Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KONSEP
2.1 Orientasi Umum
Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah, tidak berarti bahwa teori tersebut
memiliki kebenaran mutlak karena teori dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena yang ada. Setiap teori selalu sudah dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian dan
metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori untuk memprediksi apa
yang akan terjadi merupakan kriteria bagi validitas teori tersebut. Bangunan suatu teori yang
merupakan abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi akan
mengalami perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan
kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah1.
Semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, semakin besar pula teori tersebut
akan diterima di dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di
dalam komunitas ilmiah maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah tersebut
menggunakan teori yang mapan itu didalam penelitian mereka. Jika suatu teori ingin diakui
sebagai ilmiah, teori ini haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui
sebelumnya. Dan jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori
lainnya, salah satu di antara kedua teori tersebut salah.
Konsep disebut dalam batasan tertentu yang definitif, apa yang disebut konsep secara
umum ini tak lain dari pada apa yang disebut “terma” dalam logika dan apa yang disebut
“istilah” dalam setiap perbincangan keilmuan. Apapun sebutannya dalam berbagai
perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan bahwa “konsep” itu adalah simbol tertentu yang
digunakan sebagai representasi objek yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam
1 Eza A.A Wattimena, 2008, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar, PT. Grasindo, Jakarta, h. 95
38
kehidupan bermsyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam
numenon, adalah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada di alam
phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi.2
Kata teori3 secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti
melihat, theoros yang berarti pengamatan. Kerlinger mengemukakan bahwa teori adalah suatu
kumpulan variabel yang saling berhubungan, definisi-definisi, proposisi-proposisi yang
memberikan pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan menspesifikasikan relasi-
relasi yang ada di antara beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang
ada4. Teori menurut Sugiyono adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, defenisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai
tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan, meramalkan (prediction), dan pengendalian (control) suatu
gejala (explanation).5 Berdasarkan pengertian teori tersebut dapat dikemukakan bahwa teori
memiliki komponen-komponen yang terdiri atas: Konsep, fakta, fenomena, defenisi, proposisi
dan variable.
Paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma yang berarti contoh, tasrif,
model. Paradigma ini dapat pula berarti: 1. Cara memandang sesuatu, 2. Dalam ilmu
2 Omenon (atau nomena kalau plural) itu berasal dari bahasa Yunani klasik yang berarti „buah
gagasan‟,. Nomenon itu sendiri berasal dari kata nonein yang berarti „berpikiran‟, yang pada gilirannya juga berasal
dari kata nous yang berari „alam gagasan‟. Sementara itu, phenomenon (atau phemomena dalam bentuknya yang
plural) juga berasal dari bahasa Yunani klasik yang berari „fakta yang segera terlihat‟. Fenomenon itu sendiri berasal
dari kata phanesthai yang berarti „menampak‟, yang pada gilirannya berasal dari kata phainein yang berarti
„memperlihatkan‟ atau „menunjukkan‟. Demikianlah, dari arti kata-kata itu jelas sudah apa yang dimaksud dengan
„realitas nomena‟ yang bermaqom di alam imajinasi manusia dan apa pula yang dimaksud dengan „realitas
fenomena‟ yang berada di alam indrawi manusia. https://soetandyo.wordpress.com/2010/09/18/tentang-teori-
konsep-dan-paradigma-dalam-kajian-tentang-manusia-masyarakat-dan-hukumnya/, diakses pada tanggal 7 februari
2018. 3 Cooper and Schindler, mengemukakan bahwa, A theory is a set systematically interrelated concepts,
definition, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena (fact). Teori adalah seperangkat
konsep, defininisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena https:// jaringskripsi. wordpress. com/2009/09/22/ konstruk-teori-theoritical-construction-
dan paradigma-paradigm/. Di akses pada tanggal 7 februari 2018. 4 Eza A.A Wattimena, Op. Cit. h. 25
5 Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet.III, Alfabeta, Bandung, h. 52-54.
pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang,
diperjelas, 3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau
mendefenisikan suatu studi ilmiah konkret.4 Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola
untuk memecahkan problem-problem riset.6
Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1972)
menggunakan istilah paradigma dalam dimensi yang berbeda yaitu: 1. Paradigma berarti
keseluruhan perangkat – „kontelasi‟ – keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang
dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat. 2. Paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam
perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai
model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara yang lain sebagai landasan bagi
pemecahan atau teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal.7
Teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Suatu teori akan mengalami perkembangan
apabila teori tersebut sudah tidak relevan dan kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah.
Penerimaan suatu teori dalam komunitas ilmiah, tidak berarti bahwa teori tersebut memiliki
kebenaran mutlak.Teori yang telah mapan dan digunakan oleh mayoritas ilmuwan dalam
komunitas ilmiah dalam penelitian selanjutnya disebut sebagai paradigma. Paradigma dibangun
oleh para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya atas berbagai konsep, asumsi-asumsi teoritis umum
dalam tatanan tertentu, menyederhanakan yang kompleks yang dapat diterima umum.
Paradigma adalah cara pandang atau kerangka berfikir yang mempu menjadi wacana
temuan ilmiah dan dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah dan atau
masyarakat. Sikap para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku dapat saja berubah jika
6 Lorens Bagus, 2002, Kamus Filsafat, Ed. I., Cet.III, Gramedia, Jakarta, h. 1097.
7 https://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/konstruk-teori-theoritical-construction-dan paradigma-
paradigma, di akses tanggal 7 februari 2018.
dalam perjalanan kegiatan ilmiahnya atau penelitiannya terdapat anomali. Dengan demikian
dapat menyebabkan perubahan paradigma karena adanya anomali itu, selanjutnya menyebabkan
sikap para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku berubah, oleh karena itu sifat penelitian
mereka juga berubah. Hal itu membuat para ilmuwan berusaha untuk menciptakan paradigma
baru, dalam rangka memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan. Jika paradigma
baru itu diterima oleh komunitas ilmiah maka paradigma terdahulu ditolak dan ditinggalkan.
Paradigma yang baru akan diterima sebagai pengganti paradigma yang lama.
2.2 Landasan Teori
Membahas permasalahan penelitian disertasi ini dipergunakan landasan teori, yang
merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang diperlukan sebagai tuntunan
untuk memecahkan berbagai permasalahan penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi
sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Untuk mengkaji suatu
permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi,
konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan hubungan antar konsep8.
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau
pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu.9 Fakta tersebut sesuatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris. Dalam bentuknya yang paling sederhana suatu teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya10
. Teori juga
sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif kongkrit.11
Dalam
8 Burhanudin Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
9 Ronny Hanitijo Soemitro, 1992, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 46.
10 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya
disebut Soerjono Soekanto II), h. 30.
teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak
perlu ada sebagai dasar studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif. Adapun teori-
teori yang dipergunakan dalam membedah permasalah penelitian disertasi ini dapat dikemukakan
dan diuraikan sebagai berikut:
2.2.1 Teori Dekontruksi
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara
definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida
pada tahun 1976 adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi12
mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang
berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences” ,di universitas Johns
Hopkins tahun 1966.
Dekonstruksi berasal dari kata de dan construktio (latin). Pada umumnya de berarti ke
bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio berarti bentuk, susunan, hal
menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva, misalnya,
menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan
11
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bndung, h. 43
12 Postrukturalisme memiliki keragaman gerakan, sebagai akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya,
Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang
populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”, mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting
dalam sebuah world-view seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, Postrukturalisme adalah segala pemikiran
yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan
memperbarui premis-premis modern, perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus
diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala sesuatu
yang dihadapi dalam pengalaman di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di
dunia ini selalu ditafsirkan sesuai dengan nilai-nilai subjektif dalam diri. Lebih lanjut lihat didalam Selden, 1986:84
(http://rendiasyah.blogspot.co.id/2013/05/teori-dekonstruksi.html) diakses pada tanggal 20 Novemver 2017.
konstruktif13
. Dekonstruksi adalah cara membaca teks sebagai strategi yang tidak semata-mata
ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan
tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya
melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-
kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. dekonstruksi itupun
adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas
rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu
sendiri. Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait pengartian yang sering
keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang sudah
mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat
dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu teks bukan hanya menciptakan
makna baru.
Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk
membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan
fondamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-
lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini sudah mapan. Prinsip- prinsip yang
terdapat pada teori dekonstruksi:
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna
ironi);
2. Membalikan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan.
13
Ibid.
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche14
dalam kaitannya dengan
usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat
selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor.
Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan
merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan
nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain menjelaskan bahwa makna yang
diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi
menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri, sekaligus
mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Makna dekonstruksi secara umum adalah tindakan subjek yang membongkar suatu
objek yang tersusun dari berbagai unsur yang memang layak dibongkar. Namun makna umum
inikah yang dimaksud dengan dekonstruksi Derrida, berkaitan dengan latar belakangnya sebagai
seorang yang postmodernis, maka Derrida dalam hal ini berada dalam posisi dimana ia
memberikan kritik dan menawarkan solusi baru bagi modernitas yang tentunya kritik-kritiknya
dilemparkan bagi para filosof modernis. Berhubungan dengan fokus pemikirannya tentang sastra
dan linguistik, maka salah satu kritiknya yang terpenting untuk di bahas di sini adalah teori
bahasa kaum strukturalis15
, yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussare yang dikenal sebagai
pembangun semiotik. Teori dekonstruksi Derrida sebenarnya muncul sebagai kritik terhadap
teori Susserian. Saussure merumuskan teorinya melalui adanya oposisi biner seperti langue–
parole, ucapan tulisan, ada dan tidak ada, murni dan tercemar, yang mana yang pertama sifatnya
14
Noris Christopher. 2003 Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.Ar-Ruzz:Yogyakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 20 November 2017.
15Strukturalis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut penganut/ ahli dari pemikiran strukturalisme.
Adapun strukturalisme sendiri adalah paham yang mencoba menggambarkan pengaturan sistem-sistem tanda
sebagai „bahasa‟ (languages). Ahli strukturalisme sibuk mencari „struktur dalam‟ („deep structures„) yang
mendasari „ciri permukaan‟ („surface features‟ ) fenomena.
lebih menguasai yang kedua alias yang pertama ini lebih superior sedangkan yang kedua
cenderung inferior sehingga seolah-olah yang pertama memiliki hak istimewa sementara yang
kedua dilecehkan. Contoh kasus yang jelas dalam teori Saussure ini tampak pada gagasannya
bahwa satu-satunya petunjuk untuk menemukan makna adalah melalui suara dan rasa dari kata.
Hal ini diperkuat oleh Roland Barthes yang mempertahankan gagasan Saussure dengan
menyatakan bahwa Bahasa itu tidak akan pernah eksis tanpa tutur kata, bahasa hanya mungkin
mulai dari tuturan, dan secara historis, tuturan selalu mendahului fenomena bahasa16
.
Maka yang tampak bagi Derrida di sini adalah oposisi biner antara ucapan dan tulisan
dimana Saussure lebih mengutamakan ucapan dari pada tulisan itu sendiri. Bangunan metafisika
Saussure, menurut Derrida, yang diberikan pada tuturan (ucapan) adalah dengan menjadikan
suara sebagai metafor kebenaran dan autentisitas, sumber dari tuturan yang “langsung” dan
hadir pada dirinya sendiri sebagai lawan dari limpahan sumber tersebut yang tak hidup dan
sekunder, yakni tulisan17
. Inilah bentuk ketidaksepakatan Derrida terhadap oposisi biner yang
kemudian ia bubarkan dan ia pertanyakan. Pemikiran yang ia pertanyakan inilah yang
melahirkan gagasan dekonstruksinya. Bagi Derrida, teori oposisi Biner Saussure justru akan
berujung pada penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos (pengetahuan) itu sendiri.
Sebaliknya, cara yang ditawarkan Derrida untuk menemukan makna yang tersembunyi adalah
dengan membuka selubung, kemudian melihat isi secara terpisah, dan membuang seluruh relasi
yang ada antara kata dan konsep. Cara ini meurut Derrida ampuh untuk menghapus prasangka.
Cara terbaik dalam menggali makna tersembunyi menurut Derrida ini adalah dengan selalu
mempertanyakan semua hal dan menempatkannya pada yang baru.
16
Christoper Norris, 2008, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Ar-Ruzz Media, Yoyakarta, h.
68 17
Ibid., h. 64
Dengan demikian, kita tidak membiarkan diri kita untuk (senantiasa) menerima sistem
yang sudah ada yang telah diterima oleh orang banyak18
. Makna menurut Saussure dapat
ditemukan melalui sistem pembedaan atau dikenal dengan istilah Difference. Petanda (konsep
yang ingin diungkapkan) dan penanda (kata yang diucapkan atau dituliskan) keduanya sama-
sama terikat dalam permainan pembedaan. Dimana perbedaan suara dan rasa dari kata adalah
petunjuk akan makna. Hal ini dapat kita lihat pada tingkat kata dengan pengucapan yang
sederhana, misalnya kaki dan kaku (dibedakan, sehingga makna pun bisa kita dapatkan) melalui
pembedaan vokal pada akhir kata tersebut. Dalam pengertian ini, bahasa bersifat diakritis, atau
bergantung pada perbedaan-perbedaan terstruktur yang memungkinkan wilayah elemen-elemen
linguistic yang terbatas untuk menandai makna-makna yang berlimpah19
.
Metode dekonstruksi ini kemudian menjadi metode membaca teks filsofis yang
kemudian unsur-unsur yang dilacaknya itu akan dibongkar. Yang unik dari metode dekonstruksi
ini adalah dayanya dalam membongkar unsur yang menjadi penentu suatu teks menjadi filosofis.
Sebagaimana yang sering kita baca dan kita amati, bahwa teks-teks yang bermuatan filosofis
tentunya amat argumentative, tidak rancu, dan wacana-wacananya merupakan upaya dari
pengorganisasian secara rasional dari premis, argumen dan kesimpulan agar terjalin rapi dan
rasional. Namun kenyataan ini justru membuat Derrida ingin menelanjangi tekstualitas
tersembunyi (laten) dalam sebuah teks dimana ia bukan melacak penataan yang dilakukan secara
sadar, melainkan tatanan yang justru tak disadari dimana ditemukannya asumsi-asumi
tersembunyi dibalik hal-hal yang tersurat. Adapun tujuan dari metode dekonstruksi adalah
sebagai berikut:
1. Menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut;
18
E. Sumaryono, 1990, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, h. 120 19
Christoper Norris, Op.Cit, h. 60
2. Menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan di balik teks-teks.
Metode dekonstruksi ini kemudian menjadi metode membaca teks filsofis, menurut Rodolphe
Gasche menjelaskan penerapan metode dekonstruksi sebagai berikut: 20
1. Identifikasi hirarki oposisi dalam teks (adanya istilah yang diistimewakan secara
sistematis dan ada yang tidak).
2. Oposisi-oposisinya dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara
yang saling bertentangan.
3. Memperkenalkan sebuah istilah/ gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke
dalam kategori oposisi lama.
Rodolphe Gasche menjelaskan penerapan metode dekonstruksi dengan memberikan efek positif
adalah:
1. Menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks;
2. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena pergulatan
yang terbuka (permainan antara perdamaian dan peperangan, akur dan cekcok)
3. Dan jika kita mampu sabar terhadap permainan ini, maka akan menumbuhkan semacam
pendewasaan diri, serta kerelaan untuk membuka diri pada kenyataan bahwa “yang pasti”
bagi kita atau orang lain hanyalah jejak (yang mungkin tidak kita temukan), namun “ada”
21.
Teori dekonstruksi ini sebagai pisau analisis untuk memecahkan rumusan permasalahan
pertama mengenai mengapa notaris menjadi pihak ketiga terpercaya dalam menjamin
keautentikan terhadap transaksi elektronik. Teori dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat,
politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang
mendominasi dan menguatkan fondamen hierarki dengan cara melacak unsur-unsur dan
merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan mengenai keautentikan. Mengenai
20
Metode dekonstruksi ini kemudian menjadi metode membaca teks filsofis yang kemudian unsur-unsur yang
dilacaknya itu akan dibongkar. Yang unik dari metode dekonstruksi ini adalah dayanya dalam membongkar unsur
yang menjadi penentu suatu teks menjadi filosofis. Sebagaimana yang sering kita baca dan kita amati, bahwa teks-
teks yang bermuatan filosofis tentunya amat argumentative, tidak rancu, dan wacana-wacananya merupakan upaya
dari pengorganisasian secara rasional dari premis, argumen dan kesimpulan agar terjalin rapi dan rasional.
(https://hidrosita.wordpress.com/2013/12/14/sekilas-mengenai-dekonstruksi-derrida/) diakses pada tanggal 20
November 2017. 21
Ibid.
keautentikan dalam penulisan disertasi ini adalah memaknai lebih dalam arti dari keautentikan
secara filosofis.
2.2.2 Teori Cita Hukum
Teori cita hukum atau rechtsidee theory dikemukakan oleh Gustav Radbruch seorang
ahli filsafat hukum beraliran Neo-Kantian. Cita hukum dapat dipahami sebagai suatu konstruksi
pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang
bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum, maka pruduk hukum yang dihasilkan itu
akan kehilangan maknanya. Pandangan Gustav Radbruch tersebut dapat dipahami:
De rechtsidee niet allen alseen regulatieve maatstaaf fungeert (om het positieve recht op zijn
rechtvaardigheid of onrechtvaardigheit to toetsen), maar tegelijk als constitutive grondslag
(zonder welke het recht, dat de rechtsidee der gerechtigheit de grondslag vormt van recht,
dat met de idee in strijd kan zijn (onrechtvaardigrecht). 22
Dengan demikian, setiap proses pembentukan dan penegakan serta perubahan-
perubahan yang hendak dilakukan terhadap hukum tidak boleh bertentangan dengan cita hukum
yang disepakati. Hans Kelsen menyebut cita hukum sebagai Grundnorm atau Basic norm23
.
Cita hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan
perundang-undangan. Disini aspek nilai yang terkandung di dalam cita hukum semakin penting
artinya, dan secara instrumental berfungsi, terutama bagi pembuat peraturan kebijaksanaan
(technical policy). Dimensi nilai yang dipersoalkan disini bukan saja dijumpai saat peraturan itu
hendak diimplementasikan, sebab pada saat pengimplementasiannya itulah dibutuhkan produk
kebijaksanaan yang lebih teknis-operasional. Gustav Radbruch mengemukakan, terdapat 3 (tiga)
22
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, h. 43
23 Ibid., h. 44
nilai dasar dari hukum yang kemudian dikenal dengan cita hukum24
. Ketiga nilai tersebut yaitu
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Gustav Radbruch juga mengemukakan adanya kesulitan
dalam mewujudkan ketiga nilai-nilai dasar hukum ini secara bersamaan. Kalau dikatakan tujuan
hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah itu mungkin
tercapai. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dengan yang lainnya berbenturan.
Misalnya suatu kasus dimana hakim menginginkan putusannya adil menurut persepsinya, namun
akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian sebaliknya. Sehingga
Radbruch mengajarkan, menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada
keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir adalah kepastian hukum25
.
Berkaitan dengan cita hukum di Indonesia, maka pancasila dikatakan sebagai cita
hukum (rechtsidee) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cita hukum
(rechtsidee) menurut Rudolf Stammler adalah konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada
cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat26
. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu
(leitstern) untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Cita hukum mengandung prinsip yang
berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum, dengan demikian cita hukum
secara serentak memberikan manfaat ganda yaitu dengan cita hukum dapat diuji hukum positif
yang berlaku, dan pada cita hukum dapat diarahkan hukum positif menuju hukum yang adil. Hal
senada juga dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif yaitu untuk menguji apakah suatu hukum positif adil
24
Ibid., h. 47. Tiga nilai dasar hukum ini disebut juga tiga ide dasar hukum dan tiga asas hukum yaitu
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. 25
John Rawls, 2006, A Theory of Justice, diterjemahkan: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 47.
26 Rudolf Stammler dalam Theo Hujbers, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,
h. 129.
atau tidak, melainkan sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif dan menentukan
bahwa tanpa cita hukum, hukum positif akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
Menurut M. Koesnoe, cita hukum bersumber dari alam nilai. Alam nilai itu sendiri
merupakan dunia idea-idea tentang apa yang dianggap mulia serta luhur, dan oleh karena itu
bersifat harus yang menuntut penghormatan dan ketaatan kepadanya. Dunia nilai-nilai itu
kemudian ditangkap, diolah, dan diramu oleh filsafat hidup dari suatu masyarakat hukum27
.
Dari filsafat hidup tersebut terbentuklah rechts idee, karena nilai-nilai tersebut memiliki
keutamaan dan menjadi cita hukum, maka ia memiliki hakikat imperatif yang mewajibkan. Inilah
yang kemudian membentuk konsep hukum yang kategoris28
.
Dari unsur-unsur konsep ini, ditarik asas-asas hukum. Secara spesifik Stammer
mengindentifikasikan cita hukum sebagai kemauan yuridis, yaitu suatu kemauan yang
mendorong setiap orang untuk membentuk peraturan-peraturan bagi masyarakat dalam hukum
positif. Disini terlihat bahwa kemauan yuridis merupakan kemauan dasar dan syarat bagi seluruh
hukum positif29
. Kemauan yuridis ini bersifat transedental yaitu berfungsi sebagai prinsip
terakhir dari segala pengertian tentang hukum. Cita hukum mengandung arti pada hakekatnya
hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan
pikiran dari masyarakat itu sendiri.
27
M. Koesnoe, 1995, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Majalah
Hukum Nasional, No. 2, BPHN, Jakarta, h. 80
28 Ibid. 29
Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Kompas, Jakarta, hal. 96.
Cita hukum30
itu dibentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk
berpadunya pandangan hidup, keyakinan, keagamaan dan kenyataan-kenyataan yang
diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang wewujudkan keadilan,
hasil guna dan kepastian hukum. Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum akan
mempengaruhi dan berfungsi seagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma
kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam pembentukan, penemuan, penerapan
dan perilaku hukum31
. Dengan dirumuskan cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke
dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku serta memudahkan terjaganya
konsistensi dalam penyelenggaraan hukum32
.
Berdasarkan pengertian cita hukum di atas, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai
suatu ukuran yang berisikan nilai-nilai, maka cita hukum tunduk pada falsafah yang
mendasarinya. Dengan demikian setiap cita hukum memiliki rumusan nilai yang berbeda.
Rumusan nilai cita hukum Pancasila berbeda dengan cita hukum yang orientasi falsafahnya
liberalisme ataupun sosialisme. Falsafah hidup Indonesia adalah Pancasila, merupakan asas
kerohanian negara, norma dasar, cita hukum, dan sumber dari segala sumber hukum.33
Hal ini
sesuai dengan pendapat Hamid S. Attamimi yang mengemukakan bahwa Kelima sila Pancasila
30
Penjelasan UUDN RI Tahun 1945 menerjemahkan kata Rechtsidee dengan cita-cita hukum, yang
semestinya adalah cita hukum karena cita berarti gagasan, rasa, cipta, pikiran, sedangkan cita-cita berarti
keinginan, kehendak, harapan yang selalu ada dipikiran atau dihati. Karena itu Rechtidee sebaiknya diterjemahkan
dengan cita hukum, Lihat Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden, Op.,Cit, h. 308, lihat pula Hamid S
Attamimi,1996, Cita Negara Peratuan Indonesia, BP-7 Pusat, Jakarta, h. 133
31 Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Masa ke Masa, 1995, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta,
h. 246-247
32 Arief Sidharta, Op.Cit, h. 181
33 M. Noor Syam, 2000, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (Sebagai Landasan Pembinaan
Sistem Hukum Nasional), Laboratorium Pancasila IKIP Malang, h. vi
dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman
dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi isi kepada setiap peraturan perundang-undangan,
dan secara negatif merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-
undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan sila-sila tersebut baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan merupakan asas hukum
umum. Selain sebagai cita hukum, Pancasila juga sebagai Norma Fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm), karena itu sila-sila Pancasila baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama merupakan norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya semua norma
hukum.
Dalam kedudukan ini Pancasila disebut juga sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian hukum yang dibangun adalah yang berparadigma Pancasila yang berdasarkan
pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu34
:
a. Mencerminkan religiusitas kebertuhanan segenap warga negara melalui keyakinan
segenap bangsa warga terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. Mencerminkan prinsip-prinsip humanitas yang berkeadilan dan berkeadaban atau sila
kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Menjamin dan memperkuat prinsip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui sila
persatuan Indonesia;
d. Memperkuat nilai-nilai sovereinitas kerakyatan melalui sila kerakyatan yang dipimpin
olehhikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;
e. Melembagakan upaya untuk membangun sosialitas yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dalam membangun masyarakat berdasarkan Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan mendapat tempat
yang tinggi. Karena itu perlu terus dipupuk sikap dasar, bahwa bekerja tidak hanya dimaknai
sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarga semata,
34
Jimly Asshhiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia,Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 206-207
melainkan juga sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri (ibadah) sehingga seseorang
merasa hidupnya menjadi lebih berharga khususnya bagi lingkungannya. Dengan semangat Sila
Persatuan Indonesia, mengandung prinsip nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air, menggalang
terus persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup suatu Bangsa dalam abad modern sekarang ini, sebab tanpa rasa
nasionalisme sesuatu bangsa akan hancur terpecah-belah dari dalam. Nasionalisme Pancasila
mengharuskan Bangsa Indonesia menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan ataupun
perbedaan warna kulit.
Mengacu pada kerangka berpikir kefilsafatan sila ketiga Pancasila itu, maka
keseluruhan proses penegakan hukum melalui peraturan perundangannya, harus mampu
menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa, tanpa harus memandang rendah bangsa lain.
Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam
perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi
pemerintahan dan warga masyarakatnya)35
.
Cita hukum (recht idee) mengandung arti bahwa pada hakekatnya hukum sebagai aturan
tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa dan fikiran dari masyarakat itu
sendiri. Jadi cita hukum itu adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum
atau persepsi tentang makna hukum yang terdiri atas tiga unsur: keadilan, hasil guna
(doelmatigheid) dan kepastian hukum. Dalam dinamika kehidupan masyarakat cita hukum itu
35
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum-Sebuah Penelitian Tentang Fundasi
Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, h. 180-181
akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle),
norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum.
Tiap kaidah hukum mencerminkan sebuah nilai. Dengan demikian, tata hukum itu
mencerminkan atau bermuatan sistem nilai. Dalam esensinya sistem nilai itu dapat dibedakan
kedalam nilai dasar (base values) dan nilai tujuan (goal values). Sebagai sistem nilai Pancasila
merupakan nilai dasar sekaligus nilai tujuan. Dalam kerangka pandangan tentang cara
keberadaan manusia yang dikemukakan menurut pandangan Pancasila, maka cita hukum
Pancasila berintikan36
: Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan atas martabat manusia,
wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, persamaan dan kelayakan, moral dan budi pekerti
yang luhur dan partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.
Berdasarkan kerangka cita hukum (recht idee) Pancasila, maka tujuan hukum bagi
bangsa Indonesia adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi
manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang wenang, dan secara aktif
(positif) dengan menciptakan kondisi masyarakat yang manusiawi yang memungkinkan proses
kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh
kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangka seluruh potensi kemanusiaannya secara
utuh. Termasuk juga untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita
cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa37
.
Teori cita hukum itu dibentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk
berpadunya pandangan hidup, keyakinan, keagamaan dan kenyataan-kenyataan yang
diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang wewujudkan keadilan,
hasil guna dan kepastian hukum. Teori cita hukum dipergunakan sebagai pisau analisis untuk
36
Ibid., h. 183 37
Ibid., h. 190
membedah rumusan permasalahan pertama mengenai mengapa notaris menjadi pihak ketiga
terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik. Dalam era modernisasi
perekonomian yaitu dengan adanya transaksi elektronik maka teori cita hukum ini memberikan
tiga nilai yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam transaksi elektronik dengan
salah satu caranya memperdayakan notaris sebagai pihak ketiga terpercaya.
2.2.3 Teori Hukum Pembangunan
Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah satu teori
hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat adalah mengenai teori
hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja. Ada beberapa
argumentasi krusial mengapa teori hukum pembangunan tersebut banyak mengundang banyak
atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: pertama,
teori hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena
diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam
aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Kedua, secara dimensional maka teori hukum pembangunan memakai kerangka acuan pada
pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila
yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam
teori hukum pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure
(struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.
Friedman38
.
Ketiga, pada dasarnya teori hukum pembangunan memberikan dasar fungsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai
suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang39
.
Hukum Pembangunan dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan penggagasnya sebagai sebuah
teori melainkan konsep pembinaan hukum yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe
Pound “Law as a tool of social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila
dijabarkan lebih lanjut maka secara teoritis teori hukum pembangunan dari Mochtar
Kusumaatmadja, dipengaruhi cara berpikir dari Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal
(Policy Approach) ditambah dengan teori hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi
mekanisnya).
Mochtar mengolah semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi
Indonesia.40
Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Laswell dan Mc Dougal dimana
diperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi pada
38
Lawrence W. Friedman 1984, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it
affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, h. 1-8. Lihat pada Legal Culture and Social
Development, Stanford Law Review, New York, hlm. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History,
Modern Library Chronicles Book, New York, 2002, h. 4-7 menentukan pengertian struktur adalah, “The structure of
a system is its skeleton framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid
nones that keep the process flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is
composed of substantive rules and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum dirumuskan
sebagai, “The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture refers, then, to those
ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend socialforces toward from the law
and in particular ways.”
39Terhadap eksistensi Hukum sebagai suatu system dapat diteliti lebih detail dan terperinci pada: Lili Rasjidi
dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 5
40Shidarta, Op.Cit., h. 411
umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses
melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lainnya
juga bersifat mencerahkan. Oleh karena itu maka teori hukum pembangunan dari Mochtar
Kusumaatmadja, memperagakan pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders
yang ada dalam komunitas sosial tersebut.
Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan adanya tujuan
pragmatis (demi pembangunan) 41
sebagaimana masukan dari Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich
dimana terlihat korelasi antara pernyataan Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara
penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum
(theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar
Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi
hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang
melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan
dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma
diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan
dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang
berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih
41
Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (lawas a tool of social
engeneering) relative masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi
dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau
kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara
elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE).
Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan
dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 7
jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum
sebagai alat karena42
:
1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih
menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan
yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting.
2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di
Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan
konsep seperti itu.
3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini
diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil
yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang
membangun, tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi
pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum,
menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan43
. Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini akhirnya
diberi nama oleh para murid-muridnya dengan Teori Hukum Pembangunan44
. Ada 2 (dua) aspek
yang melatar belakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu45
:
42
Ibid., h. 415 43
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis)
Penerbit Alumni, Bandung, (Selanjunya disebut Mochtar KusumaatmadjaI) h. 14.
44 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., h. 17.
45 Otje Salman dan Eddy Damian, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., PT.Alumni, Bandung, h. V.
1. Ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
masyarakat;
2. Dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran
masyarakat ke arah hukum modern.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu
hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur.
Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut
masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian
hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa
adanya kepastian hukum dan ketertiban46
. Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang
sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban, hukum diharapkan
agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat atau law as a
tool of social engeneering atau sarana. Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat
didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak)
perlu.
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan
adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai
alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah
yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan. Aksentuasi tolok ukur konteks di atas
menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti teori hukum pembangunan, yaitu:
46
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit
Bina Cipta, Bandung, (Selanjutnya disebut Mochtar Kusumaatmadja II), h. 2-3
1. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan
sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;
2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat
pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang
dikehendaki ke arah pembaharuan. 47
Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur pemikiran di atas sejalan
dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan fungsi hukum yang diharapkan selain dalam
fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara48
.
Dalam hubungan dengan fungsi hukum yang telah dikemukakannya, Mochtar Kusumaatmadja
memberikan definisi hukum dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupakan keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan
meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.49
Dengan kata lain suatu pendekatan normatif
semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila hendak melakukan pembinaan hukum secara
menyeluruh.
Teori hukum pembangunan yang dicetus Mochtar Kusumaatmadja50
merupakan sarana
pembaharuan masyarakat didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban
47
Mochtar Kusumaatmadja II, Op.Cit. h. 5. 48
Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, h. 13
49Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta,
Bandung, (Selanjutnya disebut disebut Mochtar Kusumaatmadja III), h. 11
50 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta,
Bandung, (Selanjutnya disebut disebut Mochtar Kusumaatmadja IV) ,h. 13. Lihat hukum merupakan “sarana
pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan
lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah
atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.
dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau
dipandang (mutlak) perlu. Sebagai sarana pembaharuan masyarakat teori ini untuk memecahkan
permasalahan dari kedua rumusan masalah pertama mengenai mengapa notaris menjadi pihak
ketiga terpercaya dalam menjamin keautentikan terhadap transaksi elektronik dan kedua
bagaimanakah pengaturan dan reformulasi hukum agar notaris dapat menjalankan kewenangan
dan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam transaksi elektronik pada bidang perdagangan
secara elektronik. Dalam hal ini hukum sebagai sarana pembaharuan dalam hal transaksi
elektronik untuk menjamin keautentikan dan reformulasi hukum agar notaris dapat menjalankan
kewenangan dan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya pada bidang perdagangan secara
elektronik.
2.2.4 Teori Cybernetics
Teori Cybernetics dicetuskan oleh Norbert Wiener51
, seorang ahli matematika yang
kemudian berkecimpung dalam pengembangan teori komunikasi mekanis. Sejak akhir Perang
Dunia II, Norbert Wiener berkecimpung dalam pengembangan teori komunikasi atau teori pesan
(theory of messages) sebagai bagian dari teori teknik elektronika (the electrical engineering
theory), dengan menimba dasar-dasar teori Cybernetics. Cybernetics adalah teori komunikasi
mekanis yang oleh Wiener dibangun diatas prinsip-prinsip teori fisika dan matematika,
51
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op.Cit, h. 69. Diangkat dari otobiografi Nobert Wiener dalam Alfred
North Whitehead, Science and the Modem World, 1926, h. 93 Lahir pada tahun 1948, dan karir akademisnya
dimulai dengan pendidikannya di Tufts College dan di Harvard Univesity, dengan gelar Ph.D pada usia yang ke-19.
Kemudian melanjutkan pendidikannya di Cornell, Columbia, Cambridge (Inggris), Gottingen, dan di Copenhagen
pada tahun 1933 dan menerima Bocher Prize dari American Mathematical Society, pada tahun 1936 telah menjadi
salah seorang dari tujuh anggota delegasi Amerika dalam International Congress of Mathematician di Oslo,
Norwegia. Pada 1935-1936 guru besar peneliti matematika di National Tsing Hua University, Peking, Cina dan
pengajar di Harvard dan di University of Maine, dan sejak 1919 juga menjadi staf pengajar di MIT dan kemudian
menjabat sebagai guru besar matematika.
khususnya teori probabilitas. Kendatipun bertolak dari perkembangan fisika, namun sangatlah
penting diingat bahwa Cybernetics bukanlah teori fisika semata. Adalah lebih tepat
mengatakannya sebagai transformasi teori komunikasi mekanis yang berakar pada fisika dan
matematika ke dalam bentuk kehidupan manusia52
.
Tesis dari teori Cybernetics-sosial Wiener adalah bahwa masyarakat hanya mungkin
dapat dipahami melalui penelitian terhadap proses pesan (messages) dan fasilitas komunikasi
yang menjadi bagian dari sistem pesan itu. Terdapat perbedaan yang sangat detail antara sistem
kontrol komunikasi antara makhluk hidup dengan mesin, dan antara makhluk hidup dengan
makhluk hidup dalam tingkatannya yang beraneka. Tujuan utama Cybernetics adalah untuk
membangun sistem komunikasi (language and technigues) yang dapat digunakan untuk
mengatasi perbedaan dan masalah kontrol itu, termasuk untuk menemukan metode yang tepat
untuk menentukan kekhasannya dalam berbagai konsep yang bersifat khusus.
Wiener menyebutkan perintah (commands) sebagai dasar utama sistem komunikasi.
Perintah oleh manusia digunakan sebagai alat untuk mengatur lingkungannya. Sebagai suatu
bentuk informasi, perintah merupakan alat yang berada dalam posisi peralihan antara kondisi
yang serba tidak teratur dengan kondisi yang serba teratur. Perintah yang dikirim oleh suatu
pihak kepada pihak lain melalui sistem komunikasi, tidak selalu dapat dipahami seluruhnya oleh
pihak penerima perintah. Wiener tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian
dan penerimaan perintah pada mesin dan manusia. Manusia menerima perintah melalui sistem
sarafnya yang bekerja menyerupai sistem mekanis, yaitu melakukan proses seleksi terhadap
perintah (pesan) yang diterimanya. Proses ini berlangsung pada sistem saraf yang berfungsi seba-
gai organ seleksi (sensory-organ), setelah terlebih dahulu berlangsung proses penerimaan
52
Ibid. h. 70.
melalui saraf penerima (receptor-organ), seperti misalnya oleh saraf kinestesia (kinaesthesia),
yang secara keseluruhan dikoordinasikan oleh sistem saraf manusia53
.
Proses ini seluruhnya merupakan poses pemberian perintah berupa tindakan atau
ungkapan yang hakikatnya adalah data yang disebut input, proses penerimaan dan, pengolahan
perintah, dan akhirnya hasil dari proses pengolahan data atau perintah itu, berupa reaksi yang
disebut output. Diorganisasi antara input dan output dikontrol oleh proses kontrol yang disebut
feedback, yang meliputi seluruh organ yang menjalankan fungsi monitor, pengingatan (teguran),
dan lain-lain. Melalui analisis analogi ini, Wiener akhirnya sampai pada tesis terdahulu. Proses
inilah yang berlangsung sejajar pada sistem informasi pada manusia dan sistem mekanis. Wiener
menyatakan “The machine, like the living organism, is, as, I have said, a devive which locally
and temporarily seems to resist the general tendency for the increase of entropy”54
.
Kesamaan lain yang dilihat Wiener dalam analogi itu adalah kebergantungan fungsi
mekanis pada saraf manusia dan sistem mekanis mesin terhadap keputusan-keputusan lampau
dalam pengambilan-pengambilan keputusannya, yang dapat mengambil dua bentuk yaitu,
closing or opening of a switch pada mesin, dan menerima atau menolak pada manusia.
Kesamaan analogis antara mesin dan manusia atau makhluk hidup umumnya juga terlihat pada
sistem komunikasi yang berlaku di antara mereka. Kesimpulannya, terdapat kesamaan di antara
keduanya. Sifat dasarnya adalah proses mekanis. Hanya saja sistem komunikasi pada manusia
menggunakan simbol-simbol yang kompleks dan beragam, disertai dengan tingkat pemilihan
yang tinggi terhadap simbol-simbol atau kode itu. Pada binatang, sistem komunikasi ini lebih
bersifat seragam dan instingtif, yang hanya berlaku sebagai logika tertutup untuk suatu spesies
tertentu. Kesederhanaan sistem ini juga terletak pada kecilnya tingkat perubahan perilaku yang
53
Ibid. h. 72-73 54
Ibid. h. 74.
sifatnya historis. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan proses yang berlangsung pada manusia.
Perbedaannya terletak pada karakteristik simbol yang digunakan. Itu berarti pada dasarnya dalam
proses komunikasi itu berlangsung dasar-dasar sistem mekanis yang analogis.
Cybernetics menaruh perhatian besar terhadap proses penyelenggaraan pesan
(messages) dalam proses komunikasi itu. Perhatian terpenting oleh Cybernetics ditempatkan
pada kesamaan karakteristik yang menjadi dasar dari proses komunikasi itu. Cybernetics
akhirnya merupakan suatu teori pesan, khususnya teori tentang kontrol otomatis yang
berlangsung pada proses sistem pesan itu, yaitu yang hakikatnya adalah suatu sistem kontrol
mekanis. Dengan demikian, hakikat Cybernetics amatlah luas, yaitu kendatipun memusatkan
perhatian pada hakikat dasar teorinya sebagai teori tentang sistem kontrol otomatis, namun aspek
cakupannya amatlah luas.
Wiener sendiri juga menggunakan Cybernetics tidak hanya untuk menunjuk teori
dasarnya (sistem kontrol otomatis), tetapi juga untuk menunjuk sejumlah teori yang implisit di
dalamnya, yaitu teori pesan, teori bahasa, teori informasi, teori komunikasi, teori reaksi, teori
sistem, teori komando (teori perintah), dan lain-lainnya. Aspek teori terakhir yang disebutkan
dalam rangkaian ini, yang juga hakikatnya merupakan salah satu unsur inti dari teori Wiener,
merupakan dasar yang digunakan oleh Wiener untuk menyusun teori hukumnya yang dalam
buku ini55
disebut Teori Hukum Cybernetics. Alasan lainnya tentulah karena Teori Cybernetics
juga merupakan teori tentang proses dan keseluruhan (wholeness), yang secara analitis dapat
dipandang sebagai salah satu variasi dari teori sistem (general system theory) umumnya. Atas
dasar konsep-konsep itu, Wiener menyusun teori hukumnya dalam formulasi yang menarik.
Pertama, didasarkan pada latar belakang teori yang bersifat khusus (fisika), tetapi, kedua,
menghasilkan teori yang menyerupai teori hukum positif dari aliran Positivisme Hukum.
55
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Log.Cit.
Pada dasarnya Cybernetics merupakan teori pesan searah, yaitu proses komunikasi
(sistem komunikasi) antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Pemberi pesan merupakan
pihak pertama yang memberi pesan kepada pihak kedua (penerima pesan) yang mengakibatkan
timbulnya reaksi pada pihak kedua untuk memberikan informasi kepada pihak pertama, sejumlah
kehendak pihak pertama.
Wiener mendapatkan bahwa teori teknik elektronika tentang pengiriman pesan
(transmission of messages) ternyata merupakan bidang yang meliputi sub-sub bidang yang
sangat luas. Tidak saja bahasa, tetapi juga pesan sebagai alat kontrol mesin dan masyarakat
(mean of controlling machinery and society), pembangunan mesin-mesin otomatis lainnya
(computing machines and other such automata), refleksi nyata dari sistem saraf dan psikis
(certain reflections upon psychology and the nervous system), dan teori ilmu pengetahuan baru
yang bersifat tentativ. Oleh Wiener, Cybernetics dipergunakan untuk menunjuk suatu proses
komunikasi searah yang bersamaan dengan berlangsungnya proses pengendalian (classed
communication and control together). Untuk menjelaskan definisi Cybernetics, Wiener
menyatakan;
When I communicate with another person, I impart a message to him, and when he
communicates back with me he returns a related message which contains information
primarily accessible to him and not to me. When I control the actions of another person, I
communicate a message to him, and although this message is in the imperative mood, the
technique of communication does not differ from that of message of fact. Furthermore, if my
control is to be effective I musk take cognizance of any messages from him which may
indicate that the order is understood and has been obeyed. 56
56
Ibid. h. 78. Hakikat dari suatu sistem komunikasi adalah sistem perintah searah, dan sistem pengendalian
searah. Sistem komunikasi itu merupakan proses hubungan antara “pemberi pesan” (komunikan I) dengan
“penerima pesan” (komunikan II), melalui hal itu komunikan I memberikan pesan kepada komunikan II. Jawaban
dari (pesan balik) komunikan II semata-mata dianggap sebagai reaksi otomatis (akibat) yang disebabkan oleh
adanya aksi (pemberian pesan) dari komunikan I, dan adanya pengendalian searah dari komunikan I yang
mengakibatkan komunikan II memenuhi kehendak (perintah pesan) dari komunikan I. Dalam formulasi kedua
(control the action of another person) dari pernyataan Wiener itu, proses perintah searah ini menjadi lebih tegas
lagi. Bahwa bagi Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya adalah sistem pemberian
Untuk maksud itulah Wiener memanfaatkan analogi mekanis dalam menyusun teorinya.
Dalam menjelaskan analogi ini, Wiener membandingkan proses komunikasi yang berlangsung
pada manusia dengan proses yang berlangsung pada mesin-mesin modern yang bersifat otomatis,
seperti proses yang berlangsung pada sistem pintu otomatis, dan lain-lainnya. Unsur yang sama
dari proses pengiriman dan penerimaan pesan, hingga pada reaksi yang diberikan penerima
pesan atas pesan yang diterimanya, adalah pertama, adanya proses pengiriman pesan bersifat
searah kepada penerima pesan. Kedua, adanya proses penerimaan dan pengolahan pesan. Ketiga,
adanya tindakan sebagai hasil proses itu. Keempat, adanya kontrol eksternal terhadap proses
mekanis berdasarkan monitor. Hal ini akan menjadi pertimbangan penting dalam proses
pengangkatan. Cybernetics dalam penyusunan teori sistem hukum. Hal serupa juga dilakukan
Wiener ketika ini menggambarkan proses sistem dalam konstruksi yaitu:
Konstruksi Desain Proses Sistem Komunikasi Menurut Cybernetics
perintah (Imperative mood - order) searah. Karena bagi Wiener, pesan balik (reaksi) dari komunikan atas pesan
atau kontrol yang diberikan oleh komunikan I adalah refleksi dari pemahaman dan penerimaan komunikan II atas
perintah yang diberikan oleh komunikan I.
Keterangan : 57
PP = pusat perintah; melalui tindakan (action);
input = data hasil tindakan;
proses = penerimaan dan pengolahan data;
output =hasil pengolahan data; menghasilkan reaksi tindakan/ informasi balik;
kontrol = monitor terhadap proses pengolahan data;
feedback =hasil kontrol; berfungsi sebagai input bagi proses berikutnya.
Konstruksi ini sekali lagi lebih memenuhi karakteristik sistem pada kesatuan-kesatuan
mekanis (mesin), sebab setiap mesin akan bekerja secara otomatis setelah menerima instruksi.
Proses penyaluran perintah ini dapat diamati pada setiap proses mekanis pada benda-benda
mekanis, seperti komputer, tangga otomatis, proyektor film, dan Iain-lain.
Menurut Wiener hal serupalah yang juga dianggap berlangsung pada sistem perilaku
manusia. Sangat keliru jika output pada mesin dipastikah sama dengan output yang dihasilkan
oleh proses sistem dalam diri manusia. Wiener menyatakan bahwa reaksi (output) yang
dihasilkan oleh proses sistem mekanis akan sama besar (sesuai) dengan input yang diterimanya.
Tetapi, kelirulah jika rumusan ini diterapkan terhadap proses sensorik yang berlaku dalam diri
manusia. Dalam proses penerimaan dan pengolahan pesan, mungkinlah berlangsung proses
mekanis secara analogis, tetapi dalam hal output, mesin dan manusia lebih sering berbeda. Hal
ini mungkin akan lebih mudah dipahami jika pada satu bagian manusia dimengerti sebagai
sistem tertutup, terutama dalam menerima dan otomatisasi pengolahan pesan itu.
Penerapan teori cybernetics dalam penyusunan teori hukum, Wiener sangat dipengaruhi
oleh premis-premis sistem yang telah disusun mendahului pembangunan teori hukumnya. Dalam
57
Ibid. h. 84-85. Seperti pada Konstruksi I, komunikan I atau pemberi perintah hanyalah bertugas
melepaskan perintah kepada komunikan II, dan perintah itu yang kemudian secara otomatis dianggap melakukan
pengendalian otomatis terhadap proses pada K II, yang akhirnya membuat K II secara otomatis berproses dan
memberikan reaksi sesuai dengan perintah (kehendak) k I.
mengaplikasikan cybernetics dalam kehidupan manusia, Wiener menyatakan58
For all these
forms of behavior, and particulary for the more complicated ones, we must have central organ
(garis bawah penulis) which determine what the machine is to do next on the basis of
information feed back to it, which it stores by means analogous to the memory of living
organism.”Bertolak searah dengan premis-premis tersebut, Wiener mendefinisikan hukum
sebagai berikut:
Law may be defined as the ethical control applied to communication, and to language as a
form of communication, especially when this normative aspect is under the control of some
authority sufficiently strong to give its decisions a effective social sanction. It is the process
of adjusting the “couplings” connecting the behavior of different individuals in such a away
that we call juctice may be accomplished, and disputes may be avoided, or at least
adjusticated59
.
Menurut Wiener, hukum merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu,
yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sebagai tujuannya. Perwujudan tujuan atau pengen-
dalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa
atau dengan penerapan sanksi hukum terhadap suatu sengketa. maka definisi hukum Cybernetics
ini dapat digambarkan demikian :
Hubungan Antara Organ Pusat (Central Organ) dengan Individu-lndividu Pelaku
Komunikasi
58
Ibid. h. 87 59
Ibid.
Keterangan:
Op = organ pusat - pusat kewenangan - pusat perintah- pusat energi - pusat
pengawasan;
HK = hukum - perintah - energi - pengendali;
SK = sistem komunikasi; beranggotakan individu-individu;
I = individu-individu komponen sistem komunikasi; dianggap senantiasa taat
terhadap perintah; pelanggaran perintah dikendalikan dengan penerapan
sanksi;
K = keadilan sebagai tujuan perintah (hukum)60
.
Jika ditempatkan dalam konstruksi sistem komunikasi Cybernetics, maka organ pusat
adalah analogi dari Komunikator. Hukum merupakan analogi dari input (data). Sistem Komuni-
kasi adalah Komunikator, dan keadilan sama dengan output dari sistem komunikasi itu.
Formulasi ini dapat digambarkan demikian:
Konstruksi II Sistem Hukum dalam Sistem Komunikasi Cybernetics
60
Ibid., h. 88. Konstruksi atau formulasi ini merupakan perwujudan dari premis dan kata-kata kunci dari
setiap premis yang diajukan oleh Wiener sepanjang penerapan teorinya dalam sistem kehidupan manusia, yaitu,
“central organ” - “authority” - “law” -”control” -”communication” - “justice”.
Keterangan:
Op organ pusat ; berkedudukan sebagai komunikan I, yaitu pemberi perintah;
HK ; hukum wujud dari perintah yang diberikan oleh komunikan I;
merupakan perintah searah; berkedudukan sebagai input bagi sistem
komunikasi;
SK : sistem komunikasi; berkedudukan sebagai komunikan II; penerima
perintah; berdasarkan perintah itu; proses berlangsung secara otomatis;
dan ter-hadapnya berlangsung kontrol otomatis, penyim-pangan
terhadap perintah komunikan I oleh setiap komponen komunikan II
dinormalkan melalui penerapan sanksi hukum;
K : keadilan ; berkedudukan sebagai output; di sini tingkat keadilan yang
dicapai diukur;
Feedback : merupakan hasil kontrol terhadap input, proses, dan hasil proses
(output)61
.
Kendatipun menaruh kesadaran luas terhadap kelemahan analoginya dengan
mempertimbangkan berbagai terminologi kehidupan yang tidak dapat dimekaniskan, seperti
soul, vitalism, life, dan lain-lainnya, namun Wiener tetap sampai kepada rumusan-rumusan
mekanis pada teorinya. Hal ini menunjukkan konsistensi teori Wiener, seperti juga terhadap
hukum yang mencerminkan kuatnya dorongan obsesi Wiener untuk mewujudkan cybernetics
sebagai formulasi teori sistem yang dapat diterapkan pada apapun jenis dari suatu sistem komu-
nikasi. Pada satu sisi, Wiener memang berhasil melampaui batas-batas khas dari banyak satuan,
61
Ibid., h. 90
termasuk kehidupan. Tetapi, pada sisi lainnya kelihatan menyerah kepada keharusan sekedar
berkonsentrasi terhadap unsur-unsur mekanis dari satuan apapun yang dianalisisnya.
Cara Wiener menggambarkan hukum membuat teori Wiener menyerupai teori-teori
hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Seperti pandangan ahli hukum Kontinental umumnya,
Wiener juga menempatkan perintah, sebagai unsur utama hukum. Searah dengan Cybernetics,
Wiener menganggap hukum sebagai alat kontrol yang melalui unsur perintah sebagai unsur
utamanya, dipandang sebagai arus energi searah yang akan menggerakkan komponen sistem
komunikasi (individu) secara otomatis. Cara penggambaran ini lebih kuat mencerminkan konsis-
tensi logika Cybernetics daripada kesesuaiannya dengan kenyataan. Karena pada kenyataannya,
manusia sebagai unsur sistem komunikasi bukanlah komponen yang sesederhana komponen
sistem komunikasi mekanis. Lebih kompleks lagi, individu dalam suatu sistem komunikasi
tidaklah senantiasa dapat berta-han pada nilai keindividualannya, melainkan cenderung terikat
dalam sistem hubungan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
Berbeda dengan komponen sistem mekanis, manusia adalah makhluk yang otonominya
sangat dihormati dan karenanya ia sangat potensial untuk menerima atau menolak perintah.
Keadaan ini membuka kemungkinan luas bagi dibutuhkan-nya sistem pengendalian yang lebih
kompleks lagi, yaitu sistem pengendalian yang mampu menembus otonomi individual manusia
itu. Pengakuan otonomi individual bagi setiap komponen sistem masyarakat juga membuka
kemungkinan terbentuknya arus kontrol balik dari individu-individu yang semula dianggap objek
perintah menjadi subjek kontrol terhadap pem-beri perintah. Individu tidak lagi bersifat pasif
sebagaimana digambarkan dalam Cybernetics, tetapi juga dapat bersifat aktif. Kompleksitas
hubungan ini menunjukkan bahwa untuk sistem hukum Eropa Kontinental, Cybernetics mungkin
sangat memenuhi syarat untuk menggambarkan keberadaan hukum dalam dimensi
fungsionalnya, tetapi pertimbangan yang lebih lengkap harus dipersiapkan jika teori itu hendak
diaplikasikan dalam kultur non-Eropa Kontinental.
Hal penting yang juga perlu diberi perhatian khusus adalah masalah kedudukan pemberi
perintah (penguasa pemerintah) sebagai sentral perintah. Dalam bentuk negara hukum modern,
pandangan seperti ini tidak dapat dipertahankan lagi. Pemerintah bukanlah “the central power of
law”. Mereka hanyalah pelaksana fungsi pembentukan hukum atau sekedar pelaksana
kewenangan untuk memberi perintah, sedangkan pusat kekuatan itu sendiri hukum, melalui hal
itu masyarakat memformulasikan kekuasaannya. Konsepsi ini merupakan akibat dari meluasnya
konsepsi the rule of law (supremasi hukum), menurut konsep hukum dipandang sebagai
peraturan tertinggi yang memberi kewenangan dan batas kewenangan bagi setiap pihak untuk
bertindak. Setiap orang harus bertindak menurut hukum, dan taat kepada hukum, dalam
kedudukan apapun orang itu berada.
Hal yang sama dari konsepsi hukum modern ini adalah bahwa Cybernetics maupun
konsepsi hukum modern sama-sama mengakui adanya pusat perintah (central power/energy),
hanya saja menurut Cybernetics pusat perintah itu adalah central organ, sedangkan menurut
konsepsi hukum modern itu, pusat perintahnya adalah hukum itu sendiri. Penjelasan ini segera
menunjukkan relevansi Cybernetics dalam penyusunan teori sistem hukum, sekaligus batas-batas
relevansi dan kapasitasnya. Karenanya sangatlah penting menggali bantuan dari teori-teori
hukum lain untuk penyempurnaan Cybernetics dalam tujuan pembentukan teori sistem hukum
itu.
Untuk tujuan itulah berikut dikemukakan pula kapasitas berbagai paradigma hukum,
yang hakikatnya juga menggambarkan perkembangan pandangan dan kebutuhan manusia
terhadap hukum. Teori cybernetics yang digagas oleh Norbert Wiener yang secara keseluruhan
mengutip dari Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra dalam buku Hukum Sebagai Suatu Sistem,
merupakan teori pesan searah dengan proses komunikasi (sistem komunikasi) antara pemberi
pesan dengan penerima pesan. Teori cybernetics dalam tulisan ini untuk memecahkan rumusan
permasalahan yang kedua mengenai bagaimanakah pengaturan dan reformulasi hukum agar
notaris dapat menjalankan kewenangan dan fungsi sebagai pihak ketiga terpercaya dalam
transaksi elektronik pada bidang perdagangan secara elektronik. Teori cybernetics ini
menitikberatkan ke arah reformulasi hukum dalam transaksi elektronik. Timbulnya reaksi pada
transaksi elektronik sebagai pesan searah dari para pihak pihak dan Notaris sebagai pengendali
(controler) yang mengakibatkan kedua belah pihak dapat melakukan kegiatan (reaksi).
2.3 Landasan Konseptual
Landasan konseptual adalah salah satu bahagian terpenting dari teori. Peranan landasan
konseptual dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan. Dengan demikian landasan konseptual dapat diartikan pula sebagai sarana untuk
mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian
(observasi) masalah yang akan diteliti.62
Konseptual diartikan pula sebagai kata yang
menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi
operasional.63
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa landasan konseptual pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering
kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit
62
John W, Creswell, 1994, Research Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Alih Bahasa Angkatan III
dan IV Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, Kata Pengantar Parsudi Suparlan, KIK
Press, Jakarta, h. 79
63 Sumadi Surya Barata, 1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 28
dalam proses penelitian64
. Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari
perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian ini harus dibuat beberapa definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian
ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu kajian hukum adalah suatu proses penelitian,
penelaahan, pengujian secara lebih mendalam secara hukum65
.
2.3.1 Konsep Autentik dan Akta Otentik
Istilah autentik dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah 1. dapat dipercaya; 2. Asli,
tulen; 3. Sah66
. Autentik adalah bahasa serapan yang telah di kukuhkan kedalam bahasa
Indonesia yang baku. Secara filsafah mengenai keautentikan yaitu:
To be authentic, one must truly be in harmony with his freedom. In existentialism , the
notion of authenticity means really coming to terms with oneself, and then living
accordingly. One must be able to come to terms with his identity while also not letting his
background and history play a part in his decisión making process. Making choices should
be done based on one‟s values, so that there is a responsibility that come with the decisión
making process. If one does not live within a balance of his freedom, he is inauthentic. It is
in the inauthentic experience that people allow ideas like determinism, believing choices are
meaningless, and acting as one should to persuade their choice making67
.
Secara persuasif keautentikan berdasarkan pendapat dari Paul Klienman, sebagai seorang yang
sesuai dengan jati dirinya yang berlatar belakang dan sejarahnya berperan dalam proses
pembuatan keputusan berdasarkan latar belakangnya, latar belakang dilantiknya Notaris wajib
sumpah yang berlandaskan Pancasila, yang dimaknai ada tanggung jawab yang datang dengan
proses pembuatan keputusan. Pendapat Paul Klienman mengenai konsep authentic, hampir sama
64
Soerjono Soekanto, Op.Cit. 133
65 Lili Rasjidi, Op.Cit, h. 46
66 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 34
67 Paul Klienman, 2013, Philosophy 101 “A Crash Course In The Principles Of Knowledge, Reality, And
Values”, F+W Media. Inc., U.S.A., h. 25
mengenai konsep dengan Notaris dalam pembuatan akta autentik. Authentication dalam Black‟s
Law Dictionary menyebutkan bahwa68
:
1. Broadly, the act of proving that something (as a document) is true or genuine,esp. so
that it may be admitted as evidence; the condition of being (authentication of the
handwriting). 2. Specific., the assent to or adoption of a writing as one‟s own.”“ The
concept of authentication, althought continually used by the courts without apparent
difficulty, seems almost to defy precise deination. Some writers have construed the term
very broadly, as does wigmore when he states that „when a claim or offer involves
impliedly or expressly any elemnt of personal connection with a corporeal object, that
connection must be made to appear…‟ So defined „authentication‟ is not only a necessary
preliminary to the introduction of most writings in evidence, but also to the introduction of
various other sorts of tanginbles.
Ketentuan mengenai autentik menjadi otentik secara gramatikal bahasa Indonesia yang
secara eksplisit terdapat dalam Pasal 165 HIR, yang sama bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang
berbunyi “Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya
dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan
sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan langsung
dengan perihal pada akta itu.”Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg tersebut di atas memuat
pengertian dan kekuatan pembuktian akta otentik sekaligus.
Pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa suatu
akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu dan di tempat di mana akta
dibuatnya. Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam
bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian
68
Black Henry Campbel, Op.Cit, h. 151
itu, ditempat dimana akta itu dibuat69
. Irwan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur
esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:70
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di
tempat dimana akta itu di buat.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa
menurut ketentuan yag telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak- pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-
pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang
menerangkan tentang apa yang dilakukan atau dilihat dihadapannya71
.
Akta otentik adalah suatu akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana
akta itu dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Akta-akta lain yang
bukan otentik dinamakan akta di bawah tangan. Ada beberapa alasan mengapa akta harus dibuat
secara otentik :
1) Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum.
Dengan kata lain akta merupakan syarat mutlak untuk adanya suatu perbuatan hukum
tertentu, dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta berarti perbuatan hukum itu tidak
terjadi..
69
R. Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut R. Soegondo
II), h. 89
70 Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, h. 148
71 Husni Thamrin, 2011,Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris,Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 11
2) Sebagai alat bukti72
.
Atas kehendak para pihak agar perjanjian dibuat secara notariil. Contoh perjanjian sewa
menyewa dan perjanjian kerjasama. Pasal 1870 KUH Perdata mengatakan “suatu akta
otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang
yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya”. Berdasarkan hal tersebut, akta otentik merupakan suatu alat bukti yang
mengikat dalam proses suatu perkara-di pengadilan, mengingat HIR menganut asas
pembuktian formal, sehingga apa yang ditulis dalam akta tersebut haras dipercaya oleh
hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti disamping akta otentik
tersebut sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik merupakan
suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna. Suatu akta otentik tidak hanya
membuktikan benar bahwa para pihak betul sudah menghadap kepada notaris pada hari
dan tanggal yang disebutkan dalam akta, dan bahwa para pihak menerangkan apa yang
ditulis dalam akta., tapi juga menjamin bahwa apa yang diterangkan para pihak adalah
benar.
Penafsiran demikian, diambil dari Pasal 1871 KUH Perdata, yang mengatakan bahwa:
“Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat
didalamnya sebagai suatu penuturan belaka. Selain sekedar apa yang dituturkan itu ada
hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat di situ sebagai suatu penuturan
belaka tidak ada hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna
sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan”. Dengan demikian akta otentik itu memberikan
72
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, h. 46
bukti yang sempurna mengenai segala apa yang menjadi isi pokok akta dan dinyatakan secara
tegas oleh para penandatangan. Secara otentik pada wajib mencantumkan:
a. Tanggal dari akta
b. Tandatangan-tandatangan yang ada dalam akta
c. Identitas dari orang-orang yang hadir.
d. Bahwa apa yang tercantum dalam akta adalah sesuai dengan apa yang diterangkan para
penghadap kepada notaris unruk dicantumkan dalam akta, sedang kebenaran dari
keterangan hanya pasti antara para pihak yang bersangkutan.
Menurut Subekti suatu akte otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat
didalamnya mempunyai tiga macam kekuatan yaitu:73
a. Kekuatan Pembuktian Formil.
Membuktikan bagi pihak atau antara para pihak, bahwa pihak atau para pihak sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi.
b. Kekuatan Pembuktian Materiil atau Kekuatan Pembuktian Mengikan.
Membuktikan bagi pihak atau antara para pihak yang bersangkutan. bahwa sungguh-
sungguh peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi.
c. Kekuatan Pembuktian Keluar
Membuktikan tidak saja antara (para) pihak yang bersangkutan tetapi juga
terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta pihak atau kedua belah
pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa
yang ditulis dalam akta tersebut.
Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi akta otentik,
tapi dalam kenyataannya ada beberapa isi akta notaris yang dinyatakan batal oleh putusan
hakim74
atau dinyatakan cacat hukum bahkan notarisnya sendiri dipanggil sebagai saksi75
dalam
suatu proses perkara yang sedang berjalan.
73
Subekti I, Op.Cit, h. 55 74
Hakim bebas menilai dapat tidaknya suatu alat bukti diajukan dalam persidangan. Dalam menilai alat
bukti yang sudah diajukan di muka sidang pada hakekatnya hakim hanya menilai cukup tidaknya alat bukti itu
untuk membenarkan peristiwa yang menjadi sengketa. Andai kata isi akta notaris sebagai alat bukti tidak memberi
kepastian kepada hakim tentang kebenaran peristiwa yang disengketakan, maka hakim tidak boleh
membatalkannya, kecuali apabila ada pennohonan dari pihak yang bersangkutan kepada hakim dalam suatu
gugatan untuk membatalkannya. Jadi hakim secara ex officio tidak boleh membatalkan akta notaris, lihat Soedikno
Mertokusumo Pembatalan isi akta notaris”, Himpunan Kliping Notarial, IMNO UNPAD, 2000.
75Sebenarnya tidak relevan apabila dalam suatu proses perdata di Pengadilan, seorang notaris pembuat
akta yang dijadikan alat bukti dalam proses itu, diajukan atau dipanggil sebagai saksi untuk diminta kesaksiannya
Dalam situasi ini, apakah benar akta notaris dapat dibatalkan oleh hakim. Pada
dasarnya akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Seperti yang dikutip dalam
Allan Farnsworth mengenai pembuktian di Amerika menyatakan The word contract is used in
different senses in American Law. Sometimes it is used, as it is used in common speech, simply to
refer to a writing containing terms on which the parties have agreed76
. Bukti sempuma
memungkinkan adanya bukti lawan yang dapat melumpuhkan akta otentik sehingga dapat
dibatalkan. Kalau sekiranya ada kesalahan pada isi akta, tetapi akta sendiri sebagai akta
memenuhi persyaratan dan tidak cacat. Kiranya tidak tepat kalau aktanya dibatalkan. Isi akta
atau perbuatannyalah yang dibatalkan, sedang aktanya tidak mempunyai kekuatan hukum. Di
dalam Peraturan Jabatan Notaris telah diatur sanksi apabila notaris dalam pembuatan akta
melanggar ketentuan ketentuan dalam PJN, maka aktanya hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta di bawah tangan.
Akta otentik untuk memenuhi kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut
harus sah secara formalitas pada saat pembuatannya, bentuknya, maupun material isi dari akta
tersebut. Formalitas pada saat pembuatannya yang dimaksud disini, akta tersebut dibuat oleh
notaris yang berwenang, memenuhi ketentuan-ketentuan dalam PJN untuk pembuatan suatu akta,
dan sah dalam bentuk misalnya peristiwa hukum yang seharusnya dibuat dalam bentuk akta
relaas oleh notaris tidak dibuat dalam bentuk akta pihak. Tidak dipenuhi syarat material isi akta
mengenai satu dan lain hal tentang isi akta yang dibuat. Apa yang harus diuraikan lagi oleh notaris, karena segala
sesuatu yang diberitahukan para pihak semuanya sudah tercantum dalam akta. Akta itulah yang menjadi tanda
kesaksiannya atau tanda pembuktiannya bukan notarisnya. Sebab jika notaris sebagai saksi memberikan
keterangan yang bertentangan dengan isi akta maka yang lebih menentukan adalah aktanya. Sebab mungkin
notaris bisa lupa, tapi aktanya tidak berubah sebagai akta yang otentik, Lihat Tan A Sioe, Notaris dengan aktanya
yang otentik, Simposium Fungsi notaris dalam pembangunan, Universitas Diponegoro, 1984, hal 6.
76 E. Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Revised Edition, Juris Publishing, United States of
America, h.1.
misalnya saja para pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta dianggap
benar. tapi setelah itu ternyata kemudian tidak benar.
Selain akta notaris yang disebut juga akta otentik terdapat alat bukti tertulis lain yang
disebut akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Akta tersebut semata-mata
dibuat oleh dan antara para pihak yang berkepentingan. Bentuk dan tata cara pembuatan akta di
bawah tangan ini tidak diatur baik dalam KUH Perdata maupun dalam HIR. Di dalam KUH
Perdata, diantaranya Pasal 1876 KUH Perdata ada menyebutkan mengenai beban pembuktian
dari suatu akta di bawah tangan. Dalam Pasal 1876 KUH Perdata termaksud dijelaskan bahwa
barangsiapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan di bawah tangan (maksudnya akta di bawah
tangan) diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Akta Otentik
diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “suatu akta otentik ialah akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”. Maksud dari Pasal ini adalah, akta otentik yang
di buat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum, pejabat yang
memang berwenang untuk membuatnya, yang sebelumnya menempuh pendidikan untuk dapat
memliki keahlian dan berwenang dalam membuat akta. Subekti berpendapat bahwa Akta Otentik
adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh
atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk membuatnyadi tempat dimana
akta itu dibuat77
.
2.3.2 Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum Dan Pelayanan Publik
77
Subekti, 2010, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut Subekti II), h. 26
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Istilah Pejabat Umum merupakan
terjemahan dari istilah Openbare Ambetenaren78
yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang
Jabatan Notaris dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 KUHPerdata
menyebutkan “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat
dimana akta itu dibuat”, dan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Jabatan Notaris menyebutkan
“Notaris adalah Pejabat Umum79
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal
1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu. Pegawai-pegawai umum yang berkuasa tersebut
diantaranya adalah PPAT, Pejabat Lelang, Pejabat KUA, Pejabat Dinas Kependudukan dan
termasuk Notaris yang berkuasa mengeluarkan akta otentik sesuai kewenangannya masing-
masing yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
78
Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris Ambt in
Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing,
Op.Cit., h. v.
79 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan nomor 009-014/PUU-l 11/2005, tanggal
13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang
Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN80
bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik,
sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catalan Sipil,
tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi
sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan
kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai Pegawai Negeri. Misalnya
akta-akta, yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor
Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai
Negeri.
Seakan-akan Notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu
aturan hukum dari instansi pemerintah. 81
Dalam penataan kelembagaan (hukum), khususnya
untuk Notaris, cukup untuk Notaris dikategorikan sebagai Pejabat Umum82
(atau sebutan lain
sebagaimana tersebut di bawah ini) saja dan tidak perlu menempelkan atau memberikan sebutan
lain kepada Notaris. Jika suatu institusi ingin melibatkan Notaris dalam rangka pengesahan suatu
dokumen atau Surat atau dalam pembuatan dokumen-dokumen hukum, cukup dengan petunjuk
bahwa untuk hal-hal tertentu wajib dibuat dengan akta Notaris, contohnya:
80
Pasal 15 ayat (1) UUJN : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian. dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
81 Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris Sebagai Pejabat Umum, Renvoi. Nomor 04. Th. II, 3
September 2004, h. 32
82 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Mengenal Profesi Notaris, Memahami Praktik
Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting yang diurus Notaris, Tips agar tidak tertipu Notaris, CV. Raih Asa Sukses,
Jakarta, h.27.
1. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan
bahwa perseroan terbatas didirikan dengan akta Notaris.
2. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
menegaskan bahwa akta Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris.
3. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menegaskan
bahwa yayasan didirikan dengan akta Notaris.
4. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik,
menentukan bahwa pendirian partai politik harus dengan akta Notaris.
Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau
diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta
otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta
otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu
Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
atau Pejabat Lelang.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar, Notaris tidak lagi
disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het
Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb. 20). Tidak dirumuskan lagi Notaris
sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini tidak dipersoalkan apakah Notaris sebagai pejabat
umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini
tidak bermakna umum, tetapi bermakna publik.83
Ambentenaar pada dasarnya adalah jabatan
publik. Dengan demikian jabatan Notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut Openbaar. 84
83
Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, h. 80 84
Ibid, h. 80
Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas bahwa penggunaan istilah Notaris sebagai Openbaar
Ambtenaar sebagai tautologie.85
Jika ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk
memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum
yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris
sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1)
UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN
dan untuk melayani kepentingan masyarakat.
Keterkaitan dalam melayani kepentingan masyarakat dapat dilihat dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut UU
Pelayanan Publik) yang dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu “Pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Mengenai siapa yang di sebut dalam menyelenggarakan pelayanan publik dapat dilihat dalam 1
ayat (1) yaitu “Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan
pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik”. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan
profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan akta
85
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1990, h. 80,
menyatakan tourologie adalah deretan atau urutan kata yang memiliki pengertian yang hampir sama.
lainnya sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UU JN)
Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak
menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming) para pihak yang dituangkan dalam
akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa
di pengadilan umum (negeri).
Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau
Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat
sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai pejabat publik yang
bukan pejabat tata usaha negara, dengan wewenang yang disebutkan dalam aturan hukum yang
mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN. Dengan demikian
Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai karakteristik, yaitu :
a) Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya
aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia,
sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.86
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. 87
Menempatkan
Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat
oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tersebut) serta
bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
b) Notaris mempunyai kewenangan tertentu.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan dan dilandasi aturan hukumnya sebagai
batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang
jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu
tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melanggar wewenang.
Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.
Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan
aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum) 88
. Berkaitan dengan
wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,
maka akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan
(nonexecutable). Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar
wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
86
Habib Adjie, Op.Cit, h.38 87
Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia, UI Press, Yogyakarta, , h. 15, dinyatakan suatu lembaga
yang dibuat atau diciptakan oleh negara, baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan, delegasi atau mandat melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang
dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum
(Beleidsreygeel atau Policy rules). 88
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika
Aditama, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie I), h. 31-32
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan
kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :
a) Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam
akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b) Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
89sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada
orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka
orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan
penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian
akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris.90
Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan ketidakbenarannya maka akta
tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak
dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung
jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan konstruksi
pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang
pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UU JN,
hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau
merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai
aturan hukum yang berlaku. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini
menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara
administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi
89
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah
AbadT, Swa Justitia, Jakarta, 2005, h. 150. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994,
tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo. 1868
BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak
darinya 90
MJ-A. Van Mourik dalam Habib Adjie, Sanksi Perdata, Opt.Cit, h. 35
subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya:91
a) Bersifat mandiri (autonomous);
b) Tidak memihak siapapun (impartial);
c) Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas
jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d) Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya Notaris meskipun diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari
pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah
dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak
mampu.
e) Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen
hukum akta otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab
untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi,
dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Notaris
sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan
mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum,
bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan
pejabat publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut.
Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Serta tidak
menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam
91
Habid Adjie I, Op.Cit., h. 36
akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa
di pengadilan umum (negeri).
Pejabat publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau
Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat
sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan Sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.92
Berdasarkan uraian di atas,
maka Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan Pejabat Tata Usaha Negara.
2.3.3 Konsep Notaris Sebagai Pihak Ketiga Terpercaya (Trusted Third Parties)
Pihak ketiga terpercaya (trusted third parties) adalah sebuah organisasi atau agennya
yang menyediakan satu atau lebih layanan keamanan, dan dipercaya oleh entitas lain sehubungan
dengan kegiatan yang berhubungan dengan layanan ini keamanan. Trusted third parties
digunakan untuk menawarkan layanan nilai tambah untuk entitas yang ingin meningkatkan
kepercayaan dan kepercayaan bisnis dalam layanan yang mereka terima dan untuk memfasilitasi
komunikasi yang aman antara mitra usaha perdagangan. Trusted third parties perlu menawarkan
nilai berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan ketersediaan layanan dan informasi yang
terlibat dalam komunikasi antara aplikasi bisnis. Trusted third parties harus dapat beroperasi
dengan satu sama lain dan dengan entitas.
Peran Trusted third parties termasuk memberikan jaminan bahwa bisnis dan dapat
dipercaya (kegiatan pemerintah misalnya) pesan dan transaksi sedang ditransfer ke penerima
yang dimaksud, di lokasi yang benar, bahwa pesan yang diterima secara tepat waktu dan akurat,
dan bahwa untuk setiap sengketa bisnis yang mungkin timbul, terdapat metode yang tepat untuk
92
Habib Adjie I, Ibid., h. 31-32
penciptaan dan pengiriman bukti yang diperlukan untuk bukti apa yang terjadi. Layanan yang
disediakan oleh Trusted third parties mungkin termasuk yang dibutuhkan untuk manajemen
kunci, manajemen sertifikat, identifikasi dan dukungan otentikasi, layanan istimewa atribut, non-
repudiation, layanan waktu stamping, jasa notaris elektronik, dan layanan direktori. Trusted third
parties mungkin menyediakan beberapa atau semua layanan ini.
Sebuah Trusted third parties harus dirancang, diimplementasikan dan dioperasikan
untuk memberikan jaminan dalam layanan keamanan, menyediakan, dan untuk memenuhi
persyaratan hukum dan peraturan yang berlaku. Jenis dan tingkat perlindungan diadopsi atau
diperlukan akan bervariasi sesuai dengan jenis layanan yang disediakan dan konteks di mana
aplikasi bisnis beroperasi. Orang yang sebelumnya tidak kenal, tapi ingin bertransaksi dengan
satu sama lain melalui jaringan komputer seperti internet, akan membutuhkan cara untuk
mengidentifikasi atau otentikasi satu sama lain. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah untuk
memperkenalkan pihak ketiga yang terpercaya ke dalam hubungan bilateral. Pihak ketiga ini,
Otoritas Sertifikasi dan Otoritas Pendaftaran, dapat menjamin para pihak dengan menerbitkan
sertifikat dengan mengidentifikasi mereka, atau membuktikan bahwa dia memiliki kualifikasi
yang diperlukan atau atribut.
Kurangnya lebih umum standarisasi peraturan dan hukum yang menunjukkan dengan
jelas ini contoh mungkin membuktikan menjadi halangan besar untuk pengembangan
perdagangan elektronik yang handal. Sebuah standar mungkin internasional nasional atau bahkan
untuk sinyal akurat apa yang dijanjikan sertifikat, dan sejauh mana sertifikat cukup dapat
menimbulkan ketergantungan, mungkin diperlukan. Standar seperti itu tidak akan muncul sampai
aturan-aturan hukum yang relevan yang sudah ada diidentifikasi, pengembangan standar juga
kemungkinan akan dihambat oleh keragaman yang besar dari rezim hukum di wilayah hukum
yang berbeda yang mungkin terlibat dalam satu transaksi. Apakah itu akan lebih baik untuk
menghasilkan standarisasi hukum yang diperlukan melalui legislasi, proses peradilan, atau
mekanisme pasar seperti proses tawar-menawar dan penggunaan perdagangan, masih bisa
diperdebatkan. Namun, sampai standardisasi beberapa dicapai, pengguna tanda tangan digital
akan sulit untuk menentukan tingkat kepercayaan komersial untuk tempat di representasi dalam
sertifikat.
Dengan telah dikeluarkannya ketentuan dari International Telecommunication Union
(ITU) yaitu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah telekomunikasi dan
Informasi dan juga ketentuan dari UNCITRAL yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
mengurusi mengenai Hukum Perdagangan Internasional dimana transaksi elektonik tidak
mengenai batas wilayah sehingga dapat dikategorikan sebagai perdagangan internasional.
Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan ini dibuat demi tercapainya kesepahaman hukum
mengenai perdagangan elektronik yang melibatkan banyak pihak baik itu para pihak yang
terlibat ataupun pihak ketiga terpercaya yang membantu mereka dalam melakukan transaksi
tersebut.
Untuk Indonesia peran pihak ketiga terpercaya telah diatur dengan Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik yang mengatur mengenai Badan Pengawas
Certification Authority yang secara eksplisit terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Penyelenggara
Sistem Elektronik adalah adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan
masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara
sendiri-sendiri maupun bersama- sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan
dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Notaris sebagai pejabat publik yang diberi kewenangan oleh negara dapat menjadi
seorang pihak ketiga terpercaya sebagai seorang registration authority atau otoritas pendaftaran
yang diberi tugas untuk mengidentifikasi para pihak yang ingin terlibat dan memiliki sertifikat
elektronik untuk melakukan transaksi elektronik dengan pihak lain memungkin untuk dijalani hal
ini dikarenakan dalam organisasi Notaris sedunia yang sering disebut UINL (The International
Union of Notaries) memprakarsai mengenai laju perekonomian yang dipengaruhi oleh transaksi
elektronik pada tanggal 19-20 Oktober 2016 di Paris Perancis dengan judul The Notary A
Trusted Third Party. Dalam kongres ini akan manjawab mengenai kebutuhan laju perekomian
dalam membutuhkan seseorang sebagai pihak yang dapat dipercaya. Dikarenakan pengadopsian
hukum sebagai dalam bentuk kontrak (asas pacta sun servanda) untuk memberikan kepastian
hukum dan jaminan masa depan dengan kebenaran yang tidak dapat disanggah.
Perkembangan ekonomi modern salah satu dilihat dari bisnis perdagangan secara
elektronik yang mengalami lonjakan dan menjadi fashion tersendiri dalam praktek industri.
Dikutip dari kongres UINL The Notary A Trusted Third Party Notaris dapat menjadi penjamin
atas kepastian hukum dalam transaksi elektronik dikarenakan beberapa hal yaitu adalah:
1. Required Social Stability;
Adanya kebutuhan bagi para pihak untuk menentukan klausal dalam suatu perjanjian
yang dapat dicatat oleh seseorang yang mempunyai penilaian terhadap suatu
permasalahan dan dapat dipecahkan agar terhindar dari permasalahn hukum di kemudian
hari.
2. The Assurance Of Legal Validity: From Simple Registration To Expertise On The
Content;
Sebagai pihak ketiga yang dipercaya juga merupakan orang terpelajar, seorang ahli
bahkan, yang mampu menjelaskan peraturan dan kemudian menemukan solusi yang
sesuai, dengan objektivitas yang lengkap. Kepastian hukum juga bergantung pada
kebutuhan untuk membuktikan keberadaan hak yang ditetapkan, untuk menghindari
mereka kemudian di masa mendatang. Dalam hal ini, keterlibatan pihak ketiga yang
terpercaya melibatkan dimensi probabilitas dari kesepakatan yang dibuat.
3. The Need For Agreement/Transaction Traceability;
Sebagai pihak ketiga yang membantu para pihak dalam menyusun dan memformat
dokumen semacam itu dengan demikian berada pada posisi terbaik untuk
mempertahankannya dari waktu ke waktu. Berbagai pemangku kepentingan akan beralih
kepadanya untuk mendapatkan pengungkapan dokumen. Karena partisipasi aktifnya
dalam keseluruhan proses, pihak ketiga yang terpercaya juga dapat menjelaskan isi
kesepakatan yang dibuat, baik secara legal maupun dalam hal niat para pihak, terutama
dalam kasus perselisihan, ketika waktu telah berlalu dan peraturan hukum telah berubah.
4. Inventory of Needs By Stakeholder; di kelompokan menjadi dua yaitu:
Private Individuals and Companies;
Sebagai pihak ketiga menjamin individu secara khusus dengan memperhatikan semua
aspek hukum keluarga, namun kegiatan mereka yang berbeda juga diatur oleh banyak
bidang hukum lainnya, seperti hukum fiskal, hukum pengelolaan kekayaan dan properti,
hukum konsumen dan komersial. Entitas hukum, sementara itu, yang mencakup
perusahaan dan organisasi nirlaba, terutama dipengaruhi oleh undang-undang komersial,
pajak dan konfrensi. Namun sebenarnya, dengan menarik perbedaan yang ketat antara
undang-undang yang berlaku bagi individu dan undang-undang yang berlaku bagi
perusahaan tidak ada gunanya. Di kedua bidang hukum keluarga dan akuisisi dan
pengelolaan aset nyata dan dapat dipindah tangankan, atau dalam undang-undang
perusahaan, lebih mudah untuk mengidentifikasi situasi umum di mana pihak-pihak
tersebut memiliki harapan terhadap pihak ketiga yang tepercaya.
Public Authorities;
Sebagai pihak ketiga wajib membantu pemerintah, pemerintah daerah dalam layanan
administratif juga memiliki kebutuhan spesifik, namun lebih juga melayani kepentingan
umum. Seperti pemegang kekuasaan publik juga dapat bertindak sebagai pihak ketiga
yang berada di wilayah tertentu. Tetapi pemerintah, pemerintah daerah dan institusi
mereka juga membutuhkan pihak ketiga sebagai pengawasan dan secara teratur
menggunakan layanan yang difasilitasi Negara. Pertama, otoritas publik ini
menggunakan pihak ketiga dalam mengelola aset mereka, terutama properti. Tapi
karena aset ini bersifat publik, peraturan tersebut mengikuti peraturan yang jauh lebih
menuntut dan memerlukan perlindungan lebih besar karena kepentingan umum yang
mereka layani. Pihak ketiga yang dipercaya karenanya memiliki kewajiban yang lebih
besar lagi. Akibatnya pihak publik akan memiliki harapan yang lebih besar atas pihak
ketiga tepercaya mereka.
Notaris sebagai trusted third parties di Indonesia seiring dengan perkembangan zaman
dimana kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari. Disisi lain transaksi elektronik juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
baik yang melalui saluran komunikasi konvensional maupun saluran komunikasi global yang
berbasiskan sistem komputer yang tersambung dalam suatu jaringan globat (internet). Dalam
pekerjaannya sehari-hari dalam pembuatan akta, notaris sekarang ini pun telah menggunakan
sistem komputer di kantor mereka untuk membuat akta otentik mereka. Hanya saja paradigma
keontentikannya hanya dilihat dari hasil akhirnya saja yaitu hasil cek dari akta yang dibuatnya
tersebut yang mana akata tersebut ditandatangani dan disegel oleh notaris dan bukan dalam
bentuk dasarnya yang bersifat data di dalam komputer tersebut.
Meski sudah banyak harapan untuk lebih dinamis dalam menyikapi perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi, namun masih banyak juga yang mengkhawatirkan akan
keefektifan fungsi dan peran notaris dalam mendukung suatu transaksi elektronik. Penilaian dari
para notaris sedari awal adalah sepertinya mereka tidak mungkin berperan dalam suatu transaksi
elektronik dikarenakan adanya persyaratan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang
mengatur bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk tertentu yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang dan dibuat ditempat dimana
akta itu dibuat sehingga menimbulkan keengganan dari para notaris untuk terlibat langsung
dalam suatu transaksi elektronik. Lebih jauh lagi dengan adanya media elektronik yang menjadi
medianya bukan dengan media kertas sehingga banyak menimbulkan problematika di kalangan
notaris itu sendiri.
Dengan problematika tersebut, kekhawatiran ini menghinggapi para notaris takut
adanya kenakalan dari para notaris dan juga ketakutan bahwa notaris akan menjadi obyek
eksploitasi dan kesalahan dari pihak lain. Problematika tersebut sebenarnya dengan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi ini dapat ditekan karena dapat
mengefisienkan kinerja dari notaris itu sendiri selain itu juga mengamankan notaris dari
kerentanan eksternal sistem yang sesungguhnya terjadi diluar lingkup kewenangan notaris.
Sebenarnya notaris sudah menggunakan dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi ini, ini terbukti dengan penggunaan dan pendaftaran badan hukum yang mereka buat
dengan menggunakan Sistem Administrasi Badan Hukum yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dimana mereka mendaftarkan secara online akta badan hukum yang mereka buat.
Akan tetapi sistem ini juga mengharuskan dikirimkannya bukti fisik yang masih berupa kertas
kepada Ditjen AHU tersebut. Belum dimanfaatkannya teknologi komunikasi dan informasi ini
secara menyeluruh perlu lebih dikembangkan lagi sehingga dapat memenuhi ketentuan zaman.
“Peran Notaris dalam transaksi elektronik bersama-sama dengan pihak Certificate Authority
(CA) sebagai pihak ketiga yang dipercaya (trusted third party) dalam mengamankan dan
melegitimasi transaksi elektronik.” Certificate Authority merupakan pihak yang menerbitkan.
Sertifikat Elektronik yang berisikan identitas pemilik sertifikat, kunci publik dan kunci privat
yang digunakan dalam transaksi elektronik untuk membuat tanda tangan elektronik,
mengotentikasi si penanda tangan dan memverifikasi dokumen yang ditanda tangani.
Sebagai era modernisasi perekonomian peran notaris dalam transaksi elektronik sebagai
pihak ketiga yang dipercaya (trusted third party) dalam mengamankan dan melegitimasi
transaksi elektronik menuju arah yang sangat besar. Hal ini dikarenakan Notaris mempunyai
kekuatan dalam personal seorang Notaris ketimbang profesi hukum yang lain. Dengan penguatan
secara atribusi UU PJN Pasal 15 yaitu:
(1)Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus; dalam Penjelasan (Ketentuan ini merupakan
legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan
atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran
dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.)
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang. (dalam Penjelasan Ketentuan ini dimaksudkan bahwa
pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.)
(3)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (dalam
Penjelasan Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan
secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat
terbang.)
Kembali dalam kongres The Notary A Trusted Third Party Notaris wajib dan sangat
besar memungkin sebagai trusted third parties selain dalam UU PJN adalah UNICTRAL yang
diakomodir oleh ikatan UNIAL yang secara nyata Notaris menerima pelatihan mendalam dan
tunduk pada peraturan oleh status yang menuntut mereka terikat dalam profesi yang memiliki
badan terstruktur dan tunduk pada kode etik dan kontrol yang ketat. Sebagai notaris juga diminta
untuk menunjukkan solidaritas profesional, mereka menawarkan semua jaminan dari penyedia
layanan publik. Untuk menjadikan notaris memiliki semua kualitas yang dibutuhkan pihak ketiga
yang terpercaya harus direfleksikan dengan cara-cara fungsional di mana notaris dapat
memenuhi 2 (dua) kebutuhan mendasar yang pertama By their activities and professional
training: a qualified professional yang terbagi menjadi 3 (tiga) point yaitu; 1). The notary's
reliability stems above all from his personal, moral and human qualities; 2). Specific education
and training; dan 3). A duty of discretion. Menurut penulis kebutuhan yang pertama ini adalah
Notaris harus diberikan pembekalan dan pembelajaran secara professional, dimana untuk
menunjang pelatihan yang berkualitas ini diperlukan adanya seorang pendidik yang mahir
dibidangnya. Sehingga Notaris memiliki 3 (tiga) point penting yaitu 1). Kehandalan notaris
berasal dari semua kualitas pribadi, moral, dan manusia; yang dimaksud adalah Notaris adalah
profesional wiraswasta menjalankan praktik pribadi dan, dengan demikian, notaris harus jujur
dan transparan. Seperti banyak profesional lain yang harus mempertimbangkan harapan yang
berbeda, notaris juga harus tahu bagaimana mendengarkan dan memperhatikan masing-masing
pihak, dan memahami kebutuhan para pihak yang terkadang kontradiktif sambil menjaga jarak
yang para pihak butuhkan untuk tetap imparal dan menjaga keseimbangan antara pihak-pihak .
Karena itu, empati yang berlebihan dari notaris wajib dikesampingkan.; 2). Pendidikan dan
pelatihan khusus; yang dimaksud adalah Notaris harus sepenuhnya menguasai hukum pidana,
hukum administrasi dan hukum pidana hal ini untuk menjamin kepastian hukum dalam hal
penyuluhan hukum dalam pembuatan suatu perjanjian dan akta dikarenakan hukum di Indonesia
yang selalu berubah dan perubahan tersebut mewajibkan Notaris untuk mengadakan pendidikan
dan pelatihan khusus sehingga profesional dari Notaris akan berkelanjutan.; dan 3). Kewajiban
kebijaksanaan yang dimaksud adalah notaris kerap dimintai nasihat dikarenakan kedudukannya
sebagai pejabat dalam ranah keperdataan, notaris terikat oleh kewajiban kerahasiaan dan
kebijaksanaan dimana notaris diwajibkan bersinergi kepada otoritas pejabat lain untuk mencegah
adanya praktik-praktik kecurangan para pihak. Kebijaksaan inilah yang terpenting bagi notaris
untuk memilah yang mana kebijaksaan kerahasiaan pribadi dan kebijaksaan kerahasiaan yang
akan merugikan banyak kalangan.
Kebutuhan mendasar yang kedua By their status: a regulated status maksudnya adalah
kedudukan notaris yang professional harus mempunyai kedudukan yang diatur dalam suatu
peraturan perundang undangan seperti yang dikutip dalam UNICTRAL yaitu be noted that the
UNL Code states that a notary always acts in the general interest dalam hal ini interpretasi dari
penulis yaitu notaris sebagai pejabat umum, untuk menjadikan notaris sebagai trusted third
parties pada kebutuhan yang kedua ini maka diwajibkan memenuhi kriteria 7 (tujuh) point yaitu;
1). The obligation to carry insurance; 2). Controls and disciplinary measures; 3). Conflict of
interest rules and prohibitions on drafting documents; 4). Obligations relating to data retention
and transmission; 5). Contract enforceability: authentic instruments for greater legal force; 6).
Duty to draw up instruments to provide a legal public service; 7). An identical scale offees
guaranteeing equal treatment;
Menurut penulis kebutuhan yang kedua ini maka diwajibkan memenuhi kriteria 7
(tujuh) point akan dijabarkan secara interpretasi gramatikal yaitu:1). The obligation to carry
insurance; yang dimaksud adalah layaknya profesi yang diatur maka notaris diasuransikan untuk
konsekuensi dari kesalahan yang notaris atau staf notaris perbuat dalam peran sebagai penasehat
atau penulis perbuatan hukum. Risiko-risiko ini diasuransikan di bawah sistem yang secara
kolektif diatur oleh profesi notaris sesuai dengan ketentuan regulator; 2). Controls and
disciplinary measures; yang dimaksud adalah kontrol dan tindakan disiplin notaris secara
sistematis menjalani audit tahunan, audit ini menyangkut akun kantor dan dokumen yang disusun
dan laporan tersebut dikirim ke lembaga pengawas yang diketahui oleh Pemerintah; 3). Conflict
of interest rules and prohibitions on drafting documents; yang dimaksud adalah adanya konflik
aturan kepentingan dan larangan untuk membuat draf dokumen oleh notaris diharuskan untuk
menahan diri dari menulis akta dalam kasus-kasus tertentu yang diatur oleh hukum atau aturan,
ketika adanya hubungan pribadi atau keluarga atau kepentingan ekonomi langsung atau tidak
langsung, dokumen itu dapat memberikan hak kepadanya atau kepada anggota keluarganya
terutama yang berkaitan dengan bisnis komersial dan industry, perdagangan pasar saham,
perbankan, pialang, manajemen perusahaan, dan spekulasi properti. Larangan melakukan
kegiatan komersial juga berlaku untuk karyawan notaris, notaris juga dilarang menerima dan
menyimpan dana untuk menghasilkan bunga; 4). Obligations relating to data retention and
transmission; yang dimaksud adalah kewajiban yang berkaitan dengan retensi data dan transmisi
oleh notaris dengan cara yang diatur oleh Pemerintah dengan tujuan bersinerginya suatu
keputusan, akta dan dokumen dalam rangka menuju kepastian hukum bagi kepentingan klien; 5).
Contract enforceability: authentic instruments for greater legal force; yang dimaksud adalah
kewajiban kontrak mempunyai instrumen otentik untuk kekuatan hukum seorang notaris sebagai
pejabat publik memberikan kepastian hukum yang tak tertandingi. Seperti contoh perjanjian
swasta dapat disusun oleh pihak-pihak itu sendiri atau oleh seorang profesional hukum, seperti
pengacara. Tetapi perjanjian swasta itu sendiri tidak memiliki kekuatan pembuktian terhadap
pihak ketiga, dan jika terjadi perselisihan, terutama mengenai kinerja keuangan, tindakan
pengadilan akan diperlukan; 6). Duty to draw up instruments to provide a legal public service;
yang dimaksud adalah kewajiban untuk membuat instrumen untuk menyediakan layanan publik
yang sah atas petunjuk dari notaris dalam menyusun konsep yang berasal dari adanya regulasi
Pemerintah dikarenakan peran kepentingan umum dalam hal penyuluhan bantuan hukum terkait
dokumen dan segala perbuatan hukum menjamin kepastian hukum; dan terakhir 7). An identical
scale offees guaranteeing equal treatment; yang dimaksud adalah skala yang identik menjamin
perlakuan yang sama adanya kepastian hukum dari adanya para pihak terkecuali diatur dalam
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah seperti fluktuasi harga, force majure, sesuatu yang
diharamkan atau dihalalkan karena hukum.
Tersirat bahwa untuk menjadikan Notaris sebagai trusted third parties selain
berdasarkan UNAIL tersebut. Notaris secara sadar dan mampu difasilittasi dalam
mengautentikasi kan suatu dokumen seperti:
1. validating its legal contents,
2. validating the digital signature,
3. validating the identity of the signer,
4. validating the capacity of the signer,
5. validating the authority of the signer, and
6. validation of the digital certificate.
Dalam pelaksanaan transaksi elektronik, pihak Pengirim mengirimkan
dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani ke Notaris, kemudian Notaris memeriksa
tanda tangan yang digunakan, identitas pengirim dan dokumen/informasi elektronik yang ditanda
tangani. Jika pemeriksaan ini selesai, Notaris dapat mengirimkan informasi hasil pengecekan
kepada Pengirim. Jika tidak ada masalah, lalu Notaris mengirimkan dokumen/informasi
elektronik tersebut kepada Penerima. Pihak Penerima menyampaikan informasi kepada Notaris
bahwa dokumen/informasi elektronik telah diterimanya. Penyampaian tersebut ditindaklanjuti
oleh Notaris dengan mengirimkan informasi/laporan ke Pengirim bahwa Penerima telah
menerima dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani.
2.3.4 Konsep Transaksi Elektronik
Menurut Richter dan Furubotn, transaksi merupakan perpindahan barang, jasa,
informasi, pengetahuan dan lain-lain dari satu tempat (komunitas) ke tempat (komunitas) lain
atau pemindahan barang dari produsen ke konsumen atau pemindahan barang dari satu individu
ke individu yang lain.93
Hal ini disebut dengan transaksi fisik.94
Selain dalam pengertian
perpindahan fisik, transaksi juga meliputi pemindahan hak kepemilikan atas barang dari pemilik
ke pihak lain dimana hal ini disebut transaksi dari aspek legal.95
Max Weber menyatakan
transaksi merupakan tindakan yang diperlukan untuk menetapkan, memelihara dan atau
mengubah hubungan sosial. Definisi transaksi secara tidak langsung dijabarkan di dalam hukum
nasional pula sebagai bentuk dari suatu perjanjian, dalam hal ini pasal 1320 KUHPerdata. Pasal
1320 KUHPerdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada:
1. Kesepakatan kedua belah pihak,
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, Obyek (Sesuatu yang diperjanjikan
dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas), dan
3. Suatu hal tertentu
4. Kausa yang halal.
Syarat pertama dan ke dua disebut syarat subyektif. Apabila syarat subyektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan lewat pengadilan. Jika tidak dituntut
93
Aceng Hidayat, Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan. 2007. Institut Pertanian Bogor,
2007, diunduh pada URL: http://www.scribd.com/doc/47760007/9Defmsi-Transaksi.
94 Ibid.
95 Ibid .
pembatalan, maka perjanjian tetap berlaku. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat disebut syarat
obyektif yang mana jika syarat obyektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum
atau dianggap tidak pernah ada. Berdasarkan definisi di atas, transaksi merupakan pertemuan
kesepakatan dalam menetapkan, memelihara dan atau mengubah hubungan sosial baik
menyangkut perpindahan barang ataupun jasa.
Transaksi dalam bidang teknologi saat ini semakin berkembang. Adapun transaksi
dalam bidang ini disebut juga dengan transaksi elektronik. Transaksi elektronik merupakan salah
satu bentuk transaksi yang bersifat non-face dan non-sign (tanpa bertatap muka dan tanpa tanda
tangan). Transaksi ini bersifat paperless (tanpa dokumen tertulis), borderless (tanpa batas
geografis) dan para pihak yang melakukan transaksi tidak perlu bertatap muka. Hal tersebut
dipertegas dengan adanya UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade
Law, Model Law on Electronic Commerce, 1998) yang mendefinisikan e-commerce (electronic
commerce) sebagai “Electronic commerce, which involves the use of alternatives to paper-based
methods of communication and storage of information.”96
Transaksi dalam hal ini dinyatakan sebagai suatu metode komunikasi dan penyimpanan
informasi yang menggunakan alternatif media (medium) di luar hal yang tertulis didalam kertas
(informasi atau dokumen yang ditulis di atas kertas). Sedangkan menurut Peter Scisco, e-
commerce lebih diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa melalui internet dan lebih mengacu
pada transaksi jual beli saja. Adapun definisi yang diberikan sebagai berikut
Electronic Commerce or e-commerce, the exchange of goods and services by means of the
internet or other computer networks. E- commerce follows the same basic principles as
traditional commerce that is, buyers and sellers come together to exchange goods for
money. But rather than conducting business in the traditional way in stores and other “brick
96
UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1998, diunduh pada URL: www.uncitral.org.
and mortar” buildings or through mail order catalogs and telephone operators in e-
commerce buyers and sellers transact business over networked computers.97
Transaksi Elektronik juga didefinisikan di dalam Pasal 1 ayat (9) UU-ITE yang
berbunyi “Transaksi elektronik adalah hubungan hukum yang dilakukan melalui komputer, atau
media elektronik lainnya.” Berdasarkan definisi ini, transaksi elektronik memunculkan akibat
hukum terhadap subyek hukum yang telah melakukan transaksi tersebut. Melihat pengertian di
atas, transaksi elektronik (e-commerce) merupakan transaksi perdagangan yang mengakibatkan
hubungan hukum antara para pihak yang melakukan pertukaran informasi atau data (barang dan
jasa) yang memiliki prinsip dasar sama dengan transaksi konvensional, namun dilakukan melalui
media elektronik dalam hal ini media yang tidak berwujud (internet) di mana para pihak tidak
perlu bertatap muka secara fisik. Berdasarkan berbagai definisi yang telah dipaparkan, dapat
ditarik beberapa unsur dalam transaksi elektronik, yaitu:
1. Mengakibatkan timbulnya hubungan hukum atau perbuatan hukum antara subyek
hukum (antara dua pihak atau lebih),
2. Ada pertukaran barang dan jasa,
3. Menggunakan internet sebagai media utama dalam melakukan transaksi, dan;
4. Memiliki prinsip dasar yang sama dengan transaksi konvensional
(transaksi yang ditulis di atas kertas).
Perbuatan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik ini dapat dilaksanakan
melalui 2 (dua) konteks, yaitu:98
1. Hubungan penyelenggara negara kepada publiknya (pelayanan publik), dan;
97
Peter Scisco, Electronic Commerce, dalam Microsoft Encarta Online, Encyclopedia 2006, Microsoft
Corporation 1997-2006, URL: http://encarta.msn.com.
98 Edmon Makarim, 2010, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik. PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, (Selanjutnya disebut Edmon Makarim I), h. 40
2. Hubungan perdata para pihak untuk melakukan perikatan atau kontrak elektronik.
Baik dalam pelayanan publik maupun privat, suatu komunikasi elektronik bersifat privat hanya
antara para pihak saja. Selanjutnya jenis-jenis e-commerce tersebut akan diuraikan di bawah ini:
1. Bussiness to Bussiness
Transaksi bussines to bussiness atau yang sering disebut b to b adalah transaksi antar
perusahaan (baik pembeli maupun penjual adalah perusahaan). Biasanya antara mereka
telah saling mengetahui satu sama lain dan sudah terjalin hubungan yang cukup lama.
Pertukaran informasi hanya berlangsung diantara mereka dan pertukaran informasi itu
didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan. Perkembangan b to b lebih pesat jika
dibandingkan dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya.
2. Bussiness to Customer
Bussiness to customer atau yang dikenal dengan b to c adalah transaksi antara perusahaan
dengan konsumen/individu. Contohnya adalah amazon.com sebuah situs e-commerce
yang besar dan terkenal. Pada jenis ini, transaksi disebarkan secara umum, dan konsumen
yang berinisiatif melakukan transaksi. Produsen harus siap menerima respon dari
konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan adalah website karena sistem ini
yang sudah umum dipakai di kalangan masyarakat.
3. Customer to Customer
Customer to customer ini adalah transaksi dimana individu saling menjual barang pada
satu sama lain. Contohnya adalah individu menjual sesuatu yang diklasifikasikan antara
lain kepemilikan kediaman (residential property), mobil dan Iain-lain. Pengiklanan jasa
personal di internet dan menjual ilmu pengetahuan dan keahlian merupakan contoh lain
dari C to C beberapa situs pelelangan (action) membolehkan individu untuk meletakkan
barang. Pada akhirnya banyak individu menggunakan internet dan jaringan organisasi
internal lainnya ke pelelangan barang untuk penjual atau pelayanan.
4. Customer to Business
Customer to bussines yaitu transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada
perusahaan.
5. Customer to Government99
Customer to government adalah transaksi dimana individu dapat melakukan transaksi
dengan pihak pemerintah, seperti membayar pajak. Pembagian jenis transaksi komersial
elektronik (e-commerce) tersebut di atas hampir sama dengan pembagian menurut Efraim
Turban yang membagi transaksi komersial elektronik (e-commerce) menjadi:
a. Business to Business (B2B),
b. Business to Consumer (B2C),
c. Consumer to Consumer (C2C),
d. Consumer to Business (C2B),
e. Nonbusiness e-commerce,
f. Intrabusiness organizational e-commerce100
Berdasarkan konsekwensinya terhadap komunikasi tersebut dipersyaratkan adanya jaminan suatu
komunikasi yang aman (secured communication) yang mensyaratkan adanya:101
1. Keontentikan suatu pesan (authenticity),
2. Otorisasi kewenangan atau kapasitas hukum pihak yang melakukan (authorization),
3. Kerahasiaan pesan yang dikomunikasikan (confidentiality),
4. Keutuhan pesan yang dikomunikasikan (integrity),
99
Edmon Makarim, 2005, Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut
Edmon Makarim II), h. 227
100 Hasanuddin Rahman, 2003, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract Drafting, Bandung
PT. Citra Aditya Bakti, h. 23 101
Edmon Makarim I, Op.Cit., h. 40
5. Ketersediaannya (availability), dan
6. Tidak dapat disangkal (non-repudiation).
Di dalam transaksi elektronik, proses terciptanya penawaran dan penerimaan
tersebut kesepakatan tergantung menimbulkan kepada suatu kesepakatan, prosedur-prosedur
dalam dimana sistem penawaran diterima (saat offer di-accepf). Pada United Nations Convention
on the Use of Electronic Communications in International Contracts artikel 11 mengenai
invitations to make offers dinyatakan bahwa:
A proposal to conclude a contract made through one or more electronic communications
which is not addressed to one or more specific parties, but is generally accessible to parties
making use of information systems, including proposals that make use of interactive
applications for the placement of orders through such information systems, is to be
considered as an invitation to make offers, unless it clearly indicates the intention of the
party making the proposal to be bound in case of 'acceptance.
Berdasarkan hal ini, segala jenis penawaran tidak diartikan sebagai kesepakatan apabila
tidak adanya sisi kesepakatan dalam penawaran tersebut. Penawaran di dalam pengertian ini
hanya sebatas penawaran kepada siapa saja yang mengakses program atau situs tertentu yang
menawarkan sesuatu hal, namun pada hakekatnya belum tercapainya suatu kesepakatan karena
belum adanya permintaan yang menyatakan sepakat terhadap penawaran tersebut. The United
Nations Conference on International Trade Law (UNCITRAL) telah menetapkan suatu model
law untuk electronic commerce102
pada tahun 1996 yang kemudian direvisi pada tahun 1998.
Model hukum tersebut berisi panduan-panduan yang disarankan diikuti oleh negara-negara
anggota saat mereka membuat legislasi untuk e- commerce (atau transaksi elektronik secara
umum). Adapun yang termaktub dalam model law tersebut antara lain adalah masalah:
102
Patut dicatat sebenarnya model law ini sebelumnya dinamakan model law for EDI (Electronic Data
Interchange), namun pada saat terakhir diganti namanya menjadi model law for e-commerce, meskipun demikian,
prinsip-prinsip yang ada didalamnya juga dapat diterapkan untuk transaksi perdagangan elektronik secara umum.
Karena model law untuk e-commerce UNCITRAL telah memuat prinsip-prinsip umum yang cukup universal untuk
berbagai jenis transaksi elektronik.
a. Keberadaan dan pengakuan hukum transaksi elektronik,
b. Pengakuan konsep incorperation by reference,
c. Jaminan keamanan atas keaslian transaksi elektronik dengan tanda tangan
elektronik ataupun dengan cara lainnya yang dapat dipercaya dan
diandalkan,
d. Penggunaan salinan transaksi elektronik,
e. Pengarsipan transaksi elektronik,
f. Otomasi transaksi elektronik,
g. Hak dan kewajiban pengiriman transaksi elektronik dan penerimatransaksi
elektronik,
h. Tanda penerimaan tanda bukti (acknowledgement of receipt) sebagai tanda untuk
mengeksekusi transaksi,
i. Kapan dikirim, diterima, terjadi dan berlaku transaksi elektronik.
Mengenai pengaturan kontrak elektronik, maka dapat dilihat pada ketentuan model law on
Electronic Commerce, pasal 15 Model Law on Electronic Commerce menyatakan:103
1. Kecuali diatur secara lain oleh originator dan addresse, saat suatu data massage dikirim
(dispatch) adalah pada saat ia memasuki suatu sistem informasi di luar control dari
originator atau orang lain yang mengirimkan data tersebut untuk kepentingan originator.
2. Kecuali diatur secara lain antara originator dan addresse, waktu diterimanya suatu data
messages ditentukan apabila seorang addresse sudah menentukan suatu informasi sebagai
tujuan dikirimnya data message, saat diterimanya adalah:
a. Pada saat data message tersebut memasuki sistem informasi tertentu (designated system
information) yang dituju, atau
b. Apabila suatu data message dikirimkan ke suatu informasi yang bukanlah suatu sistem
informasi tertentu (designated system information), maka waktunya adalah pada pesan
tersebut diterima oleh adresse.
Untuk masalah jaminan keamanan di dalam transaksi e-commerce dikenal ada dua metode yang
dipakai kebanyakan pedagang online yaitu:104
a. Metode atau instrumen Secure Sockets Layer (SSL).
Secure Sockets Layers (SSL) adalah instrumen yang sudah dipakai. SSL
melindungi informasi pribadi dalam kontrak antara konsumen dengan pedagang.
Keamanan data yang dikirim melalui jaringan juga terjamin. Konsumen dalam
melakukan transaksi harus memastikan bahwa data-data tersebut sudah dalam
bentuk terenkripsi dengan baik. Hal tersebut dapat diperiksa dan dipastikan melalui
tampilan sebuah icon kecil dalam bentuk gambar sebuah kunci saat melakukan
browsing, gambar kunci tersebut tidak boleh rusak atau patah. Selain melihat
103
Budi Agus Riswandi, 2002, Aspek Perlindungan Nasabah dalam Sistem Pembayaran Internet, Jurnal
Hukum Lus Wuila lustu, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, h. 82 104
Edmon Makarim I, Op. Cit, h. 231
gambar kunci tersebut, dapat juga diperiksa situs penjual yang biasanya diawali
dengan http harus menjadi https pada saat proses transaksi.
b. Metode yang kedua adalah Secure Electronic Transaction (SET).
SET menggunakan sertifikasi digital untuk membuktikan bahwa konsumen dan
pedagang memiliki hak untuk menggunakan dan menerima kartu. Visa telah
menggunakan metode ini. SET adalah alat elektronik yang berfungsi untuk
memverifikasi pedagang di layar dan juga berfungsi bagi penjual /merchant untuk
memeriksa tanda tangan konsumen pada bagian belakang kartu visa. SET
memberikan cara bagi pemegang kartu dan pedagang untuk mengidentifikasi satu
sama lain sebelum melakukan transaksi sehingga pembayaran dapat terjamin
kebenarannya.
2.3.5 Konsep Perdagangan Secara Elektronik
Hukum bisnis adalah perangkat kaidah, azas-azas, dan ketentuan hukum, termasuk
institusi dan mekanismenya, yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur kegiatan bisnis,105
baik persiapan, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul dari akibat
kegiatan tersebut. Hukum bisnis, berdasarkan pembentuk dan obyek yang diatur, dapat
diklasifikasi atas dua jenis, yaitu yang bersifat publik dan yang bersifat privat. Hukum bisnis
yang bersifat publik adalah seluruh perangkat ketentuan, termasuk institusi dan mekanismenya,
yang dibuat oleh negara-negara, bilateral, regional, maupun universal, untuk mengatur kegiatan
bisnis yang bersifat lintas batas negara.
Sedangkan hukum bisnis yang bersifat privat adalah; (1) perangkat ketentuan yang
dibuat suatu negara untuk mengatur hubungan bisnis antar pribadi, domestik maupun
internasional; dan (2) kontrak bisnis yang dibuat oleh para pihak untuk mengatur bentuk
hubungan, dan kegiatan bisnis di antara mereka.106
Perkembangan dalam bidang teknologi
informasi dan komunikasi mendorong pelaku bisnis untuk memanfaatkannya dalam bertransaksi,
dengan menggunakan internet untuk mempromosikan produknya dan bahkan bertransaksi
105
Ida Bagus Wyasa Putra, d.k.k., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung, hal 24. 106
Ibid.
melalui internet107
. Penggunaan internet dirasakan lebih menguntungkan karena karakteristik
yang ada dalam transaksi elektoral berbeda dari perdagangan konvensional sehingga
perdagangan secara elektronik menjadi lebih efektif dan efisien.
Electronic Commerce merupakan bidang multi disipliner disciplinary field) yang
mencakup bidang-bidang teknik seperti jaringan dan telekomunikasi, pengamanan, penyimpanan
dan pengambilan data dari multi media, bidang-bidang seperti pemasaran (marketing), pembelian
dan penjualan, dan manajemen jaringan distribusi, dan aspek-aspek hukum seperti information
priracy, hak milik intelektual (intellectual property), perpajakan (taxation), pembuatan
perjanjian dan penyelesaian hukum lainnya.108
Munculnya internet yang merupakan perkembangan baru dalam teknologi komunikasi
menyebabkan fenomena globalisasi semakin nyata dan tidak dapat dibendung. Gejala ini ditandai
oleh ciri-ciri sebagai berikut :109
1. Borderless, yaitu melampaui batas-batas negara. Dalam hal ini, batas fisik negara
masih tetap ada, namun batas-batas non-fisik nyaris tidak ada;
2. Transparency, yaitu terbukanya kebijakan yang dijalankan oleh suatu negara. Dalam
hal ini, kebijakan yang ditetapkan oleh suatu negara tidak hanya ditujukan untuk
negara itu sendiri, tetapi harus dapat diterima oleh negara-negara lain;
3. Standardization, sebagai akibat lanjut dari transparansi, maka semua standarisasi harus
mengikuti standar internasional;
107
Agus Riswandi, Budi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, PT Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, h. 43.
108 Sutan Remy Sjahdeni, 2001, E-commerce Tinjauan dari Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Volume
12, h.17.
109Johannes Gunawan, 2002, E-Contract dalam E-commerce (Tantangan Era Globalisasi), Universitas Katolik
Parahyangan - Program Pascasarjana - Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bandung, h.2
4. Cross-cultural-coopetition. Dalam hal ini, terjadi hubungan lintas budaya yang akan
bergesekan dengan kompetisi, sehingga berlaku kerjasama dalam persaingan, dan pada
gilirannya muncul coopetition (kerjasama dalam persaingan dan persaingan dalam
kerjasama;
5. New common values, yaitu tata nilai baru berupa nilai-nilai yang sama dan berlaku di
seluruh dunia;
Dilihat dari karakteristik e-commerce yang melintasi batas negara dan juga transaksi bisnis
dapat dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa saling bertemu satu sama lain, merupakan hal yang
sangat berbeda dari perdagangan konvensional. E-commerce dapat menimbulkan kendala dan
resiko akan terjadinya kejahatan akibat dari karakteristik tersebut. Bukan tidak mungkin
transaksi yang seharusnya lebih efektif dan efisien menjadi terhambat yang disebabkan tidak
adanya jaminan keamanan bertransaksi melalui internet dan tidak ada jaminan mengenai
kredibilitas para pihak yang bertransaksi. Sampai saat ini belum ada pengertian tunggal
mengenai e-commerce. Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk-bentuk baru
dari operasi e-commerce.
Perdagangan secara elektronik adalah konsep yang menjelaskan proses pembelian dan
penjualan dari suatu produk barang, jasa dan informasi melalui jaringan internet. Definisi yang
dikemukakan oleh Electronic Commerce Expert Group (ECEG) mendefinisikan perdagangan
secara elektronik sebagai berikut “a board concept that covers any commercial transaction that
is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, internet and
telephone. For the purpose of this report the term is limited to those trade and commercial
transaction involving computer to computer communication whether utilizing an open or close
network110
.” Menurut peneliti dalam terjemahan bebas sebuah konsep yang mencakup semua
transaksi bersifat komersial yang dilakukan melalui sarana elektronik dan akan mencakup sarana
seperti faksimili, teleks, internet dan telepon. Untuk tujuan laporan ini, istilah ini terbatas pada
perdagangan dan transaksi komersial yang melibatkan komunikasi komputer ke komputer baik
menggunakan jaringan terbuka atau tertutup. Perkembangan perdagangan secara elektronik
sangat pesat dikarenakan beberapa faktor yaitu:
a. Perdagangan secara elektronik memiliki kemampua untuk menjangkau lebih banyak
pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang terus
menerus;
b. Perdagangan secara elektronik dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara
cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung secara
periodic;
c. Perdagangan secara elektronik dapay menciptakan efesiensi yang tinggi, murah serta
informatif;
d. Perdagangan secara elektronik dapat meningkatkan kepuasan pelangan dengan
pelayanan cepat, mudah aman dan akurat.111
Ruang lingkup perdagangan secara elektronik adalah teknologi informasi, transaksi bisnis
dipahami sebagai suatu perjanjian atau hubungan hukum antar pihak yang dilakukan dengan cara
saling bertukar informasi untuk melakukan perdagangan112
, dalam transaksi perdagangan secara
elektronik berlaku pula syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata, salah satunya yaitu syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Suatu
kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh satu pihak dan dilanjutkan
dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak yang lain. Jika penawaran tersebut tidak
ditanggapi oleh pihak lain maka dengan demikian tidak aka nada kesepekatan. Karena itu
110
M. Arsyad Sanusi, 2001, E-commerce Hukum dan Solusinya, PT. Mizan Grafika Sarana, Jakarta, hal. 16. 111
Riyeke Ustadiyanto, 2001, Framework E-commerce, Penerbit Andi, Yogyakarta, h. 136. 112
Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 223.
dibutuhkan dua pihak untuk melahirkan kesepakatan. Perdagangan secara elektronik ini memiliki
beberapa ciri berikut:
1. Perdagangan secara elektronik memungkinkan para pihak memasuki pasar global
secara cepat tanpa dirintangi oleh batas-batas negara;
2. Perdagangan secara elektronik memungkinkan para pihak berhubungan tanpa
mengenal satu sama lainnya;
3. Perdagangan secara elektronik sangat bergantung pada sarana (teknologi) yang
kehandalannya kurang dijamin. Oleh karena itu, keamanan transaksi secara
perdagangan secara elektronik ini belum atau tidak begitu dapat diandalkan.113
Perdagangan melalui sistem elektronik menurut UU Perdagangan adalah perdagangan
yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Perdagangan melalui sistem elektronik yang diatur dalam Pasal 65 ayat (4) UU Perdagangan
menyebutkan bahwa yang dilakukan oleh setiap pelaku usaha wajib disediakan data dan/atau
informasi secara lengkap dan benar paling sedikit memuat :
a. identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e. cara penyerahan Barang.
Transaksi yang terjadi melalui perdagangan secara elektronik juga merupakan suatu
perjanjian sama dengan perjanjian secara konvensional yang biasa dilakukan pada umumnya,
113
Abu Bakar Munir, Cyber Law : Policies and Challenges, (Malaysia, Singapore, Hong Kong: Butterworths
Asia, 1999), hlm. 205., yang dikutip oleh Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, P.T. Raja Orafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 162-163.
hanya saja terdapat perbedaan pada media yang digunakan. Pada transaksi e-commerce yang
digunakan adalah media elektronik yaitu internet. Transaksi melalui e-commerce memiliki
beberapa keuntungan, yaitu :
1. Transaksi dagang menjadi lebih efektif dan cepat;
2. Transaksi dagang menjadi lebih efisien, produktif dan bersaing;
3. Lebih memberikan kesempatan dan ketepatan kepada konsumen;
4. Mengurangi biaya administratif
5. Memperkecil masalah-masalah sebagai akibat perbedaan budaya, bahasa dan praktik
perdagangan;
6. Meningkatkan pendistribusian logistik;114
dan
7. Memungkinkan perusahan-perusahaan kecil untuk menjual produknya secara global.
2.4 Landasan Hukum
2.4.1 Pengaturan jabatan Notaris Sebagai Pembuat Akta Autentik
Perkembangan, lembaga notariat ini secara diam-diam telah diadopsi dan menjadi
hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan. Berkaitan dengan perjanjian-
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dapat dipahami bahwa keberadaan profesi Notaris adalah
sebagai pembuat alat bukti tertulis mengenai akta akta otentik, sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1868 KUHPerdata115
. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik berdasarkan
Pasal 1868 KUHPerdata “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalarn bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
114
Rafiqul Islam, International Trade Law, (London: LBC, 1999), him. 426, yang dikutip oleh Huala Adolf, Ibid.
115 Nico, Op.Cit, h. 35
Kewenangan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Pasal 1 jo Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), adapun bunyi dari Pasal 1 angka 1 UUJN
bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Serta Pasal 15 ayat (1)
UUJN mendefinisikan tentang kewenangan Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan
tugas dan jabatannya, yaitu sebagai berikut “Notaris berwenang membuat akta autentik,
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh perundangundangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.
Berdasarkan definisi Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN di atas dapat dipahami bahwa tugas dan
kewenangan notaris serta status hukum notaris yang diberikan oleh Undang-undang adalah:
1. Notaris adalah pejabat umum;
2. Notaris merupakan pejabat yang berwenang membuat akta autentik;
3. Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian, dan ketetapan diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki yang berkepentingan supaya
dinyatakan dalam suatu akta otentik;
4. Adanya kewajiban dari Notaris untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya;
5. Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan ata dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1862 KUHPerdata yang juga menjelaskan tentang notaris
sebagai pejabat umum yang diberiakn kewenangan membuat akta adalah sebagai berikut :
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum;
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana
dibuat.
Sebagaimana diketahui Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa
tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan
kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna. Dalam peraturan
Jabatan notaris (PJN) pasal 1 PJN menyebutkan Notaris adalah pejabat umum satu-satunya
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain,
sedangkan dalam pasal 1 UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik116
dan kewenangan lain sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini. Dengan demikian terdapat kesamaan dalam mendefinisikan kata notaris yaitu pejabat
umum yang berwenang utnuk membuat akta otentik. Habib Adjie menyebutkan bahwa istilah
116
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tulisan adalah pengemban tanda baca yang mengandung arti serta
bermanfaat untuk mengambarkan suatu pikiran, sedangkan tanda adalah suatu tulisan yang tanpa memperhatikan
isinya, secara lahiriah merupakan kesatuan lengkap. Akta adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat utnuk
dipergunakan sebagai bukti. Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet 1 PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, (Selanjutnya disebut Tan Thong Kie II), h. 441.
pejabat umum merupakan terjemahan dari kata Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam pasal
1 PJN dan pasal 1868 KUHPerdata117
.
Jadi apa yang dimaksud sebagai pejabat umum dalam pasal 1 PJN dan pasal 1 ayat (1)
UUJN adalah sama dengan yang dimaksud sebagai pegawai umum dalam pasal 1868
KUHPerdata, yang diartikan sebagai pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk
melaksanakan sebagai fungsi publik dari negara dengan tugas pokok membuat akta otentik
khusus dalam lingkup perdata dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris. Dengan
demikian, pegawai umum yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata adalah notaris sebagai
pejabat umum. Dari penjelasan pasal 1 ayat (1) UUJN dapat dipahami bahwa Notaris sebagai
pejabat umum karena undang-undang memberi kewenangan menciptakan alat pembuktian yang
mutlak yaitu akta otentik, akta notaris merupakan alat bukti tertulis yang diharapkan oleh para
pihak yang meminta untuk membuatkan agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sempurna
atas setiap perbuatan yang dituangkannya dalam akta tersebut.
Notaris di Indonesia yang menganut stelsel Kontinental, adalah pejabat umum yang
berwenang utnuk membuat akta otentik dan kewenagan lainya sebagaimana di maksud didalam
UUJN. Penjabaran mengenai kewenangan notaris berkaitan dengan tugas dan jabatannya adalah
sebagaimana dimaksud didalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN serta kewenangan lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagaimana diketahui Pasal 1 UUJN dan
Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik
dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian
yang sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870
KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan di antara para pihak
117
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indinesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Cet 1 Refika Aditama, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie II),h. 12-13.
beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak Dari pada mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang penting
dari profesi Notaris ialah bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat
pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam otentik itu pada
pokoknya dianggap benar.
Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu
keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha118
, Notaris
tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti Verlijkden, yaitu menyusun,
membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat akta dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata,
tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya
kewajiban terhadap Notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan
penjelasan mengenai ketentuan undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya
hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang
mempunyai tugas untuk melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi penguasa, yaitu
pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat Notaris. Berkaitan dengan wewenang yang harus
dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah
ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum.
Notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1 UUJN, sebelum
menjalankan tugas jabatannya Notaris harus mengangkat sumpah. Konsekuensi dengan tidak
diangkatnya sumpah tersebut adalah tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
118
Soegondo R. Notodisorjo I, Op.Cit, h. 9
yang termasuk dalam bidang tugas Notaris. Adapun inti dari tugas jabatan Notaris adalah
membuat akta otentik dan di dalam pembuatannya, Notaris harus benar-benar menguasai
ketentuan ketentuan yang mengatur tentang bentuk atau formalitas dari akta Notaris itu, agar
supaya dapat dikatakan sebagai akta otentik dan tetap memiliki kekuatan otentisitasnya sebagai
akta notaris. Hal demikian tidak hanya sekedar untuk memberikan perlindungan terhadap diri
Notaris yang bersangkutan, melainkan juga demi kepentingan dan perlindungan hukum bagi
pihak-pihak yang membutuhkan jasanya.
Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang undang akan tetapi karena
dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Otentisitas dari akta Notaris bersumber dari
Pasal 1 UUJN, di mana Notaris dijadikan sebagai ”pejabat umum”, sehingga akta yang dibuat
oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Dengan perkataan
lain, akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang
menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum,
seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata119
.
Kewenangan pembuatan akta adalah merupakan tugas pokok Notaris sebagai pejabat
umum yang diberiakan oleh Undang-undang, akta-akta tersebut terbagi kedalam dua golongan
antara lain:
a. Akta yang dibuat "oleh" Notaris atau dinamakan "akta relaas" atau "akta (ambtelijke
akten), akta ini merupakan suatu akta yang memuat "relaas" atau menguraikan secara
otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan
oleh pembuat akta itu, yaitu Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai
Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan
119
Ibid, h. 50-51
disaksikan serta dialaminya itu. Termasuk di dalam akta “relaas” ini antara lain berita
acara rapat/risalah para pemegang saham dalam perseroan terbatas.
b. Akta yang dibuat "di hadapan" Notaris atau yang dinamakan "akta partij" (partij akten),
akta yang dibuat di hadapan Notaris, akta ini berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi
karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang
diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan
jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris
dan memberikan keterangan itu di hadapan Notaris, agar keterangan itu dikonstantir oleh
Notaris di dalam suatu akta otentik. Termasuk dalam golongan akta ini yaitu perjanjian
hibah, jual beli, wasiat, kuasa dan lain sebagainya.
Undang-undang mengharuskan bahwa akta-akta partij, dengan diancam akan
kehilangan otentisitasnya atau dikenakan denda, harus ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan atau setidak-tidaknya di dalam akta itu diterangkan apa yang menjadi alasan tidak
ditandatanganinya akta itu oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak
atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya, keterangan mana
harus dicantumkan oleh Notaris dalam akta dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai
ganti tanda tangan. Dengan demikian untuk akta partij penandatanganan oleh para pihak
merupakan suatu keharusan.
Jadi pada dasarnya bentuk suatu akta Notaris yang berisikan keterangan-- keterangan
dan hal-hal lain yang dikonstantir oleh Notaris, umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan
yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu antara lain
KUHPerdata dan UUJN. Dalam hubungannya dengan apa yang diuraikan di atas, maka yang
pasti secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain, ialah :
1. tanggal dari akta itu;
2. tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta itu;
3. identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten);
4. bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sasuai dengan apa yang diterangkan
oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran
dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan
sendiri.
Dalam akta relaas tidak menjadi soal, apakah orang-orang yang hadir itu menolak untuk
menandatangani akta itu. Apabila misalnya pada pembuatan berita acara rapat/risalah para
pemegang saham dalam perseroan terbatas orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat
sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup Notaris meneragkan dalam akta, bahwa para yang
hadir telah meninggalkan rapat sebelum menanda tangani akta itu dan dalam hal ini akta itu tetap
merupakan akta otentik. Pembedaan yang dimaksud di atas penting, dalam kaitannya dengan
pemberian pembuktian sebaliknya terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran isi dari akta pejabat
(ambtelijke akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu. Pada
akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa
keterangan dari para pihak yang bersangkutan ada diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta
itu, akan tetapi keterangan itu adalah tidak benar. Artinya terhadap keterangan yang diberikan
diperkenankan pembuktian sebaliknya.
Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan
tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian, dapat
dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum.
Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan bahwa120
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua macam akta yaitu akta yang
sifalnya otentik dan ada yang sifatnya di bawah tangan. Dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
dimaksud dengan akta otentik adalah121
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Pegawai umum yang
dimaksud di sini ialah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan undang-Undang mempunyai
wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya notaris, panitera juru sita, pegawai pencatat
sipil, Hakim dan sebagainya. Akta yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 1868 KUHPerdata
bukanlah akta otentik atau disebut juga akta di bawah tangan. Perbedaan terbesar antara akta
otentik dan akta yang dibuat di bawah tangan ialah :
1. Akta otentik
Merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH
Perdata. Ia memberikan di antara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang
mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat
atau dinyatakan dalam akta ini. Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa
karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi
dan bagi Hakim itu merupakan “Bukti Wajib/Keharusan” (Verplicht Bewijs). Dengan
demikian barang siapa yang menyatakan bahwa Akta otentik itu palsu, maka ia harus
membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Oleh karena itulah maka akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian, baik lahiriah, formil maupun materil (Uitwendige,
formiele, en materiele bewijskrach).
2. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan bagi Hakim merupakan “Bukti Bebas” (Vru Bewijs) karena akta di
bawah tangan ini baru mempunyai kekuatan bukti materil setelah dibuktikan kekuatan
formilnya. Sedang kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila pihak-pihak yang
bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu. Dengan
demikian akta di bawah tangan berlainan dengan akta otentik, sebab bilamana satu akta di
120
R. Subekti I, Op.Cit.,, h. 475
121 Ibid.
bawah tangan dinyatakan palsu, maka yang menggunakan akta di bawah tangan itu
sebagai bukti haruslah membuktikan bahwa akta itu tidak palsu122
.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa suatu akta Notaris
lahir dan tercipta karena :
1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar perbuatan hukum
mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik.
2. Atas dasar undang-undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu mutlak
harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak123
.
Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk akta otentik, adalah untuk menjamin
kepastian hukum guna melindungi pihak-pihak, baik secara langsung, yaitu para pihak yang
berkepentingan langsung dengan akta itu maupun secara tidak langsung, yaitu masyarakat. Suatu
akta akan memiliki karakter yang otentik, jika akta itu mempunyai daya bukti antar para pihak
dan terhadap pihak ketiga, sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa
perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti
yang tidak dapat dihilangkan.
Akta yang dibuat Notaris, adalah akta otentik dan otentisitasnya itu bertahan terus,
bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada akta itu tetap mempunyai
kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian
pada saat pembuatan akta itu. Apabila Notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat
dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi
akta-akta tersebut harus telah dibuat sebelum pemberhentian atau pemecatan sementara waktu itu
dijatuhkan.
2.4.2 Pengaturan Jabatan Notaris Sebagai Pengemban Amanat Kepercayaan Publik
122
N.G Yudara, Loc.
123 Racmat Setiawan, Op.Cit, h. 3
Dalam kata pelayanan publik terdapat dua kata yang harus dijelaskan terlebih dahulu
yakni kata-kata Pelayanan dan Publik. Jika kata publik adalah bermakna kepada kepentingan
publik yang merupakan kepentingan lebih luas dari sekedar kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat maka dalam kata pelayanan adalah bermakna kepada pengertian tentang
adanya suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat
diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dengan menggunakan peralatan.124
Menurut Groon Ross sebagaimana dikutip oleh Ratminto dan Atik Septi Winarsih
dalam bukunya tentang Manajemen Pelayanan, Pelayanan adalah suatu aktivitas atau
serangkaian aktivitas yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan
karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang
dimaksudkan untuk memecahkan masalah konsumen.82
Merujuk Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 telah
mendefinisikan pelayanan umum sebagai: “ Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh
Instansi Pemerintah Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya dapat dibedakan secara umum ada
dua jenis layanan publik, yaitu (a) pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik,
dan (b) pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat. Selanjutnya pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh organisasi public tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yakni
124
Edmon Makarim I, Op. Cit. h. 38.
(i) yang bersifat primer dan (ii) yang bersifat sekunder.125
Lebih lanjut mereka mencotohkan
perbedaan ketiga jenis layanan publik tersebut sebagai berikut:126
a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat adalah semua penyediaan barang atau
jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta seperti antara lain Rumah Sakit,
Perguruan Tinggi, Perusahaan Transportasi dan lain sebagainya.
b. Pelayanan Publik oleh Pemerintah yang bersifat primer, adalah semua penyediaan
barang atau jasa publik di mana pemerintah adalah satu-satunya penyelenggara dan
publik tidak bisa memilih yang lain, mau tidak mau mereka harus memanfaatkannya,
seperti antara lain pelayanan imigrasi, KTP, SIM dan pelayanan perizinan lainnya.
c. Pelayanan publik oleh pemerintah yang bersifat sekunder, adalah semua bentuk
penyediaan barang atau jasa publik di mana pemerintah bukanlah satu-satunya penyedia
sehingga publik masih bisa memilih penyelenggara yang lain. Misalnya adalah
program asuransi tenaga kerja, program pendidikan dan pelayanan yang diberikan
oleh BUMN, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal itu, menurut Rotminto dan Atik, paling tidak terdapat lima
karakteristik sebagai pembeda dari ketiga jenis layanan tersebut, yakni:127
a. Adaptabilitas layanan, yakni karakteristik derajat perubahan layanan adalah tergantung
dan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna;
b. Posisi tawar pengguna, yakni dimana semakin tinggi posisi tawar pengguna maka akan
semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta mutu pelayanan yang baik;
125
Ratminto dan Atik Septi Winarsih 2015, Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual,
Penerapan Citizen's Charter dan Standar Pelayanan Minimal, Pustaka Pelajar Yogyakarta, h. 1-4. 126
Ibid, h. 8-11 127
Ibid.
c. Tipe pasar, yakni dimana banyaknya jumlah penyelenggara adalah berhubungan
dengan karakteristik pengguna;
d. Locus control, yakni karakteristik yang memperlihatkan siapa yang menjadi pemegang
kendali dalam pelayanan tersebut, apakah penyelenggara ataukah penggunanya.
Sifat pelayanan, yakni karakteristik yang menunjukkan dominasi kepentingan, apakah
kepentingan pengguna atau penyelenggara. Berdasarkan karakteristik tersebut terlihat adanya
kecenderungan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh swasta mempunyai karakteristik yang
lebih baik dibandingkan oleh pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, karena mempunyai
adaptabilitas yang tinggi, posisi tawar pengguna yang relative lebih baik, tipe pasar yang
kompetitif, lokus control pada pengguna dan sifat pelayanan yang akomodatif berdasarkan
dominan kepentingan pengguna. Berdasarkan hal tersebut, berkembanglah pemikiran untuk
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada swasta untuk mengembangkan layanan publik
demi kepentingan publik itu sendiri dapat memperoleh manfaat optimum.128
Sementara dalam UU ITE dinyatakan bahwa Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah
pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau
masyarakat. Dalam UU ITE tidak ditentukan lebih lanjut apakah penyelenggara Negara dapat
bekerjasama dengan swasta mengembangkan sistem elektronik untuk melakukan layanan publik
sesuai dengan perkembangan sistem hukum nasional yang terkait dengan terkait e-Government
dan e-Commerce. Salah satu titik taut yang akan menentukan efektifnya e-government dan juga
e-commerce di Indonesia adalah sejauhmana keautentikan terhadap informasi publik dan/atau
dokumen publik itu diselenggarakandan sejauhmana tanggung jawab Administrasi Negara
terhadap keautentikan dokumen itu.
128
Edmon Makarim I, Loc.Cit.,h.7
Perbedaan penerapan keautentikan terhadap dokumen kertas dengan dokumen
elektronik bukanlah suatu hal yang mudah, sementara tanggung jawab hukumnya tidaklah ringan
karena tidak akan terlepas dari resiko gugatan perdata, administratif bahkan sampai dengan
tanggung jawab pidana terhadap kemungkinan beredarnya dokumen palsu ataupun pemalsuan
dokumen129
.
Public Document: A state paper, or other instrument of public importance or interest, issued
or published by authority ofcongress or a state legislature. Also any document or record,
evidencing or connectedwith the public business or the administration of public affairs,
preserved in or issued byany department of the government. See Ilammatt v. Emerson. 27
Me. 335, 40 Am. Dec. 59S. Law Dictionary: (definition of PUBLIC DOCUMENT from
Black's Law Dictionary).
Salah satu catatan penting dari UU yang terbaru, yakni Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Selanjutnya disebut UU
Administrasi Pemerintahan) Pasal 1 angka 1 menyatakan administrasi pemerintahan adalah tata
laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan. Dimana UU ini merupakan suatusuatu terobosan untuk memperkenankan
administrasi Negara membuat keputusan yang berbentuk elektronik, namun sayangnya hal
tersebut seharusnya dibarengi dengan kejelasan pengaturan tentang keamanan yang akan
menentukan keautentikan dokumen administrasi pemerintahan sebagai akta autentik di belakang
hari. Namun, dalam pasal 15 secara tegas dinyatakan bahwa setiap penyelenggara harus
bertanggung jawab terhadap sistemnya.130
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de
ambtenaar, Notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama (diundangkan tanggal Juli 1842, Stb. 20).
Notaris bukan pejabat pemerintahan tetapi dapat dikaitkan mengenai kewenangannya dalam
129
Edmon Makarim,2015, Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi Pemerintahan Dan
Pelayanan Publik, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4. h. 510 130
Ibid., h. 72
melayani publik. Contohnya seperti, pembuatan wasiat online, membuat fidusia online dan
sebagai pejabat pembuat akta tanah.
Tidak dirumuskan lagi Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini tidak
dipersoalkan apakah Notaris sebagai pejabat umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa
istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi bermakna
publik.131
Ambentenaar pada dasarnya adalah jabatan publik. Dengan demikian jabatan Notaris
adalah jabatan publik tanpa perlu atribut Openbaar. 132
Penjelasan Pasal 1 huruf a tersebut di atas
bahwa penggunaan istilah Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai tautologie.133
Jika
ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan
pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris
adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai
Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk
melayani kepentingan masyarakat.
Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final. Dikaikan
dengan UU Administrasi Pemerintahan Notaris tidak termasuk pejabat pemerintah, tetapi
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah dalam melegalisasi seperti yang tercantum dalam
Pasal 1 angka 12 yaitu Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
131
Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Loc.Cit. 132
Ibid, h. 80 133
S. Wojowasito, Loc.Cit.
mengenai keabsahan suatu salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang
dinyatakan sesuai dengan aslinya. Dimana Notaris mempunyai kewenangan untuk melegalisasi
seperti dalam Pasal 73 ayat (2) yang menyatakan “Legalisasi salinan/fotokopi dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lain yang diberikan wewenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau
pengabsahan oleh notaris”. Serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau
badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming)
para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.
Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau
Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat
sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.134
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai pejabat publik yang
bukan pejabat tata usaha negara atau pejabat pemerintahan, dengan wewenang yang disebutkan
dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15
UUJN. Dengan demikian Notaris merupakan suatu jabatan yang mempunyai karakteristik,
menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang
sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tersebut)
serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap yaitu membuat Akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa
134
Habib Adjie I, Op.Cit, h. 31-32
menurut ketentuan yag telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak- pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-
pihak yang berkepentingan.
Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang
apa yang dilakukan atau dilihat dihadapannya135
. Akta otentik adalah suatu akta dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang
berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868
KUH Perdata. Akta-akta lain yang bukan otentik dinamakan akta di bawah tangan.
Berdasarkan perkembangannya, sesuai dengan paradigma hukum administrasi Negara
yang modern, telah berkembang pemikiran untuk reinveting government yang semangatnya
adalah mengefisiensikan peranan Negara dalam memajukan kesejahteraan umum demi
tumbuhnya kemakmuran.136
Paradigma kemitraan publik dengan privat tersebut selanjutnya lebih
dikenal dengan istilah “Public-Private Partnership” atau disingkat “PPP” antara pemerintah dan
swasta untuk melaksanakan suatu layanan umum atau layanan publik. Dengan kata lain, dapat
juga dikatakan sebagai bentuk kerja sama pemerintah dan swasta memberikan jasa layanan
kepada publik.137
Sementara menurut Deloitte, PPP adalah perjanjian antar publik atau pemerintah dengan
swasta yang memberikan kesempatan yang lebih besar untuk partisipasi swasta dalam proyek-
proyek infrastruktur.
135
Husni Thamrin, Op.Cit, h. 11
136 David Osborne dan Ted Gaebler, 1992, Reinveting Government: How The Entrepreneural Spirit Is
Transforming The Public Sector From Schoolhouse, City Hall To The Pentagon, Addison Wesley Publishing Company,
United States Of America, h. 17
137 Edmon Makarim I, Op.Cit.,h.73
A public private partnership, or PPP, refers to a contractual agreement formed between a
government agency and a private sector entity that allows for greater private sector
participation in the delivery of public infrastructure projects. In some countries involvement
of private financing is what makes a project a PPP. PPPs are used around the world to
build new upgrade existing public facilities such as schools, hospitals, roads, waste and
water treatment plant and prisons, among other things. Compared with traditional
procurement models, the privat sector assumes a greater role in the planning, financing,
design, construction, operation, and mantainance of public facilities. Risk associated with
the project is transferred to the partybestpositioned to manage it.138
Pada umumnya, struktur dari pola PPP adalah mencakup: (i) keberadaan sector publik
yang mendefinisikan layanannya berikut standar layanan dibutuhkan, dan (ii) keberadaan sektor
swasta yang merancang, membangun, membiayai dan mengoperasikan infrastruktur layanan
tersebut, berikut penerimaan pembayarannya berdasarkan performansinya.“Under typical PPP
structure, the Public Sector defines the services and performance standards required and the
Private Sector designs, builds, finances, and operates the required infrastructure, in returns for
payments based on performance.” 139
Dari pola tersebut, secara garis besar, paling tidak
dapat diperinci keberadaan para pihak sebagai berikut:140
a. Otoritas Publik atau Administrasi Negara selaku pembeli sistem layanan tersebut
(buyer);
b. Perusahaan bentukan PPP tersebut (Special Purpose Vehicle);
c. Perusahaan Pelaksana Pembangunan Proyek (Sub- contractors');
d. Para Pemberi Pinjaman Dana (Lender);
e. Para Pemegang saham dari PPP tersebut (shareholders).
138
Deloitte., 2007, Closing the Infrastructure Gap :The Role of Republic- Private Partnership. 139
Ibid. 140
Edmon Makarim I, Op.Cit.,h.78
Gambar 2. Public-Private Partnership141
Dapat dijelaskan bahwa pihak Pemerintah c.q Otoritas Publik yang terkait yang
merupakan pembeli layanan tersebut, secara kontraktual jangka panjang mengharapkan adanya
perolehan aset dan sistem layanan tersebut sesuai perencanaan spesifikasi yang telah ditentukan,
dengan ketentuan tidak perlu mengeluarkan pembiayaan untuk proyek tersebut melainkan
langsung membukukannya sebagai suatu bentuk pendapatan. Keterlibatan swasta yang
memberikan pembiayaan atas proyek tersebut adalah bertanggung jawab atas pendanaan dan
pemantauan kinerja kontraktor.
2.4.3 Evolusi Notaris Common Law dan Notaris Civil Law.
Dibidang hukum privat materiil dikenal 2 (dua) sistem hukum yakni hukum dari romawi
dan hukum dari Inggris atau para ahli hukum menyebutnya sebagai Civil Law dan Common Law.
Daratan Eropa dan sebagaian koloninya dikuasai oleh tradisi hukum romawi. Inggris dan
koloninya dikuasai oleh tardisi Common Law.142
Kebudayaan yuridis dari Eropa Barat dikuasai
oleh kitab Undang-undang atau Corpus Iuris Civil yang diundangkan antara tahun 529 dan 534,
141
Ibid. 142
Herlien Budiono, 2012, Eksistensi Notaris dalam Aktivitas Cybernotary, Kerjasama Direktorat Jendral
Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi dengan Fakultas Hukum Padjajaran, Bandung,
(Selanjutnya disebut Herlien Budiono II), h. 9
sedangkan Inggris didasarkan pada kebiasaan yang berasal dari putusan hakim dan merupakan
dasar dikembangkannya hukum.143
2.4.3.1 Notaris di sistem Hukum Common Law
Sejarah notaris yang berakar dari “latijnse notariaat” romawi dalam perkembangannya
mengalami resepsi yang berbeda di negara-negara yang menganut sistem hukum common law.
Bilamana profesi notaris di negara-negara civil law pada umumya merupakan jabatan terhormat
dan dihargai oleh masyarakat, dinegara-negara cammon law para notaris yang dikenal dengan
mana notary public sebaliknya tidak pernah menempati posisi yang terkemuka dalam praktek
hukum144
. Hal ini antara lain menyebabkan studi tentang sejarah dan perkembangan notaris di
negara-negara commom law sedikit diabaikan, terbukti dengan sedikitnya literatur yang
membahas mengenai hal tertsebut, walaupun notary public sebagai profesi telah eksis dalam
praktek selama berabad-abad.
Seperti misalnya di negara Inggris, profesi notaris tidak pernah mendapatkan tempat yang
terkekemuka, sehingga sejarahnya juga diabaikan, walaupun profesi notaris adalah sebagai
profesi yang sudah ada sejak beradab-abad. Hal ini disebabkan oleh pemutusan hubungan Inggris
dengan tradisi Gereja Katolik roma pada tahun 1534 yang menyebabkan penghentian suatu
lembaga di Inggris yang begitu erat hubunganya dengan Hukum Perdata dan Gereja.145
Notary Public dalam Black‟s Law Dictionary menyebutkan bahwa “A person authorized
by a state to administer oaths, certify documents, attest to the authenticity of signatures, and
perform official acts in commercial matters”146
dari pernyataan tersebut diatas dapat dipahami
143
C.AE Uniken Venema Zwalve, Loc.Cit. 144
Anke Dwi Saputro, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, Gramedia
Pustaka, Jakarta, h. 40.
145 Ibid. h. 611
146 Henry Campbell Black, Op.Cit, h.1085
bahwa notaris adalah seseorang yang ditunjuk oleh negara utnuk megambil sumpah,
menerangkan isi sesuatu dokumen, mengesahkan keaslian tanda tangan dan menjalankan
pekerjaan resmi lainnya yang ditentukan dibidang komersil.
Notaris sistem cammon law sangat berbeda dengan notaris sistem civil law, hal ini
disebabkan karena pemerintah gereja dibawah paus yang berpusat di Italia mengangkat para
notaris yang ditugaskan untuk melayani administrasi gereja, akan tetapi kelompok notaris inilah
nantinya yang mejadi cikal bakal dari civil law notary dan berkembang di negara-negara
common law, dimulai dari Inggris menyebar sampai di seluruh wilayah negara jajahan atau
koloninya.
Di benua Eropa pada abad ke 5 sampai abad ke 15 yang merupakan abad pertengahan,
pada abad ini agama mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya,
pada umumnya masyarakat pada massa itu memeluk agama katolik yang di pimpin oleh Paus di
roma, yang mempunyai pengaruh besar terhadap para raja dan kepala negara. Agama katolik
yang berkembang pesat saat itu dibawa oleh orang anglo, saks, dan juten dari Itali ke ingris
termasuk sistem notriatnya yang telah berkembang terlebih dahulu.147
Hal itu menjadikan
kerajaan Inggris Raya dalam perkembangannya memiliki hubungan yang sangat erat dengan
gereja Katolik Roma dibawah pimpinan Paus.
Paus pada abad ke-16 menolak pernikahan raja Inggris Henry VIII dengan Catherine of
Aragon setelah menceraikan isrtinya, karena penolakan oleh paus inilah raja Inggris marah dan
memutuskan hubungan keagaaman dengan gereja katolik yang pada massa itu segala kebijakan
sangat dipengaruhi oleh paus.
Setelah itu parlemen Inggris melalui Act of Supremacy 1534 mengakui raja Inggris sebagai
supreme Head in Earth, immediately under god, of the curch of england, sekaligus sebagai
147
Tan Thong Kie I, Op.Cit., h. 232-233
kepala gereja katolik anglikan, lepas dari kekuasaan gereja katolik roma dibawah paus hingga
saat ini148
, ditandai dengan hal tersebut, dimulailah reformasi inggris di segala bidang termasuk
dibidang hukum dan kenotariatan.
Notary public semenjak reformasi tidak diangkat lagi oleh paus melainkan Uskup Agung
Canterbury yang diberi kuasa oleh Raja Inggris, sementara pekerjaan notaris dilingkungan
administrasi gereja di inggris tetap eksis yang dikenal dengan „registrar‟, pada massa itu
pekerjaan notaris meliputi bill of lading (surat muatan kapal), surat bottomry (surat bentuk kredit
perkapalan), surat kuasa untuk para kaum pedagang, akta yang berhubungan dengan maritim dan
juga menyiapkan surat untuk suatu perkara serta surat untuk naik banding149
.
Para notaris di inggris pada massa itu juga membuat berbagai dokumen di bidang hukum
keluarga, seperti surat penolakan wasiat, peneriamaan wasiat secara terbatas karena utang
melampaui aset dan surat protes terhadap suatu pernikahan. Hal umum yang membedakan antara
notaris civil law dengan notaris common law di inggris dari sekian banyak akta yang di buat
ternyata tidak ditemukan akta-akta dalam bidang pertanahan, konsep notary public yang
menganut sistem common law di inggris inilah yang menyebar ke berbagai negara jajahan
seperti Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Singapura, Hongkong, New Zealand dan india.
Setelah negara-negara jajahan tersebut memperolah kemerdekaannya, konsep notary public
berkembang dan menghasilkan berbagai peraturan tersendiri yang pada intinya sama tetapi
memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya dalam berbagai aspek.
Pada massa ini fungsi notary public seperti yang dijelaskan dalam Black‟s Law Dictionary
“authentication of a writing means the introduction of evidence sufficient a finding that it is the
writing that the proponent of the evidence claims it is, or the establishment of such facts by any
148
Ibid., h. 235 149
Ibid.
other means provided by law”150
, yang menjelaskan pada intinya tugas dari notaris tersebut
adalah untuk mengotentikasi suatu dokumen sebagai bukti cukup untuk membenarkan bahwa
tulisan atau tandatangan yang tertera pada suatu dokumen memang benar dibuat oleh orang yang
bersangkutan. Dapat dipahami bahwa tugas dan fungsi notary public dalam sistem hukum
common law adalah untuk memberikan kesaksian bahwa seseorang yang menandatangani suatu
dokumen memang benar orang yang benar memahami isi dokumen tersebut dan tidak berada
dibawah tekanan, serta tugas lainnya adalah memastikan kewenangan dari para pihak yang
menandatangani dokumen tersebut.
2.4.3.2 Notaris di Sistem Hukum Civil Law
Sejarah berkembangnya sistem hukum civil law dimulai dari perdagangan yang sangat
berkuasa pada massa itu di italia utara sekitar pada abad ke 11 sampai 12. Sebagaimana
diuraikan mengenai sejarah berkembangnya notary public pada sistem hukum common law di
negara Inggris yang kemudian membawa lembaga notariat itu ke negara jajahannya, lambat laun
negara jajahannya itu membuat perundang-undangan sendiri yang pokoknya sama dengan
Inggris, namun di sana sini ada perbedaannya.
Pusat perdagangan di Italia utara yang menjadi tempat asal dari notariat yang dinamakan
“latijnsee notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh
penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium)
dari masyarakat umum pula. Dengan demikian “latijnsee notariaat” tidak berasal dari romawi
kuno, akan tetapi justru dinamakan demikian berdasarkan kenyataan bahwa lembaga notariat ini
meluaskan dirinya dari Italia utara. Resepsi dari notariat ini juga menempuh jalan yang sama
seperti yang ditempuh gelombang peradaban pada abad-abad terdahulu, yakni mula-mula meluas
di seluruh daratan eropa dan melalui negara Spanyol sampai ke negara-negara Amerika tengah
150
Henry Campbell Black, Op.Cit., h.1186
dan Selatan. Negara-negara yang tidak turut mengambil bagian dari resepsi “latijnsee notariaat”
ini adalah kerajaan Inggris dan sebagian besar negara Skandinavia. Walaupun di negara-negara
yang disebut terakhir ini juga dikenal perkataan “notaris” akan tetapi perkataan itu mempunyai
arti lain.151
Lembaga notariat adalah sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang
perjalanannya diawali dari Italia sampai ke Perancis, yang puncak perkembanganya diakui
karena kebutuhan dan kegunaannya mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Pada permulaan
abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana dikenal sekarang, meluas kenegara-negara
disekelilingnya dan bahkan ke negara lain. Revolusi Perancis mengakibatkan diundangkannya
undang-undang di bidang notariat pada tanggal 6 Oktober 1791 yang menjadikan para notaris
selaku “ambtenaar”. Tujuan utamanya pelembagaan notariat adalah untuk memberikan jaminan
yang lebih baik untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu notariat mempunyai fungsi yang
harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-
undang untuk memberikan kepada notariat suatu kedudukan yang kuat bagi kepentingan notariat
itu sendiri, kan tetapi untuk kepentingan umum.152
M.J.A van Mourik menyebutkan bahwa notaris di sistem latin notarial melaksanakan tugas
dan fungsi publik dan mempunyai karakteristik yang tidak memihak dan menjalankan sebagaian
dari tugas negara. Notaris mempunyai kekuasaan untuk membuat akta notaris yang merupakan
bukti dan merupakan nilai khusus. Tugas notaris adalah meningkatkan transaksi hukum secara
tertib. Notaris adalah penasehat yang mandiri dan tidak memihak, dan akta notaris yang dibuat
oleh notaris di sistem latin notarial adalah simbul dari legal security. Notaris di sistem anglo
saxon di Amerika tidak mempunyai persamaan dengan Latin Notary,. Pada sistem hukum anglo-
151
G.H.S Lumban Tobing , Loc.Cit. 152
Ibid. h. 11-12
amerika, notaris disebut sebgai notary public yang melaksanakan tugas-tugas sederhana dari
paralegal nature seperti mengesahkan tandatangan dan menyusun surat kuasa. 'notary public‟
tidak dapt dibandingkan dengan „civil law notary‟.153
Pengertian akta otentik juga dijelaskan dalam Pasal 165 HIR bahwa akta otentik adalah
surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya,
mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang
yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga
tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai suatu pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut
kemudian hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta
itu. Notary Public pada sistem hukum Anglo-Saxon dengan Civil Law Notary pada sistem hukum
kontinental adalah pejabat yang menjalankan tugas dan jabatan yang berbeda. Lembaga notariat
latin mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :154
1. Sistem hukum Kontinental berkaitan erat dengan pembuatan akta otentik yang berlaku
oleh pejabat umum. Hal ini disebabkan karena adanya kekuatan alat bukti dengan tulisan
pada sistem pembuktian bertingkat yang kekuatan pembuktiannya tergantung pada
bentuk tulisan dan akta otentik atau akta dibawah tangan (Buku IV KUHP tentang
pembuktian dan Daluarsa). Dengan sendirinya diperlukan pejabat yang diberikan
wewenang untuk membuat alat bukti tulisan dengan sifat sebagaimana tersebut diatas,
yang menurut sistem hukum di Indonesia adalah pejabat umum (pasal 1986 KUHPerdata)
yaitu notaris. Produk notaris tersebut mempunyai kekuatan bukti formil, materiil dan
untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan executorial. Kepada pejabat
umum tersebut perlu diberi atribut khusus suatu kedudukan yang mandiri
153
M.J.A. van Mourik, Loc.Cit. 154
Herlin Budiono I, Op.Cit, h. 104-121
(onafhankelijkeid-independence) dan tidak memihak (onpartijdigheid-impartiality) agar
dalam menjalankan jabatannya menghasilkan akta yang mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna. Dengan demikian perihal baik pejabat umum maupun hasil pekerjaannya
mutlak harus diatur dengan undang-undang agar baik pejabatnya dalam menjalankan
jabatannya terjamin bahwa aktanya memiliki kedudukan dan bobot serta sifat terkuat.
2. Profesi notaris dilakukan oleh ahli hukum (yurist) yang membantu kliennya dalam
pembuatan suatu alat bukti suatu akta otentik yang memberikan akibat hukum yang
memaksa bagi para pihak.
Sedangkan notary public dalam sistem hukum anglo-sexon mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Untuk menjabat sebagai notary public tidak diperkukan pendidikan yuridis maupun
magang atau pendidikan tertentu lainnya, dan menjabat untuk suatu jangka waktu
tertentu.
2. Notary public mempunyai tugas menurut ketentuan pasal 135 Executive law, yaitu :
a) To administer oaths and affirmations. Notary public mengangkat sumpah atau janji dan
membuat sertifikat yang menyatakan hal tersebut;
b) To take affidavits and depositions. Depositions adalah suatu tulisan atau keterangan
dibawah sumpah atau janji yang diberikan oleh seorang saksi;
c) To receive and certify acknowledgement. Pekerjaan utama dari seorang notary public
adalah memberikan keterangan kebenaran bahwa pada tanggal tertentu oleh orang
tertentu telah ditandatangani suatu dokumen, dokumen tersebut dengan menggunakan
kriteria dan istilah notariat latin adalah suatu akta dibawah tangan. Dalam memberikan
keterangan kebenaran tersebut notary public tidak ikut campur dengan keterangan atau
redaksi di dalam dokumen yang dibuat oleh penandatangan. Keterangan tertulis dari
notary public mengenai kebenaran penandatanganan tersebut dinamakan certificates of
acknowledgement yang merupakan pengakuan bahwa seseorang telah menandatangani
suatu surat atau dokumen.
d) To demand acceptance or payment of foreign and inland bills of axchange ect. Disini
yang dimaksud adalah wesel, promes dan cek dan protes non-akseptasi dn non-
pembayaran. Kewenangan dari notary public tidak lebih dari pembuatan sertifikat dan
wewenang tersebut tidak dapat diinterpretasikan lebih luas lagi, karena adalah juga tidak
mungkin untuk memperluasnya lagi.
3. Jenis akta sebagai bentuk tulisan sebagai alat pembuktian pada anglo-saxon mempunyai
kriteria yang tidak prinsipil sebagaimana dikenal di Belanda maupun di Indonesia yaitu
adanya akta otentik dan akta dibawah tangan, hukum pembuktiannya hanya berdasarkan
pada pembuktian dengan keterangan saksi. Tulisan private dokuments berada dibawah
pembuktian dengan saksi.
Dapat dipahami secara umum bahwa notary public pada sistem hukum anglo-saxon
tugasnya hanya sejauh membubuhkan stempel dan tanda tangannya, sedangkan notariat latin
berkewajiban dari keterangan yang diberikan oleh para pihak menyelidiki terlebih dahulu
keterangan tersebut sebelum menyusun redaksi aktanya. Untuk membedakan jabatan yang
berbeda tersebut para notaris pada notariat latin lebih menyukai memakai sebutan Civil Law
Notary dari pada Notary Public.
2.4.4 Pengaturan Fungsi Jabatan Notaris dalam Berbagai Konvensi Internasional
Bahwa dalam perkembangannya United Nations membentuk sebuah pedoman hukum
yang mengatur pelaksanaan dari transaksi elektronik yang mulai marak pada akhir abad ke 20.
Pada tahun 1996 UNCITRAL mengeluarkan pengaturan terkait dengan pelaksanaan E-
commerce155
. Di dalam model pengaturan e-commerce yang dikeluarkan oleh UNCITRAL
termuat pengaturan terkait dengan authentifkasi sebuah dokumen elektronik dengan sang
pembuatnya melalui tanda tangan elektronik. Kemudian 5 tahun setelah pengaturan tersebut
muncul, UNCITRAL mengeluarkan model pengaturan terkait dengan tanda tangan elektronik
155
United Nations, UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce With Di berbagai Negara, CA dapat
dikategorikan dalam recognized CA dan not recognized CA. Yang pertama adalah recognized CA yang didirikan
dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Negara tersebut, dimana dalam hal pendirian CA ini
diwajibkan dipenuhinya syarat-syarat yang menjadi persyaratan minimum yang ditentukan oleh pemerintah.
Namun, pada not recognized CA, biasanya tidak dilarang pendiriannya, tetapi tergantung pada komunitas yang
bergantung kepadanya, apakah komunitas tersebut mempercayai kredibilitas CA tersebut. Guide to Enactment,
Op.Cit., Pasal 7, h. 35
(UNICTRAL Model Law on Electronic Signatures [kemudian disebut dengan “UNCITRAL e-
sign”). Pembentukan UNCITRAL e-sign memiliki tujuan untuk mengatur secara lebih jelas
terkait dengan keabsahan dan kekuatan dari sebuah tanda tangan elektronik dalam jaringau
internet.
Pada tahun 2009, UNCITRAL telah melakukan penelitian yang inti temuannya adalah
bahwa e-authentication adalah ekuivalen dengan e-signatures. Keautentikan secara elektronik
dalam prakteknya diimplementasikan dalam bentuk penyelenggaraan sistem tanda tangan
elektronik. Meskipun terdapat beberapa kebijakan yang berbeda antara Negara dalam
penyelenggaraan e-authentication ataupun e-signatures tersebut, yang membagi nilai kekuatan
pembuktian dan keterpercayaan terhadap sistem, namun demi interoperabilitas transaksi
perdagangan global maka tingkatan e-authentication selayaknya tidak terlalu tinggi antara
Negara. Dalam bagian pertama hasil penelitian tersebut, UNCITRAL memperhatikan bahwa
nilai pembuktian berbanding lurus dengan metode e-authentication atau e-signatures yang
dipilih dan merepresentasikan asumsi umum siapa yang bertanggung jawab terhadap suatu
dokumen elektronik (general attribution of e-records).
Demi interoperabilitas perdagangan secara Internasional, UNCITRAL mendorong
penerapannya secara Internasional yang selaras dengan model electronic apostilles, sedangkan
penerapan nasional domestic dengan model electronic notary ataupun cybernotary. Sedangkan
dalam bagian kedua dari hasil penelitian tersebut mendorong adanya pengakuan hukum dari
setiap Negara terhadap e-authentication dari Negara lain (legal recognition of foreign e-
authentication and signature methods), dengan kriteria kepada rujukan tempat Negara asal
(place of origin), prinsip resiprositas dan validasi lokal (local validation), serta penyetaraan
substantif (substantive equivalence).
European Union (EU) atau Uni Eropa organisasi kerjasama regional di bidang ekonomi
dan politik Negara di Eropa. Pembukaan EU berawal dari penandatanganan Traktat Roma
tentang pendirian komunitas energy atom (European Atomic Energy Community) dan komunitas
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) Lembaga-lembaga tersebut pada tanggal 1 Juli 1967
bergabung menjadi satu organisasi yaitu Masyarakat Eropa (ME) dan kemudian pada tahun 1993
menjadi Uni Eropa.156
EU mulai menjalankan pengaturan terkait dengan penggunaan sertifikat
dalam proses kegiatan ekonomi yang dilakukan secara lintas batas dan lintas sektor.
Pada 23 Juli 2014 EU menyepakati EU Regulation No 910/2014 of The European
Parliament and of The Council on Electronic Identification and Trust Services for Electronic
Transactions in The Internal Market and Repealing Directive 1999/93/EC (selanjutnya disebut
“EU 910/2014”), regulasi ini pada pokoknya membahas terkait dengan identifikasi secara
elektronik dan pihak terpercaya didalam proses transaksi elektronik. Dalam perkembangan
terakhir, untuk mendukung autentikasi pemikiran tersebut kemudian diperkuat dengan telah
berubahnya aturan yang bersifat sebagai pedoman semula European Directive 1999/93/EC
tentang e-signature menjadi aturan yang bersifat mengikat pada negara anggotanya, yakni
Regulation 910/2014 tentang e- identification and trust services atau e-IDAS.
Keberadaan EU 910/2014 memberikan sebuah pengaturan terhadap proses yang
memberikan sebuah pengetahuan terhadap identitas elektronik yang dimiliki oleh orang
perseorangan dan badan hukum dalam transaksi lintas batas didalam EU.157
Selanjutnya EU
910/2014 memberikan pengaturan terhadap pihak terpercaya, pihak terpercaya tersebut adalah
156
Gunawan Graha,“Pengertian EU (European Union)” http://www.pengertianiimu.
cum/2015/10/pengertian-eu-european-union. html?m, diakses pada tanggal 19 Desember 2016.
157 European Union, EU Regulation No 910/2014 of The European Parliament and oj The Council on
Electronic Identification and Trust Service? for Electronic Transactions in The Internal Market and Repealing
Directive 1999/93/EC,( OJ L 257, 28.08.-014), Pasal l.
penyelenggara sertifikat elektronik, cap elektronik, time stamp elektronik, dokumen elektronik,
jasa pengiriman elektronik tercatat dan layanan sertifikat elektronik untuk authentifikasi
website.158
Berdasarkan EU 910/2014, permasalahan dari proses identifikasi menjadi sangat
penting dan mengutamakan proses sertifikasi dimana pihak terpercaya dapat melakukan kegiatan
identifikasi identitas pengguna.
EU 910/2014 memberikan beberapa definisi terkait dengan pihak terpercaya dan juga
identifikasi identitas, dalam proses identifikasi adalah terkait dengan siapa yang melakukan
kegiatan transaksi. Identifikasi ini menggunakan sebuah data unik yang membedakan setiap
subyek hukum. Pihak terpercaya didefinisikan sebagai penyedia layanan elektronik yang
menyediakan pembuatan, verifikasi dan pengesahan terhadap:159
1. Tanda Tangan elektronik (data secara elektronik yang melekat atau
terasosiasikan dengan data lain dalam bentuk elektronik untuk melakukan tandangan
tangan oleh subscriber);
2. Cap elektronik (data secara elektronik yang melekat atau terasosiasikan dengan data lain
dalam bentuk elektronik untuk menjamin asal dan integritas data)
3. Time Stamp elektronik (data secara elektronik yang mengikat data elektronik lain terkait
waktu pembuatan sebuah data elektronik);
4. Jasa pengiriman elektronik tercatat (proses pengamanan infromasi pada saat informasi
dikirimkan melalui pihak ketiga secara elektronik. Pengamanan ini adalah untuk
memberikan pernyataan bahwa informasi telah terkirim dan diterima oleh yang berhak,
dan kemungkinan kehilangan dari data, pencurian, kerusakan dan tindakan perubahan
tanpa hak);
5. Layanan sertifikat elektronik untuk authentifikasi website (pelekatan informasi untuk
menjamin autentikasi dari website dan menghubungan website dengan pemilik website).
Serta layanan untuk menjaga sertifikat, tanda tangan, cap elektronik, atau hal yang terkait
dengan proses kerja tersebut. Dalam menjalankan fungsi keterpercayaan pihak terpercaya
diberikan tingkat kepercayaan oleh EU 910/2014, tingkat kepercayaan ini merupakan dasar
tanggungjawab dari pihak terpercaya yang bersangkutan terhadap sertifikat yang diterbitkan
tingkat kepercayaan tersebut diatur dalam Article 8 (2):
158
Ibid. 159
Ibid., Pasal 3.
1. Assurance level low shall refer to an electronic identification means in the context of an
electronic identification scheme, which provides a limited degree of confidence in the
claimed or asserted identity of a person, and is characterised with reference to technical
specifications, standards and procedures related thereto, including technical controls,
the purpose of which is to decrease the risk of misuse or alteration of the identity, Dalam
hal ini tingkat kepercayaan rendah, karena dalam pelaksanaan kepercayaan yang
dilakukan oleh tingkat ini masih rendah karena tingkat keamanan masih berada di bawah
standar.
2. Assurance level substantial shall refer to an electronic identification means in the
context of an electronic identification scheme, which provides a substantial degree of
confidence in the claimed or asserted identity of a person, and is characterised with
reference to technical specifications, and related thereto, including technical controls,
the purpose of which is to decrease substantially the risk of misuse or alteration of the
identity; Tingkat Kepercayaan Tengah/ Substantial, dalam pelaksanaan kepercayaan yang
dilakukan oleh tingkat ini berada di tingkat yang diharapkan karena tingkat keamanan
berada di tingkat yang sesuai minimal standar.
3. Assurance level high shall refer to an electronic identification means in the context of an
electronic identification scheme, which provides a higher degree of confidence in the
claimed or asserted identity of a person than electronic identification means with the
assurance level substantial, and is characterised with reference to technical
specifications, standards and procedures related thereto, including technical controls,
the purpose of which is to prevent misuse or alteration of the identity', Tingkat
kepercayaan tinggi, dalam pelaksanaan kepercayaan yang dilakukan oleh tingkat ini
berada di tingkat terbaik karena tingkat keamanan yang sangat aman Sebagaimana yang
tertera pada ketentuan tersebut, tingkat kepercayaan dilihat dari segi spesiflkasi teknis,
standar dan prosedur terkait pelaksanaan layanan yang termasuk didalamnya kontrol
teknis, proses untuk mencegah resiko atau perubahan dari identitas, Faktor-faktor tersebut
merupakan indikator dari tingkat kepercayaan menurut EU 910/2014. Tingkat
kepercayaan tersebut menjadi dasar untuk melihat dan menentukan pertanggungjawaban
dari pihak terpercaya penerbit sertifikat.
Selanjutnya diatur dengan standar spesifikasi teknis yang harus dimiliki sebuah pihak terpercaya
adalah:160
1. The procedure to prove and verify the identity of natural or legal persons applying
for the issuance of electronic identification means (Terdapat sebuah prosedur yang
membuktikan dan memverifikasi identitas);
2. The procedure for the issuance of the requested electronic identification means
(Prosedur bagaimana penerbitan sertifikat elektronik dilakukan);
3. The authentication mechanism, through which the natural or legal person uses the
electronic identification means to confirm its identity to a relying party
(Mekanisme authentifikasi yang dapat dilakukan dalam proses identifikasi
dari orang perseorangan atau badan hukum terhadap hasil identifikasi yang
dikeluarkan untuk relaying party);
4. The entity issuing the electronic identification means (Identitas pihak
terpercaya yang mengeluarkan identifikasi identitas);
5. Any other body involved in the application for the issuance of the electronic
identification means (Identitas dari pihak lain yang terlibat dalam proses penerbitan
sertifikat elektronik);
6. The technical and security specifications of the issued electronic identification
means (Spesifikasi teknis dan keamanan yang dikeluarkan oleh penyelenggara
sertifikat elektronik);
Seseorang yang memiliki pasangan kunci privat dan kunci publik, maka ia dapat
mengirimkan kunci publiknya kepada siapapun yang dia inginkan, dan hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengirimkannya kepada tiap pribadi yang ia inginkan. Namun, yang menjadi
kendala adalah apabila ia melakukan kegiatan transaksi atau tukar menukar data, tanpa ada yang
160
Ibid.
menjamin identitas selain dirinya sendiri, maka orang-orang yang belum mengenalnya tentu saja
tidak akan mempercayai identitas yang diberikannya, terlepas apakah identitas tersebut benar
atau tidak. Selain itu, apabila ia berinteraksi dengan banyak orang, maka pengiriman kunci
publik kepada para rekannya akan menjadi sangat tidak efisien.
Disinilah suatu Certification Authority (CA) 161
sangat berperan. Seseorang yang
identitasnya hanya dipercaya oleh orang-orang yang telah mengenal sebelumnya, tentu saja akan
memperoleh keuntungan yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan seseorang yang terjamin
identitasnya. CA atau Certification Service Provider adalah penyelenggara sistem elektronik
yang menerbitkan suatu sertifikat elektronik yang menjelaskan informasi tentang identitas suatu
subyek hukum dan/atau perangkatnya. Sertifikat tersebut juga dapat memuat keberadaan suatu
tanda tangan elektronik yang digunakan sebagai alat untuk melakukan verifikasi atau autentikasi
secara elektronik. Pada dasarnya; sistem kerja yang dibangun dalam pelaksanaan kegiatan
sertifikasi dari suatu identitas digital cukup sederhana. Dengan fungsi utama CA yang
menyediakan 'kepercayaan' yang diperlukan oleh para pengguna internet, maka CA haruslah
melakukan koordinasi dengan Registration Authority (RA) yang merupakan perpanjangan
tangannya dalam mengumpulkan informasi tentang identitas para pelanggannya.162
161
CA or “Trusted Third Party”: An entity (typically a company) that issues digital certificates to other
entities (organisations or individuals) to allow them to prove their identity to others. A Certificate Authority might
be an external company (such as VeriSign) that offers digital certificate services or they might be an internal
organisation such as a corporate MIS/IT's department. The Certificate Authority's chief function is to verify the
identity of entities and issue digital certificates attesting to that identity. The process uses public key cryptography
to create a “network of trust”. If I want to prove my identity to you, I ask a CA (who you trust to have verified my
identity) to encrypt a hash of my signed key with their private key. Then you can use the CA's public key to decrypt
the hash and compare it with a hash you calculate yourself. Hashes are used to decrease the amount of data that
needs to be transmitted. The hash function must be crypiographicallystrong,e.g.
D5.(hnp://home.netscape.com/comprod/server_central/support/faq,' certificate_ faq.html#l 1). (1998-03-30) The
Free On-line Dictionary of Computing, © Denis Howe 2010 http://foldoc.ors). diakses pada 05 Mei 2016.
162 Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Certification Authority, h. 34-
35
RA memiliki tanggung jawab yang sangat mendasar, yaitu melakukan verifikasi
terhadap identitas pemohon sertifikat. Setelah diverifikasi oleh RA, maka CA tinggal
menerbitkan sertifikat bagi pemohon yang oleh RA telah diverifikasi kebenaran identitasnya.163
Setelah sebuah sertifikat diterbitkan bagi seseorang, maka ia dapat menggunakan identitas
digitalnya dalam berhubungan di internet dengan pihak lain (relying party) yang juga
mempercayai identitasnya yang telah disertifikasi oleh CA yang bersangkutan.164
Permasalahan
klasik dari internet salah satunya adalah tidak diketahuinya secara pasti identitas para pengguna
di internet, dimana hal utama yang harus dipertanyakan adalah apakah benar identitas yang
digukan atau diakui adalah benar-benar milik orang yang bersangkutam, atau justru hanyalah
sebuah identitas palsu yang mampu mengakibatkan permasalahan di kemudian had. Oleh karena
itu harus terdapat suatu lembaga yang berwenang dalam melakukan autentikasi serta verifikasi
identitas seseorang yang hendak berkomunikasi melalui internet. Lembaga itu adalah CA yang
mampu menerbitkan sertifikat digital dengan menandatangani sertifikat digital yang berisi
keterangan identitas pemilik sertifikat yang dapat diperiksa kebenarannya. CA disukung oleh RA
untuk mengautentikasi dan memverifikasi orang-orang yang hendak berinteraksi melalui internet
dengan lebih aman. RA merupakan perpanjangan tangan dari CA dalam melakukan autentikasi
dan verifikasi identitas subscriber.
2.4.5 Kekaburan Norma Dalam Pasal 15 Ayat 3 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, Terkait Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik
Dalam kaitan terjadinya suatu kekaburan norma hukum pada suatu produk perundang-
undangan, diperlukan adanya penafsiran hukum, dimana penafsiran hukum merupakan suatu
kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak dapat dipisahkan dari teori hukum yang
163
Ibid. 164
Ibid.
ada. Lebih lanjut dapat juga dikatakan bahwa penafsiran hukum yang merupakan bagian dari
penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu165
. Dalam
kaitannya dengan interpretasi, terdapat tiga asas yang perlu diperhatikan dalam contextualism
yang dikemukakan oleh McLeod sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, sebagai
berikut166
:
1. Asas Noscitur a Sociis, artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya;
2. Asas Ejusdem Generis, artinya satu kata dibatasi makna secara khusus dalam
kelompoknya;
3. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, artinya jika satu konsep sudah digunakan untuk
satu hal maka belum tentu berlaku untuk hal lain. Contoh: konsep Rechtmatigheid yang
digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara, maka konsep yang sama belum tentu
berlaku untuk kalangan hukum perdata atau pidana.
Metode interpretasi hukum, dilakukan dalam hal peraturannya ada namun tidak jelas
sehingga tidak mampu diterapkan dalam peristiwa hukum konkrit. Tujuan utama dari penemuan
hukum adalah untuk memberikan rasa keadilan dan jaminan kepastian hukum bagi kepentingan
proses hukum yang berkeadilan dan penerapan ketentuan hukum yang adil167
. Dalam kaitannya
terhadap hal tersebut, peneliti menggunakan teknik interpretasi sistematis; teknik interpretasi
gramatikal dan teknik interpretasi perbandingan; dan teknik interpretasi teleologis/sosiologis.
Terkait kewenangan notaris dalam mensertifikasi transaksi elektronik ditemukan dalan Undang
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (3) yaitu “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan”. Kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah
165
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 37 166
Philipus M.Hadjon, Op.Cit, h. 26 167
H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, Rajawali Pers, Jakarta, h.
23
pemaknaan aka menimbulkan suatu kewenangan yang dimiliki oleh notaris secara atribusi dalam
peraturan dengan hierarki setingkat.
Termuatnya Pasal ini yang menimbulkan multitafsir mengenai kewenangan notaris yang
akan timbul tanpa batas sangat tidak sejalan dengan asas kepastian hukum. Dimana didalam
penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary), membuat Akta ikrar wakaf, dan
hipotek pesawat terbang. Pemaknaan mensertifikasi transaksi bila dilihat secara interpretasi
gramatikal yang dilakukan peneliti menghasilan dua suku kata yaitu: mensertifikasi dan
transaksi. Istilah mensertifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak dapat di temukan,
yang ada hanya sertifikasi yang artinya penyertifikatan.
Penguraian mensertifikasi yang hemat penulis berasal dari kata sertifikasi yang artinya
penyertifikatan dari kata ikat yang dapat imbuhan awalan men- sertifikasi, men- disini diartikan
orang yang melakukan atau membuat. Dalam UU ITE Pasal 1 angka 9 yaitu “Sertifikat
Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang
dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik”. Pasal 1 angka 10 yaitu Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya,
yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik”.
Pasal 1 angka 11 yaitu “ Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik”.
Suatu pertanyaan mendasar apakah Notaris dalam UU ITE Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
atau Lembaga Sertifikasi Keandalan, tentu saja bukan dikarenakan sudah jelas dalam UU JN
Pasal 1 angka 1 adalah “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
atau berdasarkan undang undang lainnya”. Tentunya kekaburan norma ini dapat menimbulkan
penafsiran yang sangat berbeda dalam UU JN Notaris adalah pejabat umum bukan badan hukum
dan atau lembaga independen. Maksud dari penjelasan UUJN ini mengenai kewenangan
mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cybernotary) menimbulkan
pertanyaan. Apakah Notaris memberikan sertifikat kepada para pihak dalam transaksi elektronik,
Apakah Notaris melakukan sertifikasi dalam transaksi elektronik. Timbul pertanyaan mendasar
bagaimanakah mekanisme sertifikasi tersebut. Dalam disertasi ini akan dibahas secara
komperhensif dalam pemaknaan suatu kata. Pemaknaan mensertifikasi sangat erat dengan
pembuktian, dikarenakan Notaris sebagai Wet op het Notarisambt yang artinya Notaris
merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik untuk melayani
kepentingan masyarakat. Dalam pembuktiannya sebagai pihak terpercaya fungsi mensertifikasi
oleh Notaris mengalami problem konteks. Yang dimaksud dalam problem konteks ini adalah
dengan meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara
hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan
hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen atau informasi tersebut juga harus dapat dijadikan
bukti yang sah secara hukum.
Untuk memudahkan pelaksanaan penggunaan bukti elektronik (baik dalam bentuk
elektronik atau hasil cetak), maka bukti elektronik dapat disebut sebagai perluasan alat bukti
yang sah, sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun bukti elektronik tidak
dapat digunakan dalam hal-hal spesifik, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan surat-surat
terjadinya perkawinan dan putusnya perkawinan, surat-surat yang menurut undang-undang harus
dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak,
dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan juga dokumen lainnya yang menurut
peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang
berwenang. Syarat sah bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat
memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat
dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu
keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukan bahwa
informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.