Upload
lephuc
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Penerimaan Daerah
Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Dalam
pelaksanaan desentralisasi, penerimaan daerah terdiri atas pendapatan dan
pembiayaan. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
bersangkutan, sedangkan pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa
sumber-sumber pendapatan daerah adalah:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. Pajak daerah;
b. Retribusi daerah;
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah.
25
2. Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana
perimbangan terdiri dari dua jenis, yaitu dana bagi hasil dan dana
transfer. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil penerimaan pajak (tax
sharing) dan bagi hasil penerimaan Sumber Daya Alam (SDA).
Adapun yang termasuk dalam pembagian hasil perpajakan adalah
Pajak Penghasilan (PPh) perorangan, PBB P2, dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pembagian
hasil penerimaan dari SDA berasal dari kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas
bumi, dan pertambangan panas bumi. Dana transfer sebagai
komponen dana perimbangan lainnya, terdiri dari Dana Alokasi
Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sedangkan sumber penerimaan daerah yang lainnya, yaitu
pembiayaan bersumber dari:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
b. Penerimaan pinjaman daerah;
c. Dana cadangan daerah; dan
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
26
2.1.2 Pengeluaran Daerah
Pengeluaran daerah terdiri dari belanja tak langsung, belanja langsung,
dan pengeluaran pembiayaan daerah. Belanja tak langsung meliputi bagian
belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program.
Belanja tak langsung terdiri dari : Belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan
yang telah ditetapkan undang-undang, Belanja bunga, Belanja hibah, Belanja
bantuan sosial, Belanja bagi hasil kepada propinsi/kabupaten/kota dan
pemerintah desa, Belanja bantuan keuangan, serta Balanja tak tersangka.
Sedangkan belanja langsung meliputi belanja yang dianggarkan terkait
langsung dengan pelaksanaan program. Belanja langsung terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan
program dan kegiatan pemerintah daerah dan telah dianggarkan oleh
pemerintah daerah.
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. (Surya : 2014)
2.1.3 Kemandirian Fiskal
Kemandirian fiskal adalah independensi pemerintah daerah dalam
melakukan perencanaan anggaran daerah, pungutan dan optimalisasi pungutan
sumber-sumber pendapatan daerah dan pengelolaan dana daerah dalam
melakukan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah.
27
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan
memiliki kemandirian yang lebih besar dalam keuangan daerah. Oleh karena
itu, peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang sah (LP) sangat menentukan kemandirian fiskal
daerah. Pengukuran kemandirian fiskal daerah yang banyak dilakukan pada
saat ini antara lain dengan melihat rasio antara masing-masing komponen
pendapatan daerah dengan Total Penerimaan Daerah (TPD). Prinsipnya,
semakin besar sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan,
dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LP), maka semakin besar pula
pendapatan daerah tersebut, sehingga akan menunjukkan semakin kecil
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah Pusat. (Surya : 2014)
2.1.4 Dasar Perpajakan
1. Definisi Pajak
Dikemukakan oleh Rochmat Soemitro
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Sherra : 2008)
Dikemukakan oleh Mr. Dr. N. J. Fieldman
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara
umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. (Sherra : 2008)
28
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak :
a. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah), berdasarkan kekuatan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
b. Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra
prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung
antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara
individu.
c. Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi
dari Negara.
d. Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih surplus
digunakan untuk “publik invesment”.
e. Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.
f. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu
mengatur.
2. Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Tjahyono (2000:4) adalah sebagai sumber keuangan
negara. Fungsi lainnya yaitu :
a. Sumber Keuangan Negara (Budgetair)
29
Pemerintah memungut pajak terutama atau semata-mata untuk
memperoleh uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya baik bersifat rutin maupun untuk pembangunan.
b. Fungsi mengatur atau non budgetair (fungsi reguralend)
Disamping usaha untuk memasukkan uang sebanyak mungkin
untuk kegunaan kas negara, pajak harus dimaksudkan sebagai usaha
pemerintah untuk turut campur tangan dalam hal mengatur dan,
bilamana perlu, mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam
sektor swasta. Pada fungsi mengatur, pemungutan pajak digunakan :
1) Sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan negara dalam
bidang ekonomi dan sosial.
2) Sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
letaknya di luar bidang keuangan.
2.1.5 Pajak Daerah
Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 , Pajak Daerah, yang
selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
30
2.1.6 Dasar Hukum dan Pengertian BPHTB
Pajak pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan antara masyarakat
(yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat) dengan pemerintah, yang
dituangkan dalam suatu undang-undang. Kesepakatan tersebut dapat
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat
sendiri. Hal ini pun terjadi pada pengenaan dan pemungutan BPHTB sebagai
salah satu jenis pajak di Indonesia.
Setelah kurang lebih 12 tahun dipungut sebagai pajak pusat, pemerintah
bersama dengan DPR sepakat untuk mengalihkan BPHTB menjadi pajak
daerah. Hal ini diwujudkan melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditetapkan
pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010. Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dimaksudkan dalam rangka
penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan pemberian kewenangan
yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan (local taxing
empowerment), dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
(Marihot : 2011)
Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan perolehan hak atas tanah
dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi
atau badan. Adapun yang dimaksud hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
31
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dibidang pertanahan dan
bangunan.
Hak atas Tanah adalah hak atas tanah termasuk pengelolaan, beserta
bangunan diatasnya sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria dan peraturan Perundang
undangan yang berlaku. (Erliza : 2014)
2.1.7 Jenis Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang Menjadi Objek
Pajak
Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 85 ayat
(2) menentukan 15 jenis perolehan tanah dan/atau bangunan yang menjadi
objek pajak, meliputi :
1. Perolehan hak atas tanah dan/bangunan akibat pemindahan hak,
karena hal-hal di bawah ini :
a. Jual beli.
b. Tukar menukar.
c. Hibah.
d. Hibah Wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus
mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah
pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
e. Waris
32
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, yaitu
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi
atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya
sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan
hukum lainnya tersebut.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan
sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
h. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemegang
lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam
risalah lelang.
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak
dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak
kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
j. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha
atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah
satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung.
k. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan
usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi
badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
33
l. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi
dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan
usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan
usaha yang lama.
m. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang telah dilakukan oleh orang pribadi
atau badan hukum kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat
dapat berupa akta Hibah.
2. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan akibat pemberian hak
baru, karena hal-hal dibawah ini :
a. Perolehan hak baru atas tanah dan/atau bangunan sebagai
kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada
orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah-tanah
yang berasal dari pelepasan hak.
b. Perolehan hak baru atas tanah dan/atau bangunan di luar
pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari Negara menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.8 Bukan Objek Pajak BPHTB
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh oleh orang atau badan tertentu, sebagaimana di bawah ini :
34
1. Perwakilan Diplomatik, Konsulat dengan asas timbal balik.
2. Negara untuk penyelenggara Pemerintah dan atau pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum, misalnya tanah dan/atau
bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit
pemerintah, dan jalan umum.
3. Badan/perwakilan lembaga Internasional yang di tetapkan dengan
Peraturan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau peraturan hukum lain
tanpa perubahan nama.
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
2.1.9 Subjek Pajak dan Wajib Pajak BPHTB
Subjek pajak Bea Perolahn Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yaitu:
1. Jual beli yaitu pembeli.
2. Tukar menukar yaitu pihak yang menerima tanah/bangunan yang
ditukar.
3. Hibah yaitu penerima hibah.
4. Hibah wasiat yaitu penerima hibah wasiat.
5. Waris yaitu ahli waris (penerima waris).
35
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum yaitu perseroan/badan
hukum lain yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak yaitu orang atau
badan yang ditetapkan sebagai penerima hak atas tanah dan bangunan.
8. Penunjukan pembeli dalam lelang yaitu orang/badan yang ditetapkan
sebagai pemenang lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap
yaitu pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dalam
bentuk putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
10. Penggabungan usaha yaitu badan usaha yang menjadi tempat
bergabung satu atau lebih badan usaha lain.
11. Peleburan usaha yaitu badan usaha yang didirikan sebagai hasil
peleburan usaha.
12. Pemekaran usaha yaitu badan usaha yang baru didirikan sebagai hasil
pemekaran usaha.
13. Hadiah yaitu orang/badan yang memperoleh hadiah.
14. Perolehan hak baru sebagai kelanjutan dan pelepasan hak yaitu
orang/badan yang memperoleh hak atas tanah negara yang berasal dari
pelepasan hak.
15. Perolehan hak baru diluar pelepasan hak yaitu orang/badan yang
memperoleh hak atas tanah negara yang tidak dibebani dengan hak
apapun.
36
2.1.10 Hak Atas Tanah yang Perolehan Hak Atasnya Menjadi Objek Pajak
1. Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang
ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria (UUPA).
4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS), yaitu hak milik atas
satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan
rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama,
37
dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian di limpahkan kepada pemegang haknya,
antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dan atau bekerja
sama dengan pihak ketiga.
2.1.11 Dasar Pengenaan, NPOPTKP, dan Tarif Pengitungan BPHTB
1. Dasar Pengenaan Pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP). NPOP ditentukan sebesar :
a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah
harga transaksi.
b. Pada perolehan hak karena tukar menukar, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai
pasar.
d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai
pasar.
38
f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang
menjadi NPOP adalah nilai pasar.
i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai
pasar.
j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah diluar
pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi
NPOP adalah nilai pasar.
l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPOP adalah
nilai pasar.
o. Pada perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang, yang
menjadi NPOP adalah harga transakasi yang tercantum dalam
risalah lelang.
39
2. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah
suatu jumlah tertentu Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang
tidak dikenakan besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan
Daerah (Perda), dengan ketentuan:
a. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling banyak sebesar Rp.300.000.000,00 dalam hal perolehan
karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
atau sederajat dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami
istri.
b. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional
ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 yang sewaktu-
waktu besarnya dapat diubah oleh peraturan daerah.
3. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah Atau Bangunan yang telah
ditetapkan paling tinggi yaitu sebesar 5%. Tarif Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Atau Bangunan ditetapkan oleh pemerintah
Daerah.
Cara menghitung BPHTB :
BPHTB = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOPTKP) x 5%
Contoh perhitungan :
40
Tuan Aman pada tanggal 5 Januari 2017 membeli tanah dan
bangunan dengan harga transaksi Rp. 80.000.000,00. Diketahui
NPOPTKP yang ditetapkan pada kabupaten dimana objek pajak
berada adalah sebesar Rp. 60.000.000,00. Adapun tarif pajak
BPHTB yang diberlakukan pada kabupaten tersebut adalah 5%.
Berapakan BPHTB yang harus dibayar oleh wajib pajak ?
Perhitungan :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.80.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp.60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp.20.000.000,00
BPHTB yang terutang = Rp.20.000.000,00x 5%
= Rp.1.000.000,00
2.1.12 Tata Cara Pemungutan Pajak
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010, BPHTB
ditetapkan sebagai jenis pajak daerah yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak. Hal ini berarti pemungutan BPHTB menganut self asessment system.
Self asessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggungjawab kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
41
2.1.13 Hak – hak Wajib Pajak Pada BPHTB
1. Keberatan
a. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu :
1) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
2) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB)
3) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT).
4) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
5) Lebih Bayar (SKBLB).
6) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil ( SKBN).
7) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang
berlaku.
b. Dalam mengajukan keberatan Wajib Pajak harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahas Indonesia
dengan disertai alasan - alasan yang jelas.
2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan
pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan
ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
42
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3
bulan sejak diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) Nihil oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak
dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan diluar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud diatas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
e. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penangihan pajak sesuai ketentuan yang
berlaku.
f. Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima,harus memberikan keputusan
atas keberatan yang diajukan.
g. Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat
menyampaikan bukti tambahan atau penjelasan tertulis.
h. Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa
mengabulkan seluruhnya, atau sebagainya, menolak, atau
menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
43
i. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Kepala
Daerah tidak memberikan suatu keputusan, keberatan yang
diajukan tersebut dianggap diterima.
2. Banding
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya
yang ditetapkan Kepala Daerah.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas
dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan
diterima, dilampiri, salinan dari surat keputusan tersebut.
c. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
d. Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan
keputusan keberatan atau keputusan Banding.
44
3. Pengurangan
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat
diberikan karena:
a. Kondisi tertentu wajib pajak, yang berhubungan dengan objek pajak.
Contoh :
1) Wajib pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak
baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan.
2) Wajib pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak
Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan lebih
dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib
pajak dan keterangan dari pejabat pemerintah daerah setempat.
3) Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun
Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh
langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran.
4) Wajib pajak Orang Pribadi menerima Hibah dari Orang Pribadi
yang mempunyai hubungan keluarga.
5) Wajib pajak BUMD baru berdiri dalam jangka waktu paling lama
satu tahun yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat sebagai penyertaan
modal pemerintah.
b. Kondisi wajib pajak yang hubungannya dengan sebab-sebab tertentu.
Contoh :
45
1) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah meliputi pembelian
dari hasil ganti ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak.
2) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti
atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
3) Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter
yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional,
sehingga Wajib Pajak harus melakukan rekonstrukturalisasi
usaha dan atau utang usaha sesuai kebijakan pemerintah.
4) Wajib pajak yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau
peleburan usaha (konsolidasi).
5) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan
yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana
alam.
c. Tanah dan atau bangunan digunakan semata-mata untuk kepentingan
sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari
keuntungan.
2.1.14 Kelebihan Pembayaran BPHTB
Pada Pasal 165 ayat (8) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
ditentukan bahwa tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
kepala daerah.
46
1. Kelebihan Pembayaran BPHTB terjadi apabila :
a. BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya
terutang.
b. Dilakukakan pembayaran BPHTB yang tidak seharusnya
terutang.
Wajib pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak antara lain dalam hal :
a. BPHTB yang dibayar lebih besar dari pada yang seharusnya
terutang.
b. BPHTB dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta
ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan tersebut batal.
2. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Atas kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada bupati/walikota. Untuk memperoleh
pengembalian, wajib pajak mengajukan permohonan tertulis dalam
Bahasa Indonesia kepada bupati/walikota melalui kepala SKPD
pengelola pajak daerah.
2.1.15 Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)
Pengertian PBB P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan
47
terkecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) adalah
Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan
Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang nomor 12 Tahun 1994.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak.
Sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak
yakni adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP
ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. Tarif PBB P2 ditetapkan sebagai
berikut :
1. 0,1 % untuk NJOP sampai dengan Rp. 500.000.000,-
2. 0,125 % untuk NJOP di atas Rp. 500.000.000,- s/d Rp. 1.000.000.000,-
3. 0,160 % untuk NJOP di atas Rp. 1.000.000.000,- s/d Rp.
2.000.000.000,-
4. 0,220 % untuk NJOP di atas Rp. 2.000.000.000,- s/d Rp.
5.000.000.000,-
5. 0,3 % untuk NJOP lebih dari Rp. 5.000.000.000,-
48
2.1.16 Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB P2
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB P2 adalah objek pajak yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti rumah sakit umum,
hutan wisata milik negara, dan pesantren.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenisnya.
3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultat berdasarkan asas timbal
balik.
5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2.1.17 Subjek PBB P2
Subjek PBB P2 adalah orang atau badan secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan memperoleh manfaat atas bumi, memiliki,
menguasai, memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
2.1.18 Dasar Hukum PBB P2
1. Undang-undang PBB No.12 tahun 1994, pembaruan Undang-undang
PBB No.12 Tahun 1985.
49
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2009, Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Peraturan Menteri Keuangan R.I Nomor: 29/PMK.03/2005 tanggal 23
Mei 2005, Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan
Pembayaran PBB.
4. Peraturan Menteri Keuangan R.I Nomor: 121/PMK.06/2005 tanggal 5
Desember 2005, Tentang Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga PBB
Kepada Wajib Pajak.
5. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE – 13 /PJ.6/200223 April 2002,
Tentang Pengenaan PBB Atas Jalan Tol Tahun 2002.
6. Surat Edaran No. SE – 41 /PJ.6/2006 tanggal 27 November 2006,
Tentang Pengenaan PBB Tahun 2007.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE – 54 /PJ.6/200401 Desember 2004,
Tentang Penyesuaian Besarnya NJOPTKP Dan NPOPTKP Untuk Tahun
2005.
2.2 Review Penelitian Sebelumnya
1. Rio Rahmat dan Dian Lestari Siregar (2017), dengan judul Pengaruh
BPHTB dan PBB terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi
Kepulauan Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pengujian
hipotesis menunjukkan BPHTB dan PBB berpengaruh secara stimultan
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Kepulauan Riau.
50
2. Nailatun (2015), dengan judul Pengaruh Pajak Bumi dan Bangunan dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Pendapatan
Daerah Kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBB secara
parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota
Bekasi, ini dapat dilihat dari uji t yang menunjukkan t hitung 0,915
lebih kecil dari t tabel 2,014 (t hitung < t tabel), dan untuk BPHTB
mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi, dapat
dilihat bahwa t hitung 5,830 lebih besar dari t tabel 2,014 ( t hitung > t
tabel), sedangkan untuk PBB dan BPHTB secara simultan mempunyai
pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi, karena dari Uji F
diperoleh F hitung 18,712 lebih besar dari F tabel 3,204 (F hitung > F
tabel).
3. Zulkifli, dkk (2017), dengan judul Analisis Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Kontribusi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Gorontalo. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Penerimaan PBB-P2 di Kota Gorontalo
berdasarkan rasio pengumpulan pada tahun 2012 sebesar 69,47%, tahun
2013 sebesar 74,44%, tahun 2014 sebesar 76,50%, tahun 2015 sebesar
81,26% dan pada tahun 2016 rasio penerimaan PBB-P2 adalah sebesar
86,75%. Klasifikasi penerimaan PBB-P2 di Kota Gorontalo
berdasarkan analisis rasio proporsi dan rasio pertumbuhan adalah
potensial.
51
4. Herra Astuti (2015), dengan judul Potensi Pendapatan, Efektifitas, dan
Tax Effort Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Karanganyar Tahun
2010-2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Pada tahun 2014 Potensi Penerimaan Pajak PBB naik sebesar
14% dari tahun 2013 yaitu sebesar 64.848.547.214. Sedangkan
pada tahun 2013 pajak BPHTB mengalami peningkatan sebesar
34 % dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp.37.526.228.93.
b. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan selama periode 2010-
2014 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 35.400.000.000
dengan rata-rata efektivitas pajak sebesar 133%, dimana
efektivitas tergolong sangat efektif. Sedangkan penerimaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selama periode 2010-
2014 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 29.185.500.000
dengan rata-rata efektivitas pajak sebesar 193%, dimana efektivitas
tergolong sangat efektif. Kesesuaian antara target dengan potensi
lebih dari 50 persen.
c. Pada tahun 2013 daya pajak atau kemampuan membayar pajak
oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar adalah sebesar
2,271%, mengalami peningkatan sebesar 0,319% pada tahun 2014
menjadi 2,591%. Hal ini menunjukan bahwa, meningkatnya
kesadaran atau kemampuan masyarakat dalam membayar pajak.
52
2.3 Pengembangan Hipotesis
1. Hubungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan,
sedangkan perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak
atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun yang
dimaksud hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk
hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang dibidang pertanahan dan bangunan.
Adanya pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menuntut
kesiapan pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan perekonomian
dari sektor pajak. Adanya penerimaan Pajak BPHTB ini akan meningkatkan
pembangunan dan menunjang percepatan ekonomi, serta mendorong
pemerataan pembangunan. (Rio Rahmat Yusran dan Dian Lestari Siregar :
2017)
Nailatun Najichach (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
BPHTB berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian
tersebut telah memberikan bukti bahwa BPHTB mempunyai pengaruh
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan penjelasan diatas,
hipotesis yang dapat dibuat yaitu :
53
H1 : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPTHB)
berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di
Kabupaten Sleman.
2. Hubungan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB
P2) dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) adalah
pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan terkecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak
ikut menentukan besarnya pajak. (Voni Lestari : 2014)
Pengalihan PBB P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang
sepenuhnya masuk ke pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga mampu
meningkatkan jumlah pendapatan daerah. Pada saat PBB P2 dikelola oleh
pemerintah pusat, PBB P2 masuk dalam akun dana bagi hasil, setelah
dialihkan menjadi pajak daerah, PBB P2 masuk dalam akun Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Ketika PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah
Kabupaten/Kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Setelah
pengalihan, semua pendapatan dari sektor PBB P2 masuk ke dalam kas
pemerintah daerah sepenuhnya.
54
Rio Rahmat Yusran dan Dian Lestari Siregar (2017) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan
Perkotaan (PBB P2) berpengaruh positif signifikan terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Penelitian tersebut telah memberikan bukti bahwa
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) mempunyai
pengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan penjelasan
diatas, hipotesis yang dapat dibuat yaitu :
H2 : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berpengaruh positif terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sleman.
2.4 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana
teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai
masalah yang penting. Kerangka konseptual yang baik akan menjelaskan
secara teoritis pertautan antara variabel yang diteliti. Jadi, secara teoritis perlu
dijelaskan hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel
terikat (dependen) dan dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :
55
Gambar. 2.1. Kerangka Konseptual
Keterangan :
= Berpengaruh secara parsial
= Berpengaruh secara simultan
Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan
dan Perkotaan
(PBB P2)
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
H3
H2
H1