Upload
others
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku
individu yang tidak dipengaruhi oleh reward secara formal baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan tujuan meraih fungsi organisasi yang efektif dan
efisien. Karakteristik perilaku OCB dapat ditandai dengan bantuan yang diberikan
bukan merupakan bagian dari tugas, dilakukan secara spontan dan tidak diminta dan
dengan membantu rekan kerja tidak akan menjadikan karyawan memperoleh reward.
OCB ini merupakan perilaku yang dilakukan seorang karyawan dengan sukarela serta
adanya rasa sebagai anggota organisasi yang merasa puas apabila dapat melakukan
suatu yang lebih kepada organisasi sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi
hukuman, perilaku ini bukan sebagai akibat dari adanya sistem penghargaan yang
diberikan perusahaan secara formal tetapi perilaku ini sangat penting untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
Menurut Organ dan Ryan (1995), OCB adalah perilaku-perilaku yang dilakukan
oleh karyawan yang tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka
melakukannya dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak
melakukannya, serta bukan merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki
15
oleh karyawan. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan
beban kerja mereka.
Garay (2006) menjelaskan bahwa OCB merupakan perilaku sukarela dari
seseorang pekerja untuk mau melakukan tugas atau pekerjaan di luar tanggung jawab
atau kewajibannya demi kemajuan atau keuntungan organisasinya. Menurut Waspodo
dan Minadianti (2012) menjelaskan bahwa OCB merupakan bentuk perilaku yang
merupakan pilihan dan insiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward
formal organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk dalam persyaratan
kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi
hukuman. Sementara itu Waspodo dan Minadianti (2012) mengatakan bahwa OCB
atau yang disebutnya sebagai extra-role behavior (ERB), adalah perilaku yang
menguntungkan organisasi atau diarahkan untuk menguntungkan organisasi,
dilakukan secara sukarela, dan melebihi ekspektasi peran yang ada. Artinya, OCB
secara sederhana dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang berakar dari
kerelaan dirinya untuk memberikan kontribusi melebihi peran inti atau tugasnya
terhadap perusahaannya. Perilaku tersebut dilakukannya, baik secara disadari maupun
tidak disadari, diarahkan maupun tidak diarahkan, untuk dapat memberikan manfaat
dan keuntungan bagi perusahaannya.
Waspodo dan Minadianti (2012) menjelaskan bahwa OCB adalah perilaku
karyawan yang mempraktikan peranan tambahan dan menunjukkan sumbangannya
kepada organisasi melebihi peran spesifikasinya dalam kerja. Menurut mereka juga,
kesediaan dan keikutsertaan untuk melakukan usaha yang melebihi tanggung jawab
16
formal dalam organisasi merupakan sesuatu yang efektif untuk meningkatkan fungsi
sebuah organisasi.
Robbins (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi
bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya
organisasi tersebut secara efektif dan efisien. OCB juga mengacu pada perilaku-
perilaku diluar kewajiban-kewajiban dari yang seharusnya dikerjakan oleh karyawan.
Mencakup perilaku membantu orang lain tanpa pamrih, melakukan pekerjaan yang
berat dengan sabar, ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, dan melakukan
kinerja yang melebihi kewajiban dari yang diperintahkan (McShane & Von Glinow,
2003).
Berdasarkan beberapa definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa OCB pada karyawan merupakan perilaku individual yang bersifat
bebas (discretionary) yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat sistem
imbalan formal, dan yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kinerja organisasi
secara efisien.
2. Aspek-aspek Organizatioal Citizenship Behavior (OCB)
Aspek-aspek OCB menurut Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) terbagi
menjadi lima aspek yaitu,
a. Altruism (Menolong Orang Lain)
Perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban
pada tugas-tugas yang berkaitan dengan operasi-operasi organisasional, melainkan
tindakan tersebut bersifat sukarela dan tidak berdasar norma-norma tertentu.
17
Menolong orang lain baik yang berhubungan dengan tugas dalam organisasi ataupun
masalah pribadi orang lain. Hal ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
b. Constiousness (Perilaku Melebihi Standar Minimum)
Perilaku melebihi standar persyaratan minimun organisasi yang diharapkan
organisasi. Individu yang sadar akan tanggung jawabnya mempunyai perilaku tepat
pada waktu, tinggi dalam kehadirannya, melakukan sesuatu melebihi kebutuhan dan
harapan normal, bijaksana dalam mengikuti peraturan-peraturan organisasi.
c. Courtesy (Menghormati Orang Lain)
Perilaku yang bersifat menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar
terhindar dari masalah interpersonal. Perilaku berbuat baik dan hormat kepada orang
lain dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan, termasuk
perilaku seperti membantu orang lain, membantu seseorang mencegah terjadinya
suatu permasalahan, atau membuat langkah-langkah untuk meredakan atau
mengurangi berkembangnya suatu masalah di organisasi. Individu yang memiliki
dimensi ini tinggi adalah orang yang menghormati, menghargai, dan memperhatikan
orang lain. Karyawan dengan perilaku courtesy lebih peka dan berpikiran terbukan
dengan hak-hak orang lain.
d. Sportmanship (Bersikap Toleran)
Perilaku yang menunjukkan daya toleransi dan sportifitas tinggi terhadap
organisasi tanpa mengeluh kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
atau masalah bahkan jika individu tidak setuju atau setuju dangan perubahan yang
18
terjadi dalam organisasi. Individu dapat memberikan toleransi terhadap keadaan yang
kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberan-keberatan.
e. Civic Virtue (Menjadi Warga yang Bijak)
Perilaku yang menunjukkan keinginan untuk tanggung jawab dan berperan serta
dalam aktivitas organisasi, memiliki kepedulian terhadap kelangsungan organisasi.
Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada
karyawan untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Perilaku ini ditunjukkan dengan
keinginan untuk berpartisipasi aktif dalam organisasi. Civic virtue dapat dijelaskan
sebagai kesediaan karyawan untuk terlibat dalam hal-hal yang rutin maupun tidak
rutin dalam organisasi untuk menciptakan kesan baik dari organisasi.
Secara umum citizenship behavior merujuk pada tiga elemen utama (Ahdiyana,
2011) yaitu,
a. Kepatuhan (obedience), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menerima
dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi.
b. Loyalitas (loyailty), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk menempatkan
kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan kelangsungan organisasi.
c. Partisipasi (participation), yang menggambarkan kemauan karyawan untuk secara
aktif mengembangkan seluruh aspek kehidupan organisasi.
Padsakoff, dkk (2000) menyebutkan ada tujuh aspek dalam OCB yaitu
Sportmanship (sportifitas), civic virtue (bertanggung jawab sebagai anggota
organisasi), helping behavior (perilaku menolong), organizational loyalty (kesetian
19
sebagai anggota organisasi), organizational compoliance (sikap patuh dalam
organisasi), individual initiative (inisiatif individu), dan self development
(pengembangan diri).
a. Sportmanship, merupakan kemauan atau keinginan untuk bertolenransi terhadap
ketidaknyamanan yang muncul dan penentuan kerja tanpa komplain.
b. Civic virtue, merupakan komitmen karyawan terhadap perusahaan secara keseluruhan
seperti menghadiri rapat, menyampaikan pendapat, atau berpartisipasi aktif dalam
kegiatan perusahaan.
c. Helping Behavior, merupakan perilaku sukarela karyawan untuk menolong rekan
kerja atau mencegah terjadinya permasalahan terkait dengan pekerjaan. (Organ dkk,
2006) membagi aspek ini ke dalam dua kategori yaitu altuism dan courtesy.
d. Organizational loyalty, merupakan bentuk perilaku kesetiaan karyawan terhadap
perusahaan seperti menampilkan image positif mengenai perusahaan, membela
perusahaan dari ancaman eksternal, dan mendukung serta membela tujuan organisasi.
e. Organizational compoliance, merupakan perilaku individu yang mematuhi segala
peraturan, prosedur, dan regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang
mengawasi.
f. Individual initiative,merupakan bentuk dorongan dari dalam diri individu untuk
melaksanakan tugas secara lebih baik atau melampaui standar yang telah ditetapkan.
Organ, dkk., (2006) menyebut aspek ini sebagai consceintiousness.
20
g. Self development, merupakan perilaku individu secara sukarela untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sendiri, seperti mengikuti kursus,
pelatihan, seminar, atau mengikuti perkembangan terbaru dari bidang yang dikuasai.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam OCB
menurut Organ, Podsakoff, & MacKenzie (2006) meliputi altruism, constiousness
courtesy, sportmanship dan civic virtue. Sedangkan menurut Ahdiyana (2011)
meliputi elemen kepatuhan (obedience), loyalitas (loyailty), dan partisipasi
(participation). Menurut Padsakoff, dkk (2000) ada tujuh aspek dalam OCB yaitu
Sportmanship, civicvirtue, helping behaviour, organizational loyalty, organizational
compoliance, individual initiative, dan self development. Dalam penelitian ini peneliti
memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Organ, Podsakoff, & MacKenzie
(2006), karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam
pembuatan instrumen pengumpulan data.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Menurut Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006), Faktor-faktor yang
mempengaruhi OCB adalah sebagai berikut:
a. Kepuasan Kerja
Karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada
organisasi tempatnya bekerja akan cenderung menunjukkan performa kerja yang
lebih baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan
organisasinya. Dennis Organ (1988) sebagai tokoh penting yang mengemukakan
21
OCB, menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan membalas kenyamanan
bekerja yang dirasakannya kepada organisasi yang telah memperlakukan dirinya
dengan baik dan memenuhi kebutuhannya selama ini dengan cara melaksanakan
tugasnya secara ekstra melebihi standar yang ada. Robbins (1989) Karyawan yang
merasa puas akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu
orang lain dan bertindak melebihi harapan yang normal dalam pekerjaan yang
membuat karyawan tersebut menjadi bangga dan ingin membalas pengalaman positif
mereka. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan karyawan dalam berbagai bentuk
perilaku OCB secara sukarela demi kemajuan perusahaannya (George & Jones,
2002).
b. Keadilan
Karyawan harus merasa diperlakukan secara adil oleh organisasi baru ia akan
menunjukkan perilaku OCB. Hal ini termasuk juga bahwa karyawan dapat merasakan
prosedur kerja dan hasil kerja yang diperolehnya adalah sesuatu yang adil. Sejumlah
studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keadilan dengan
OCB. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan akan merasa lebih ingin
melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam job description
dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika karyawan diperlakukan oleh para
atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa karyawan
diperlakukan secara adil oleh perusahaannya (Luthans, 2006).
22
c. Motivasi Instrinsik
OCB muncul sebagai perwujudan dari motivasi intrinsik yang ada dalam diri
seseorang, misalnya kepribadian dan suasana hati (mood), ataupun minat tertentu.
Kepribadian mempunyai pengaruh terhadap timbulnya OCB secara individual
maupun kelompok. Motivasi dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk
beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian
diri. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah
untuk mencapai tujuan organisasi maupun tujuan kerja. Dengan demikian, motivasi
dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab
seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar,
(Robbins, 2001).
d. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan berpotensi untuk memunculkan OCB dengan mengubah
struktur tugas karyawan, untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Menurut
(Burton, 2003) secara keseluruhan, perilaku kepemimpinan memiliki hubungan yang
signifikan dengan organizational citizenship behavior, transformational leadership,
leader-member exchange, “super”leadership, traditional path goal leadership dan
subtitutes for leadership memiliki hubungan dengan OCB. Namun, “super”
leadership tidak memiliki hubungan dalam menampilkan OCB dalam organisasi
(Burton, 2003). Dukungan dan gaya kepemimpinan atasan sangat mempengaruhi
munculnya OCB pada karyawan, hal ini dapat dipahami melalui proses modeling
ataupun vicarious learning yang dilakukan oleh atasan yang kemudian menginspirasi
23
para karyawan untuk melakukan OCB, sehingga atasan dapat menjadi agen model
OCB. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualias
tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya
sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan
dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada
atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang
diharapkan oleh atasan mereka.
e. Budaya dan Iklim Organisasi
Menurut Organ dkk (2006) terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa
budaya organisasi merupakan suatu kondisi yang dapat memunculkan OCB di
kalangan karyawan. Iklim organisasi akan berdampak positif jika iklim organisasi
memenuhi perasaan dan kebutuhan pegawai. Muji (2007) menjelaskan suatu iklim
organisasi yang baik, bila dalam organisasi itu dikembangkan suatu iklim yang sesuai
kebutuhan karyawan, hal ini nantinya akan menimbulkan kepercayaan karyawan
terhadap organisasi, dan membuat karyawan termotivasi untuk memberikan
kontribusi yang positif dalam mencapai tujuan perusahaan.
Menurut Organ (1988), iklim organisasi yang positif akan menentukan apakah
seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan atau tidak. Jika iklim dipersepsikan secara positif, maka individu sebagai
anggota organisasikan sukarela melaksanakan pekerjaanya dalam organisasi melebihi
apa yang diharapkan perusahaan.
24
f. Jenis Kelamin
Konovsky & Organ (2010) mengatakan bahwa faktor bawaan atau karakteristik
psikologis individu seperti kepribadian, kebutuhan psikologis, dan sikap merupakan
prediktor OCB. Serta menurut (Luthans, 2006) OCB lebih menonjol dilakukan oleh
wanita dibandingkan pria, karena mereka merasa bahwa OCB merupakan bagian dari
kewajiban pekerjaan dan bukanlah suatu tugas ekstra.
g. Masa Kerja
Greenberg dan Baron (1993) mengemukakan bahwa karakteristik personal
seperti masa kerja dan jenis kelamin berpengaruh pada OCB. Karyawan yang telah
lama bekerja di suatu organisasi akan memiliki keterikatan yang lebih mendalam,
baik dengan organisasi maupun dengan rekan kerjanya sehingga individu memiliki
orientasi kolektif dalam bekerja. Dengan kata lain, mereka akan lebih mengutamakan
kepentingan bersama dibanding ambisi pribadinya sehingga mereka lebih cenderung
bersedia menolong rekan kerjanya dan berbuat lebih terhadap pencapaian organisasi.
h. Persepsi Terhadap Dukungan Organisasi
Karyawan yang mempersikan bahwa mereka didukung oleh organisasikan
memberikan prilaku timbal balik terhadap organisasi dengan memunculkan perilaku
OCB (Shore & Wayne, 1993).
B. Kepuasan Kerja
1. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang
pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.
25
Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan positif
terhadap pekerjaannya. Sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan
negatif terhadap pekerjaannya (Robbins, 2007). Lebih lanjut Robbins (2005)
menambahkan kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum individu terhadap
pekerjaannya sedangkan pekerjaan tersebut menuntut interaksi dengan rekan rekan
kerja dan atasan dengan mengikuti aturan dan kebijakan organisasi. As’ad (1981)
mengungkapkan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap karyawan
terhadap pekerjaan sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pemimpin dengan sesama
karyawan, dan setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem nilai yang ada pada dirinya.
Aziri (2011) kepuasan kerja mewakili perasaan negatif dan positif dari persepsi
karyawan terhadap pekerjaan yang dihadapinya, yaitu suatu perasaan untuk
berprestasi dan meraih kesuksesan didalam pekerjaan, kepuasan kerja yang tinggi
mengimplikasikan bahwa karyawan merasa senang dan nyaman dengan kondisi
lingkungan organisasi serta mendapat penghargaan dari jerih payah hasil kerjanya,
dilihat dari tunjangan yang diberikan oleh perusahaan serta tips yang diberikan
langsung oleh konsumen dan dipermudah oleh perusahaan untuk mencari hari libur
atau tukar jadwal bagi karyawan yang yang memerlukan karena ada upacara
(rahinan).
Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang
menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan
jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Wibowo, 2007).
26
Teori-teori Kepuasan Kerja yang diungkapkan oleh beberapa ahli: Menurut
Sutrisno (2009) seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan
sikap yang positif terhadap kerja. Sementara karyawan yang yang tidak memperoleh
kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan
timbul sikap atau tingkah laku negatif dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan
frustasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja dengan baik, penuh
semangat, aktif, dan dapat berprestasi lebih baik dari karyawan yang tidak
memperoleh kepuasan kerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang
bersifat individu. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal Ini disebabkan karena
adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan yang dirasakannya, sebaliknya semakin sedikit aspek-aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin rendah tingkat
kepuasan yang dirasakannya (Sutrisno, 2009).
Sopiah (2008) mengemukakan kepuasan kerja merupakan suatu ungkapan
emosional yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian
terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja dan kepuasan kerja menunjukkan
adanya kesesuaian anatara harapan seseorang yang timbul dengan imbalan yang
disediakan oleh pekerjaan.
Jadi dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah
perasaan emosional yang dirasakan oleh seorang karyawan atas apa yang ia kerjakan
27
atau atas apa yang ia rasakan terhadap pekerjaannya itu sendiri. Namun
ketidakpuasan kerja akan muncul jika harapan seseorang tidak terpenuhi. Maka dari
itu adanya balas jasa terhadap karyawan juga sangat penting diperhatikan, sehingga ia
memperoleh kepuasan kerja dari pekerjaan itu.
2. Aspek Kepuasan Kerja
Menurut Robbins (2007), kepuasan kerja memiliki lima aspek yaitu:
a. Gaji
Gaji merupakan upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang
dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi yang
sama.
b. Pekerjaan itu sendiri
Sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar
memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk
pekerjaan yang menarik.
c. Sikap Atasan
Sejauh mana perhatian bantuan teknis dan dorongan ditunjukkan oleh supervisor
terdekat terhadap bawahan. Atasan yang memiliki hubungan personal yang baik
dengan bawahan serta mau memenuhi kepentingan bawahan memberikan kontribusi
positif bagi kepuasan karyawan dan partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan memberikan dampak positif terhadap kepuasan karyawan.
28
d. Rekan kerja
Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.
Bagi kebanyakan karyawan, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu mempunya rekan kerja yang
menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja.
e. Promosi
Mengacu pada sejauh mana pergerakan atau kesempatan maju diantara jenjang
berbeda dalam organisasi. Keinginan untuk promosi mencakup keinginan untuk
pendapatan yang lebih tinggi, status sosial, pertumbuhan secara psikologis dan
keinginan untuk rasa keadilan.
Kepuasan kerja menurut Hasibuan (2014) ditunjukkan oleh tiga aspek antara
lain:
a. Kedisiplinan
Hasibuan (2014) menyebutkan kedisiplinan merupakan suatu keharusan dan
perlu dimiliki oleh setiap karyawan dalam bekerja. Kedisiplinan mencakup berbagai
aspek dari disiplin yaitu disiplin tepat waktu, absensi, tidak melakukan hal-hal diluar
pekerjaan pada jam bekerja dan lain-lain.
b. Moral kerja
Moral kerja merupakan suatu perasaan bertanggung jawab karyawan atas
pekerjaannya sehingga akan berpengaruh terhadap hasil pekerjaan dari karyawan
tersebut (dalam Muwafik, 2013). Moral kerja ditunjukkan dengan kesungguhan
29
seseorang dalam mengerjakan pekerjaannya dengan baik, disiplin dan maksimal
(Hasibuan, 2014).
Menurut Moekijat, apabila karyawan nampak senang, optimis mengenai
kegiatan-kegiatan dan tugas kelompok serta ramah satu sama lainnya, maka mereka
dikatakan mempunyai semangat yang tinggi (dalam Wicaksono, 2012). Berbeda
dengan karyawan yang memiliki semangat kerja yang rendah, karena karyawan
tersebut cenderung menunjukkan sikap yang pasif seperti suka membantah, merasa
gelisah dalam bekerja dan merasa tidak nyaman (dalam Karsini dkk 2016) .
c. Prestasi Kerja
Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melakukan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan pada kecakapan,
pengalaman, dan kesungguhan serta ketepatan waktu (Hasibuan, 2014). Dharma
mengemukakan bahwa, pada umumnya cara mengukur prestasi kerja karyawan
mempertimbangkan tiga hal, yaitu kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu (dalam
Permatasari, 2016).
Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka
dapat disimpulkan aspek-aspek kepuasan kerja yaitu menurut Robbins (2007) adalah
gaji, pekerjaan itu sendiri, sikap atasan, rekan kerja, dan Promosi. Menurut Hasibuan
(2014) adalah kedisiplinan, moral kerja, dan prestasi kerja. Aspek aspek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang digunakan oleh Robbins
(2007) karena aspek ini lebih mengungkap kepuasan kerja dengan jelas dan aspek ini
juga sesuai dengan kondisi lapangan tempat penelitian dilakukan.
30
C. Motivasi Intrinsik
1. Pengertian Motivasi Intrinsik
Mc Clelland (dalam Robbins & Judge, 2013) mengatakan bahwa ada suatu
dorongan yang membuat seseorang mencapai prestasinya secara maksimal. Dorongan
itu berupa kebutuhan akan pencapain prestasi, kebutuhan akan suatu kekuasaan atau
pengaruh terhadap orang lain. Caroll dan Tosi (1977) menyebut hal ini sebagai
motivasi, yaitu keadaan mental internal dari suatu individu yang menyebabkan
individu tersebut melakukan suatu aktivitas. Luthans (2006) mengungkapkan nahwa
motivasi adalah proses yang dimulai dengan definisi fisiologis atau psikologis yang
menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditunjukan untuk tujuan atau intensif,
dan kunci untuk memahami proses motivasi yang bergantung pada pengertian dan
hubungan antara kebutuhan, dorogan, dan insentif. Robbins & Judge (2013)
mengungkapkan bahwa motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah,
dan ketekunan seorang individu mencapai tujuannya. Motivasi sedikitnya bisa
digolongkan menjadi dua, yaitu sumber motivasi dari dalam diri atau motivasi
intrinsik dan sumber motivasi dari luar atau motivasi ektrinsik, motivasi intrinsik
aktif atau berfungsi tanpa adanya rangsang dari luar (Priansa, 2014). Paraskevi (2007)
menjelaskan motivasi intrinsik seperti halnya self-defined atau self-sustained yang
membuat seseorang mampu untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhannya. Ray & Miller (dalam Novliadi, 2007) yang mengungkapkan bahwa
31
tugas dan tanggung jawab kerja yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan
salah satu sumber motivasi intrinsik yang ada dalam diri karyawan.
Thomas (2000) yang mengungkapkan bahwa motivasi intrinsik merupakan
dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang karena terlibat dalam kegiatan untuk
dirinya sendiri dan memperoleh kesenangan serta kepuasan dari partisipasinya
tersebut. Menurut Winardi (2001), motivasi intrinsik merupakan motivasi yang
berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu
dorongan untuk melakukan tindakan. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah
perasaan internal mengenai kompetensi. Deci (dalam Marinak & Grambell, 2008)
mengemukakan motivasi intrinsik secara operasional digambarkan sebagai ketekunan
terhadap tugas. Seperti yang diungkapkan Wexley & Yukl (1977) bahwa motivasi
intrinsik adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan usaha yang
telah dicurahkan dalam suatu pekerjaan guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan
seperti keberhasilan, keahlian, serta aktualisasi diri.
Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang
diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik
yang ada di dalam diri karyawan. Griffin dan Moorhead (dalam Windayanti, 2007),
mengatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu tekanan-tekanan yang
menyebabkan individu terlibat dalam suatu fokus kegiatan saja. Handoko (2003),
motivasi intrinsik yaitu motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar,
dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Berbagai
32
kebutuhan, keinginan dan harapan yang terdapat dalam diri pribadi seseorang
menyusun motivasi internal orang tersebut. kebutuhan ini mempengaruhi pribadinya
dengan menentukan berbagai pandangan, yang menurut giliran untuk memimpin
tingkah laku dalam situasi khusus.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi intrinsik
adalah keinginan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk
mengerahkan segala kemampuan dan bakat dalam mencapai segala sesuatu yang
sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan, berkompetensi
dengan lingkungan.
2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik
Aspek-aspek motivasi intrinsik menurut (Thomas, 2000) adalah sebagai berikut:
a. Pilihan
Peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal
dan melaksanakannya dengan cara yangmemadai seperti wewenang, keamanan,
adanya tujuan yang jelas, dan informasi.
b. Kompetensi
Suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara
yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan
keterampilan.
33
c. Penuh Arti
Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bermulai
dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya pengenalan
keinginan dan visi yang membangkitkan.
d. Kemajuan
Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam mencapai
sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran kemajuan.
Motivasi intrinsik ini memiliki aspek-aspek sebagai berikut (Stipek, 2002) :
a. Kompetensi
Kekuatan atau dorongan ditunjukkan dengan perilaku yang cenderung mendekati
tugas. Indikator dari aspek ini misalnya seperti hal-hal yang mendekati dan dirasa
perlu sehubungan dengan tugas, tidak berhenti bekerja sebelum tugas selesai,
mendekati tugas-tugas dengan gembira, persisten dalam menghadapi kegagalan, suka
rela menjawab pertanyaan dan menyediakan jawaban sebelum diminta untuk
menjawab.
b. Tugas baru
Dorongan dari dalam diri karena adanya rasa keingintahuan terhadap tugas yang
bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Hal ini seperti, mandiri dan fokus
terhadap tugas walaupun faktor luar tidak hadir (atasan, supervisi, ataupun orang
34
lain), terlihat menikmati pekerjaan, menunjukkan harapan yang tinggi pada tugas sulit
mengembangkan pengetahuan yang dimiliki kepada hal baru.
c. Otonomi diri
Memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan sendirinya
tanpa dipengaruhi faktor luar. Adanya keinginan untuk mengevaluasi hasil lebih jauh
hasil pembelajarannya secara lebih mendalam dan spontan sehingga menghasilkan
ekspresi bangga terhadap prestasi yang diraih.
Aspek-aspek motivasi intrinsik dikembangkan oleh Harter,dkk (dalam Stipek,
2002)
a. Competence
b. Novelty
c. Self determinant
Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan
titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001).
Motivasi intrinsik ini dapat menciptakan kreativitas, pembelajaran konsep, pencairan
tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan
motivasi ekstrinsik (Stipek,2002).
35
Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek motivasi intrinsik di atas, dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi intrinsik yaitu: pilihan, kompetensi, penuh
arti, dan kemajuan.
D. Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB)
Robbins and jugde (2008) menyatakan munculnya Organizational Citizenship
Behavior (OCB) didorong oleh kepusan kerja, karena karyawan yang puas memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk berbicara positif tentang organisasi, membantu
individu lain, dan melakukan kinerja yang melampaui perkiraan normal. Penelitian
lainnya mendukung pernyataan tersebut yaitu dari penelitian yang dilakukan oleh
Nafi’ dan Indrawati (2017) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif yang
signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB para karyawan.
Kepuasan kerja salah satunya merupakan puas terhadap upah yang diberikan
sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh
orang lain dalam posisi yang sama (Robbins, 2007). Heller et al (2002) tentang
keterkaitan antara kepuasan kerja dengan organizational citizenship behavior bahwa
kepuasan kerja adalah suatu konstruk yang sangat penting dalam perilaku
organisasional dan berhubungan dengan outcome yang penting seperti kinerja tugas,
perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship behavior), ketidak
hadiran kerja, dan kepuasan dalam kehidupannya. (Wexley dan Yulk, 1977) dalam
bukunya Moch.As’ad (2004) menyatakan bahwa Out comes merupakan sesuatu yang
36
berharga yang dirasakan pegawai/karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, seperti
gaji, status, symbol, dan penghargaan. Robbins (2001) mengatakan bahwa para
karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan
sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka.Bila upah
dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan
individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan
kepuasan”. Bila karyawan merasa puas dengan upahnya, maka akan timbul rasa
senang dalam melakukan pekerjaannya dan bersedia bekerja melebihi job deskripsi
yang ada.
Kepuasan terhadap pekerjaan sendiri dinilai memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab (Robbins,
2007). Menurut Luthans (1995), unsur ini menjelaskan pandangan karyawan
mengenai pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan tersebut
karyawan memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalankan tugasnya secara
sukarela.
Robbins (2007) menyatakan sejauh mana perhatian bantuan teknis dan dorongan
ditunjukkan oleh supervisor terdekat terhadap bawahan. Atasan yang memiliki
hubungan yang baik dengan bawahan serta mau memenuhi kepentingan bawahan
memberikan kontribusi positif bagi kepuasan karyawan dan partisipasi bawahan
dalam pengambilan kebutusan dan memberikan dampak positif terhadap kepuasan
karyawan. Sikap yang ditampilkan oleh seorang pemimpin dapat mempengaruhi cara
37
kerja dan semangat bawahan atau pegawai dalam melakukan pekerjaan melebihi dari
yang diharapkan. Menurut Maxwell (1995) mengatakan bahwa “Sikap seseorang
tidak dapat menghentikan perasaannya, tetapi sikap bisa menjaga agar perasaan tidak
menghentikan seseorang”. Jadi, pentingnya seorang pimpinan untuk memiliki sikap
positif karena dengan sikap yang demikian pemimpin akan menjadi lebih tangguh,
lebih kuat, dan juga memiliki pikiran yang positif dalam menghadapi persoalan yang
dihadapi dan penting untuk diingat bahwa pemimpin pasti mempengaruhi para
bawahannya agar bekerja, dengan memiliki sikap yang baik maka pemimpin pun
akan menarik orang-orang untuk bersikap baik, demikian pula sebaliknya. Jadi
pemimpin secara tidak langsung pasti mempengaruhi bawahannya dan bawahan yang
merasa puas akan bekerja lebih dari yang diharapkan.
Kepuasan terhadap rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara
sosial. Bagi kebanyakan karyawan, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu mempunyai rekan kerja yang
menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja (Robbins, 2007). Luthans (1998)
menyatakan bahwa “Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama rekan sekerja atau
kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual”.
Kelompok kerja yang dapat memberikan dukungan, nasehat atau saran, bantuan
kepada sesama rekan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang nyaman, sehingga
karyawan dapat bekerja dengan baik sekalipun melebihi pekerjaan pokok.
Kepuasan terhadap kesempatan promosi mengacu pada sejauh mana pergerakan
atau kesempatan maju diantara jenjang berbeda dalam organisasi. Keinginan untuk
38
promosi mencakup keinginan untuk pendapatan yang lebih tinggi, status sosial,
pertumbuhan secara psikologis dan keinginan untuk rasa keadilan (Robbins, 2007).
Naveed (2011) mengemukakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan
kepuasan kerja karyawan adalah promosi jabatan. Promosi jabatan yang di lakukan
oleh manajemen perusahaan memberikan peranan penting bagi setiap karyawannya,
bahkan setiap karyawannya menjadikan promosi jabatan sebagai sebuah impian dan
tujuan yang selalu di harapkan oleh karyawan. Promosi jabatan tidak hanya semata-
mata akan memberikan kekuasaan lebih tapi juga membuat karyawan akan merasa
status sosialnya meningkat. Promosi jabatan yakni perpindahan ke jabatan yang lebih
tinggi didalam suatu organisasi, sehingga kewajiban, hak, status, dan penghasilan
semakin besar. Saputra (2015) promosi merupakan kesempatan untuk berkembang
secara intelektual dan memperluas keahlian menjadi dasar perhatian penting untuk
maju dalam organisasi sehingga menciptakan kepuasan.karyawan akan merasa puas
dengan pekerjaannya dimana hal ini akan mambuat karyawan bersedia bekerja
melebihi pekerjaan pokoknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara kepuasan kerja dengan OCB. Semakin puas seseorang terhadap
pekerjaannya maka akan menunjukkan perilaku OCB yang tinggi. Sedangkan
semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaanya, maka karyawan tidak akan
menunjukkan perilaku OCB atau perilaku OCB yang ditunjukkan akan rendah.
39
E. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB)
Podsakoff, dkk (2000) menyatakan motivasi intrinsik merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku OCB pada karyawan, Seseorang
individu dalam organisasi berperilaku tidak lepas dari adanya motivasi. Motivasi
yang mempengaruhi seseorang sangat beraneka ragam namun motivasi yang berasal
dalam diri memiliki pengaruh sangat besar terhadap perilaku individu dalam
organisasi. Penelitian lainnya mendukung pernyataan tersebut yaitu dari penelitian
yang dilakukan oleh Asmaradita dkk (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara motivasi intrinsik dengan OCB para karyawan.
Motivasi intrinsik tidak lepas dari pilihan dimana peluang untuk mampu
menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal dan melakukannya dengan
cara yang memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan
informasi (Thomas 2000). Maslow (dalam Luthans,2006) menyatakan kebutuhan rasa
aman seorang karyawan dapat berupa rasa aman dalam bekerja, maksud kebutuhan
rasa aman ini adalah kebutuhan karyawan untuk merasa aman dan bebas dalam
bekerja dengan memiliki harapan untuk berprestasi semaksimal mungkin tanpa
adanya ancaman. Maka karyawan akan termotivasi dari dalam diri dimana hal ini
akan mambuat karyawan bersedia bekerja melebihi pekerjaan pokoknya.
Motivasi intrinsik pada kompetensi merupakan suatu pencapaian yang dirasakan
saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-
40
pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan keterampilan (Thomas, 2000). Motivasi
intirnsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk
mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat yang dimilikinya (Ivancevich,
dkk,. 2007). Herzberg (dalam Luthans,1992) menyatakan bahwa keberhasilan
seorang karyawan dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya agar sesorang karyawan
dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus
mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan
kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Bila bawahan
terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus menyatakankeberhasilan
itu. Maka bawahan merasa diberi apresiasi akan prestasinya merasa termotivasi akan
bekerja lebih dari yang diharapkan.
Motivasi intrinsik yang penuh arti memiliki tujuan sebagai peluang untuk
mengejar sasaran tugas yang bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang
lebih besar misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan (Thomas,
2000). Herzberg (dalam Hasibuan, 2005) menjelaskan bahwa pekerjaan merupakan
faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang
memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang
memberikan tantangan bagi karyawan, merupakan faktor motivasi, karena
keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi akan akan
bekerja melebih apa yang diharapkan oleh perusahaan.
41
Termotivasi untuk terus maju ini adalah perasaan yang membuat langkah maju
dan berarti dalam mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran
kemajuan (Thomas, 2000). Herzberg (dalam Hasibuan, 2005) menyatakan peluang
untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang karyawan dalam
melakukan pekerjaan, karena setiap karyawan menginginkan adanya promosi
kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman
dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang
kuat bagi karyawan untuk bekerja lebih baik dan bekerja melebihi dari tugas
pokoknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara motivasi intrinsik dengan OCB. Semakin tinggi motivasi intrinsik
seseorang terhadap pekerjaannya maka akan menunjukkan perilaku OCB yang tinggi.
Sedangkan semakin rendah motivasi intrinsik seseorang terhadap pekerjaanya, maka
karyawan tidak akan menunjukkan perilaku OCB atau perilaku OCB yang
ditunjukkan akan rendah.
F. Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Motivasi Intrinsik dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational citizenship behavior merupakan sebuah sikap yang ditunjukan
oleh karyawan yang berdampak pada keberlangsungan kinerja dari perusahaan. Sikap
dari karyawan tersebut dapat berupa sikap positif atau negatif. Organ, Podsakoff, &
MacKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang tidak
42
dipengaruhi oleh reward secara formal baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan tujuan meraih fungsi organisasi yang efektif dan efisien. Hasil penelitian
menemukan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya OCB adalah kepuasan
kerja, komitmen organisasi, persepsi dalam berperan, interaksi atasan-bawahan,
persepsi keadilan, kecenderungan individu, teori motivasi, dan usia karyawan
(Jahangir dkk, 2004).
Menurut Robbins dan Judge (2008), karyawan yang puas cenderung untuk
berbicara secara positif mengenai organisasinya, menolong orang lain atau rekan
kerjanya dan berusaha untuk melakukan lebih dari yang diharapkan dalam
pekerjaannya. Ini berarti kepuasan kerja sangat berkaitannya dengan OCB. OCB ini
merupakan perilaku yang dilakukan seorang karyawan dengan sukarela serta adanya
rasa sebagai anggota organisasi yang merasa puas apabila dapat melakukan suatu
yang lebih kepada organisasi sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberi
hukuman, perilaku ini bukan sebagai akibat dari adanya sistem penghargaan yang
diberikan perusahaan secara formal tetapi perilaku ini sangat penting untuk
meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini di tunjukkan dengan kesediaan karyawan
dalam berbagai bentuk perilaku OCB decara sukarela demi kemajuan perusahaannya
(George & Jones, 2002).
Thornburgh (dalam Elida Prayitno 1989) berpendapat bahwa motivasi intrinsik
adalah keinginan untuk bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri
(internal) individu. Individu yang digerakkan oleh motivasi intrinsik baru akan puas
43
kalau kegiatan yang dilakukan telah mencapai hasil yang terlibat dalam kegiatan itu.
Didukung oleh penelitian Rodriguez (2010), yang mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara motivasi intrinsik terhadap OCB.
Motivasi kerja juga merupakan sebuah perilaku karyawan. Seperti yang
dikatakan oleh Antonio dan Sutanto (2014), bahwa motivasi kerja dapat ditunjukan
dengan perilaku karyawan. Perilaku karyawan yang menunjukkan semangat kerja
dapat membuat karyawan bekerja secara maksimal. Sejalan dengan ungkapan dari
George dan Jones (Sutanto dan Tania, 2013) yang menyatakan bahwa, semangat
kerja yang ada pada karyawan yang membuat karyawan tersebut dapat bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu. Dengan begitu, motivasi kerja dapat memicu sebuah tujuan
tertentu yang bahkan itu di luar tanggung jawabnya.
Motivasi kerja dan kepuasan kerja secara bersama dapat mempengaruhi OCB
karyawan. Senada dengan Antonio dan Sutanto (2014) yang menyatakan bahwa
motivasi dan kepuasan kerja yang tinggi akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi
perusahaan yang berujung pada peningkatan produktivitas. Motivasi kerja yang
dimiliki karyawanakan memicu semangat kerja para karyawan untuk mencapai tujuan
tertentu dari perusahaan. Dibantu dengan kepuasan kerja yang berupa sikap positif
dari karyawan dapat membantu para karyawan memenuhi tujuan perusahaan bahkan
lebih dari yang diharapkan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho
(2012) kepuasan kerja yang tinggi yang dimiliki seorang karyawan akan
meningkatkan motivasi kerja pada karyawan. Adanya kepuasan kerja pada diri
44
karyawan dalam bekerja akan lebih memacu motivasinya dalam setiap kegiatan untuk
mencapai tujuan oraganisis bahkan lebih dari yang diharapkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyudi (2016) menyatakan terdapat hubungan antara motivasi
intrinsik dan kepuasan kerja dengan OCB pada karyawan. Sejalan dengan yang
disampaikan Yuwono, dkk (2014) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dan kepuasan kerja dengan OCB.
Penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi yang dibantu dengan kepuasan yang ada
pada diri karyawan akan mampu meningkatkan OCB.
G. Hipotesis
Peneliti mengajukan dua hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :
H1 : Ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan OCB pada karyawan.
Semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan maka semakin tinggi
OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja yang dirasakan
oleh karyawan maka semakin rendah OCB pada karyawan.
H2 : Ada hubungan yang positif antara motivasi intrinsik dengan OCB pada
karyawan. Semakin tinggi motivasi intrinsik yang dimiliki karyawan maka semakin
tinggi OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah motivasi intrinsik yang
dimiliki karyawan maka semakin rendah OCB pada karyawan.
H3 : Ada hubungan positif antara kepuasan kerja dan motivasi intrinsik dengan OCB
pada karyawan. Semakin tinggi kepuasan kerja dan motivasi intrinsik yang dimiliki
karyawan maka semakin tinggi OCB pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah