47
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri. Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh Untuk menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien. Pada proses operasi digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan. Nyeri post operasi sering menjadi masalah bagi pasien dan merupakan hal yang paling mengganggu, sehingga perlu dilakukan 1

BAB II anestesi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara

invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan

bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, setelah bagian yang akan

ditangani ditampilkan, dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan

penjahitan luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah.

Tindakan pembedahan atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala.

Keluhan dan gejala yang sering adalah nyeri.

Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan tubuh Untuk

menjaga homeostasis, tubuh melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada

jaringan tubuh yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia

dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien. Pada proses operasi digunakan anestesi

agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan

pasien mulai sadar, ia akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami

pembedahan.

Nyeri post operasi sering menjadi masalah bagi pasien dan merupakan hal yang paling

mengganggu, sehingga perlu dilakukan intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri.

Salah satu bentuk intervensi tersebut adalah terapi musik. Perawat menghabiskan lebih

banyak waktu bersama pasien dibandingkan dengan tenaga perawatan profesional lainnya,

maka perawat mempunyai kesempatan untuk menghilangkan nyeri dan efek yang

membahayakan.

Metode penatalaksanaan nyeri mencakup pendekatan farmakologis dan non-farmakologis.

Pendekatan farmakologis yang biasa digunakan adalah analgetik golongan opioid untuk nyeri

yang hebat dan golongan non steroid untuk nyeri sedang atau ringan. Perilaku dan teknik

non-farmakologi dapat digunakan bersama dengan penatalaksanaan farmakologi untuk

mengurangi nyeri akut. Salah satu cara yang cocok untuk mengurangi nyeri pada anak post 1

Page 2: BAB II anestesi

operasi secara non-farmakologis adalah distraksi. Penatalaksanaan nyeri pada anak dengan

teknik disraksi merupakan salah satu cara yang cocok pada anak post operasi.

Pada anak, teknik distraksi sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal ini

disebabkan karena distraksi merupakan metode dalam upaya untuk mengurangi nyeri anak

dan sering membuat pasien lebih menahan nyerinya. Hal ini ditegaskan kembali oleh Taylor

(1997) yang mengatakan bahwa teknik distraksi ini terbukti efektif digunakan pada anak.

Supaya distraksi lebih efektif perawat harus peka terhadap situasi yang menarik dan

menyenangkan bagi anak. Distraksi ini bisa dilakukan secara visual, auditori, taktil kinestik

dan projek. Salah satu teknik distraksi adalah dengan terapi musik yang bertujuan untuk

menurunkan nyeri pada anak.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

Mengetahui bagaimana keperawatan post operatif

Mengetahui berbagai komplikasi post operatif

Mengetahui monitoring post operatif

2

Page 3: BAB II anestesi

BAB II

ISI

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau

unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room atau Post Anestesia Care Unit). Idealnya

bangun dari anestesia secara bertahap tanpa keluhan dan ,ulus. Kenyataannya sering dijumpai

hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa

gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual muntah, menggigil dan

kadang-kadang perdarahan.’

Unit perawatan pasca anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat kamar bedah,

supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan

banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah pembedahan dan anestesi

dihentikan, pasien sebenernya masih dalam keadaan anestesi dan perlu di awasi dengan ketat

seperti masih berasa di kamar bedah.

Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas

dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimiter, oksimeter

denyut, EKG, peralatan resusitasi jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri dari

kamar bedah.

2.1 Tujuan perawatan pascaoperasi

Tujuan perawatan pascaoperasi untuk memulihkan kesehatan fisiologi dan psikologi antara

lain;

Mempertahankan jalan nafas

Mempertahankan ventilasi/oksigenasi

Memepertahankan sirkulasi darah

Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase

Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injury

2.2 Penatalaksanaan Pasca Anastesi3

Page 4: BAB II anestesi

Ruang pulih pasca anestesia (RPPA), merupakan syarat mutlak, dan harus dilengkapi dengan

perawat terlatih dalam jumlah cukup. Pasien sebaiknya dipindahkan ke RPPA di atas kereta

yang dapat diubah posisinya (tilting trolley), dalam posisi lateral/semiprone. Oksigen

diberikan melalui sungkup muka. RPPA ini penting karena keadaan pasien masih dalam

keadaan anestesi dan belum stabil. Tanda-tanda vital dicatat pada saat tiba di RPPA, dan

diulang dengan jangka waktu yang makin panjang, misalnya 5 menit, 10menit, 30 menit dan

seterusnya sampai saat pulang. Bila keadaan pasien membaik maka dipindahkan ke ruang

rawat tapi bila keadaan memburuk maka dipindahkan ke ICU (intensive care unit).

2.3 Tahap keperawatan post operatif

1. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi (recovery

room)

Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit perawatan pasca

anastesi (PACU: post anasthesia care unit) memerlukan pertimbangan-pertimbangan

khusus. Pertimbangan itu diantaranya adalah letak incisi bedah, perubahan vaskuler

dan pemajanan. Letak incisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien

pasca operatif dipidahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi,

dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura lebih lanjut. Selain itu

pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan

selang drainase.

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke

posisi lainnya. Seperti posisi litotomi ke posisi horizontal atau dari posisi lateral ke

posisi terlentang. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianastesi ke brankard

dapat menimbulkan masalah gangguan vaskuler juga. Untuk itu pasien harus

dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke

barankard atau tempat tidur, gaun pasin yang basah (karena darah atau cairan

lainnnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari

kontaminasi.

Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikatan

diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko

4

Page 5: BAB II anestesi

injury.

Selain hal tersebut diatas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien.

Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi

dengan optimal.

Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat

anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.

Pemindahan Pasien

1. Pertimbangkan letak insisi, perubahan vaskuler, dan pemajanan

2. Posisi tidur tidak menyumbat drain atau selang drainage

3. Pemindahan harus dilakukan dengan perlahan dan cermat

4. Gown yang basah harus segera diganti dengan gown kering

5. Gunakan selimut yang ringan

6. Pertimbangkan perlunya pengikat di atas lutut dan siku

7. Pertahankan keselamatan dan kenyamanan

8. Pasang pagar pengaman di kedua sisi tempat tidur

2. Perawatan post anestesi di ruang pemulihan

Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar

(recovery room : RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan

memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan). PACU atau

RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk

mempermudah akses bagi pasien untuk :

(1) perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)

(2) ahli anastesi dan ahli bedah

5

Page 6: BAB II anestesi

(3) alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.

Alat monitoring yang terdapat di ruang ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap

kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan : oksigen,

laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan

peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk

memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika,

seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set

pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, torniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotika

dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.

Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur

khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti : pemindahan

darurat. Dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah

perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan

medis dan perawatan. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari

pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen

minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik. Kriteria penilaian yang digunakan untuk

menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah :

Fungsi pulmonal yang tidak terganggu

Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang

Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam

Mual dan muntah dalam kontrol

Nyeri minimal

3. Transportasi pasien ke ruang rawat

6

Page 7: BAB II anestesi

Transportasi pasien bertujuan untuk mentransfer pasien menuju ruang rawat dengan

mempertahankan kondisi tetap stabil. Jika anda dapat tugas mentransfer pasien, pastikan

score post anastesi 7 atau 8 yang menunjukkan kondisi pasien sudah cukup stabil. Waspadai

hal-hal berikut : henti nafas, vomitus, aspirasi selama transportasi.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat transportasi klien :

a. Perencanaan

Pemindahan klien merupakan prosedur yang dipersiapkan semuanya dari sumber daya

manusia sampai dengan peralatannya.

b. Sumber daya manusia (ketenagaan)

Bukan sembarang orang yang bisa melakukan prosedur ini. Orang yang boleh

melakukan proses transfer pasien adalah orang yang bisa menangani keadaan

kegawatdaruratan yang mungkin terjadi sselama transportasi. Perhatikan juga

perbandingan ukuran tubuh pasien dan perawat. Harus seimbang.

c. Equipment (peralatan)

Peralatan yang dipersiapkan untuk keadaan darurat, misal : tabung oksigen, sampai

selimut tambahan untuk mencegah hipotermi harus dipersiapkan dengan lengkap dan

dalam kondisi siap pakai.

d. Prosedur

Untuk beberapa pasien setelah operasi harus ke bagian radiologi dulu dan sebagainya.

Sehingga hendaknya sekali jalan saja. Prosedur-prosedur pemindahan pasien dan

posisioning pasien harus benar-benar diperhatikan demi keamanan dan kenyamanan

pasien.

e. passage (jalar lintasan)

Hendaknya memilih jalan yang aman, nyaman dan yang paling singkat. Ekstra

waspada terhadap kejadian lift yang macet dan sebagainya.

7

Page 8: BAB II anestesi

4. Perawatan di ruang rawat

Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus kita lakukan, yaitu :

a. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan

komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan

ini merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah post operasi

b. Manajemen Luka. Amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak

mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi

lebih lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan

jahitan.

c. Mobilisasi dini. Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan

juga batuk efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler

dan mengeluarkan sekret dan lendir.

d. Rehabilitasi. Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien

kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan

untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala

e. .Discharge Planning. Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi

kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan

sehubungan dengan kondis/penyakitnya post operasi. Ada 2 macam discharge

planning

Untuk perawat : berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada

klien (sebagai dokumentasi)

Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.

Contoh nota discharge planning pada pasien post tracheostomy :

a. Untuk perawat : pecegahan infeksi pada area stoma

b. Untuk klien : tutup lubang operasi di leher dengan kassa steril

(sudah disiapkan)

2.4 Ruang Perawatan Pasca Operatif

2.4.1 Recovery Room

“Recovery Room”   Recovery room (RR) atau sering disebut juga sebagai Post-Anesthesia

Care Unit (PACU) merupakan suatu tempat dimana pasien pulih kembali dari efek anesthesi

8

Page 9: BAB II anestesi

pasca operasi dan pasien mendapatkan perawatan pasca operasi. “Recovery Room” (RR)

adalah suatu ruangan yang terletak di dekat kamar bedah, dekat dengan perawat bedah, ahli

anesthesia dan ahli bedah sendiri, sehingga apabila timbul keadaan gawat pasca-bedah, klien

dapat segera diberi pertolongan. Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat

sementara di Recovery Room ( Ruang pulih Sadar) sampai kondisi pasien stabil, tidak

mengalami kompikasi operasi, dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan

(bangsal perawatan) atau bahkan dipulangkan.

Ruang pemulihan hendaknya diatur agar selalu bersih, tenang, dan alat-alat yang tidak

berguna disingkirkan. Suatu recovery room dapat berbentuk perorangan maupun suatu

ruangan lebar yang dipartisi untuk banyak pasien. Untuk menjaga area tersebut tetap steril

dan mencegah penyebaran kuman, pengunjung dari luar perlu menggunakan gaun operasi

beserta topo, atau dapat dilarang masuk sama sekali. Pengecualian pada anak-anak,

keberadaan orangtua pada masa pemulihan akan meminimalisir terjadinya trauma post

operatif pada anak tersebut.

Setiap area pasien dilengkapi dengan berbagai peralatan monitoring medis. Sebaliknya,

semua alat yang diperlukan harus berada di RR. Sirkulasi udara harus lancar dan suhu di

dalam kamar harus sejuk. Bila perlu dipasang AC.

Bila pengaruh obat bius sudah tidak berbahaya lagi, tekanan darah stabil-bagus, perafasan

lancar-adekuat dan kesadaran sudah mencukupi (lihat Aldered Score), barulah klien

dipindahkan ke kamarnya semula (bangsal perawatan).

Syarat recovey room

1. Tenang, bersih, dan bebas dari peralatan yang tidak dibuthkan.

2. Warna ruangan lembut dan menyenangkan.

3. Pencahayaan tidak langsug

4. Pafon kedap suara

5. Peraatan yang mengontrol atau menghilangkan suara (misal: karetpeindung tempat

tidur supaya tidak mengeuarkan suara saat terbentur).

6. Tersedia peralatan standar: alat bantu pernafasan; oksigen; laringoskopi; set

trakheostomi, peralatan bronkial; kateter; ventilator mekanik; dan peralatan suction)

9

Page 10: BAB II anestesi

7. Peralatan kebutuhan sirkulasi: pengukur tekanan darah; peralatan parenterasi; plasma

sekunder; set intravena; defibrilator; kateter vena; dan torniquet.

8. Balutan bedah, narkotik, dan medikasi kedaruratan.

9. Set kateterasi dan peralatan drainase.

10. Tempat tidur pasien yang dapat diakses dengan mudah, aman dan dapat digerakkan

dengan mudah.

11. Suhu ruangan berkisar antara 20-22,2 C dengan ventilasi ruangan yang baik.

Content ( isi RR)

1. Perawat

2. Ahli anesthesia dan ahli bedah

3. Alat pemantau dan peralatan khusus.

Monitoring Pasca operasi di recovery room

Monitoring klinis dapat dibagi menjadi pengamatan jalan nafas (airway), pernafasan

(breathing), dan sirkulasi (circulation); suhu (temperature), dan tingkat kesadaran (conscious

level)

1. Monitoring jalan nafas (airway)

10

Page 11: BAB II anestesi

Dapat diamati dengan mengobservasi tanda-tanda sumbatan seperti retraksi dinding thorax

atau supraklavikula pada saat inspirasi dan/atau munculnya bising nafas. Jalan nafas yang

baik paing mudah dipertahankan pada posisi miring ke kiri . Posisi ini memungkinkan lidah

dan pallatum molle jatuh ke arah depan jauh dari rongga orofaring.

Pemeliharaan jalan nafas yang baik dapat disebut sebagai aspek terpenting dalam perawatan

post operasi. Penggunaan endotracheal tube merupakan salah satu cara untuk menjaga jalan

nafas pada masa pemulihan. Pada penggunaan obat anesthesia yang lambat dieeminasi

(seperti eter dan halotan), endotrakheal tube baik untuk digunakan sampai refleks laring

kembai pulih. Penghisapan cairan di orofaring harus dilakukan sebelum pelepasan

endotracheal tube untuk mencegah adanya aspirasi arah atau lendir. Ahli anesthesia harus

selalu mendampingi sampai pasien tersadar.

Masalah yang sering muncul pada jalan nafas antara lain: obstruksi nafas parsial (nafas

berbunyi) atau total (tidak ada suara nafas), idah jatuh menutup faring, atau edema laring.

Selain itu dapat terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, dara, ludah,

sekret atau sebelumnya ada riwayat kesulitan pada saat intubasi trakhea.

Bila terjadi obstruksi karena kejang laring, selain perlu oksigen 100% haus dibersihkan jalan

nasfas, berikan preparat kortikosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil perlu

dipertimbangkan muscle relaxant.

Obstruksi nafas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbia, hiperkapnia,

PaCO2>45 mmhg) atau saturasi oksigen menurun (hipoksemia) dangkal sering akibat muscle

relaxant masih bekerja.

2. Pernafasan (breathing)

Respirasi dapat diamati dengan memonitor pergerakan dada atau dengan melakukan ekspirasi

melalui telapak tangan pada mulut atau hidung pasien. Oksigenasi juga dapat diperkirakan

dalam beberapa derajat dengan mengamati warna pasien. Warna kebiruan menunjukkna

terjadinya hipoksia, dan ha ini paling mudah dilihat pada sektar bibir atau lidah. Untuk dapat

menentukan warna tersebut dibutuhkan pencahayaan yang baik. Pemberian suplementasi

oksigen dapat mencegah terjadinya hipoksemia, tetapi masalah yang muncul adalah tidak bisa

terdeteksinya apnea oleh pulse oxymeter.

11

Page 12: BAB II anestesi

Kecepatan nafas dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu bradipneum dan takpneu . Bradipneu

atau nafas ambat biasanya terjadi akibat penggunaan opioid selama operasi dan biasanya

disertai dengan pupil yang mengecil. Hal ini dapat menghilang secara spontan setelah obat

anesthesia tereliminasi dan pasien tersadar. Takipnea atau nafas cepat dapat berkaitan dengan

agen volatile tertentu (khusunya eter), asidosis, hipovolemia, nyeri, hipokseia, atau masalah

respirasi lain.

3. Sirkulasi (circulation)

Sirkulasi dapat diamati dengan palpasi nadi (takikardia mengarahkan pada deplesi volume)

dan dengan merasakan perifer (tangan yang dingin dengan perfusi buruk mengarahkan pada

hipovolemia atau hipotermia akibat operasi yang lama). Kecepatan jantung harus berada pada

keadaan normal, kira-kira 60-90 kali per menit.

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan

infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia

dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama kana menyebabkan gagal

ventrike kiri, infark miokird, disritmia, edema paru atau perdarahan otak. Terapi hipertensi

ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau

nitropusid (niprus) 0,5-1,0 mikrogram/kgBB/menit.

Hipotensi yag diakibatkan isian balik vena (venous return) menurun disebabkan oleh

beberapa ha seperti perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksio

miokardium kurang kuat atau tahanan vaskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera

diatasi untuk mencegah terjadinya hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan

hipoksemia dan kerusakan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor

penyebabnya. Berikan oksigen 100 % dan infus kristaloid RL atau asering 300-500 ml.

Disritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,

hiperkapnia atau penyakit jantung.

Hipotensi adalah komplikasi kardiovaskuler yang paling sering muncul selama dan setelah

pemberian obat sedatif dan analgesia. Monitoring reguler terhadap status sirkulasi pasien,

termasuk denyut jantung, tekanan darah, temperatur, warna kulit, dan denyut nadi perifer,

dapat meengidentifikasi maslah sehingga penanganan yang sesuai dapat dilakukan. Lebih

jauh lagi, pengamatan terhadap status cairan tubuh pasien dapat memfasilitasi pemberian

12

Page 13: BAB II anestesi

cairan yang tepat dibutuhkan pasien. Hal ini membutuhkan perhitungan dari pengurangan

status cairan pasien selama puasa dan kebutuhan cairannya.

Anjuran perhitungan kebutuhan cairan

Berat (kg) mL/jam

<10 kg 4 ml/kg/jam

10-20 kg 40 ml+2mL/kg diatas 10 kg

>20 kg 60 ml+1mL/kg diatas 20 kg

4. Suhu (temperature)

Hipotermia adalah salah 1 masalah yang juga sering muncul dan membutuhkan monitoring

dan penatalksanaan dini. Hipotermia kebanyakan muncul selama tindakan operasi dilakukan,

tetapi juga dapat muncul pada pasien yang diberi obat sedatif untuk prosedur diagnostik

ataupun terapi. Hipotermia juga menyebabkan kesulitan tubuh untuk mengkompensasi

terhadap penggumpalan darah, yang pada beberapa pasien dapat menyebabkan komplikasi,

seperti pada pasien yang menjalani angiografi atau kateterisasi. Penggunaan selimut hangat

dan penyesuaina suhu pendingin atau penghangat ruangan biasanya berguna untuk

mengembalikan keadaan suhu pasien ke normal.

5. Tingkatan kesadaran (Conscious Level)

Tingkat kesadaran harus dimonitor dengan mengobservasi kembalinya berbagai refleks;

seperti; refleks berkedip, refleks menelan, dan refleks bersuara, serta berespon tehadap

perintah. Pada pasien yang menjalani anesthesia regional (spinal atau epidural), tingginya

blokade harus diamati sampai efek anesthesi tersebut menghilang. Cara termudah untuk

mengujinya adalah dengan mengukur titik dimana pasien tidak lagi dapat merasakan sensasi

dingin (menggunakan etil klorida atau es). Akan lebih aman apabila meletakkan pasien pada

posisi duduk terlalu cepat, karena hal ini bisa saja menyebabkan terjadinya hipotensi postural.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan dilakukan paling tidak

setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukkan setiap 15 menit,

selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam berikutnya. Pulse oximetry

dimonitor hingga pasien sadar kembali sambil meakukan pemeriksaan suhu. 13

Page 14: BAB II anestesi

Kriteria pemulangan /pemindahan pasien

pengamatan terus menerus terhadap pasien harus dilakukan sampai pasien mencapai kondisi

stabil menurut criteria standar, kemudian baru pasien dapat dipulangkan atau dipindahkan ke

ruang rawat inap. American society of anesthesiologist menyatakan bahwa criteria

pemulangan harus dibuat untuk meminimalisir resiko depresi system saraf pusat pasca

dikeluarkan dari ruang pemulihan

Masalah pulih sadar pada anestesi rawat jalan tidak hanya dinilai asal pasien telah sadar,

tetapi ada hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan mengingat pasien ini akan lepas dari

pengawasan dokter/perawat/rumah sakit. Sementara itu efek dari obat anestesi tidak

semuanya telah hilang.

Dianjurkan memakai sistem penilaian pulih pasca anesthesia(Stuart Score)

sebagai berikut :

I. Kesadaran :

sadar penuh 2

respons terhadap rangsang 1

tak ada respon 0

II. Jalan nafas :

Batuk bila diperintah/menangis 2

Dapat memelihara jalan nafas sendiri 1

Perlu pemeliharaan jalan nafas 0

III Pergerakan:

Pergerakan 4 ekstremitas 2

Pergerakan 2 ekstremitas 1

Tak ada ekstremitas yang bergerak 0

IV Kardiovaskuler

Tekanan Darah berubah <20% 2

Berubah 20-30% 1

Berubah >50% 0

Jumlah nilai keseluruhan pasien yang telah mencapai nilai >8 baru boleh dipulangkan.

Meridy mengatakan, tidak ada hubungan antara lama anestesia dan masa pulih mencoba uji

14

Page 15: BAB II anestesi

"titik Trieger" untuk menilai kemampuan psikomotor pasca anestesia pada orang

dewasa.Oggs dan kawan-kawan menguji daya ingat ("memory") pasca anestesia dengan

memory dan digit span test, menyimpulkan bahwa daya ingat baru dapat pulih setelah 3 jam.

Jadi setelah penilaian seperti cara di atas, dikaji lagi apakah ada hipoksia, rasa kurang

nyaman, atau memang kesakitan. Pemberian analgetika pasca anestesia harus dipikirkan

dengan masak, karena seseorang dapat merasa gelisah oleh berbagai sebab. Karena semua

obat analgetika dapat menambah rasa mengantuk, mual dan muntah pasca anestesia. Untuk

nyeri yang hebat dapat dipertimbangkan pemberianpetidin 1 mg/kg atau codein fosfat 1,5

mg/kg intramuskulus.

Pasien sebaiknya masuk ke RPPA setelah pasien mulai sadar. Pada waktu pulang, setiap

pasien harus dikawal oleh orang lain. Sebaiknya memakai taksi atau mobil pribadi, dengan

catatan, si pengawal tidak boleh mengemudikan mobil tersebut. Harus diberikan instruksi

tertulis mengenai perawatan di rumah, kemungkinan penyulit yang dapat timbul, dan saat

harus memberitahukan ke Rumah Sakit. Penting ditekankan kepada pasien mengenai

perlunya pemberian cairan. Minum harus diberikan sedikit demi sedikit dan sering, karena

kekerapan muntah pasca anestesia pada pasien cukup besar yaitu 11 -- 21%. Apabila muntah

sampai mengganggu usaha pemberian cairan, dapat diberikan obat anti emetik, seperti

Dramamin 2 mg/kg bb per rektal atau intramuskulus.

Selain itu juga, untuk menilai masa pulih sadar ini Steward menbagi dalam 3 tahap:

1. Immediate recovery : kembalinya kesadaran, kembalinya reflex protektif jalan

napasdan aktiitas motor yang singkat. Tahap ini singkat dan dapat dengan tepat diikuti

denhagan menggunakan scoring system

2. Intermediate recovery: kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya perasaan pusing

subjektif. Tahap ini kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tak terlalu lama. Dalam

tahap ini mungkin pasien sudah dapat dipulangkan asal ada pendamping yang dapat

dipertanggungjawabkan.

3. Longterm recovery: tahap ini dapat berlangsung berjam jam bahkan berhari-hari

tergantung dari lamanya anestesi. Untuk pengukurannnya perlu tes pshychomotor,

sehingga tidak praktis untuk dilakukan di klinis

15

Page 16: BAB II anestesi

STEWARD scoring system

Criteria skorKesadaran bangun 2 respon terhadap stimuli 1 tidak ada respon 0jalan napas Bangun atas dasar perintah atau menangis 2 mempertahankan jalan napas dengan baik 1 perlu bantuan untuk mempertahankan 0Gerakan menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2 gerakan tanpa maksud 1 tidak bergerak 0

ROBERTSON SCORING SYSTEM

Criteria skorKesadaran sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4 tertidur ringan, ringan sekali mata terbuka 3 mata terbuka atas perintah atau bila namany a 2 Dipanggil respon terhadap cubitan di telinga 1 tak ada respon 0 Jalan napas membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3

tak ada batuk volunter, jalan napas bebas tanpa bantuan 2

obstruksi jalan napas bila leher flelsi tetapi tanpa 1 bantuan bila ekstensi tanpa bantuan terjadi obstruksi 0 Aktivitas mengangkat tangan dengan perintah 2 gerakan tak berarti 1 tak bergerak 0

16

Page 17: BAB II anestesi

Aldrete Scoring system

recovery score kriteria in 15 30 45 60 out

dapat bergerak 4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2

volunter atau 2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1Aktivitas atas perintah 0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0 mampu bernapas 2 2 2 2 2 2 dan batuk secara respirasi Bebas dyspnea, napas 1 1 1 1 1 1 dangkal atau Terbatas Apnea 0 0 0 0 0 0 tensi 20 mmHg 2 2 2 2 2 2 Preop Sirkulasi tensi 20-50 mmHg 1 1 1 1 1 1 Preop tensi 50 mmHg 0 0 0 0 0 0 Preop sadar penuh 2 2 2 2 2 2kesadaran bangun waktu 1 1 1 1 1 1 Dipanggil tidak ada respon 0 0 0 0 0 0 Normal 2 2 2 2 2 2Warna pucat kelabu 1 1 1 1 1 1Kulit Sianotik 0 0 0 0 0 0

Perbandingan dari ketiga tabel diatas:

Dari table scoring system diatas bila dilihat dengan teliti, jelas scoring menurut

Robertson dan Steward lebih mudah dapat dilakukan dibanding aldrete scoring

17

Page 18: BAB II anestesi

Aldrete scoring system sekarang lebih banyak digunakan sekarang sebagai acuan

untuk menentukan keadaan pasien di ruang pulih sadar karena keadaan pasien yang

dinilai lebih terperinci dan lebih spesifik dibanding scoring system yang lain

(Steward dan Robertson scoring kurang spesifik dan kurang terperinci, hanya secara

gambaran umum saja)

Dalam melakukan memindahkan pasien dari ruang pulih sadar,

perhatikan Aldrete score :

1. pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat (Aldrete score ≥ 8)

2. pasienharus dimasukkan ke dalam ruang ICU (Aldrete score <

8)

Dari table scoring system diatas bila dilihat dengan teliti, jelas scoring menurut Robertson

dan Steward dengan mudah dapat dilakukan. Scoring menurut Steward mula-mula

didapatkan untuk diterapkan pada anak-anak kecil, tetapi saat ini angat luas pemakaiannya

termasuk juga orang dewasa.

Pemulangan Pasien

Kriteria pemulangan(kriteria klinis):

1. Apabila pasien sudah sadar dan mengenal lingkungan dicoba untuk setengah

duduk(kepala diganjal dengan beberapa bantal). Bila pasien merasa pusing ditidurkan

kembali (ganjal diambil). Prosedur ini dapat diulangi bila pasien merasa sudah enak

kembali.

2. Bila selama 15 menit pasien tidak mengeluh apa-apa , dapat dicoba untuk duduk. Bila

ada keluhan (pusing, mual atau muntah) dikembalikan posisi semula, atau kalau perlu

posisi tidur lagi. Kemudian prosedur dapat diulang lagi

3. Bila selama 15 menit dalam posisi duduk tidak ada keluhan . dicoba duduk dengan

kaki menjuntai. Ini dilakukan pula selama 15 menit. Sementara itu pasien dicoba

untuk minum dengan diber air putih

4. Bila pasien dapat tahan pada posisi ini, maka coba untuk turun dari tempat tidur, dan

diminta untuk memakai pakaiannnya sendiri. Pasien dapat memakai pakaian sendiri

berarti fungsi koordinasi pasien sudah kembali, dengan demikian pasien siap untuk

dipulangkan.

18

Page 19: BAB II anestesi

Kriteria pemulangan dapat ditambahkan dengan pasien diminta berjalan mengikuti garis lurus

dan tes Romberg dengan mata terbuka. Pada bayi dan anak-anak tes klinis tersebut tidak

dapat diterapkan. Apabila bayi dan anak tersebut sudah menangis keras dan tidak muntah ,

dicoba minum air sedikit demi sedikitdengan menggunakan sendok. Perlu diingat , seringkali

anak yang sudah menangis keras ini tertidur lagi, oloeh karena itu jangan tergesa-gesa

memulangkan atas dasar menangis keras.

Dalam merencanakan kepulangan pasien, kita harus mempertimbangkan 4 hal berikut:

1. Home care preparation

Memodifikasi lingkungan rumah sehingga tidak mengganggu kondisi klien. Contoh :

klien harus diatas kursi roda/pakai alat bantu jalan, buat agar lantai rumah tidak licin.

Kita harus juga memastikan ada yang merawat klien di rumah.

2. Client/family education

Berikan edukasi tentang kondisi klien. Cara merawat luka dan hal-hal yang harus

dilakukan atau dihindari kepada keluarga klien, terutama orang yang merawat klien.

3. Psychososial preparation

Tujuan dari persiapan ini adalah untuk memastikan hubungan interpersonal sosial dan

aspek psikososial klien tetap terjaga.

4. Health care resource

Pastikan bahwa klien atau keluarga mengetahui adanya pusat layanan kesehatan yang

terdekat dari rumah klien, seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Jadi jika

dalam keadaan darurat bisa segera ada pertolongan.

2.4.2 ICU

ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus

untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh kegagalan / disfungsi satu

organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidupnya

(reversible).

19

Page 20: BAB II anestesi

Dalam mengelola pasien ICU, diperlukan dokter ICU yang memahami teknologi kedokteran,

fisiologi, farmakologi dan kedokteran konvensional dengan kolaborasi erat bersama perawat

terdidik dan terlatih untuk critical care. Pasien yang semula dirawat karena masalah

bedah/trauma dapat berubah menjadi problem medik dan sebaliknya.

LEVEL ICU

1. Level I (di Rumah Sakit Daerah dengan tipe C dan D)

Pada Rumah Sakit di daerah yang kecil, ICU lebih tepat disebut sebagai unit

ketergantungan tinggi (High Dependency). Di ICU level I ini dilakukan observasi

perawatan ketat dengan monitor EKG. Resusitasi segera dapat dikerjakan, tetapi

ventilator hanya diberikan kurang dari 24 jam.

2. Level II

ICU level II mampu melakukan ventilasi jangka lama, punya dokter residen yang

selalu siap di tempat dan mempunyai hubungan dengan fasilitas fisioterapi, patologi

dan radiologi.

Bentuk fasilitas lengkap untuk menunjang kehidupan (misalnya dialisis), monitor

invasif (monitor tekanan intrakranial) dan pemeriksaan canggih (CT Scan) tidak perlu

harus selalu ada.

3. Level III

ICU Level III biasanya pada Ruamh Sakit tipe A yang memiliki semua aspek yang

dibutuhkan ICU agar dapat memenuhi peran sebagai Rumah Sakit rujukan.

Personil di ICU level III meliputi intensivist dengan trainee, perawat spesialis, profesional

kesehatan lain, staf ilmiah dan sekretariat yang baik. Pemeriksaan canggih tersedia dengan

dukungan spesialis dari semua disiplin ilmu.

Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yaitu mengelola pasien yang sakit kritis sampai

yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan 20

Page 21: BAB II anestesi

pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini

adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan

dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

PROSEDUR MASUK ICU

Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter disiplin lain di luar Icu setelah berkomsultasi

dengan doketr ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat juga didahului secara lisan

(misalnya lewat telepon), terutama dalam keadaan mendesak, tetapi harus segera diikuti

dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang mengancam jiwa akan menjadi tanggungjawab

dokter pengirim.

Transportasi ke ICU masih menjadi tanggungjawab dokter pengirim, kecuali transportasi

pasien masih perlu bantuan khusus dapat dibantu oleh pihak ICU. Selama pengobatan di

ICU, maka dimungkinkan untuk konsultasi dengan berbagai spesialis di luar dokter pengirim

atau dokter ICU bertindak sebagai koordinatornya.

Terhadap pasien atau keluarga pasien wajib diberikan penjelasan tentang perlunya masuk

ICU dengan segala konsekuensinya dengan menandatangani informed concern.

INDIKASI MASUK ICU

Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktu-

waktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih ada

kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan

intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial yang

memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU.

KONTRAINDIKASI MASUK ICU

Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit yang sangat menular,

misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada yang

mempunyai riwayat penyakit menular.

PENGELOLAAN PASIEN ICU

1. Pendekatan Pasien ICU

21

Page 22: BAB II anestesi

a. Anamnesis

Seringkali pasien sebelum masuk ICU sudah mendapat tindakan pengobatan

sebelum diagnosis definitif ditegakkan.

b. Serah Terima Pasien

Untuk mengetahui riwayat tindakan pengobatan sebelumnya dan sebagai bentuk

aspek legal.

c. Pemeriksaan Fisik

Meliputi pemeriksaan fisik secara umum, penilaian neurologis, sistem pernafasan,

kardiovaskuler, gastro intestinal, ginjal dan cairan, anggota gerak, haematologi

dan posisi pasien.

d. Kajian hasil pemeriksaan

Meliputi biokimia, hematologi, gas darah, monitoring TTV, foto thorax, CT scan,

efek pengobatan.

e. Identifikasi masalah dan strategi penanggulangannya

f. Informasi kepada keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

Walaupun keadaan stabil, pasien tetap harus dilakukan pemeriksaan fisik :

a. ABC

b. Jalan nafas dan kepala

c. Sistem pernafasan

d. Sistem sirkulasi

e. Sistem gastrointestinal

22

Page 23: BAB II anestesi

f. Anggota gerak

3. Monitoring rutin

4. Intubasi dan Pengelolaan Trakhea

5. Cairan : Dehidrasi

6. Perdarahan Gastrointestinal

Stress ulcer dapat merupakan kompensasi dari penyakit akut.

7. Nutrisi

Utamakan pemberian nutrisi enteral

KRITERIA KELUAR DARI ICU

Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :

1. Meninggal dunia

2. Tidak ada kegawatan yang mengancam jiwa sehingga dirawat di ruang biasa atau

dapat pulang

3. Atas permintaan keluarga atau pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga atau pasien

harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri.

2.5 Terapi Cairan

Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :

a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).

c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.

d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

23

Page 24: BAB II anestesi

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak

termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori

sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena

pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein

75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka

operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi.

Pemberian cairan diberikan seperti perhitungan-perhitungan pada masa pre operatif dengan

lebih memperhitungkan perubahan-perubahan berat badan, suhu badan, suhu kamar, external

lesses dan tetap menilai keadaan klinis seperti kesadaran, selaput-selaput lendir, turgor,

keadaan mata dan lain-lain.

Pengobatan cairan pada masa post operatif adalah pemberian cairan yang sesuai dengan

cairan ekstraseluler saja telah mencukupi dan transfusi darah jarang sekali diperlukan. Cairan

yang dipilih biasanya adalah larutan Ringer laktat.

Pertimbangan ini disebabkan karena hal-hal berikut:

1. Edema/sequestrasi di daerah perlukaan adalah transudat ekstraseluler, dan dapat

berlangsung hingga beberapa hari dengan jumlah kehilangan yang dapat menpai2-4

liter sehari. Kehilangan itu sangat meyolok pada trauma usus yang luas, diseksi yang

luas, ileus. Aortic aneurismectomi, aviscerasi yang agak lama. Gagalnya penggantian

cairan ini akan menyebabkan timbulnya oliguria, takikardi hipotensi dengan gejala-

gejala lain sebagai akibat retensi air dan natrium.

2. MeskipunShires, 1967 mengemukakan adanya pengeluaran yang bersifat disporporsi

dengan cairan ekstraseluler, pada binatang percobaan dengan haemorrogik shock,

akan tetapi dia sendiri telah membuktikan pula bahwa dibandingkn dengan cara lain,

pemberian larutan ringer laktat sebagai pengaruh darah yang keluar telah

meningkatkan “survivalrate”. Dengan demikian telah timbul kesimpulan bahwa

larutan ringer laktat tidak dapat menggantikan darah, akan tetapi dpat mengurngi

kebutuhan transfusi darah.

Oleh karena trauma ringan, perubahan emosi dan lain-lain dapat dilihat dengan nyata adanya

sekresi ADH danaldosteron. Sekresi ini lebih bayak disebabkan karena stimulasi ACTH

24

Page 25: BAB II anestesi

mekanisme “Renin Angiotensin”. Meskipun hal ini disebabkan terjadinya peningkatan kadar

K+, ternyata dengan menjaga keseimbangan cairan ekstraseluler saja faktor ini tidak banyak

menimbulkan kesukaran. Keseimbangan larutan garam seperti ringer laktat lebih disukai dari

pada NaCl- isotonis, karena tidak menyebabkan “dilutional acidosis” atau penimbunan

klorida apabila timbul kehiangan-kehilangan yang isotonik.

Pengaruh hormonal yang masih menetap beberapa hari pasca bedah dan mempengaruhi

keseimbangan air dan elektrolit harus diperhatikan dalam menentukan terapi cairan tersebut.

Bila penderita sudah dapat minum secepatnya diberikan per oral. Apabila penderita tidak

boleh per oral, maka pemberian secara parenteral diteruskan. Air diberikan sesuai dengan

pengeluaran yang ada (urin + insensible loss). Masuknya kembali cairan dri ruangan ketiga

dan interstitial ke dalam cairan ekstra sel yang berfungsi tejadi secara bertahap dalam 5-6 hari

dan pada penderita tanpa gangguan fungsi jantung atau ginjal, hal ini tidak mempengaruhi

keseimbangan air dan elektrolit. Demikian juga pengaruh SIADH.

Pemberian natrium pada hari pertama pasca bedah dalam jumlah yang lebih rendah dari

kebutuhan pmeliharaan, cukup beralasan karena walaupun pengaruh hormonal menyebabkan

terjadinya retensi natrium tetapi retensi air lebih banyak terjadi. Pasca bedah lebih sering

dijumpai keadaan hiponatremia, yang akan kembali normal dengan hanya membatasi

pemberian (“intake”) cairan saja. Kalium sebaiknya diberikan pada hari kedua pasca bedah .

Setelah hari pertama biasanya timbul kehilangan kalium yang dapat menapai 90-100

mEq/uter urine apabila fungsi ginjal mencukup dianjurkan untuk memberikan 50-80

mEq/hari, kecuali diduga adanya kehilangan yang berlebihan di urine.

Glukosa diberikan 100 gr/hari.

Cairan yang diberikan : pada orang dewasa.

- Hari I : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl

- Hari II : Dekstrosa 5-10 % dalam 0,18 % NaCl + K+ 1 mEq/KgBB/hari

Pada bayi dan anak :

Kebutuhan pemeliharaan biasanya ditambah karena bertambahnya “insensible loss” yang

dapat mencapai 3-4 ml/KgBB/jam. Cairan yang dibeikan : dekstrosa 5 % + ringer laktat

25

Page 26: BAB II anestesi

dalam dekstrosa 5 % dengan perbandingan 4 : 1 atau 3 : 2 tergantung banyak atau sedikitnya

insensible loss tadi .

2.6 Komplikasi Pasca Operatif

Setelah tindakan pembedahan atau anestesi, sering dijumpai hal-hal yang tidak diinginkan

akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan nafas, gangguan

kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan terkadang perdarahan.

1. Gangguan pernafasan

Obstruksi napas parsial atau total, tak ada ekspirasi paling sering dialami pada

pasien pasca anestesi umum yangbelum sadar, karena lidah jatuh menutup faring

atau oleh edema laring.

2. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi dapat diakibatkan karna nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea,

cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivitas saraf simpatis karna hipoksi,

hiperkapni dan asidosis.

Hipotensi akibat isian balik vena menurunkan disesabkan perdarahan, terapi

cairan kurang adekuat, hilangnya cairan ke rongga ketiga, keluaran airr kemih

belum diganti, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer

menurun.

Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia

atau memang pasien penderita sakit jantung.

3. Gelisah

Gelisah disebabkan karna hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan, efek sa,ping

obat misalnya ketamin atau buli-buli pebuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab

tersebut di atas pasien dapat diberikan penenang midazolam 0,005-o,1 mg/kgBB.

4. Nyeri

26

Page 27: BAB II anestesi

Untuk merdam nyeri pasca anaestesi pada analgesia regional pasien dewasa,

sering ditambahkan morfin 0,05-0,10 mg saat memasukkan anestetik lokal ke

ruang subarakhnoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural.

5. Mual-muntah

6. Menggigil

Menggigil terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi terjadi

akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan

irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Menggigil selain akibat turunnya

suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu dan biasanya akibat obat anestetik

inhalasi.

Selain dari gangguan-gangguan tersebut di atas, dapat juga terjadi beberapa komplikasi

seperti dibawah ini :

1. Syok

Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai dengan

ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk sampah metabolisme. Tanda-tandanya :

a. Pucat

b. Kulit dingin dan terasa basah

c. Pernafasan cepat

d. Sianosis pada bibir, gusi dan lidah

e. Nadi cepat, lemah dan bergetar

f. Penurunan tekanan nadi

g. Tekanan darah rendah dan urine pekat.

Pencegahan :

a. Terapi penggantian cairan

b. Menjaga trauma bedah pda tingkat minimum

27

Page 28: BAB II anestesi

c. Pengatasan nyeri dengan membuat pasien senyaman mungkin dan dengan

menggunakan narkotik secara bijaksana

d. Pemakaian linen yang ringan dan tidak panas (mencegah vasodilatasi)

e. Ruangan tenang untuk mencegah stres

f. Posisi supinasi dianjurkan untuk memfasilitasi sirkulasi

g. Pemantauan tanda vital

Pengobatan :

a. Pasien dijaga tetap hangat tapi tidak sampai kepanasan

b. Dibaringkan datar di tempat tidur dengan tungkai dinaikkan

c. Pemantauan status pernafasan dan CV

d. Penentuan gas darah dan terapi oksigen melalui intubasi atau nasal kanul jika

diindikasikan

e. Penggantian cairan dan darah kristaloid (ex : RL) atau koloid (ex : komponen darah,

albumin, plasma atau pengganti plasma)

f. Penggunaan beberapa jalur intravena

g. Terapi obat : kardiotonik (meningkatkan efisiensi jantung) atau diuretik (mengurangi

retensi cairan dan edema)

2. Hemorrhagi

Jenis :

a. H. Primer : terjadi pada waktu pembedahan

b. H. Intermediari : beberapa jam setelah pembedahan ketika kenaikan tekanan darah ke

tingkat normalnya melepaskan bekuan yang tersangkut dengan tidak aman dari

pembuluh darah yang tidak terikat

28

Page 29: BAB II anestesi

c. H. Sekunder : beberapa waktu setelah pembedahan bila ligatur slip karena pembuluh

darah tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh

selang drainage.

Tanda-tanda :Gelisah, gundah, terus bergerak, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi

meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien

melemah.

Penatalaksanaan :

a. Pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok

b. Sedatif atau analgetik diberikan sesuai indikasi

c. Inspeksi luka bedah

d. Balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasi

e. Transfusi darah atau produk darah lainnya

f. Observasi VS.

3. Trombosis Vena profunda

Merupakan trombosis pada vena yang letaknya dalam dan bukan superfisial. anifestasi

klinis :

a. Nyeri atau kram pada betis

b. Demam, menggigil dan perspirasi

c. Edema

d. Vena menonjol dan teraba lebih mudah

Pencegahan :

a. Latihan tungkai

b. Pemberian Heparin atau Warfarin dosis rendah

29

Page 30: BAB II anestesi

c. Menghindari penggunaan selimut yang digulung, bantal yang digulung atau bentuk

lain untuk meninggikan yang dapat menyumbat pembuluh di bawah lutut

d. Menghindari menjuntai kaki di sisi tempat tidur dalam waktu yang lama

Pengobatan :

a. Ligasi vena femoralis

b. Terapi antikoagulan

c. Pemeriksaan masa pembekuan

d. Stoking elatik tinggi

e. Ambulasi dini.

4. Embolisme Pumonal

Terjadi ketika embolus menjalar ke sebelah kanan jantung dan dengan sempurna menyumbat

arteri pulmonal. encegahan paling efektif adalah dengan ambulasi dini pasca operatif.

5. Retensi Urine

Paling sering terjadi setelah pembedahan pada rektum, anus dan vagina.

6. Delirium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena toksik, traumatik atau putus alkohol.

7. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)

Infeksi luka psot operasi seperti dehiseinsi dan sebaginya dapat terjadi karena adanya

kontaminasi luka operasi pada saat operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan.

Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga

perawatan luka dengan prinsip steril.

8. Komplikasi Gastrointestinal

30

Page 31: BAB II anestesi

Komplikasi pada gastrointestinal paling sering terjadi pada pasien yang mengalami

pembedahan abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan juga

distensi abdomen.

BAB III

KESIMPULAN

kesimpulan yang dapat di dapatkan dari pembahasan di atas adalah :

1. Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola

dikamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room atau Post

Anestesia Care Unit)

2. Pasien sebaiknya dipindahkan ke RPPA di atas kereta yang dapat diubah

posisinya (tilting trolley), dalam posisi lateral/semiprone

3. Dianjurkan memakai sistem penilaian pulih pasca anesthesia(Stuart Score)

4. Jumlah nilai keseluruhan pasien yang telah mencapai nilai >8 baru boleh

dipulangkan

31

Page 32: BAB II anestesi

5. room (RR) atau sering disebut juga sebagai Post-Anesthesia Care Unit

(PACU) merupakan suatu tempat dimana pasien pulih kembali dari efek

anesthesi pasca operasi dan pasien mendapatkan perawatan pasca operasi

6. Bila pengaruh obat bius sudah tidak berbahaya lagi, tekanan darah stabil-

bagus, perafasan lancar-adekuat dan kesadaran sudah mencukupi (lihat

Aldered Score), barulah klien dipindahkan ke kamarnya semula (bangsal

perawatan)

7. Monitoring linis dapat dibagi menjadi pengamatan jalan nafas (airway),

pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation); suhu (temperature), dan

tingkat kesadaran (conscious level)

8. Setelah tindakan pembedahan atau anestesi, sering dijumpai hal-hal yang tidak

diinginkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa

gangguan nafas, gangguan kardiovaskuler, gelisah, kesakitan, mual-muntah,

menggigil dan terkadang perdarahan

DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………...……...ii

Bab. I PENDAHULUAN........................................................................1

Bab.II ISI

2.1 Tujuan perawatan pascaoperasi.......................................................... 3

2.2 Penatalaksanaan Pasca Anastesi......................................................... 4

2.3 Tahap keperawatan post operatif…………………………………… 4

2.4 Ruang Perawatan Pasca Operatif....................................................... 8

2.4.1 Recovery Room..........................…………………………. 8

2.4.2 ICU ………………………………………………………. 19

2.5 Terapi Cairan...................................................................................... 2332

Page 33: BAB II anestesi

2.6 Komplikasi Pasca Operatif................................................................ 26

Bab.III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan…………………………………………………........… 31

Daftar Pustaka

33