39
12 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa juga disebut dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia 12 bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child. Usia balita merupakan sebuah periode penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak (Febry, 2008). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya herediter, lingkungan, budaya dalam lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain (Aziz, 2006 dalam Nurjannah, 2013). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

12

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Konsep Balita

Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa juga disebut

dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia 12

bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa

seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak usia 3

sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child. Usia balita

merupakan sebuah periode penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan

seorang anak (Febry, 2008).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan balita merupakan

usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses

pertumbuhan dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun

lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya herediter, lingkungan, budaya

dalam lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain (Aziz,

2006 dalam Nurjannah, 2013). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010),

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah

(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua

untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.

Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan

lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

13

kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa

tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak

akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.

Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan kelompok

usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di

lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak

yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh

kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang

akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa,

kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan

merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004).

Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu

periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai

dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu

usia 12-60 bulan.

B. Konsep Stunting

Stunting atau malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan

pertumbuhan. Definisi lain menyebutkan bahwa pendek dan sangat pendek

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

14

(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah

stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Menurut Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar

Antropometri Penilaian Status Gizi Anak ,pengertian pendek dan sangat pendek

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang badan menurut umur

(PB/U) atau Tinggi Badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah

Stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

Balita pendek ( stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang

atau tinggi badan nya, lalu dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada

dibawah normal. Balita penpek adalah balita dengan status gizi yang

berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan

dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth reference Study) tahun

2005, nilai z- scorenya kurang dari -2SD dan dikatagorikan sangat pendek jika

nilai z-Scorenya kurang dari -3SD.

Satu dari tiga anak di negara berkembang dan miskin mengalami stunted, dengan

jumlah kejadian tertinggi berada di kawasan Asia Selatan yang mencapai 46 %

disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38 %, sedangkan secara keseluruhan

angka kejadian stunted diNegara miskin dan berkembang mencapai 32 %.

Stunting ini disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam

jangka waktu yang lama dan frekuensi menderita penyakit infeksi. Akibat dari

stunting ini meliputi perkembangan motorik yang lambat, mengurangi fungsi

kognitif, dan menurunkan daya berpikir.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

15

Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah 5 tahun mengalami

stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan

memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak di

bawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2013). Hasil Riskesdas

2007 menunjukkan angka kejadian stunting secara nasional sebesar 36,7 % yang

berarti 1 dari 3 anak d ibawah 5 tahun mengalami stunted. Meskipun telah terjadi

penurunan angka kejadian stunting yaitu Riskesdas tahun 2013 sebanyak 37 %

menurun menjadi 30,8 % pada tahun 2018, namun dibeberapa Provinsi di

Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka

kejadian stunting.

Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan

pertambahan umur. Berbeda dengan berat badan, maka tinggi badan tidak banyak

terpengaruh oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu

merupakan hasil pertumbuhan secara komulatif semenjak lahir, dan karena itu

memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Indeks TB/U juga sangat

tergantung pada ketepatan umur. Ukuran Tinggi Badan digunakan untuk anak

umur diatas 24 bulan yang diukur berdiri. Bila anak berumur lebih dari 24 bulan

diukur terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7

cm. Sedangkan Panjang badan digunakan untuk anak umur 0- 24 bulan yang

diukur terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur berdiri maka hasil

pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Menurut WHO (Z score)

bila Tinggi badan atau panjang badan menurut umur <-3 SD maka dikategorikan

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

16

sangat pendek, -3 SD sampai dengan <-2 SD dikategorikan pendek, -2 SD sampai

dengan 2 SD dikategorikan normal, dan bila > 2 SD maka dikategorikan Tinggi.

(Kemenkes ,2010) .

Stunting disebabkan oleh multifaktor yaitu mencakup pendidikan ibu,status

ekonomi, tinggi badan ibu, pola asuh, usia balita, Pemberian ASI Eksklusif,

kelengkapan imunisasi, BBLR, asupan energi, asupan protein, riwayat penyakit

infeksi, dan makanan pendamping ASI. Berikut adalah urain faktor–faktor

penyebab stunting :

1) Pendidikan Ibu

Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting

yang dilakukan di Kenya memberikan hasil bahwa anak-anak yang dilahirkan dari

ibu yang berpendidikan beresiko lebih kecil untuk mengalami malnutrisi yang

dimanifestasikan sebagai wasting atau stunting daripada anak-anak yang

dilahirkan dari ibu yang tidak berpendidikan. Hasil yang sama juga diperlihatkan

dari hasil penelitian yang dilakukan di Mesir, dimana semakin tinggi tingkat

pendidikan ibu, resiko anak yang dilahirkan stunted semakin kecil.

Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi . Orang

dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam menerima

informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan kurang. Informasi tersebut di

jadikan bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam kehidupan sehari hari.

Pendidikan ibu mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya masalah

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

17

gizi pada balita. Seorang ibu dapat menentukan bagaimana pola asuh yang akan

dipilihnya.

Beberapa peneliti banyak menemukan bahwa pendidikan ibu mempunyai peran

yang penting dalam mengurangi prevalensi masalah Gizi. (Rahma dkk,2009).

Penelitian yang dilakukan Khoirun Ni’mah dan Siti rahayu Nadhiroh tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita

mendapatkan hasil tidak menunjukan hubungan yang signifikan antara

pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada balita (p=0,32). Sedangkan

pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting

pada anak balita (p=0,029) dengan OR sebesar 3,378. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramli, et al. (2009) di Maluku dimana

pendidikan ayah tidak berhubungan dengan stunting sedangkan pendidikan ibu

berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada anak balita. Hal ini

bisa disebabkan karena perah pengasuhan lebih besar dilakukan oleh ibu

sedangkan ayah lebih banyak bekerja sehingga waktu dengan anaknya akan lebih

berkurang. Penelitian di Kamboja oleh Ikeda, et al. (2013), dan Tiwari, et al.

(2014) di Nepal juga menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor

resiko kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun. Ibu dengan pendidikan

tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak

serta mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih (Taguri, et

al., 2007). Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi

dapat melakukan perawatan anak lebih baik dari pada orang tua dengan

pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

18

seorang ibu dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan.

Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap

masalah gizi didalam keluarga dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang

tepat sesegera mungkin.

2) Status Ekonomi

Pendapatan dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai hasil berupa uang atau hal

materi lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa manusia bebas.

Sedangkan pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan dari setiap anggota

rumah tangga dalam bentuk uang atau natura yang diperoleh baik sebagai gaji

atau upah usaha rumah tangga atau sumber lain. Kondisi seseorang dapat diukur

dengan menggunakan konsep pendapatan yang menunjukkan jumlah seluruh uang

yang diterima oleh seseorang atau rumah tanggaselama jangka waktu tertentu.

(Samuelson & Nordhaus, 2002).

Pendapatan adalah penerimaan bersih seseorang, baik berupa uang kontan

maupun natura. Pendapatan atau juga disebut juga income dari seorang warga

masyarakat adalah hasil penjualannya dari faktor-faktor produksi yang

dimilikinya pada sektor produksi. Dan sektor produksi ini membeli faktor-faktor

produksi tersebut untuk digunakan sebagai input proses produksi dengan harga

yang berlaku dipasar faktor produksi. Harga faktor produksi dipasar faktor

produksi (seperti halnya juga untuk barang-barang dipasar barang) ditentukan oleh

tarik menarik, antara penawaran dan permintaan. Balita yang berasal dari status

ekonomi rendah lebih banyak mengalami stunting dibandingkan balita dari

keluarga dengan status ekonomi tinggi. Cara statistik hasil penelitian dari Zilda

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

19

Oktarina dan Trini Sudiarti tentang faktor risiko stunting pada balita 24-59 bulan

di Sumatra menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi

keluarga dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang berasal dari keluarga

dengan status ekonomi rendah 1,29 kali beresiko mengalami stunting

dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Temuan

ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya

hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada balita.

Status ekonomi keluarga memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian stunting

(Hong, 2007). Status ekonomi keluarga yang lebih rendah cenderung memiliki

anak stunting (Lee et al, 2010).

3) Tinggi Badan Ibu

Tinggi badan dapat ukur dari alas kaki ke titik tertinggi pada posisi tegak.

Menurut Barry L. Johnson (1979: 166) yang dikutip oleh Murtiantmo wibowo adi

(2008:32) berpendapat bahwa tinggi badan merupakan ukuran posisi tubuh berdiri

(vertical) dengan kaki menempel pada lantai, posisi kepala dan leher tegak,

pandangan rata-rata air, dada dibusungkan, perut datar dan tarik nafas beberapa

saat. Menurut Wahyudi (2011: 1) yang dikutip Catur baharudin (2007: 7)

berpendapat bahwa tinggi badan diukur dalam posisi berdiri sikap sempurna tanpa

alas kaki. Dari penelitian Enny Fitrihadi tentang hubungan tinggi badan ibu

dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan didapatkan hasil secara

statistik bahwa tinggi badan ibu berhubungan dengan stunting, hal ini dibuktikan

dengan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara tinggi badan ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan.

Menurut penelitian Amin (2014) bahwa hasil uji bivariat menunjukkan bahwa

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

20

tinggi badan ibu (p=0,01) menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan

terhadap kejadian stunting. Hasil uji multivariat pun membuktikan bahwa variabel

yang paling berpengaruh dengan stunting adalah tinggi badan ibu.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Zottarelli (2014) di Mesir bahwa ibu

yang memiliki tinggi badan < 150 cm lebih beresiko memiliki anak stunting

dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan > 150 cm. Tinggi badan orang tua

berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek merupakan salah

satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting (Zottarelli, 2014). Hasil

ini sejalan dengan penelitian di Tanggerang yang menunjukkan bahwa anak yang

dilahirkan dari ibu atau ayah pendek beresiko menjadi stunting. Salah satu atau

kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon

pertumbuhan) memiliki gen dalam kromoson yang membawa sifat pendek

sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi

stunting. Akan tetapi bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau

penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama

anak tersebut tidak terpapar faktor resiko lain (Rahayu, 2011).

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh

Kartikawati (2011) yang menyatakan bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi

badan berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita. Tetapi hal ini tidak

berlaku apabila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah gizi atau

patologis yang dialami orang tua. Sehingga hal tersebut tidak akan berpengaruh

terhadap tinggi badan anak.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

21

4) Pola Asuh

Pengertian Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi

pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan

psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan lain-lain), serta

sosialisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras

dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi

orang tua dengan anak dalam pendidikan karakter anak (Latifah,2008). Pola asuh

menurut Handayani (2008) adalah konsep dasar tentang cara memperlakukan

anak. Perbedaan dalam konsep ini adalah ketika anak dilihat sebagai sosok yang

sedang berkembang, maka konsep pengasuhan yang diberikan adalah konsep

psikologi perkembangan. Ketika konsep pengasuhan mempertahankan cara-cara

yang tertanam di dalam masyarakat maka konsep yang digunakan adalah

tradisional.

Menurut Nurani (2004) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan

pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku

inidapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar

bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada

anak dan memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan

seluruh anggota keluarga. Sementara pola asuh menurut Baumrind (dalam

Papalia, 2008) orang tua tidak boleh menghukum anak, tetapi sebagai gantinya

orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih

sayang kepada anak. Orang tua melakukan penyesuaian perilaku mereka terhadap

anak, yang didasarkan atas perkembangan anak karena setiap anak memiliki

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

22

kebutuhan dan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Dari Uraian diatas

dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dengan

anak meliputi cara orang tua memberikan aturan, hukuman, kasih sayang serta

memberikan perhatian kepada anak.

Dimensi pola asuh Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola asuh

terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu:

1. Parental responsiveness

Orang tua bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak. Orang tua

dan anak terlibat secara emosi dan menghabiskan waktu bersama dengan anak.

2. Parental demanding

Orangtua memberikan kontrol terhadap anak mereka. Orang tua menggunakan

hukuman untuk dengan tujuan untuk mengontrol anak mereka. Orang tua bersikap

menuntut dan memaksa anak dan orang tua akan memberikan aturan kepada an ak

ketika anak tidak memenuhi tuntutan dari orang tua.

Aspek-aspek Pola Asuh Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola

asuh terbagi beberapa aspek, yaitu:

a. Warmth

Orang tua menunjukkan kasih sayang kepada anak, adanya keterlibatan emosi

antara orang tua dan anak serta menyediakan waktu bersama anak. Orang tua

membantu anak untuk mengidentifikasi dan membedakan situasi ketika

memberikan atau me ngajarkan perilaku yang tepat

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

23

b. Control

Orang tua menerapkan cara berdisiplin kepada anak, memberikan beberapa

tuntutan atau aturan serta mengontrol aktifitas anak, menyediakan beberapa

standar yang dijalankan atau dilakukan secara konsisten, berkomunikasi satu arah

dan percaya bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh kedisiplinan.

a. Communication

Orang tua menjelaskan kepada anak mengenai standar atau aturan serta pemberian

reward atau punish yang dilakukan kepada anak. Orang tua juga mendorong anak

untuk bertanya jika anak tidak memahami atau setuju dengan standar atau at uran

tersebut.

Dalam penelitian yang dilaksanakan Rahmayana dkk tentang hubungan pola asuh

dengan kejadian stunting didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara

perhatian atau dukungan ibu terhadap anak dalam praktik pemberian makan

dengan kejadian stunting dengan nilai p=0,007 < (α=0,05). Hal ini di tunjang

dengan penelitian yang dilakukan Brigitte Sarah Renyoet dkk yang mendapatkan

hasil adanya hubungan yang signifikan antara perhatian/dukungan ibu terhadap

anak dalam praktik pemberian makanan, persiapan dan penyimpanan dengan

pertumpuhan panjang badan anak dan kejadian stunting. Penelitian lain dilakukan

oleh Cristin Debora Nabuasa dkk juga menunjukkan hasil ada hubungan yang

bermakna antara riwayat pola asuh terhadap kejadian stunting dengan nilai OR

atau kekuatan hubungan sebesar 14,5 kali. Hal ini berarti anak yang memiliki

riwayat pola asuh kurang mempunyai resiko terhadap stunting sebesar 14,5 kali

dibandingkan anak yang mempunyai riwayat pola asuh baik.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

24

5) ASI Eksklusif

ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya

diberi ASIsaja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air

teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat sepert i pisang, pepaya, bubur

susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan

untuk jangka waktu seti daknya selama 4 bulan, namun rekomendasi terbaru

UNICEF bersama World Health Asssembly (WHA) dan banyak Negara lainnya

adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Bayi

sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan sampai usia 6 bulan.

Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat menggangu

pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Tidak

ada bukti yang memperlihatkan bahwa pemberian makanan padat atau tambahan

pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Hasil penelitian Choirun Ni’mah

dkk menunjukkan terdapat hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan

kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. Hasil ini sejalan dengan penelitian

Arifin (2012) dan Fikadu, et al (2014) di Etiopia Selatan yang menunjukkan

bahwa balita yang tidak diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama memiliki

resiko yang lebih besar terhadap kejadian stunting.

6) Kelengkapan Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk memberikan kekebalan terhadap seseorang

secara aktif terhadap penyakit menular. Imunisasi adalah suatu cara untuk

meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen sehingga

bila kelak ia terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi penyakit.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

25

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk menurunkan angka kesakitan,

kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang menunjukkan bahwa Anak yang tidak

memiliki riwayat imunisasi memiliki peluang mengalami stunting lebih besar

dibandingkan anak yang memiliki riwayat imunisasi. Anak yang tidak memiliki

riwayat imunisasi memiliki peluang menjadi stunting sebesar 1,983 kali. Penelian

lain juga menunjukkan bahwa kelengkapan imunisasi berpengaruh signifikan

terhadap stunting.

Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau dapat

melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk

vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang

digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin

atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah dilemahkan

atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem kekebalan

tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan melawan

infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika menyerang tubuh

kita di kemudian hari.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dandara Swathma dkk menunjukkan

hasil besar resiko riwayat imunisasi dasar terhadap kejadian stunting diperoleh

OR sebesar 6,044 kali. Artinya balita dengan riwayat imunisasi dasar tidak

lengkap mempunyai resiko mengalami stunting 6,044 kali lebih besar

dibandingkan dengan balita yang memiliki riwayat imunisasi dasar lengkap.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

26

7) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Berat bayi lahir rendah (BBLR) diartikan sebagai berat bayi ketika lahir kurang

dari 2500 gram dengan batas atas 2499 gram. (WHO). Banyak faktor yang

mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama masa

kehamilan. Berat badan ibu kurang dari 50 kg, keluarga yang tidak harmonis

termasuk didalamnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dan tidak adanya.

dukungan dari keluarga selama masa kehamilan, gizi ibu buruk terutama selama

masa kehamilan, kenaikan berat badan selama kehamilan kurang dari 7 kg, infeksi

kronik, tekanan darah tinggi selama kehamilan, kadar gula darah ibu tinggi selama

kehamilan, merokok, alcohol, dan genetic merupakan beberapa faktor penyebab

bayi yang dilahirkan BBLR. Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang banyak terjadi di Negara-negara miskin dan

berkembang. Diperkirakan 15 % dari seluruh bayi yang dilahirkan merupakan

bayi dengan berat lahir rendah. Berat bayi lahir rendah erat kaitannya dengan

mortalitas dan morbiditas janin dan bayi, penghambat pertumbuhan dan

perkembangan kognitif dan penyakit kronik ketika menginjak usia dewasa seperti

diabetes tipe 2, hipertensi, dan jantung. Kelompok BBLR menunjukan angka

kematian dan angka kesakitan yang tinggi.

Dari penelitian Darwin Nasution dkk menunjukkan hasil nilai OR=5,60 (95%

CI:2,27-15,70), artinya pada tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa

anak yang lahir dengan BBLR mempunyai resiko 5,6 kali lebih besar untuk

menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan

normal. Pada penelitian Zilda Oktarina dan Trini Sudiarti mengatakan ditemukan

Page 16: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

27

hubungan antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang

memiliki berat lahir kurang mempunyai resiko 1,31 kali mengalami stunting

dibandingkan dengan balita berat lahir normal. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Velera at al. 2009 yang dilaksanakan di pulau Sulawesi juga

menunjukkan bahwa anak dengan berat badan lahir kurang dari 3000 gram

memiliki resiko menjadi stunting 1,3 kali dibandingkan anak berat lahir lebih dari

atau sama dengan 3000gram (Simanjuntak, 2011).

8) Asupan Energi

Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang terkandung

didalam makanan yang dimakan. Dikenal dua jenis nutrisi yaitu makronutrisi dan

mikronutrisi. Makronutrisi merupakan nutrisi yang menyediakan kalori atau

energi, diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya.

Makronutrisi ini diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar, terdiri dari

karbohidrat, protein, dan lemak. Nutrisi (zat gizi) merupakan bagian yang penting

dari kesehatan dan pertumbuhan. Sumber energi makanan berasal dari karbohidrat

sebesar 4 kkal/gr, protein sebesar 4 kkal/gr dan lemak sebesar 9 kkal/gr. Energi

dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktivitas otot, fungsi

metabolik untuk memperbaiki jaringan rusak, untuk kelangsungan proses

peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernapasan, pencernaan dan proses

psikologis lainnya.

Ketidakseimbangan energi yang memicu rendahnya berat badan dan simpanan

energi dalam tubuh akan menyebabkan kekurangan energi kronis. Apabila asupan

energi tidak mencukupi kebutuhan untuk mempertahankan metabolisme, maka

Page 17: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

28

pemenuhan kecukupan energi diperoleh dari cadangan lemak dan glikogin otot.

Selanjutnya jika berlangsung dalam waktu lama akan menjadi katabolisme guna

memenuhi kebutuhan energi, sehingga dampak yang ditimbulkan dari asupan

energi yang kurang yaitu terjadi gangguan pertumbuhan pada anak. Hasil

penelitian yang dilakukan Salsa Bening dkk menunjukkan tingkat kecukupan

energi yang rendah merupakan faktor resiko kejadian stunting yang tidak

bermakna secara statistik (p=0,835). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Farida Hanum, Ali Khomsan dan Yayat Heryanto

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

kecukupan energi dengan status gizi balita (p>0,05).

9) Asupan Protein

Protein merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan balita.

Untuk memperoleh mutu protein dan zat gizi mikro yang lebih baik, penuhi paling

tidak seperempat (25%) dari angka kecukupan Proteihn (AKP) yang berasal dari

protein hewani. Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok anak yang

rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gejala kurang protein (KEP) adalah

salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita di Indonesia.

Protein terdiri dari asam-asam amino. Selain menyediakan asam amino esensial

protein juga menyuplai energi dalam bentuk energi terbatas dari karbohidrat dan

lemak.

Penelitian Salsa Bening dkk menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein yang

rendah bukan merupakan resiko kejadian stunting (p=0,111). Dalam penelitian

yang dilakukan oleh Wanda Lestari menyebutkan bahwa balita yang memiliki

Page 18: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

29

asupan protein kurang beresiko 5,54 kali lebih besar untuk memiliki status gizi

kurang dibandingkan dengan balita yang memiliki asupan protein cukup.

10) Riwayat penyakit infeksi

Penyakit dapat menyebabkan stunting karena zat-zat gizi yang masuk kedalam

tubuh tidak dapat digunakan secara maksimal untuk pertembuhan karena lebih

banyak digunakan untuk membentuk zat-zat atau sel-sel untuk melawan penyakit.

Penyakit infeksi kronik yang sering diderita anak-anak yang bisa menghambat

pertumbuhan antara lain tubercolusis, infeksi saluran pencernaan, diare, asma,

cacingan, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh banyak penelitian antara lain

penelitian di Colombia oleh heckett Michelle yang membuktikan bahwa diare,

infeksi pernafasan, dan investasi parasit merupakan faktor risiko stunting. Sebuah

penelitian di Nigeria oleh Cin Nj membuktikan bahwa penyakit pankreatitis

kronis dan diabetes melitus pada anak merupakan faktor risiko stunting.

Dari hasil penelitian oleh Wiwien Fitrie Wellina dkk tentang faktor resiko stunting

pada anak umur 12-24 bulan menyatakan riwayat infeksi Diare dan ISPA bukan

faktor resiko stunting pada anak umur 12-24 bulan.

11) Riwayat makanan Pendampin ASI

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan tambahan yang

diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai berusia 24 bulan . Jadi

selain pendamping ASI, ASI harus tetap diberikan kepada bayi paling tidak

sampai usia 24 bulan. Peranan makanan pendamping Asi bukan untuk

menggantikan ASI melainkan untuk melengkapi ASI. (Krinatuti ,2008). Usia 0-2

tahun merupakan masa pertumbuhan yang paling cepat bagi seorang anak. Oleh

Page 19: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

30

karena itu pada usia ini diperlukan makanan dalam jumlah yang banyak dan

mengandung zat gizi yang lengkap. Selain itu usia 6 bulan , ASI saja tidak dapat

memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan, sehingga harus diberikan makanan

pendamping ASI. Pertumbuhan akan baik bila makanan pendamping ASI juga

baik, sebaliknya pertumbuhan akan terganggu jiga MP ASInya buruk. Makanan

pendamping ASI pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi empat macam

yaitu makanan pokok (misalnya nasi, jagung, ubi-ubian), makanan sumber protein

(misalnya daging, telur, ikan), makanan sumber vitamin dan miniral (misalnya

sayur dan buah) dan suplemen energi (misalnya gula, minyak, mentega).

Hasil penelitian Lita D, dkk di Bogor, mengatakan Konsumsi MP-ASI lebih

dominan mempengaruhi kecukupan energi dan zat gizi anak usia 6-12 bulan

dibandingkan dengan konsumsi ASI sehingga konsumsi MP-AS1 yang rendah

merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya asupan energi dan zat gizi serta

dapat menyebabkan terjadinya kejadian stunting. Penelitian Dwi Puji Hasanah

tentang hubungan antara pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan

kejadian stunting anak usia 6-23 bulan dikecamatan Sedayu didapatkan hasil ada

hubungan antara waktu memulai pemberian MP-ASI dengan status gizi anak usia

6-23 bulan berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) dengan OR 2,867,

CI=1,453-5,656. Sebagian besar anak yang mendapatkan MP-ASI yang tidak

sesuai waktu memulai pemberian MP-ASI memiliki resiko 2,8 kali untuk menjadi

stunting. Artinya waktu memulai pemberian ASI berhubungan secara signifikan

dengan kejadian stunting.

Page 20: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

31

C. Teori Keperawatan

Penelitian ini akan dilaksanakan ditatanan komunitas . berbagai aspek yang ada

dikomunitas akan sangat berpengaruh dalam pelaksanaan penelitan ini. Untuk itu

peneliti akan mengaplikasikan teori keperawatan Community as Partner

terintegrasi dengan Family Centered Nursing. Dalam Community as partner ini

lebih berfokus pada perawatan kesehatan masyarakat adalah praktek, keilmuan,

dan metodenya melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam

meningkatkan kesehatannya. Sedangkan menurut Friedman dkk, (2010)

berpendapat bahwa family centered nursing adalah kemampuan perawat

memberikan asuhan keperawatan keluarga sehingga memandirikan anggota

keluarga agar tercapai peningkatan kesehatan seluruh anggota keluarganya dan

keluarga mampu mengatasi masalah kesehatan . (Allender dan Spradley,2005).

Family centered nursing merupakan suatu model yang akan berdampak positif

dan baik bila dikembangkan berdasarkan kebutuhan pemberi dan pengguna

pelayanan kesehatan khususnya tenaga perawat dan keluarga. Hal ini sesuai

dengan konsep pemberdayaan dalam family-centered nursing yang menjelaskan

bahwa keluarga memiliki hak dan kewenangan untuk merawat anak-anaknya.

Maka dari itu salah satu pelayanan dalam keperawatan adalah berpusat pada

keluarga (family-centered nursing). Penerapan family-centered nursing dalam

konteks stunting pada kelompok balita adalah dengan melihat kemandirian

keluarga yang memiliki balita stunting dalam memberikan asuhan

keperawatannya. Penerapan model pemberdayaan berbasis keluarga : family–

centered nursing merupakan teori keperawatan dengan asuhan keperawatan

Page 21: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

32

dengan pendekatan proses keperawatan yang merupakan salah satu intervensi

keperawatan yang mendukung pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dalam

merawat anak dengan stunting yang meliputi mengenal masalah stunting,

memutuskan tindakan yang tepat, merawat balita yang mengalami stunting,

memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan dalam

penanganan stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

Sjattar, Elly.Burhanudin , dan Siti (2011) membuktikan bahwa penerapan model

keluarga untuk keluarga yang merupakan integrasi dari konsep model dan teori

keperawatan Self Care dan family –Centered Nursing (SCFCN) dengan cara

edukasi suportif pada keluarga yang dilakukan tiga kali pertemuan selama tiga

minggu sangat berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat

anggota keluarga yang menderita tuberkulosis.

Penelitian ini juga diperkuat oleh studi kasus yang dilakukan oleh Bekti,Yoyok

,2003 terhadap keluarga dengan balita sulit makan. Dilakukan penerapan family-

centered nursing dengan menggunakan metode pendekatan asuhan keperawatan

keluarga meliputi tahapan pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi meliputi strategi intervensi penerapan terapi modalitas,

(food combining), terapi perilaku, konseling dan coaching, pemberdayaan

masyarakat untuk mencapai kompetensi komunitas, membangun koalisi untuk

mencapai tujuan yang diinginkan dengan berbagai pihak yang potensial. Model ini

dapat digunakan dalam menyusun strategi implementasi seperti memberikan

pendidikan kesehatan pada keluarga.

Page 22: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

33

D. Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul/Jurnal Metode Variabel

Independen

Variabel

Dependen

Hasil

1 Irviani A.

Ibrahim,

Ratih

Paramita

Hubungan Faktor Sosial

Ekonomi Keluarga

dengan kejadian stunting

anak usia 24-59 bulan di

wilayah kerja puskesmas Borombong kota

makassar tahun 2014/Al-

Sihah : Public Health

Science journal Januari

2015

Observasional

dengan desain

potong lintang

(Cross Sectional

Study)

1. Pendidikan

ayah

2. Pendidikan Ibu

3. Pengetahuan

Ibu tentang Gizi dan

Stunting

4. Pekerjaan Ibu

5. Pendapatan

6. Jumlah

anggota

keluarga.

Stunting anak

usia 24-59

bulan

1. p=0,150>(α=0,05) tidak ada hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan

ayah dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-59 bulan.

2. p=0,020<(α=0,05) ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah

dengan kejadian stunting pada anak usia

24-59 bulan.

3. p=0,000<(α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara tingkat pendidikan ayah

dengan kejadian stunting pada anak usia

24-59 bulan.

4. p=0,513>(α=0,05) tidak ada hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan

ayah dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-59 bulan. 5. p=0,599>(α=0,05) tidak ada hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan

ayah dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-59 bulan.

6. p=0,152>(α=0,05) tidak ada hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan

ayah dengan kejadian stunting pada anak

usia 24-59 bulan.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

34

2 Cholifatun

Ni’mah dan

Lailatul

Muniroh

Hubungan tingkat

pendidikan, tingkat

pengetahuan dan pola

asuh ibu dengan wasting

dan stunting pada balita

keluarga miskin/Media Gizi Indonesia Januari

2015

Cross Sectional 1. Tingkat

pendidikan ibu

2. Tingkat

pengetahuan

ibu

3. Pola asuh

Wasting dan

Stunting

1. p wasting =0,632 dan p stunting=0,963,

p wasting dan p stunting > α tidak ada

hubungan antara tingkat pengetahuan

ibu dengan wasting dan stunting pada

balita keluarga miskin

2. p wasting =0,719 dan p stunting=0,928, p wasting dan p stunting > α tidak ada

hubungan antara pola asuh ibu dengan

wasting dan stunting pada balita

keluarga miskin

3 Rahmaniah,E

my Huriyati,

Winda Irwanti

Riwayat asupan energi

dan protein yang kurang

bukan faktor resiko

stunting pada anak usia

6-23 bulan/Jurnal Gizi

dan Dietetik Indonesia

September 2014

Case Control Asupan energi dan

protein

Stunting pada

usia 6-23

bulan

Tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara asupan energi dan protein (p>0,05)

terdapat kecenderungan bahwa anak yang

mengkonsumsi energi dan protein yang

kurang beresiko lebih tinggi terhadap

stunting dibandingkan anak yang

mengkonsumsi energi dan protein yang

cukup (OR=1,24 dan OR=1,41)

4 Salsa bening,

Ani

margawati, Ali

Rosidi

Asupan gizi makro dan

mikro sebagai faktor

stunting anak usia 2-5

tahun di semarang

Obsevasional

dengan design

case control

Asupan gizi makro

dan mikro

Stunting pada

usia 2-5 tahun

Tingkat kecukupan energi dan protein yang

rendah merupakan resiko kejadian stunting

pada anak (p=0,835>α=0,05)

5 Vilda Ana

Veria

Setyawati

Kajian stunting

berdasarkan umur dan

jenis kelamin

Cross Sectional 1. Umur

2. jenis kelamin

stunting 1. p=0,36>α=0,05 tidak ada hubungan

antara umur dan jenis kelamin

2. p=0,46>α=0,05 tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan stunting

Page 24: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

35

6

Zilda Oktarina

dan Trini

Sudiarti

Faktor resiko stunting

pada balita (24-59 bulan)

di sumatera/Jurnal Gizi

dan pangan November

2013

Cross Sectional 1. Berat lahir

2. Tinggi badan

ibu

3. Tingkat asupan

energi

4. Tingkat asupan Protein

5. Tingkat asupan

lemak

6. Status

ekonomi

keluarga

7. Jumlah

Anggota

keluarga

8. Sumber air

minum

Stunting pada

balita usia 24-

59 bulan

Kejadian stunting pada balita memiliki

hubungan dengan :

1. berat lahir (p=0,03;OR=1,31)

2. tinggi badan ibu (p=0,01;OR=1,36)

3. Tingkat Asupan energi

(p=0,03;OR=1,28) 4. Tingkat asupan protein (p=0,09;OR=-)

5. Tingkat asupan lemak

(p=0,02;OR=1,31)

6. Status ekonomi keluarga

(p=0,03;OR=1,29)

7. Jumlah anggota keluarga

(p=0,01;OR=1,34)

8. Sumber air minum (p=0,01;OR=1,35)

7 Endang

mayangsari,

Muhammad

Juffrie, Neti

Nurani,Mei

Neni Sitaresmi

Asupan protein, kalsium

dan fosfor pada anak

stunting dan tidak

stunting usia 24-59

bulan/Jurnal Gizi Klinik

April 2016

Cross Sectional 1. Asupan protein

2. Asupan

kalsium

3. Asupan fosfor

Stunting dan

tidak stunting

pada usia 24-

59 bulan

Asupan protein kalsium dan fosfor

signifikan lebih rendah pada anak stunting

dibandingkan anak tidak stunting

Page 25: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

36

8 Darwin

Nasution,

Detti Siti

Nurdiati, Emy

Huryati

Berat badan lahir rendah

(BBLR) dengan kejadian

stunting pada anak usia

6-24 bulan/Jurnal Gizi

Klinik Indonesia Juli

2014

Case Control

Study

Riwayat BBLR Anak stunting

usia 6-24

bulan

OR=5,60 (95% CI:2,27-15,70) artinya pada

tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan

bahwa anak yang lahir dengan BBLR

mempunyai risiko 5,6 kali lebih besar untuk

menjadi stunting dibandingkan dengan anak

yang lahir dengan berat badan normal

9

Dandara

swathma,

Hariati lestari,

Ririn teguh

ardiansyah

Analisa faktor risiko

BBLR, panjang badan

bayi saat lahir dan

riwayat imunisasi dasar

terhadap kejadian

stunting pada balita usia

12-36 bulan di wilayah

kerja puskesmas Kandai

Kota Kendari tahun

2016/Jurnal Ilmiah

Mahasiswa kesehatan

masyarakat Universitas Hulu Oleo

Case Control 1. BBLR

2. Panjang badan

bayi saat lahir

3. Riwayat

imunisasi dasar

Stunting usia

12-36 bulan

1. Nilai OR=5,250 dan p=0,002 artinya

responden dengan berat badan lahir

rendah mempunyai resiko mengalami

stunting 5,250 kali lebih besar

dibandingkan dengan responden berat

badan lahir normal

2. Nilai OR=4,78 p=0,005 artinya

responden yang memiliki panjang

badan yang pendek saat lahir

mempunyai resiko 4,078 kali lebih

besar dibandingkan dengan responden

yang memiliki panjang badan bayi yang normal saat lahir

3. Nilai OR=6,044 p=0,000 artinya

responden yang memiliki riwayat

imunisasi dasar yang tidak lengkap

mempunyai resiko mengalami stunting

6,044 kali lebih besar dibandingkan

dengan responden yang memiliki

riwayat imunisasi dasar lengkap

Page 26: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

37

10 Dwi Puji

Khasanah,

Hamam hadi,

Bunga Astria

Paramashanti

Hubungan antara

pemberian makanan

pendamping ASI (MP-

ASI) dengan kejadian

stunting anak usia 6-23

bulan dikecamatan Sedayu

Cross Sectional 1. Waktu pertama

pemberian MP-

ASI

2. Asupan energi

dan protein

Kejadian

stunting pada

anak usia 6-23

bulan

1. Terdapat hubungan bermakna

(p=0,002) antara waktu pertama kali

pemberian MP-ASI dengan status gizi

anak usia 6-23 bulan

2. Tidak ada hubungan bermakna

(p=0,072) antara asupan energi dengan status gizi anak usia 6-23 bulan

3. Tidak terdapat hubungan yang

signifikan (p=0,40) antara asupan

protein dengan kejadian stunting

11 Didik

Hariyadi dan

Ikeu Ekayanti

Analisis pengaruh

perilaku keluarga sadar

gizi terhadap stunting

di propinsi Kalimantan

Barat/Jurnal Teknologi

dan kejuruan Februari

2011

Cross Sectional Perilaku keluarga

sadar gizi

stunting Ada pengaruh signifikan perilaku

KADARZI rumah tangga terhadap stunting

(p<0,05)

12 Tantut susanto,Lantin

Sulistyorini

Family Friendly dalam peningkatan pemberian

ASI Eksklusif dengan

integrasi model Family

center nursing dan

truncultural nursing/

Jurnal INJEC Oktober

2014

Kuasi Eksperimen

nonrandomized

control group

design pretest

dan postest

Perilaku menyusui ibu,kemandirian

keluarga,kemampu

an kader

kesehatan,pengelol

aan pelayanan ASI

eksklisif

Integrasi model family

center nursing

dan trans

cultural

Ada perbedaan yang sangat signifikan antara perilaku ibu menyusui,kemandirian keluarga

dan pengelolaan pelayanan ASI elsklusif

sebelum dan sesudah intervensi program (P

value0,000) dan ada perbedaan yang

signifikan antara kemampuan kader

kesehatan sebelum dan susudah intervensi

program ( p value 0,001.

Page 27: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

38

13

Distia

Hayyudini,

Suyatno,

Yudhy

Dharmawan

Hubungan karakteristik

ibu, pola asuh dan

pemberian imunisasi

dasar terhadap status

gizi anak usia 12-24

bulan (studi di wilayah kerja puskesmas

Kedungmundu kota

Semarang tahun

2017)/Jurnal Kesehatan

Masyarakat (E-journal)

Oktober 2017

Explanatory

study dengan

rancangan cross

sectional

1. Karakteristik

Ibu (Usia

Ibu,pendidikan

ibu dan status

ekonomi)

2. Pola asuh 3. Status

imunisasi

dasar

1. Status gizi

anak usia

12-24

bulan

1. p value=0,612 dan r=0,054 tidak ada

hubungan yang signifikan antara usia

ibu dengan status gizi anak usia 12-24

bulan

2. p value=0,018 dan r=0,249 ada

hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan status gizi anak usia 12-24

bulan

3. p value=0,335 dan r=-0,099 tidak ada

hubungan dengan signifikan antara

status ekonomi dengan status gizi anak

usia 12-24 bulan

4. p value=0,340 dan r=-0,012 tidak ada

hubungan yang signifikan antara status

ekonomi dengan status gizi anak usia

12-24 bulan

5. p value=0,995 dan r=-0,001 tidak ada

hubungan yang signifikan antara pola asuh keluarga dengan status gizi anak

usia 12-24 bulan

Page 28: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

39

14 Bunga Ch

Rosha,

Hardiansyah

dan Yayuk

Farida

Baliwati

Analisis Determinan

Stunting anak 0-23

bulan pada daerah

miskin di Jawa Tengah

dan Jawa Timur/The

Journal of Nutrition and Foud Research

tahun 2012

Analisis Data

Sekunder

Faktor Anak

(Usia,Jenis

Kelamin,Status

Penyakit Infeksi

yang diderita,

Asupan Gizi) Faktor Ibu (Usia,

Pendidikan, Status

Pekerja, Status

PHBS ibu)

Faktor Keluarga

(wilayah tempat

tinggal,besar

keluarga,jumlah

balita dalam

keluarga, sanitasi

lingkungan, akses

pelayanan kesehatan dan

status pemanfaatan

pelayanan

kesehatan)

Status

Stunting anak

Hasil Bivariat menunjukkan variabel yang

berhubungan dengan stunting (p<0,05)

adalah wilayah tempat tinggal (p=0,003),

umur (p=0,001) dan jenis kelamin anak

(p=0,01) serta pendidikan ibu (p=0,004).

Hasil Regresi Logistik Menunjukkan faktor determinan yang mempengaruhi stunting

adalah wilayah tempat tinggal dengan nilai

OR=0,68 (0,48-0,95), usia anak dengan nilai

OR=0,71 (0,53-0,96) dan jenis kelamin

anak dengan nilai OR=0,59 (0,44-0,79)

serta pendidikan ibu dengan nilai

OR=1,56(1,65-2,31)

15 Wiwien Fitrie

Wellina,

Martha

I.Kartasurya,

M Zen

Rahfilludin

Faktor resiko stunting

pada anak umur 12-24

bulan/Jurnal Gizi

Indonesia Desember

2016

Case Control Kecukupan

energi,Protein,

Seng, Ketaatan

Konsumsi vitamin

A, Status Penyakit

Infeksi (Diare &

ISPA), BBLR dan pajanan pestisida

Stunting Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian

stunting pada anak umur 12-24 bulan adalah

rendahnya tingkat kecukupan energi,

protein, seng, berat badan lahir rendah dan

tingginya pajanan pestisida namun yang

lebih beresiko terhadap kejadian stunting

tingginya pajanan pestisida

16

Khoirun

Ni’mah, Siti

Rahayu

Nadiroh

Faktor yang

berhubungan dengan

kejadian stunting pada

balita/Jurnal Media

Case Control 1. Berat badan lahir

2. Panjang badan

lahir

3. Riwayat

Kejadian

Stunting

a. berdasarkan hasil uji fisher exact dengan

tingkat kepercayaan 95% didapatkan

bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara berat badan lahir

Page 29: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

40

Gizi Indonesia Juni

2015

Pemberian ASI

Eksklusif

4. Pendapatan

keluarga

5. Pendidikan

Orang tua balita 6. Pengetahuan

Gizi Ibu

7. Jumlah anggota

keluarga

dengan kejadian stunting pada balita

(p=1,000)

b. hasil uji chi square didapatkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna

antara panjang badan lahir dengan

kejadian stunting pada balita dengan OR 4,091

c. hasil chi square menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian stunting

dengan OR 4,643

d. hasil analisis chi square menunjukkan

bahwa pendapatan keluarga menupakan

faktor yang berhubungan dengan

stunting pada balita (p=0,044) dengan

OR sebesar 3,250

e. hasil uji chi square tidak menunjukkan

hubungan yang siqnifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian

stunting pada balita (p=0,32).

Pendidikan ibu merupakan faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting

pada balita (p=0,029) dengan OR

sebesar 3,378

f. hasil analisis chi square menunjukkan

bahwa pengetahuan gizi ibu merupakan

faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada balita (p=0,015)

dengan OR sebesar 3,877 g. hasil chi square menghasilkan bahwa

jumlah anggota keluarga bukan

merupakan faktor yang berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita.

Page 30: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

41

17 Enny

Fitriahadi

Hubungan tinggi badan

ibu dengan kejadian

stunting pada balita

usia 24-59 bulan/jurnal

keperawatan dan

kebidanan aisyiyah Juni 2018

Cross-sectional Tinggi badan ibu Kejadian

Stunting

Tinggi badan ibu berhubungan dengan

stunting dibuktikan dengan nilai p=0,000

(p<0,5)

18 Rr Dewi

Ngaisyah dan

Septiana

Hubungan tinggi badan

orang tua dengan

kejadian stunting/

Jurnal Ilmu Kebidanan

Oktober 2016

Cross-sectional Tinggi badan orang

tua

Kejadian

Stunting

1. Hasil uji chi square dengan α=0,05

diperoleh p-value 0,07. hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara tinggi badan ayah dengan

kejadian stunting balita

2. Dengan uji chi square dengan α=0,05

diperoleh p-value sebesar 0,195. Hal ini

menunjukkan tidak ada hubungan tinggi

badan ibu dengan kejadian stunting

balita

19 Nur Afia

Amin dan

Madarina

Julia

Faktor sosiodemografi

dan tinggi badan orang

tua serta hubungannya

dengan kejadian

stunting pada balita

usia 6-23 bulan/Jurnal

Gizi dan Dietik

Indonesia September

2014

Case control 1. Faktor

sosiodemografi

(pendapatan,

pendidikan orang

tua, dan jumlah

anggota keluarga)

2. Tinggi badan

orang tua

Kejadian

stunting

1. Hasil analaisis bivariat variabel bebas

(pekerjaan orang tua, pendidikan orang

tua, pendapatan, dan jumlah anggota

keluarga) terhadap kejadian stunting

menunjukkan bahwa tidak ada satu pun

variabel sosiodemografi yang bermakna

terhadap kejadian stunting

2. Hasil analisis bivariat menunjukkan

variabel bebas tinggi badan ibu

berhubungan dengan kejadian stunting (p=0,01, 95% CI:1,14-3,65) tinggi badan

ayah diketahui tidak memiliki nilai yang

signifikan dengan kejadian stunting

dengan nilai (p=0,29, 95% CI: 0,76-

2,33)

Page 31: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

42

20 Brigitte Sarah

Renyoet, Veni

Hadju, St.

Nur

Rochimiwati

Hubungan pola asuh

dengan kejadian

stunting anak usia 6-23

bulan di wilayah pesisir

Kecamatan Tallo Kota

Makassar

Cross-Sectional 1. Perhatian/Duku

ngan ibu

terhadap anak

dalam praktik

pemberian

makanan 2. Rangsangan

psikososial

3. Kebersihan/

Hygiene dan

sanitasi

lingkungan

4. Pemanfaatan

pelayanan

kesehatan

Kejadian

Stunting

1. Dari hasil uji chi square

p=0,001<(α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara perhatian/ dukungan

ibu terhadap anak dalam praktik

pemberian makanan dengan keadaan

stunting anak 2. Nilai p=0,000<(α=0,05) ada hubungan

yang signifikan antara rangsangan

psikososial dengan pertumbuhan

panjang badan dan kejadian stunting

3. Nilai p=0,000<(α=0,05) ada hubungan

yang signifikan antara Kebersihan/

Hygiene dan sanitasi lingkungan dengan

pertumbuhan panjang badan dan

kejadian stunting

4. Nilai p=0,006<(α=0,05) ada hubungan

yang signifikan antara Pemanfaatan

pelayanan kesehatan dengan pertumbuhan panjang badan dan

kejadian stunting

Page 32: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

43

21

Agus Hendra

AL Rahmad

dan Ampera

Miko

Kajian stunting pada

anak balita berdasarkan

pola asuh dan

pendapatan keluarga di

kota Banda

Aceh/Jurnal Kesmas Indonesia Juli 2016

Case Control

Study

1. Pemberian ASI

2. MP-ASI

3. Imunisasi

4. Pendapatan

keluarga

Stunting 1. p=0,002 (p<0,05) kejadian stunting anak

balita di Kota Banda Aceh tahun 2010

disebabkan oleh ASI yang tidak

eksklusif dengan nilai OR 4,2 (CI 95%;

1,8-10,0).

2. p=0,007 (p<0,05 kejadian stunting anak balita di Kota Banda Aceh tahun 2010

disebabkan oleh pemberian MP-ASI

yang kurang baik dengan nilai OR 3,4

(CI 95%; 1,5-7,9).

3. p=0,040 (p<0,05 kejadian stunting anak

balita di Kota Banda Aceh tahun 2010

disebabkan oleh pemberian Imunisasi

yang tidak dengan nilai OR 3,5 (CI 95%;

1,2-10,8).

4. p=0,026 (p<0,05) kejadian stunting anak

balita di Kota Banda Aceh tahun 2010

disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dengan nilai OR 3,1 (CI

95%; 1,2-7,8).

Page 33: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

44

22 Christin

Debora

Nabuasa, M

Juffrie, Emy

Huriyati

Riwayat pola asuh,

pola makan, asupan zat

gizi berhubungan

dengan stunting pada

anak 24-59 bulan di

Biboki Utara, Timor Tengah Utara, Nusa

Tenggara Timur/ Jurnal

Gizi dan Dietetik

Indonesia September

2013

Case Control 1. Riwayat pola

asuh

2. Pola makan

3. Asupan zat gizi

stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara

riwayat pola asuh terhadap kejadian

stunting dengan nilai OR atau kekuatan

hubungan sebesar 14,5 kali (CI 95%;

6,59-32,07), p=0,00

2. Ada hubungan yang bermakna antara riwayat pola makan terhadap kejadian

stunting dengan nilai OR atau kekuatan

hubungan sebesar 3,16 kali

3. Ada hubungan yang bermakna antara

riwayat Asupan zat gizi (energi protein

dan kalsium) terhadap kejadian stunting

dengan nilai OR atau kekuatan

hubungan sebesar 4,53;5,34;3,93

23 Novita Nining

Widyaningsih

,

Kusnandar, Sapja

Anantanyu

Keragaman pangan

,pola asuh makan dan

dan kejadian stunting

pada balita usia 24 – 59 bulan / Jurnal Gizi

Indonesia Desember

2018

Cross Sectional 1.Keragaman

pangan

2. Pola asuh makan

Stunting 1. Terdapat hubungan yang signifikan

antara keragaman pangan dengan stunting

dengan p value 0,024 dan OR 3,213.

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan stunting

dengan p value 0,015 dan OR 2,446.

Page 34: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

45

24 Uliyanti,

Didik

Gunawan

Tamtomo,

Sapja

Anantanyu

Faktor yang

berhubungan dengan

kejadian stunting pada

balita usia 24 – 59

bulan /Jurnal Vokasi

Kesehatan 2017

Case Control 1.Pengetahuan gizi

ibu

2. Perilaku keluarga

sadar gizi

3. Perilaku hidup

bersih dan sehat ( PHBS )

4.Riwayat penyakit

infeksi

5. Asupan gizi

Stunting 1. Terdapat hubungan yang signifikan

antara pengetahuan dizi ibu dengan

stunting dengan p value 0,028

2. Terdapat hubungan yang signifikan

antara Kadarzi dengan stunting dengan

p value 0,005 3. Terdapat hubungan yang signifikan

antara PHBS dengan stunting dengan p

value 0,012

4. Terdapat hubungan yang signifikan

antara riwayat penyakit infeksi dengan

stunting dengan p value 0,008

5. Terdapat hubungan yang signifikan

antara asupan gizi dengan stunting

dengan p value 0,008

25 Lidia Fitria Hubungan BBLR dan

ASI eksklusif dengan

kejadian stunting di Puskesmas Lima Puluh

Pekanbaru/ Jurnal

Endurance Februari

2018

Cross Sectional 1.BBLR

2.ASI Eksklusif

Stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara

berat badan lahir rendah ( BBLR )

dengan kejadian stunting dengan p value 0.000

2. Ada hubungan yang bermakna antara

ASI Eksklusif dengan kejadian stunting

dengan p value 0.021

Page 35: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

46

26 Azriful,Emmi

Bujawati,Hab

ibi,Syahratul

Aeni,Yusdarif

Determinan kejadian

stunting pada balita

usia 24- 59 bulan di

kelurahan Rangas

kecamatan Banggae

Kabupaten Majene/Al-Sihah: Public Health

Science Journal

Desember 2018

Cross Sectional 1. Panjang badan

lahir

2. Berat badan

Lahir

3. ASI Eksklusif

4. ASI s.d 2 tahn 5. Imunisasi

6. Jarak kelahiran

7. Jumlah anak

8. Status ekonomi

keluarga

Stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara

panjang badan lahir dengan kejadian

stunting dengan p value 0.000

2. Ada hubungan yang bermakna antara

berat badan lahir dengan kejadian

stunting dengan p value 0.033 3. Ada hubungan yang bermakna antara

ASI Eksklusif dengan kejadian stunting

dengan p value 0.000

4. Tidak Ada hubungan yang bermakna

antara ASI sampai dengan 2 tahun

dengan kejadian stunting dengan p value

0.249

5. Tidak Ada hubungan yang bermakna

antara imunisasi dengan kejadian

stunting dengan p value 0.123

6. Ada hubungan yang bermakna antara

jarak kelahiran dengan kejadian stunting dengan p value 0.041

7. Ada hubungan yang bermakna antara

jarak kelahiran dengan kejadian stunting

dengan p value 0.041

8. Tidak Ada hubungan yang bermakna

antara status ekonomi keluarga dengan

kejadian stunting dengan p value 1,000

Page 36: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

47

27 Rahmayana,

Irviani A.

Ibrahim, Dwi

Santy

Damayati

Hubungan pola asuh

ibu dengan kejadian

stunting anak usia 24-

59 bulan di posyandu

Asoka II wilayah

pesisir kelurahan Barombong Kecamatan

Tamalate Kota

Makassar Tahun

2014/Jurnal Al-Sihah :

Public Health Science

Journal Desember 2014

Cross Sectional 1. Pemberian

makan

2. Rangsangan

psikososial

3. Praktik

kebersihan/ Hygine

4. Sanitasi

lingkungan

5. Pelayanan

kesehatan

Kejadian

Stunting

1. Berdasarkan hasil uji statistik chi square

p=0,007 < (α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara pemberian makan

dengan kejadian stunting

2. Berdasarkan hasil uji statistik chi square

p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang signifikan antara psikososial dengan

kejadian stunting

3. Berdasarkan hasil uji statistik chi square

p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara praktik

kebersihan/Hygine dengan kejadian

stunting

4. Berdasarkan hasil uji statistik chi square

p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara sanitasi lingkungan

dengan kejadian stunting

5. Berdasarkan hasil uji statistik chi square p=0,016 < (α=0,05) ada hubungan yang

signifikan antara pemanfaatan pelayanan

kesehatan dengan kejadian stunting

28

Vitria Erlinda Penerapan model

Family Centered

Nursing terhadap

pelaksanaan tugas

keluarga dalam

pencegahan ISPA pada

balita di wilayah kerja

puskesmas Simpang

Tiga Kabupaten Aceh Besar/ Jurnal

Kedokteran YARSI

2015

Pre-

eksperimental

dengan

rancangan one

group pre and

postest design

withot control

group.

Tugas kesehatan

keluarga dalam

pencegahan ISPA

Penerapan

Model Family

Centered

Nuesing

1. Ada perubahan signifikan dalam

kemampuan keluarga mengenal masalah

ISPA sebelum dan sesudah penerapan

family centered nursing(p 0,00)

2. Ada perubahan signifikan dalam

kemampuan keluarga mengambil

keputusan tindakan sebelum dan sesudah

penerapan family centered nursing(p 0,00)

3. Ada perubahan signifikan dalam kemampuan keluarga merawat anggota

keluarga yang sakit sebelum dan sesudah

penerapan family centered nursing(p 0,00)

4. Ada perubahan signifikan dalam

kemampuan keluarga memodifikasi

lingkungan sebelum dan sesudah

Page 37: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

48

penerapan family centered nursing(p

0,001)

5. Ada perubahan signifikan dalam

kemampuan keluarga memanfaatkan

fasilitas sebelum dan sesudah penerapan

family centered nursing(p 0,00)

29 Titih Huriah Efektifitas model

Community As Partner

dalam memberikan

asuhan keperawatan

komunitas pada

kelompok balita

dengan gizi buruk di

Kelurahan Pancoran

Mas ,kota Depok

/Jurnal Mutiara Medika

2007

Quasi

Eksperimental

Non randomized

pretest-postest

control group

Askep kelompok

balita gizi buruk:

Pengetahuan,sikap,

ketrampilan,perilak

u dan status gizi

balita

Efektifitas

model

community As

Partner

Terdapat perbedaan antara variabel

pengetahuan ,sikap,ketrampilan ,perilaku

dan status gizi balita setelah dilakukan

praktik keperawatan dengan p=0,000.

Page 38: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

49

E. Kerangka Teori

Masalah stunting sangat berhubungan dengan masalah gizi kronis. Balita yang

kekurangan gizi akan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti penurunan

imunitas dan produktivitas, kesehatan mental dan emosional, serta kegagalan

pertumbuhan salah satunya adalah stunting. Banyak faktor yang menyebabkan

terjadinya stunting pada balita. Terdapat faktor langsung dan faktor tidak

langsung. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang

tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi

seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih, dan aman, misalnya bayi tidak

memperoleh ASI Eksklusif. Faktor penyebab langsung kedua adalah status

kesehatan yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama

diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait

mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup

dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan

air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan

dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam

rumah dan sebagainya.

Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga,

khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-23 bulan (MP-

ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu

terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan

keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,

pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan.

Page 39: BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Balita

50

Integrasi faktor faktor yang mempengaruhi stunting padabalita dalam famly

centered nursimg dapat dilihat dalam skema sebagai berikut :

Skema 2.1

Kerangka Teori Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting Dalam

Family Centered Nursing

Sumber : Kerangka pikir akar masalah stunting ( Bappenas 2011)

Modifikasi dengan UNICEF 2003 disesuaikan kondisi di Indonesia