32
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang tidak dipengaruhi oleh reward secara formal baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan meraih fungsi organisasi yang efektif dan efisien. Karakteristik perilaku OCB dapat ditandai dengan bantuan yang diberikan bukan merupakan bagian dari tugas, dilakukan secara spontan dan tidak diminta dan dengan membantu rekan kerja tidak akan menjadikan karyawan memperoleh reward. OCB ini merupakan perilaku yang dilakukan seorang karyawan dengan sukarela serta adanya rasa sebagai anggota organisasi yang merasa puas apabila dapat melakukan suatu yang lebih kepada organisasi sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi hukuman, perilaku ini bukan sebagai akibat dari adanya sistem penghargaan yang diberikan perusahaan secara formal tetapi perilaku ini sangat penting untuk meningkatkan kinerja organisasi. Menurut Organ dan Ryan (1995), OCB adalah perilaku-perilaku yang dilakukan oleh karyawan yang tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka melakukannya dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak melakukannya, serta bukan merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4926/3/BAB II.pdf1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organ, Podsakoff, &

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku

individu yang tidak dipengaruhi oleh reward secara formal baik secara langsung

maupun tidak langsung dengan tujuan meraih fungsi organisasi yang efektif dan

efisien. Karakteristik perilaku OCB dapat ditandai dengan bantuan yang diberikan

bukan merupakan bagian dari tugas, dilakukan secara spontan dan tidak diminta dan

dengan membantu rekan kerja tidak akan menjadikan karyawan memperoleh reward.

OCB ini merupakan perilaku yang dilakukan seorang karyawan dengan sukarela serta

adanya rasa sebagai anggota organisasi yang merasa puas apabila dapat melakukan

suatu yang lebih kepada organisasi sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi

hukuman, perilaku ini bukan sebagai akibat dari adanya sistem penghargaan yang

diberikan perusahaan secara formal tetapi perilaku ini sangat penting untuk

meningkatkan kinerja organisasi.

Menurut Organ dan Ryan (1995), OCB adalah perilaku-perilaku yang dilakukan

oleh karyawan yang tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka

melakukannya dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak

melakukannya, serta bukan merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki

15

oleh karyawan. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan

beban kerja mereka.

Garay (2006) menjelaskan bahwa OCB merupakan perilaku sukarela dari

seseorang pekerja untuk mau melakukan tugas atau pekerjaan di luar tanggung jawab

atau kewajibannya demi kemajuan atau keuntungan organisasinya. Menurut Waspodo

dan Minadianti (2012) menjelaskan bahwa OCB merupakan bentuk perilaku yang

merupakan pilihan dan insiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward

formal organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk dalam persyaratan

kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi

hukuman. Sementara itu Waspodo dan Minadianti (2012) mengatakan bahwa OCB

atau yang disebutnya sebagai extra-role behavior (ERB), adalah perilaku yang

menguntungkan organisasi atau diarahkan untuk menguntungkan organisasi,

dilakukan secara sukarela, dan melebihi ekspektasi peran yang ada. Artinya, OCB

secara sederhana dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang berakar dari

kerelaan dirinya untuk memberikan kontribusi melebihi peran inti atau tugasnya

terhadap perusahaannya. Perilaku tersebut dilakukannya, baik secara disadari maupun

tidak disadari, diarahkan maupun tidak diarahkan, untuk dapat memberikan manfaat

dan keuntungan bagi perusahaannya.

Waspodo dan Minadianti (2012) menjelaskan bahwa OCB adalah perilaku

karyawan yang mempraktikan peranan tambahan dan menunjukkan sumbangannya

kepada organisasi melebihi peran spesifikasinya dalam kerja. Menurut mereka juga,

kesediaan dan keikutsertaan untuk melakukan usaha yang melebihi tanggung jawab

16

formal dalam organisasi merupakan sesuatu yang efektif untuk meningkatkan fungsi

sebuah organisasi.

Robbins (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi

bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya

organisasi tersebut secara efektif dan efisien. OCB juga mengacu pada perilaku-

perilaku diluar kewajiban-kewajiban dari yang seharusnya dikerjakan oleh karyawan.

Mencakup perilaku membantu orang lain tanpa pamrih, melakukan pekerjaan yang

berat dengan sabar, ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, dan melakukan

kinerja yang melebihi kewajiban dari yang diperintahkan (McShane & Von Glinow,

2003).

Berdasarkan beberapa definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat

disimpulkan bahwa OCB pada karyawan merupakan perilaku individual yang bersifat

bebas (discretionary) yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat sistem

imbalan formal, dan yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kinerja organisasi

secara efisien.

2. Aspek-aspek Organizatioal Citizenship Behavior (OCB)

Aspek-aspek OCB menurut Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) terbagi

menjadi lima aspek yaitu,

a. Altruism (Menolong Orang Lain)

Perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban

pada tugas-tugas yang berkaitan dengan operasi-operasi organisasional, melainkan

tindakan tersebut bersifat sukarela dan tidak berdasar norma-norma tertentu.

17

Menolong orang lain baik yang berhubungan dengan tugas dalam organisasi ataupun

masalah pribadi orang lain. Hal ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apapun.

b. Constiousness (Perilaku Melebihi Standar Minimum)

Perilaku melebihi standar persyaratan minimun organisasi yang diharapkan

organisasi. Individu yang sadar akan tanggung jawabnya mempunyai perilaku tepat

pada waktu, tinggi dalam kehadirannya, melakukan sesuatu melebihi kebutuhan dan

harapan normal, bijaksana dalam mengikuti peraturan-peraturan organisasi.

c. Courtesy (Menghormati Orang Lain)

Perilaku yang bersifat menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar

terhindar dari masalah interpersonal. Perilaku berbuat baik dan hormat kepada orang

lain dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan, termasuk

perilaku seperti membantu orang lain, membantu seseorang mencegah terjadinya

suatu permasalahan, atau membuat langkah-langkah untuk meredakan atau

mengurangi berkembangnya suatu masalah di organisasi. Individu yang memiliki

dimensi ini tinggi adalah orang yang menghormati, menghargai, dan memperhatikan

orang lain. Karyawan dengan perilaku courtesy lebih peka dan berpikiran terbukan

dengan hak-hak orang lain.

d. Sportmanship (Bersikap Toleran)

Perilaku yang menunjukkan daya toleransi dan sportifitas tinggi terhadap

organisasi tanpa mengeluh kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan

atau masalah bahkan jika individu tidak setuju atau setuju dangan perubahan yang

18

terjadi dalam organisasi. Individu dapat memberikan toleransi terhadap keadaan yang

kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberan-keberatan.

e. Civic Virtue (Menjadi Warga yang Bijak)

Perilaku yang menunjukkan keinginan untuk tanggung jawab dan berperan serta

dalam aktivitas organisasi, memiliki kepedulian terhadap kelangsungan organisasi.

Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada

karyawan untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Perilaku ini ditunjukkan dengan

keinginan untuk berpartisipasi aktif dalam organisasi. Civic virtue dapat dijelaskan

sebagai kesediaan karyawan untuk terlibat dalam hal-hal yang rutin maupun tidak

rutin dalam organisasi untuk menciptakan kesan baik dari organisasi.

Secara umum citizenship behavior merujuk pada tiga elemen utama (Ahdiyana,

2011) yaitu,

a. Kepatuhan (obedience), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menerima

dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi.

b. Loyalitas (loyailty), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menempatkan

kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan kelangsungan organisasi.

c. Partisipasi (participation), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk secara

aktif mengembangkan seluruh aspek kehidupan organisasi.

Padsakoff, dkk (2000) menyebutkan ada tujuh aspek dalam OCB yaitu

Sportmanship (sportifitas), civic virtue (bertanggung jawab sebagai anggota

organisasi), helping behavior (perilaku menolong), organizational loyalty (kesetian

19

sebagai anggota organisasi), organizational compoliance (sikap patuh dalam

organisasi), individual initiative (inisiatif individu), dan self development

(pengembangan diri).

a. Sportmanship, merupakan kemauan atau keinginan untuk bertolenransi terhadap

ketidaknyamanan yang muncul dan penentuan kerja tanpa komplain.

b. Civic virtue, merupakan komitmen karyawan terhadap perusahaan secara keseluruhan

seperti menghadiri rapat, menyampaikan pendapat, atau berpartisipasi aktif dalam

kegiatan perusahaan.

c. Helping Behavior, merupakan perilaku sukarela karyawan untuk menolong rekan

kerja atau mencegah terjadinya permasalahan terkait dengan pekerjaan. (Organ dkk,

2006) membagi aspek ini ke dalam dua kategori yaitu altuism dan courtesy.

d. Organizational loyalty, merupakan bentuk perilaku kesetiaan karyawan terhadap

perusahaan seperti menampilkan image positif mengenai perusahaan, membela

perusahaan dari ancaman eksternal, dan mendukung serta membela tujuan organisasi.

e. Organizational compoliance, merupakan perilaku individu yang mematuhi segala

peraturan, prosedur, dan regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang

mengawasi.

f. Individual initiative,merupakan bentuk dorongan dari dalam diri individu untuk

melaksanakan tugas secara lebih baik atau melampaui standar yang telah ditetapkan.

Organ, dkk., (2006) menyebut aspek ini sebagai consceintiousness.

20

g. Self development, merupakan perilaku individu secara sukarela untuk meningkatkan

pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sendiri, seperti mengikuti kursus,

pelatihan, seminar, atau mengikuti perkembangan terbaru dari bidang yang dikuasai.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam OCB

menurut Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) meliputi altruism, constiousness

courtesy, sportmanship dan civic virtue. Sedangkan menurut Ahdiyana (2011)

meliputi elemen kepatuhan (obedience), loyalitas (loyailty), dan partisipasi

(participation). Menurut Padsakoff, dkk (2000) ada tujuh aspek dalam OCB yaitu

Sportmanship, civicvirtue, helping behaviour, organizational loyalty, organizational

compoliance, individual initiative, dan self development. Dalam penelitian ini peneliti

memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Organ, Podsakoff, & MacKenzie

(2006), karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam

pembuatan instrumen pengumpulan data.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Menurut Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006), Faktor-faktor yang

mempengaruhi OCB adalah sebagai berikut:

a. Kepuasan Kerja

Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada

organisasi tempatnya bekerja akan cenderung menunjukkan performa kerja yang

lebih baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan

organisasinya. Dennis Organ (1988) sebagai tokoh penting yang mengemukakan

21

OCB, menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan membalas kenyamanan

bekerja yang dirasakannya kepada organisasi yang telah memperlakukan dirinya

dengan baik dan memenuhi kebutuhannya selama ini dengan cara melaksanakan

tugasnya secara ekstra melebihi standar yang ada. Robbins (1989) Karyawan yang

merasa puas akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu

orang lain dan bertindak melebihi harapan yang normal dalam pekerjaan yang

membuat karyawan tersebut menjadi bangga dan ingin membalas pengalaman positif

mereka. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan karyawan dalam berbagai bentuk

perilaku OCB secara sukarela demi kemajuan perusahaannya (George & Jones,

2002).

b. Keadilan

Karyawan harus merasa diperlakukan secara adil oleh organisasi baru ia akan

menunjukkan perilaku OCB. Hal ini termasuk juga bahwa karyawan dapat merasakan

prosedur kerja dan hasil kerja yang diperolehnya adalah sesuatu yang adil. Sejumlah

studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keadilan dengan

OCB. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan akan merasa lebih ingin

melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam job description

dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika karyawan diperlakukan oleh para

atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa karyawan

diperlakukan secara adil oleh perusahaannya (Luthans, 2006).

22

c. Motivasi Instrinsik

OCB muncul sebagai perwujudan dari motivasi intrinsik yang ada dalam diri

seseorang, misalnya kepribadian dan suasana hati (mood), ataupun minat tertentu.

Kepribadian mempunyai pengaruh terhadap timbulnya OCB secara individual

maupun kelompok. Motivasi dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk

beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian

diri. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah

untuk mencapai tujuan organisasi maupun tujuan kerja. Dengan demikian, motivasi

dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab

seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar,

(Robbins, 2001).

d. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan berpotensi untuk memunculkan OCB dengan mengubah

struktur tugas karyawan, untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Menurut

(Burton, 2003) secara keseluruhan, perilaku kepemimpinan memiliki hubungan yang

signifikan dengan organizational citizenship behavior, transformational leadership,

leader-member exchange, “super”leadership, traditional path goal leadership dan

subtitutes for leadership memiliki hubungan dengan OCB. Namun, “super”

leadership tidak memiliki hubungan dalam menampilkan OCB dalam organisasi

(Burton, 2003). Dukungan dan gaya kepemimpinan atasan sangat mempengaruhi

munculnya OCB pada karyawan, hal ini dapat dipahami melalui proses modeling

ataupun vicarious learning yang dilakukan oleh atasan yang kemudian menginspirasi

23

para karyawan untuk melakukan OCB, sehingga atasan dapat menjadi agen model

OCB. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualias

tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya

sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan

dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada

atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang

diharapkan oleh atasan mereka.

e. Budaya dan Iklim Organisasi

Menurut Organ dkk (2006) terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa

budaya organisasi merupakan suatu kondisi yang dapat memunculkan OCB di

kalangan karyawan. Iklim organisasi akan berdampak positif jika iklim organisasi

memenuhi perasaan dan kebutuhan pegawai. Muji (2007) menjelaskan suatu iklim

organisasi yang baik, bila dalam organisasi itu dikembangkan suatu iklim yang sesuai

kebutuhan karyawan, hal ini nantinya akan menimbulkan kepercayaan karyawan

terhadap organisasi, dan membuat karyawan termotivasi untuk memberikan

kontribusi yang positif dalam mencapai tujuan perusahaan.

Menurut Organ (1988), iklim organisasi yang positif akan menentukan apakah

seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan atau tidak. Jika iklim dipersepsikan secara positif, maka individu sebagai

anggota organisasikan sukarela melaksanakan pekerjaanya dalam organisasi melebihi

apa yang diharapkan perusahaan.

24

f. Jenis Kelamin

Konovsky & Organ (2010) mengatakan bahwa faktor bawaan atau karakteristik

psikologis individu seperti kepribadian, kebutuhan psikologis, dan sikap merupakan

prediktor OCB. Serta menurut (Luthans, 2006) OCB lebih menonjol dilakukan oleh

wanita dibandingkan pria, karena mereka merasa bahwa OCB merupakan bagian dari

kewajiban pekerjaan dan bukanlah suatu tugas ekstra.

g. Masa Kerja

Greenberg dan Baron (1993) mengemukakan bahwa karakteristik personal

seperti masa kerja dan jenis kelamin berpengaruh pada OCB. Karyawan yang telah

lama bekerja di suatu organisasi akan memiliki keterikatan yang lebih mendalam,

baik dengan organisasi maupun dengan rekan kerjanya sehingga individu memiliki

orientasi kolektif dalam bekerja. Dengan kata lain, mereka akan lebih mengutamakan

kepentingan bersama dibanding ambisi pribadinya sehingga mereka lebih cenderung

bersedia menolong rekan kerjanya dan berbuat lebih terhadap pencapaian organisasi.

h. Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi

Karyawan yang mempersikan bahwa mereka didukung oleh organisasikan

memberikan prilaku timbal balik terhadap organisasi dengan memunculkan perilaku

OCB (Shore & Wayne, 1993).

B. Kepuasan Kerja

1. Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang

pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

25

Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan positif

terhadap pekerjaannya. Sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan

negatif terhadap pekerjaannya (Robbins, 2007). Lebih lanjut Robbins (2005)

menambahkan kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum individu terhadap

pekerjaannya sedangkan pekerjaan tersebut menuntut interaksi dengan rekan rekan

kerja dan atasan dengan mengikuti aturan dan kebijakan organisasi. As’ad (1981)

mengungkapkan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan

terhadap pekerjaan sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pemimpin dengan sesama

karyawan, dan setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda

sesuai dengan sistem nilai yang ada pada dirinya.

Aziri (2011) kepuasan kerja mewakili perasaan negatif dan positif dari persepsi

karyawan terhadap pekerjaan yang dihadapinya, yaitu suatu perasaan untuk

berprestasi dan meraih kesuksesan didalam pekerjaan, kepuasan kerja yang tinggi

mengimplikasikan bahwa karyawan merasa senang dan nyaman dengan kondisi

lingkungan organisasi serta mendapat penghargaan dari jerih payah hasil kerjanya,

dilihat dari tunjangan yang diberikan oleh perusahaan serta tips yang diberikan

langsung oleh konsumen dan dipermudah oleh perusahaan untuk mencari hari libur

atau tukar jadwal bagi karyawan yang yang memerlukan karena ada upacara

(rahinan).

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan

jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Wibowo, 2007).

26

Teori-teori Kepuasan Kerja yang diungkapkan oleh beberapa ahli: Menurut

Sutrisno (2009) seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan

sikap yang positif terhadap kerja. Sementara karyawan yang yang tidak memperoleh

kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan

timbul sikap atau tingkah laku negatif dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan

frustasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja dengan baik, penuh

semangat, aktif, dan dapat berprestasi lebih baik dari karyawan yang tidak

memperoleh kepuasan kerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang

bersifat individu. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda

sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal Ini disebabkan karena

adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam

pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi

tingkat kepuasan yang dirasakannya, sebaliknya semakin sedikit aspek-aspek dalam

pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin rendah tingkat

kepuasan yang dirasakannya (Sutrisno, 2009).

Sopiah (2008) mengemukakan kepuasan kerja merupakan suatu ungkapan

emosional yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian

terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja dan kepuasan kerja menunjukkan

adanya kesesuaian anatara harapan seseorang yang timbul dengan imbalan yang

disediakan oleh pekerjaan.

Jadi dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah

perasaan emosional yang dirasakan oleh seorang karyawan atas apa yang ia kerjakan

27

atau atas apa yang ia rasakan terhadap pekerjaannya itu sendiri. Namun

ketidakpuasan kerja akan muncul jika harapan seseorang tidak terpenuhi. Maka dari

itu adanya balas jasa terhadap karyawan juga sangat penting diperhatikan, sehingga ia

memperoleh kepuasan kerja dari pekerjaan itu.

2. Aspek Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (2007), kepuasan kerja memiliki lima aspek yaitu:

a. Gaji

Gaji merupakan upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang

dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi yang

sama.

b. Pekerjaan itu sendiri

Sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar

memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk

pekerjaan yang menarik.

c. Sikap Atasan

Sejauh mana perhatian bantuan teknis dan dorongan ditunjukkan oleh supervisor

terdekat terhadap bawahan. Atasan yang memiliki hubungan personal yang baik

dengan bawahan serta mau memenuhi kepentingan bawahan memberikan kontribusi

positif bagi kepuasan karyawan dan partisipasi bawahan dalam pengambilan

keputusan memberikan dampak positif terhadap kepuasan karyawan.

28

d. Rekan kerja

Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.

Bagi kebanyakan karyawan, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi

kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu mempunya rekan kerja yang

menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja.

e. Promosi

Mengacu pada sejauh mana pergerakan atau kesempatan maju diantara jenjang

berbeda dalam organisasi. Keinginan untuk promosi mencakup keinginan untuk

pendapatan yang lebih tinggi, status sosial, pertumbuhan secara psikologis dan

keinginan untuk rasa keadilan.

Kepuasan kerja menurut Hasibuan (2014) ditunjukkan oleh tiga aspek antara

lain:

a. Kedisiplinan

Hasibuan (2014) menyebutkan kedisiplinan merupakan suatu keharusan dan

perlu dimiliki oleh setiap karyawan dalam bekerja. Kedisiplinan mencakup berbagai

aspek dari disiplin yaitu disiplin tepat waktu, absensi, tidak melakukan hal-hal diluar

pekerjaan pada jam bekerja dan lain-lain.

b. Moral kerja

Moral kerja merupakan suatu perasaan bertanggung jawab karyawan atas

pekerjaannya sehingga akan berpengaruh terhadap hasil pekerjaan dari karyawan

tersebut (dalam Muwafik, 2013). Moral kerja ditunjukkan dengan kesungguhan

29

seseorang dalam mengerjakan pekerjaannya dengan baik, disiplin dan maksimal

(Hasibuan, 2014).

Menurut Moekijat, apabila karyawan nampak senang, optimis mengenai

kegiatan-kegiatan dan tugas kelompok serta ramah satu sama lainnya, maka mereka

dikatakan mempunyai semangat yang tinggi (dalam Wicaksono, 2012). Berbeda

dengan karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah, karena karyawan

tersebut cenderung menunjukkan sikap yang pasif seperti suka membantah, merasa

gelisah dalam bekerja dan merasa tidak nyaman (dalam Karsini dkk 2016) .

c. Prestasi Kerja

Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melakukan

tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan pada kecakapan,

pengalaman, dan kesungguhan serta ketepatan waktu (Hasibuan, 2014). Dharma

mengemukakan bahwa, pada umumnya cara mengukur prestasi kerja karyawan

mempertimbangkan tiga hal, yaitu kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu (dalam

Permatasari, 2016).

Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka

dapat disimpulkan aspek-aspek kepuasan kerja yaitu menurut Robbins (2007) adalah

gaji, pekerjaan itu sendiri, sikap atasan, rekan kerja, dan Promosi. Menurut Hasibuan

(2014) adalah kedisiplinan, moral kerja, dan prestasi kerja. Aspek aspek yang

digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang digunakan oleh Robbins

(2007) karena aspek ini lebih mengungkap kepuasan kerja dengan jelas dan aspek ini

juga sesuai dengan kondisi lapangan tempat penelitian dilakukan.

30

C. Motivasi Intrinsik

1. Pengertian Motivasi Intrinsik

Mc Clelland (dalam Robbins & Judge, 2013) mengatakan bahwa ada suatu

dorongan yang membuat seseorang mencapai prestasinya secara maksimal. Dorongan

itu berupa kebutuhan akan pencapain prestasi, kebutuhan akan suatu kekuasaan atau

pengaruh terhadap orang lain. Caroll dan Tosi (1977) menyebut hal ini sebagai

motivasi, yaitu keadaan mental internal dari suatu individu yang menyebabkan

individu tersebut melakukan suatu aktivitas. Luthans (2006) mengungkapkan nahwa

motivasi adalah proses yang dimulai dengan definisi fisiologis atau psikologis yang

menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditunjukan untuk tujuan atau intensif,

dan kunci untuk memahami proses motivasi yang bergantung pada pengertian dan

hubungan antara kebutuhan, dorogan, dan insentif. Robbins & Judge (2013)

mengungkapkan bahwa motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah,

dan ketekunan seorang individu mencapai tujuannya. Motivasi sedikitnya bisa

digolongkan menjadi dua, yaitu sumber motivasi dari dalam diri atau motivasi

intrinsik dan sumber motivasi dari luar atau motivasi ektrinsik, motivasi intrinsik

aktif atau berfungsi tanpa adanya rangsang dari luar (Priansa, 2014). Paraskevi (2007)

menjelaskan motivasi intrinsik seperti halnya self-defined atau self-sustained yang

membuat seseorang mampu untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi

kebutuhannya. Ray & Miller (dalam Novliadi, 2007) yang mengungkapkan bahwa

31

tugas dan tanggung jawab kerja yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan

salah satu sumber motivasi intrinsik yang ada dalam diri karyawan.

Thomas (2000) yang mengungkapkan bahwa motivasi intrinsik merupakan

dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang karena terlibat dalam kegiatan untuk

dirinya sendiri dan memperoleh kesenangan serta kepuasan dari partisipasinya

tersebut. Menurut Winardi (2001), motivasi intrinsik merupakan motivasi yang

berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu

dorongan untuk melakukan tindakan. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah

perasaan internal mengenai kompetensi. Deci (dalam Marinak & Grambell, 2008)

mengemukakan motivasi intrinsik secara operasional digambarkan sebagai ketekunan

terhadap tugas. Seperti yang diungkapkan Wexley & Yukl (1977) bahwa motivasi

intrinsik adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan usaha yang

telah dicurahkan dalam suatu pekerjaan guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan

seperti keberhasilan, keahlian, serta aktualisasi diri.

Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang

diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik

yang ada di dalam diri karyawan. Griffin dan Moorhead (dalam Windayanti, 2007),

mengatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu tekanan-tekanan yang

menyebabkan individu terlibat dalam suatu fokus kegiatan saja. Handoko (2003),

motivasi intrinsik yaitu motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar,

dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Berbagai

32

kebutuhan, keinginan dan harapan yang terdapat dalam diri pribadi seseorang

menyusun motivasi internal orang tersebut. kebutuhan ini mempengaruhi pribadinya

dengan menentukan berbagai pandangan, yang menurut giliran untuk memimpin

tingkah laku dalam situasi khusus.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi intrinsik

adalah keinginan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk

mengerahkan segala kemampuan dan bakat dalam mencapai segala sesuatu yang

sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, berkompetensi

dengan lingkungan.

2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik

Aspek-aspek motivasi intrinsik menurut (Thomas, 2000) adalah sebagai berikut:

a. Pilihan

Peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal

dan melaksanakannya dengan cara yangmemadai seperti wewenang, keamanan,

adanya tujuan yang jelas, dan informasi.

b. Kompetensi

Suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara

yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan

keterampilan.

33

c. Penuh Arti

Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bermulai

dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya pengenalan

keinginan dan visi yang membangkitkan.

d. Kemajuan

Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam mencapai

sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran kemajuan.

Motivasi intrinsik ini memiliki aspek-aspek sebagai berikut (Stipek, 2002) :

a. Kompetensi

Kekuatan atau dorongan ditunjukkan dengan perilaku yang cenderung mendekati

tugas. Indikator dari aspek ini misalnya seperti hal-hal yang mendekati dan dirasa

perlu sehubungan dengan tugas, tidak berhenti bekerja sebelum tugas selesai,

mendekati tugas-tugas dengan gembira, persisten dalam menghadapi kegagalan, suka

rela menjawab pertanyaan dan menyediakan jawaban sebelum diminta untuk

menjawab.

b. Tugas baru

Dorongan dari dalam diri karena adanya rasa keingintahuan terhadap tugas yang

bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Hal ini seperti, mandiri dan fokus

terhadap tugas walaupun faktor luar tidak hadir (atasan, supervisi, ataupun orang

34

lain), terlihat menikmati pekerjaan, menunjukkan harapan yang tinggi pada tugas sulit

mengembangkan pengetahuan yang dimiliki kepada hal baru.

c. Otonomi diri

Memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan sendirinya

tanpa dipengaruhi faktor luar. Adanya keinginan untuk mengevaluasi hasil lebih jauh

hasil pembelajarannya secara lebih mendalam dan spontan sehingga menghasilkan

ekspresi bangga terhadap prestasi yang diraih.

Aspek-aspek motivasi intrinsik dikembangkan oleh Harter,dkk (dalam Stipek,

2002)

a. Competence

b. Novelty

c. Self determinant

Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan

titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001).

Motivasi intrinsik ini dapat menciptakan kreativitas, pembelajaran konsep, pencairan

tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan

motivasi ekstrinsik (Stipek,2002).

35

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek motivasi intrinsik di atas, dapat

disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi intrinsik yaitu: pilihan, kompetensi, penuh

arti, dan kemajuan.

D. Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB)

Robbins and jugde (2008) menyatakan munculnya Organizational Citizenship

Behavior (OCB) didorong oleh kepusan kerja, karena karyawan yang puas memiliki

kemungkinan yang lebih besar untuk berbicara positif tentang organisasi, membantu

individu lain, dan melakukan kinerja yang melampaui perkiraan normal. Penelitian

lainnya mendukung pernyataan tersebut yaitu dari penelitian yang dilakukan oleh

Nafi’ dan Indrawati (2017) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif yang

signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB para karyawan.

Kepuasan kerja salah satunya merupakan puas terhadap upah yang diberikan

sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh

orang lain dalam posisi yang sama (Robbins, 2007). Heller et al (2002) tentang

keterkaitan antara kepuasan kerja dengan organizational citizenship behavior bahwa

kepuasan kerja adalah suatu konstruk yang sangat penting dalam perilaku

organisasional dan berhubungan dengan outcome yang penting seperti kinerja tugas,

perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship behavior), ketidak

hadiran kerja, dan kepuasan dalam kehidupannya. (Wexley dan Yulk, 1977) dalam

bukunya Moch.As’ad (2004) menyatakan bahwa Out comes merupakan sesuatu yang

36

berharga yang dirasakan pegawai/karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, seperti

gaji, status, symbol, dan penghargaan. Robbins (2001) mengatakan bahwa para

karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan

sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka.Bila upah

dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan

individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan

kepuasan”. Bila karyawan merasa puas dengan upahnya, maka akan timbul rasa

senang dalam melakukan pekerjaannya dan bersedia bekerja melebihi job deskripsi

yang ada.

Kepuasan terhadap pekerjaan sendiri dinilai memberikan tugas yang menarik,

kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab (Robbins,

2007). Menurut Luthans (1995), unsur ini menjelaskan pandangan karyawan

mengenai pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan tersebut

karyawan memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalankan tugasnya secara

sukarela.

Robbins (2007) menyatakan sejauh mana perhatian bantuan teknis dan dorongan

ditunjukkan oleh supervisor terdekat terhadap bawahan. Atasan yang memiliki

hubungan yang baik dengan bawahan serta mau memenuhi kepentingan bawahan

memberikan kontribusi positif bagi kepuasan karyawan dan partisipasi bawahan

dalam pengambilan kebutusan dan memberikan dampak positif terhadap kepuasan

karyawan. Sikap yang ditampilkan oleh seorang pemimpin dapat mempengaruhi cara

37

kerja dan semangat bawahan atau pegawai dalam melakukan pekerjaan melebihi dari

yang diharapkan. Menurut Maxwell (1995) mengatakan bahwa “Sikap seseorang

tidak dapat menghentikan perasaannya, tetapi sikap bisa menjaga agar perasaan tidak

menghentikan seseorang”. Jadi, pentingnya seorang pimpinan untuk memiliki sikap

positif karena dengan sikap yang demikian pemimpin akan menjadi lebih tangguh,

lebih kuat, dan juga memiliki pikiran yang positif dalam menghadapi persoalan yang

dihadapi dan penting untuk diingat bahwa pemimpin pasti mempengaruhi para

bawahannya agar bekerja, dengan memiliki sikap yang baik maka pemimpin pun

akan menarik orang-orang untuk bersikap baik, demikian pula sebaliknya. Jadi

pemimpin secara tidak langsung pasti mempengaruhi bawahannya dan bawahan yang

merasa puas akan bekerja lebih dari yang diharapkan.

Kepuasan terhadap rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara

sosial. Bagi kebanyakan karyawan, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi

kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu mempunyai rekan kerja yang

menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja (Robbins, 2007). Luthans (1998)

menyatakan bahwa “Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama rekan sekerja atau

kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual”.

Kelompok kerja yang dapat memberikan dukungan, nasehat atau saran, bantuan

kepada sesama rekan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang nyaman, sehingga

karyawan dapat bekerja dengan baik sekalipun melebihi pekerjaan pokok.

Kepuasan terhadap kesempatan promosi mengacu pada sejauh mana pergerakan

atau kesempatan maju diantara jenjang berbeda dalam organisasi. Keinginan untuk

38

promosi mencakup keinginan untuk pendapatan yang lebih tinggi, status sosial,

pertumbuhan secara psikologis dan keinginan untuk rasa keadilan (Robbins, 2007).

Naveed (2011) mengemukakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan

kepuasan kerja karyawan adalah promosi jabatan. Promosi jabatan yang di lakukan

oleh manajemen perusahaan memberikan peranan penting bagi setiap karyawannya,

bahkan setiap karyawannya menjadikan promosi jabatan sebagai sebuah impian dan

tujuan yang selalu di harapkan oleh karyawan. Promosi jabatan tidak hanya semata-

mata akan memberikan kekuasaan lebih tapi juga membuat karyawan akan merasa

status sosialnya meningkat. Promosi jabatan yakni perpindahan ke jabatan yang lebih

tinggi didalam suatu organisasi, sehingga kewajiban, hak, status, dan penghasilan

semakin besar. Saputra (2015) promosi merupakan kesempatan untuk berkembang

secara intelektual dan memperluas keahlian menjadi dasar perhatian penting untuk

maju dalam organisasi sehingga menciptakan kepuasan.karyawan akan merasa puas

dengan pekerjaannya dimana hal ini akan mambuat karyawan bersedia bekerja

melebihi pekerjaan pokoknya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara kepuasan kerja dengan OCB. Semakin puas seseorang terhadap

pekerjaannya maka akan menunjukkan perilaku OCB yang tinggi. Sedangkan

semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaanya, maka karyawan tidak akan

menunjukkan perilaku OCB atau perilaku OCB yang ditunjukkan akan rendah.

39

E. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dengan Organizational Citizenship

Behavior (OCB)

Podsakoff, dkk (2000) menyatakan motivasi intrinsik merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku OCB pada karyawan, Seseorang

individu dalam organisasi berperilaku tidak lepas dari adanya motivasi. Motivasi

yang mempengaruhi seseorang sangat beraneka ragam namun motivasi yang berasal

dalam diri memiliki pengaruh sangat besar terhadap perilaku individu dalam

organisasi. Penelitian lainnya mendukung pernyataan tersebut yaitu dari penelitian

yang dilakukan oleh Asmaradita dkk (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan

yang positif antara motivasi intrinsik dengan OCB para karyawan.

Motivasi intrinsik tidak lepas dari pilihan dimana peluang untuk mampu

menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal dan melakukannya dengan

cara yang memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan

informasi (Thomas 2000). Maslow (dalam Luthans,2006) menyatakan kebutuhan rasa

aman seorang karyawan dapat berupa rasa aman dalam bekerja, maksud kebutuhan

rasa aman ini adalah kebutuhan karyawan untuk merasa aman dan bebas dalam

bekerja dengan memiliki harapan untuk berprestasi semaksimal mungkin tanpa

adanya ancaman. Maka karyawan akan termotivasi dari dalam diri dimana hal ini

akan mambuat karyawan bersedia bekerja melebihi pekerjaan pokoknya.

Motivasi intrinsik pada kompetensi merupakan suatu pencapaian yang dirasakan

saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-

40

pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan keterampilan (Thomas, 2000). Motivasi

intirnsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk

mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat yang dimilikinya (Ivancevich,

dkk,. 2007). Herzberg (dalam Luthans,1992) menyatakan bahwa keberhasilan

seorang karyawan dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya agar sesorang karyawan

dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus

mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan

kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Bila bawahan

terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus menyatakankeberhasilan

itu. Maka bawahan merasa diberi apresiasi akan prestasinya merasa termotivasi akan

bekerja lebih dari yang diharapkan.

Motivasi intrinsik yang penuh arti memiliki tujuan sebagai peluang untuk

mengejar sasaran tugas yang bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang

lebih besar misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan (Thomas,

2000). Herzberg (dalam Hasibuan, 2005) menjelaskan bahwa pekerjaan merupakan

faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang

memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang

memberikan tantangan bagi karyawan, merupakan faktor motivasi, karena

keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi akan akan

bekerja melebih apa yang diharapkan oleh perusahaan.

41

Termotivasi untuk terus maju ini adalah perasaan yang membuat langkah maju

dan berarti dalam mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran

kemajuan (Thomas, 2000). Herzberg (dalam Hasibuan, 2005) menyatakan peluang

untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang karyawan dalam

melakukan pekerjaan, karena setiap karyawan menginginkan adanya promosi

kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman

dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang

kuat bagi karyawan untuk bekerja lebih baik dan bekerja melebihi dari tugas

pokoknya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

positif antara motivasi intrinsik dengan OCB. Semakin tinggi motivasi intrinsik

seseorang terhadap pekerjaannya maka akan menunjukkan perilaku OCB yang tinggi.

Sedangkan semakin rendah motivasi intrinsik seseorang terhadap pekerjaanya, maka

karyawan tidak akan menunjukkan perilaku OCB atau perilaku OCB yang

ditunjukkan akan rendah.

F. Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Motivasi Intrinsik dengan

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organizational citizenship behavior merupakan sebuah sikap yang ditunjukan

oleh karyawan yang berdampak pada keberlangsungan kinerja dari perusahaan. Sikap

dari karyawan tersebut dapat berupa sikap positif atau negatif. Organ, Podsakoff, &

MacKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang tidak

42

dipengaruhi oleh reward secara formal baik secara langsung maupun tidak langsung

dengan tujuan meraih fungsi organisasi yang efektif dan efisien. Hasil penelitian

menemukan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya OCB adalah kepuasan

kerja, komitmen organisasi, persepsi dalam berperan, interaksi atasan-bawahan,

persepsi keadilan, kecenderungan individu, teori motivasi, dan usia karyawan

(Jahangir dkk, 2004).

Menurut Robbins dan Judge (2008), karyawan yang puas cenderung untuk

berbicara secara positif mengenai organisasinya, menolong orang lain atau rekan

kerjanya dan berusaha untuk melakukan lebih dari yang diharapkan dalam

pekerjaannya. Ini berarti kepuasan kerja sangat berkaitannya dengan OCB. OCB ini

merupakan perilaku yang dilakukan seorang karyawan dengan sukarela serta adanya

rasa sebagai anggota organisasi yang merasa puas apabila dapat melakukan suatu

yang lebih kepada organisasi sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi

hukuman, perilaku ini bukan sebagai akibat dari adanya sistem penghargaan yang

diberikan perusahaan secara formal tetapi perilaku ini sangat penting untuk

meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini di tunjukkan dengan kesediaan karyawan

dalam berbagai bentuk perilaku OCB decara sukarela demi kemajuan perusahaannya

(George & Jones, 2002).

Thornburgh (dalam Elida Prayitno 1989) berpendapat bahwa motivasi intrinsik

adalah keinginan untuk bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri

(internal) individu. Individu yang digerakkan oleh motivasi intrinsik baru akan puas

43

kalau kegiatan yang dilakukan telah mencapai hasil yang terlibat dalam kegiatan itu.

Didukung oleh penelitian Rodriguez (2010), yang mengatakan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara motivasi intrinsik terhadap OCB.

Motivasi kerja juga merupakan sebuah perilaku karyawan. Seperti yang

dikatakan oleh Antonio dan Sutanto (2014), bahwa motivasi kerja dapat ditunjukan

dengan perilaku karyawan. Perilaku karyawan yang menunjukkan semangat kerja

dapat membuat karyawan bekerja secara maksimal. Sejalan dengan ungkapan dari

George dan Jones (Sutanto dan Tania, 2013) yang menyatakan bahwa, semangat

kerja yang ada pada karyawan yang membuat karyawan tersebut dapat bekerja untuk

mencapai tujuan tertentu. Dengan begitu, motivasi kerja dapat memicu sebuah tujuan

tertentu yang bahkan itu di luar tanggung jawabnya.

Motivasi kerja dan kepuasan kerja secara bersama dapat mempengaruhi OCB

karyawan. Senada dengan Antonio dan Sutanto (2014) yang menyatakan bahwa

motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi

perusahaan yang berujung pada peningkatan produktivitas. Motivasi kerja yang

dimiliki karyawanakan memicu semangat kerja para karyawan untuk mencapai tujuan

tertentu dari perusahaan. Dibantu dengan kepuasan kerja yang berupa sikap positif

dari karyawan dapat membantu para karyawan memenuhi tujuan perusahaan bahkan

lebih dari yang diharapkan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho

(2012) kepuasan kerja yang tinggi yang dimiliki seorang karyawan akan

meningkatkan motivasi kerja pada karyawan. Adanya kepuasan kerja pada diri

44

karyawan dalam bekerja akan lebih memacu motivasinya dalam setiap kegiatan untuk

mencapai tujuan oraganisis bahkan lebih dari yang diharapkan. Penelitian yang

dilakukan oleh Wahyudi (2016) menyatakan terdapat hubungan antara motivasi

intrinsik dan kepuasan kerja dengan OCB pada karyawan. Sejalan dengan yang

disampaikan Yuwono, dkk (2014) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dan kepuasan kerja dengan OCB.

Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi yang dibantu dengan kepuasan yang ada

pada diri karyawan akan mampu meningkatkan OCB.

G. Hipotesis

Peneliti mengajukan dua hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

H1 : Ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan OCB pada karyawan.

Semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan maka semakin tinggi

OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja yang dirasakan

oleh karyawan maka semakin rendah OCB pada karyawan.

H2 : Ada hubungan yang positif antara motivasi intrinsik dengan OCB pada

karyawan. Semakin tinggi motivasi intrinsik yang dimiliki karyawan maka semakin

tinggi OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah motivasi intrinsik yang

dimiliki karyawan maka semakin rendah OCB pada karyawan.

H3 : Ada hubungan positif antara kepuasan kerja dan motivasi intrinsik dengan OCB

pada karyawan. Semakin tinggi kepuasan kerja dan motivasi intrinsik yang dimiliki

karyawan maka semakin tinggi OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah

45

kepuasan kerja dan motivasi intrinsik yang dimiliki karyawan maka semakin rendah

OCB pada karyawan.