan. Pada organisme, melanin memiliki peran

dalam perlindungan melawan invasi parasit pada jaringan dan juga pertahanan

melawan mekanisme yang berpotensi menimbulkan bahaya pada organisme, selama

pengaktifan sistem pertahanan dalam tubuh (Ersa 2008).

44

Gambar 10. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Maroko.

Edema merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya penggumpalan

cairan yang berlebihan dalam ruangan interstitis termasuk rongga tubuh, peningkatan

masuknya air dari ekstraseluler ke dalam sel akibat terganggunya aktivitas pompa

Na+K. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan toksik kimia, virus,

bakteri dan penyakit parasitik. Kerusakan mekanis atau penyakit dapat

mempengaruhi ikan terhadap infeksi lebih lanjut karena edematos menyediakan

suatu medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Hibiya and Fumio 1995 dalam

Ersa 2008).

Hiperplasia merupakan penambahan jumlah sel dalam suatu organ sehingga

organ tubuh membesar. Hal tersebut merupakan adaptasi sel untuk melindungi

jaringan yang berada di bawahnya dari bahan toksik (Meissner dan

Diamandopoulous 1977).

Kongesti dapat ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah

yang sangat padat dalam pembuluh darah. Kongesti menunjukkan kondisi tidak

normal pada insang ikan yang disebabkan oleh adanya trauma fisik, parasit atau

gangguan sistem peredaran darahnya. Terhambatnya aliran darah ini diduga terjadi

akibat edema di sekitar pembuluh darah (Susanto 2008 dalam Wikiandy 2013)

45

Berbeda dengan kerusakan pada organ insang yang mencapai tingkat

kerusakan kongesti sedangkan pada organ hati ikan patin kerusakan telah mencapai

tingkat yang lebih tinggi yaitu nekrosis atau kematian sel. Kerusakan berat berupa

nekrosis terjadi pada ikan patin ukuran 41 cm (Gambar 11). Terjadinya nekrosis pada

hati ikan patin ukuran 41 cm diduga akibat bahan pencemar yang masuk kedalam

tubuh telah melampaui batas optimum yang dapat di detoksifikasi oleh sel hati

sehingga sel yang rusak tidak dapat lagi beregenerasi dan akhirnya mengalami

kematian atau nekrosis.

Gambar 11. Histopatologi Hati ikan Patin di Stasiun Maroko

Kematian sel adalah suatu proses dimana sel-sel kehilangan integritasnya

sebagai salah satu unit fungsional, pada keadaan ini akan terjadi suatu titik yang

menunjukan bahwa kerusakan pada sel tidak akan dapat kembali menjadi seperti

sediakala dan akan mengalami nekrosis (Prioseoryanto). Granner (2003)

menyatakan, akumulasi logam berat dalam sel jaringan hati ikan akan menyebabkan

hepatofisiologis, sehingga apabila zat kimia toksik dan virus masuk ke dalam

jaringan akan menyebabkan kerusakan berupa nekrosis, lisis dan hipertrofi (Trump et

al.1975).

46

4.2 Hasil Penelitian di Stasiun-2 Ciminyak.

4.2.1 Kondisi Stasiun Ciminyak dan Ikan Patin Hasil Tangkapan.

Stasiun Ciminyak (Stasiun 2) merupakan daerah sentral Karamba Jaring

Apung (KJA) di Waduk Saguling, berdasarkan hasil survey dan informasi dari

masyarakat di sekitar stasiun ini, pada stasiun Ciminyak masih didapatkan ikan patin

yang hidup bebas di perairan tersebut. Selain sebagai pusat KJA pada stasiun

Ciminyak juga digunakan masyarakat untuk menambang pasir di pinggir Waduk,

sehingga memungkinkan terjadinya erosi. Pencemaran sisa pakan buatan akibat

aktivitas budidaya di KJA di perairan Ciminyak akan menyebabkan sedimentasi dan

eutrofikasi, hal ini terlihat dari banyaknya eceng gondok yang tumbuh di sekitar KJA

dan pinggiran perairan (Gambar 12).

Gambar 12. Perairan Ciminyak.

Ikan patin hasil tangkapan dari stasiun Ciminyak ini memiliki karakteristik

morfologis yang berbeda dibandingkan ikan patin dari kolam budidaya Cijengkol

Subang. Karakteristik ikan patin dari Ciminyak memiliki warna putih-perak (silver)

di bagian pectoral dan warna lebih hitam pada bagian dorsal serta sirip berwarna

kehitaman, berbeda dengan ikan pembanding yang memiliki sirip merah

(Gambar 13).

Selain warna yang berbeda, kadar lendir ikan patin Ciminyak tidak sebanyak

pada ikan patin Maroko, namun pada sirip-siripnya terdapat kerusakan hal ini diduga

47

akibat proses pengangkutan tertutup menggunakan plastik yang mengakibatkan

ruang gerak ikan patin tersebut kecil.

Ikan patin Ciminyak memiliki bentuk tubuh yang ramping berbeda dengan

ikan budidaya. Panjang total tubuh ikan patin hasil tangkapan alam perairan

Ciminyak yaitu berkisar 25-40 cm dengan bobot tubuh berkisar 150-350 g

(Lampiran 11.).

Gambar 13. Ikan Patin Hasil Tangkapan Alam Stasiun Ciminyak.

4.2.2 Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Ciminyak.

Hasil pengukuran kualitas air Perairan Ciminyak, perairan ini memiliki

kualitas air yang cukup baik karena rata-rata suhu 22.55oC yang masih

memungkinkan aktifitas perikanan dapat berjalan. Rata-rata pH pada perairan

Ciminyak pun masih memenuhi prasyarat dari PP No.82 tahun 2001 yaitu 7, serta

memiliki rata-rata oksigen terlarut pada perairan sebesar 3.25 mg/L dan kandungan

logam berat Pb dan Cd pada air tidak terdeteksi yang dikarenakan adanya

pengenceran logam berat yang terkandung dalam air (Lampiran 12).

Darmono (1995) mengatakan kandungan logam dalam air dapat berubah

bergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan, kandungan logam akan

lebih kecil karena proses pelarutan sedangkan pada musim kemarau kandungan

logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi.

48

4.2.3 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada organ Ikan Patin di Stasiun

Ciminyak

Hasil pengukuran logam berat pada organ ikan patin didapatkan kandungan

logam berat Pb telah melebihi ambang batas, sedangkan kandungan logam berat Cd

pada ikan patin ukuran 25 masih di bawah baku mutu SNI (Tabel 8).

Tabel 8. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Insang, Hati dan Daging

Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Ciminyak.

Organ Ukuran

(cm)

Kandungan Logam Berat (ppm)

Pb Cd

Insang

25

35

40

22,35

0,01

120,00

0,01

5,30

10,35

Hati

25

35

40

20,55

1,45

130,00

0,01

5,65

11,82

Daging

25

35

40

19,19

3,02

120,00

0,01

5,16

11,10

Baku Mutu SNI 0,30 0,10

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan

Cd, tertinggi dalam organ insang (120 ppm dan 10,35 ppm), hati (130 ppm dan

11,82 ppm), dan daging (120 ppm dan 11,10 ppm) ikan patin hasil tangkapan di

stasiun Ciminyak terdapat pada ikan berukuran 40 cm, dibandingkan ikan patin

berukuran 25 cm dan 35 cm. Menurut Darmono (1995), Faktor yang mempengaruhi

daya toksisitas logam dalam air terhadap makhluk hidup adalah kondisi biota, fase

siklus hidupnya, besar ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan

nutrisi.

Tingginya kandungan logam berat pada hati ikan patin ini dimungkinkan

karena, hati merupakan organ yang menampung zat-zat yang masuk ke dalam tubuh

dan kemudian di detoksifikasikan sebagian masuk ke dalam kantung ampedu dan

sebagian lainnya masuk ke dalam ginjal untuk di ekskresikan. Hal ini sesuai dengan

Sesuai dengan pernyataan Heath (1987), apabila di dalam tubuh ikan sudah terlalu

49

banyak konsentrasi logam berat, namun laju metabolisme untuk mengekskresikan

zat-zat sisa tidak sebanding dengan besarnya laju akumulasi substansi toksik, maka

zat-zat tersebut akan ditampung terlebih dahulu di dalam organ hati untuk

selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh. Selain itu Soemirat (2003) menyatakan,

insang, hati dan ginjal memiliki enzim sitokrom P450 yang berfungsi ganda sebagai

pendegradasi logam berat, logam berat yang tidak dapat didegradasi akan diserap dan

diakumulasi oleh organ tubuh biota.

4.2.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Ciminyak

Hasil pengamatan visual pada sampel organ ikan patin di stasiun Ciminyak

didapatkan perubahan pada insang terdapat nodul putih, lamela terpisah dan terdapat

bercak kehitaman pada lamela insang. Perubahan yang terjadi pada organ hati yaitu

terdapatnya nodul putih, terdapat bercak kekuningan dan kehitaman sebagai respon

hati terhadap lingkungan sedangkan pada daging tidak terjadi perubahan

(Gambar 14).

Gambar 14. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Ciminyak

50

Hasil pengamatan histopatologi ikan patin hasil tangkapan di stasiun

Ciminyak didapatkan telah terjadi kerusakan pada organ insang dan hati namun pada

organ insang tidak adanya perubahan yang terjadi pada jaringan tersebut. Kerusakan

pada organ insang, hati dan daging. Kerusakan pada insang berupa edema,

hiperplasia, kongesti dan fusi lamela sedangkan kerusakan pada hati berupa MMC

(Tabel 9).

Tabel 9. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin

Hasil Tangkapan di Stasiun Ciminyak.

Organ Ukuran

(cm)

Histopatologi

Kerusakan Tingkat Kerusakan

Insang

25

35

40

E, Hp, K, Fl

Hp, Fl

TT

***

***

-

Hati

25

35

40

MMC

MMC TT

*

*

-

Daging

25

35

40

Normal

Normal Normal

-

-

- Keterangan : * Kerusakan Ringan, ** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat

MMC = Melano Makrofag Center, E = Edema, Hp = Hiperplasia,

K = Kongesti, Fl = Fusi Lamela TT = Tidak Teramati

Pada tabel diatas terlihat kerusakan jaringan insang ikan patin ukuran 25 cm

dan 35 cm mengalami kerusakan tingkat berat, yaitu telah terdapatnya kerusakan

berupa fusi lamela. Fusi lamela ini ditandai dengan hilangnya lamela sekunder pada

insang, hal ini dimungkinkan karena logam berat yang masuk ke dalam organ cukup

besar namun organ dapat mengeluarkan logam berat tersebut bersama dengan sisa

metabolisme lain, yang menyebabkan kerusakan terjadi cukup parah namun

kandungan logam berat yang terkandung dalam jumlah sedikit. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Darmono dan Arifin (1989) dalam Kusumahadi (1998), dibandingkan

dengan organ tubuh ikan yang lain, logam berat yang terakumulasi dalam insang

lebih sedikit, karena logam berat yang terabsorbsi dan terakumulasi di insang

51

mengalami proses metabolisme dan akan dieksresikan dari tubuh bersama-sama

metabolit yang lain (Gambar 15).

Gambar 15. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Ciminyak.

Menurut Prioseoryanto, Fusi lamela merupakan kerusakan tahap lanjut yang

cukup parah, terjadinya fusi lamela dapat menyebabkan berkurangnya luas

permukaan insang akibat masuknya zat toksik ke dalam jaringan sehingga dapat

mengganggu respirasi pada insang dan menyebabkan penurunan pertukaran gas.

Pada insang ikan patin ukuran 40 cm tidak terlihat adanya kerusakan hal ini

dikarenakan jaringan yang terpotong terlalu tipis sehingga jaringan tidak dapat

teramati.

Berbeda halnya dengan kerusakan insang yang mencapai kerusakan berat

berua fusi lamela, tingkat kerusakan pada hati ikan patin ukuran 25 dan 35 cm masih

tergolong ringan, karena hanya terdapat MMC sedangkan pada ukuran 40 jaringan

tidak dapat teramati. Hal ini diduga bahwa telah terjadi pencemaran namun hati

masih dapat mendetoksifikasi zat toksik tersebut, sehingga terdapat pigmen pigmen

berwarna kuning kecoklatan sebagai hasil detoksifikasi dari sel hati tersebut (Gambar

16).

52

Gambar 16. Histopatologi Hati Ikan Patin di Stasiun Ciminyak

4.3 Hasil Penelitian di Stasiun-3 Pintu Air Waduk Saguling.

4.3.1 Kondisi Stasiun Pintu Air Waduk Saguling dan Ikan Patin Hasil

Tangkapan.

Stasiun pintu air Waduk Saguling (Stasiun 3) merupakan stasiun yang berada

di akhir rangkaian bendungan Saguling yang akan mengalirkan airnya kembali ke

Sungai Citarum. Dari hasil survey dan informasi dari masyarakat di sekitar lokasi.

Pada stasiun Ciminyak masih terdapat banyak pembudidaya di KJA sehingga

eutrofikasi masih terjadi, hal ini terlihat dari eceng gondok yang berada di stasiun

pintu air Waduk Saguling tidak sebanyak pada stasiun Maroko dan Ciminyak. Selain

pada perairan ini masih banyak ikan patin yang hidup liar (Gambar 17.).

53

Gambar 17. Pintu Air Waduk Saguling.

Ikan patin hasil tangkapan dari perairan pintu air Waduk Saguling memiliki

warna putih-perak (silver) pada bagian pectoral dan warna hitam pada bagian dorsal

berbeda halnya dengan ikan kontrol yang memiliki warna pucat. Ikan patin pada

perairan ini memiliki kemampuan bertahan hidup lebih lama di bandingkan ikan

pada stasiun lain, karena sampel ikan patin di stasiun ini diambil lebih dahulu dan

lebih lama berada di dalam plastik packing. Hal ini diduga pada stasiun ini tingkat

pencemaran di perairan tidak sebesar pada stasiun lain sehingga tingkat stress masih

rendah. (Gambar 18).

Gambar 18. Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Saguling.

Ikan patin hasil tangkapan alam di perairan pintu air Waduk Saguling

memiliki bobot yang kecil dibandingkan ikan pembanding dan pada stasiun lainnya,

yaitu berkisar 100-300 g dengan panjang total berkisar 24-40 cm, hal ini diduga

karena pakan alami yang tersedia lebih sedikit, dibandingkan dengan stasiun lainnya

54

serta jumlah KJA pada stasiun ini lebih sedikit yang dimungkinkan eutrofikasi yang

terjadi lebih rendah (Lampiran 11.).

4.3.2 Kualitas Air dan Logam Berat Pb dan Cd pada Air di Stasiun Pintu Air

Waduk Saguling.

Analisis Kualitas Air pada perairan pintu air Waduk Saguling didapatkan

bahwa kandungan logam berat Pb dan Cd pada air tidak terdeteksi hal ini

dikarenakan pada saat pengambilan sampel cuaca hujan dan tinggi permukaan

perairan naik. Selain itu Pb dan Cd merupakan logam berat yang mudah

tersedimentasi karena memiliki nomor atom yang tinggi dan dapat terikat dengan

bahan organik sehingga kandungan Pb dan Cd pada sedimen dimungkinkan lebih

tinggi dibandingkan pada permukaan.

Rata-rata suhu perairan 23.2oC, pH 7.05 dan DO beerkisar 3.05 mg/L nilai

tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh PP No.82 tahun 2001 untuk

baku mutu air kelas II dan III (Lampiran 12.).

4.3.3 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Organ Ikan Patin di Stasiun

Pintu Air Waduk Saguling.

Berdasarkan hasil pengamatan logam berat, didapatkan kandungan logam

berat Pb dan Cd dalam Organ insang, hati dan daging ikan patin hasil tangkapan di

stasiun pintu air Waduk Saguling secara keseluruhan memiliki nilai diatas baku mutu

SNI, kandungan Cd terendah terdapat pada ikan patin hasil tangkapan dengan ukuran

24 cm (Tabel 10).

55

Tabel 10. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Insang, Hati dan Daging

Ikan Patin Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling.

Organ Ukuran

(cm)

Logam Berat (ppm)

Pb Cd

Insang

24

30

40

18,72

1,44

80,00

0,01

5,18

7,21

Hati

24

30

40

58,27

1,74

160,00

0,01

5,65

13,99

Daging

24

30

40

19,08

2,27

120,00

0,01

5,60

10,78

Baku Mutu SNI 0,30 0,10

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb dan

Cd, tertinggi dalam organ insang (80 ppm dan 7,21 ppm), hati (160 ppm dan

13,99 ppm), dan daging (120 ppm dan 10,78 ppm) ikan patin hasil tangkapan di

stasiun pintu air Waduk Sagulng terdapat pada ikan berukuran 40 cm, dibandingkan

ikan patin berukuran 24 cm dan 30 cm. Hal ini diduga pertambahan panjang tubuh

menandakan umur ikan patin tersebut sehingga akumulasi logam berat tersebut lebih

besar. Darmono (1995) menyatakan, jumlah logam berat yang terakumulasi pada

tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi ikan.

Tingginya logam pada organ hati ikan patin ukuran 40 cm diduga karena sifat

organ hati itu sendiri yang cenderung untuk mengakumulasikan semua hasil filtrasi

substansi asing yang berasal dari darah (Banks 1986), sedangkan rendahnya

akumulasi pada organ insang dikarenakan insang dapat mengeluarkan logam berat

bersama dengan sisa metabolisme, selain itu insang merupakan organ pertama yang

berhubungan dengan perairan secara langsung sehingga insang lebih sering tercuci

air. Soemirat (2003) menyatakan, bahwa insang membatasi masuknya logam berat ke

dalam biota dengan cara membatasi pernafasan dan difusi oksigen (O2) serta perfusi.

pembatasan masuknya air ke dalam filament insang dalam sel epitel dan lamela

menyebabkan penyerapan logam berat terhambat (Lee et al. 1999).

56

4.3.4 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk

Saguling

Hasil pengamatan secara visual didapatkan perubahan kenampakan pada

insang dan hati. Perubahan pada insang ditandai dengan adanya nodul putih, lamela

terpisah dan terdapat bercak kehitaman pada lamela insang. Hati mengalami

perubahan berupa adanya nodul putih dan warna kekuningan sedangkan pada daging

tekstur normal (Gambar 19).

Gambar 19. Sampel Organ Ikan Patin di Stasiun Pintu air Waduk Saguling

Hasil pengamatan histopatologi ikan patin hasil tangkapan di stasiun pintu air

Waduk Saguling didapatkan telah terjadi kerusakan pada organ insang dan hati.

Kerusakan pada organ insang berupa MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan fusi

lamela sedangkan pada hati kerusakan berupa MMC, degenerasi dan degenerasi

lemak (Tabel 11).

57

Tabel 11. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin

Hasil Tangkapan di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling.

Organ Ukuran Histopatologi

Kerusakan Tingkat Kerusakan

Insang

24

30

40

E, Hp, Fl

Hp, K, Fl

MMC,Hp

***

***

*

Hati

24

30

40

MMC, DgL MMC

MMC, Dg

*

*

*

Daging

24

30

40

Normal Normal Normal

-

-

- Keterangan : * Kerusakan Ringan, ** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat

MMC = Melano Makrofag Center, E = Edema, Hp = Hiperplasia,

K = Kongesti, Fl = Fusi Lamela Dg = Degenerasi

DgL = Degenerasi Lemak

Pada insang ikan patin ukuran 24 dan 30 cm kerusakan yang terjadi

merupakan tingkat kerusakan berat, ditandai telah terjadinya fusi lamela. Berbeda

dengan tingkat kerusakan yang terjadi pada ukuran 40 cm. Hal ini dimungkinkan

terjadi akibat logam berat yang masuk ke jaringan insang ukuran 24 dan 30 cm lebih

banyak namun dapat dikeluarkan kembali oleh jaringan insang sehingga kandungan

logam berat tersebut rendah dibandingkan dengan ukuran 40 cm (Gambar 20).

Gambar 20. Histopatologi Insang Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling

58

Berbeda dengan kerusakan pada organ hati ikan patin ukuran 24-40 cm yang

mengalami tingkat kerusakan ringan, hal ini karena jaringan atau sel-sel hati masih

dapat mendetoksifikasi zat-zat racun dan masih dapat beregenerasi, hal ini terlihat

pada ukuran 24 dan 40 cm telah terjadi degenerasi. Darmono (1995) menyatakan,

tingkat kerusakan dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan

hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel

(Gambar 21).

Gambar 21. Histopatologi Hati Ikan Patin di Stasiun Pintu Air Waduk Saguling

Degenerasi merupakan reaksi peradangan yang terjadi bila kerusakan sel

tidak segera mematikan, perubahan bisa pulih kembali setelah sumber kerusakan

dilenyapkan (reversible) yang dapat disebabkan oleh luka-luka karena trauma,

radiasi, kuman, bakteri, zat-zat kimia maupun racun (Nabib dan Pasaribu 1989).

Degenerasi lemak merupakan kerusakan sel yang lebih parah setelah sebelumnya

terjadi degenerasi granular (sel-sel membengkak sedangkan sitoplasmanya berbutir-

butir halus), pada degenerasi lemak sitoplasma penuh dengan vakuol-vakuol

(Prioseoryanto).

59

4.4 Hasil Penelitian di Stasiun-4 Kolam Budidaya Cijengkol Subang

4.4.1 Kondisi Kolam Budidaya dan Ikan Patin Hasil Budidaya

Kolam budidaya ikan patin Cijengkol Subang merupakan stasiun pembanding

dari tiga stasiun yang berada di Waduk Saguling. Kolam budidaya ini di bagi

menjadi beberapa kolam yaitu kolam induk, pendederan dan pembesaran yang

mendapatkan pasokan air dari Waduk Jatiluhur. Ikan patin dipelihara dalam kolam

pembesaran permanen dengan konstruksi kolam beton. Pembesaran (fattening)

dilakukan dengan pemberian pakan buatan secara periodik (Gambar 22).

Gambar 22. Kolam Budidaya Cijengkol Subang

Sampel ikan patin diambil dari kolam budidaya menggunakan jaring (serok).

Hasil pengamatan terhadap morfologi ikan patin, memperlihatkan ikan patin hasil

budidaya Cijengkol Subang ini memiliki warna tubuh yang dominan pucat dengan

warna sirip ventral, anal dan caudal berwarna lebih merah.

Ikan patin ini memiliki bentuk tubuh membulat dan ukurannya lebih besar

dibandingkan dengan ikan hasil tangkapan di waduk Saguling (Gambar 23). Ikan

patin sampel dari kolam budidaya ini berukuran antara 20-40 cm dengan bobot tubuh

antara100-600 g (Lampiran 11). Sampel ikan patin yang diambil dari kolam budidaya

ini terlihat banyak goresan pada tubuhnya dan kerusakan pada sirip caudal. Kondisi

ini diduga akibat bergesekan dengan ikan lain, saat berada di kolam budidaya

60

maupun saat proses transportasi tertutup menggunakan plastik, karena ruang yang

terbatas.

Gambar 23. Ikan Hasil Budidaya.

4.2.2 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Organ Ikan Patin di Stasiun

Kolam Budidaya

Hasil pengukuran logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) yang

menggunakan alat Atomic Absorbtion Spectometry (AAS) pada organ insang, hati

serta daging, dan pengamatan histopatologi disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Konsentrasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)

pada Insang, Hati dan Daging Ikan Patin Hasil Budidaya.

Organ Ukuran

(cm)

Logam Berat (ppm)

Pb Cd

Insang

20

33

40

24,88

19,20

19,83

0,01

0,01

0,01

Hati

20

33

40

25,89

18,81

19,94

0,01

0,01

0,01

Daging

20

33

40

34,17

17,60

20,69

0,01

0,01

0,01

Baku Mutu SNI 0,30 0,10

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kandungan logam berat Pb,

tertinggi dalam organ insang (24,88 ppm), hati (25,89 ppm), dan daging (34,17 ppm)

61

ikan patin hasil tangkapan di stasiun kolam budidaya terdapat pada ikan berukuran

20 cm, dibandingkan ikan patin berukuran 33 cm dan 40 cm. Hal ini diduga daya

tahan terhadap lingkungan masih rentan sehingga kandungan logam berat Pb

terakumulasi lebih tinggi. Sesuai dengan pendapat Lu (1995), ikan muda 1,5-10 kali

lebih rentan terpapar logam berat dibandingkan ikan dewasa, karena defesiensi

berbagai enzim detoksifikasi, selain itu organ filtrasi dan ekskresi ginjal belum

berfungsi secara optimum. Sedangkan kandungan logam berat Cd pada tiap ukuran

dan organ hanya terdeteksi sebesar 0,01 ppm yang kadarnya masih dibawah SNI

7387 : 2009.

4.4.3 Kondisi Histopatologi Organ Ikan Patin di Stasiun Kolam Budidaya

Hasil pengamatan secara visual didapatkan perubahan kenampakan pada

insang dan hati. Perubahan yang terjadi pada insang ditandai dengan adanya nodul

putih, lamela terpisah, terdapat bercak kekuningan dan kehitaman. Perubahan

kenampakan pada hati ditandai dengan adanya bercak kekuningan dan kehitaman

pada organ tersebut, sedangkan daging memiliki tekstur normal.

Gambar 24. Sampel Organ Ikan Patin Hasil Budidaya.

62

Hasil pengamatan histopatologi organ ikan patin didapatkan kerusakan pada

organ insang dan hati sedangkan pada daging tidak terlihat adanya kerusakan.

Kerusakan yang terdapat pada insang berupa MMC, edema, hiperplasia dan kongesti,

sedangkan kerusakan hati yaitu MMC, dan nekrosis. Hal ini karena insang dan hati

merupakan organ yang berfungsi sebagai organ detoksifikasi logam berat yang

masuk ke dalam tubuh dari perairan (Tabel 13).

Tabel 13. Kondisi Histopatologi Insang, Hati dan Daging Ikan Patin

Hasil Budidaya.

Organ Ukuran Histopatologi

Kerusakan Tingkat Kerusakan

Insang

20

33

40

E, K

Hp, K

MMC, Hp

**

**

*

Hati

20

33

40

MMC, N

MMC MMC, N

***

*

***

Daging

20

33

40

Normal

Normal Normal

-

-

- Keterangan : * Kerusakan Ringan, ** Kerusakan Sedang, *** Kerusakan Berat

MMC = Melano Makrofag Center, E = Edema, Hp = Hiperplasia,

K = Kongesti, N = Nekrosis

Pada organ insang tingkat kerusakan sedang terdapat pada ukuran 20 dan 33

cm yang ditandai dengan adanya kongesti pada insang. Hal tersebut diduga akibat

logam berat yang berada dalam kolam budidaya diserap oleh insang cukup tinggi

(Gambar 25).

63

Gambar 25. Histopatologi Insang Ikan Patin Budidaya

Tingkat kerusakan pada hati terberat terdapat pada ikan patin ukuran 20 cm

dan 40 cm yang ditandai dengan adanya nekrosis pada sel hati. Kerusakan tersebut

sesuai dengan kandungan logam berat dalam hati. Karena pada ukuran 20 cm dan 40

cm mengakumulasi logam berat paling besar di bandingkan dengan ukuran 33 cm

(Gambar 25). Chayen dan Bitensky (1973) dalam Harteman (2011) menyatakan,

bahwa logam berat yang terkandung dalam sel jaringan hati terjadi akibat pengikatan

gugus sulfur dan nitrogen sangat kuat. Sehingga Logam berat yang terakumulasi

dalam hati menghambat kegiatan enzim dan sistem imun (Orbea et al. 1999)

64

Gambar 26. Histopatologi Hati Ikan Patin Budidaya

4.5 Kandungan Logam Berat Dalam Daging Dan Histopatologi Daging Ikan

Patin (Pangasius sp).

4.5.1 Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb).

Akumulasi logam berat pada organ daging ikan patin menunjukkan hasil yang

berbeda-beda pada setiap perairan dan ukurannya. Hasil analisis menggunakan alat

AAS didapatkan bahwa kandungan logam berat Pb dalam daging ikan patin dari

setiap stasiun telah melebihi ambang batas baku mutu SNI (Gambar 27).

Ikan patin ukuran 20-35 cm kandungan logam berat Pb pada daging tertinggi

berada di stasiun Cijengkol Subang (pembanding) sebesar 34,17 dan 17,6 ppm serta

terendah di stasiun pintu air Waduk Saguling yaitu sebesar 19,08 dan 2,27 ppm. Hal

ini dikarenakan pada stasiun pembanding pada proses budidaya menggunakan

sumber air dari Waduk Jatiluhur yang merupakan satu rangkaian bendungan kaskade

dari sungai citarum sehingga kandungan logam berat yang terdapat pada ikan patin

hasil budidaya ini cukup tinggi. Selain itu pada ikan yang dibudidayakan di

Cijengkol Subang menggunakan pakan buatan yang diduga mengandung logam

berat. Hal ini sesuai dengan penelitian Perum Jasa Tirta II (2007) pada pengambilan

sampel pakan ikan pertama kandungan logam berat Zn merupakan kandungan

65

terbesar yang diikuti oleh Cu, dan Pb sedangkan pengambilan sampel kedua

kandungan Cu terbesar kemudian Zn dan diikuti pb, yang mana diduga kandungan

logam berat ini bersumber dari tepung ikan yang mengandung logam berat ataupun

bahan lainnya.

Menurut Heath (1987), daging secara umum merupakan organ yang paling

tinggi menyerap logam berat, hal ini disebabkan produksi lendir terutama pada kulit

akan memberi efek berupa pencegahan terabsorbsinya logam berat untuk masuk ke

dalam tubuh melalui kulit, namun dikarenakan lendir memiliki kerapatan massa jenis

yang tinggi sehingga sukar untuk terjadinya pertukaran zat baik dari lingkungan ke

dalam tubuh maupun sebaliknya, sehingga keberadaan lendir justru akan membuat

logam berat menempel pada lendir yang lengket dan terakumulasi, oleh karena itu

kandungan logam berat di dalam daging cukup tinggi.

Gambar 27. Kandungan Logam Berat Pb pada Daging Ikan Patin.

Ukuran ikan 40-41 cm mengakumulasi logam berat Pb paling tinggi

dibandingkan ukuran 20-35, diduga karena ikan patin ukuran 40-41 cukup lama

hidup di perairan yang tercemar. Pada stasiun Maroko kandungan logam berat Pb

yang terakumulasi didalam daging mencapai 130 ppm dan terendah berada pada

stasiun pembanding yaitu ikan yang dibudidayakan, diduga karena pada stasiun

Maroko merupakan wilayah perikanan pertama yang secara langsung masih

34.1717.6 20.6921.61

6.74

130

19.193.02

120

19.082.27

120

0

20

40

60

80

100

120

140

20-25 30-35 40-41

Kan

du

nga

n P

b (

pp

m)

Ukuran Ikan Patin

Pembanding Maroko Ciminyak Pintu Air

66

terpengaruh dari buangan limbah industri di sekitar perairan, maupun beban

pencemaran yang masuk dari sungan Citarum, selain itu aktivitas KJA yaitu pakan

ikan yang diduga tercemar oleh logam berat pun menambah pencemaran pada

perairan tersebut.

4.5.2 Akumulasi Logam Berat Kadmium (Cd).

Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya

karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembulu darah. Logam berat Cd biasa

digunakan sebagai bahan dalam pembuatan baterai, pigmen, pelapis logam dan

plastik di perairan, Cd akan mengendap karena senyawa sulfurnya yang sukar larut

(Bryan 1976).

Pada Gambar 28 menunjukkan bahwa kandungan Cd pada organ daging ikan

hasil tangkapan alam pada setiap perairan mengalami peningkatan seiring

pertambahan panjang ikan, hal ini sesuai dengan pernyataan Palar (2004) bahwa di

dalam tubuh ikan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami

peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di perairan.

Gambar 28. Kandungan Logam Berat Cd pada Daging Ikan Patin.

Logam yang masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang maupun melalui

makanan akan dicerna di dalam saluran pencernaan untuk selanjutnya akan

0.01 0.01 0.010.01

5.43

11.24

0.01

5.16

11.1

0.01

5.6

10.78

0

2

4

6

8

10

12

20-25 30-35 40-41

Kan

du

nga

n C

d (

pp

m)

Ukuran Ikan Patin

Pembanding Maroko Ciminyak Pintu Air

67

didistribusikan dan masuk ke dalam daging di seluruh bagian tubuh ikan, namun

logam berat tidak akan ikut terkonversi menjadi daging. Hal tersebut dikarenakan

unsur dalam nutrisi yang mengalami metabolisme tubuh adalah unsur C (karbon), H

(hidrogen), O (oksigen) dan N (nitrogen). Logam berat akan banyak diakumulasikan

dalam usus, kulit dan bagian ekor ikan (Diniah 1995).

Kandungan Logam berat Cd pada daging ikan patin tidak lebih besar

dibandingkan pada hati, namun daging ikan patin merupakan bahan makanan yang

lebih sering di konsumsi oleh manusia dibandingkan dengan jeroan. Ikan patin

ukuran 40-41 cm mengakumulasi logam berat Cd lebih tinggi di bandingkan pada

ukuran 20-35. Pada ukuran 40-41 cm kandungan tertinggi berada pada stasiun

Maroko dan terendah berada pada stasiun pembanding, hal ini karena pada stasiun

Maroko terdapat industri-industri yang membuang limbahnya langsung ke dalam

badan air sehingga akumulasi pada daging cukup tinggi. Sedangkan pada ukuran 30-

35 konsentrasi logam berat Cd tertinggi pada stasiun pintu air Waduk Saguling dan

terendah pada stasiun pembanding. Ikan Patin ukuran 20-25 cm pada daging hanya

mengakumulasi 0.01 ppm logam berat Cd pada tiap stasiunnya.

Harterman (2011) menyatakan, kulit dan saluran pencernaan biota berperan

penting dalam mengakumulasi logam berat dalam air dan makanan. Logam berat

yang larut dalam air diserap oleh dinding saluran pencernaan dan kulit, selanjutnya

pindah ke biota melalui rantai makanan sehingga logam berat akan terserap dalam

daging dan berikatan dengan lemak.

4.5.3 Histopatologi Daging Ikan Patin.

Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam sel organ tubuh ikan patin

(Pangasius sp.) mengikat logam berat secara kovalen. Semua jaringan organ tubuh

biota mengandung gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfhidril, imadazol, sulfat,

sulfonat yang mengikat Cd serta Pb yang terkandung dalam air dan makanan (Pine et

al. 1988). Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung dalam jaringan organ tubuh

ikan termasuk unsur yang sangat reaktif dengan Hg, Cd dan Pb (Cowan 1993).

Kondisi demikian menyebabkan jaringan organ terpapar Cd dan Pb

68

Mangkoedihardjo dan Samudro 2009). Menurut Manahan (2003), Cd sangat reaktif

dan akumulatif dengan gugus sulfur, sedangkan Pb sangat reaktif dengan gugus

nitrogen (Cowan 1993). Paparan logam berat dalam organ tubuh ikan dapat bersifat

antagonis dan sinergis yang akan berpengaruh terhadap jaringan organ tubuh ikan.

Efek kerusakan dari suatu substansi yang toksik karena adanya pencemaran

dapat dilihat pertama kali dari analisa tingkat sel atau jaringan sebelum terlihat pada

perubahan tingkah laku maupun penampakan dari luarnya.

Gambar 29. Histopatologi Daging Ikan Patin.

69

Hasil pengamatan histopatologi pada organ daging yang tergambar pada

Gambar 29 tidak terjadi kerusakan walaupun kandungan logam berat dalam daging

tinggi, hal ini diduga pada saat proses penyayatan jaringan menggunakan ukuran

pemotongan pada mikrotom sebesar 0,7 µm sehingga hasil yang didapatkan terlalu

tebal dan tidak dapat teramati secara jelas sel-sel dalam daging tersebut.

Penelitian Harteman (2011) menunjukan, bahwa tidak adanya kerusakan pada

otot, kecuali sel darah di dalam pembuluh, jaringan ikat disekitar pembuluh darah.

Hal ini mengindikasi bahwa logam berat Cd dan Pb yang terikat secara kovalen

dengan gugus sulfur dan nitrogen pada sel jaringan ikat, jaringan bagian bawah kulit

dan jaringan disekitar pembuluh darah tidak merusak jaringan sel otot. Kondisi

kondisi demikian mengindikasikan bahwa jaringan otot ikan jauh lebih baik

dibandingkan jaringan organ hati dan insang.