Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep peran dan partisipasi masyarakat sipil
Sejak wacana masyrakat sipil mulai berkembang di Indonesia pada awal
dasawarsa 1990-an terdapat perdebatan mengenai dua konsep pendekatan
masyarakat sipil. Pertama, pada aspek vertical, masyarakat sipil yang
memfokuskan perhatiannya pada otonomi masyarakat terhadap negara dan karena
itu berhubungan erat dengan aspek politik (Sujatmiko, 2003) konsep ini terutama
didukung oleh kalangan-kalangan Ornop yang beroposisi dengan pemerintah pada
masa itu yang melihat konsep masyarakat sipil sebagai arena perjuangan untuk
membangun masyarakat sipil yang kuat dan mandiri sebagai suatu jalan menuju
demokratisasi.
Kedua, berhubungan dengan aspek Horizontal. Pandangan ini menekankan
pada aspek-aspek keadaban (civility) dari masyarakat sipil dan karena itu konsep
masyarakat sipil identik dengan civilized society atau yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai masyarakat madani (Madjid, 1999; Baso, 2002).
Nurcholis Madjid mendefinisikan masyarakat madani sebagai masyarakat
berperadaban (Madanniyah). Di dalam pandangan ini masyarakat madani adalah
masyarakat yang menghargai dan mengembangkan prinsip-prinsip pluralism dan
toleransi. Dengan dua prinsip tersebut ia meyakini bahwa kemajemukan akan
memperkaya pertumbuhan dan pengkayaan budaya bangsa melalui interaksi yang
dinamis, bersedia menerima perbedaan pandang dan tingkah laku sosial.
Singkatnya, pandangan ini lebih condong pada terciptanya simbiosis antara
13
pemerintah dan masyarakat sipil yang didefinisikan dalam kerangka kerjasama
ketimbang konflik. (Ibrahim, 2003; 17)
Sebuah aliansi internasional yang berkedudukan di Johannesburg, Afrika
Selatan, yang keanggotaannya terdiri dari OMS, oranisasi donor dan invidu yang
menaruh perhatian terhadap organisasi masyarakat sipil di berbagai negara.
CIVICUS memiliki lebih dari 1000 anggota yang tersebar di lebih dari 100 negara
dan telah berkerja lebih dari satu decade untuk penguatan aksi warga negara dan
masyarakat sipil di seluruh dunia. Menurut definisi yang diutarakan oleh
CIVICUS, masyarakat sipil adalah sebuah arena, di luar keluarga, negara, dan
pasar, dimana orang-orang berkelompok untuk mendorong kepentingan bersama
(Ibrahim, 2003;18). Mengingat masyarakat sipil adalah suatu konsep yang rumit,
dalam kepentingan penyusunan IMS (Indeks Masyarakat Sipil), CIVICUS
menggunakan definisi tersebut untuk dijadikan dasar dalam memahami konsep
masyarakat sipil.
Arena, dimaksudkan sebagai ruang di dalam masyarakat dimana individu-
individu bertemu, berkumpul, berdiskusi dan berdebat untuk mempengaruhi
perkembangan masyarakat yang lebih luas. Arena menekankan padapentingnya
peran masyarakt sipil dalam memperluas ruang public di mana berbagai
kepentingan dan nilai-nilai masyarakat bertemu. Di dalam arena juga terkandung
pengertian yang lebih luas yang tidak membatasi masyarakat sipil hanya kepada
organisasi-organisasi yang formal, tetapi juga kelompok-kelompok atau jaringan
informal di dalam masyarakat.
Keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti. Secara khusus dimaksudkan
sebagai wilayah kehidupan privat atau ranah domestic dari kehidupan rumah
14
tangga. Namun dipahami bahwa tidaklah semua kehidupan dalam keluarga
menjadi persoalan privat. Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, akan selalu
menjadi persoalan public.
Negara dibedakan dengan masyarakat sipil karena negara adalah
oorganisasi kekuasaan yang mempunyai kekuatan monoppoli yang sah untuk
mengatur setiap anggota masyarakat melalui hukum dan perundang-undangan,
termasuk wewenang untuk menggunakan kekerasan.
Pasar atau ―sektor swasta‖ adalah ruang lain dari masyarakat dimana
anggota-anggota masyrakat bertemu untuk memperoleh penghasilan, mendapat
keuntungan dan kekayaan melalui proses produksi atau pertukaran barang dan
jasa dan lain-lain. Karena motifnya adalah untuk mencari keuntungan, maka pasar
dikeluarkan dari definisi masyarakat sipil.
Berkelompok adalah kekuatan utama dari masyarakat sipil yang terletak pada
kemampuannya untuk membangun inter-aksi dan inter-relasi antara satu dengan yang
lain. Sedangkan Kepentingan Bersama diartikan secara luas yang dapat berupa
promosi nilai, kebutuhan, identitas, norma, dan aspirasi-aspirasi lainnya.
Partisipasi masyarakat menekankan pada ―partisipasi‖ langsung warga
dalam pengambilan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Gaventa dan
Valderma (dalam Dwiningrum, 2015) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat
telah mengalihkan konsep partisipasi menuju suatu kepedulian dengan berbagai
bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan
keputusan di berbagai gelanggang kunci yang memengaruhi kehidupan warga
masyarakat. Pengembangan konsep asumsi dasar untuk meluangkan gagasan dan
praktik tentang partisipasi masyarakat meliputi:
15
1. Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga
sebagaimana hak politik lainnya. Hak tersebut tidak hilang ketika ia
memberikan mandat kepada orang lain untuk duduk dalam lembaga
pemerintahan.
2. Partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan mengenai
kebijakan publik di lembaga-lembaga formal dapat untuk menutupi
kegagalan demokrasi perwakilan.
3. Partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan
publik dapat mendorong partisipasi lebih bermakna.
4. Partisipasi dilaksanakan secara sistematik, bukan hal yang insidental.
5. Berkaitan dengan diterimanya desentralisasi sebagai instrumen yang
mendorong tata pemerintahan yang baik (Good government)
6. Partisipasi masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan publik
terhadap penyelenggaraan dan lembaga pemerintahan
Cohen dan Uphoff (1979) (dalam Dwiningrum) membedakan partisipasi
menjadi empat jenis, yaitu Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Di
sini masyarakat turut terlibat untuk menentukan arah dan orientasi pembangunan.
Kedua, Partisipasi dalam pelaksanaan. Partisipasi ini mencakup penggerakan
sumber daya dan dana dalam pelaksanaan yang merupakan penentu dalam
keberhasilan program yang dilaksanakan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan
manfaat. Partisipasi ini berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hasil pelaksanaan
program yang dicapai. Keempat yaitu partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program berjalan.
16
2.2 Konsep Advokasi sosial
“Advocacy is winning cases. Nothing more and nothing less. It consists in
persuading a court to do what you want. The court may have serious
misgivings, but the good advocate gives them no choice.”. (Ross, 2005)
Secara umum konsepsi advokasi berasal dari kata Avocate yang berarti
kegiatan-kegiatan untuk membela dengan aksi bersimpati, aksi menggalang
bantuan dan pertolongan, berupa dukungan argumentasi yang dapat diterima oleh
publik/umum dari seorang yang membela, yang menjadi korban, atau dari orang-
orang atau pihak lain yang mendukung alasan-alasan kasus, termasuk dari pihak
pengacara/advokat.
Advokasi sosial menurut Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi
tersebut dilaksanakan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan,
dan pemenuhan hak
Atas dasar pengertian tersebut, maka advokasi dapat dilaksanakan oleh
orang-orang atau kelompok masyarakat yang menjadi korban dengan dukungan
pihak lain yang tidak hanya dari seorang pengacara/advokat, melainkan dari
dukungan masyarakat, kaum buuh, politikus maupun kelompok-kelompok
masyarakat di semua lapisan. Namun idealnya, advokasi tetap dilaksanakan
dengan berbasis perjuangan dari kelompok masyarakat korban, yakni masyarakat
yang menderita dampak atas hak (asasi atau hukum) baik secara laten maupun
manifes. Pendek kata, kerja-kerja advokasi adalah kerja untuk menggalang
dukungan sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak untuk membangun kekuatan
untuk suatu tujuan.
17
2.2.1 Tujuan Advokasi
Adalah untuk mendapatkan komitmen pembelaan dan pendampingan
untuk menjamin hak-hak konstitusional seseorang atau masyarakat secara
demokratis dan adil. Karena dalam relasi kekuasaan antar aktor institusional,
mestinya ada jembatan institusional agar masyarakat dapat menentukan prioritas-
prioritas kebijakan pemerintah yang dinyatakan dalam kebijakan.
1. Melakukan Perbaikan Substansi Kebijakan
Advokasi kebijakan dilakukan untuk mendesak perubahan atas nilai, ukuran
dan kualitas kebijakan agar berpihak pada masyarakat sebagai objek kebijakan.
2. Melakukan Perbaikan Proses Penyusunan dan Keputusan Kebijakan
Sebagai prasyarat agar kualitas kebijakan diatas berpihak pada rakyat, maka
harus didesakkan perubahan atas proses penyusunan dan pengambilan
keputusan kebijakan yang melibatkan partisipassi masyarakat secara terbuka.
3. Melakukan Perbaikan pelaksanaan dan Petanggungjawaban Kebijakan
Penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan dapat menyebabkan kerugian
akan ditanggung oleh masyarakat. Oleh karena itu, memantau pelaksanaan
dan pertanggungjawaban kebijakan penting dilakukan sebagai bagian dari
advokasi kebijakan.
4. Mendorong Perubahan Persepsi dan Sikap Masyarakat atas Kebijakan
Perubahan persepsi, pemahaman, penafsiran, reaksi dan tindakan
masyarakat yang melihat bahwa kebijakan adalah milik para pejabat public
dan elit politik atau masyarakat saja. Pada dasarnya kebijakan adalah milik
public sehingga masyarakat berhak untuk tahu dan berpartisipasi di
dalamnya.
18
5. Mendorong Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintahan
Perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangatlah rawan dengan
banyaknya berbagai kepentingan yang masuk didalamnya. Oleh karena itu,
menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk terlibat dalam monitoring
proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan.
2.3 Konsep Kebijakan Sosial
Kebijakan memiliki arti yang sangat luas, umum serta mencakup banyak
hal. Setiap tokoh mendefinisikan kebijakan dengan berbagai macam bentuk.
Seperti yang dinyatakan oleh Thomas R. Dye, ―Kebijakan publik adalah apapun
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak‖. Mekipun pendapat ini
dianggap agak tepat, namun tidaklah cukup memberi batasan yang jelas antara apa
yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pemerintah.
Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa
hendaknya dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit banyak
berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri‖.
2.3.1 Tahap-tahap Kebijakan
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variable yang harus dikaji. Oleh karena
itu, beberapa ahli membagi kebijakan public dalam beberapa tahapan dengan
tujuan untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik, salah satunya
19
adalah (Dunn; 2003). Tahap-tahap kebijakan publik yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah tersebut berkompetisi terlebih
dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya,
beberapa masalah masuk ke dalam agenda kebijakan, beberapa yang lain
bahkan tidak disentuh atau ditunda dan beberapa menjadi fokus
pembahasan.
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk
kemudia dicari pemecahan masalah terbaik. Sama halnya dengan tahap
proses penyusunan agenda, pada tahap ini yang bersaing adalah
alternative-alternatif pemecahan masalah, pada tahap ini pula para aktor
akan ―bermain‖ untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternative yang disampaikan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternative tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus antara direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu pogram kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program
20
kebijakan yang telah diambil harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan
oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat
bawah. Pada tahap ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.
Beberapa implementasi kebijakan akan mendapat dukungan dari
stakeholders, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang.
5. Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi,
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu
memecahkan masalah.
2.3.2 Perubahan kebijakan
Konsep perubahan kebijakan (Policy change) merujuk pada penggantian
kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan
kebijakan ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi kebijakan yang
sudah ada. Menurut Anderson, perubahan kebijakan mengambil tiga bentuk,
yakni: Pertama, perubahan inkremental pada kebijakan yang sudah ada.
Sebagaimana perubahan yang bersifat inkremental, maka kebijakan yang sudah
ada menurut bentuk perubahan ini tidak diubah seluruhnya, tetapi hanya beberapa
bagian saja yang dilakukan perubahan. Kedua, pembuatan undang-undang baru
untuk kebijakan-kebijakan khusus. Ketiga, penggantian kebijakan yang besar
sebagai akibat dari pemilihan umum kembali. Pada kasus yang ketiga ini, sering
kita temukan arah program atau program kebijakan itu sendiri diganti secara
besar-besaran karena elit politik atau rezim yang memerintah diganti.
21
Diantara berbagai model advokasi, terdapat bentuk advokasi kebijakan
―Model Demokratis‖ yang menghendaki agar setiap ―pemilik hak demokrasi‖
diikut-sertakan sebanyak-banyaknya. Model ini berkembang khususnya di negara-
negara yang baru mengalami transisi ke demokrasi seperti Indonesia. Prosesnya
dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut
Gambar 2.1 Bagan Advokasi Model Demokratis
Model ini biasa dikaitkan dengan implementasi good governance, karena
dengan menggunakan model ini para konstituen dan pemanfaat (beneficiaries)
dapat diakomodir keberadaannya. Model yang identik dengan ―pilihan publik‖ ini
kurang efektif untuk mengatasi masalah-masalah dan membuat kebijakan-
kebijakan yang bersifat kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya.
Namun, model ini sangat efektif dalam pengimplementasiannya karena setiap
pihak memiliki kewajiban untuk mengupayakan keberhasilan kebijakan tersebut.
(Nugroho, 2014; 547-548)
Jarang terjadi kebijakan publik dipertahankan dalam bentuk yang sama
sebagimana kebijakan itu pada awalnya ditetapkan. Sebaliknya, kebjakan publik
kebijakan publik secara konstan bisa berkembang. Perbaikan terhadap kebijakan-
22
kebijakan yang ada tergantung pada beberapa faktor, yang meliputi; Pertama,
sejauh mana kebijakan awal dinilai mampu ―memecahkan‖ persoalan.
Sebagaimana telah sering disinggung sebelumnya, pada dasarnya kebijakan publik
dibentuk memecahkan persoalan-persoalan publik. Oleh karena itu, evaluasi
dilakukan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dijalankan meraih dampak
yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki kondisi sosial yang menjadi sasaran
program kebijakan tersebut. Kedua, kemampuan dengan mana kebijakan-
kebijakan macam itu dikelola. Ketiga kelemahan yang mungkin ada selama
proses selama proses implementasi kebijakan berlangsung.
2.4 Tahapan pembentukan Peraturan Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota. Bagir Manan (Hamidi, 2007) berpendapat bahwa peraturan
perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang—undangan
yang dibentuk oleh pemerintahan daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah
yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah.
Peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturaan
perundang-undangan yang lebih tinggi seta merupakan peraturan yang dibuat
untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi serta Perda daerah lain.
23
Pada pasal 64 UU No.12 tahun 2011 disebutkan bahwa teknik penyusunan
perundang-undangan diatur dalam Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 Pasal 67
hingga Pasal 187 yang menjelaskan proses penyusunan peraturan daerah mulai dari
tahap perencanaan dan penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan,
dan penyebarluasan secara mutatis mutandis sebagaimana berikut ini:
1. Perencanaan dan Penyusunan
Tahap ini dimulai dengan identifikasi masalah atau isu yang menjadi objek
serta identifikasi Legal baseline atau landasan hukumnya. Hasil
identifikasi tersebut lalu dikaji oleh berbagai pihak yang menjadi
stakeholder untuk kemudian dituangkan menjadi Naskah Akademik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang bagaimana pokok-
pokok pikiran tersebut dapat memecahkan masalah dan/atau kebutuhan
hukum masyarakat. Pada umumnya, Naskah akademik dilampirkan
bersama dengan Rancangan peraturan daerah (Raperda) yang memuat bab
atau pasal yang menjadi jawaban atas isu yang diangkat.
2. Pembahasan
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh DPRD dengan cara melakukan
kunjungan kerja, rapat kerja, konsultasi publik (hearing), sosialisasi atau
kajian dengan OPD terkait, elemen masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, para ahli dan akademisi dan beberapa stakeholder lain yang
sesuai dengan isu yang diangkat dalan Ranperda tersebut. Tahap ini
dilakukan guna mendapatkan masukan dan perbandingan dari sudut
pandang berbagai pihak.
24
3. Pengesahan dan Pengundangan
Apabila proses pembahasan tersebut telah rampung pada rapat akhir oleh
DPRD, draft tersebut akan dikirimkan oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah, dalam hal ini adalah Bagian
Hukum dan akan dilakukan penomoran serta autentifikasi. Kemudian akan
disahkan oleh Kepala Daerah dengan penandatanganan, lalu diundangkan
oleh Sekretaris Daerah. Bagian Hukum bertugas untuk penggandaan,
distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.
4. Penyebarluasan
Setelah Peraturan Daerah tersebut disahkan, ia harus diundangkan dalam
Lembaran Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat
masyarakat. Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah tersebut agar masyarakat
mengetahuinya.
Pada kasus ini, FMPP berupaya untuk mendorong pemerintah agar
mengubah Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Sistem
Penyelenggaraan Pendidikan yang dianggap sudah tidak relevan. Hal tersebut
dikarenakan oleh berbagai kelemahan hingga pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi pada pelayanan pendidikan di Kota Malang dan tidak terakomodir dalam
peraturan daerah tersebut.
2.5 Konsep Pelayanan Pendidikan
Hak atas pendidikan merupakan hak asasi dasar dan merupakan sarana yang
mutlak untuk dapat mewujudkan hak-hak lainnya. Pendidikan adalah gerbang menuju
kesuksesan, pendidikan menjadi fondasi bagi kesejahteraan karena ia berperan
25
penting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Tanpa pendidikan yang mumpuni,
mustahil bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi – atau bahkan bersaing – dalam
urusan-urusan publik seperrti pemilihan umum dan urusan pemerintahan, termasuk
urusan-urusan ekonomi dan sosial-budaya. Asplund dalam bukunya Hukum Hak
Asasi Manusia membahas Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (KIHESB) mencantumkan hak dan kebebasan yang termuat dalam bagian
akhir DUHAM, diantaranya adalah hak atas pendidikan yang tercantum pada pasal
13 sebagai berikut:
1. Negara-negara Pihak pada kovenan mengakui hak setiap orang atas
pendidikan. Mereka sepakat bahwa pendidikan harus diarahkan pada
perkembangan sepenuhnya kepribadian manusia dan kesadaran akan
martabatnya, dan harus memperkuat penghormatan terhadap hak asasi
dan kebebasan manusia yang hakiki. Mereka selanjutnya sepakat bahwa
pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara
efektif dalam masyarakat yang bebas, meningkatkan pengertian, toleransi
dan persahabatan antara semua bangsa dan semua kelompok ras, etnis, atau
agama, dan memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
memelihara perdamaian.
2. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa dengan
maksud untuk mencapai perwujudan semua hak ini:
(a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma
untuk semua orang;
(b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk
pendidikan lanjutan teknik dan kejuruan harus secara umum
26
tersedia dan terbuka untuk semua orang melalui segala sarana yang
layak dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma
secara bertahap;
(c) Pendidikan tinggi juga harus dapat dimasuki oleh semua orang, atas
dasar kemampuan, dengan semua sarana yang layak dan khususnya
melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
(d) Pendidikan fundamental harus sejauh mungkin didorong atau
diintensifkan untuk orang-orang yang belum menerima atau
belum menyelesaikan seluruh masa pendidikan dasar mereka;
(e) Pengembangan sistem sekolah pada setiap tingkatan harus secara
efektif diupayakan, sistem beasiswa yang layak harus dibentuk, dan
kondisi–kondisi materi pengajar harus terus menerus diperbaiki.
3. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orang tua dan, bila perlu, wali yang sah, untuk memilih sekolah
bagi anak-anak mereka, selain sekolah yang didirikan oleh pemerintah, yang
sesuai dengan standar pendidikan minimum yang mungkin dibuat atau
disetujui oleh negara dan untuk memastikan pendidikan agama dan moral
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.
4. Tidak ada bagian dari pasal ini yang dapat ditafsirkan untuk
mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan
mengurus lembaga pendidikan, sesuai dengan ketentuan penghormatan
pada prinsip yang dinyatakan dalam ayat 1 Pasal ini, dan pada persyaratan
bahwa pendidikan yang diberikan di lembaga tersebut sesuai dengan standar
minimum yang mungkin dibuat oleh negara.
27
Hak atas pendidikan mencakup pendidikan dasar yang wajib dan bebas
biaya, pendidikan lanjutan yang berangsur-angsur juga akan dibuat bebas dan
dapat dimasuki, serta kesempatan yang sama untuk memasuki pendidikan
tinggi. Juga terdapat peran yang semakin besar untuk pendidikan lanjutan/orang
dewasa, terutama apabila terdapat penduduk orang dewasa yang buta huruf
dalam jumlah yang signifikan. Pada umumnya, negara wajib untuk menyediakan
pendidikan bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar. Kesesuaian dengan
DUHAM Pasal 26 bukan saja mengharuskan pendidikan bebas biaya, melainkan
juga pendidikan wajib. Ini adalah salah satu dari sedikit kewajiban positif
yang secara eksplisit dibebankan kepada negara oleh DUHAM. (Asplund, 2008)
Undang-Undang Dasar yang menyatakan pentingnya mencerdaskan
bangsa. Indonesia pun mengejewantahkannya dalam Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem penyelenggaraan pendidikan. Gambaran umum tentang
konsep pelayanan pendidikan indonesia dapat kita temui pada pasal 3 Undang-
undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabatdalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan mejadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pelayanan publik memiliki aspek yang ―multi dimensi‖. Dalam memahami
pelayanan publik perlu menggunakan beberapa perspektif, diantaranya adalah
ekonomi, politik, hukum dan sosial-budaya secara integratif. Dalam perspektif
ekonomi, pelayanan publik adalah semua bentuk pengadaan barang dan jasa oleh
pemerintah (sektor publik yang diperlukan oleh warga negara sebagai konsumen).
28
Sementara dalam perspektif politik, dapat dikatakan bahwa pelayanan
publik merupakan refleksi dari pelaksanaan negara dalam melayani warga
negaranya berdasarkan kontrak sosial pembentukan negara oleh elemen-elemen
warga. Peran negara dalam pelayanan publik tersebut dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan yang dijalankan oleh kekuatan politik yang berkuasa.
Dari sisi sosial budaya, pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat demi mencapai kesejahteraan yang didalam
pelakanaannya kental akan nilai-nilai, sistem kepercayaan dan bahkan unsur religi
yang merupakan refleksi dari kebudayaan dan kearifan lokal yang berlaku.
Sedangkan dari perspektif hukum, pelayanan publik dapat dilihat sebagai
suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang-
undangan kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atau
penduduknya atas suatu pelayanan. Pelayanan publik menurut Keputusan
MENPAN Nomor 67 tahun 2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang yang
dilakukan oleh penyelenggaran pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sementara menurut Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 11 tahun
2003 tentang Pelayanan Publik di Propinsi Jawa Timur, diartikan sebagai segala
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar
warga negara dan penduduk atasa suatu barang, jasa dan atau pelayanan yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik
(Sirajuddin, 2011).
29
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila
disimppulkan maka sesungguhnya pendidikan adalah bentuk tranformasi
pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, agar
siswa mampu hidup beradab dalam masyarakat kelak.
Hal tersebut akan dapat dicapai dengan hadirnya peran Negara dalam
memberi akses dan peluag bagi segenap warga negaranya agar dapat
mengembangkan diri melalui pendidikan. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal
4 Bab III Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional ayat (1) yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggihak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Serta
pada ayat (6) yang berbunyi Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan
semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah juga mencanangkan program
wajib belajar yang ditanggung oleh pemerintah agar seluruh rakyat Indonesia
dapat mengakses pendidikan dasar bebas biaya yang diatur dalam Pasal 34
Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar yang berbunyi
―Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya‖. Serta
30
diatur pula tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kewajiban dan
hak masyarakat yang menjamin peran aktif masyarakat dalam pendidikan, serta
dicantumkan pula larangan-larangan dalam pendidikan yang meliputi larangan
adanya pungutan kepada peserta didik dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.