31
6 BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1.1 Pengertian Pajak Banyak pakar yang mengemukakan pendapatnya unruk memberikan definisi menurut pandangannya masing-masing tentang arti / definisi pajak. Menurut pendapat Soemitro seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2004) “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h. 1). Selain itu mengacu pada pendapat Andriani seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2000) bahwa “pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi – kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h. 2) Definisi pajak juga diungkapkan oleh Soemahamidjaja seperti yang dikutip oleh Suandy (2000) bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma – norma hukum, guna menutup biaya produksi barang- barang dan jasa – jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (h. 7). Resmi (2005) juga mengungkapkan bahwa definisi “pajak menurut Feldmann adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yangditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum” (h. 1).

BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

6

BAB II

LANDASAN TEORITIS

II.1 Konsep Dasar Perpajakan

II.1.1 Pengertian Pajak

Banyak pakar yang mengemukakan pendapatnya unruk memberikan definisi

menurut pandangannya masing-masing tentang arti / definisi pajak. Menurut pendapat

Soemitro seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2004) “pajak adalah iuran rakyat kepada

kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum” (h. 1). Selain itu mengacu pada pendapat

Andriani seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2000) bahwa “pajak adalah iuran

kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi – kembali, yang langsung

dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h. 2)

Definisi pajak juga diungkapkan oleh Soemahamidjaja seperti yang dikutip oleh Suandy

(2000) bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma – norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-

barang dan jasa – jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (h. 7). Resmi

(2005) juga mengungkapkan bahwa definisi “pajak menurut Feldmann adalah prestasi

yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma

yangditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata

digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum” (h. 1).

Page 2: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

7

Dari setiap pendapat tersebut menyatakan bahwa pajak sifatnya dapat dipaksakan

sehingga memiliki arti apabila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut

dapat ditagih dengan kekerasan seperti surat teguran, surat paksa, surat sita, dan

dilakukannya sandera terhadap wajib pajak. Dengan demikian menimbulkan ciri-ciri

tertentu yang melekat pada pengertian pajak. Menurut pendapat Suandy E. (2000) ciri –

ciri tersebut yaitu:

a. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang / badan ke pemerintah.

b. Pajak dipungut berdasarkan / dengan kekuatan undang – undang serta aturan

pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi

langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah.

e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila

dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai

public investment.

f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah.

g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung (h. 8).

Page 3: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

8

II.1.2 Fungsi Pajak

Dalam perekonomian negara republik Indonesia pajak memiliki kedudukan

tersendiri dan memiliki fungsinya sendiri . Menurut Ilyas dan Burton (2004) fungsi

pajak tersebut dibagi menjadi 4 fungsi, yaitu 2 fungsi utama (budgeter dan regulerend)

dan 2 fungsi tambahan (demokrasi dan distribusi) dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Fungsi Budgeter (Fungsi Anggaran)

Adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk

mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-

undang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai

pengeluaran – pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran

pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan

pemerintah untuk investasi pemerintah.

b. Fungsi Regulerend ( Fungsi Mengatur )

Adalah fungsi bahwa pajak – pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu

alat untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang

keuangan. Fungsi ini umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta.

c. Fungsi Demokrasi

Adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud

sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan

demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini

sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan

dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya

membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia

mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik, pembayar

Page 4: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

9

pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah dengan

mengatakan bahwa ia telah membayar pajak.

d. Fungsi Distribusi

Merupakan fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan

keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya

tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang

mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat

yang mempunyai penghasilan lebih kecil (h. 9).

Fungsi pajak yang ketiga dan keempat seringkali disebut sebagai fungsi tambahan

karena kedua fungsi tersebut bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.

Akan tetapi dengan perkembangan masyarakat modern fungsi ketiga dan keempat

menjadi fungsi yang juga sangat penting, tidak dapat dipisahkan, dalam rangka

kemaslahatan manusia serta keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban

masyarakat.

II.1.3 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan

Subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. Menurut Undang – undang no.

17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, subjek pajak untuk jenis pajak penghasilan

terbagi atas :

a. 1) Orang pribadi atau perseorangan; merupakan subjek pajak yang bertempat

tinggal di Indonesia maupun apabila mereka tinggal di Indonesia.

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak; atas timbulnya warisan maka munculah kewajiban pajak subjektif.

Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat

Page 5: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

10

timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut yaitu pada saat meninggalnya

pewaris, sehingga pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada

warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat

warisan dibagi kepada ahli waris, dan sejak saat itu kewajiban perpajakannya

beralih kepada ahli waris.

b. Badan; merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha.

Namun ada pula unit tertentu dari badan pemerintah yang dengan kriteria

tertentu tidak termasuk dalam golongan yang tidak termasuk dalam subjek

pajak, kriterianya yaitu :

a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.

c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran

Pemerintah Pusat atau Daerah.

d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

c. Bentuk Usaha Tetap; bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang

tidak tinggal / berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan

puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 ( dua belas ) bulan atau badan yang

tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau

memperoleh penghasilan. Sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib

pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di

Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain,

Page 6: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

11

wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif

dan objektif.

Kewajiban setiap subjek pajak untuk memenuhi segala peraturan dan ketetapan

perpajakan dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat

untuk bertempat tinggal di Indonesia dan pemenuhan kewajibannya akan berakhir pada

saat meninggal dunia atau menginggalkan Indonesia untuk selama – lamanya.

Sedangkan kewajiban subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau

bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi

bertempat kedudukan di Indonesia.

Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak dan menurut Undang – undang

no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan yang

merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib

pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri yang dapat dipakai

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan

nama dan dalam bentuk apapun. Penggolongan yang lebih rinci tentang penghasilan

menurut pasal 4 Undang – undang no.17 tahun 2000 yaitu sebagai berikut:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,

bonus, gratifikas, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan,

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

Page 7: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

12

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan

badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya

karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, atau pengambil alihan usaha.

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau

sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan

pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi

yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan

dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antar pihak –

pihak yang bersangkutan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang.

7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi.

8. Royalti

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

13

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. Premi asuransi.

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari angootanya yang terdiri

dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak.

Selain itu penghasilan yang berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,

penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari

pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya,

pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (tarif yang dikenakan adalah

tarif final). Sedangkan yang menjadi Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap menurut pasal 5

Undang undang no.17 tahun 2000 adalah:

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari

harta yang dimiliki atau dikuasai.

b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang

dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.

c. Penghasilan sebagaimana dalam pasal 26 (dividen, bunga, royalti, imbalan

sehubungan dengan pekerjaan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan

pembayaran berkala lainnya) yang diterima atau diperoleh kantor pusat,

sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta

atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

14

II.1.4 Biaya – Biaya Pengurang (Biaya Fiskal) dalam Pajak Penghasilan

Secara umum menurut ketetapan perpajakan biaya fiskal adalah biaya untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, sehingga untuk dapat dibebankan

sebagai biaya maka pengeluaran – pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan

langsung dengan usaha atau kegiatan mendapatkan, menagih dan memelihara

penghasilan sebagai objek pajak. Hal inilah yang menjadi perbedaan terhadap

pengakuan biaya menurut standar akuntansi dan menurut peraturan perpajakan, sehingga

dilakukan koreksi fiskal yang fungsinya untuk menentukan kembali biaya – biaya mana

saja yang memang layak untuk dijadikan biaya dan yang bukan menjadi biaya menurut

peraturan perpajakan. Menurut pasal 6 Undang- undang no 17 tahun 2000 dijabarkan

jenis – jenis biaya fiskal yaitu:

a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk

biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.

b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 ( satu ) tahun.

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri

Keuangan.

d. Kerugian karena pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan.

e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

15

h. Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial.

2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tertulis

mengenai penghapusan piutang.

3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.

4. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih

kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut

dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Di samping itu menurut Setiawan (2004) terdapat pula biaya yang bukan merupakan

pengurang penghasilan bruto selain yang tercantum dalam Pasal 9 ayat 1 UU PPh yaitu

didasarkan pada Peraturan Pemerintah yaitu PP no. 138 tahun 2000 yang ditetapkan

tanggal 21 Desember 2000, biaya-biaya tersebut yaitu:

• Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang

pengenaan pajaknya bersifat final.

• Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memlihara penghasilan yangbukan

merupakan objek pajak (h. 15).

II.1.5 Tarif Pajak

Tarif pajak merupakan unsur penting dalam perpajakan yang menentukan rasa

keadilan dalam pemungutan pajak bagi setiap wajib pajak. Tarif pajak khususnya untuk

tarif pajak penghasilan tercantum dalam Undang – undang no 17 tahun 2000 pasal 17.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

16

Dalam perpajakan dikenal berbagai macam jenis tarif perpajakan dan menurut Ilyas dan

Burton (2004) ada enam jenis tarif pajak yaitu:

Tarif Progresif ( Meningkat )

Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin

besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.

Tarif jenis ini adalah jenis tarif yang disahkan oleh Direktorat Jendral Pajak

dan sampai saat ini digunakan sebagai penghitung besarnya pajak yang

digunakan, tarif yang ditetapkan untuk wajib pajak badan adalah:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak 0 - Rp 50.000.000,00 10%

Rp 50.000.000,00 - Rp 100.000.000,00 15%

Diatas Rp 100.000.000,00 30%

Tabel 2.1

Tarif Degresif

Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin

kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar.

Sekalipun persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang

terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang

dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Namun pada

dasarnya tarif ini tidak pernah dipergunakan dalam praktik perundang –

undangan perpajakan.

Tarif Proporsional

Page 12: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

17

Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan

persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar

pengenaan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan

dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang ( yang

harus dibayar ).Tarif ini biasa diterapkan untuk Pajak Pertambahan Nilai

sebesar 10% seperti yang tercantum dalam Undang – undang No.18 tahun

2000, Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 0.5% seperti yang tercantum dalam

Undang – undang no.12 tahun 1994 dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan sebesar 5% seperti yang tercantum Undang – undang no.21 tahun

2000. Karena tarif proporsional hanya menggunakan satu tarif maka sering

disebut tarif tunggal.

Tarif Tetap

Merupakan tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa

memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif jenis ini

diterapkan dalam Bea Materai yang tarifnya sebesar Rp 3000 dan Rp 6000.

Tarif Advalorem

Adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan pada harga atau

nilai suatu barang.

Tarif Spesifik

Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis

barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu (h. 25).

Page 13: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

18

II.1.6 Tarif Penyusutan

Menurut Undang-undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan,

penyusutan adalah pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan yang digunakan untuk

pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud kecuali

tanah yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara

penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-

bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Metode penyusutan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak adalah

penyusutan dengan metode garis lurus dan metode menurun ganda.

Tarif penyusutan dan golongan objek penyusutan yang ditentukan menurut masa

manfaatnya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perpajakan dalam pasal 11

Undang-undang no.17 tahun 2000 sebagai berikut:

Kelompok Harta

Masa

Manfaat Tarif Penyusutan

Berwujud Garis Lurus Menurun Ganda

I. Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25%

Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12.50%

Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

II. Bukan Bangunan

Permanen 20 tahun 5%

Tidak Permanen 10 tahun 10%

Tabel 2.2

Page 14: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

19

II.2 Pemungutan Pajak

II.2.1 Teori dan Asas Pemungutan Pajak

Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau

memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori -

teori yang mendukung pemungutan pajak tersebut seperti yang diuraikan oleh

Mardiasmo (2004) dijabarkan sebagai berikut:

1. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak – hak rakyatnya.

Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu

premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan

(misalnya perlindungan ) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan

seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus

dibayar sesuai dengan daya pikul masing – masing orang. Untuk mengukur

daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :

Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang

dimiliki oleh seseorang.

Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang

harus dipenuhi.

4. Teori Bakti

Page 15: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

20

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan

negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu

menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya

memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat

untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya

kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan

masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih

diutamakan (h.3)

Sedangkan menurut Adam Smith seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas

(2000) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :

1. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat final, adil, dan merata, yaitu dikenakan

kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar

pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk

pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang

diterima.

2. Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang – wenang. Oleh karena itu

wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang,

kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

3. Convenience

Page 16: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

21

Kapan wajib pajak itu jarus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat –

saat yang tidak menyulitkan wajib pajak; sebagai contoh pada saat wajib

pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You

Earn.

4. Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban

pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula

beban yang dipikul wajib pajak (h.5).

Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang

didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau

berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi adalah batas kewenangan

yang dapat dilakukan oleh negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya,

agar pemungutannya tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang

dikenakan pajak, menurut Ilyas dan Burton terdapat tiga asas yaitu :

1. Asas Tempat Tinggal

Merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau

domisili seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap

semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang

bersangkutan atas seluruh penghasilan di manapun diperoleh, tanpa

memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga

negaranya atau warga negara asing.

2. Asas Kebangsaan

Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan

suatu negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang

Page 17: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

22

mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang

tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan.

3. Asas Sumber

Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau

tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di

suatu negara maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap

orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan

tersebut berada (h. 15).

II.2.2 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formal

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah ( fiscus ) selaku pemungut

pajak dengan wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2004) apabila memperhatikan

materinya, hukum pajak dibedakan menjadi :

1. Hukum pajak materiil

Hukum pajak ini memuat norma – norma yang menerangkan keadaan

perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak ( objek pajak ), siapa yang

dikenakan pajak ( subjek pajak ), berapa besarnya pajak yang dikenakan

(tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan

hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Sebagai contoh :

Undang – undang pajak penghasilan.

2. Hukum pajak formal

Memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi

kenyataan ( cara melaksanakan hukum pajak materiil ), hukum pajak formal

ini memuat, antara lain :

Page 18: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

23

a. Tata cara penyelenggaraan ( prosedur ) penetapan suatu utang pajak.

b. Hak – hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap wajib pajak

mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan

utang pajak.

c. Kewajiban wajib pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan /

pencatatan dan hak – hak wajib pajak mengajukan keberatan dan

banding (h. 5).

II.2.3 Cara Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2004) ada beberapa cara yang digunakan oleh pemerintah

untuk melakukan pemungutan atas pajak yang terutang wajib pajak kepada negara yaitu:

1. Stelsel Pajak; pemungutan pajak dengan menggunakan stelsel dilakukan

dengan 3 stelsel :

a. Stelsel Nyata ( riel stelsel )

Pengenaan pajak didasarkan pada objek ( penghasilan yang nyata )

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukann pada akhir tahun pajak,

yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata

mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini

adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya

adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode ( setelah

penghasilan riil diketahui ).

b. Stelsel Anggapan ( fictieve stelsel )

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh

undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama

Page 19: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

24

dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat

ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,

tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya

adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang

sesungguhnya.

c. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel

anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu

anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan

keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih

besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus

menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta

kembali.

2. Sistem Pemungutan Pajak

a. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada

pemerintah ( fiskus ) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang

oleh wajib pajak. Ciri – cirinya :

Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

fiskus.

Wajib pajak bersifat pasif.

Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

fiskus.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

25

b. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-

cirinya :

Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

wajib pajak sendiri.

Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan

sendiri pajak yang terutang.

Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pihak ketiga ( bukan fiskus dan bukan wajaib pajak yang bersangkutan )

untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri – cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada

pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

II.2.4 Perlawanan Terhadap Pajak

Pada dasarnya negara mengharapkan bahwa dalam pelaksanaan pemenuhan

kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dari proses awal hingga proses yang terakhir

dapat berjalan tanpa adanya hambatan dan tidak terjadi suatu indikasi bahwa Wajib

Pajak melakukan penyelewengan dalam proses pelaksanaan kewajibannya tersebut.

Namun apa yang diharapkan pemerintah tidak dapat dicapai sepenuhnya, hal ini

dikarenakan masih kurangnya kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi setiap Wajib

Pajak terhadap kewajiban perpajakannya sehingga menjadi hambatan bagi pemerintah

Page 21: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

26

untuk melakukan pemungutan pajak secara maksimal. Menurut Suandy (2000)

hambatan pemungutan pajak tersebut dapat dikelompokkan menjadi :

a. Perlawanan Pasif

Perlawanan pajak secara pasif berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi

masyarakat di negara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak

melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan

negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan – kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat tersebut, hal ini biasanya disebabkan karena :

Perkembangan intelektual dan moral masyarakat

Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat

Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik

b. Perlawanan Aktif

Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan

oleh wajib pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak

yang seharusnya dibayar. Bentuk – bentuk perlawanan aktif antara lain :

Tax Avoidance; adalah usaha pengurangan secara legal yang dilakukan

dengan cara memanfaatkan ketentuan – ketentuan dibidang perpajakan

secara optimal seperti, pengecualian dan potongan – potongan yang

diperkenankan maupun hal – hal yang belum diatur dan kelemahan-

kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Tax Evansion; merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan

melanggar peraturan perpajakan seperti memberikan data palsu atau

menyembunyikan data. Dengan demikian penggelapan pajak dapat

dikenakan sanksi pidana (h. 16).

Page 22: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

27

II.3 Konsep Dasar Pajak Penghasilan Badan

II.3.1 Pengertian dan Penggolongan Subjek Pajak Badan

Menurut Undang – undang no.17 tahun 2000, Badan adalah sekumpulan orang

atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan

usaha. Wajib pajak badan, menurut Suandy (2000) dapat terbagi atas:

• Perseroan terbatas

• Perseroan Komanditer

• Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik negara dengan nama

dan dalam bentuk apapun.

• Persekutuan

• Firma

• Kongsi

• Koperasi

• Yayasan

• Organisasi massa, organisasi sosial politik

• Lembaga

• Dana pensiun

II.3.2 Penghitungan Pajak Penghasilan dengan Pembukuan

Menurut Undang – undang no.17 tahun 2000 pembukuan adalah suatu proses

pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkna data dan informasi

keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah

Page 23: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

28

harga perolehan dan penyerahan barang / jasa yang ditutup dengan menyusun laporan

keuangan berupa neraca dan Laporan Rugi Laba pada setiap tahun pajak berakhir.

Kewajiban pembukuan yang diselenggarakan menurut Resmi (2005) “ dilakukan oleh

wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan di Indonesia

dan wajib pajak badan di Indonesia” (h. 50). Pembukuan yang dilakukan oleh wajib

pajak harus disimpan selama 10 tahun.

Menurut Mardiasmo (2004) untuk wajib pajak badan besarnya PKP dihitung

dengan cara penghasilan bruto dikurangi dengan biaya yang diperkenankan oleh

Undang-undang no.17 tahun 2000 dengan rumus sebagai berikut:

PKP = Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

Pajak Terutang = Tarif pajak x PKP (h. 46)

II.3.3 Koreksi atas Laporan Keuangan

Perbedaan dalam penyusunan laporan keuangan menurut standar akuntansi dan

peraturan perpajakan menyebabkan timbulnya perbedaan terhadap hasil laba akhir yang

merupakan penghasilan kena pajak, sehingga dilakukan koreksi atas penyusunan laporan

tersebut.

Dilakukannya koreksi karena adanya perbedaan-perbedaan, perbedaan yang

diperoleh merupakan perbedaan angka yang bersifat permanen dan sementara yang lebih

sering disebut sebagai beda tetap dan beda waktu. Menurut Gunadi (2000) “perbedaan

permanen terjadi karena administrasi pajak menghitung laba fiskal berbeda dengan laba

pembukuan tanpa koreksi di kemudian hari, yang menyebabkan adanya perbedaan laba

total selama masa eksistensi perusahaan yang dihitung menurut ketentuan perpajakan

Page 24: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

29

dan akuntansi. Sedangkan perbedaan yang sementara (waktu) terjadi karena adanya

ketidaksamaan saat pengakuan penghasilan dan beban oleh administrasi pajak dan

akuntan, beda karena waktu menyebabkan perhitungan pajak atas jumlah laba yang

berbeda dengan laba menurut pembukuan, namun perbedaan itu akan terkoreksi secara

otomatis di kemudian hari” (h. 202).

II.4 PAJAK PENGHASILAN ( PPh ) pasal 23

II.4.1 Pengertian Pajak PPh Pasal 23

Pajak penghasilan pasal 23, selanjutnya disebut PPh pasal 23, merupakan pajak

yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri

(orang pribadi maupun badan) dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,

penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak

Penghasilan pasal 21. PPh pasal 23 ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah

atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau

perwakilan perusahaan luar negeri lainnnya.

II.4.2 Pemotong PPh pasal 23

Menurut Resmi (2005) pemotong PPh Pasal 23 terdiri dari:

1. Badan Pemerintah;

2. Subjek Pajak badan dalam negeri;

3. Penyelenggara kegiatan;

4. Bentuk usaha tetap;

5. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya;

Page 25: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

30

6. Orang pribadi sebagai Wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjukkan oleh

Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23,

yaitu:

• Akuntan,arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, kecuali

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah camat, pengacara, dan

konsultan yang melakukan pekerjaan bebas;

• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan,

atas pembayaran berupa sewa (h. 255).

II.4.3 Dasar Pemotongan PPh Pasal 23 dan Tarif PPh pasal 23

Pemotongan/pemungutan pajak didasarkan pada jumlah penghasilan bruto yang

diperoleh. Menurut Resmi (2005) terdapat beberapa jenis penghasilan yang termasuk

dalam ketentuan PPh pasal 23 sebagai berikut:

a. dividen,

b. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan

pengembalian utang,

c. royalti,

d. hadiah dan penghargaan,

e. bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi,

Dasar pemotongan/pemungutan pajak adalah penghasilan neto untuk penghasilan

sebagai berikut:

a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa

konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21 (h. 258).

Page 26: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

31

Jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 berdasarkan perkiraan penghasilan neto

beserta tarif perkiraan penghasilan neto, sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal

Pajak Nomor: Kep-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dan berlaku efektif tanggal 1 Mei

2001 dapat dilihat pada Tabel berikut ini:

No. Keterangan Perkiraan Penghasilan Neto

a. Jasa Profesi b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi c. Jasa Akuntan dan Pembukuan d. Jasa Penilai

1

e. Jasa Aktuaris

50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

2 a. Jasa teknik dan jasa manajemen b. Jasa perancang/design: • Jasa perancang interior dan perancang pertamanan • Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan • Jasa perancang alat transportasi/kendaraan • Jasa perancang iklan/logo • Jasa perancang alat kemasan c. Jasa instalasi/pemasangan: • Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa/instalasi pemasangan

peralatan • Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV/kabel d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan: • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan jasa

perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan • Perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan

gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang selain migas h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah k. Jasa maklon l. Jasa recruitment/penyediaan tenaga kerja

40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

Page 27: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

32

m. Jasa perantara n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga o. Jasa kustodion/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa gedung

yang telah di kenakan pajak p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa

Internet s. Jasa sehubung dengan software komputer, termasuk perawatan/

pemeliharaan/perbaikan 3 Jasa pelaksanaan konstruksi 13,33% dari

jumlah bruto tidak termasuk PPN

a Jasa perencanaan konstruksi 4 b. Jasa pengawasan konstruksi

26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

a. Jasa pembasmi hama dan jasa pembersihan b. Jasa catering

5

c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN/APBD

10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

6 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat

20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

7 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh bersifat final berdasarkan PP No. 29 Tahun 1996, dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.

40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

(h. 258)

Tabel 2.3

II.5 Perencanaan Pajak

II.5.1 Pengertian Perencanaan Pajak

Suatu bentuk perencanaan pajak (tax planning) atau manajemen pajak merupakan

suatu bentuk penghematan atas perpajakan, semakin baik suatu perencanaan perpajakan

dibuat oleh perusahaan maka akan mengakibatkan besarnya pajak terhutang yang harus

Page 28: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

33

dibayar juga semakin efisien, namun semua bentuk perencanaan tersebut harus tetap

berada dalam bingkai peraturan perpajakan Indonesia. Menurut Lumbantoruan seperti

yang dikutip oleh Suandy (2001) “ Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi

kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan

serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” (h.6).

Definisi tax planning juga diungkapkan berbeda oleh Crumbley, Friedman, dan

Andres yang dikutip oleh Suandy (2001) yaitu “tax planning is the systematic analysis of

deffering tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax

periods” (h. 7). Perencanaan perpajakan pada umumnya selalu dimulai dengan

meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak.

Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk

dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak

yang dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya. Zain (2004)

“menyatakan bahwa tax planning adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar

dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki, namun masih berada dalam

lingkup yang legal menurut peraturan” (h. 49).

II.5.2 Tahapan Perencanaan Pajak

Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang

manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan

perusahaan secara keseluruhan (global company strategy) juga harus memperhitungkan

adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional, maka agar tax planning dapat

berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui

Page 29: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

34

berbagai urutan. Menurut Suandy (2001) tahapan yang yang dilakukan dalam membuat

pajak yaitu:

1) Menganalisis informasi yang ada

Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing – masing

elemen dari pajak baik secara sendiri – sendiri maupun secara total pajak

yang harus dapat dirumuskan sebagai tax planning yang paling efisien.

Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya penghasilan

dari suatu proyek dan pengeluaran – pengeluaran lain di luar pajak yang

mungkin terjadi.

2) Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak (design

of one or more possible tax plans).

Penentuan model yang akan digunakan untuk penyusunan rencana besarnya

pajak terutang dapat menggunakan berbagai pertimbangan yaitu:

a) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional.

b) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi

residen dari negara tersebut.

c) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan

II.5.3 Perusahaan Sebagai Pemungut Pajak

Berdasarkan pernyataan Suandy (2001) “selain sebagai wajib pajak, perusahaan

juga dapat berperan sebagai pemungut pajak terhadap pihak ketiga. Masalah yang sering

kali timbul adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila

perusahaan tidak memotong withholding tax, maka perusahaan akan menanggung

akbatnya jika dilakukan pemerikasaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan

Page 30: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

35

kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud ditambah denda bunga atas

keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak” (h 132).

Untuk mengatasinya, perusahaan sebaiknya memark up nilai transaksi yang

dilakukan dengan perhitungan tertentu supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak,

karena jika perusahaan hanya membayar PPh pasal 23 tersebut, maka PPh yang dibayar

oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.

II.5.3 Pelaksanaan Perencanaan Pajak

Sistem perpajakan menganut prinsip substansi dalam bentuk formal. Walaupun

perusahaan telah memenuhi kewajiban perpajakan secara formal tetapi kalau ternyata

substansi menunjukkan lain atau motivasi rekayasa tidak sesuai dengan jiwa dari

ketentuan perpajakan, maka administrasi pajak (fiskus) dapat menganggap bahwa wajib

pajak kurang patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.. Apabila terjadi

perbedaan interpretasi fakta perpajakan, lembaga peradilan pajak (Badan Penyelesaian

Sengketa Pajak) yang akan memutuskan.

Menurut Suandy (2001) terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu

perencaan pajak yaitu:

1) Tidak melanggar ketentuan perpajakan

Bila suatu perencanaan pajak dipaksakan dengan melanggar ketentuan

perpajakan ( tax planning ), bagi wajib pajak merupakan risiko pajak yang

sangat berbahaya dan malah mengancam keberhasilan perencanaan pajak

tersebut.

2) Secara bisnis masuk akal

Page 31: BAB II LANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan II.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00032-AK-Bab 2.pdfLANDASAN TEORITIS II.1 Konsep Dasar Perpajakan ... (demokrasi dan

36

Karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan baik jangka panjang

maupun jangka pendek. Oleh karena itu, perencanaan pajak yang tidak

masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri.

3) Bukti – bukti pendukung memadai

Suatu perencanaan pajak yang baik harus disertai dengan data – data yang

mendukung misalnya dukungan perjanjian (agreement), faktur (invoice), dan

juga perlakuan akuntansinya (akuntansi treatment) (h. 10).

II.5.4 Tahapan Penyusunan Perencanaan Pajak

Dalam membuat suatu perencanaan pajak yang tepat dibutuhkan ketepatan

perhitungan baik secara strategis maupun perhitungannnya. Menurut Suandy (2001) agar

tax planning dapat berhasil maka harus dilalui beberapa tahap yaitu :

1. Menganalisis informasi yang ada.

2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.

3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak

4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak

5. Memuktahirkan rencana pajak.