21
22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kota Cirebon Kota Cirebon terletak di pantai utara Jawa Barat bagian timur, secara geogarafis berada pada koordinat 06º42‟ LS dan 108º33‟ BT, bentang alamnya merupakan dataran pantai dengan ketinggian dari permukaan laut 0-5 meter, memanjang dari barat ke timur sepanjang 7 Km dan dari utara ke selatan sepanjang 11 Km. Luas wilayah administrasi Kota Cirebon 37,35 km2 dengan batas-batas : Sebelah Utara : Sungai Kedung Pane Sebelah Barat : Sungai Banjir Kanal (Kab. Cirebon) Sebelah Selatan : Sungai Kalijaga Sebelah Timur : Laut Jawa Kota Cirebon terbagi dalam 5 kecamatan dan 22 kelurahan dengan luas wilayah kecamatan sebagai berikut : 1. Kecamatan Kejaksan : 3,616 Km2 terbagi 4 Kelurahan 2. Kecamatan Lemakwungkuk : 6,507 Km2 terbagi 4 Kelurahan 3. Kecamatan Pekalipan : 1,561 Km2 terbagi 4 Kelurahan 4. Kecamatan Kesambi : 8,059 Km2terbagi 5 Kelurahan 5. Kecamatan Harjamukti : 17,615 Km2 terbagi 5 Kelurahan Lokasi Kota Cirebon terletak di wilayah pantai, mempunyai panjang pantai kurang lebih 7 Km. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana daerah dapat mengelola wilayah lautnya sampai 4 mil, menjadikan Kota Cirebon memiliki luas wilayah perairan laut kurang lebih 51,86 Km2 atau 58,13% dari total luas wilayah daratan dan lautan. Kecamatan yang berada di daerah pantai adalah Kecamatan Kejaksan dan Kecamatan Lemahwungkuk. Posisi Kota Cirebon terletak pada lokasi yang sangat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kota …media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097003_4_8784.pdf · Dalam penelitian ini status nelayan dibedakan menjadi tiga, yaitu

Embed Size (px)

Citation preview

22

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Kota Cirebon

Kota Cirebon terletak di pantai utara Jawa Barat bagian timur, secara

geogarafis berada pada koordinat 06º42‟ LS dan 108º33‟ BT, bentang alamnya

merupakan dataran pantai dengan ketinggian dari permukaan laut 0-5 meter,

memanjang dari barat ke timur sepanjang 7 Km dan dari utara ke selatan

sepanjang 11 Km.

Luas wilayah administrasi Kota Cirebon 37,35 km2 dengan batas-batas :

Sebelah Utara : Sungai Kedung Pane

Sebelah Barat : Sungai Banjir Kanal (Kab. Cirebon)

Sebelah Selatan : Sungai Kalijaga

Sebelah Timur : Laut Jawa

Kota Cirebon terbagi dalam 5 kecamatan dan 22 kelurahan dengan luas

wilayah kecamatan sebagai berikut :

1. Kecamatan Kejaksan : 3,616 Km2 terbagi 4 Kelurahan

2. Kecamatan Lemakwungkuk : 6,507 Km2 terbagi 4 Kelurahan

3. Kecamatan Pekalipan : 1,561 Km2 terbagi 4 Kelurahan

4. Kecamatan Kesambi : 8,059 Km2terbagi 5 Kelurahan

5. Kecamatan Harjamukti : 17,615 Km2 terbagi 5 Kelurahan

Lokasi Kota Cirebon terletak di wilayah pantai, mempunyai panjang pantai

kurang lebih 7 Km. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana daerah

dapat mengelola wilayah lautnya sampai 4 mil, menjadikan Kota Cirebon

memiliki luas wilayah perairan laut kurang lebih 51,86 Km2 atau 58,13% dari

total luas wilayah daratan dan lautan.

Kecamatan yang berada di daerah pantai adalah Kecamatan Kejaksan dan

Kecamatan Lemahwungkuk. Posisi Kota Cirebon terletak pada lokasi yang sangat

23

strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa

Tengah. Kota (Metropolitan) Cirebon sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN),

Pusat Pengembangan Wilayah Kawasan Andalan Ciayumajakuning (Kota

Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) memiliki

daerah sekitar (hinterland) baik Jawa Barat bagian Timur maupun Jawa Tengah

bagian Barat (Kabupaten Brebes, Tegal dan Slawi), yang berpotensi secara

geografis dan topografis. Pada daerah hinterland tersebut terdapat sentra-sentra

industri perikanan yang cukup dapat diandalkan dalam penyediaan bahan baku

industri pengolahan dan perkembangan perdagangan dan jasa di Kota Cirebon

(Bappeda Kota Cirebon, 2003).

Wilayah Kota Cirebon merupakan dataran rendah dengan ciri-ciri perkotaan

sebagai Kota Industri, Kota Perdagangan, Kota Budaya, dan Kota Pariwisata.

Bidang Perikanan yang banyak diusahakan adalah kegiatan penangkapan ikan di

laut. Kegiatan perikanan lainnya seperti budidaya ikan air payau, budidaya ikan

air tawar, budidaya ikan air hias, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan

(Alpuri 2011).

Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan dan Pertanian

Kota Cirebon tahun 2011, Kota Cirebon memiliki panjang pantai ± 7 Km, dengan

batas laut kewenangan pengelolaan adalah sejauh 4 mil laut atau 58,13 %

sehingga luas wilayah perairan laut Kota Cirebon adalah 51,86 Km². Sampai

dengan bulan Desember 2010 tercatat jumlah nelayan 1.586 orang yang terdiri

dari 224 nelayan pemilik kapal dan 1.362 nelayan buruh termasuk didalamnya

beberapa nelayan pendatang. Adapun konsentrasi nelayan terbagi menjadi untuk

kapal besar (kapal motor) berukuran > 10 GT berpangkalan di Pelabuhan

Perikanan Nusantara (PPN) Kejawanan dan untuk kapal motor temple berukuran

< 5 GT berpangkalan di PPI Kesenden, PPI Pesisir dan PPI Cangkol (Dinas

Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian dalam Alpuri 2011).

24

4.1.1 Kondisi Umum PPI Cangkol

Kelurahan Lemahwungkuk memiliki luas wilayahnya sekitar 52 hektar,

dengan jumlah penduduk total sebanyak 8.482 orang yang terdiri dari jenis

kelamin laki-laki sebanyak 4.216 orang dan perempuan 4.266 orang serta jumlah

kepala keluarga sebanyak 2.145 KK. Wilayah Kampung Cangkol berada di

Kelurahan Lemahwungkuk Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Kampung

Cangkol disebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Panjunan, selatan dengan

Kelurahan Kesepuhan, timur dengan Laut Jawa dan di sebelah barat dengan

Kelurahan Pekalipan. Jarak Kampung Cangkol ke Ibu Kota Kecamatan adalah 3

km. Pendaratan Ikan (PPI) Cangkol berada pada koordinat 060 43‟ 20,8” LS -

1080 34‟ 35,1 “ BT.

Fasilitas penangkapan di PPI Cangkol adalah TPI yang dibangun pada tahun

2008 dengan luas areal 912 m2, yang diperuntukkan bagi bangunan TPI adalah

175,20 m2. Fasilitas lainnya adalah tambat labuh kapal/perahu nelayan di dengan

panjang kurang lebih 200 m. Pada lokasi PPI telah dilengkapi pula tempat

perbaikan kapal. Fungsi dan kondisi PPI di Kampung Cangkol sama seperti

Kampung Kesenden dan Pesisir, belum tergali secara maksimal dan masih

dipengaruhi sistem ijon oleh tengkulak (Supriadi 2012).

Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Cangkol adalah salah satu dari sekian

banyak PPI yang ada di Kota Cirebon. PPI Cangkol memiliki 30 armada kapal

yang berukuran 1 – 5 GT dengan jumlah ABK 1-3 orang. Jumlah nelayan di

Kampung Cangkol berkisar ± 100 nelayan termasuk pemilik kapal dan rumpon,

pemilik kapal dan ABK namun jumlah ini disesuaikan dengan musim, terutama

untuk ABK. Anak Buah Kapal yang ada di PPI Cangkol jika memasuki musim

panen/musimnya bagus bisa mencapai 100, namun hal ini berbanding terbalik

ketika musim paceklik tiba. Hal ini menyebabkan kondisi kurangnya ABK di PPI

Cangkol. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Cangkol adalah pancing ulur

(hand line). Pancing ulur sudah digunakan sejak dahulu oleh nelayan cangkol,

selain lebih selektif yang bisa mendukung menjaga kestabilan ekosistem juga

25

nelayan di Cangkol menyadari kualitas yang lebih baik dan terjaga ketika mereka

menangkap dengan pancing ulur dan lebih tinggi harga jualnya ketika ikan itu

masih segar. Menurut penuturan salah satu anggota kelompok nelayan, Slamet

Alpuri, semenjak banyak digencarkan tentang penggunaan rumpon dapat

meningkatkan hasil tangkapan nelayan, maka pada tahun 2002 masyarakat

nelayan PPI Cangkol ramai menggunaka rumpon yang terbuat dari berbagai

macam bahan konstruksi salah satunya dengan menggunakan bahan dari bambu

dan daun kelapa sebagai atraktor.

4.2 Karakteristik Responden

Analisis data ini bertujuan untuk mengetahui keadaan dan latar belakang

responden berdasarkan variabel yang diukur untuk perhitungan regresi. Adapun

hal yang dijelaskan dalam variabel tersebut adalah usia, pendidikan, jumlah

rumpon, pengalaman, ukuran kapal dan status nelayan. Data responden adalah

identitas responden yang dipandang sesuai dengan masalah yang diteliti. Berikut

ini adalah karakteristik responden dari hasil penelitian yang telah diolah.

4.2.1 Umur

Umur merupakan salah satu variabel yang dimasukkan ke dalam

perhitungan regresi. Penentuan umur sebagai salah satu variabel adalah umur di

anggap penting karena bisa menentukan produktivitas seseorang. Menurut

Jokopitoyo (2007) menyatakan bahwa usia 15-55 tahun merupakan golongan usia

produktif.

Dari data kusioner menunjukkan bahwa nelayan di PPI Cangkol termasuk

ke dalam usia produktif, terlihat dari sebaran umur yang didapatkan. Untuk lebih

jelas tentang sebaran umur responden di PPI Cangkol dijelaskan pada diagram

dibawah ini:

26

Gambar 6. Diagram Sebaran Umur Responden

Dari diagram diatas (Gambar.6) menunjukkan bahwa sebaran umur yang

paling banyak adalah dari umur 31 – 40 tahun sebesar 40% sebanyak 12 orang.

Dilanjutkan dengan sebaran umur 41-50 tahun terbanyak kedua sebesar 37%

sebanyak 11 orang, lalu sebaran umur 51 – 60 tahun sebanyak 6 orang dengan

besarnya pesentasi 20% dan terakhir sebaran umur 21 – 30 tahun dengan

frekuensi 1 orang sebesar 3%.

Menurut diagram diatas, secara keseluruhan umur responden berada dalam

kategori umur produktif, karena berada pada kisaran umur 15-55 tahun. Dalam

jumlah responden tersebut hanya ada 1 orang responden yang umurnya lebih dari

55 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden berada pada

usia produktif.

4.2.2 Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

meningkatkan kualitas hidup seseorang. Salah satu hal terpenting dalam

pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan salah

satu modal dasar manusia yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan

3%

40%

37%

20%

Diagram Sebaran Umur Responden

21 - 30

31 - 40

41 - 50

51 - 60

27

ekonomi yang berkelanjutan. Sektor pendidikan memainkan peran utama untuk

membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi

modern dan mengembangkan kapasitas produksi agar tercipta pertumbuhan serta

pembangunan yang berkelanjutan (Todaro 2006).

Gambar 7. Diagram Sebaran Pendidikan

Persentasi tingkat pendidikan responden yang digambarkan oleh diagram

(Gambar 7) diatas menunjukkan bahwa sebesar 67% pendidikan terakhir

responden adalah tingkat Sekolah Dasar dan ini merupakan tingkat persentasi

terbesar dengan jumlah 20 orang responden. Pada unrutan kedua sebesar 20%

dengan jumlah 6 orang responden menempuh tingkat pendidikan rerakhir di

jenjang Sekolah Menengah Pertama. Selanjutnya, pada urutan ketiga yaitu

responden sebanyak 2 orang dengan jumlah persentasi sebesar 7% yang

menempuh Sekolah Menengah Atas dan yang terakhir sebanyak 6% tidak pernah

mengenyam pendidikan.

4.2.3 Pengalaman

Pengalaman adalah hasil persentuhan dengan panca indra manusia yang

berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi

6%

67%

20%

7%

Diagram Sebaran Pendidikan Responden

Tidak Sekolah

SD

SMP

SMA

28

tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan (Dani 2008). Dari hasil

penelitian lama waktu pengalaman setiap responden berbeda. Adapun persentasi

pengalaman responden dapat terlihat pada diagram dibawah ini :

Gambar 8. Diagram Sebaran Pengalaman

Persentasi tingkat pengalaman yang digambarkan oleh diagram di atas

(Gambar 8) menunjukkan bahwa lama pengalaman 21 – 30 tahun berada pada

urutan pertama dengan jumlah persentase 36% dengan jumlah responden

sebanyak 11 orang. Sedangkan dengan lama pengalaman <10 tahun, 11 – 20

tahun dan 41 – 50 tahun memiliki persentasi yang sama sebesar 7% dengan

jumlah responden sebanyak 0 orang pada masing-masing sebaran tahun

pengalaman. Dan jumlah persentasi terkecil ada pada lama pengalaman 31 – 40

tahun dengan jumlah persentase sebesar 13%.

4.2.4 Jumlah Rumpon

Jumlah rumpon yang dimiliki oleh setiap nelayan pemilik rumpon berbeda-

beda, baik dari jenis bahan dasarnya maupun jumlahnya. Jumlah terendah yang

dimiliki oleh nelayan pemilik kapal yaitu 16 buah yang terbuat dari bahan bambu.

Sedangkan untuk pemilik rumpon dengan jumlah tertinggi dengan jumlah 160

terdiri dari bambu dan kubus (beton).

17%

17%

36%

13%

17%

Diagram Pengalaman

<10 tahun

11 - 20 tahun

21 - 30 tahun

31 - 40 tahun

41 - 50 tahun

29

4.2.5 Ukuran Kapal

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perikanan, disebutkan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk

memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan

alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/ atau

mengawetkannya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Nomor 05 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan tangkap disebutkan bahwa alat

penangkapan ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang

dipergunakan untuk menangkap ikan.

Gambar 9. Diagram Ukuran Kapal

Pada diagram diatas (Gambar 9) menunjukkan bahwa sebesar 70%

responden menggunakan kapal berukuran 3 GT dengan jumlah responden

sebanyak 21 orang. Sedangkan sebesar 30% menggunakan kapal berukuran 5 GT

dengan jumlah responden sebesar 9 orang. Penggunaan kapal ini tanpa

membedakan status nelayan, baik pemilik kapal dan rumpon, pemilik kapal saja

maupun ABK.

70%

30%

Diagram Ukuran Kapal

3 GT

5 GT

30

Hingga kini pengusaha perikanan tangkap di indonesia dikuasai oleh

perikanan skala kecil. Sebanyak 94,44% usaha perikanan menggunakan perahu

tanpa motor dan perahu motor tempel dan kapal dengan mesin dalam sampai 5

GT dan hanya mampu beroperasi pada perairan pantai (Supriadi 2012).

4.2.6 Status Nelayan

Dalam penelitian ini status nelayan dibedakan menjadi tiga, yaitu nelayan

pemilik kapal dan rumpon, nelayan pemilik kapal dan nelayan buruh (ABK).

Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 responden dan masing-masing status

diambil 10 responden.

Nelayan pemilik kapal dan alat tangkapnya disebut juga nelayan juragan

dan sebagian lagi sebagai nelayan pekerja atau biasa disebut pandega. Nelayan

pemilik kapal sebagian ada juga yang ikut aktif menangkap ikan di laut, sebagian

lagi tidak ikut. Keterlibatan mereka dalam operasi penangkapan ikan akan

mempengaruhi penerimaan dari hasil penangkapan ikan. Biasanya penerimaan

tiap-tiap nelayan berbeda menurut peranannya (status) yang didasarkan pada

ketrampilan mereka dalam operasi penangkapan ikan dan diatur dengan sistem

bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya (Supriadi 2012).

4.3 Analisis Model Ekonometrika

Model regresi linear telah diuji secara statistik dengan menggunakan alat uji

SSPS 20 dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengujian model statistik tersebut

meliputi : uji tingkat kebaikan model (R square atau R2), Uji pengaruh parameter

secara serentak (uji F), uji parameter secara individu (uji T), uji asumsi

normalitas, uji asumsi autokorelasi, uji asumsi multikolinearitas, dan uji asumsi

heteroskedastisitas.

4.3.1 Uji Tingkat Kebaikan (R2)

Koefesien determinasi (R2) dapat dilihat dari hasil uji regresi dari Model

Summary, dimana diperoleh hasil sebesar 0,776, hal ini berarti variabel-variabel

XI. X2, X3, X4, X5 dan D yang digunakan dalam model dapat menjelaskan

31

bahwa 77,6% dari pendapatan nelayan dapat dijelaskan dari keenam variabel yang

ada pada model regresi linear berganda tersebut, sedangkan sisanya 22,4%

dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak disebutkan dalam model.

4.3.2 Uji F

Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji

untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-

sama terhadap variabel terikatnya. Uji F pada model regresi linear dapat dilihat

pada tabel ANOVAa

(terlampir). Dari hasil uji tersebut diperoleh nilai F ratio

sebesar 13,268. Karena signifikansi jauh lebih kecil dari 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa koefesien regresi tidak sama dengan nol, atau keenam

variabel bebas secara simultan berpengaruh terhadap produktivitas biaya

(Setyorini 2009) dan Ftabel sebesar 3,81. Variabel model diatas bisa memperoleh

nilai Fhitung sebesar 13,268 dan Ftabel sebesar 3,81 artinya bahwa Fhitung lebih besar

daripada Ftabel maka Hi diterima.

Artinya bahwa dalam model tersebut secara keseluruhan variabel baik

sehingga nilai Fhitungnya bisa lebih besar dari Ftabel. Jadi keseluruhan variabel

tersebut berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.

4.3.3 Uji T

Uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji bagaimana pengaruh

masing-masing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri terhadap variabel

terikatnya. Berikut dijelaskan pada tabel (tabel 3) dibawah ini :

Tabel 3. Tabel hasil thitung

Variable thitung ttabel

X1 -1,595

X2 0,791

X3 1,268 2,402

X4 5,685*

X5 0,175

D 0,349

32

Hasil dari uji t pada regresi linear dapat dilihat pada tabel Coefficientsa

(lampiran 7), pada tabel tersebut menunjukan bahwa nilai t pada tiap variabel

yaitu nilai t pada variabel X1 adalah -1,595, nilai t pada variabel X2 adalah 0,791,

nilai t pada variabel X3 adalah 1,268, nilai t pada variabel X4 adalah 5,685, nilai t

pada variabel X5 adalah 0,175, dan nilai t pada variabel D adalah 0,349. Nilai dari

tiap variabel tersebut menunjukan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap

pendapatan adalah jumlah rumpon (X4) karena nilai t hitung pada variabel

tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 2,042.

4.3.4 Uji Asumsi Normalitas

Berikut akan dijelaskan tentang Uji Asumsi Normalitas, yang akan

disajikan pada gambar grafik (Gambar 10) berikut ini :

Gambar 10. Grafik Normal Probability Plot

33

Grafik normal probability plot, terlihat bahwa nilai Y menyebar disekitas

garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut, sehingga model regresi tersebut

memenuhi standar normalitas. Janie (2012) menyatakan bahwa model regresi

dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar garis

diagonal.

4.3.5 Uji Asumsi Autokorelasi

Uji Asumsi Autokorelasi bisa dilihat dengan menggunakan uji Durbin

Watson. Kaidah yang digunakan yaitu jika nilai Durbin-Watson diatara -2 sampai

2 maka tidak terjadi autokorelasi (Santoso 2001).

Nilai dari Uji Durbin-Watson menunjukkan angka 1,239. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai Durbin-

Watson berada antara -2 sampai 2.

4.3.6 Uji Asumsi Multikoliniearitas

Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inlation Factor (VIF)

untuk masing-masing variabel bebas.

Tabel 4. Nilai VIF

Tolerance VIF

X1 5,299

X2 2.890

X3 8,365

X4 2,156

X5 1,026

D 2,554

Dari tabel diatas (Tabel 4), nilai VIF menunjukan bahwa variabel X1, X2,

X3, X4, X5, dan D lebih kecil dari 10, hal ini berarti dari keenam variabel bebas

tersebut tidak terjadi multikolinearitas karena nilai dari tiap variabel tersebut

34

dibawah 10. Salah satu asumsi classical linear regression model (CLRM) adalah

tidak ada multikolinieritas diantara variabel penjelas, X. Singkatnya

multikolinieritas mengacu pada situasi dimana terdapat hubungan linier yang

hampir sempurna diantara variabel X (Gujarati 2012).

4.3.7 Uji Asumsi Heteroskedastisitas

Uji Asumsi Heteroskedastisitas dapat dilihat pada grafik Scatterplot

(Gambar 11). Titik-titik pada grafik Scatterplot tersebar secara acak dan tidak

membentuk pola sistematis diantara dua variabel tersebut, menunujukkan bahwa

terdapat kemungkinan tidak adanya heteroskedastisitas pada data (Gujarati dan

Porter 2012).

Gambar 11. Grafik Scatterplot

Dari hasil sekian uji model diatas dapat disimpulkan pada tabel dibawah

ini (Tabel 5) :

35

Tabel 5. Tabel Uji Model

Uji Model Keterangan

R2 77,6%

Uji F 13,268

Uji T X4 signifikan

Uji Asumsi Normalitas Memenuhi asumsi

Uji Heterokedastisitas Tidak ada

Uji Autokorelasi Tidak ada

Uji Multikolinieritas Tidak ada

Uji Model ini dilakukan untuk mengetahui apakah data tersebut memenuhi

asumsi atau tidak yang disesuaikan dengan kriteria yang ada. Jika hasil regresi

telah memenuhi asumsi-asumsi regresi maka nilai estimasi yang diperoleh akan

bersifat BLUE (Best, Linier, Unbiased, Estimator). Ada beberapa asumsi bahwa

suatu model dikatakan BLUE, untuk mengetahui asumsi-asumsi di atas, maka

estimasi regresi hendaknya dilengkapi dengan uji-uji yang diperlukan, seperti uji

normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas ataupun multikolinieritas. Secara

teoretis model OLS akan menghasilkan estimasi nilai parameter model penduga

yang sahih apabila dipenuhi asumsi “tidak ada autokorelasi, tidak ada

multikolinieritas, dan tidak ada heterokedastisitas. (Gujarati dan Porter 2012).

Maka, jika salah satu uji diantara uji baik Uji Normalitas, Uji Heterokedastisitas,

Uji Autokorelasi, atau Uji Multikolinieritas ada yang tidak memenuhi kriteria

yang sudah ditetapkan, maka model tersebut tidak bisa dikatakan BLUE.

Dari tabel diatas yang menunjukkan kesimpulan uji model, maka dapat

disimpulkan bahwa model yang digunakan telah memenuhi asumsi-asumsi regresi

maka nilai estimasi yang diperoleh bersifat BLUE.

36

4.4 Analisis Faktor-Faktor Pendapatan

Hasil uji regresi pada tabel dibawah ini, menujukan nilai a dan masing-

masing variabel, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :

Tabel . 6 Nilai Konstanta dan Variabel

Konstanta 6519666,778

X1 -22923,893

X2 994055,946

X3 141532,436

X4 103474,996

X5 97236,675

D 342919,503

Y = 6519666,778 – 22923,893 X1 + 994055,946 X2 + 141532,436 X3 +

103474,996 X4 + 97236,675 X5 + 342919,503 D.

Variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah X2 : pendidikan

(994055,946), X3 : pengalaman (141532,436 X3), X4 : jumlah rumpon

(103474,996) X5 : ukuran kapal (97236,675) dan D : status nelayan

(342919,503).

Berdasarkan hasil dari regresi di atas menunjukkan bahwa variable

pendidikan (X2) berpengaruh positif terhadap tingkat pendidikan dengan nilai

994055,946. Sehingga dapat diartikan bahwa ketika tingkat pendidikan seseorang

bertambah satu jenjang maka akan meningkatkan tingkat pendapatannya sebesar

Rp. 994.055,946,-. Pendidikan diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan,

tingkah laku dan sikap seseorang, dan hal ini semestinya terkait dengan tingkat

pandapatan seseorang. Secara rata-rata makin tinggi tingkat pendidikan seseorang

maka makin memungkinkan orang tersebut memperoleh pendapatan yang lebih

tinggi (Tarigan 2006).

37

Berdasarkan hasil regresi di atas menunjukkan bahwa variabel pengalaman

(X3) berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan nelayan, sebesar

141532,436. Dapat diartikan, jika nelayan bertambah pengalamannya dalam satu

tahun maka akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 141.532,436.

Berdasarkan hasil regresi diatas bahwa variabel jumlah rumpon (X4)

berpengarh positif terhadap tingkat pendapatan nelayan, hal ini ditunjukkan

dengan nilai 103474,996. Dapat diartikan, jika jumlah rumpon nelayan ditambah

maka akan menambah pendapatan nelayan tersebut sebesar Rp. 103.474,996.

Rumpon adalah sejenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut

dangkal, menengah ataupun laut dalam. Pemanfaatan rumpon dasar sebagai alat

bantu penangkapan ikan sudah lama dikenal oleh nelayan Indonesia. Keberhasilan

rumpon dasar sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak perlu disangsikan lagi,

karena rumpon sangat efektif sebagai alat untuk mengumpulkan ikan

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Hal ini sesuai dengan tujuan utama

penggunaan rumpon yaitu meningkatkan laju tangkap dengan mengurangi biaya

operasional kapal (meningkatkan efesiensi penangkapan), karena penangkapan

ikan cukup dilakukan di lokasi rumpon yang merupakan tempat ikan-ikan

berkumpul. Selain itu, penggunaan rumpon dasar yang dipadukan dengan

penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dapat meningkatkan

produktifitas hasil tangkapan nelayan seperti yang telah dilaksanakan di kelompok

nelayan Kampung Cangkol Kota Cirebon (Supriadi 2012). Sehingga semakin

banyak hasil tangkapannya maka akan bertambah pula pendapatannya.

Berdasarkan hasil regresi di atas bahwa variabel ukuran kapal (X5)

berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan. Sehingga, jika ukuran kapal

ditambah/semakin besar tenaganya maka akan meningkatkan pendapatan nelayan

sebesar Rp. 97.236,675.

Berdasarkan hasil regresi diatas bahwa variabel stastus (D) nelayan

menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tingkat pendapatan. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai 342919,503. Dapat diartikan bahwa, jika status nelayan

38

berubah, maka akan bertambah pendapoatannya sebesar Rp. 342.919,503,-.

Biasanya penerimaan tiap-tiap nelayan berbeda menurut peranannya (status) yang

didasarkan pada ketrampilan mereka dalam operasi penangkapan ikan dan diatur

dengan sistem bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya (Supriadi 2012).

4.5 Analisis Pendapatan

Untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan, berdasarkan status nelayan,

jumlah rumpon dan bahan pembuat rumpon digunakan rumus π = TR-TC. Dimana

Pd adalah jumlah pendapatan bersih yang nelayan terima dari hasil memancing

ikan dan penyewaan kapal (bagi yang menyewakan). Sedangkan TR adalah

penerimaan kotor hasil dari jumlah produksi dikalikan harga produk tersebut. Dan

TC adalah pengeluaran/biaya yang harus dikeluarkan untuk melaut, termasuk

biaya ABK, perbekalan dan pengeluaran untuk kapal dihitung perbulan.

Dalam perhitungannya ada dua kali perhitungan menggunakan rumus

Pd=TR-TC. Pertama untuk menghitung pendapatan per trip. Lalu dikalikan

dengan frekuensi melaut selama satu bulan. Hasilnya lalu dikurangi lagi dengan

biaya perawatan rumpon dan kapal juga biaya investasi selama satu bulan. Hal

yang sama juga dilakukan untuk biaya pada penyewaan kapal. Berikut dijelaskan

hasil perhitungan pendapatan yang disesuaikan menurut kriteria yang sudah

disebutkan diatas.

4.4.1 ABK

Pendapatan ABK tidak sama dengan pendapatan pemilik kapal dan

pemilik rumpon. Pendapatan responden rata-rata perbulan sebesar Rp. 1.550.000,-

dengan pendapatan per bulan hasil memancing adalah Rp. 750.000,- dengan

frekuensi melaut 7-9 kali per bulan. Ditambah pendapatan hasil menjadi ABK

dipenyewaan kapal sebesar Rp. 800.000,- per bulan dengan frekuensi 6-7 kali per

bulan.

39

Tabel 7. Tabel Pendapatan Nelayan ABK

Pendapatan mancing Pendapatan Sewa Total Pendapatan

Rp. 750.000,- Rp. 800.000,- Rp. 1.550.000

4.4.2 Pemilik Kapal

Pendapatan pemilik kapal dengan ukuran yang berbeda memberikan

perbedaan. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan berbedanya pendapatan

dari pemilik kapal.

Tabel. 8 Pendapatan Nelayan Pemilik Kapal

Ukuran

Kapal

Pendapatan

mancing

Pendapatan

Sewa Total Cost

Total

pendapatan

3 GT

5 GT

Rp.6.669.312,-

Rp.5.098.104,-

Rp. 1.500.000,-

Rp. 4.500.000,-

Rp. 308.333,-

Rp. 447.222,-

Rp. 7.884.787,-

Rp. 9.150.882

Pendapatan pertama adalah responden yang memiliki kapal dengan

ukuran 3 GT. Pendapatan perbulan sebesar Rp. 7.884.787,- dengan pendapatan

pertrip memancing perbulan sebesar Rp. 6.693.120,- dengan frekuensi melaut

sebnayak 12 kali dalam satu bulan. Dan pendapatan penyewaan kapal sebanyak 6-

8 kali per bulan bisa menghasilkan Rp. 1.500.000,-.

Sedangkan untuk responden yang memiliki kapal sebesar 5 GT

mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 9.165.882,-. Dengan pendapatan per bulan

untuk memancing Rp. 5.113.104,- dengan frekuensi memancing 8 kali per bulan.

Dan pendapatan hasil penyewaan Rp. 4.500.000,- sebanyak 6-8 kali perbulan.

Sehingga dari tabel diatas bisa dijelaskan bahwa semakin besar ukuran

kapalnya, maka akan mempengaruhi hasil pendapatannya. Dengan ukuran kapal

yang lebih besar powernya maka nelayan bisa memuat lebih banyak hasil

40

tangkapan dan kemampuan jangkauannya bisa lebih besar dengan armada yang

juga lebih besar sehingga itu akan berpengaruh terhadap pendapatan.

4.4.3 Jumlah Rumpon

Pendapatan pemilik rumpon dengan jumlah berbeda pun menghasilkan

pendapatan yang berbeda. Sampel yang diambil adalah responden yang memiliki

jumlah rumpon yang paling besar dan yang terkecil.

Tabel 9. Tabel Pendapatan Pemilik Rumpon (Jumlah Rumpon)

Jumlah

Rumpon

Pendapatan

mancing

Pendapatan

Sewa

Total Cost Total

pendapatan

160

16

Rp. 17.863.160,-

Rp. 1.694.072,-

Rp. 9.231.250,-

Rp. 0,-

Rp. 2.424.722,-

Rp. 952.778,-

Rp. 24.669.688,-

Rp. 741.294,-

Pendapatan dengan jumlah rumpon terbanyak mendapatkan pendapatan

per bulan dari hasil memancing per bulan sebesar Rp. 18.400.160,- dengan

frekuensi melaut sebanyak 8 kali per bulan. Sedangkan untuk dapat pendapatan

dari hasil menyewakan kapal selama satu bulan dengan frekuensi 12 kali melaut

mendapatkan hasil Rp. 7.200.00,- .

Sedangkan untuk pendapatan responden dengan jumlah rumpon yang

terkecil, dalam satu bulan dengan frekuensi melaut sebanyak 8 kali dalam sebulan

mendapatkan Rp. 741.294,- . Sedangkan responden ini tidak menyewakan

kapalnya. Sehingga pendapatan responden tersebut terbilang kecil.

Dari hasil tabel diatas dan perhitungan thitung terlihat bahwa variabel jumlah

rumpon sangat berpengaruh terhadap pendapatan. Dari tabel diatas terlihat

semakin besar jumlah rumpon yang dimiiki atau digunakan oleh nelayan maka

akan semakin tinggi tingkat pendapatan nelayan tersebut. Dari pernyataan-

pernyataan sebelumnya bahwa rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan

dengan cara mengumpulkan ikan di suatu tempat tertentu sehingga ketika ikan

41

sedang berkumpul nelayan bisa memancing di sekitar daerah rumpon yang saat itu

menjadi fishing ground ikan-ikan.

4.4.4 Bahan Rumpon

Untuk analisis pendapatan dengan bahan pembuat rumpon dibagi menjadi

tiga, yaitu responden yang memiliki rumpon yang terbuat dari bambu, ban dan

beton. Responden kedua memiliki rumpon yang terbuat dari bambu dan beton.

Dan responden yang terakhir adalah yang hanya memiliki rumpon bambu saja.

Tabel 10. Pendapatan Pemilik Rumpon (Bahan Pembuat Rumpon)

Bahan

Pembuat

Pendapatan

Mancing

Pendapatan

Sewa

Total Cost Total

Pendapatan

Ban, Bambu,

Beton

Bambu, Beton

Bambu

Rp. 4.659.822,-

Rp. 2.402.046,-

Rp. 1.016.132,-

Rp. 4.575.000,-

Rp. 6.975.000,-

Rp. 7.300.000,-

Rp. 1.216.389,-

Rp. 1.268.056,-

Rp. 962.500,-

Rp. 8.018.433,-

Rp. 8.108.990,-

Rp. 7.353.632,-

Responden pertama yang memiliki bahan rumpon ban, bambu dan beton

memiliki pendapatan hasil dari pemancingan dengan frekuensi melaut 8 kali

selama satu bulan yaitu Rp. 4.659.822,-. Sedangkan untuk pendapatan hasil sewa

pancing dengan frekuensi 8 kali menyewakan dalam satu bulan mendapatkan

pendapatan sebesar Rp. 4.575.000,-.

Untuk responden kedua dengan bahan rumpon yang terbuat dari bambu

dan beton memiliki pendapatan dari hasil memancing sebesar Rp. 2.402.046,-

dengan frekuensi melaut dalam satu bulan sebanyak 4 kali. sedangkan untuk

pendapatan per bulan dengan hasil menyewakan kapal sebesar Rp. 6.975.000,-

dengan frekuensi menyewakan dalam satu bulan adalah 12 kali.

Untuk responden yang terakhir dengan menggunakan bahan bambu.

Dengan frekuensi memancing sebanyak 8 kali memancing dalam satu bulan

42

sebesar Rp. 1.016.132,- . Sedangkan untuk pendapatan hasil sewa kapal selama

satu bulan 12-15 kali dalam satu bulan sebesar Rp. 7.300.000,-.

Berdasarkan tabel di atas (tabel 10), semakin variatif bahan pembuat

rumpon maka akan semakin tinggi tingkat pendapatannya dibandingkan dengan

yang hanya menggunakan satu pembuat bahan rumpon saja (rumpon bambu).

Penggunaan rumpon yang bervariasi (kombinasi bambu-beton atau ban, bambu,

beton) cenderung mengkonsentrasikan ikan dalam jumlah yang lebih banyak

dibandingkan dengan rumpon yang menggunakan bambu saja karena daya tahan

bambu yang tidak lama. Variasi rumpon ban, bambu, beton menyebabkan ikan

lebih lama tinggal dan aman terlindungi dari serangan predator, sehingga ikan

lebih lama tinggal di rumpon kombinasi tersebut. Sehingga pada akhirnya

memudahkan penangkapan ikan secara besar. Jumlah jenis bahan yang digunakan

dalam penggunaan rumpon berpengaruh terhadap tingkat pendapatan nelayan.

Walaupun dalam beberapa kasus jumlah rumpon lah yang sangat berpengaruh

namun keanekargaman jenis bahan rumpon juga berpengaruh terhadap tingkat

pendapatan. Biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam perawatan rumpon yang

sifatnya „permanen‟ akan lebih sedikit biaya pengeluarannya dibandingkan

dengan rumpon yang sering mendapatkan perawatan.