Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam melakukan penelitian diperlukan dasar-dasar teori dan argumen yang
berhubungan dengan konsep-konsep permasalahan penelitian dan akan dipakai dalam
analisis. Tinjauan pustaka bersumber dari buku, jurnal ilmiah, internet, penelitian dan
sumber-sumber yang lainnya.
2.1 Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini :
1. Miftachul Arifin (2012) melakukan penelitian berjudul “Aplikasi Metode Lean Six
Sigma Untuk Usulan Improvisasi Lini Produksi Dengan Mempertimbangkan Faktor
Lingkungan. Studi Kasus: Departemen General Lighting Services PT. Philips
Lighting Surabaya”. Pada pelaksanaan proses produksinya, perusahaan menemui
beberapa kendala yang terkait dengan waste. Dengan analisis Lean Six Sigma
dengan menggunakan Value Stream Mapping menunjukkan terjadi defect di mesin
finishing dan waiting di mesin mounting. Pencarian akar permasalahan dilakukan
dengan menggunakan tools RCA (5 whys) dan FMEA hingga memunculkan lima
belas penyebab utama terjadinya ketiga waste tersebut. Usulan alternatif perbaikan
dilakukan melaui pembentukan tim total productive maintenance, penelitian
perbaikan kualitas bulb dan flare, serta eksperimen pengurangan jumlah jenis coil.
Dengan menggunakan konsep value management didapatkan alternatif terbaik
dengan melakukan pembentukan dan pelatihan tim total productive maintenance.
Alternatif ini meningkatkan nilai sigma defect dari 2,92 menjadi 3,08 dan sigma
waiting dari 2,83 menjadi 2,89. Indikator dampak lingkungan juga
mengindikasikan penurunan yang sejalan.
2. Wawan Widiatmoko (2013) melakukan penelitian berjudul “Studi Implementasi Lean
Six Sigma Dengan Pendekatan Value Stream Mapping Untuk Mereduksi Idle Time Material
Pada Gudang Pelat Dan Profil”. Penelitian ini dilakukan pada PT. Dok dan Perkapalan
Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem inventori yang
diterapkan oleh perusahaan dan idle time material pelat dan profil yang ada di
gudang bahan baku dengan menggunakan metode Lean Six Sigma dengan
pendekatan Value Stream Mapping. Dari hasil perhitungan menggunakan diperoleh
nilai sigma perhitungan idle time sebesar 0.1976. Dengan penerapan Lean Six
7
Sigma dengan pendekatan Value Stream Mapping dihasilkan usulan perbaikan
proses inventori di perusahaan antara lain : meningkatkan nilai sigma penggunaan
material, melakukan strategi pembelian material sesuai strategi pembangunan kapal
berdasarkan zona, memperbaiki kerjasama dengan supplier material pelat dan
profil. Pembuatan future state mapping mendapatkan usulan perbaikan dengan
pembuatan perencanaan pengadaan material dengan mempertimbangkan strategi
pembangunan kapal berdasarkan zona pembangunannya. Diperoleh strategi
pengadaan material yang dilakukan sebanyak 4 kali order.
3. Sinurmaida Gultom (2013) melakukan penelitian berjudul “Studi Pengendalian
Mutu Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Six Sigma Pada PT XYZ”. PT XYZ
merupakan perusahaan yang bergerak dalam produksi transformator. Tujuan
penelitian ini adalah memberikan alternatif perbaikan bagi sistem produksi dengan
proses yang terkendali. Kendala yang dihadapi oleh perusahaan ini adalah adanya
pemborosan (waste) yang terdapat selama proses produksi berlangsung seperti
terdapat kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah dan tingginya produk cacat
(30,3%). Penelitian ini menerapkan konsep pengendalian mutu dengan pendekatan
Lean Six Sigma dalam upaya mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan
(waste) dilantai produksi akibat non value added activity pada proses sehingga
waktu produksi (lead time) semakin pendek. Hasil penelitian menunjukkan kondisi
Lean saat ini dengan PCE (Process Cycle Efficency) sebesar 82%, dengan kinerja
kualitas pada saat ini untuk tahap inspeksi II dan III masing-masing sebesar 3,38 σ
dan 4,01 σ. Usulan perbaikan berupa penerapan prosedur kerja pada bagian
penggulungan kumparan, serta penerapan metode 5S, perawatan mesin, pelatihan
operator secara berkala dan pengawasan sebagai hal penting yang masih harus
diperhatikan perusahaan di depan. Selain itu, juga diusulkan work place
management dan eliminasi lima kegiatan non value-added.
Tabel 2.1 Perbandingan dengan PenelitianTerdahulu Peneliti Objek Penelitian Metode Hasil
Miftachul
Arifin
(2012)
Departemen
General
Lighting
Services PT.
Philips Lighting
Surabaya
Lean Six Sigma,
Value Stream
Mapping, RCA,
FMEA
Meningkatkan nilai sigma defect dari
2,92 menjadi 3,08 dan sigma waiting
dari 2,83 menjadi 2,89. Indikator
dampak lingkungan juga
mengindikasikan penurunan yang
sejalan.
8
Lanjutan Tabel 2.1 Perbandingan dengan PenelitianTerdahulu Peneliti Objek Penelitian Metode Hasil
Wawan
Widiatmoko
(2013)
Gudang Pelat Dan
Profil PT. Dok
dan Perkapalan
Surabaya
Lean Six
Sigma, Value
Stream
Mapping
nilai sigma perhitungan idle time sebesar
0.1976. Usulan perbaikan: meningkatkan
nilai sigma penggunaan material,
melakukan strategi pembelian material
sesuai strategi pembangunan kapal
berdasarkan zona, memperbaiki
kerjasama dengan supplier material pelat
dan profil
Sinurmaida
Gultom
(2013)
PT XYZ
(perusahaan
yang
memproduksi
transformator)
Lean Six
Sigma, 5S
Perbaikan berupa penerapan prosedur
kerja pada bagian penggulungan
kumparan, perawatan mesin, pelatihan
operator secara berkala, pengawasan dan
work place management dan eliminasi
lima kegiatan non value-added.
Rencana
Penelitian
ini
PT Mertex
Indonesia
Lean Sigma,
COPQ, FMEA,
Value-based
Management
DMAI menggunakan pendekatan Lean
Six Sigma
Pemilihan rekomendasi perbaikan
menggunakan FMEA dan pemilihan
alternatif didasarkan pada nilai cost of
poor quality dan bobot performansi.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu terletak pada
pengembangan metode yang digunakan dan pada objek yang diteliti. Pada tahap define
dilakukan identifikasi waste menggunakan pendekatan value stream mapping. Pada
penelitian ini, untuk measure dilakukan penghitungan nilai cost of poor quality pada
masing-masing waste sehingga dapat diketahui jenis waste yang paling berpengaruh
kemudian improvement dilakukan dengan melakukan perbandingan antar alternatif
solusi melalui pendekatan value-based management dengan memperhatikan faktor
biaya dan bobot performansi.
2.2 Definisi Kualitas
Goetsch dan Davis (1994) (dalam Harahap, 2011) membuat definisi mengenai
kualitas yang lebih luas cakupannya. Definisi tersebut adalah “Kualitas merupakan
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
9
2.3 Konsep Lean Thinking
Pada dasarnya konsep Lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep ini
dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur atau jasa. Konsep Lean Thinking
diprakarsai oleh sistem produksi Toyota di Jepang. Lean dirintis oleh Taicho Ohno dan
Sensei Shingo dimana implementasi dari konsep ini didasarkan pada 5 prinsip utama
(Hines & Taylor, 2000) yaitu:
a. Specify value
Menentukan apa yang dapat memberikan nilai dari suatu produk atau layanan dilihat
dari sudut pandang konsumen bukan dari sudut pandang perusahaan
b. Identify whole value stream
Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan, mulai dari proses desain,
pemesanan, dan pembuatan produk berdasarkan keseluruhan value stream untuk
menemukan pemborosan yang tidak memiliki nilai tambah (non-value adding
waste).
c. Flow
Melakukan aktivitas yang dapat menciptakan suatu nilai tanpa adanya gangguan,
aktivitas menunggu ataupun sisa produksi.
d. Pulled
Mengetahui aktivitas-aktivitas penting yang digunakan untuk membuat apa yang
diinginkan oleh konsumen.
e. Perfection
Berusaha mencapai kesempurnaan dengan menghilangkan waste (pemborosan)
secara bertahap dan berkelanjutan.
Dasar pemikiran dari Lean Thinking adalah berusaha meniadakan waste
(pemborosan) baik dalam tubuh perusahaan atau antar perusahaan. Dasar pemikiran ini
merupakan hal dasar untuk mewujudkan value stream yang ramping atau Lean. Untuk
dapat mengaplikasikan konsep Lean dalam perusahaan diperlukan pemahaman akan
kebutuhan konsumen dan apa yang dipentingkan oleh konsumen. Dari penggambaran
value stream dari perusahaan akan diketahui aktivitas-aktivitas yang tidak berguna yang
bisa dieliminasi, sehingga nantinya konsumen tidak perlu membayar suatu aktivitas
yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses produksi.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses Lean Thinking adalah sebagai
berikut (Hines dan Taylor, 2000):
10
a. Understanding waste
Pada langkah ini, pemborosan yang terjadi harus diketahui. Prinsip yang digunakan
adalah pemilahan aktivitas-aktivitas menjadi tiga jenis, yaitu value adding, non value
adding, serta necessary but non-value adding. Selanjutnya waste yang terjadi
digolongkan menjadi tujuh macam waste menurut konsep Lean.
b. Setting the direction
Pada tahap ini, ditentukan arah dan tujuan dari perbaikan. Arah berupa alat ukur
keberhasilan, target keberhasilan untuk setiap alat ukur, pendefinisian proses-proses
inti, serta proses yang membutuhkan pemetaan secara detail.
c. Understanding the Big Picture
Pada tahap ini, keinginan konsumen, aliran fisik serta aliran informasi dari proses
pemenuhan konsumen harus diketahui.
d. Detailed mapping
Pada tahap ini, dilakukan pemetaan secara detail. Alat yang bisa digunakan untuk
pemetaan secara detail adalah process activity mapping, supply chain response
matrix, product variety funnel, quality filter mapping, demand amplification
mapping, decision point analysis dan physical structure mapping.
e. Getting suppliers and customer involved
Implementasi Lean thinking harus melibatkan supplier dan pelanggan dalam inisiatif
perbaikan.
f. Checking the plan fits the direction and ensuring buy-in
Pada tahap ini, dilakukan pengecekan kesesuaian antara arah yang dituju dengan
rencana awal.
2.4 Konsep Six Sigma
Six Sigma adalah upaya terus menerus (continuous improvement efforts) untuk
menurunkan variasi dari proses, agar meningkatkan kapabilitas proses dalam
menghasilkan produk (barang dan/jasa) yang bebas kesalahan (zero defects target
minimum 3,4 Defects Per Million Opportunities atau DPMO) dan untuk memberikan
nilai kepada pelanggan (customer value) (Gaspersz, 2005).
Ada tiga bidang utama yamg menjadi target usaha Six Sigma, yaitu :
1. Meningkatkan kepuasan pelanggan
2. Mengurangi waktu siklus
3. Mengurangi defect (cacat).
11
Tujuan Six Sigma adalah meningkatkan kinerja bisnis dengan dengan mengurangi
berbagai variasi proses yang merugikan, mereduksi kegagalan-kegagalan
produk/proses, menekan cacat-cacat produk, meningkatkan keuntungan, mendongkrak
moral personil/karyawan, dan meningkatkan kualitas produk pada tingkat yang
maksimal. Mengubah desain produk dan atau proses sedemikian rupa agar mampu
mencapai nilai target Six Sigma yang memiliki indeks kemampuan proses minimum
sama dengan dua (Cp ≥ 2).
2.5 Konsep Lean Six Sigma
Lean Six Sigma (Gaspersz, 2006).merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma
dapat didefenisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistemik dan sistematik
untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-aktivitas
yang tidak bernilai tambah (non value added activities) melalui peningkatan terus
menerus secara radikal (radical continuous improvement) untuk mencapai tingkat
kinerja enam sigma. Fokus dari Lean dan Six Sigma dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Fokus Lean dan Six Sigma
Fokus Lean Fokus Six Sigma
Pemborosan material, waktu, aktivitas,dll Variasi proses
Menyeimbangkan aliran dalam proses (value
stream)
Identifikasi akar-akar penyebab dari masalah
Reduksi Cycle Time Menciptakan output proses yang seragam
bebas cacat
Sangat penting utuk meningkatkan
produktivitas
Sangat penting untuk meningkatkan
kapabilitas proses dan kualitas produk
Sumber : Gaspersz (2008)
Pendekatan Lean bertujuan untuk menghilangkan pemborosan (waste elimination),
memperlancar aliran material, produk dan informasi, serta peningkatan secara terus-
menerus. Sedangkan pendekatan Six Sigma bertujuan untuk reduksi variasi (variation
reduction), pengendalian proses dan peningkatan secara terus-menerus. Integrasi Lean
dan Six Sigma (Lean Six Sigma) akan meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui
peningkatan kecepatan (shorter cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean
akan menyingkapkan Non Value Added (NVA) dan Value Added (VA) serta membuat
Value Added mengalir secara lancar sepanjang value stream processes, sedangkan Six
Sigma akan mereduksi variasi Value Added tersebut.
12
2.6 Langkah-langkah Penerapan Lean Six Sigma
Langkah implementasi Lean Six Sigma harus menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan Lean untuk mengeliminasi proses dari waste, serta pendekatan Six Sigma
untuk mengurangi variasi pada produk. Lagkah-langkah penerapan lean six sigma
umumnya dikenal dengan DMAIC. DMAIC terdiri dari define, measure, analyze,
improvement dan control. Berikut akan dijelaskan mengenai langkah-langkah tersebut.
2.6.1 Tahap Define
Define adalah penetapan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas pada
implementasi Lean Six Sigma. Tahap ini untuk mendefinisikan rencana-rencana
tindakan yang harus dilakukan untuk melaksanakan peningkatan dari setiap tahap
proses bisnis kunci (Gaspersz, 2005). Tool yang dapat digunakan dalam tahap define
adalah Value Stream Mapping (VSM). VSM adalah metode yang menggunakan gambar
dari proses dan mengidentifikasikan serta mengukur waste dalam proses. Value stream
map adalah suatu cara yang efektif untuk menemukan waste atau muda dan
menunjukkan perbaikan proses (Yang, 2005).
Tahap define bertujuan untuk mengidentifikasi produk atau proses yang akan
diperbaiki serta menentukan sumber daya apa yang dibutuhkan dalam proyek
perbaikan. Pada tahap ini dilakukan pengukuran waktu kerja, pembuatan current value
stream mapping serta melakukan identifikasi 7 waste.
2.6.1.1 Pengukuran Waktu Kerja
Pengukuran waktu kerja merupakan usaha untuk menentukan lamanya waktu kerja
yang dibutuhkan oleh seorang pekerja atau operator dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang normal dalam lingkungan
kerja yang terbaik pada saat itu. Tujuan pengukuran waktu kerja adalah untuk
mendapatkan waktu baku yang harus dicapai oleh pekerja dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan. Metode pengukuran waktu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu :
1. Pengukuran waktu secara langsung adalah pengukuran dilakukan di tempat dimana
pengukuran tersebut dilaksanakan seperti cara jam berhenti (stopwatch time study)
dan sampling pekerjaan
2. Pengukuran waktu secara tidak langsung yaitu dilakukan tanpa harus berada di
tempat pekerjaan. Cara tersebut dilakukan dengan membaca tabel-tabel yang
13
tersedia asalkan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan
atau gerakan seperti data waktu baku atau data waktu gerakan.
Secara garis besar langkah-langkah untuk pelaksanaan pengukuran waktu kerja
dengan jam henti ini dapat diuraikan sebagai berikut (Wignjosoebroto, 1995):
a. Definisi pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan beritahukan
maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang dipilih untuk diamati dan
supervisor yang ada.
b. Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan seperti
layout, karakteristik/spesifikasi mesin atau peralatan kerja lain yang digunakan dan
lain-lain.
c. Bagi operasi kerja dalam elemen-elemen kerja sedetail-detailnya tapi masih dalam
batas-batas kemudahan untuk pengukuran waktunya.
d. Amati, ukur, dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk menyelesaikan
elemen-elemen kerja tersebut.
e. Tetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat. Teliti apakah jumlah
siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak? Tes pula
keseragaman data yang diperoleh.
f. Tetapkan rate of performance dari operator saat melaksanakan aktivitas kerja yang
diukur dan dicatat waktunya tersebut. Rate of performance ini ditetapkan untuk
setiap elemen kerja yang ada dan hanya ditujukan untuk performance operator.
Untuk elemen kerja yang secara penuh dilakukan oleh mesin maka performance
dianggap normal (100%).
g. Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance kerja yang ditunjukkan
oleh operator tersebut sehinggga akhirnya akan diperoleh waktu kerja normal.
h. Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan fleksibilitas. Waktu
longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi kondisi-kondisi sepeti kebutuhan
personil yang bersifat pribadi, faktor kelelahan, keterlambatan material, dan lain-
lainnya.
i. Tetapkan waktu kerja baku (standard time) yaitu jumlah total antara waktu normal
dan waktu longgar.
j. Gambar 2.1 adalah diagram alir prosedur pengerjaan metode jam henti:
14
Gambar 2.1 Langkah-langkah Sistematis dalam Kegiatan Pengukuran Kerja dalam Jam
Henti (Stop Watch Time Study)
Sumber: Wignjosoebroto (1995)
Setelah didapatkan data waktu yang seragam, dilakukan uji kecukupan data. Ketika
data waktu telah mencukupi selanjutnya dilakukan perhitungan waktu siklus, waktu
normal dan waktu baku.
1. Perhitungan waktu siklus
Waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produksi mulai dari bahan
baku mulai diproses ditempat kerja yang bersangkutan. Rumus yang digunakan di
dalam perhitungan waktu siklus adalah (Harahap, 2011):
∑
(2.1)
Dimana: Xi= jumlah waktu penyelesaian yang teramati
N = jumlah pengamatan yang dilakukan
2. Perhitungan waktu normal
Waktu normal adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja
dalam kondisi wajar dan kemampuan rata-rata. Setelah diketahui besarnya waktu
siklus untuk setiap elemen kerja maka dapat dilakukan perhitungan waktu normal.
Rumus yang digunakan dalm perhitungan waktu normal adalah sebagai berikut:
15
(2.2)
3. Perhitungan waktu baku.
Waktu baku adalah merupakan waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja
normal untuk menyelesaikan pekerjaannya yang dikerjakan dalam sistem kerja
terbaik saat itu. Rumus yang digunakan dalam menetukan waktu baku adalah
sebagai berikut:
(2.3)
Dimana: Wb = waktu baku
Wn = waktu normal
Allowance = kelonggaran yang dibutuhkan
2.6.1.2 Value Stream Mapping
Dalam sistem Lean, dikenal istilah value stream mapping yaitu penggambaran
seluruh langkah-langkah proses yang berkaitan dengan perubahan permintaan
pelanggan menjadi produk atau jasa yang dapat memenuhi permintaan dan
mengidentifikasi nilai yang terdapat dalam setiap langkah yang ditambahkan ke produk
(Harahap, 2011). Aktivitas pada value stream mapping terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Proses maupun aliran produksi pada value stream
Proses atau aliran produksi adalah bagian dari peta yang sering diasosiasikan
dengan tradisional flowchart. Aliran proses digambarkan dari kiri ke kanan
2. Aliran informasi
Aliran informasi dan komunikasi adalah bagian dari peta dimana Value Stream
Mapping berkembang tidak hanya sebagai aliran produk. Dengan menambahkan
komunikasi ke dalam peta memungkinkan kita mengetahui komunikasi yang terjadi
dalam proses baik secara formal maupun informal.
3. Time line and travel distance
Pada bagian ini terdapat waktu pengerjaan produk, waktu transportasi, waktu
menunggu produk selama berada dalam value stream. Di samping waktu, juga
perlu menambahkan jarak yang ditempuh antar proses dalam proses produksi.
Berikut ini langkah-langkah yang perlu diterapkan dalam membentuk Value Stream
Mapping yaitu sebagai berikut:
1. Identifikasi produk
2. Membuat current state value stream mapping
3. Tambahkan aliran material pada peta yang dibuat
16
4. Tambahkan aliran informasi
5. Kumpulkan data-data proses dan hubungkan data-data tersebut dengan tabel-tabel
yang terdapat dalam Value Stream Mapping
6. Masukkan data yang berhasil dikumpulkan ke dalam Value Stream Mapping
7. Lakukanlah verifikasi dengan meminta orang lain yang bukan termasuk dalam tim
pembuat tetapi memahami proses untuk melakukan perbandingan antara Value
Stream Mapping yang dibuat dengan keadaan sebenarnya.
Simbol-simbol yang digunakan dalam Value Stream Mapping dapat dilihat pada
Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Simbol-simbol yang Digunakan dalam Value Stream Mapping
Simbol Proses Dalam Value Stream Mapping
Simbol ini merepresentasikan Supplier bila diletakkan di kiri atas,
yakni sebagai titik awal yang umum digunakan dalam penggambaran
aliran material. Sementara gambar akan merepresentasikan Customer
bila ditempatkan di kanan atas, biasanya sebagai titik akhir aliran
material.
Simbol ini menyatakan proses, operasi, mesin atau departemen yang
dilalui aliran material. Secara khusus, untuk menghindari pemetaan
setiap langkah proses yang tidak diinginkan, maka simbol ini biasanya
merepresentasikan satu departemen dengan aliran internal yang
kontinu
Simbol ini menyatakan operasi, proses, departemen atau stasiun kerja dengan
famili-famili yang saling berbagi dalam value-stream. Perkiraan jumlah
operator yang dibutuhkan dalam value stream dipetakan, bukan sejumlah
operator yang dibutuhkan untuk memproduksi seluruh produk
Simbol ini merepresentasikan pergerakan material dari satu proses menuju
proses berikutnya.
Simbol ini memiliki lambang-lambang di dalamnya yang menyatakan
informasi/data yang dibutuhkan unuk menganalisis dan mengamati sistem.
C/T adalah waktu siklus yang dibutuhkan untuk memproduksi satu barang
sampai barang yang akan diproduksi selanjutnya datang. C/O adalah
changeover time yang merupakan waktu pergantian produksi satu produk
dalam suatu proses untuk yang lainnya. Uptime adalah persentase waktu yang
tersedia pada mesin untuk proses.
Simbol ini merepresentasikan pergerakan raw material dari supplier
hingga menuju gudang penyimpanan akhir di pabrik. Atau pergerakan
dari produk akhir di gudang penyimpanan pabrik hingga sampai ke
konsumen.
Simbol ini menunjukkan keberadaan suatu inventory diantara dua
proses. Ketika memetakan current state, jumlah inventory dapat
diperkirakan dengan satu perhitungan cepat, dan jumlah tersebut
dituliskan dibawah gambar segitiga. Jika terdapat lebih dari satu
akumulasi inventory, gunakan satu lambang untuk masing-masing
inventory. Lambang ini juga dapat digunakan untuk merepresentasikan
penyimpanan bagi raw material dan finished goods.
Simbol ini melambangkan sebuah persediaan “hedge” (safety stock)
yang mengatasi masalah seperti downtime, untuk melindungi sistem
dalam mengatasi fluktuasi pemesanan konsumen secara tiba-tiba atau
terjadinya kerusakan pada sistem.
17
Lanjutan Tabel 2.3 Simbol-simbol yang Digunakan dalam Value Stream Mapping
Simbol Proses Dalam Value Stream Mapping
Simbol ini berarti pengiriman yang dilakukan dari supplier ke
konsumen atau pabrik ke konsumen dengan menggunakan
pengangkutan eksternal (di luar pabrik).
Simbol ini merepresentasikan operator. Lambang ini menunjukkan
jumlah operator yang dibutuhkan untuk melakukan suatu proses.
Menyatakan informasi atau hal lain yang penting.
Menunjukkan waktu yang memberikan nilai tambah (cycle times) dan
waktu yang tidak memberikan nilai tambah (waktu menunggu).
Gunakan lambang ini untuk menghitung Lead Time dan Total Cycle
Time.
Sumber: Lee (2007)
2.6.1.3 Macam-macam Aktivitas
Dalam konteks manufaktur menurut Hines (1997) terdapat tiga tipe operasi, yaitu:
1. Non-Value Adding (NVA) / Non-Valuable Work (NVW), yaitu suatu nilai atau kerja
yang tidak dibutuhkan dan harus dieliminasi. Contohnya: pergerakan angkut
berulang, waktu menunggu dan penumpukan produk.
2. Necessary but non value adding (NNVA) / Walking (W), yaitu suatu nilai atau kerja
yang tidak ada nilai tambah namun dibutuhkan. Contoh : berjalan untuk mengambil
benda kerja
3. Value adding (VA) / Valuable Work (VW), yaitu suatu nilai atau kerja yang
memberi nilai tambah atau dapat mengubah bahan mentah menjadi setengah jadi
dengan tenaga manual pekerja. Contoh: sub-assy bagian produk, forging material
mentah atau pengecatan produk.
2.6.1.4 Pemborosan (Waste)
Menurut Gazperz (2006) pemborosan (waste) adalah segala aktivitas dalam proses
kerja yang tidak memberikan nilai tambah bagi output. Dampak pemborosan bagi
perusahaan adalah menciptakan biaya tinggi, kualitas rendah, penyerahan terlambat,
kehilangan pasar (opportunity lost income) dan penurunan keuntungan perusahaan.
Shigeo Shingo (1990) mengklasifikasikan waste menjadi 7 macam yaitu:
1. Defect yaitu kesalahan yang terjadi pada pengerjaan dengan frekuensi
tinggi,permasalahan kualitas produk atau jasa dan menurunkan performansi
pengiriman.
18
2. Overproduction yaitu melakukan produksi terlalu banyak atau terlalu cepat,
mengakibatkan aliran informasi atau barang dan inventory menjadi tidak lancar.
Dapat menyebabkan lead time dan storage time yang lebih lama, banyaknya work
inprocess serta adanya defect.
3. Waiting yaitu periode yang lama terhadap ketidakaktifan orang, informasi atau
barang, menyebabkan aliran yang kacau dan panjangnya lead time.
4. Transportation yaitu pergerakan dari orang, informasi atau barang yang berlebihan,
menyebabkan pemborosan waktu, usaha dan biaya. Dapat menurunkan kualitas
produk akibat terhambatnya komunikasi.
5. Inventory yaitu penyimpanan barang yang lebih dan delay dari informasi atau
produk, menyebabkan peningkatan biaya dan penurunan pelayanan terhadap
customer. Menyebabkan panjangnya lead time, meningkatkan biaya inventory dan
menurunkan daya saing.
6. Motion yaitu pengaturan tempat kerja dan peralatan yang tidak ergonomis, sehingga
menyebabkan operator melakukan gerakan bending dan stretching yang berlebihan.
7. Inappropriate processing yaitu melakukan proses kerja dengan menggunakan
peralatan, proses atau sistem yang salah (kurang tepat), seringkali cara yang lebih
sederhana menjadi lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang ada di
perusahaan.
2.6.1.5 Cost of Poor Quality (COPQ)
Sörqvist (2001) (dalam Thomasson dan Wallin, 2013) mendefinisikan cost of poor
quality (COPQ) sebagai total kerugian yang disebabkan oleh produk dan proses yang
tidak sempurna dari sebuah perusahaan. Feigenbaum (1991) (dalam Thomasson dan
Wallin, 2013) membagi cost of poor quality (COPQ) menjadi empat kategori yaitu:
Prevention cost atau biaya pencegahan adalah biaya yang terjadi dalam upaya
mencegah adanya produk dengan kualitas tidak baik.
Appraisial cost atau biaya pengukuran adalah biaya yang terjadi untuk menentukan
suatau produk memenuhi karakteristik yang ditetapkan atau sesuai dengan
permintaan konsumen.
Internal failure cost atau biaya kegagalan internal adalah biaya atau kerugian yang
terjadi di dalam proses dan produk belum sampai ke tangan konsumen
External failure cost atau biaya kegagalan eksternal adalah biaya atau kerugian
yang terjadi saat produk sudah sampai ke tangan konsumen
19
Dari pembahasan cost of poor quality (COPQ) yang dilakukan oleh Thomasson dan
Wallin (2013) maka cost of poor quality (COPQ) dapat diartikan sebagai seluruh biaya
yang dikategorikan sebagai opportunity lost income atau pendapatan yang
dimungkinkan hilang akibat adanya failure dari proses produksi. Failure tersebut terdiri
dari internal failure dan external failure. Waste dapat dikategorikan sebagai internal
failure karena waste merupakan kegagalan yang terjadi dalam proses produksi dimana
produk belum sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu nilai cost of poor quality
dari tiap waste dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Wiratmoko, 2013):
∑ (2.4)
Nilai COPQ yang didapatkan memiliki satuan dolar dan untuk mengetahui waste
mana yang paling berpengaruh maka dapat dilakukan dengan membandingkan nilai
COPQ masing-masing waste.
2.6.2 Tahap Measure
Tahap ini merupakan salah satu pembeda Six Sigma dengan metode pengendalian
kualitas lainnya. Pengukuran dilakukan untuk menilai kondisi proses yang ada.
Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu:
a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas kunci atau CTQ (Critical To Quality)
yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik pelanggan.
b. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, atau
outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja pada awal proyek Six Sigma.
c. Mengukur kapabilitas proses dengan kapabilitas long term.
2.6.2.1 Critical Waste
Critical waste adalah kebutuhan yang sangat penting dari produk yang diperlukan
oleh pelanggan. Identifikasi critical waste membutuhkan pemahaman akan suara
pelanggan (voice of customer) yaitu kebutuhan pelanggan yang diekspresikan dalam
bahasa pelanggan itu sendiri. Namun jika perusahaan telah memiliki list tetap mengenai
suara pelanggan, maka critical waste dapat menggunakan list tersebut (Harahap, 2011).
Control to quality sangat erat katannya dengan waste kategori defect. Pada waste
lain dikenal istilah critical waste. Critical waste merupakan jenis dari waste yang
sangat kritis dan mempengaruhi timbulnya waste tersebut. Dari adanya suatu proses
yng diidentifikasi memiliki pemborosan, perusahaan yang bersangkutan seharusnya
dapat dengan jelas mendefinisikan bagaimana karakteristik CTQ dan critical waste ini
20
sehingga dapat dapat diukur dan dilaporkan. Penentuan CTQ maupun critical waste
dapat menggunakan diagram pareto (Harahap, 2011). Pada akhirnya, perusahaan harus
menghubungkan pengukuran CTQ pada kunci proses dan pengendalian sehingga
perusahaan dapat menentukan bagaimana cara meningkatkan proses.
2.6.2.2 Pengukuran Kinerja Proses berdasarkan Nilai Sigma
Perhitungan DPMO dan nilai sigma untuk data atribut dapat dilakukan sesuai
langkah-langkah perhitungan berikut ini (Suef, 2002):
1. Defect Per Unit (DPU). Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari cacat, semua
jenis, terhadap jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel
(2.5)
Dimana: D = frekuensi atau jumlah cacat yang ditemukan
U = jumlah unit yang diproduksi
2. Defect Per Opportunity (DPO). Menunjukkan proporsi cacat atas jumlah total
peluang dalam sebuah kelompok
(2.6)
Dimana: OP (Opportunity) = karaketristik yang berpotensi untuk menjadi cacat.
3. Defect Per Million Opportunities (DPMO). DPMO mengindikasikan berapa banyak
cacatakan muncul jika ada satu juta peluang.
DPMO = DPO × 1.000.000 (2.7)
4. Mengkonversikan nilai DPMO menggunakan tabel konversi untuk mengetahui
proses berada pada tingkat sigma berapa.
5. Perhitungan tingkat sigma dapat dihitung dengan menggunakan Microsoft Excel
yaitu dengan menggunakan formula berikut ini:
NORMSINV (1-DPMO/1.000.000) (2.8)
2.6.2.3 Peta Kontrol Proporsi Cacat (P-Chart)
Peta kendali P merupakan peta control untuk data atribut yang digunakan untuk
mengamati proporsi atau perbandingan antara produk yang cacat dengan total produksi.
Penggunaan P-chart dikarenakan pengendalian kualitas yang dilakukan bersifat atribut,
serta data yang diperoleh yang dijadikan sampel pengamatan tidak tetap dan produk
yang mengalami kerusakan tersebut dapat diperbaiki lagi sehingga harus ditolak.
21
Adapun langkah-langkah dalam membuat peta kendali P sebagai berikut (Harahap,
2011):
1. Mengitung garis pusat atau center line (CL), Garis pusat merupakan rata-rata
kerusakan produk ( ) dengan rumus:
CL = = ∑
∑ (2.9)
Keterangan :
∑ = jumlah total yang rusak
∑ = jumlah total yang diperiksa
2. Menghitung batas kendali atas atau upper control limit (UCL) dengan rumus:
UCL = + √
(2.10)
Keterangan :
= rata-rata kerusakan produk
= Total produk yang diperiksa
3. Menghitung batas kendali bawah atau lower control limit (LCL) dengan rumus:
LCL = - √
(2.11)
Keterangan :
= rata-rata kerusakan produk
= Total produk yang diperiksa
Catatan : jika LCL<0 maka LCL dianggap = 0
2.6.2.4 Pengukuran Kapabilitas Proses
Parameter indeks kapabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan dari suatu
proses yang stabil untuk menghasilkan bagian-bagian dalam batas spesifikasi.
Parameter-parameter tersebut antara lain (Suef, 2002):
Cp = indeks potensial proses
Cpk = indeks performansi proses
Nilai T = target potensial proses
Menurut Pearn dan Chen (1999) ada lima kondisi kualitas yang dapat
menggambarkan kapabilitas perusahaan berdasarkan nilai Cpk. Kelima kondisi itu
adalah sebagai berikut:
Inadequate (tidak capable) Cpk < 1,00
Capable 1,00 < Cpk < 1,33
22
Satisfactory 1,33 < Cpk < 1,5
Excellent 1,50 < Cpk < 2,00
Super 2,00 ≤ Cpk
2.6.2.4.1 Kapabilitas Proses “Short Term”
Menurut Suef (2002) variabilitas proses akan menghasilkan kapabilitas proses
short term, yang menunjukkan hasil terbaik yang dapat dicapai proses tersebut.
Kapabiltas proses short term dibatasi oleh teknologi dan desain. Kapabilitas poses short
term disebut juga potensial proses. Potensial proses menunjukkan tingkat persebaran
dari suatu proses atau dengan kata lain variabilitas output yang dihasilkan.
2.6.2.4.2 Kapabilitas Proses “Long Term”
Kapabilitas proses long term didapatkan dari variasi dan control. Kapabilitas proses
long term menunjukkan performansi aktual dari proses yang ditentukan oleh teknologi
dan control proses (Suef, 2002). Kapabilitas proses long term juga disebut performansi
proses. Parameter yang digunakan dalam kapabilitas kapabilitas proses long term
adalah Cpk (indeks performasi proses) dan Zlt (Z long term). Indeks performansi proses
baru dapat digunakan apabila memenuhi persyaratan asumsi bahwa proses yang
dikendalikan harus berdistribusi normal (Gazperz, 2006).
Nilai Cpk menunjukkan kemampuan proses menyesuaikan diri dengan spesifikasi.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Suef, 2002):
Cpk = Cp * (1-k) (2.12)
Sedangkan k diperoleh dari:
(2.13)
Dimana k = indeks pemusatan proses
T = target atau nominal standar
Zlt adalah perhitungan teknologi dan kontrol. Zlt dihitung menggunakan rata-rata
yang terhitung dari data. Zlt didapat dari:
Zlt =
(2.14)
Untuk mencapai 6 , Zlt yang ditargetkan adalah Zlt = 4,5
Nilai indeks untuk kapabilitas proses long term dapat dilihat pada Tabel 2.4
23
Tabel 2.4 Indeks Kapabilitas Proses Long Term
Cpk Zlt DPO PPM
0,0 0,0 0,5000000 500.000
0,17 0,5 0,3085375 308.538
0,33 1,0 0,1586553 158.655
0,50 1,5 0,0668070 66.807
0,67 2,0 0,0227501 22.750
0,83 2,5 0,0062097 6.210
1,00 3,0 0,0013500 1.350
1,17 3,5 0,0002327 233
1,33 4,0 0,0000317 32
1,50 4,5 0,0000034 3,4
Sumber: Suef, 2002
2.6.2.4.3 Kapabilitas Proses untuk Data Diskrit
Bekerja dengan dasar data diskrit atau data atribut berbeda dengan data
kontinyu/variable. Parameter yang digunakan di sini adalah DPO (Defects Per
Oppurtunities) dan nilai Z adalah Zlt (Z long term) karena Zst biasanya tidak tersedia
karena membutuhkan volume yang besar dan waktu yang lama untuk mengumpulkan
data kontinyu/variable (Suef, 2002).
Untuk mendapatkan DPO terlebih dahulu harus dicari DPU (Defect Per Unit)
dengan rumus sebagai berikut
(2.15)
Dimana: d = frekuensi atau jumlah cacat yang ditemukan
u = jumlah unit yang diproduksi
Kemudian dicari DPO dengan rumus:
DPO
(2.16)
DPO adalah dasar untuk menentukan nilai Z (Zlt) menggunakan data diskrit. Zlt
kemudian didapatkan dari tabel nilai indeks untuk kapabilitas proses long term.
2.6.3 Tahap Analyze
Pada tahap ini dilakukan analisis non value added activity, analisis kapabilitas
proses long term dan analisis pada waste yang berpengaruh terhadap proses produksi.
Tujuan dari analisis waste adalah mencari faktor-faktor yang apabila dilakukan
perbaikan akan memperbaiki kinerja proses. Faktor-faktor yang menyebabkan waste
tersebut dicari melalui root cause analysis untuk menentukan akar utama penyebab
waste yang berpengaruh. Selanjutnya dilakukan penghitungan RPN (risk priority
24
number) untuk menentukan prioritas perbaikan menggunakan FMEA (failure mode and
effect analysis).
2.6.3.1 Analisis Kapabilitas Proses
Analisis kapabilitas proses merupakan salah satu bagian penting di dalam program
perbaikan kualitas keseluruhan, dengan kegunaan utama sebagai berikut (Montgomery,
2002):
– Memperkirakan seberapa baik proses yang diamati mampu memenuhi syarat
toleransi yang diinginkan
– Membantu product developers/ designers di dalam memilih atau memodifikasi
sebuah proses
– Membantu menetapkan suatu interval antar sampel untuk keperluan memonitor
proses
– Mengurangi variabilitas proses manufacturing
2.6.3.2 Root Cause Analysis (5 whys)
Menurut Juran (dalam Syahindri, 2010), RCA merupakan suatu metodologi untuk
mengidentifikasi dan mengoreksi sebab-sebab yang penting dalam permasalahan
operasional dan fungsional. Metode RCA sangat berguna untuk menganalisis suatu
kegagalan sistem tentang hal yang tidak diharapkan yang terjadi, bagaimana hal itu bisa
terjadi, dan mengapa hal itu bisa terjadi. Tujuan dari penggunaan RCA adalah untuk
mengetahui penyebab masalah atau kejadian dengan mengidentifikasi akar-aka pnyebab
masalah tersebut. Dengan demikian, RCA sangat baik digunakan untuk
mengidentifikasi akar dari suatu masalah yang berpotensi dapat menimbulkan resiko
operasional di bagian produksi. Langkah-langkah dalam menyusun RCA adalah:
1. Mengetahui starting point, mengetahui problem pada level tertinggi
2. Melakukan brainstorming untuk mengetahui penyebab pada level sebelumnya
3. Untuk mengidentifikasi penyebab lakukan beberapa pertanyaan”mengapa penyebab
ini menjadi problem”
4. Melakukan pertanyaan yang baru dan melakukan beberapa pertanyaan terus-menerus
hingga tidak bisa dijawab, sehingga itu merupakan penyebab yang utama.
25
2.6.3.3 FMEA
FMEA merupakan salah satu alat dari Six Sigma untuk mengidentifikasi sumber-
sumber atau penyebab dari suatu masalah kualitas. Menurut Chrysler (1995), FMEA
dapat dilakukan dengan cara :
1. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan potensi suatu produk dan efeknya.
2. Mengidentifikasi tindakan yang bisa menghilangkan atau mengurangi kesempatan
dari kegagalan potensi terjadi.
3. Pencatatan proses (document the process)
Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka tim FMEA harus
mendefinisikan terlebih dahulu tentang Severity, Occurrence, Detection, serta hasil
akhirnya yang berupa Risk Priority Number.
Tabel 2.5 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Severity of Effects Dalam FMEA
Process Rating Description Definition (Severity of Effect)
10 Dangerously high Failure could injure the customer or an employee.
9 Extremely high Failure would create noncompliance with federal regulations.
8 Very high Failure renders the unit inoperable or unfit for use.
7 High Failure causes a high degree of customer dissatisfaction.
6 Moderate Failure results in a subsystem or partial malfunction of the product.
5 Low Failure creates enough of a performance loss to cause the customer to
complain.
4 Very Low Failure can be overcome with modifications to the customer’s process
or product, but there is minor performance loss.
3 Minor Failure would create a minor nuisance to the customer, but the
customer can overcome it without performance loss.
2 Very Minor Failure may not be readily apparent to the customer, but would have
minor effects on the customer’s process or product.
1 None Failure would not be noticeable to the customer and would not affect
the customer’s process or product.
Sumber: Rakesh (2013)
Tabel 2.6 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Occurancy of Effects Dalam FMEA
Process
Rating Description Potential Failure Rate
10 Very High: Failure is
almost inevitable.
More than one occurrence per day or a probability of more than
three occurrences in 10 events (Cpk< 0.33).
9 High: Failures occur
almost as often as
not.
One occurrence every three to four days or a probability of three
occurrences in 10 events (Cpk≈ 0.33).
8 High: Repeated
failures.
One occurrence per week or a probability of 5 occurrences in
100 events (Cpk≈ 0.67).
7 High: Failures occur
often.
One occurrence every month or one occurrence in 100 events
(Cpk≈ 0.83).
6 Moderately High:
Frequent failures.
One occurrence every three months or three occurrences in
1,000 events (Cpk≈ 1.00).
5 Moderate:
Occasional failures.
One occurrence every six months to one year or five
occurrences in 10,000 events (Cpk≈ 1.17).
4 Moderately Low:
Infrequent failures.
One occurrence per year or six occurrences in 100,000 events
(Cpk≈ 1.33).
26
Lanjutan Tabel 2.6 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Occurancy of Effects Dalam
FMEA Process
Rating Description Potential Failure Rate
3 Low: Relatively few
failures.
One occurrence every one to three years or six occurrences in
ten million events (Cpk≈ 1.67).
2 Low: Failures are
few and far between.
One occurrence every three to five years or 2 occurrences in one
billion events (Cpk≈ 2.00).
1 Remote: Failure is
unlikely.
One occurrence in greater than five years or less than two
occurrences in one billion events (Cpk> 2.00).
Sumber: Rakesh (2013)
Tabel 2.7 Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Detection of Effects Dalam FMEA
Process
Rating Description Definition
10 Absolute
Uncertainty
The product is not inspected or the defect caused by failure is
not detectable.
9 Very Remote Product is sampled, inspected, and released based on Acceptable
Quality Level (AQL) sampling plans.
8 Remote Product is accepted based on no defectives in a sample.
7 Very Low Product is 100% manually inspected in the process.
6 Low Product is 100% manually inspected using go/no-go or other
mistake-proofing gauges.
5 Moderate Some Statistical Process Control (SPC) is used in process and
product is final inspected off-line.
4 Moderately High SPC is used and there is immediate reaction to out-of-control
conditions.
3 High An effective SPC program is in place with process capabilities
(Cpk) greater than 1.33.
2 Very High All product is 100% automatically inspected.
1 Almost Certain The defect is obvious or there is 100% automatic inspection with
regular calibration and preventive maintenance of the inspection
equipment.
Sumber: Rakesh (2013)
2.6.4 Tahap Improve
Pada tahap ini diterapkan suatu rencana tindakan untuk melaksanakan peningkatan
kualitas Lean Six Sigma agar hasil perbaikan bisa berkesinambungan. Akar penyebab
(cause) kritis tersebut diambil dari cause dengan nilai RPN tertinggi pada FMEA dari
masing-masing jenis defect dan dilakukan penarikan improvement yang mungkin bisa
dilakukan. Rencana tersebut nantinya mendeskripsikan tentang alokasi sumber daya
serta prioritas atau alternatif yang dilakukan. Untuk menentukan alternatif terbaik,
digunakan metode value based management. Konsep ini menentukan value berdasarkan
performance dan biaya yang dikeluarkan.
2.6.4.1 Value-based Management
Robbins dan Coulter (2005) menjelaskan bahwa manajemen berbasis nilai
merupakan pendekatan yang dapat digunakan manajer di seluruh bidang manajemen
27
untuk organisasi sesuai dengan nilai yang dimiliki perusahaan. Pendekatan in bertujuan
untuk membantu perusahaan dalam mengembangkan pedoman bagi tindakan dan
keputusan manajer, membentuk prilaku karyawan, mempengaruhi usaha-usaha
pemasaran dan membangun semangat tim sehingga dapat memaksimalkan nilai
perusahaan. Berdasarkan definisi tersebut, perusahaan dapat menggunakan pendekatan
value-based management dalam membuat keputusan mengenai perbaikan yang akan
digunakan dalam mengatasi pemborosan (waste).
Setelah memperoleh alternatif rekomendasi perbaikan, maka dalam menentukan
kombinasi alternatif solusi terbaik dapat dilakukan dengan cara menentukan value dari
pembagian antara nilai performance dan cost. Dan hasil value tersebut dibandingkan
dengan value kondisi perusahaan saat ini, sehingga usulan alternatif solusi tersebut akan
diterima jika value yang dihasilkan melebihi value kondisi perusahaan saat ini
(Setiawan, 2011). Berikut ini adalah persamaan untuk melakukan perhitungan value:
(2.17)
Pada persamaan (2.14), satuan dari cost adalah dolar, sedangkan nilai performance
tanpa satuan. Untuk itu, nilai performance perlu dikonversikan dalam satuan dolar.
Untuk mengetahui value dari masing-masing alternatif solusi, maka saat kondisi
eksisting (do nothing) diasumsikan bernilai 1. Asumsi tersebut dilakukan untuk
mempermudah menghitung value dari alternatif. Persamaan lain yang diperlukan untuk
menghitung value adalah sebagai berikut:
(2.18)
Cn = Co + Biaya perbaikan (2.19)
Vn =
(2.20)
Keterangan
Vn = Value alternatif ke-n
P0 = Performance awal
Pn = Performance alternatif ke-n
C0 = Cost Awal
Cn = Cost alternatif ke-n
PCn = Biaya performansi ke-n
Nilai performance tiap kombinasi alternatif diperoleh melalui pembuatan kuisioner
yang diberikan kepada pihak produksi dalam hal ini adalah supervisor dan beberapa
28
operator produksi. Sementara biaya dari masing-masing alternatif solusi didapatkan
melalui data perusahaan dan brainstorming dengan pihak akutansi di perusahaan.
2.6.5 Tahap Control
Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan
disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam peningkatan proses
distandarisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan
dijadikan sebagai pedoman kerja standar.