Upload
lehanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
STATUS PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP SELAMA PERANG
2.1. Pengantar
A.V.P. Rogers dalam bukunya Law on the Battlefield mengemukakan
bahwa “since it first developed, the law of war has focused on protecting human
beings.”1 Istilah the law of war merujuk pada HHI sebagai bagian dari hukum
internasional yang berisi prinsip dan norma hukum yang mengatur tindakan yang
dilarang dan dibenarkan dalam perang. Awalnya prinsip dan norma HHI
ditujukan khusus untuk melindungi warga sipil (civilian)2 atau kombatan yang
tidak lagi mengambil bagian secara langsung dalam perang (hors de combat)3,
membatasi alat dan metode perang, sehingga diharapkan dapat mengurangi
jumlah korban dan/atau kerugian selama perang berlangsung.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu signifikan telah
berdampak pada penggunaan senjata, alat, metode atau taktik perang yang mampu
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang dahsyat, luas, atau berjangka
panjang atau lebih lagi kumulatif dari ketiganya. Hal ini tentu mendorong adanya
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang disusun secara komprehensif
1 AVP Rogers, 2
nd ed Law on the Battlefield, Manchester University Press, Manchester,
2004, h. 163. 2 “Seorang warga sipil adalah individu yang tidak mengambil bagian secara langsung
dalam aksi militer ataupun persengketaan, tidak juga menjadi bagian dalam konflik bersenjata.
Seorang warga sipil bukanlah anggota sebuah misil, polisi militer, atau gerakan perlawanan.”
Anicee Van Engeland, Combatant or Civilian A Challenge for the Twenty-First Century, Oxford
University Press, New York, 2011, h. 28. 3 “Hors de combat secara harafiah berarti ‘keluar dari pertempuran’, dimana istilah
tersebut mendeskripsikan kombatan yang sudah ditangkap dan terluka atau kombatan yang sakit di
darat maupun laut dan kemudian tidak lagi dalam kondisi yang sanggup untuk bertempur.” ICRC,
Module 2: Limits in Armed Conflict, Jenewa, Januari 2009, h. 18.
15
dengan disertai sanksi-sanksi sebagai konsekuensi logis jika terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.
Dalam bab ini, penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya lingkungan
hidup berstatus sebagai obyek sipil, sehingga dilindungi oleh HHI dalam keadaan
apapun. Kesimpulan ini didasari oleh beberapa uraian argumentasi, yakni:
pertama penulis akan menguraikan pengertian lingkungan hidup, kemudian
perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber HHI tertulis, serta prinsip-
prinsip dalam HHI Kebiasaan. Selanjutnya penulis akan memaparkan analisa
status lingkungan hidup dalam perang, apakah sebagai obyek militer atau obyek
sipil, yang di dalamnya juga akan diuraikan analisis terkait dampak kerusakan
sampingan pada lingkungan hidup (collateral damage).
2.2. Pengertian Lingkungan Hidup
HHI Tertulis maupun HHI Kebiasaan kerap kali menggunakan frasa “the
environment” atau “natural environment” untuk merujuk pada lingkungan hidup.
Dalam pemahaman umum, lingkungan hidup dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang termasuk dalam air, tanah, udara, flora dan fauna. Selain itu,
Deklarasi Stockholm 1992 juga menyebutkan tentang “representative samples of
natural ecosystem” sebagai bagian dari lingkungan.4 Dalam kaitannya dengan
pengertian tersebut, cakupan ekosistem alam yang dimaksud pun tidak dijelaskan
lebih terinci oleh Deklarasi Stockholm 1992.
Di tahun 1992, tim kerja dari UNEP menyusun sebuah laporan yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban dan kompensasi terhadap kerusakan
4 Lihat Prinsip ke-2 dari Declaration of the UN Conference on Human Environment
(Dikenal sebagai Deklarasi Stockholm 1972), Stockholm, 1972: “the natural resources of the
earth, including the air, water, land, flora and fauna, and especially representative samples of
natural ecosystems, must be safeguarded for the benefit of present and future generation through
careful planning or management, as appropriate.”
16
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan militer. Dari laporan tersebut,
dicatatkan mengenai cakupan dari frasa lingkungan hidup yang dimaksud, yaitu
“komponen abiotik dan biotik, termasuk di dalamnya udara, air, tanah, flora dan
fauna, serta ekosistem yang terbentuk karena interaksi dari semuanya itu.”5
Pengertian tentang lingkungan hidup dalam konteks HHI dapat ditemukan
dalam bagian Komentar Pasal 55 Protokol Tambahan I, yang memuat penjelasan
bahwa “the concept of the natural environment should be understood in the widest
sense to cover the biological environment in which a population is living ... it
includes forests and other vegetation …, as well as fauna, flora and other
biological or climatic elements. Kemudian termasuk juga segala sesuatu yang
bukan buatan manusia, seperti: the atmosphere, the air, the ozone layer, the
oceans and other bodies of water, soil, rocks, plants, and animals.6
2.3. Instrumen Hukum HHI untuk Melindungi Lingkungan Hidup
HHI bertujuan untuk membatasi dampak perang dengan bersumber pada
hukum tertulis serta hukum tidak tertulis atau dikenal sebagai HHI Kebiasaan.
Berikut ini beberapa instrumen HHI sebagai dasar perlindungan hukum bagi
lingkungan hidup dalam keadaan perang.
5 Afriansyah Arie, State Responsibility For Environmental Protection During
International Armed Conflict, Distertasi, University of Otago, Otago, Agustus 2012, h.58 dikutip
dari Report of Working Group of Experts on Liability and Compensation for Environmental
Damage Arising from Military Activities UNEP/Env.Law/3/Inf.L (1996). 6 War and the Environment.... ; lihat Program on Humanitarian Policy and Conflict
Research, Harvard University (HPCR), Manual on International Law Applicable to Air and
Missile Warfare, Bern, 2010, h.205.
17
2.3.1. HHI Tertulis
a. Konvensi ENMOD 1976 (The 1976 Convention on the Prohibition of
Military or Any Other Hostile Use of Environmental Modification
Techniques)
Berkaca dari Perang Vietnam yang melibatkan Amerika Serikat sebagai
salah satu pihak bertikai yang telah menerapkan teknik mengubah lingkungan
sebagai salah satu senjata perang,7 tahun 1976 negara-negara menyetujui sebuah
konvensi untuk melindungi lingkungan hidup selama perang, yakni Convention on
the Prohibition of Military or Any Other Hostile Use of Environmental
Modification Techniques (selanjutnya disebut Konvensi ENMOD).8 Konvensi
ENMOD merupakan salah satu instrumen penting HHI yang dimaksudkan untuk
melindungi lingkungan hidup, dengan melarang modifikasi lingkungan hidup
sebagai senjata dalam perang.
Negara-negara pihak dalam Konvensi ENMOD menyetujui untuk tidak
terlibat dalam modifikasi lingkungan dan menjadikannya sebagai senjata dalam
peperangan, yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) “... not to
engage in military or any other hostile use of environmental modification
techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as the means of
destruction, damage or injury to any other State Party.” Kesanggupan negara-
negara pihak untuk tidak terlibat, tidak mempersoalkan apakah penggunaan
modifikasi lingkungan sebagai senjata ditujukan untuk menyerang atau
7 Liesbeth Lijnzaad and Gerard J. Tanja, “Protection of the Environment in Times of
Armed Conflict: The Iraq-Kuwait War”, 40 NILR 169, 1993, h.186. 8 Konvensi ENMOD diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1976 dan
ditanda-tangani pada 1977.
18
mempertahankan diri, namun selama dalam konteks militer atau persengketaan, 9
maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Berkaitan dengan frasa “modifikasi lingkungan” (environmental
modification), telah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 Konvensi ENMOD,
bahwa: “... refers to any technique for changing – through the deliberate
manipulation of natural processess – the dynamics, composition or structure of
the Earth, including its biota, lithosphere, hydrosphere, and atmoshpere, or of
outer space.” Pemahaman mengenai ketentuan Pasal 2 terlampir dalam Konvensi
ENMOD yang menyebutkan dengan menerapkan teknik modifikasi lingkungan,
maka dapat menciptakan beberapa fenomena alam, diantaranya: gempa bumi;
tsunami; ketidakseimbangan ekologi dalam suatu wilayah; perubahan pola cuaca
(awan, curah hujan, berbagai jenis angin topan dan badai tornado); perubahan pola
iklim, perubahan arus laut, perubahan lapisan ozon, dan perubahan di bagian
ionosfer.10
Lebih lanjut unsur-unsur dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi ENMOD
mengharuskan dampak yang dihasilkan oleh modifikasi lingkungan adalah meluas
(widespread), jangka panjang (long-lasting), atau dahsyat (severe). Ketiga tolak
ukur yang digunakan tersebut mengindikasikan bahwa Pasal 1 ayat (1) Konvensi
ENMOD menetapkan ambang batas alternatif (“atau”), bukan kumulatif (“dan”).
Definisi mengenai sejauh mana kriteria durasi waktu, batas dan tingkat keparahan,
9 “Military” and “Hostile” bukanlah dua istilah dengan pengertian yang sama atau
tumpang tindih. Lihat C.R.Wunsch, The Environmental Modification Treaty, ASILS International
Law Jurnal, Vol.4, 1980, h.126. 10
Yoram Dinstein, The Conduct of Hostilities under the Law of International Armed
Conflict, Cambridge University Press, United Kingdom, 2004, h.178 (Selanjutnya disingkat
Yoram Dinstein I) mengutip dari Konvensi ENMOD, Laws of Armed Conflict, 1976, h.163-164.
19
dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Konvensi ENMOD (the
Understandings)11
, sebagai berikut:
i. meluas (widespread): meliputi area yang luasnya beberapa ratus
kilometer persegi;
ii. jangka panjang (long-lasting): berlangsung selama periode bulan atau
sekitar satu musim;
iii. dahsyat (severe): melibatkan gangguan serius atau signifikan atau
berbahaya terhadap kehidupan manusia, sumber daya alam dan
ekonomi, atau aset lainnya.
Pasal 1 ayat (1) Konvensi ENMOD juga mensyaratkan bahwa teknik
modifikasi lingkungan harus digunakan sebagai senjata yang dapat
menghancurkan (destruction), merusak (damage), atau melukai (injury).
Berkaitan dengan ketentuan ini, Yoram Dinstein berpendapat bahwa ada 3 (tiga)
hal penting yang harus digarisbawahi dalam unsur ini, yakni:12
1) Tidak semua penggunaan teknik modifikasi lingkungan dalam
status militer atau sengketa harus selalu membawa kehancuran,
kerusakan, atau cedera. Sebagai contoh, teknik modifikasi
lingkungan yang menerapkan penyebaran kabut di atas area militer
lawan sama sekali tidak berbahaya, terutama bagi lingkungan
hidup.
11
The Understandings bukanlah bagian dari Konvensi ENMOD, tetapi relevan dan
penting dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal I, II, III, dan VIII. Penjelasan di dalamnya
dimasukkan dalam Laporan yang disiapkan oleh Komite Konferensi). Lihat, Yoram Dinstein I,
Ibid., h.190. 12
Yoram Distein I, Ibid., h.180.
20
2) Lingkungan bukanlah satu-satunya korban pasti dari teknik
modifikasi lingkungan yang dapat membawa kehancuran,
kerusakan atau cedera.
3) Kehancuran, kerusakan atau cedera adalah hasil yang secara
sengaja dilakukan dengan manipulasi terhadap proses alami.
Hasilnya tersebut mungkin jauh melampaui yang dimaksudkan
oleh negara yang bertindak, namun selama hal tersebut adalah
tindakan yang sengaja, apapun hasilnya negara yang bertindaklah
yang bertanggung jawab atasnya.
Unsur penting terakhir untuk menilai apakah sebuah tindakan dapat
digolongkan sebagai modifikasi lingkungan hidup yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan dasar Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat (1)
Konvensi ENMOD secara jelas menyebutkan bahwa: kehancuran, kerusakan, atau
cedera harus ditujukan kepada negara pihak lain (to any other state party) yang
juga menjadi bagian dari konvensi, terlepas dari kedudukannya apakah sebagai
pihak yang bertikai atau sebagai negara netral. Hal ini dilakukan untuk
mendorong negara-negara melakukan ratifikasi terhadap konvensi. Alasan untuk
mendorong ratifikasi konvensi kemudian menerapkan 3 (tiga) pengecualian
mengenai keberlakukan konvensi ENMOD, diantaranya: 13
pertama apabila
kerusakan tersebut terjadi pada teritorial negara yang melancarkan serangan
(negara yang melakukan teknik modifikasi lingkungan) sehingga korbannya
berasal dari negara tersebut; yang kedua, kerusakan tersebut terjadi di teritorial
negara yang bukan menjadi pihak dalam Konvensi ENMOD; dan yang ketiga,
13
Yoram Distein I, Op.Cit., h.180-181.
21
kerusakan tersebut melanda teritorial di luar yuridiksi semua negara, seperti laut
lepas, terkecuali jika kerusakan berdampak terhadap kapal milik negara yang
menjadi pihak dalam konvensi.
Pasal 1 ayat (2) Konvensi ENMOD menambahkan bahwa: “each State
Party to this Convention undertakes not to assist, encourage, or induce any State,
group of States or international organiza-tion to engage in activities contrary to
the provisions of paragraph 1 of this article.” Ketentuan ini menegaskan bahwa
para pihak dalam Konvensi ENMOD tidak hanya memperjanjikan untuk tidak
akan terlibat sebagai negara yang bertindak, tetapi juga untuk tidak membantu,
mendorong, atau membujuk negara lain dalam hal menjadikan lingkungan sebagai
senjata dalam perang, melalui modifikasi atau manipulasi proses alam.
b. Protokol Tambahan I Tahun 1977 (Protocol Addition to the Geneva
Convention of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims
of International Armed Conflicts of 8 June 1977)
Negosiasi terkait Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa 1949
dilatarbelakangi oleh berbagai perang yang terjadi – salah satunya adalah perang
Vietnam – yang kemudian mengangkat isu mengenai perlindungan terhadap
warga sipil dan lingkungan hidup. Seiring dengan bertumbuhnya kesadaran
terhadap lingkungan hidup dan perhatian terhadap penerapan taktik militer selama
perang, dirumuskanlah 2 (dua) ketentuan dalam Protokol Tambahan I yang secara
eksplisit memuat tentang perlindungan lingkungan selama perang, yakni: Pasal 35
ayat (3) dan Pasal 55.
22
Pasal 35 Protokol Tambahan I menyatakan aturan dasar terkait penggunaan
metode atau alat berperang. Pada ayatnya yang ketiga, diatur mengenai
perlindungan terhadap lingkungan hidup: “it is prohibited to employ methods or
means of warfare which are intended, or may be expected to cause widespread,
long-term, and severe damage to the natural environment.” Berkaitan dengan
pembatasan dalam menggunakan metode atau alat peperangan, Pasal 35 ayat (3)
pada pokoknya memuat 3 (tiga) hal, yakni:
1) Metode atau alat peperangan bukanlah tanpa batas: pembatasan
terhadap penggunaan metode atau alat perang sangat jelas tercantum
dalam Pasal 35 ayat (1), Bagian I (Methods and Means of Warfare)
Protokol Tambahan I: “In any armed conflict, the right of the Parties
to the conflict to choose methods or means of warfare is not
unlimited.” Ditambahkan pula pengaturan dalam Pasal 51 mengenai
larangan indiscriminate attack (serangan membabi-buta) yang salah
satunya meliputi: “those which employ a method or means of combat
the effect of which cannot be limited as required by this Protocol.”
Pembatasan ini menekankan bahwa dalam peperangan sekalipun,
penggunaan metode atau alat perang harus memberikan perhatian
terhadap perlindungan lingkungan hidup, artinya para pihak
diwajibkan untuk tidak menggunakan metode atau alat perang yang
memiliki implikasi kerusakan lingkungan hidup.
2) Penggunaan metode atau alat perang tidak boleh dimaksudkan ataupun
tidak memperkirakan dampaknya terhadap kehancuran lingkungan
hidup: bagian penting yang patut diperhatikan oleh para pihak dalam
23
melancarkan serangan adalah ketentuan dalam Pasal 35 ayat (3) tidak
membedakan mengenai serangan terhadap lingkungan hidup,
dilakukan secara sengaja atau pun tidak sengaja. Hal ini didukung oleh
pernyataan Erik Koppe bahwa: “article 35 (3) means that not only
are deliberate or direct attacks on the environment prohibited, but also
attacks of which it is reasonably foreseeable that they will lead to
environmental damage.” 14
3) Dampaknya adalah rusaknya lingkungan hidup secara meluas,
berjangka waktu lama dan parah: ketiganya merupakan standar yang
secara kumulatif memberikan definisi terhadap “kerusakan” (damage)
yang dilarang dalam Pasal 35 ayat (3) Protokol Tambahan I. Artinya,
suatu serangan terhadap lingkungan hidup baik langsung maupun
tidak, dilarang oleh ketentuan Protokol Tambahan I, jika menyebabkan
kerusakan lingkungan hidup yang luas, berjangka waktu panjang dan
parah.
Bersamaan dengan itu, Pasal 55 Protokol Tambahan I juga mendistribusikan
perlindungan terhadap lingkungan hidup dengan cara yang berbeda. Pasal 55
Protokol Tambahan I menyatakan bahwa:
1) “care shall be taken in warfare to protect the natural
environment against widespread, long-term and severe
damage. This protection includes a prohibition of the use of
methods or means of warfare which are intended or may be
expected to cause such damage to the natural environment
and thereby to prejudice the health or survival.”
2) “Attacks against the natural environment by way of reprisal
are prohibited”.
14
Erik Koppe, The Use of Nuclear Weapons and The Protection of The Environment
During International Armed Conflict, Hart Publishing, Oregon, 2008, h. 152.
24
Meskipun secara kasat mata terkesan Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55 Protokol
Tambahan I adalah ketentuan yang hampir sama dan dalam batasan tertentu
menjadi tumpang-tindih (overlap) norma karena memuat batasan penggunaan
metode atau alat perang, namun tetap saja terdapat perbedaan mendasar antara
keduanya. Karen Hulme mengemukakan 3 aspek penting yang terkandung dalam
Pasal 55 dan juga menjadi unsur pembeda dengan Pasal 35 ayat (3), yaitu sebagai
berikut.15
1) Kewajiban dasar tentang kesadaran lingkungan hidup dalam
keadaan perang.
Kalimat pertama Pasal 55 ayat (1) mencerminkan suatu konsep yang
mendasari ketentuan tersebut, yakni, adanya suatu kewajiban untuk
melindungi lingkungan hidup selama perang berlangsung. Penggunaan frasa
“care shall be taken” merujuk pada sebuah cakupan pengaplikasian yang
lebih luas, sehingga memerlukan tanggung-jawab yang lebih besar pula.
Hulme dalam tulisannya War Torn Environment: Interpreting the Legal
Threshold mengemukakan bahwa sebuah larangan (prohibition)
mengisyaratkan ketidakbolehan dalam melakukan sesuatu dan bersifat
negatif, sementara a duty of care yang pada dasarnya bersifat positif
memiliki lingkup lebih luas, yakni, dapat meliputi tindakan atau pun usaha
yang diwajibkan.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai frasa “care shall be taken”
dalam Pasal 55 ayat (1), Black’s Law Dictionary mengakui beberapa
penggolongan care yang berbanding terbalik dengan kondisi kelalaian
15
Karen Hulme, “Natural Environment,” dalam Elizabeth Wilmshurst dan Susan Breau,
ed., Perspective on the ICRC Study on Customary International Humanitarian Law, Cambridge
University Press, New York, 2008, h.204.
25
(negligence), yaitu, slight care, ordinary care, reasonable care, dan great
care. Erik Koppe mengasumsikan bahwa dalam hal ini, care yang
dimaksud merujuk pada reasonable care, yang oleh Black’s Law Dictionary
diartikan sebagai: “such a degree of care [what is required], precaution, or
diligence as may fairly and properly be expected or required, having regard
to the nature of action, or of the subject-matter, and the circumstances
surrounding the transaction.”16
Pemahaman yang diberikan tentu saja lebih
luas, jika dibandingkan dengan apa yang terungkap dalam Pasal 55 ayat (1),
bahwa tindakan perlindungan bukan saja untuk tidak melakukan tindakan
yang merusak lingkungan hidup, tetapi juga melakukan tindakan-tindakan
pencegahan yang sedapat mungkin memberikan perlindungan bagi
lingkungan hidup selama perang berlangsung. Selaras dengan ini, Erik
Koppe mengutip pendapat yang menyatakan bahwa: “it is not unthinkable
that this degree of care requires more that just refraining from the use of
means and methods of warfare that are intended or expected to cause
damage to the environment, and it may even include preventive action.”17
2) Suatu larangan spesifik terkait dengan metode dan alat perang
yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang meluas,
berjangka panjang dan parah dan oleh karenanya merugikan
kesehatan atau kelangsungan hidup dari sebuah populasi.
Untuk memperkuat kalimat pertama Pasal 55 ayat (1), kalimat kedua
secara jelas menetapkan sebuah larangan dengan perlindungan yang lebih
16
Henry Campbell Black, 5th
Ed Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.Paul
Minn., 1979, h.193. 17
Erik Koppe, Op.Cit., h.149.
26
luas jika dibandingkan dengan Pasal 33 ayat (3) Protokol Tambahan I. 18
Perhatian pertama tentu tertuju pada ambang batas (threshold) sebagai tolak
ukur dalam memaknai kerusakan lingkungan hidup, dimana pada esensinya
sama persis dengan Pasal 33 ayat (3) Protokol Tambahan I. Laporan the
Working Group of Committee III dalam Konferensi menyebutkan bahwa
penggunaan kata-kata yang sama, “meluas, berjangka panjang, dan rusak
parah”, adalah bentuk jaminan bahwa kedua ketentuan tersebut koheren.19
Meskipun demikian, tampaknya Protokol Tambahan I tidak memberikan
arahan yang jelas terkait dengan pengertian “meluas, berjangka panjang, dan
rusak parah”. Terkait hal ini, dalam negosiasi Protokol Tambahan I, di akhir
perdebatan beberapa delegasi negara menyatakan bahwa ambang batas yang
ditetapkan dalam Protokol Tambahan I berbeda pengertiannya dengan
Konvensi ENMOD. Namun, selama negosiasi tersebut hanya pengertian
frasa “long-term” yang telah ditetapkan, yakni, setidak-tidaknya sepuluh
tahun.
Penggunaan kata sambung “dan” dalam ambang batas tersebut,
menekan bahwa ketiga kriteria bersifat kumulatif, yang artinya untuk dapat
menerapkan Protokol terhadap suatu tindakan perusakan, maka ketiga
kriteria tersebut harus dipenuhi. Hal ini tentu saja agak menyulitkan dalam
penegakkannya, karena yang pertama pengertian yang terkandung dalam
tiga kriteria ambang batas tidak disediakan oleh Protokol Tambahan I dan
18
Michael N. Schmitt, Green War: An Assessment of the Environmental Law of
International Armed Conflict, 1992, h.73-74. 19
ICRC, Commentary on the Additional Protocol of 8 June 1977 to the Geneva
Convention of 12 August 1949, Published by ICRC, Jenewa, para. 2132.
27
kedua ambang batas tersebut bersifat kumulatif, yang pada penerapannya
sangat sulit ditemukan sebuah kerusakan yang sedemikian parahnya.
Selanjutnya dampak kerusakan lingkungan hidup terhadap kesehatan
dan keberlangsungan hidup populasi. Berdasarkan ICRC’s Commentary
diketahui bahwa kata “kesehatan” dimaksudkan untuk mengindakasi bahwa
ketentuan ini berkonsentrasi bukan hanya pada tindakan yang mana
membahayakan kelangsungan hidup populasi, tetapi juga terhadap tindakan
yang secara serius berbahaya bagi kesehatan, seperti cacat bawaan,
kemerosotan, atau kelainan.20
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pemilihan penggunaan kata “populasi” dan bukan “warga sipil”, yang oleh
Committee III dianggap sebagai kelalaian yang disengaja, sebagai cara untuk
menekankan fakta bahwa kerusakan terhadap lingkungan hidup dapat
berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama, sehingga efeknya dapat
dirasakan oleh keseluruhan populasi tanpa pembedaan apapun.21
3) Sebuah larangan untuk melakukan pembalasan (reprisal)
terhadap lingkungan
Pengertian tentang pembalasan (reprisal) dapat ditemukan dalam
ICRC’s Commentary Part V, Section II Protokol Tambahan I yang
menegaskan bahwa “reprisals are stern measures taken by one State against
another for the purpose of putting an end to breaches of the law of which it
is the victim or to obtain reparation for them.” Dari pengertian ini dapat
diketahui bahwa pembalasan sebenarnya merupakan tindakan melawan
hukum, namun dalam konteks perang, pembalasan dapat dibenarkan dalam
20
Ibid., para. 2135. 21
Ibid., para 2134.
28
keadaan tertentu, yaitu, sebagai respon terhadap pelanggaran yang sama
yang dilakukan oleh musuh. Adapun jika berkaitan dengan pembalasan
terhadap lingkungan hidup, maka pembalasan dilarang secara tegas dalam
Pasal 55 ayat (2) Protokol Tambahan I.
c. Statuta Roma 1998 (The 1998 Statute of International Criminal Court)
Statuta Roma 1998 adalah salah satu instrumen HHI yang juga mengambil
bagian dalam perlindungan terhadap lingkungan hidup saat perang. Di dalam
Statuta Roma 1998 tertuang 4 (empat) jenis tindakan yang diakui sebagai tindak
pidana internasional, diantaranya adalah kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan agresi dan genosida. Konteks perusakan lingkungan
hidup dikategorikan sebagai kejahatan perang, apabila tindakan tersebut
memenuhi elemen dalam Pasal 8 ayat (2) (b) (iv) Statuta Roma 1998, yaitu :
“intentionally launching an attack in the knowledge that such
attack will cause incidental loss of life or injury to the civilian
or damage to the civilian object or widespread, long-term, and
severe damage to the natural environment which would be
clearly excessive in relation to the concrete and direct overall
military advantage anticipated.”
Secara internasional, ketentuan ini dianggap sebagai sebuah langkah maju dalam
mengkriminalisasi tindakan yang tidak patut terhadap lingkungan hidup,
khususnya dalam keadaan perang.22
Hal ini dikarenakan ketentuan yang terdahulu
bersifat diskrisioner,23
sehingga dalam hal kriminalisasi tindakan yang
menghancurkan lingkungan hidup, hanya negara-negara tertentu yang mampu
22
Afriansyah Arie, Op.Cit., h.38. 23
Afriansyah Arie, Ibid., dikutip dari Lawrence and Heller h.69-70.
29
menegakkan hukum nasionalnya dan meminta ekstradisi atau penuntutan terhadap
pelaku kejahatan individu yang terlibat pelanggaran berat.24
Dinstein berpendapat bahwa norma perlindungan terhadap lingkungan
hidup dalam Statuta Roma 1998 telah mengalami modifikasi norma jika
dibandingkan dengan Protokol Tambahan I, yaitu sebagai berikut:25
i. Statuta Roma 1998 mensyaratkan niat (intention) dan pengetahuan
(knowledge) bahwa suatu serangan akan berdampak terhadap
lingkungan hidup, sedangkan Protokol Tambahan I hanya
mensyaratkan salah satu antara intention or expectation;
ii. Supaya bisa menyatakan suatu tindakan adalah salah satu kejahatan
perang, maka kerusakan lingkungan hidup yang terjadi tidak hanya
berakibat meluas, berjangka panjang, dan parah, tetapi juga harus
memenuhi unsur “secara jelas berlebihan jika dibandingkan dengan
keuntungan militer yang ingin didapatkan”.
Berdasarkan pendapat ini penulis menyimpulkan 2 (dua) hal. Yang pertama,
Statuta Roma 1998 menempatkan tindakan perusakan lingkungan hidup saat
perang berlangsung sebagai bagian dari kejahatan perang, sehingga membangun
alasan untuk tanggung jawab pidana dan kewajiban untuk menerima hukuman.
Modifikasi norma ini diterapkan hanya terhadap individu yang memiliki mens rea
(Infra 3.3.2.a.) berupa niat dan pengetahuan, yang harus terdeteksi dalam rangka
pemidanaan (berdasarkan HHI). Yang kedua, secara implisit Pasal 8 ayat (2) (b)
(iv) Statuta Roma 1998 memasukkan prinsip proporsionalitas sebagai salah satu
24
Afriansyah Arie, Ibid. 25
Yoram Distein I, Op.Cit., 185-186.
30
asas yang mendasari ketentuan tersebut, dimana sebelumnya tidak pernah
disebutkan oleh Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55 Protokol Tambahan I. 26
Modifikasi norma yang diutarakan oleh Dinstein tidak memungkiri bahwa
tata bahasa dalam Statuta Roma 1998 sebenarnya menggambarkan Pasal 35 ayat
(3) dan Pasal 55 Protokol Tambahan I, serta Konvensi ENMOD.27
Salah satu
contohnya, dalam hal penetapan ambang batas, yang menggunakan widespread
(meluas), long-term (berjangka panjang), dan severe (dahsyat). Meskipun
diketahui bahwa Protokol Tambahan I dan Statuta Roma 1998 menerapkan
ambang batas bersifat kumulatif, sementara Konvensi ENMOD menetapkan
ambang batas bersifat alternatif, namun ketiga ambang batas tersebut pun gagal
didefinisikan oleh Statuta Roma 1998.28
2.3.2 HHI Kebiasaan (Customary International Humanitarian Law)
Eksistensi HHI sebagai bagian dari hukum internasional, tidak hanya
menempatkan hukum tertulis yang memuat aturan dan prinsip dalam perang atau
konflik bersenjata non-perang, tetapi juga mengakui keberadaan HHI Kebiasaan.
Peran HHI Kebiasaan dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan
hidup dianggap masih sangat relevan dan penting untuk tetap ditegakkan, karena
secara luas HHI Kebiasaan diterima dan mengikat semua negara, tanpa perlu
melakukan tindakan ratifikasi terhadap sebuah hukum tertulis. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Dr. Abdul G. Koroma: “it is widely accepted that general
26
Ibid., h.186. 27
Nada Al-Duaji, Environmental Law of Armed Conflict, Disertasi, Pace University
School of Law, New York, Januari 2002, h.175. 28
Afriansyah Arie., Op.Cit h.39.
31
custormary international law binds states that have not persistently and openly
dissented in relation to a rule while that rule was in the process of formation.”29
Suatu study tentang HHI Kebiasaan telah disusun oleh Jean-Marie
Henckaerts dan Louise Doswald-beck dalam sebuah buku berjudul Customary
International Humanitarian Law Volume I memuat aturan-aturan tidak tertulis
HHI yang telah berlaku secara universal. Secara khusus Bab XIV membahas
tentang perlindungan terhadap lingkungan hidup terdiri atas tiga aturan, dimana
diawali oleh ketentuan dalam rule 43 yang mencantumkan bahwa:
“The general principles on the conduct hostilities apply to the
natural environment:
a. No part of the natural environment may be attacked, unless it
is a military objective;
b. Destruction of any part of the natural environment is
prohibited, unless the required by imperative military
necessity;
c. Launching an attack against a military objective which may
be expected to cause incidental damage to the environment
which would be excessive in relation to the concrete and
direct military advantage anticipated is prohibited.”
Rule 43 pada pokoknya memuat tiga prinsip penting yang ingin diatur oleh HHI
Kebiasaan terkait perlindungan terhadap lingkungan hidup, yaitu: pertama the
principle of disctinction;30
kedua destruction of property not justified by military
necessity;31
dan yang ketiga the principle of proportionality.32
Berikut ini adalah
29
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, ed., Customary International Law
Volume I: Rules, Cambridge University Press, New York, h.xix. 30
Keberlakuan the principle of distinction dalam hubungannya dengan lingkungan
hidup telah digariskan dalam Guidelines on the Protection of the Environment in Times of Armed
Conflict. Selain itu, didukung juga oleh military manuals dan official statements, yang kemudian
diadopsi dalam Final Declaration of International Conference for the Protection of War Victims in
1993. 31
Dalam praktek negara-negara terhadap HHI Kebiasaan ini didukung oleh ketentuan
ke-4 dalam Guidelines on the Protection of the Environment in Times of Armed Conflict, yang juga
didukung oleh military manuals, national legislation, dan official statement. Adapun International
Court of Justice (ICJ) dalam distenting opinion terhadap kasus Senjata Nuklir 1996, menyebutkan
bahwa “respect for the environment is one of the elements that go to assessing whether an action
is in conformity with the principle of necessity.”
32
uraian mengenai prinsip-prinsip yang diakui oleh HHI dalam hubungannya
dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
a. Prinsip pembedaan (the principle of distinction)
Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, negara-negara telah
menyatakan persetujuan bahwa hanya obyek militer yang dapat dijadikan target
serangan.33
Namun belum ada definisi secara tegas mengenai “obyek militer”
hingga ditanda-tanganinya Protokol Tambahan I tahun 1977 sebagai perjanjian
multinasional yang secara otoritatif memberikan definisi mengenai obyek militer,
dan dituangkan dalam Pasal 52 ayat (2): “… those objects which by their nature,
location, purpose, or use make an effective contribution to military action and
whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances
ruling at the time, offers a definite military advantage.” Sebagai pelengkap dari
Pasal 52 ayat (2), Pasal 48 Protokol Tambahan I yang bersumber pada prinsip
pembedaan mengatur bahwa: “in order to ensure respect for and protection of the
civilian population and civilian object, the Parties to the conflict shall at all times
distinguish between the civilian population and combatants and between civilian
objects and military objectives and accordingly shall direct their operations only
against military objectives.” Prinsip pembedaan sebagai salah satu asas
fundamental HHI juga merupakan inti legitimasi targeting dan attacking saat
perang berlangsung. Oleh karenanya, prinsip pembedaan menyatakan bahwa
32
Berkaitan dengan penerapan principle of proportionality ICJ dalam distenting opinion
terhadap kasus Senjata Nuklir 1996 menyebutkan bahwa “States must take environmental
considerations into account when assessing what is necessary and proportionate in the pursuit of
legitimate military objective.” 33
Gray D. Solis, The Law of Armed Conflict (International Humanitarian Law in War),
Cambridge University Press, New York, 2010, h.519.
33
hanya obyek militer yang bisa menjadi target serangan, sebaliknya obyek sipil
harus dilindungi oleh semua pihak yang terlibat perang dalam keadaan apapun.
Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup,
pertanyaan mendasar yang perlu untuk dijawab adalah apakah lingkungan hidup
merupakan obyek sipil atau obyek militer? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut
dapat menyimpulkan status lingkungan hidup selama perang berlangsung, dimana
jika lingkungan hidup digolongkan sebagai obyek sipil maka tindakan
penyerangan terhadapnya adalah unlawful act. Namun, jika lingkungan hidup
digolongkan sebagai military objective, maka menargetkan lingkungan hidup
sebagai obyek penyerangan dapat dinyatakan sah. Sehingga akan merujuk pada
bentuk perlindungan serta pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
perang (Infra 2.4.).
b. Prinsip Kebutuhan Militer (the principle of military necessity)
Setiap pihak yang berperang akan melancarkan serangan dengan tujuan
untuk memenangkan pertempuran. Kebutuhan militer adalah salah satu prinsip
HHI yang membenarkan serangan demi mencapai tujuan perang. Prinsip ini
secara sah membenarkan para pihak untuk saling membunuh atau melukai, serta
merusak atau menghancurkan properti milik pihak lain yang terlibat dalam
perang, dengan didasarkan pada kebutuhan militer yang jelas. Meskipun
demikian, para pihak harus tetap tunduk terhadap prinsip-prinsip fundamental
HHI yang lain. Selanjutnya, batasan terhadap tujuan militer yang jelas tersebut
dikemukakan oleh Francis Lieber, seorang ahli yang telah berkontribusi banyak
terhadap hukum perang modern, dimana ia berpendapat bahwa: “military
34
necessity, as understood by modern civilized nations consists in the necessity of
those measures which are indispensable for securing the ends of the war, and
which are lawful according to the modern law and usages of war.34
Lieber
menfokuskan pengertian military necessity sebagai sebuah tindakan yang
berdasarkan pada urgensi untuk segera mengakhiri perang dengan cara
melumpuhkan musuh melalui serangan militer. Pernyataan serupa diikuti oleh
Amerika Serikat dalam mendeskripsikan military necessity, yakni: “…. as the
principle which justifies those measures not forbidden by international law which
are indispensable for securing the complete submission of the enemy as soon as
possible.”35
Rule 43B melarang penghancuran terhadap lingkungan hidup selama
persengketaan berlangsung, ketika lingkungan tidak digunakan sebagai tujuan
militer atau tanpa ada kepentingan militer untuk itu.36
c. Prinsip Proporsionalitas (the principle of proportionality)
Dalam HHI, prinsip proposionalitas memberikan batasan-batasan terhadap
pelaksanaan prinsip kebutuhan militer. Prinsip kebutuhan militer sebagai dasar
yang memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk melakukan penyerangan
dengan mempertimbangkan target, senjata serta manfaat dari penyerangan
terhadap keberlangsungan dan posisi para pihak dalam perang, sementara prinsip
proposionalitas menjaga agar serangan tersebut sebanding dengan keuntungan
militer yang diperoleh.
34
Gary D. Solis, Ibid., h. 258 dikutip dari U.S.War Departement, General Orders
No. 100, 24 April, 1863 (Lieber Code). 35
Gary D. Solis, Ibid., h. 258 dikutip dari Dept. of Army, Field Manual 27-10, The
Law of Land Warfare (Washington: GPO, 1956) para. 3.a., at.4 Bolding supplied. 36
Karen Hulme, Op.Cit., h. 211.
35
Prinsip proporsionalitas secara tersirat dimasukkan dalam bagian
perlindungan terhadap lingkungan hidup, diatur juga dalam Rule 14 HHI
Kebiasaan yang menyebutkan bahwa: “launching an attack which may be
expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilian objects, or a
combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and
direct military advantage anticipated, is prohibited.” Secara terkodifikasi, prinsip
proporsionalitas telah tercantum dalam HHI Tertulis seperti Pasal 51 ayat (5) (b)
juncto Pasal 57 Protokol Tambahan I, Statuta Roma 1998, dan juga Protokol II
serta Amended Protokol II dari Convention on Certain Conventional Weapons.
Baik HHI Tertulis maupun HHI Kebiasaan sama sekali tidak menggunakan
kata “proporsionalitas (proportionality)”, melainkan mencantumkan frasa
“excessive” dalam hubungannya dengan isu dampak sampingan (collateral
damage), yang mengkaitkan antara serangan, sarana dan alat yang digunakan,
serta keuntungan militer yang bisa diantisipasi. Berkaitan dengan frasa
“excessive”, Dinstein berpendapat bahwa:
“… the question that arise is whether the injury to civilian or
damage to civilian objects is excessive compared to the military
advatange anticipated. Many people tend to confuse excessive
and extensive. However, injury/damage to non-combatants can
be exceedingly extensive without being excessive, simply
because military advantage anticipated is of paramount
importance.” 37
Melengkapi pemahaman terkait prinsip-prinsip dalam HHI Kebiasaan, hakim
Mahkamah Internasional melalui Advisory Opinion dalam kasus Senjata Nuklir,
berpendapat bahwa:
37
Gary D. Solis, Loc.Cit., h. 280.
36
“states must take environmental considerations into account
when assessing what is necessary and proportionate in the
pursuit of legitimate military objectives. Respect for the
environment is one of the element that go to assessing whether
an action is in conformity with the principles of necessity and
proportionality.”
Selain prinsip-prinsip yang diuraikan di atas, HHI Kebiasaan melalui Rule
44 dalam HHI Kebiasaan mempertegas kembali tentang penggunaan metode dan
alat perang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Protokol Tambahan, yang
ketentuannya adalah sebagai berikut:
“Methods and means of warfare must be employed with due regard
to the protection and preservation of the natural environment. In
the conduct of military operation, all feasible precautions must be
taken to avoid, and in any event to minimise, incidental damage to
the environment. Lack of scientific certainy as to the effects on the
environment of certain military operations does not absolve a party
to the conflict from taking such precautions.”
Bagian terakhir dari Chapter 14 tentang Natural Environment, memuat Rule 45
yang juga mempertegas larangan untuk menggunakan lingkungan hidup sebagai
senjata dalam perang, sebagaimana yang diatur dalam Konvensi ENMOD.
Adapun isi ketentuan Rule 45 adalah sebagai berikut: “The use of methods or
means of warfare that are intended, or may be expected, to cause widespread,
long-term, and severe damage to the natural environment is prohibited.
Destruction of the natural environment may not be used as a weapon.”
Keseluruhan ketentuan dalam HHI Kebiasaan ini telah menjadi praktik di
negara-negara, baik saat perang terjadi maupun saat konflik bersenjata non-
perang.38
38
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, Ibid., h.143.
37
2.4. Status Lingkungan Hidup Selama Perang
2.4.1. Lingkungan hidup sebagai obyek sipil dan obyek militer
Perang Teluk 1990-1991 mencatatkan sejarah buruk perlindungan terhadap
lingkungan hidup saat konflik bersenjata. Pembakaran ratusan sumur minyak serta
sumber daya alam lainnya, merupakan salah satu strategi perang Irak, yang
dilakukan atas komando Saddam Husein. Dilaporkan bahwa Irak membakar 80-
85% dari 950 sumur minyak milik Kuwait, yang mengakibatkan pelepasan panas
yang setara dengan 86 miliar watt, serta ekuivalen dengan 202.5 hektar hutan
yang terbakar.39
Dalam hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa minyak bumi menjadi salah satu
sumber daya alam yang dapat mendukung aktivitas militer, dimana sumber daya
alam beserta bahan mineral lainnya digolongkan sebagai bagian dari lingkungan
hidup. L.C.Green dalam tulisannya “The Environment and Law of Conventional
Warfare” menyimpulkan bahwa dengan mengabaikan kegunaan untuk warga
sipil, pada faktanya minyak bumi adalah infrastruktur industri militer, yang secara
terbuka dapat dihancurkan oleh para pihak yang terlibat dalam perang sebagai
obyek militer yang sah (legitimate military objective).40
Meskipun demikian,
rasionalisasi yang dibangun terkait penyerangan terhadap sumur minyak Kuwait
tidak hanya berpusat pada legitimasi obyek, tetapi juga pada dua hal, yakni
efektivitas kontribusi yang diberikan oleh sumur minyak tersebut serta
39
Nada Al-Duaji, Op.Cit., h. 3. 40
Yoram Disetein I, Op.Cit., h. 95.
38
keuntungan militer yang secara definitif yang diperoleh dengan penyerangan
terhadapnya.
J.H. McNeill mengatakan bahwa “even if the oil wells constituted military
objective in the circumstances prevailing at the time, and there was limited
military advantage in the smoke screen reducing visibility, the Iraqi action was
subject to the application of the principle of proportionality.”41
Lebih lanjut ia
kemudian mempertanyakan keuntungan militer dari penyerangan tersebut yang
secara pasti telah diperoleh Irak. Pada faktanya, penyerangan tersebut tidak
dibarengi dengan kebutuhan militer yang jelas, sehingga tidak berdampak banyak
terhadap operasi militer Irak secara keseluruhan. Malahan serangan oleh Irak
mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup secara meluas (menjangkau negara-
negara), berjangka panjang dan dapat dikatakan dahsyat karena berdampak pula
pada kesehatan manusia. Dengan demikian, penyerangan tersebut terindikasi
sebagai pelanggaran berat terhadap Statuta Roma 1998 (belum ada putusan
hukum yang sah dan mengikat). Meskipun akhirnya, dengan berbagai
pertimbangan dan alasan pelaku kejahatan tidak bisa ditindaklanjuti melalui
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
Perang Teluk 1990-1991 membuktikan adanya ambiguitas pemahaman
status lingkungan hidup selama perang. Perang tersebut dapat dikatakan pula
sebagai contoh nyata terjadinya perusakan terhadap lingkungan hidup sebagai
salah satu bentuk dari taktik militer.42
Oleh karenanya, penulis berpendapat bahwa
status lingkungan hidup selama perang berlangsung adalah hal krusial yang perlu
41
Ibid., h. 192. 42
Meshari K. Eifan, Head of State Criminal Responsibility for Environmental War
Crimes: Case Study: The Arabian Gulf Armed Conflict 1990-1991, Disertasi, Pace University
School of Law, New York, Oktober 2007, h. 21.
39
dijawab dalam rangka untuk menyempurnakan perlindungan terhadapnya.
Kesalahan pemahaman terkait status lingkungan hidup akan mengakibatkan
pengabaian maupun kesengajaan untuk menjadikan lingkungan hidup sebagai
obyek sasaran dalam perang.
Sebelum menjawab status lingkungan hidup dalam perang, pertanyaan kritis
yang perlu dianalisis adalah apakah lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai
sebuah obyek? Oxford Dictionary memberikan pengertian bahwa obyek (object)
adalah “a thing that can be seen and touched, but is not alive.”43
Sementara itu,
lingkungan (environment) diartikan sebagai the natural world in which people,
animals, and plants live.”44
Definisi yang diberikan oleh Oxford tentang obyek
maupun lingkungan rupanya kontradiktif dengan pengertian lingkungan hidup
yang diberikan oleh Deklarasi Stockholm maupun bagian Komentar Protokol
Tambahan I, bahwa pemahaman lingkungan hidup adalah sesautu yang lebih luas,
termasuk di dalamnya komponen biotik, diantaranya flora dan fauna.
Meskipun demikian, Black’s Law Dictionary memiliki pengertian yang
lebih luas tentang definisi obyek, yakni: “object is anything which comes within
the cognizance or scrutiny of the senses, especially anything tangible or visible.
Or, that which is perceived, known, thought of, or signified that toward which a
cognitive act is directed.”45
Penekanannya ada pada apapun yang ada disekeliling
kita, yang bisa dilihat atau disentuh, dan tentu saja didasarkan pada pemikiran
alami bahwa sesuatu disebut sebagai obyek. Mengacu pada definisi yang
diberikan oleh Black’s Law Dictionary, tidak heran jika dalam lingkup hukum
43
Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary 6th Ed, Oxford University
Press, New York, 2000, h. 872. 44
Ibid., h. 421. 45
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ST. Paul Minn, West Publishing
Co., 1968 (selanjutnya disingkat Henry C. Black I) , h. 1222.
40
internasional maupun HHI, lingkungan hidup dimaknai secara luas dan
digolongkan sebagai sebuah obyek (Supra 2.2.).
Secara universal, lingkungan hidup dapat dianggap sebagai obyek sipil
(civilian object), dimana dengan mengidentifikasi susunan norma-norma dalam
HHI, penulis mendapati bahwa lingkungan hidup ditempatkan sebagai bagian dari
obyek sipil dengan maksud untuk dilindungi selama perang berlangsung. Protokol
Tambahan I adalah aturan HHI yang pertama kali secara spesifik memberikan
perlindungan kepada lingkungan hidup selama konflik bersenjata, dimana Pasal
55 yang memuat tentang proteksi terhadap lingkungan hidup terklasifikasi dalam
Bab III, Sub-bab I, Bagian IV tentang Civilian Object. Secara implisit dapat
diketahui dengan mudah bahwa lingkungan hidup adalah bagian yang dilindungi
oleh HHI sebagai obyek sipil.
Norma terkait proteksi lingkungan hidup tersebut bersumber dari prinsip
pembedaan, yang menegaskan agar penyerangan hanya ditargetkan pada obyek
yang terklasifikasi sebagai obyek militer. Meskipun demikian, menurut hemat
penulis, ada dua alasan lain yang dibenarkan oleh HHI, sehingga lingkungan
hidup sebagai obyek sipil dapat menjadi obyek militer yang secara sah dapat
diserang.
Alasan pertama adalah status lingkungan hidup sebagai obyek sipil telah
berubah menjadi obyek militer karena memenuhi kriteria dalam ketentuan Pasal
52 ayat (2) Protokol Tambahan I tentang definisi obyek militer. Penjabaran
definisi tentang obyek militer dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I
mencantumkan dua kriteria utama agar suatu obyek dapat terklasifikasi sebagai
obyek militer, yakni (1) kontribusi efektif; (2) keuntungan militer. Kriteria
41
pertama mengharuskan pembuktiaan tentang kontribusi efektif yang diberikan
oleh sebuah obyek kepada pihak musuh (defender). Sedangkan kriteria kedua
berkaitan dengan seberapa signifikan keuntungan militer yang diperoleh dari
serangan tersebut. Ian Henderson berpendapat bahwa sebuah obyek tidak bisa
dikategorikan sebagai obyek militer apabila dengan menghancurkan sebagian atau
seluruh obyek tersebut, tidak memberikan keuntungan militer pada waktu
serangan bergulir.46
Hal tersebut didukung pula oleh Commentary yang disusun oleh sejumlah
negara yang menandatangani Protokol Tambahan I, dimana disebutkan bahwa
‘spesific area of land’ dapat digolongkan sebagai obyek militer jika area tersebut
memenuhi kualifikasi sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Tambahan I.47
Referensi selanjutnya yang bisa menjadi acuan adalah ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (4) Protokol III Convention on Certain Conventional Weapons, yang
menyebutkan bahwa: “it is prohibited to make forest or other kinds of plant cover
the object of attack by incendiary weapons except when such natural elements are
used to cover, conceal or camouflage combatants or other military objectives, or
are themselves military objectives.” Secara implisit, dibenarkan bahwa jika
lingkungan hidup (dalam hal ini merujuk pada hutan, tanaman atau elemen alam
lainnya) dalam keadaan tertentu berubah baik sifat dasarnya, lokasinya, tujuan
atau penggunaannya, dan memberikan kontribusi yang efektif serta menawarkan
keuntungan militer yang definitif, maka lingkungan hidup dapat dikatakan
legitimate untuk diserang sebagai obyek militer.
46
Ian Henderson, The Contemporary Law of Targeting: Military Objective,
Proportionality and Precautions in Attack under Additional Protocol I, Martinus Nijhoff
Publisher, Leiden/Boston, 2009, h. 51-52. 47
Karen Hulme, Op.Cit.,h. 209.
42
Alasan kedua adalah penyerangan terhadap lingkungan hidup dibenarkan
karena suatu kebutuhan militer. Rule 43B HHI Kebiasaan menyebutkan bahwa:
“desctruction of any part of natural environment is prohibited, unless required by
imperative military necessity.” Pada bagian HHI Kebiasaan (Infra 2.3.2.b) penulis
telah memaparkan pemahaman tentang prinsip kebutuhan militer beserta prinsip-
prinsip fundamental lainnya yang menjadi batasan serta acuan para pihak
(belligerent) dalam melancarkan serangan. Kasus penyerangan Irak dalam Perang
1990-1991 tidak mampu memberikan argumentasi terkait kebutuhan militer yang
jelas untuk itu, sehingga penyerangan terhadap lingkungan hidup dianggap
sebagai suatu pelanggaran berat (grave breaches) terhadap HHI Tertulis dan HHI
Kebiasaan. Sebagai salah satu prinsip fundamental HHI, prinsip kebutuhan
membenarkan para pihak untuk melaksanakan operasi militer yang bisa
melumpuhkan musuh, sekalipun harus menyerang lingkungan hidup baik secara
langsung maupun sebagai dampak sampingan (collateral damage). Namun,
keabsahan penyerangan tersebut harus tetap tunduk pada prinsip proporsionalitas,
dimana kerusakan lingkungan haruslah sebanding dengan kebutuhan maupun
keuntungan militer yang diperoleh saat itu.
2.4.2. Penerapan prinsip proporsionalitas dalam hubungannya dengan
kerusakan sampingan (collateral damage)
Prinsip proporsionalitas sangat penting dalam menegakkan HHI dan
membangun argumentasi yang rasional dan logis dalam bertanggung jawab atas
sebuah serangan. Sayangnya, tidak ada satu pun kaidah dalam HHI yang secara
spesifik memuat penjabaran makna proporsional, serta batasan-batasan sebagai
43
tolak ukurnya. Sehingga, berbagai pihak menilai bahwa penerapan prinsip
proporsionalitas masih ambigu dan tidak jelas. Ketiadaan norma pembatas sebagai
acuan penilaian proporsionalitas menjadi sebuah masalah baru tatkala dalih-dalih
kebutuhan militer menyebabkan para pihak melancarkan serangan yang membawa
kehancuran, kerusakan serta kerugian bahkan kepada bagian-bagian lain yang
sebenarnya bukan menjadi obyek serangan.
Menyimpulkan dari uraian tentang prinsip-prinsip yang dianut dalam HHI
Kebiasaan (Supra 2.3.2), penerapan prinsip proporsionalitas diawali dengan
penerapan prinsip pembedaan dan/atau prinsip kebutuhan militer. Pertama-tama
penyerang harus memastikan kategori obyek serangan, apakah bagian dari obyek
sipil atau obyek militer.
Secara teoritis, lingkungan hidup berstatus obyek sipil, yang dalam keadaan
tertentu dapat berubah status sebagai obyek militer (Supra 2.4.1.). Dalam hal,
lingkungan hidup telah berubah statusnya menjadi obyek militer, maka dengan
asumsi hukum dapat dinyatakan bahwa lingkungan hidup telah dianggap sebagai
obyek serangan yang sah. Isu proporsional atau tidaknya suatu serangan menjadi
tidak relevan, apabila penyerangan dilancarkan terhadap obyek yang terlegitimasi
sebagai obyek militer dan tidak mengakibatkan adanya korban sipil maupun
kerusakan properti dan lingkungan hidup.48
Namun, jika status lingkungan hidup masih dipastikan sebagai obyek sipil,
penyerangan terhadapnya mensyaratkan adanya suatu kebutuhan militer yang
konkrit dan langsung. Adanya alasan kebutuhan militer tidak menjadi alasan bagi
penyerang untuk melancarkan serangan tanpa memperhatikan dampak bagi warga
48
Gary D. Solis, Op.Cit., h. 280.
44
sipil, maupun obyek sipil lainnya yang ada di sekeliling obyek serangan.
Berkaitan dengan itu pula, kebutuhan militer yang didasarkan pada status
lingkungan hidup sebagai obyek militer yang sah tidak dapat membenarkan
serangan dengan akibat kehancuran yang tidak proporsional jika dibandingkan
dengan tujuan serangan.
Kehadiran prinsip proporsionalitas selalu berhubungan dengan isu collateral
damage, sebagai akibat yang tidak bisa dihindari dalam melakukan penyerangan.
Maksud dari tidak bisa dihindari adalah penyerang harus berusaha dan melakukan
segala cara yang bisa dilakukan untuk menghindari adanya dampak sampingan.
Sehingga, dampak sampingan yang muncul adalah sesuatu yang bersifat tidak
dapat diduga sebelumnya. Henderson berpendapat bahwa pada dasarnya prinsip
proposionalitas membenarkan serangan yang berakibat kerugian sampingan,
namun ketika kerugian sampingan tersebut dapat dihindari, serangan secara
sengaja yang menghasilkan dampak sampingan yang ‘proporsional’ dianggap
bertentangan dengan prinsip proporsionalitas.49
Ketiadaan norma HHI yang secara komprehensif menjawab batasan
proposionalitas sebuah serangan, memaksa kita untuk menggantungkan
pemaknaannya terhadap alasan-alasan yang menggunakan logika berpikir
universal atau common sense. Namun pada faktanya, penerapan prinsip
proporsionalitas lebih mudah untuk dijelaskan secara teoritis daripada
menerapkannya dalam praktik nyata. Secara sederhana, penerapan prinsip
proporsionalitas adalah sebuah keputusan terhadap pilihan-pilihan sebagai usaha
menghindari atau meminimalisasi adanya korban sipil dan/atau kerusakan
49
Ian Henderson, Op.Cit., h.198.
45
terhadap obyek sipil. Hal ini sejalan dengan kaidah HHI dalam Pasal 57 Protokol
Tambahan I, dimana mewajibkan setiap pihak yang terlibat dalam konflik
bersenjata untuk melakukan semua tindakan pencegahan yang diperlukan dalam
hal mengimplementasikan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas.
Adapun dalam melancarkan serangan, implementasi keduanya harus
memperhatikan hal-hal seperti, status dari target serangan, cara, metode dan alat,
arah dan waktu serangan, serta hal-hal lain yang memungkinkan adanya korban
atau kerugian melebihi tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah serangan secara
spesifik.
Sehingga, keadaan dimana lingkungan hidup terkena dampak sampingan
dari sebuah penyerangan yang tidak ditujukan terhadapnya, dan segala cara
pencegahan telah dilakukan untuk meniadakan atau meminimalisasi kerusakan
telah dilakukan oleh penyerang, dianggap sebagai lawful attack dan diistilah
dengan collateral damage.
Pada dasarnya, kerusakan lingkungan sebagai akibat sampingan tidak dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan HHI,
sebagaimana yang tercantum pada ayat-ayat dalam Pasal 8 (2) (b) Statuta Roma.
Element of crime dari Pasal 8 (2) (b) (iv) tentang war crime of excessive incidental
death, injury, or damage mensyaratkan “pengetahuan (knowing)” dan “kesadaran
(awareness)” dari penyerang atas serangan yang mengakibatkan kerusakan
meluas, berjangka panjang dan dahsyat bagi lingkungan hidup, dimana kerusakan
tersebut juga berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang
didapatkan. Menghubungkan konsep collateral damage yang sudah dibahas
sebelumnya, dimana tidak ada unsur kesadaran apalagi pengetahuan bahwa akan
46
ada dampak kepada lingkungan hidup, maka dapat disimpulkan bahwa kerusakan
lingkungan yang dilakukan tanpa maksud untuk itu, meskipun dalam konteks
konflik bersenjata internasional, tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran
serius (serious violation) di bawah Statuta Roma 1998.
Disisi lain, Pasal 55 Protokol Tambahan I yang juga memuat norma HHI
tentang perlindungan terhadap lingkungan hidup, selain mensyaratkan adanya
“intention” sebagai salah satu unsur pembentuk kesalahan, pasal ini juga
mengamanatkan bahwa kerusakan lingkungan hidup bisa saja diperkirakan
sebelumnya, meskipun tidak diketahui atau dimaksudkan untuk itu. Sehingga,
adanya tuntutan yang lebih mendalam bahwa penyerang harus sudah bisa
memperkirakan adanya kerusakan lingkugan hidup yang bisa terjadi akibat
serangan tersebut. Jika tidak ada langkah-langkah yang ditempuh untuk
memperkirakan kerusakan lingkungan hidup maupun untuk mengetahui akan
adanya kerusakan akibat serangan, dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma
dalam Protokol Tambahan I. Dalam hal ini, sekalipun tidak ada niat namun pihak
yang melancarkan serangan dapat dimintai pertanggungjawaban jika suatu
serangan berdampak tidak proporsional terhadap lingkungan hidup.
Sekalipun Statuta Roma 1998 terkesan meloloskan suatu perbuatan yang
mencederai lingkungan hidup tanpa sengaja, namun Pasal 55 Protokol Tambahan
I mendistribusikan perlindungan yang akurat terhadap lingkungan hidup dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian (duty of care). Sehingga, penulis bisa
menyimpulkan bahwa melalui instrumen hukum dalam HHI, keberlangsungan
lingkungan hidup dalam keadaan perang sekalipun dapat tetap terjaga selama para
pihak yang terlibat dalam perang mematuhi prinsip dan norma HHI.