Upload
nguyenthuan
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Kota Cirebon
Kota Cirebon terletak di pantai utara Jawa Barat bagian timur, secara
geogarafis berada pada koordinat 06º42‟ LS dan 108º33‟ BT, bentang alamnya
merupakan dataran pantai dengan ketinggian dari permukaan laut 0-5 meter,
memanjang dari barat ke timur sepanjang 7 Km dan dari utara ke selatan
sepanjang 11 Km.
Luas wilayah administrasi Kota Cirebon 37,35 km2 dengan batas-batas :
Sebelah Utara : Sungai Kedung Pane
Sebelah Barat : Sungai Banjir Kanal (Kab. Cirebon)
Sebelah Selatan : Sungai Kalijaga
Sebelah Timur : Laut Jawa
Kota Cirebon terbagi dalam 5 kecamatan dan 22 kelurahan dengan luas
wilayah kecamatan sebagai berikut :
1. Kecamatan Kejaksan : 3,616 Km2 terbagi 4 Kelurahan
2. Kecamatan Lemakwungkuk : 6,507 Km2 terbagi 4 Kelurahan
3. Kecamatan Pekalipan : 1,561 Km2 terbagi 4 Kelurahan
4. Kecamatan Kesambi : 8,059 Km2terbagi 5 Kelurahan
5. Kecamatan Harjamukti : 17,615 Km2 terbagi 5 Kelurahan
Lokasi Kota Cirebon terletak di wilayah pantai, mempunyai panjang pantai
kurang lebih 7 Km. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana daerah
dapat mengelola wilayah lautnya sampai 4 mil, menjadikan Kota Cirebon
memiliki luas wilayah perairan laut kurang lebih 51,86 Km2 atau 58,13% dari
total luas wilayah daratan dan lautan.
Kecamatan yang berada di daerah pantai adalah Kecamatan Kejaksan dan
Kecamatan Lemahwungkuk. Posisi Kota Cirebon terletak pada lokasi yang sangat
23
strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Kota (Metropolitan) Cirebon sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN),
Pusat Pengembangan Wilayah Kawasan Andalan Ciayumajakuning (Kota
Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) memiliki
daerah sekitar (hinterland) baik Jawa Barat bagian Timur maupun Jawa Tengah
bagian Barat (Kabupaten Brebes, Tegal dan Slawi), yang berpotensi secara
geografis dan topografis. Pada daerah hinterland tersebut terdapat sentra-sentra
industri perikanan yang cukup dapat diandalkan dalam penyediaan bahan baku
industri pengolahan dan perkembangan perdagangan dan jasa di Kota Cirebon
(Bappeda Kota Cirebon, 2003).
Wilayah Kota Cirebon merupakan dataran rendah dengan ciri-ciri perkotaan
sebagai Kota Industri, Kota Perdagangan, Kota Budaya, dan Kota Pariwisata.
Bidang Perikanan yang banyak diusahakan adalah kegiatan penangkapan ikan di
laut. Kegiatan perikanan lainnya seperti budidaya ikan air payau, budidaya ikan
air tawar, budidaya ikan air hias, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan
(Alpuri 2011).
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan dan Pertanian
Kota Cirebon tahun 2011, Kota Cirebon memiliki panjang pantai ± 7 Km, dengan
batas laut kewenangan pengelolaan adalah sejauh 4 mil laut atau 58,13 %
sehingga luas wilayah perairan laut Kota Cirebon adalah 51,86 Km². Sampai
dengan bulan Desember 2010 tercatat jumlah nelayan 1.586 orang yang terdiri
dari 224 nelayan pemilik kapal dan 1.362 nelayan buruh termasuk didalamnya
beberapa nelayan pendatang. Adapun konsentrasi nelayan terbagi menjadi untuk
kapal besar (kapal motor) berukuran > 10 GT berpangkalan di Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Kejawanan dan untuk kapal motor temple berukuran
< 5 GT berpangkalan di PPI Kesenden, PPI Pesisir dan PPI Cangkol (Dinas
Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian dalam Alpuri 2011).
24
4.1.1 Kondisi Umum PPI Cangkol
Kelurahan Lemahwungkuk memiliki luas wilayahnya sekitar 52 hektar,
dengan jumlah penduduk total sebanyak 8.482 orang yang terdiri dari jenis
kelamin laki-laki sebanyak 4.216 orang dan perempuan 4.266 orang serta jumlah
kepala keluarga sebanyak 2.145 KK. Wilayah Kampung Cangkol berada di
Kelurahan Lemahwungkuk Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Kampung
Cangkol disebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Panjunan, selatan dengan
Kelurahan Kesepuhan, timur dengan Laut Jawa dan di sebelah barat dengan
Kelurahan Pekalipan. Jarak Kampung Cangkol ke Ibu Kota Kecamatan adalah 3
km. Pendaratan Ikan (PPI) Cangkol berada pada koordinat 060 43‟ 20,8” LS -
1080 34‟ 35,1 “ BT.
Fasilitas penangkapan di PPI Cangkol adalah TPI yang dibangun pada tahun
2008 dengan luas areal 912 m2, yang diperuntukkan bagi bangunan TPI adalah
175,20 m2. Fasilitas lainnya adalah tambat labuh kapal/perahu nelayan di dengan
panjang kurang lebih 200 m. Pada lokasi PPI telah dilengkapi pula tempat
perbaikan kapal. Fungsi dan kondisi PPI di Kampung Cangkol sama seperti
Kampung Kesenden dan Pesisir, belum tergali secara maksimal dan masih
dipengaruhi sistem ijon oleh tengkulak (Supriadi 2012).
Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Cangkol adalah salah satu dari sekian
banyak PPI yang ada di Kota Cirebon. PPI Cangkol memiliki 30 armada kapal
yang berukuran 1 – 5 GT dengan jumlah ABK 1-3 orang. Jumlah nelayan di
Kampung Cangkol berkisar ± 100 nelayan termasuk pemilik kapal dan rumpon,
pemilik kapal dan ABK namun jumlah ini disesuaikan dengan musim, terutama
untuk ABK. Anak Buah Kapal yang ada di PPI Cangkol jika memasuki musim
panen/musimnya bagus bisa mencapai 100, namun hal ini berbanding terbalik
ketika musim paceklik tiba. Hal ini menyebabkan kondisi kurangnya ABK di PPI
Cangkol. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Cangkol adalah pancing ulur
(hand line). Pancing ulur sudah digunakan sejak dahulu oleh nelayan cangkol,
selain lebih selektif yang bisa mendukung menjaga kestabilan ekosistem juga
25
nelayan di Cangkol menyadari kualitas yang lebih baik dan terjaga ketika mereka
menangkap dengan pancing ulur dan lebih tinggi harga jualnya ketika ikan itu
masih segar. Menurut penuturan salah satu anggota kelompok nelayan, Slamet
Alpuri, semenjak banyak digencarkan tentang penggunaan rumpon dapat
meningkatkan hasil tangkapan nelayan, maka pada tahun 2002 masyarakat
nelayan PPI Cangkol ramai menggunaka rumpon yang terbuat dari berbagai
macam bahan konstruksi salah satunya dengan menggunakan bahan dari bambu
dan daun kelapa sebagai atraktor.
4.2 Karakteristik Responden
Analisis data ini bertujuan untuk mengetahui keadaan dan latar belakang
responden berdasarkan variabel yang diukur untuk perhitungan regresi. Adapun
hal yang dijelaskan dalam variabel tersebut adalah usia, pendidikan, jumlah
rumpon, pengalaman, ukuran kapal dan status nelayan. Data responden adalah
identitas responden yang dipandang sesuai dengan masalah yang diteliti. Berikut
ini adalah karakteristik responden dari hasil penelitian yang telah diolah.
4.2.1 Umur
Umur merupakan salah satu variabel yang dimasukkan ke dalam
perhitungan regresi. Penentuan umur sebagai salah satu variabel adalah umur di
anggap penting karena bisa menentukan produktivitas seseorang. Menurut
Jokopitoyo (2007) menyatakan bahwa usia 15-55 tahun merupakan golongan usia
produktif.
Dari data kusioner menunjukkan bahwa nelayan di PPI Cangkol termasuk
ke dalam usia produktif, terlihat dari sebaran umur yang didapatkan. Untuk lebih
jelas tentang sebaran umur responden di PPI Cangkol dijelaskan pada diagram
dibawah ini:
26
Gambar 6. Diagram Sebaran Umur Responden
Dari diagram diatas (Gambar.6) menunjukkan bahwa sebaran umur yang
paling banyak adalah dari umur 31 – 40 tahun sebesar 40% sebanyak 12 orang.
Dilanjutkan dengan sebaran umur 41-50 tahun terbanyak kedua sebesar 37%
sebanyak 11 orang, lalu sebaran umur 51 – 60 tahun sebanyak 6 orang dengan
besarnya pesentasi 20% dan terakhir sebaran umur 21 – 30 tahun dengan
frekuensi 1 orang sebesar 3%.
Menurut diagram diatas, secara keseluruhan umur responden berada dalam
kategori umur produktif, karena berada pada kisaran umur 15-55 tahun. Dalam
jumlah responden tersebut hanya ada 1 orang responden yang umurnya lebih dari
55 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden berada pada
usia produktif.
4.2.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
meningkatkan kualitas hidup seseorang. Salah satu hal terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan salah
satu modal dasar manusia yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan
3%
40%
37%
20%
Diagram Sebaran Umur Responden
21 - 30
31 - 40
41 - 50
51 - 60
27
ekonomi yang berkelanjutan. Sektor pendidikan memainkan peran utama untuk
membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi
modern dan mengembangkan kapasitas produksi agar tercipta pertumbuhan serta
pembangunan yang berkelanjutan (Todaro 2006).
Gambar 7. Diagram Sebaran Pendidikan
Persentasi tingkat pendidikan responden yang digambarkan oleh diagram
(Gambar 7) diatas menunjukkan bahwa sebesar 67% pendidikan terakhir
responden adalah tingkat Sekolah Dasar dan ini merupakan tingkat persentasi
terbesar dengan jumlah 20 orang responden. Pada unrutan kedua sebesar 20%
dengan jumlah 6 orang responden menempuh tingkat pendidikan rerakhir di
jenjang Sekolah Menengah Pertama. Selanjutnya, pada urutan ketiga yaitu
responden sebanyak 2 orang dengan jumlah persentasi sebesar 7% yang
menempuh Sekolah Menengah Atas dan yang terakhir sebanyak 6% tidak pernah
mengenyam pendidikan.
4.2.3 Pengalaman
Pengalaman adalah hasil persentuhan dengan panca indra manusia yang
berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi
6%
67%
20%
7%
Diagram Sebaran Pendidikan Responden
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
28
tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan (Dani 2008). Dari hasil
penelitian lama waktu pengalaman setiap responden berbeda. Adapun persentasi
pengalaman responden dapat terlihat pada diagram dibawah ini :
Gambar 8. Diagram Sebaran Pengalaman
Persentasi tingkat pengalaman yang digambarkan oleh diagram di atas
(Gambar 8) menunjukkan bahwa lama pengalaman 21 – 30 tahun berada pada
urutan pertama dengan jumlah persentase 36% dengan jumlah responden
sebanyak 11 orang. Sedangkan dengan lama pengalaman <10 tahun, 11 – 20
tahun dan 41 – 50 tahun memiliki persentasi yang sama sebesar 7% dengan
jumlah responden sebanyak 0 orang pada masing-masing sebaran tahun
pengalaman. Dan jumlah persentasi terkecil ada pada lama pengalaman 31 – 40
tahun dengan jumlah persentase sebesar 13%.
4.2.4 Jumlah Rumpon
Jumlah rumpon yang dimiliki oleh setiap nelayan pemilik rumpon berbeda-
beda, baik dari jenis bahan dasarnya maupun jumlahnya. Jumlah terendah yang
dimiliki oleh nelayan pemilik kapal yaitu 16 buah yang terbuat dari bahan bambu.
Sedangkan untuk pemilik rumpon dengan jumlah tertinggi dengan jumlah 160
terdiri dari bambu dan kubus (beton).
17%
17%
36%
13%
17%
Diagram Pengalaman
<10 tahun
11 - 20 tahun
21 - 30 tahun
31 - 40 tahun
41 - 50 tahun
29
4.2.5 Ukuran Kapal
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan, disebutkan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan
alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/ atau
mengawetkannya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 05 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan tangkap disebutkan bahwa alat
penangkapan ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang
dipergunakan untuk menangkap ikan.
Gambar 9. Diagram Ukuran Kapal
Pada diagram diatas (Gambar 9) menunjukkan bahwa sebesar 70%
responden menggunakan kapal berukuran 3 GT dengan jumlah responden
sebanyak 21 orang. Sedangkan sebesar 30% menggunakan kapal berukuran 5 GT
dengan jumlah responden sebesar 9 orang. Penggunaan kapal ini tanpa
membedakan status nelayan, baik pemilik kapal dan rumpon, pemilik kapal saja
maupun ABK.
70%
30%
Diagram Ukuran Kapal
3 GT
5 GT
30
Hingga kini pengusaha perikanan tangkap di indonesia dikuasai oleh
perikanan skala kecil. Sebanyak 94,44% usaha perikanan menggunakan perahu
tanpa motor dan perahu motor tempel dan kapal dengan mesin dalam sampai 5
GT dan hanya mampu beroperasi pada perairan pantai (Supriadi 2012).
4.2.6 Status Nelayan
Dalam penelitian ini status nelayan dibedakan menjadi tiga, yaitu nelayan
pemilik kapal dan rumpon, nelayan pemilik kapal dan nelayan buruh (ABK).
Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 responden dan masing-masing status
diambil 10 responden.
Nelayan pemilik kapal dan alat tangkapnya disebut juga nelayan juragan
dan sebagian lagi sebagai nelayan pekerja atau biasa disebut pandega. Nelayan
pemilik kapal sebagian ada juga yang ikut aktif menangkap ikan di laut, sebagian
lagi tidak ikut. Keterlibatan mereka dalam operasi penangkapan ikan akan
mempengaruhi penerimaan dari hasil penangkapan ikan. Biasanya penerimaan
tiap-tiap nelayan berbeda menurut peranannya (status) yang didasarkan pada
ketrampilan mereka dalam operasi penangkapan ikan dan diatur dengan sistem
bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya (Supriadi 2012).
4.3 Analisis Model Ekonometrika
Model regresi linear telah diuji secara statistik dengan menggunakan alat uji
SSPS 20 dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengujian model statistik tersebut
meliputi : uji tingkat kebaikan model (R square atau R2), Uji pengaruh parameter
secara serentak (uji F), uji parameter secara individu (uji T), uji asumsi
normalitas, uji asumsi autokorelasi, uji asumsi multikolinearitas, dan uji asumsi
heteroskedastisitas.
4.3.1 Uji Tingkat Kebaikan (R2)
Koefesien determinasi (R2) dapat dilihat dari hasil uji regresi dari Model
Summary, dimana diperoleh hasil sebesar 0,776, hal ini berarti variabel-variabel
XI. X2, X3, X4, X5 dan D yang digunakan dalam model dapat menjelaskan
31
bahwa 77,6% dari pendapatan nelayan dapat dijelaskan dari keenam variabel yang
ada pada model regresi linear berganda tersebut, sedangkan sisanya 22,4%
dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak disebutkan dalam model.
4.3.2 Uji F
Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji
untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-
sama terhadap variabel terikatnya. Uji F pada model regresi linear dapat dilihat
pada tabel ANOVAa
(terlampir). Dari hasil uji tersebut diperoleh nilai F ratio
sebesar 13,268. Karena signifikansi jauh lebih kecil dari 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa koefesien regresi tidak sama dengan nol, atau keenam
variabel bebas secara simultan berpengaruh terhadap produktivitas biaya
(Setyorini 2009) dan Ftabel sebesar 3,81. Variabel model diatas bisa memperoleh
nilai Fhitung sebesar 13,268 dan Ftabel sebesar 3,81 artinya bahwa Fhitung lebih besar
daripada Ftabel maka Hi diterima.
Artinya bahwa dalam model tersebut secara keseluruhan variabel baik
sehingga nilai Fhitungnya bisa lebih besar dari Ftabel. Jadi keseluruhan variabel
tersebut berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.
4.3.3 Uji T
Uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji bagaimana pengaruh
masing-masing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri terhadap variabel
terikatnya. Berikut dijelaskan pada tabel (tabel 3) dibawah ini :
Tabel 3. Tabel hasil thitung
Variable thitung ttabel
X1 -1,595
X2 0,791
X3 1,268 2,402
X4 5,685*
X5 0,175
D 0,349
32
Hasil dari uji t pada regresi linear dapat dilihat pada tabel Coefficientsa
(lampiran 7), pada tabel tersebut menunjukan bahwa nilai t pada tiap variabel
yaitu nilai t pada variabel X1 adalah -1,595, nilai t pada variabel X2 adalah 0,791,
nilai t pada variabel X3 adalah 1,268, nilai t pada variabel X4 adalah 5,685, nilai t
pada variabel X5 adalah 0,175, dan nilai t pada variabel D adalah 0,349. Nilai dari
tiap variabel tersebut menunjukan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap
pendapatan adalah jumlah rumpon (X4) karena nilai t hitung pada variabel
tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 2,042.
4.3.4 Uji Asumsi Normalitas
Berikut akan dijelaskan tentang Uji Asumsi Normalitas, yang akan
disajikan pada gambar grafik (Gambar 10) berikut ini :
Gambar 10. Grafik Normal Probability Plot
33
Grafik normal probability plot, terlihat bahwa nilai Y menyebar disekitas
garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut, sehingga model regresi tersebut
memenuhi standar normalitas. Janie (2012) menyatakan bahwa model regresi
dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar garis
diagonal.
4.3.5 Uji Asumsi Autokorelasi
Uji Asumsi Autokorelasi bisa dilihat dengan menggunakan uji Durbin
Watson. Kaidah yang digunakan yaitu jika nilai Durbin-Watson diatara -2 sampai
2 maka tidak terjadi autokorelasi (Santoso 2001).
Nilai dari Uji Durbin-Watson menunjukkan angka 1,239. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai Durbin-
Watson berada antara -2 sampai 2.
4.3.6 Uji Asumsi Multikoliniearitas
Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inlation Factor (VIF)
untuk masing-masing variabel bebas.
Tabel 4. Nilai VIF
Tolerance VIF
X1 5,299
X2 2.890
X3 8,365
X4 2,156
X5 1,026
D 2,554
Dari tabel diatas (Tabel 4), nilai VIF menunjukan bahwa variabel X1, X2,
X3, X4, X5, dan D lebih kecil dari 10, hal ini berarti dari keenam variabel bebas
tersebut tidak terjadi multikolinearitas karena nilai dari tiap variabel tersebut
34
dibawah 10. Salah satu asumsi classical linear regression model (CLRM) adalah
tidak ada multikolinieritas diantara variabel penjelas, X. Singkatnya
multikolinieritas mengacu pada situasi dimana terdapat hubungan linier yang
hampir sempurna diantara variabel X (Gujarati 2012).
4.3.7 Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Uji Asumsi Heteroskedastisitas dapat dilihat pada grafik Scatterplot
(Gambar 11). Titik-titik pada grafik Scatterplot tersebar secara acak dan tidak
membentuk pola sistematis diantara dua variabel tersebut, menunujukkan bahwa
terdapat kemungkinan tidak adanya heteroskedastisitas pada data (Gujarati dan
Porter 2012).
Gambar 11. Grafik Scatterplot
Dari hasil sekian uji model diatas dapat disimpulkan pada tabel dibawah
ini (Tabel 5) :
35
Tabel 5. Tabel Uji Model
Uji Model Keterangan
R2 77,6%
Uji F 13,268
Uji T X4 signifikan
Uji Asumsi Normalitas Memenuhi asumsi
Uji Heterokedastisitas Tidak ada
Uji Autokorelasi Tidak ada
Uji Multikolinieritas Tidak ada
Uji Model ini dilakukan untuk mengetahui apakah data tersebut memenuhi
asumsi atau tidak yang disesuaikan dengan kriteria yang ada. Jika hasil regresi
telah memenuhi asumsi-asumsi regresi maka nilai estimasi yang diperoleh akan
bersifat BLUE (Best, Linier, Unbiased, Estimator). Ada beberapa asumsi bahwa
suatu model dikatakan BLUE, untuk mengetahui asumsi-asumsi di atas, maka
estimasi regresi hendaknya dilengkapi dengan uji-uji yang diperlukan, seperti uji
normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas ataupun multikolinieritas. Secara
teoretis model OLS akan menghasilkan estimasi nilai parameter model penduga
yang sahih apabila dipenuhi asumsi “tidak ada autokorelasi, tidak ada
multikolinieritas, dan tidak ada heterokedastisitas. (Gujarati dan Porter 2012).
Maka, jika salah satu uji diantara uji baik Uji Normalitas, Uji Heterokedastisitas,
Uji Autokorelasi, atau Uji Multikolinieritas ada yang tidak memenuhi kriteria
yang sudah ditetapkan, maka model tersebut tidak bisa dikatakan BLUE.
Dari tabel diatas yang menunjukkan kesimpulan uji model, maka dapat
disimpulkan bahwa model yang digunakan telah memenuhi asumsi-asumsi regresi
maka nilai estimasi yang diperoleh bersifat BLUE.
36
4.4 Analisis Faktor-Faktor Pendapatan
Hasil uji regresi pada tabel dibawah ini, menujukan nilai a dan masing-
masing variabel, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
Tabel . 6 Nilai Konstanta dan Variabel
Konstanta 6519666,778
X1 -22923,893
X2 994055,946
X3 141532,436
X4 103474,996
X5 97236,675
D 342919,503
Y = 6519666,778 – 22923,893 X1 + 994055,946 X2 + 141532,436 X3 +
103474,996 X4 + 97236,675 X5 + 342919,503 D.
Variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah X2 : pendidikan
(994055,946), X3 : pengalaman (141532,436 X3), X4 : jumlah rumpon
(103474,996) X5 : ukuran kapal (97236,675) dan D : status nelayan
(342919,503).
Berdasarkan hasil dari regresi di atas menunjukkan bahwa variable
pendidikan (X2) berpengaruh positif terhadap tingkat pendidikan dengan nilai
994055,946. Sehingga dapat diartikan bahwa ketika tingkat pendidikan seseorang
bertambah satu jenjang maka akan meningkatkan tingkat pendapatannya sebesar
Rp. 994.055,946,-. Pendidikan diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan,
tingkah laku dan sikap seseorang, dan hal ini semestinya terkait dengan tingkat
pandapatan seseorang. Secara rata-rata makin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka makin memungkinkan orang tersebut memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi (Tarigan 2006).
37
Berdasarkan hasil regresi di atas menunjukkan bahwa variabel pengalaman
(X3) berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan nelayan, sebesar
141532,436. Dapat diartikan, jika nelayan bertambah pengalamannya dalam satu
tahun maka akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 141.532,436.
Berdasarkan hasil regresi diatas bahwa variabel jumlah rumpon (X4)
berpengarh positif terhadap tingkat pendapatan nelayan, hal ini ditunjukkan
dengan nilai 103474,996. Dapat diartikan, jika jumlah rumpon nelayan ditambah
maka akan menambah pendapatan nelayan tersebut sebesar Rp. 103.474,996.
Rumpon adalah sejenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut
dangkal, menengah ataupun laut dalam. Pemanfaatan rumpon dasar sebagai alat
bantu penangkapan ikan sudah lama dikenal oleh nelayan Indonesia. Keberhasilan
rumpon dasar sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak perlu disangsikan lagi,
karena rumpon sangat efektif sebagai alat untuk mengumpulkan ikan
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Hal ini sesuai dengan tujuan utama
penggunaan rumpon yaitu meningkatkan laju tangkap dengan mengurangi biaya
operasional kapal (meningkatkan efesiensi penangkapan), karena penangkapan
ikan cukup dilakukan di lokasi rumpon yang merupakan tempat ikan-ikan
berkumpul. Selain itu, penggunaan rumpon dasar yang dipadukan dengan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dapat meningkatkan
produktifitas hasil tangkapan nelayan seperti yang telah dilaksanakan di kelompok
nelayan Kampung Cangkol Kota Cirebon (Supriadi 2012). Sehingga semakin
banyak hasil tangkapannya maka akan bertambah pula pendapatannya.
Berdasarkan hasil regresi di atas bahwa variabel ukuran kapal (X5)
berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan. Sehingga, jika ukuran kapal
ditambah/semakin besar tenaganya maka akan meningkatkan pendapatan nelayan
sebesar Rp. 97.236,675.
Berdasarkan hasil regresi diatas bahwa variabel stastus (D) nelayan
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tingkat pendapatan. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai 342919,503. Dapat diartikan bahwa, jika status nelayan
38
berubah, maka akan bertambah pendapoatannya sebesar Rp. 342.919,503,-.
Biasanya penerimaan tiap-tiap nelayan berbeda menurut peranannya (status) yang
didasarkan pada ketrampilan mereka dalam operasi penangkapan ikan dan diatur
dengan sistem bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya (Supriadi 2012).
4.5 Analisis Pendapatan
Untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan, berdasarkan status nelayan,
jumlah rumpon dan bahan pembuat rumpon digunakan rumus π = TR-TC. Dimana
Pd adalah jumlah pendapatan bersih yang nelayan terima dari hasil memancing
ikan dan penyewaan kapal (bagi yang menyewakan). Sedangkan TR adalah
penerimaan kotor hasil dari jumlah produksi dikalikan harga produk tersebut. Dan
TC adalah pengeluaran/biaya yang harus dikeluarkan untuk melaut, termasuk
biaya ABK, perbekalan dan pengeluaran untuk kapal dihitung perbulan.
Dalam perhitungannya ada dua kali perhitungan menggunakan rumus
Pd=TR-TC. Pertama untuk menghitung pendapatan per trip. Lalu dikalikan
dengan frekuensi melaut selama satu bulan. Hasilnya lalu dikurangi lagi dengan
biaya perawatan rumpon dan kapal juga biaya investasi selama satu bulan. Hal
yang sama juga dilakukan untuk biaya pada penyewaan kapal. Berikut dijelaskan
hasil perhitungan pendapatan yang disesuaikan menurut kriteria yang sudah
disebutkan diatas.
4.4.1 ABK
Pendapatan ABK tidak sama dengan pendapatan pemilik kapal dan
pemilik rumpon. Pendapatan responden rata-rata perbulan sebesar Rp. 1.550.000,-
dengan pendapatan per bulan hasil memancing adalah Rp. 750.000,- dengan
frekuensi melaut 7-9 kali per bulan. Ditambah pendapatan hasil menjadi ABK
dipenyewaan kapal sebesar Rp. 800.000,- per bulan dengan frekuensi 6-7 kali per
bulan.
39
Tabel 7. Tabel Pendapatan Nelayan ABK
Pendapatan mancing Pendapatan Sewa Total Pendapatan
Rp. 750.000,- Rp. 800.000,- Rp. 1.550.000
4.4.2 Pemilik Kapal
Pendapatan pemilik kapal dengan ukuran yang berbeda memberikan
perbedaan. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan berbedanya pendapatan
dari pemilik kapal.
Tabel. 8 Pendapatan Nelayan Pemilik Kapal
Ukuran
Kapal
Pendapatan
mancing
Pendapatan
Sewa Total Cost
Total
pendapatan
3 GT
5 GT
Rp.6.669.312,-
Rp.5.098.104,-
Rp. 1.500.000,-
Rp. 4.500.000,-
Rp. 308.333,-
Rp. 447.222,-
Rp. 7.884.787,-
Rp. 9.150.882
Pendapatan pertama adalah responden yang memiliki kapal dengan
ukuran 3 GT. Pendapatan perbulan sebesar Rp. 7.884.787,- dengan pendapatan
pertrip memancing perbulan sebesar Rp. 6.693.120,- dengan frekuensi melaut
sebnayak 12 kali dalam satu bulan. Dan pendapatan penyewaan kapal sebanyak 6-
8 kali per bulan bisa menghasilkan Rp. 1.500.000,-.
Sedangkan untuk responden yang memiliki kapal sebesar 5 GT
mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 9.165.882,-. Dengan pendapatan per bulan
untuk memancing Rp. 5.113.104,- dengan frekuensi memancing 8 kali per bulan.
Dan pendapatan hasil penyewaan Rp. 4.500.000,- sebanyak 6-8 kali perbulan.
Sehingga dari tabel diatas bisa dijelaskan bahwa semakin besar ukuran
kapalnya, maka akan mempengaruhi hasil pendapatannya. Dengan ukuran kapal
yang lebih besar powernya maka nelayan bisa memuat lebih banyak hasil
40
tangkapan dan kemampuan jangkauannya bisa lebih besar dengan armada yang
juga lebih besar sehingga itu akan berpengaruh terhadap pendapatan.
4.4.3 Jumlah Rumpon
Pendapatan pemilik rumpon dengan jumlah berbeda pun menghasilkan
pendapatan yang berbeda. Sampel yang diambil adalah responden yang memiliki
jumlah rumpon yang paling besar dan yang terkecil.
Tabel 9. Tabel Pendapatan Pemilik Rumpon (Jumlah Rumpon)
Jumlah
Rumpon
Pendapatan
mancing
Pendapatan
Sewa
Total Cost Total
pendapatan
160
16
Rp. 17.863.160,-
Rp. 1.694.072,-
Rp. 9.231.250,-
Rp. 0,-
Rp. 2.424.722,-
Rp. 952.778,-
Rp. 24.669.688,-
Rp. 741.294,-
Pendapatan dengan jumlah rumpon terbanyak mendapatkan pendapatan
per bulan dari hasil memancing per bulan sebesar Rp. 18.400.160,- dengan
frekuensi melaut sebanyak 8 kali per bulan. Sedangkan untuk dapat pendapatan
dari hasil menyewakan kapal selama satu bulan dengan frekuensi 12 kali melaut
mendapatkan hasil Rp. 7.200.00,- .
Sedangkan untuk pendapatan responden dengan jumlah rumpon yang
terkecil, dalam satu bulan dengan frekuensi melaut sebanyak 8 kali dalam sebulan
mendapatkan Rp. 741.294,- . Sedangkan responden ini tidak menyewakan
kapalnya. Sehingga pendapatan responden tersebut terbilang kecil.
Dari hasil tabel diatas dan perhitungan thitung terlihat bahwa variabel jumlah
rumpon sangat berpengaruh terhadap pendapatan. Dari tabel diatas terlihat
semakin besar jumlah rumpon yang dimiiki atau digunakan oleh nelayan maka
akan semakin tinggi tingkat pendapatan nelayan tersebut. Dari pernyataan-
pernyataan sebelumnya bahwa rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan
dengan cara mengumpulkan ikan di suatu tempat tertentu sehingga ketika ikan
41
sedang berkumpul nelayan bisa memancing di sekitar daerah rumpon yang saat itu
menjadi fishing ground ikan-ikan.
4.4.4 Bahan Rumpon
Untuk analisis pendapatan dengan bahan pembuat rumpon dibagi menjadi
tiga, yaitu responden yang memiliki rumpon yang terbuat dari bambu, ban dan
beton. Responden kedua memiliki rumpon yang terbuat dari bambu dan beton.
Dan responden yang terakhir adalah yang hanya memiliki rumpon bambu saja.
Tabel 10. Pendapatan Pemilik Rumpon (Bahan Pembuat Rumpon)
Bahan
Pembuat
Pendapatan
Mancing
Pendapatan
Sewa
Total Cost Total
Pendapatan
Ban, Bambu,
Beton
Bambu, Beton
Bambu
Rp. 4.659.822,-
Rp. 2.402.046,-
Rp. 1.016.132,-
Rp. 4.575.000,-
Rp. 6.975.000,-
Rp. 7.300.000,-
Rp. 1.216.389,-
Rp. 1.268.056,-
Rp. 962.500,-
Rp. 8.018.433,-
Rp. 8.108.990,-
Rp. 7.353.632,-
Responden pertama yang memiliki bahan rumpon ban, bambu dan beton
memiliki pendapatan hasil dari pemancingan dengan frekuensi melaut 8 kali
selama satu bulan yaitu Rp. 4.659.822,-. Sedangkan untuk pendapatan hasil sewa
pancing dengan frekuensi 8 kali menyewakan dalam satu bulan mendapatkan
pendapatan sebesar Rp. 4.575.000,-.
Untuk responden kedua dengan bahan rumpon yang terbuat dari bambu
dan beton memiliki pendapatan dari hasil memancing sebesar Rp. 2.402.046,-
dengan frekuensi melaut dalam satu bulan sebanyak 4 kali. sedangkan untuk
pendapatan per bulan dengan hasil menyewakan kapal sebesar Rp. 6.975.000,-
dengan frekuensi menyewakan dalam satu bulan adalah 12 kali.
Untuk responden yang terakhir dengan menggunakan bahan bambu.
Dengan frekuensi memancing sebanyak 8 kali memancing dalam satu bulan
42
sebesar Rp. 1.016.132,- . Sedangkan untuk pendapatan hasil sewa kapal selama
satu bulan 12-15 kali dalam satu bulan sebesar Rp. 7.300.000,-.
Berdasarkan tabel di atas (tabel 10), semakin variatif bahan pembuat
rumpon maka akan semakin tinggi tingkat pendapatannya dibandingkan dengan
yang hanya menggunakan satu pembuat bahan rumpon saja (rumpon bambu).
Penggunaan rumpon yang bervariasi (kombinasi bambu-beton atau ban, bambu,
beton) cenderung mengkonsentrasikan ikan dalam jumlah yang lebih banyak
dibandingkan dengan rumpon yang menggunakan bambu saja karena daya tahan
bambu yang tidak lama. Variasi rumpon ban, bambu, beton menyebabkan ikan
lebih lama tinggal dan aman terlindungi dari serangan predator, sehingga ikan
lebih lama tinggal di rumpon kombinasi tersebut. Sehingga pada akhirnya
memudahkan penangkapan ikan secara besar. Jumlah jenis bahan yang digunakan
dalam penggunaan rumpon berpengaruh terhadap tingkat pendapatan nelayan.
Walaupun dalam beberapa kasus jumlah rumpon lah yang sangat berpengaruh
namun keanekargaman jenis bahan rumpon juga berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan. Biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam perawatan rumpon yang
sifatnya „permanen‟ akan lebih sedikit biaya pengeluarannya dibandingkan
dengan rumpon yang sering mendapatkan perawatan.