Upload
vankiet
View
236
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Penyakit jantung koroner pada Lansia
Usia lanjut merupakan prediktor kuat terjadinya penyakit arteri koroner pada
individu. (Odden, 2011) Studi otopsi menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
koroner obstruktif meningkat kurang lebih 10-20% pada dekade empat hingga
50-70% pada dekade delapan. (Lakatta, 2008)
Angka kematian akibat penyakit jantung koroner (PJK) diperkirakan
meningkat 50% selama 30 tahun ke depan. (Odden, 2011) Meningkatnya usia
juga dikaitkan dengan keadaan atherosklerosis yang lebih berat dan
menyeluruh serta sering disertai kerusakan ventrikel kiri, dengan kejadian tiga
penyakit pembuluh dan penyakit arteri koroner kiri utama menjadi dua kali
lipat antara usia 40-80 tahun. Penilaian klinis penderita penyakit arteri koroner
yang berusia lanjut sering terhambat oleh penyakit dasar lain yang membuat
interpretasi gejala iskemi menjadi sulit. Komorbid yang telah ada, turut
membuat tes diagnostik dan terapi di bidang kardiologi lebih menantang untuk
mereka yang berusia lanjut. (Lakatta, 2008)
a. Perubahan arteri pada usia lanjut
Secara alami tubuh manusia akan mengalami proses penuaan termasuk
system kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai perubahan struktur dan
fungsi arteri terkait usia dapat menjelaskan mengapa penuaan merupakan
prediktor komplikasi penyakit kardiovaskuler. (Lakatta, 2008) Penuaan
vaskuler ditandai oleh adanya proses degeneratif, penurunan fungsi endotel
dan kekakuan arteri. Perubahan tersebut dapat merupakan refleksi adaptatif
atau proses degeneratif. (Levy, 2001)
7
1) Perubahan degeneratif dan remodeling arteri
Penebalan intima-media pada arteri sering disebut atherosklerosis
subklinis. Pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler, penebalan
intima-media yang berlebihan pada usianya dapat memprediksi penyakit
arteri koroner asimptomatis (silent) dan dapat berkembang menjadi
penyakit jantung iskemi yang simptomatis. Menurut Cardiovascular
Health study (CHS), pada usia diatas 65 tahun, penebalan intima-media
adalah prediktor independen kejadian infark miokard dan stroke dimasa
mendatang. (Lakatta, 2008; Susic, 2008)
Perubahan molekuler, seluler dan enzimatik pada dinding arteri terdiri
dari migrasi sel otot polos vaskuler yang teraktivasi menuju intima,
disertai oleh peningkatan produksi bahan matriks akibat menurunnya
fungsi matrix metalloproteinase, angiostensin II, transforming growth
factor β (TGF-β), intercellular cell adhesion molecules, produksi
kolagen serta collagen cross-linking, dan hilangnya serat elastik,
peningkatan fibronektin dan kalsifikasi. (Scwartz, 2011)
Penurunan rasio elastin dan kolagen yang menjadi kunci viskoelastisitas
pembuluh darah menyebabkan kekakuan arteri. Kekakuan arteri terjadi
pada seluruh lanjut usia, tak terkecuali normotensi, perbedaan etnis
maupun gaya hidup. (Levy, 2001) Kekakuan arteri (arterial stiffness)
berhubungan dengan struktur intrinsik dinding pembuluh darah yang
berkaitan dengan peningkatan pulse wave velocity dan semakin dini dan
kuatnya pulse wave reflection yang kembali ke jantung. (Schwart, 2011)
2) Disfungsi Endotel
Sel endotel merupakan regulator vaskuler yang kuat dan sangat penting.
Penurunan control endotel pada tonus vasomotor menggagalkan
adaptasi vaskuler terhadap perubahan aliran terutama saat aktivitas atau
iskemia. Selain itu penurunan makromolekul transport dan sintesis
8
prostasiklin (PGI2) memfasilitasi pembentukan atherosklerosis dan
trombosis. (Levy, 2001)
Fungsi barier sel endotel menurun seiring usia sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi perpindahan
makromolekul plasma melalui endotel lalu terperangkap di intima yang
pada akhirnya memberi kontribusi terhadap modifikasi intima. (Levy,
2001)
Beberapa faktor resiko penyakit arteri koroner dikaitkan dengan adanya
disfungsi dari sel endotel, seperti hiperkolestrolemia, resistensi insulin
dan merokok, yang memberi kontribusi terjadinya atherosklerosis.
Endotel menghasilkan beberapa substansi vasoreaktif diantaranya NO
(nitric oxide) dan endothelin. Substansi ini menurun seiring dengan
penambahan usia. (Levy, 2001; Lakatta, 2008)
Pemendekan telomer juga dikaitkan dengan proses atherosklerosis.
Fungsi telomer yang terhenti akibat penuaan menginduksi terjadinya
disfungsi endotel pada pembuluh darah. Kemampuan regenerasi sel juga
terhenti sehingga menyebabkan kegagalan angiogenesis. Proses
angiogenesis memerlukan sel endotel yang berproliferasi dan bermigrasi
sebagai respon terhadap sitokin. (Lakatta, 2008)
Perubahan lingkungan intravaskular turut dipengaruhi oleh usia seperti
fibrinogen, faktor koagulasi (V, VII, IX dan XIIa) dan faktor von
Willebrand yang meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan factor
antikoagulasi. Peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1)
terutama saat stres mengakibatkan gagalnya fibrinolisis. (Scwart, 2011)
9
b. Manifestasi Klinis
Mekanisme dasar PJK merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan permintaan oksigen miokard dengan berbagai
konsekuensi yang dipengaruhi oleh beratnya penurunan aliran darah
koroner, lamanya iskemi, daerah miokard yang pembuluh koronernya
tertutup serta adanya kolateral dari pembuluh koroner lain di jantung.
(Depre, 2008) Manifestasi dari insufisiensi koroner pada penderita usia
lanjut sering berbeda dengan dewasa muda dan gambaran klinis hampir
selalu tidak klasik. (Hanon, 2009)
1) Angina Pektoris
Diagnosis angina pektoris mudah dilakukan pada penderita dewasa
muda dan paruh baya namun sulit dilakukan pada penderita usia lanjut.
Karena angina dipicu oleh aktivitas maka turunnya aktivitas fisik yang
disebabkan oleh penuaan, membuat penderita Lansia tidak mampu
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard yang cukup sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Sama halnya pada
keadaan penurunan aktivitas tiba-tiba karena gangguan ortopedi dapat
menyebabkan tersamarnya angina yang telah ada sebelumnya. Ingatan
terhadap keluhan angina dapat menumpul akibat gangguan memori atau
tersamar dengan keluhan nyeri di bagian tubuh yang lain. (Duprez,
1996; Hanon, 2009)
Keluhan akibat manifestasi iskemia koroner sering tumpang tindih
dengan penyebab yang lain seperti adanya regurgitasi katup mitral yang
signifikan sehingga menimbulkan manifestasi gagal jantung kiri. Faktor
lain yang memperberat adalah turunnya aktivitas fisik dan kapasitas
latihan aerobik pada proses penuaan alami. Adanya penyakit penyerta
seperti penyakit paru kronis, penyakit arteri perifer, arthritis dan
gangguan neuromuskuler akan menyulitkan mobilisasi. (Williams,
2002)
10
Pada keadaan iskemia yang kronis, keadaan yang dapat dimodifikasi
seperti anemia, hipertiroid, hipertensi, gagal jantung kongestif dan
aritmia supraventrikular harus segera diidentifikasi dan diterapi.
(Duprez, 1996)
Tes diagnostik non invasif penting sebab anamnesis terkadang tidak
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dan pemeriksaan fisik
juga sulit diinterpretasikan. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) saat
istirahat dan exercise test dilakukan pertama kali untuk menilai iskemia
miokard. Apabila belum memberi informasi yang cukup, dapat
dilakukan exercise myocardial imaging. Selanjutnya perlu dilakukan
radionuclide ventriculography untuk menilai fungsi ventrikel lebih baik
daripada ekokardiografi. (Duprez, 1996)
2) Silent Ischaemia
Silent ischaemia lebih sering terjadi pada usia lanjut akibat kegagalan
fungsi saraf sensorik, penurunan fungsi kortikal atau disautonomia. PJK
dapat menjadi asimtomatik ketika aktivitas fisik menurun dibawah
ambang iskemia oleh karena gaya hidup banyak duduk atau gangguan
lokomotor. Adanya penyakit perancu seperti spondilosis atau
osteoarthritis bahu, nyeri dinding dada atau penyakit gastrointestinal
membuat analisis klinis lebih sulit. (Hanon, 2009)
3) Infark miokard
Infark miokard merupakan salah satu manifestasi yang mengikuti
iskemia miokard. (Depre, 2008) Gejala yang muncul dapat atipikal
maupun tipikal. Gejala atipikal, ditandai dengan hilangnya keluhan
nyeri dada, terjadi lebih sering pada usia lanjut dengan rata-rata usia
sekitar 72, 9 tahun.
11
Sedangkan rata-rata usia penderita yang mengalami gejala tipikal lebih
muda yaitu 65,8 tahun. Selain nyeri dada (40%), keluhan utama lain
yang dapat muncul adalah sesak (49%), diaphoresis (26%), mual
muntah (24%) dan sinkop (19%). (Alexander, 2007)
Pemeriksaan EKG dilakukan sesegera mungkin walaupun hasilnya
dapat non diagnostik. Kemungkinan hasil EKG non diagnostik
meningkat dari 23% menjadi 43% pada mereka yang berusia <65 tahun
terhadap ≥ 85 tahun. Gambaran EKG yang sering terjadi selain
perubahan segmen ST-T adalah adanya blok cabang berkas kiri.
(Alexander, 2007)
c. Tata Laksana PJK
Tata laksana medik optimal penderita PJK Lansia tidak berbeda jauh
dengan usia yang lebih muda. Tetapi kondisi penderita yang lemah
memerlukan perhatian khusus terhadap pemilihan terapi, kontraindikasi
dan monitor efek samping karena secara alami terjadi perubahan
penyerapan obat, metabolisme, distribusi dan ekskresi. (Hanon, 2009;
Jokhadar, 2009)
1) Trombolitik
Trombolitik jarang menjadi pilihan dibandingkan dengan percutaneous
coronary intervention (PCI). Menurut studi GISSI-1 dan ISIS-2,
tindakan ini masih memberi keuntungan memperbaiki hasil akhir pada
Lansia yang mengalami ST-elevation myocardial infarction (STEMI)
dibandingkan tanpa tindakan revaskularisasi. (Jokhadar, 2009)
Konsensus ACC/AHA menyebutkan bahwa trombolitik dapat
digunakan pada Lansia STEMI bila tidak ada kontraindikasi dan PCI
tidak tersedia. (Alexander, 2007)
12
Untuk meminimalkan efek samping tersering trombolitik yaitu
perdarahan intraserebral, maka dipilih golongan tissue plasminogen
activator (tPA) seperti tenecteplase atau alteplase. (Van de Werf, 2001)
Dosis yang diberikan setengah dari dosis standar ditambah terapi
antikoagulan. (Alexander, 2007)
2) Anti agregasi trombosit
Aspirin atau clopidogrel dapat dipakai pada saat akut maupun setelah
fase akut terlewati, tanpa penyesuaian dosis. (Alexander, 2007) Studi
mengenai kombinasi 2 obat tersebut pada sampel Lansia masih belum
ada namun tetap diberikan terutama pada mereka yang terpasang stent
hingga terjadi endotelialisasi komplit. (Jokhadar, 2009)
Konsensus ACC/AHA dan ESC merekomendasikan glycoprotein (GP)
IIb/IIIa pada kasus NSTEMI yang beresiko tinggi tanpa memandang
usia. Pemberian obat ini harus dihitung berdasarkan berat badan
penderita dan harus disesuaikan dengan keadaan fungsi ginjal penderita.
Kecepatan infus eptifibatide disesuaikan apabila klirens kreatinin
penderita <50ml/menit menjadi 1μg/kg/menit sedangkan tirofiban
disesuaikan bila klirens kreatinin <30ml/menit menjadi 6μg/kg bolus
dan infus 0,05μg/kg/menit (Alexander, 2007)
3) Antikoagulan
Penggunaan heparin lebih ditoleransi dibandingkan heparin berat
molekul rendah dalam hal kejadian perdarahan intracranial. (Hanon,
2009) Dosis antikoagulan tersebut dihitung berdasarkan berat badan
penderita. Selain itu pemberian heparin terfraksi juga harus disesuaikan
apabila klirens kreatinin penderita <30ml/menit, menjadi 1mg/kg
subkutan tiap 24jam. (Alexander, 2007) Jenis antikoagulan baru yaitu
direct antitrombotics secara teori lebih unggul daripada heparin berat
13
molekul rendah tetapi penelitian mengenai keamanan dan efikasi pada
Lansia masih belum ada. (Alexander, 2007; Hanon, 2009)
4) Penghambat Reseptor Beta
Penghambat reseptor beta masih memberi keuntungan pada penderita
Lansia dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama terutama pada
kasus disfungsi ventrikel kiri, setelah menyingkirkan kontraindikasi
seperti dekompensasi jantung, asma dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). (Hanon, 2009)
Monitor tekanan darah, denyut jantung dan EKG secara ketat diperlukan
pada pemberian penghambat reseptor beta. Dosis yang diberikan tidak
memerlukan penyesuaian dosis namun perlu dipilih jenis penghambat
reseptor beta yang lama kerja pendek, diberikan mulai dosis kecil dan
dititrasi sampai mencapai target denyut jantung 60x/menit. (Jokhadar,
2009)
5) Penghambat Renin-Angiostensin
Penghambat system renin-angiostensin baik angiostesin converting
enzyme inhibitor (ACEI) dan angiostensin receptor blocker (ARB)
memberi manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi penderita PJK
Lansia. Masing-masing memberi manfaat yang sama bila diberikan
tunggal maupun dikombinasikan. Menurut studi Valsartan in Acute
Myocardial Infarction (VALIANT) efek samping yang terjadi lebih
sering pada penderita yang mendapat kombinasi ACEI dan ARB.
(Alexander, 2007) Saat pemberian, monitor ketat terhadap fungsi ginjal
dan elektrolit sangat diperlukan bagi penderita PJK Lansia. (Jokhadar,
2009)
14
6) Nitrat
Golongan nitrat direkomendasikan oleh ACC/AHA pada penderita PJK
Lansia berdasarkan studi GISSI-3 yang menggunakan nitrat transdermal
yang diberikan selama 24 jam sejak awitan keluhan dikaitkan dengan
penurunan angka kematian, gagal jantung dan disfungsi ventrikel kiri
selama 6 bulan pertama sebesar 12%. Walaupun demikian, penggunaan
nitrat lain tetap bermanfaat pada Lansia karena efeknya terhadap
preload, afterload dan penurunan iskemia berulang, tanpa melupakan
potensi efek hipotensinya. (Alexander, 2009)
7) Hydroxymethylglutaryl Coenzyme A Reductase Inhibitors (Statin)
Efek pleiotropik statin secara teori bermanfaat bagi Lansia karena
efeknya terhadap fungsi endotel dan proses inflamasi. Penggunaan statin
untuk mencegah kejadian infark miokard berulang serta kematian
bermanfaat lebih besar pada Lansia dibandingkan dengan dewasa muda.
Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yaitu Myocardial Ischemia
Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering (MIRACL) dan
Pravastatin or atorvastatin Evaluation and Infection Theraphy
(PROVE-IT). (Alexander, 2007)
2. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner
a. Dislipidemia
Menurut Anwar (2004:7), dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid
yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam
plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, kenaikan kadar trigliserida serta
penurunan kadar HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya
mempunyai peran yang penting dan sangat berkaitan satu dengan yang lain,
sehingga tidak mungkin dibicarakan sendiri-sendiri. Ketiga-tiganya
sekaligus dikenal sebagai Triad Lipid, yaitu:
15
1) Kolesterol total dan kolesterol LDL
Banyak penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kadar
kolesterol total darah dengan resiko penyakit jantung koroner (PJK)
sangat kuat, konsisten dan tidak bergantung pada faktor resiko lain.
Penelitian genetik, eksperimental, epidemiologis dan klinis
menunjukkan dengan jelas bahwa peningkatan kadar kolesterol total
mempunyai peran penting pada patogenesis penyakit jantung koroner
(PJK).
Bukti epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa LDL yang
mengangkut lebih kurang 70-80% dari kolesterol total adalah
lipoprotein yang paling penting pada timbulnya aterosklerosis.
2) Kolesterol HDL
Bukti epidemiologis dan klinis menunjang hubungan negatif antara
kadar kolesterol HDL dengan penyakit jantung koroner (PJK).
Intervensi obat atau diet dapat menaikkan kadar kolesterol HDL dan
sekaligus mengurangi penyakit jantung koroner (PJK).
3) Trigliserida
Kadar trigliserida diantara 250-500 mg/dl dianggap berhubungan
dengan penyakit jantung koroner (PJK) apabila disertai dengan adanya
penurunan kadar kolesterol HDL. Angka patokan kadar lipid yang
memerlukan pengelolaan, penting dikaitkan dengan terjadinya
komplikasi kardiovaskuler. Dari berbagai penelitian jangka panjang di
negara-negara barat, yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskuler (PKV), dikenal patokan kadar
kolesterol total sbb :
a) Kadar yang diinginkan dan diharapkan masih aman (desirable)
adalah < 200 mg/dl
16
b) Kadar yang sudah mulai meningkat dan harus diwaspadai untuk
mulai dikendalikan (bordeline high) adalah 200-239 mg/dl
c) Kadar yang tinggi dan berbahaya (high) adalah > 240 mg/dl
Klasifikasi dislipidemia berdasarkan patogenesis penyakit menurut Murphy
(2002:9) dan Forum Studi Aterosklerosis dan Penyakit Vaskular Indonesia
(1995:12) adalah sebagai berikut:
1) Dislipidemia primer
Yaitu kelainan penyakit genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan
kelainan kadar lipid dalam darah.
2) Dislipidemia sekunder
Yaitu dislipidemia yang disebabkan oleh penyakit atau suatu keadaan
tertentu seperti hiperkolesterolemia disebabkan oleh hipotiroidisme,
sindrom nefrotik, penyakit hati obstruktif, kehamilan, anoreksia
nervosa dan porfiria akut intermitten. Hipertrigliserida disebabkan oleh
karena DM, konsumsi alcohol, gagal ginjal kronik, infark miokard,
disglobulinemia, sindrom nefrotik, kelainan autoimun, dan kehamilan.
Dan dislipidemia campuran yang dapat disebabkan oleh karena
hipotiroidisme, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, penyakit hati,
dan akromegali.
Menurut Anwar (2004:16), pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah
upaya non farmakologis yang meliputi modifikasi diet, latihan jasmani
serta pengelolaan berat badan. Tujuan utama terapi diet disini adalah
menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler (PKV) dengan mengurangi
asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan keseimbangan
kalori, sekaligus memperbaiki gizi. Perbaikan keseimbangan kalori
biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi melalui kegiatan
jasmani serta pembatasan asupan kalori.
17
Asupan tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori memberikan kontribusi
utama pada peningkatan kolesterol plasma. Terapi diet bertujuan untuk
menurunkan kelebihan tersebut dengan mempertahankan serta
meningkatkan gizi yang baik. Intervensi diet dimaksudkan untuk mencapai
pola makan yang sehat. Diet bukan untuk sementara akan tetapi membuat
perubahan yang permanen pada perilaku makan (Sukardji, 2007:21).
Faktor diet yang menurunkan kadar lemak darah adalah:
1) Penurunan berat badan bila kegemukan
2) Mengubah tipe dan jumlah lemak makanan
3) Menurunkan asupan kolesterol makanan
4) Meningkatkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan asupan
karbohidrat sederhana.
b. Merokok.
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko
utama Penyakit Jantun Koroner disamping hipertensi dan
hiperkolesterolami. orang yang merokok > 20 batang perhari dapat
mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya.
Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada
laki-laki perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada
perempuan perokok 4.5X lebih dari pada bukan perokok. Efek rokok
adalah Menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan
perkataan lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh
darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10
% Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL
kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok
yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang
merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan
18
laki – laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal
pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan
gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada
yang bukan perokok.
Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 %
pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti
yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun.
c. Hipertensi
1) Pengertian Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.
Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005:23).
Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus
menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah
110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh
darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002:12)
2) Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :
Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan
arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol
homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan
mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999:37). Hipertensi
sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain
hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini
menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Sheps, 2005:31).
19
Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu hipertensi diastolic, campuran, dan
sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya
ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran
(sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada
sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan
diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut (Gunawan, 2001:29)
Corwin (2000:16) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada
kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral
Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang
tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi.
Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan
abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut
jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme.
Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh
penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan
hipertensi (Astawan,2002:37).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila
terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat
gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang
berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun
penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan
garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan
peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume
sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan
dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir,2002:37).
20
Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat
terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada
peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara
lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar,
untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini
disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung
lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar).
Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat
sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi
untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot
jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup ( Hayens,
2003:41) .
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001:27).
21
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi (Dekker, 1996 :33).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Corwin,2001:31).
Tanda dan Gejala Hipertensi pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai
kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula
ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan
cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil
(edema pada diskus optikus).
22
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala
sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan
vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis
pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada
malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan
kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke
atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis
sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan
(Wijayakusuma,2000 :41).
Crowin (2000: 45) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat
terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan
tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat
hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus,Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan
tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002:39).
d. Glukosa darah
Bagi kebanyakan penderita diabetes, meningkatnya gula darah sesudah
makan sering dianggap suatu yang lumrah, sekalipun angkanya menembus
batas normal yakni 140 mg/dL. Namun, pada tahun 2007 International
Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan satu rekomendasi bagi
penyandang diabetes yang menekankan petingnya menjaga gula darah
sesudah makan. Karena tingginya gula darah sesudah makan, dilaporkan
23
berkaitan erat dengan komplikasi penyakit jantung koroner. Penyakit
jantung diketahui merupakan penyebab kematian terbesar bagi para
penderita diabetes.
Pada orang normal, kondisi gula darah telah diatur sedemikian rupa oleh
tubuh, sehingga jika gula darah meningkat sesudah makan, maka akan
dilepas hormom insulin untuk menurunkannya. Gula darah naik sesudah
makan pada orang normal tidak akan melebihi 140 mg/dL, dan akan turun
dalam 2 jam sesudanhnya karena dimetabolisme oleh tubuh.
Namun pada penderita diabetes, kontrol tubuh terhadap kenaikan gula
darah sangat buruk. Setelah makan gula darah yang naik akan tetap
bertahan tinggi dalam jangka waktu yang agak lama, hal ini dikarenakan
tubuh tidak cukup memiliki hormon insulin yang bertugas menurunkan
gula darah atau mungkin tidak ada insulin sama sekali yang diproduksi
oleh organ pankreas (Arif, 2011)
e. Stress tinggi
Stres dianggap sebagai faktor yang cukup dominan sebagai sala satu faktor
resiko PJK. Stres sendiri memang ada yang positif dan ada juga yang
negatif. Stres yang positif berdampak baik, seperti rasa ingin maju cita-cita
adalah salah satu stres positif.
Stres negatif seperti merasa sakit hati yang sangat berlebihan, bila tidak
dikelola dengan baik akan menyebabkan dampak yang sangat merugikan
dan sayangnya sangat sedidkit orang yang menyadari bahwa ia telah
terkena stres negatif.
Bila tingkat stres sudah sangat tinggi dan mencemaskan maka akan sangat
membahayakan kesehatan ,apalagi bila usia sudah diatas 40 th , usia semua
faktor resiko sangat meningkat.
24
Menurut penelitia para ahli kesehatan klinik stres dapat memicu semburan
adrenalin dan zat katekolamin yang tinggi yang dapat mengakibatkan
penyempitan pembuluh darah jantung serta peningkatan denyut jantung.,
sehingga dapat menyebabkan terganggunya suplai darah ke jantung
(http://nusaindah.com, 2011).
f. Inaktivitas fisik
Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang
dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah aterosklerosis
(timbunan lemak di dinding pembuluh darah). Hal itu terbukti dari autopsi
juara maraton Boston tujuh kali, Clarence deMar, yang menunjukkan
ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai tiga kali ukuran normal
serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh darah) yang
signifikan meski meninggal dalam usia 69 tahun.
Menurut Ketua Bagian Kardiologi FKUI, aktivitas fisik terutama aerobik
meningkatkan aliran darah yang bersifat gelombang yang mendorong
peningkatan produksi nitrit oksida (NO) serta merangsang pembentukan
dan pelepasan endothelial derive relaxing factor (EDRF), yang merelaksasi
dan melebarkan pembuluh darah.
Aliran darah koroner dalam keadaan istirahat sekitar 200 ml per menit
(empat persen dari total curah jantung). Penelitian di laboratorium
menunjukkan, peningkatan aliran darah 4 ml per menit sudah mampu
menghasilkan NO untuk merangsang perbaikan fungsi endotel (lapisan
dinding) pembuluh darah.
Aktivitas fisik sedang berupa senam atau jalan kaki yang meningkatkan
aliran darah menjadi 350 ml per menit (naik 150 ml per menit) sudah lebih
dari cukup untuk menghindarkan endotel pembuluh darah dari proses
aterosklerosis.
25
Namun, manfaat itu baru bisa didapat jika peningkatan aliran darah lewat
aktivitas fisik berlangsung secara teratur dalam waktu cukup lama (20
menit sampai satu jam) serta dilakukan secara teratur seumur hidup
(http://kompas.com, 2009).
g. Alcohol
Konsumsi Alkohol merupakan salah satu alasan utama di balik belum
menghasilkan kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler.
Dikonsumsi dalam jumlah yang moderat, alkohol bisa mencegah serangan
jantung. Namun, minum berat menyebabkan berbagai gangguan fungsi
tubuh kita seperti peningkatan kolesterol LDL dan penurunan kolesterol
HDL, penurunan aliran darah koroner, menurunkan kadar hormon
estrogen, menyebabkan pembekuan darah dan agregasi trombosit
meningkat. Jumlah alkohol yang berlebihan juga menyebabkan tekanan
darah meningkat dan akibatnya meningkatkan risiko serangan jantung.
cardiomyopathy beralkohol adalah penyakit kardiovaskular yang
disebabkan oleh efek toksik alkohol pada hati manusia dimana hati menjadi
membesar dan dilemahkan. minum berat menimbulkan gagal jantung
kongestif, peningkatan kadar trigliserida dan stroke.
Alkoholisme dicirikan oleh dorongan tidak memuaskan untuk melanjutkan
minum. Meskipun alkohol orang sadar akan efek buruk dari alkohol,
mereka sering tidak dapat keluar dari kebiasaan buruk sepenuhnya.
Berhenti dari alkohol memerlukan dukungan moral dan mental bersama
dengan pengawasan medis dan obat-obatan. Ada juga berbagai suplemen
kesehatan yang kini tersedia yang dapat membantu menghilangkan efek
racun yang disebabkan oleh merokok dan konsumsi alkohol dalam tubuh.
suplemen hati seperti dukungan terdiri dari bahan-bahan yang tidak hanya
melindungi jantung dari gangguan masa depan, tetapi juga memelihara
kesehatan jantung dan pembuluh darah (Pusat Ilmu, 2009).
26
h. Lingkungan
Salah satu faktor dalam epidemologi penyakit yaitu unsur lingkungan.
Unsur lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan terjadinya sifat karakteristik individu sebagai pejamu dan iku
memegang peranan dalam proses kejadian penyakit.
1) Lingkungan Biologis
Segala flora dan fauna yang berada di sekitar manusia yang antara lain
meliputi :
a) Beberapa mikroorganisme patogen dan tidak patogen;
b) Vektor pembawa infeksi
c) Berbagai binatang dan tumbuhan yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia, baik sebagai sumber kehidupan (bahan makanan
dan obat-obatan), maupun sebagai reservoir/sumber penyakit atau
pejamu antara (host intermedia) ; dan
d) Fauna sekitar manusia yang berfungsi sebagai vektor penyakit
tertentu terutama penyakit menular.
e) Lingkungan biologis tersebut sangat berpengaruh dan memegang
peranan yang penting dalam interaksi antara manusia sebagai pejamu
dengan unsur penyebab, baik sebagai unsur lingkungan yang
menguntungkan manusia (senbagai sumber kehidupan) maupun yang
mengancam kehidupan / kesehatan manusia (Nur , 2002.Hal.28-29)
2) Lingkungan fisik
Keadaan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik
secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan
sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimiawi serta radiasi)
meliputi :
a) Udara keadaan cuaca, geografis, dan golongan
27
b) Air, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai bentuk
pemencaran pada air, dan
c) Unsur kimiawi lainnya pencemaran udara, tanah dan air, radiasi dan
lain sebagainya.
Lingkungan fisik ini ada yang termasuk secara alamiah tetapi banyak
pula yang timbul akibat manusia sendiri (Nur, 2000, Hal.28.)
3) Lingkungan sosial ekonomi
Semua bentuk kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, sistem
organisasi. Serta instusi/peraturan yang berlaku bagi setiap individu
yang membentuk masyarakat tersebut untuk berprilaku terhadap
kejadian penyakit. lingkungan sosial ini meliputi :
a) Sistem hukum, administrasi dan lingkungan sosial politik, serta
sistem ekonomi yang berlaku;
b) Bentuk organisasi masyarakat yang berlaku setempat
c) Sistem pelayanan kesehatan serta kebiasaan hidup sehat masyarakat
setempat, dan Kebiasaan hidup masyarakat
Kepadatan penduduk. Kepadatan rumah tangga, serta berbagai sistem
kehidupan sosial lainnya
i. Nutrisi
Pada usia yang lebih tua, kebutuhan akan zat gizi lebih rendah, tetapi
kemampuan untuk menyerap zat gizipun sering menurun. Oleh karena itu,
resiko kekurangan gizi pada masa ini adalah lebih besar dan juga pada
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.
Untuk menentukan riwayat makan seseorang, ditanyakan makanan apa
yang dimakan dalam 24 jam terakhir dan jenis makanan seperti apa yang
28
biasanya dimakan. Dibuat catatan tentang daftar makanan yang dimakan
selama 3 hari. Selama pemeriksaan fisik, diamati penampilan secara
keseluruhan dan tingkah lakunya, juga distribusi lemak tubuh serta fungsi
organ tubuhnya.
Misalnya, perdarahan lambung dapat menyebabkan anemia karena
kekurangan zat besi. Seseorang yang telah diobati dengan vitamin A dosis
tinggi karena berjerawat, bisa mengalami sakit kepala dan penglihatan
ganda sebagai akibat keracunan vitamin A.
Berbagai sistem tubuh bisa dipengaruhi oleh kelainan gizi:
1) Sistem saraf bisa terkena oleh kekurangan niasin (pelagra), beri-beri,
kekurangan atau kelebihan vitamin B6 (piridoksin) dan kekurangan
vitamin B12
2) Pengecapan dan pembauan bisa dipengaruhi kekurangan seng
3) Sistem pembuluh darah jantung bisa dipengaruhi oleh :
a) Beri-beri
b) Kegemukan (obesitas)
c) Makanan tinggi lemak menyebabkan hiperkolesterolemi dan penyakit
jantung koroner
d) Makanan kaya garam bisa menyebabkan tekanan darah tinggi
4) Saluran pencernaan dipengaruhi oleh pelagra, kekurangan asam folat
dan banyak minum alkohol
5) Mulut (lidah, bibir, gusi dan membran mukosa) dipengaruhi oleh
kekurangan vitamin B dan vitamin C
6) Pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat kekurangan iodium
29
7) Kecenderungan mengalami perdarahan dan gejala pada kulit seperti
ruam kemerahan, kulit kering dan pembengkakan karena penimbunan
cairan (edema) bisa terjadi pada kekurangan vitamin K, kekurangan
vitamin C, kekurangan vitamin A dan beri-beri
Tulang dan sendi dapat terkena ricketsia, osteomalasia, osteoporosis dan
kekurangan vitamin C.
3. Modifikasi Faktor Risiko Penyakit Jantung Kororner
Usaha untuk memodifikasi faktor risiko penyakit jantung koroner merupakan
elemen penting pada prevensi sekunder.
a. Berhenti Merokok
Merokok mempunyai efek merusak system kardiovaskuler, dengan
manifestasi berupa meningkatnya infark miokard, stroke dan kematian.
Merokok merangsang keseimbangan hormonal (meningkatkan kadar
katekolamin), profil metabolik (kadar kolesterol high density lipoprotein
(HDL) meningkat), tonus vasomotor (kegagalan vasodilatasi arteri) dan
system hemostasis (kecenderungan pembekuan darah meningkat). (Hanna,
2005)
Berhenti merokok menurunkan angka kesakitan dan kematian secara
keseluruhan pada penderita infark miokard sekitar 25-50% dan setelah
prosedur coronary artery bypass graft (CABG), termasuk bagi mereka
yang berusia >70 tahun. Intervensi yang dapat dilakukan antara lain
konseling, kelompok pendukung, pengganti nikotin, dan sebagainya.
(Hanna, 2005; Hanon, 2009)
b. Hipertensi
Hipertensi adalah faktor resiko gagal jantung dan gagal ginjal kronis yang
terjadi pada 2/3 penderita usia diatas 65 tahun. (Hanna, 2005) Pada
30
penderita usia lanjut, target tekanan darah diastolik harus <90mmHg
sedangkan tekanan sistolik <140mmHg atau <150mmHg bila penderita
berusia diatas 80 tahun. Perkecualian adalah bagi penderita diabetes
mellitas, gagal ginjal kronik dan gagal jantung target penurunannya
<130/80mmHg. (Becket, 2008)
Tekanan darah yang terkendali turut memperlambat hilangnya fungsi
endotel, walaupun tekanan arteri yang terkontrol tidak menghambat
progresivitas vascular remodeling. Oleh karena itu, obat anti hipertensi
yang memiliki efek anti remodeling dan anti stiffness lebih dianjurkan pada
penderita usia lanjut. Pemberian golongan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) dikatakan dapat menghambat penuaan vaskuler pada
percobaan tikus. (Scwartz, 2011)
Terapi antihipertensi secara efektif menurunkan insiden infark miokard
pada penderita hipertensi berusia 60-80 tahun, dengan penrurunan resiko
sebesar 20-30%. Pada penderita berusia >80tahun, konsensus untuk
memulai terapi antihipertensi masih belum jelas. Studi HYVET
(hipertension in very elderly trial) menunjukkan pemberian indapamid
dengan atau tanpa penyekat ACE dapat menurunkan kejadian
kardiovaskuler sebesar 34%. Pendekatan non farmakologi seperti
pembatasan asupan garam, penurunan berat badan, olahraga sangat efektif
bagi Lansia.(Hanna, 2005, Hanon, 2009)
c. Abnormal Lipid Levels
Bukti ilmiah yang ada sangat mendukung penurunan lemak sebagai
pencegahan primer maupun sekunder pada PJK. Sayangnya studi yang
melibatkan populasi Lansia masih sedikit. (Henna, 2005)
Simvastatin dikatakan dapat menurunkan angka kematian akibat PJK dan
infark miokard yang tidak fatal pada penderita berusia >70 tahun, termasuk
penderita dengan LDL <116mg/dL. (Henna, 2005) Manfaat pemberian
31
statin ini berlaku sama pada semua jenis kelamin yang disertai diabetes
maupun tidak. (Hanon, 2009)
Menurut studi PROSPER (Pravastatin in elderly individuals at risk of
vascular disease) dengan 100% sampel berusia 65 tahun ke atas, pemberian
pravastatin 10mg/hari sebagai pencegahan sekunder resiko cardiovaskuler
atau resiko tinggi dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit
jantung. (Scwartz, 2011) Studi meta analisis tahun 2008 yang dilakukan
oleh Afilalo, dkk menunjukkan penurunan angka kematian sebesar 22%
dalam kurun waktu 5 tahun, pada penderita > 65 tahun yang mendapatkan
statin sebagai pencegahan sekunder. (Hanon, 2009)
Target terapi yang diharapkan menurut National Cholesterol Education
Program (NCEP) bagi Lansia sama dengan penderita yang lebih muda,
yaitu LDL<100mg/dL, HDL >40mg/dL. Apabila kadar trigliserida
≥200mg/dL maka kadar kolesterol non-HDL harus <130mg/dL. (Henna,
2005) Sedangkan menurut konsensus ACC/AHA target terapi yang
diharapkan adalah kadar LDL<100mg/dL, sedapat mungkin hingga
LDL<70mg/dL. Target demikian dicapai dengan modifikasi diet dan terapi
farmakologis. (Jokhadar, 2009)
d. Obesitas
Obesitas menjadi faktor resiko PJK melalui kaitannya dengan resistensi
insulin, hipertensi dan hiperlipidemia. Studi yang melibatkan penderita PJK
yang obesitas membuktikan bahwa penurunan 11kg dikaitkan dengan
penurunan kolesterol total dan LDL sebesar 10%, penurunan trigliserida
sebesar 24% dan peningkatan HDL sebesar 8%. (Henna, 2005, Sinaiko,
2006)
Walaupun penurunan berat badan dikatakan sangat berguna namun
disarankan untuk melakukan penurunan berat badan secara perlahan dan
32
tidak dalam waktu singkat karena dapat menurunkan masa otot dan
cadangan protein. Pengaturan diet yang disarankan adalah pengurangan
kebutuhan energi (500-700kkal/minggu) disertai asupan protein 1 g/kg/hari
untuk mencapai penurunan berat badan 8-10& dalam 6 bulan. Olahraga
yang direkomendasikan adalah berjalan kaki, dengan memperbanyak
frekuensinya dan durasi latihan sesuai kapasitas fisik. (Hanon, 2009)
e. Diabetes Mellitus
Diabetes adalah prediktor kuat untuk terjadinya kejadian iskemi berulang
pada penderita PJK. Pada penderita Lansia, modifikasi gaya hidup untuk
menghilangkan lemak tubuh memiliki dampak positif terhadap insulin dan
metabolisme glukosa. (Hanna, 2005) Hiperglikemia meningkatkan
produksi sitokin dan fatty acid yang terkait dengan penurunan transpor
glucosa yang distimulasi oleh insulin dan kerusakan target organ, salah
satunya sistem kardiovaskuler yaitu mempercepat atherosklerosis. (Sinaiko,
2006)
Rekomendasi intervensi terapi sama seperti kelompok usia yang lain yaitu
pengaturan diet, olahraga dan terapi farmakologis. (Hanna, 2005) Target
penurunan gula darah adalah kadar gula darah puasa <126mg/dL, gula
darah setelah makan <200mg/dL dan HbA1C <7. (Tjokroprawiro, 2007)
f. Intervensi Psikososial
Secara umum, status sosial dan ekonomi, mood, dukungan sosial dan level
of functioning (termasuk aktivitas seksual) harus dinilai untuk menentukan
kemungkinan intervensi. Status social dan ekonomi yang rendah dikaitkan
dengan tingginya angka kematian akibat PJK, dan hal ini berdampak
negatif pada programn cardiac rehabilitation. (Hanna, 2005)
Depresi dan isolasi dari lingkungan sosial akibat hilangnya kemampuan
diri dan financial juga dikaitkan dengan meningkatnya angka kesakitan dan
33
kematian penderita usia lanjut terutama yang telah mengalami infark
miokard. (Zellweger, 2004; Hanna, 2005)
g. Aktivitas Fisik
Dasar dari intervensi aktivitas fisik adalah meningkatkan kapasitas
fungsional dengan menurunkan gejala atau keluhan yang berkaitan dengan
aktivitas. Sama seperti penderita usia muda, latihan fisik menyebabkan
dampak positif terhadap factor resiko yang lain seperti hipertensi, obesitas,
peningkatan kadar gula darah, dan banyak parameter psikologis terutama
kualitas hidup. (Williams, 2002)
Program latihan sebaiknya memeningkatkan segala aspek physical
conditioning termasuk kapasitas aerobik, ketahanan otot, range of motion
and fleksibilitas serta kekuatan otot. .Modifikasi componen-komponen
latihan ditujukan pada penderita usia ≥75tahun dan mereka yang
mempunyai komorbid penting seperti artritis, penyakit paru-paru, dan
penyakit pembuluh darah perifer. (Williams, 2005)
Intensitas latihan yang dilakukan harus mencapai 75% dari denyut jantung
maksimal. Komposisinya adalah peregangan dan pemanasan masing-
masing sekitar 10 menit. Latihan utama berupa aktivitas aerobik yang
dilakukan terus-menerus selama 30-40 menit.(misalnya berjalan di
treadmill atau sepeda ergometri) dan latihan isometrik ringan. Frekuensi
latihan 3 kali seminggu dibawah pengawasan selama 12 minggu. Namun
penderita harus diberi motivasi untuk melakukan latihan fisik ini diluar
program yang ada. (Hanna, 2005)
34
Dislipidemia
- Kolesterol naik
- LDL naik
- Trigliserid naik
- HDL turun
Naik lipo protein
Arteriosklerosis
Usia lanjutPenurunan faktor
endotil
Kekakuan arteri
Merokok
Ketekolamin naik
dan suplai oksigen
menurun
- Karbonisasi HB
- Takikardi
- Vasodilatasi
Pembuluh Darah
Beban miokard
meningkat
Hipertensi
Afterload
meningkat
Menurunkan
kontraktilitas jantung
Kerusakan ventrikel
kanan
Menurunkan
COP
Infark
miokard/ PJK
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Pusparini (2004)
C. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Dislipidemia Penyakit Degeneratif
Penyakit Jantung Koroner
Variabel Pengganggu
- Glukosa darah
- Stress
- Inaktivitas fisik
- Alcohol
- Lingkungan buruk
- Nutrisi buruk
Variabel Bebas Variaebl Terikat
Merokok
Hipertensi
35
D. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan diteliti meliputi :
1. Variabel Independen atau bebas
Variabel independen adalah suatu variabel yang menjadi sebab atau
variabel yang mempengaruhi variable dependent (terikat). Variabel
independent dalam penelitian ini adalah :
a. Displidemia
b. Merokok
c. Hipertensi
2. Variabel Dependen atau terikat
Variabel dependen adalah suatu variabel yang dipengaruhi variabel bebas.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah : Penyakit jantung koroner
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang hendak diuji kebenarannya
(Machfoedz, 2008:35). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ha1 : Ada hubungan Displidemia dengan kejadian penyakit jantung koroner
pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr
Kariadi Semarang.
Ha1 : Ada hubungan merokok dengan kejadian penyakit jantung koroner
pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr
Kariadi Semarang.
Ha1 : Ada hubungan hipertensi dengan kejadian penyakit jantung koroner
pada Lansia di Instalasi Geriatri dan Ruang Penyakit Dalam Rs. Dr
Kariadi Semarang.