BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi II.pdf · Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi duduk hanya ... Efek langsung dari obat anestesi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Spinal Anestesi

    Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal

    yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang

    intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5

    untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang

    tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek

    fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi

    anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan

    mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (Peter Dunn, 2007)

    Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)

    Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di

    daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan

    intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan

  • 6

    kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati

    seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta

    kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi

    kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,

    ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang

    meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak. (Morgan, 2006)

    Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian

    sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan

    amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan

    oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit

    menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh

    hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak

    menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan

    tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan

    etidocaine. (Morgan, 2006)

    Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah

    ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain

    menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat

    isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas

    anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien.

    Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan

    arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah

    disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan

  • 7

    dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum

    fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan

    menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,

    kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan

    kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),

    volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah

    penyuntikan. (Butterworth, 2004)

    Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan

    anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis

    cairan serebrospinal (1,003-1,008). Cara pembuatannya adalah dengan

    menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja

    larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu

    suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan

    sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian

    larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke

    daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik,

    sehingga mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.

    (Butterworth, 2004)

    Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain

    hiperbarik pada Anestesi spinal: (Butterworth, 2004)

    1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37C mempunyai BJ 1,003-

    1,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal

    akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan

  • 8

    larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti

    menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan

    tempat injeksi.

    2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula

    spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin

    banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih

    banyak dari pada yang pendek.

    3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan

    bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran

    saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural

    akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang

    subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke

    kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.

    4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan

    mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan

    mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis

    hiperbarik.

    5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia

    yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih

    memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-

    5.

  • 9

    6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih

    besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara

    mengedan.

    7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu

    percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa

    penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih

    20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula

    kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya

    dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi

    level blok sensoriknya.

    8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain

    0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih

    tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.

    Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan

    volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler

    akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.

    9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan

    tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,

    sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.

    Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada

    posisi duduk hanya mencapai T8.

    10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring

    (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan

  • 10

    bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah

    mencapai T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.

    2.2 Menggigil

    Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk

    meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan

    temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu tubuh yaitu

    dengan cara : (Guyton, 1996)

    a. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan

    rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.

    b. Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak

    terlalu penting pada manusia.

    c. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme

    dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas

    dan sekresi tiroksin.

    Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti.

    Menggigil pascaanestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu : (Sessler dkk,

    1991)

    1. Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh

    karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan dan

    suhu ruang operasi yang rendah. Panas yang hilang dapat melalui

    permukaan kulit dan melalui ventilasi.

  • 11

    2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis

    pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produk-

    produk tersebut.

    3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di

    hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas. Kompensasi tubuh tidak

    terjadi karena penderita tidak sadar dan terkadang lumpuh karena obat

    pelumpuh otot.

    2.2.1 Mekanisme Menggigil

    Ada 3 komponen yang mengatur fisiologi menggigil:

    1. Jalur Aferen

    2. Regulasi central (termoregulasi)

    3. Jalur respon eferen (Bhattacharya, 2003)

    Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponen-

    komponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti tubuh,

    menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon otonom untuk

    mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi tubuh yang optimal.

    Aferen Neural Pathway

    Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat

    menjadi pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui

    serat delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyal-

    sinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,

    termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya

    mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral. (Brauchi S, 2006)

  • 12

    Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan

    subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang

    menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum tulang

    belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari catatan,

    hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang belakang, thoraks

    dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan 20% dari masukan aferen

    termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi terbaru, kulit dan akar dorsal

    ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor khusus yaitu: Reseptor Transient

    Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol (M) reseptor. (Moqrich, 2005)

    Regulasi central (termoregulasi)

    Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang

    paling penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga

    berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus (memicu

    suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui jalur aferen.

    Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan otonom yang

    dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan oleh informasi yang

    diterima dari struktur pusat, respon perilaku dan mekanisme efektor yang

    dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian besar ditentukan oleh informasi

    dari permukaan kulit. (Sessler, 2008)

    Konsensus saat ini adalah bahwa input termal diterima dari berbagai

    struktur, tanggapan efektor tidak bersamaan dan terjadi pada temperatur yang

    berbeda, dan terdapat suhu interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada

    respon yang ditimbulkan) potensi hambat diduga mengatur ambang batas di

  • 13

    hipotalamus yang dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin,

    prostaglandin E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan irama

    sirkadian dan mentruation (masing masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-sama

    dengan status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang, alkohol dan

    nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di ujung atas dan

    vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC. Ambang berkeringat dan

    vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria 0,3 - 0.5oC. Respon

    menggigil diatur buruk pada orang tua. (Sessler, 2008)

    Gambar 2.2 Termoregulasi (Witte J, 2002)

  • 14

    Eferen Response Pathway

    Respon eferen didasarkan pada gangguan termal yang memicu respon

    yang baik meningkatkan kehilangan panas. Setiap respon diatur oleh batas

    tertentu. Keseimbangan panas dipertahankan oleh modifikasi perilaku, yang pada

    beberapa individu lebih penting daripada kontrol otonom. Kontrol vasomotor

    merupakan vasokonstriksi dan piloereksi dalam menanggapi dingin dalam upaya

    untuk meningkatkan keuntungan panas sementara vasodilatasi dan peningkatan

    berkeringat kehilangan panas dalam menanggapi peningkatan kehangatan. (Buggy

    DJ, 2000)

    Menggigil non termogenesis dasarnya adalah sebuah bentuk peningkatan

    produksi panas metabolik tanpa peningkatan kerja mekanik. Hal ini terjadi di

    lemak coklat dan sarana mendapatkan panas pada bayi. (Sessler, 2008)

    Menggigil dianggap sebagai cara terakhir untuk meningkatkan produksi

    panas metabolik ketika modifikasi perilaku dan vasokonstriksi bersama-sama

    dengan perangkat arterio-vena shunting dalam upaya untuk meningkatkan suhu

    inti tubuh yang tidak memadai. (Buggy, 2000) Respon menggigil adalah 1oC

    kurang dari ambang vasokonstriksi. Menggigil tidak berkembang dengan baik

    pada bayi baru lahir. (Sessler, 2008)

    Ketika wilayah preoptic dari hipotalamus anterior didinginkan ini

    merangsang pusat motor menggigil yang terletak di hipotalamus posterior.

    Akibatnya jalur menggigi diaktifkan dan melalui suhu diinduksi aktivasi saraf dari

    mesenchephalic, pontine dorsolateral dan pembentukan recticular medula ada

    peningkatan tonus otot tulang belakang diwujudkan sebagai menggigil . Stimulasi

  • 15

    neuron alpha motor jalur akhir yang umum dan debit sinkron dibawa oleh

    penghambatan sel Renshaw ( interneuron penghambatan ) (Bhattacharya, 2003)

    Menggigil adalah salah satu penyulit yang sering terjadi pada anestesia,

    hal ini terutama terjadi selama dan setelah anestesi regional atau setelah anestesia

    umum. Angka kejadian menggigil sebanyak 565% setelah anestesi umum dan

    3057% pada anestesi regional. Proses ini adalah suatu response normal

    termoregulasi yang terjadi terhadap hipotermia pada bagian inti (core). Akan

    tetapi proses menggigil nontermoregulasi juga terjadi setelah operasi walaupun

    bersuhu normal karena ini disebabkan oleh karena rangsangan nyeri dan agen

    anestesi tertentu. Menggigil menyebabkan komplikasi serius terutama pada pasien

    dengan penyakit jantung koroner, hal ini disebabkan karena peningkatan

    konsumsi oksigen (hingga 100600%), peningkatan cardiac output, peningkatan

    produksi karbondioksida, katekolamin, penurunan saturasi oksigen mixed venous

    (campuran vena). Lebih berat lagi dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial,

    tekanan intraokular, mengganggu pemantauan EKG dan tekanan darah,

    meningkatkan laju metabolisme, dan terjadi asidosis laktat. Anestesi umum dan

    anestesi regional dapat mengganggu otonomi normal kontrol termoregulasi

    karena efek vasodilatasi. Sebagian besar narkotik mengurangi mekanisme

    vasokonstriksi, hal ini adalah cara menghemat kehilangan panas karena efek

    simpatolitiknya. Pelumpuh otot mengurangi tonus otot dan mencegah menggigil.

    Anestesi regional menghasilkan blok simpatis, relaksasi otot, dan blok sensoris

    terhadap reseptor suhu perifer sehingga menghambat respon kompensasi terhadap

    suhu. Anestesi epidural dan spinal menurunkan batas pemicu vasokonstriksi dan

  • 16

    menggigil sekitar 0,6 C. Sebagaimana pada anestesi umum, anestesi regional

    menurunkan batas menggigil dan vasokonstriksi melalui efek sentral dan efek

    blok perifer Berkurangnya sensasi dingin dari perifer. Otak menerjemahkan hal ini

    sebagai proses penghangatan merupakan kombinasi vasodilatasi dan blok

    terhadap input sensasi dingin yang menghasilkan pengalaman paradoksal pada

    pasien sehingga terjadi penundaan kehilangan panas yang bermakna melalui

    proses menggigil. (Koeshardiandi M, 2011)

    Pusat pengaturan suhu tubuh manusia terletak di hipotalamus, dimana

    pusat tersebut mendeteksi suhu tubuh diatas atau dibawah 37oC. Pada cornu

    posterior ini terdapat reseptor NMDA dan reseptor opioid dan , yang merupakan

    reseptor untuk bekerjanya obat yang digunakan mencegah menggigil

    pascaanestesi. Hal ini akan memulai respon dari penurunan atau peningkatan suhu

    tubuh. Terjadinya hipotermi akan merangsang terjadinya vasokonstriksi dengan

    tujuan mengurangi hilangnya panas tubuh serta menggigil. Proses-proses tersebut

    bertujuan untuk meningkatkan suhu inti. (Miller dkk, 2010)

    Pada kebanyakan pasien yang mendapat tambahan sedatif dan narkotik

    untuk mengurangi kecemasan dan demi tujuan kenyamanan selama prosedur

    pembedahan lebih cenderung terjadi hipotermia. Sedangkan selama regional

    anestesi, pemantauan terhadap suhu inti sangat jarang dilakukan maka hipotermia

    akan terjadi dan bisa saja tidak terdeteksi. (Koeshardiandi M, 2011)

    Faktor yang berperan dalam proses menggigil pada regional anestesia

    adalah jenis obat anestesi yang digunakan, ketinggian blok, lama operasi, usia

    pasien, jenis kelamin, dan suhu lingkungan (termasuk suhu ruangan dan suhu

  • 17

    cairan infus yang diberikan). Mengatasi meggigil selama dan setelah anesthesia

    menjadi bagian penting mengingat berbagai permasalahan yang dapat

    ditimbulkannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dengan mengatasi

    menggigil setelah anesthesia maka akan menurunkan konsumsi oksigen,

    mempertahankan kestabilan hemodinamik, dan memudahkan pemantauan

    hemodinamik yang dapat berubah sewaktu-waktu setelah dilakukan regional

    anestesia terutama dengan spinal anestesia. Penatalaksanaan menggigil dapat

    dilakukan dengan cara pencegahan selama perioperatif dan terapi pada saat terjadi

    menggigil dengan dua pendekatan yaitu non farmakologis dan farmakologis.

    Langkah awal dalam mencegah terjadinya menggigil adalah pemantauan suhu inti

    (core temperature), telah dibuktikan bahwa bila suhu kamar operasi

    dipertahankan lebih dari 24 C, maka semua pasien akan berada pada keadaaan

    normotermi selama anestesia(dalam hal ini suhu oesofagus 36 C). Pada suhu 21

    24 C sekitar 30% yang mengalami hipotermi. Selain suhu, kelembaban dan aliran

    udara juga penting. Tindakan mencegah hipotermi dan menggigil dapat dilakukan

    dengan pendekatan non farmakologis disebut metode menghangatkan kembali

    (rewarming techniques) yang terdiri dari 3 bagian yaitu pasif eksternal, aktif

    eksternal, dan aktif internal. Pendekatan farmakologis diberikan sebagai terapi

    menggigil setelah anestesia dengan memberikan salah satu dari berbagai macam

    obat yang telah dilaporkan efektif mengurangi menggigil di antaranya adalah

    pethidine, fentanyl, buprenorphine, doxapram, clonidine dan ketanserine.

    Pethidine menurunkan ambang menggigil dan terbukti efektif mengendalikan

    menggigil. Tramadol sebagai analgesia sentral berperan dalam reseptor opiat

  • 18

    -HT7 dan telah

    terbukti efektif sebagai profilaksis menggigil. Akan tetapi kedua obat tersebut

    dihindari pada pasien hamil karena adanya efek pada janin bila diberikan sebelum

    bayi lahir atau sebagai profilaksis anti menggigil pada wanita hamil. Ketamin

    sebagai salah satu agen yang dapat mengurangi menggigil setelah anestesi, sampai

    saat ini masih sedikit penelitian yang menentukan efektivitas dan rentang dosis

    ketamin sebagai antagonis kompetitif pada reseptor NMDA. Belum didapatkan

    bukti penelitian yang menunjukkan perbandingan efektivitas dosis rendah ketamin

    dan mengukur efek sampingnya sebagai terapi menggigil pada wanita hamil yang

    menjalani prosedur sectio Caesaria dengan spinal anestesia. Sedangkan ketamin

    merupakan pilihan yang paling aman (kategori B) untuk ibu hamil dan janin

    dibandingkan obat-obat anti menggigil yang lain. (Koeshardiandi M, 2011)

    2.2.2 Pencegahan Menggigil

    Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai

    berikut: (Miller dkk, 2010)

    1. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)

    2. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)

    3. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau

    pasien resiko tinggi

    4. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil

    5. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :

    a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena

    b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan

  • 19

    c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi

    6. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi

    7. Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan

    kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.

    2.3 Ketamin

    Ketamin merupakan salah satu antagonis reseptor NMDA. Ketamin

    (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur

    mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962. Ketamin

    hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non

    barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali

    diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965.

    Ketamin diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, dan telah

    ditemukan untuk mengikat opioid reseptor dan reseptor sigma. Ketamin dan

    metabolit aktif norketamin non-kompetitif adalah antagonis dari N-metil-D-

    aspartat (NMDA) reseptor. NMDA antagonis dapat menekan gejala penarikan

    opioid. Menekan reseptor NMDA meningkatkan aktivitas reseptor lain, AMPA,

    NMDA. AMPA adalah reseptor untuk neurotransmitter glutamat. Dan mempunyai

    efek pada serotonin dan norefrinefrin (Gilies et al, 2007).

    2.3.1 Mekanisme Kerja

    Ketamin mempunyai efek multipel sepanjang sistem saraf pusat, termasuk

    mem-blok refleks polisinaptik di jaringan saraf spinal dan menginhibisi efek

    neurotransmiter eksitatori pada area tertentu di otak. Berlawanan dengan depresi

    RAS yang diinduksi oleh barbiturat, ketamin secara fungsional "mendisosiasi"

  • 20

    talamus (yang menyiarkan ulang impuls sensori dari RAS ke korteks serebri) dari

    kortek limbic (yang terlibat dalam sensasi kesadaran ). Walaupun beberapa

    neuron-neuron otak diinhibisi, yang lain adalah secara tonus tereksitasi. Secara

    klinis, status anesthesia disosiatif ini menyebabkan pasien terlihat sadar

    (misalnya, membuka mata, menelan, kontraksi otot) tetapi tidak mampu untuk

    memproses atau bereaksi terhadap input sensori. Ketamin sudah didemonstrasikan

    sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (suatu subtype dari reseptor

    glutamat). Keberadaan reseptor spesifik terhadap ketamin ini dan interaksi dengan

    reseptor opioid telah dipostulasikan. (Morgan, 2006)

    2.3.2 Hubungan Struktur-Aktivitas

    Ketamin secara struktur analog dengan fensiklidin. Dengan kekuatan

    sepersepuluhnya, namun mempertahankan banyak efek psikotomimetik dari

    fensiklidina. Bahkan dosis-dosis yang subterapeutik dari ketamin dapat

    menyebabkan efek hallusinogenik. Potensi anestetik yang bertambah dan

    penurunan efek samping psikotomimetik dari satu isomer (S[+] versus R[])

    menyiratkan keberadaan reseptor yang stereospesifik. (Morgan, 2006)

    Gambar 2.3 Struktur Kimia Ketamin

  • 21

    2.3.4 Farmakokinetika

    Absorpsi

    Ketamin diberikan secara intravena dan intramuskular. Kadar plasma

    puncak biasanya dicapai dalam 1015 menit setelah suntikan intramuskular. Dosis

    induksi secara intravena diberikan 1-2 mg/kgBB. Dosis induksi secara

    intramuskuler diberikan 3-5 mg/kgBB. (Morgan, 2006)

    Distribusi

    Ketamin lebih larut dalam lemak dan ikatannya dengan protein kurang

    dibandingkan thiopental; namun sama-sama terionisasi secara equal pada pH

    fisiologis. Karakteristik-karakteristik ini, bersamaan dengan peningkatan aliran

    darah otak dan curah jantung yang diinduksi oleh ketamin, mengarah kepada

    pengambilan (uptake) otak yang cepat dan redistribusi berikut (waktu-paruh

    distribusi adalah 1015 menit). Sekali lagi, bangunnya kembali adalah karena

    redistribusi ke kompartemen-kompartemen perifer. (Morgan, 2006)

    Biotransformasi

    Ketamin dibiotransformasikan di dalam hepar menjadi beberapa metabolit,

    diantaranya (misalnya, norketamin) mempertahankan aktivitas anestetik. Induksi

    enzim-enzim hepar mungkin secara parsial menjelaskan terjadinya toleransi pada

    pasien yang menerima dosis ketamin berulang. Pengambilan/ uptake hepar yang

    luas (rasio ekstraksi hepatik 0.9) menjelaskan waktu-paruh eliminasi ketamin

    yang relatif pendek (2 jam). (Morgan, 2006)

  • 22

    Ekskresi

    Produk akhir biotransformasi dikeluarkan di ginjal. (Morgan, 2006)

    2.3.5 Farmakodimanik

    Efek pada sistem organ

    Kardiovaskular

    Perbedaan yang jelas dibandingkan agen-agen anestetik yang lain, ketamin

    meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah jantung. Efek

    kardiovaskular tak langsung ini adalah karena adanya stimulasi sistem nervus

    simpatis sentral dan inhibisi terhadap reuptake dari norepinefrin. Ikut serta dalam

    perubahan-perubahan ini adalah peningkatan tekanan arteri pulmoner dan kerja

    otot jantung.

    Untuk pertimbangan ini, ketamin harus dihindarkan pada pasien-pasien

    dengan penyakit arteri koroner, tekanan darah tinggi yang tak terkendali, gagal

    jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Efek depresan miokardial direk pada

    dosis ketamin yang besar, mungkin karena inhibisi kalsium transien, terbuka

    oleh blokade simpatis (misalnya, transeksi korda spinalis) atau cadangan

    katekolamin yang makin menipis (misalnya, syok tahap akhir yang berat).

    Sebaliknya, efek stimulasi indirek dari ketamin seringkali menguntungkan pasien

    dengan syok hipovolemik akut. (Morgan, 2006)

  • 23

    Tabel 2.1. Ringkasan Efek Anestetik Nonvolatile pada Sistem Organ

    (Morgan, 2006)

    Agen kardiovaskular Respirasi Serebral

    HR MAP Vent. Bdil CBF CMRO2 ICP

    Barbiturate

    Tiopental

    Tiamilal

    Methohexital

    0

    Benzodiazepin

    Diazepam

    Lorazepam

    Midazolam

    0/

    0/

    0

    0

    0

    Opioid

    Pethidin

    Morfin

    Fentanyl

    Sufentanil

    Alfentanil

    Remifentanil

    _2

    _2

    _2

    _2

    0

    0

    0

    0

    Ketamin

    Etomidate 0 0

    Propofol 0 0

    Droperidol 0 0 0

    1HR, heart rate; MAP, mean arterial pressure; Ven, ventilatory drive; Bdil,

    bronchodilation; CBF, cerebral blood flow; CMRO2, cerebral oksigen

    consumption; ICP, intracranial pressure; 0, tak ada efek; 0/, tak ada perubahan

    atau peningkatan ringan; , penurunan (ringan, sedang, signifikan); , peningkatan

    (ringan, sedang, signifikan). Efek petidin dan morfin pada MAP dan bronkodilasi

    tergantung pada jumlah histamin yang dilepaskan. (Morgan, 2006)

  • 24

    Pernafasan

    Gerakan ventilasi sedikit dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin yang

    biasa, walaupun pemberian bolus intravena secara cepat atau praterapi dengan

    opioid adakalanya menyebabkan apneu. Ketamin adalah suatu bronchodilator

    yang poten, merupakan suatu agen induksi yang baik untuk pasien-pasien yang

    menderita asma. Meskipun refleks jalan nafas atas sebagian besar tetap intak,

    pasien-pasien dengan resiko yang meningkat untuk terjadinya pneumonia aspirasi

    harus diintubasi. Salivasi yang meningkat yang dihubungkan dengan ketamin

    dapat dikurangi dengan premedikasi dengan obat antikholinergik. (Morgan, 2006)

    Serebral

    Konsisten dengan efek kardiovaskulernya, ketamin dapat meningkatkan

    konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial. Efek

    ini mengeksklusi penggunaannya pada pasien-pasien dengan SOL intrakranial.

    Aktivitas mioklonik dihubungkan dengan peningkatan aktivitas elektrik

    subkortikal, yang tidak terlihat nyata di EEG permukaan. Efek samping

    psychotomimetik yang tidak diinginkan (misalnya, ilusi, bermimpi buruk, dan

    delirium) selama dalam kondisi pemulihan lebih sedikit terjadi pada anak-anak

    dan pada pasien yang diberikan premedikasi dengan benzodiazepin. Diantara obat

    anestesi non-volatil, ketamin bisa jadi merupakan obat anestesi yang lebih

    mendekati lengkap karena menginduksi analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran.

    (Morgan, 2006)

  • 25

    Interaksi obat

    Obat muskulorelaksan nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin.

    Kombinasi teofilin dan ketamin dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya

    kejang. Diazepam mengurangi efek kardiostimulasi dari ketamin dan

    memperpanjang waktu-paruh eliminasi. Propranolol, phenoxybenzamine, dan

    antagonis simpatik yang lain membuka efek depresan miokard yang langsung dari

    ketamin. Ketamin menghasilkan depresi myocard ketika diberikan kepada pasien-

    pasien yang di-anesthesi dengan halotan atau, kepada sebagian kecil, anestetik

    volatil yang lain. Litium dapat memperpanjang durasi kerja ketamin. (Morgan,

    2006)

    2.4 Petidin

    Petidin termasuk dalam analgetik golongan narkotik. Pertama kali

    diperkenalkan pada tahun 1939 oleh Eisleb dan Schaumann. Rumus kimia dari

    petidin adalah etil 1 metil 4 fenilpiperidin karboksilat

    Gambar 2.4 Rumus Kimia Petidin

    Petidin bekerja pada reseptor spesifik pada susunan saraf pusat yang

    disebut dengan reseptor opioid, dan secara spesifik pada reseptor . Sampai saat

    ini telah teridentifikasi empat tipe reseptor opioid yaitu reseptor mu (, dengan

    subtipe -1 dan -2), reseptor kappa (), reseptor delta (), dan reseptor sigma ()

    (Stoelting dkk, 2006).

  • 26

    2.4.1 Farmakokinetik

    Pemberian petidin secara intramuskular, diabsorbsi secara cepat dan

    komplit, dimana kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20 - 60 menit.

    Bioavailabilitas secara oral mencapai 45% - 75%.Petidin 64% terikat pada

    plasma, dengan lama kerja 2 4 jam dan waktu paruh eliminasinya adalah 3 4

    jam. Rata rata metabolisme petidin 17% per jam (Stoelting dkk, 2006). Petidin

    80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan dimetilasi menjadi

    norpetidin dan asam petidinat. Setelah mengalami konjugasi akan dikeluarkan

    melalui ginjal. Sebanyak 5% - 10% petidin diekskresi melalui ginjal tanpa

    mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem

    bilier (Stoelting dkk., 2006).

    2.4.2 Farmakodinamik

    Petidin mempunyai efek analgesia, sedasi, euforia dan depresi pernafasan.

    Efek yang menonjol dari petidin yaitu analgesia. Pada pemberian secara

    intramuskular dengan dosis 50 - 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai

    50%. Analgesia timbul karena terjadinya penghambatan pengeluaran substansi P

    di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal (Stoelting dkk., 2006).

    Tekanan darah akan mengalami sedikit penurunan pada pemberian petidin

    dosis tinggi. Selain itu juga menyebabkan hipotensi orthostatik oleh karena

    hilangnya refleks sistem saraf simpatis kompensatorik. Pada penggunaan dosis

    besar, kontraktilitas otot jantung akan menurun, menurunkan volume sekuncup

    dan tekanan pengisian jantung akan meningkat. Petidin juga menyebabkan

    peningkatan laju jantung. Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang

  • 27

    dipengaruhi. Depresi pernafasan terjadi terutama karena penurunan volume tidal

    dan penurunan kepekaan pusat nafas terhadap CO2. Selain itu juga pemakaian

    petidin akan dapat mengurangi spasme bronkus. Pada otak, penggunaan petidin

    (dan obat opioid pada umumnya) akan mengurangi konsumsi oksigen otak,

    mengurangi aliran darah otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Tetapi ada

    beberapa kasus dimana terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakranial pada

    pasien dengan tumor otak atau trauma kepala. Angka kejadian mual dan muntah

    pada pemberian petidin lebih tinggi dibandingkan dengan morfin, tetapi durasinya

    lebih pendek. Kejadian ini oleh karena adanya stimulasi pada daerah medullary

    chemoreceptor trigger zone.

    Petidin menyebabkan spasme sfingter oddi dan meningkatkan tekanan

    intrabilier. Selain itu juga menurunkan tonus dan amplitudo kontraksi ureter.

    Petidin sudah sering digunakan untuk terapi menggigil pascaanestesi. Penggunaan

    dosis kecil petidin (10 25 mg) setiap 5 10 menit, efektif untuk mengatasi

    menggigil pascaanestesi. Mekanisme petidin dalam mengatasi menggigil

    pascaanestesi diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor ,menghambat

    pengambilan 5-HT serta blokade reseptor NMDA. Serotonin (5-HT) dan opioid

    merupakan salah satu dari reseptor NMDA inhibitor pada cornu posterior,

    sehingga reseptor NMDA akan menurun, kontraksi otot menurun dan sensasi suhu

    akan meningkat. Untuk pencegahan menggigil, beberapa peneliti telah melakukan

    berbagai percobaan. Dosis petidin yang digunakan sebesar 0,5 mg/kgBB ternyata

    efektif mencegah menggigil pascaanestesi (Stoelting dkk.,2006).

  • 28

    2.4.3 Efek Samping Obat

    Penggunaan petidin dapat menimbulkan efek samping diantaranya pusing,

    berkeringat, mulut kering, mual muntah, palpitasi, disfori, perasaan lemah, sedasi

    dan sinkop. Pada beberapa kasus atau keadaan dapat terjadi retensi urin dan

    obstipasi (Stoelting dkk., 2006).

    2.4.4 Interaksi Obat

    Kombinasi petidin dengan obat-obat monoamine oxidase inhibitor dapat

    mengakibatkan henti nafas, hipotensi atau hipertensi, koma dan hiperpireksia,

    dimana sampai sekarang mekanismenya belum jelas diketahui. Pemakaian secara

    bersama sama dengan barbiturat, benzodiazepin dan obat-obat depresan system

    saraf pusat akan mempunyai efek yang sinergis terhadap sistem kardiovaskular,

    respirasi dan efek sedasi. (Stoelting dkk, 2006)

    Tabel 2.2. Distribusi Reseptor Opioid (Stoelting dkk, 2006)

  • 29

    2.5 Midazolam

    Midazolam merupakan salah satu benzodiazepine yang larut dalam air.

    (Stoelting dkk, 2006)

    2.5.1 Mekanisme atau Cara Kerja

    Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di dalam sistem saraf

    pusat, terutama dalam korteks serebri. Ikatan Benzodiazepine receptor

    meningkatkan efek inhibisi berbagai jenis neurotransmiter. Sebagai contoh, ikatan

    reseptor-benzodiazepin menfasilitasi ikatan GABAreceptor, yang meningkatkan

    konduktansi membran ion klorida. Ini menyebabkan suatu perubahan di dalam

    polarisasi membran yang menginhibisi fungsi neuron normal. Flumazenil (suatu

    imidazobenzodiazepine) adalah suatu antagonis benzodiazepinereceptor yang

    spesifik yang secara efektif membalikkan kebanyakan dari efek benzodiazepine

    pada sistem saraf pusat. (Morgan, 2006)

    2.5.2 Hubungan Struktur Aktivitas

    Struktur kimia dari benzodiazepina-benzodiazepina meliputi suatu cincin

    benzena dan tujuh anggota cincin diazepine. Substitusi pada berbagai posisi di

    cincin-cincin ini mempengaruhi potensi dan biotransformasi. Cincin imidazol dari

    midazolam berperan untuk daya larut air-nya pada pH yang rendah. Ketidak-

    larutan diazepam dan lorazepam di dalam air memerlukan sediaan parenteral yang

    berisi propilen glikol, yang sudah dihubungkan dengan iritasi vena. (Stoelting

    dkk, 2006)

  • 30

    Gambar 2.5 Struktur Kimia Midazolam

    2.5.3 Farmakokinetika

    Absorpsi

    Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral, intramuscular, dan

    intravena untuk memberikan efek sedasi atau induksi anesthesia umum. Diazepam

    dan lorazepam yang diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal, dengan

    kadar plasma puncak biasanya dicapai dalam 1 dan 2 jam, berturut-turut.

    Meskipun midazolam oral belum disetujui oleh US. FDA, pemberian rute ini telah

    populer untuk premedikasi pediatrik. Demikian juga, intranasal (0.20.3 mg/kg),

    bukal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) midazolam memberikan sedasi

    preoperative yang efektif.

  • 31

    Tabel 2.3. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin yang Umum Dipakai.

    Agen Penggunaan Rute Dosis (mg/kg)

    Diazepam Premedikasi

    Sedasi

    Induksi

    Oral

    IV

    IV

    0,2 0,5*

    0,04 0,2

    0,3 0,6

    midazolam Premedikasi

    Sedasi

    Induksi

    Im

    IV

    IV

    0,07 0,15

    0,01 0,1

    0,1 0,4

    Lorazepam Premedikasi

    Sedasi

    Oral

    Im

    IV

    0,053

    0,03 0,05**

    0,03 0,04**

    *Maximum dosis 15 mg. **tidak direkomendasikan untuk anak-anak.

    Suntikan intramuskular diazepam tak dapat dipercaya dan terasa nyeri.

    Sebaliknya, midazolam dan lorazepam diabsorpsi dengan baik setelah suntikan

    intramuskular, dengan level puncak dicapai dalam 30 dan 90 menit, berturut-turut.

    Induksi anesthesia umum dengan midazolam memerlukan pemberian obat secara

    intravena. (Morgan, 2006)

    Distribusi

    Diazepam merupakan obat yang sangat lipid soluble dan dengan cepat

    menembus sawar darah-otak. Meski midazolam dapat larut dalam air pada pH

    yang rendah, cincin imidazol-nya menutup pada pH fisiologis, menyebabkan

    peningkatan dalam daya larut lipid-nya. Daya larut lipid yang moderat dari

    lorazepam memegang peranan dalam uptake otak dan onset-nya yang lebih

    lambat. Redistribusi pada benzodiazepin lebih cepat (waktu-paruh distribusi

    inisial adalah 310 menit) dan, seperti barbiturat, bertanggung jawab atas

    kembali-bangunnya pasien. Meski midazolam sering digunakan sebagai agen

  • 32

    induksi, tidak satu pun dari benzodiazepina-benzodiazepina itu dapat (match)

    bersesuaian dengan kecepatan onset dan durasi kerja pendek thiopental. Ketiga

    benzodiazepin tersebut sangat tinggi terikat protein (9098%). (Morgan, 2006)

    Biotransfermasi

    Benzodiazepin bersandar pada hati untuk biotransformasi dengan hasil

    akhir glucuronida yang larut-air. Tahap I, metabolit-metabolit dari diazepam

    bersifat aktif secara pharmakologis. (Morgan, 2006)

    Ekstraksi hepatik yang lambat dan Vd yang besar mengakibatkan suatu

    waktu-paruh eliminasi yang panjang untuk diazepam (30 jam). Meski lorazepam

    juga mempunyai suatu rasio ekstraksi hepatik yang rendah, daya larut lipid-nya

    yang lebih rendah membatasi Vd-nya, menghasilkan suatu waktu-paruh eliminasi

    yang lebih pendek (15 jam). Meskipun begitu, durasi klinis lorazepam seringkali

    menjadi cukup panjang karena afinitas reseptornya yang sangat tinggi.

    Sebaliknya, midazolam berbagi Vd-nya diazepam, tetapi waktu-paruh eliminasi-

    nya (2 jam) adalah yang paling pendek dari kelompok oleh karena rasio ekstraksi

    hepatiknya yang tinggi. (Morgan, 2006)

    Ekskresi

    Metabolit dari biotransformasi benzodiazepin dikeluarkan terutama di

    dalam urin. Sirkulasi enterohepatic menghasilkan suatu puncak sekunder di dalam

    konsentrasi plasma diazepam 612 jam setelah pemberian. Gagal ginjal dapat

    mengarah ke kondisi sedasi yang memanjang pada pasien yang menerima

    midazolam karena adanya akumulasi metabolit yang terkonjugasi (-

    hydroxymidazolam). (Morgan, 2006)

  • 33

    2.5.4 Farmakodinamika

    Efek pada Sistem Organ

    Kardiovaskuler

    Benzodiazepin memperlihatkan efek depresan cardiovasculer yang

    minimal walaupun pada dosis-dosis induksi. Tekanan darah arteri, curah jantung,

    dan resistensi vascular perifer biasanya menurun sedikit, sedangkan laju denyut

    jantung kadang-kadang naik. Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah

    dan resistensi vaskular perifer lebih dari diazepam. Perubahan dalam variabilitas

    denyut jantung selama sedasi midazolam menandakan adanya tonus vagal yang

    menurun (= drug induced vagolysis). (Morgan, 2006)

    Pernafasan

    Benzodiazepin menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini

    biasanya tidak signifikan kecuali jika obat itu diberikan secara intravena atau

    bersama-sama dengan depresan napas yang lain. Meski apnea mungkin kurang

    umum setelah induksi benzodiazepina dibanding setelah induksi barbiturat,

    walaupun dengan dosis intravena yang kecil, diazepam dan midazolam sudah

    dapat menimbulkan henti napas. Kurva doseresponse yang curam, onset yang

    sedikit memanjang (dibandingkan dengan thiopental atau diazepam), dan potensi

    tinggi dari midazolam mengharuskan titrasi yang seksama untuk menghindari

    overdosis dan apnea. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang menerima

    benzodiazepin intravena, dan peralatan resusitasi harus tersedia dengan segera.

    (Morgan, 2006)

  • 34

    Serebral

    Benzodiazepina mengurangi konsumsi oksigen cerebral, aliran darah

    cerebral, dan tekanan intracranial tetapi tidak setingkat barbiturat. Obat ini sangat

    efektif dalam mencegah dan mengendalikan grand mal seizures. Dosis sedatif oral

    sering kali menghasilkan amnesia antegrade, suatu wahana premedikasi yang

    bermanfaat. Efek muskulorelaksan yang ringan dari obat ini dimediasi pada

    tingkatan korda spinalis, bukan di neuromuscular junction. Anxiolitik, amnesik,

    dan efek sedatif terlihat pada dosis yang rendah dan berlanjut ke stupor dan tidak

    sadar pada dosis induksi. Dibandingkan dengan thiopental, induksi dengan

    benzodiazepine berhubungan dengan penurunan kesadaran yang lebih lambat dan

    recovery yang lebih panjang. Benzodiazepine tidak memiliki efek analgesik yang

    langsung. (Morgan, 2006)

    Interaksi obat

    Simetidin berikatan dengan sitokrom P-450 dan mengurangi metabolisme

    diazepam. Eritromisin menginhibisi metabolisme midazolam dan menyebabkan

    perpanjangan dan intensifikasi efek 2 3x lipat . Heparin memindahkan diazepam

    dari lokasi-lokasi ikatannya dengan protein dan meningkatkan konsentrasi obat

    bebas (peningkatan 200% setelah pemberian 1000 unit heparin). (Morgan, 2006)

    Kombinasi opioid dengan diazepam secara jelas mengurangi tekanan

    darah arterial dan resistensi vaskuler perifer. Interaksi sinergistik ini terutama

    sekali harus dicamkan pada pasien-pasien dengan penyakit jantung valvuler atau

    ischemik. Benzodiazepine mengurangi konsentrasi minimum alveolar gas

  • 35

    anestetis sebesar 30%. Etanol, barbiturat, dan depresan sistem saraf pusat lain

    mempotensiasi efek sedatif dari benzodiazepine. (Morgan, 2006)