15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari (Suparyo, 2010). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio- budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia(Suparyo, 2010). Dalam sudut pandang Antropologi kebudayaan adalah seluruh system gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Suparyo, 2010). Budaya lokal adalah bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Budaya lokal juga merupakan budaya milik penduduk asli yang merupakan warisan

BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka

Citation preview

Page 1: BAB II

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah

kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak

unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,

pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian

tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya

diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang

yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa

budaya itu dipelajari (Suparyo, 2010).

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan

luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-

budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia(Suparyo, 2010).

Dalam sudut pandang Antropologi kebudayaan adalah seluruh system gagasan dan

rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang

dijadikan miliknya dengan belajar (Suparyo, 2010).

Budaya lokal adalah bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan

berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang

beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Budaya lokal juga merupakan budaya milik penduduk

asli yang merupakan warisan budaya. Jadi budaya lokal adalah kebudayaan yang berlaku

dan dimiliki tiap daerah atau suku bangsa (Suparyo, 2010).

 Budaya  Siri’ dan Pesse’ adalah konsep yang mencakup gagasan tentang harga diri

dan rasa malu. Tidak ada kontradiksi dari kedua istilah ini, karena rasa malu secara

inplisit juga mengandung konsepsi yang merupakan asal munculnya harga diri. Namun

terdapat dua cara yang berbeda ketika orang merujuk ke istilahsiri’. Satu sisi digunakan

orang untuk menandakan seseorang telah dibuat masiri’ (di permalukan). Perbuatan yang

membuat orang merasa malu adalah tindakan orang yang mengabaikan konsepsi tentang

martabat dan harga diri yang dipegang seseorang. Keadaan seperti itu, orang yang

telah ri pasiri’ ki(dibuat malu) diharapkan berbuat sesuatu untuk memulihkan kembali

harga diri yang ternodai dengan menagihnya pada pihak yang mencorengnya. Noda yang

melekat pada seseorang yang kehilangan siri’ , harga diri atau martabat, sangat besar

sehingga orang itu akan mengorbankan hidup dalam usaha menghilangkan rasa malu dan

Page 2: BAB II

memulihkan harga diri. Ada pepatah dalam masyarakat Bugis bahwa lebih baik mati

mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) dari pada terus hidup tanpa siri’. Siri’e mi ri

onroang ri lino. Artinya hanya siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini,

termaktub arti siri’ sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada

seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri hidup itu lebih berarti (Silvia, 2008).

Mate siri’. Artinya orang yang sudah hilang harga dirinya dan tidak lebih dari bagkai

hidup. Orang Sulawesi Selatan yang merasa mati siri’ akan melakukan jallo’ (amuk), hingga ia

mati sendiri. Jallo’ yang demikian disebutnapattatongngi siri’na artinya ditegakkan kembali

harga dirinya. Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah

perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh denganjallo’ dengan

latar belakang siri’. Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang  masuk dalam

kategori tersebut yang merasakan siri’ yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat

sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah perempuan yang

sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakekatnya apa yang kelihatan

oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompk masyarakat tertentu

sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja  dari suatu kompleksitas sebab-

sebab lain yang menjadikan  ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas

sosialnya (Rahmat, 2001).

Perkawinan adalah hal yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri’. Apabila

pinangan seseorang ditolak, pihak peminang bisa merasa kehilangan kehormatan (de’gaga

siri’na)  sehingga terpaksa menempuh jalan kawin lari (silariang) untuk menghidupkan kembali

harga dirinya. Namun, keluarga gadis yang dilarikan tersebut justru merupakan suatu penghinaan

yang amat sangat, sehingga semua kerabat laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk

membunuh si pelaku demi menegakkan siri’keluarga. Tugas pembelaan kehormatan tersebut

baru bisa berakhir apabila usaha rekonsilasi secara formal dilakukan, setelah melewati proses

negosiasi yang rumit dan lama diantara kedua belah pihak. Situasi semacam ini, tentu saja, dapat

menyebabkan lahirnya dendam warisan sampai beberapa generasi berikutnya. Jika ternyata si

gadis pergi bersama dengan si pemuda bukan atas keinginannya sendiri tapi karena dipaksa

(Ilariang), jalan damai telah tertutup. Bukan hanya si laki-laki tapi juga seluruh kerabat laki-laki

dianggap telah melakukan penghinaan dan semuanya bisa dibunuh tanpa rasa sesal sedikit pun

(Rahmat, 2001).

Sebenarnya, telah menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk senantiasa melindungi

kehormatan keluarganya, terutama kehormatan para perempuan. Begitu juga halnya dengan

pengikut yang membela kehormatan pemimpinnya dan sebaliknya, seorang pemimpin yang

membela kehormatan pengikutnya. Apabila seseorang gagal melaksanakan tugas perlindungan

dan pembelaan tersebut, dia akan dicap pengecut dan tidak terhormat serta kehilangan harga

Page 3: BAB II

dirinya (de’ gaga siri’na) dimata masyarakat. Satu-satunya pilihan baginya adalah pindah ke

tempat lain dimana dia tidak dikenal. Di sisi lain, pengasingan atau perantauan, jika dilakukan

langsung setelah seseorang dipermalukan, mungkin sebagai jalan keluar yang tepat, karena jika

membalas dendam akan bertentangan dengan tuntutan sosial lainnya. Dengan

demikian siri’ bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul secara spontan. siri’ lebih

sebagai suatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat

menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi

sosial masyarakat Bugis (Rahmat, 2001).

Pesse’ konsepsi ini mempunyai banyak persamaan gagasan tentangsiri’. Pesse’ berarti rasa

pedih, tapi juga mempunyai pengertian lain yaitu rasa simpati, empati terhadap kawan atau

keluarga. Sebagaimana dalamsiri’, dalam pesse’ tidak ada pertentangan antara makna-makna tadi

yang berasal dari istilah tunggal ini. Sebaliknya, dalam kenyataan, makna-makna itu mengangkat

sebuah gagasan yang menyatu. Empati yang dirasakan seseorang terhadap sekampung yang

berada dalam kesukaran ditampakkan dalam bentuk emosi rasa sakit karena dia merasakan hal

yang sama secara spiritual. Emosi pesse’ inilah yang mengikat orang Bugis atau Makassar pada

kampung halamannya bahkan setelah lama dia pergi dan berperan sebagai perangsang bagi dia

untuk kembali ke komunitas aslinya. Seseorang juga dapat menampakkan pesse’ kepada

komunitasnya yang sedang menderita meski dia tidak terkena dampak langsung. Sebagaimana

halnya siri’,perasaan empati dan simpati atau pesse meminta tindakan untuk menghilangkan

penyebab kesukaran. Kedua konsepsi ini sangat berkaitan erat. Tindakan merusak siri’ terhadap

seseoranglah yang menciptakan situasi pesse’. Tekanan pesse’ komunitas terhadap seseorang

yang telah dibuat siri’, atau dipermalukan, dapat memaksa orang itu mengambil langkah yang

bagi masyarakat dianggap prosedur layak dalam situasi seperti itu. Keberadaan tekanan sosial

semacam ini dapat dilihat pada pepatah Mate rigollai, mate risantangi’. Artinya mati dilumuri

gula, mati diberi santan (Rahmat, 2001).

Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan terancam martabat atau harga diri seseorang

sebagai manusia jika siri’nya tak bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal

ditingkatkan. Siri’ seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang

dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan pesse’ Sikap kepedulian tinggi pada

nasib orang lain dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan

kelebihan lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka

yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan. “Sipakatau” dan “Sipakalebbi” adalah contoh sikap dan

perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas siri’. Semakin memberi

kelebihannya bagi orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri’) seseorang

sebagai manusia dan hamba Allah di bumi. Seorang yang punya siri’ sebagai akibat dari

akumulasi perbuatan baik yang lempu, akan merasa malu jika tidak berbuat baik kepada orang

lain. Dia akan merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa

Page 4: BAB II

malu karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah sendiri di

tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral yang dialaminya. Perasaan

prihatin dan peduli demikian bersendi pada rasa pesse’. Pada akhirnya, seorang yang merasa

bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan melanggar rasa malu

(Rahmat, 2001).

B. Pendidikan Berkarakter

1. Pengertian Berkarakter

Pengertian Pendidikanpada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi

pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras

dengan alam dan masyarakatnya” (Akmal, 2009)

John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa Pendidikan itu

meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang

dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat

kesempurnaan (Akmal, 2009).

Pendidikan, menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari

penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik

dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam

sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. (Akmal, 2009).

Secara bahasa, karakter dapat pula dipahami sebagai sifat dasar, kepribadian,

perilaku/tingkah laku, dan kebiasaan yang berpola. Perspektif pendidikan karakter adalah

peranan pendidikan dalam membangun karakter peserta didik. Pendidikan Karakter

adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi agama,  sosial,

budaya, yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan,

perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian. Namun dengan adanya Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk

menerapkan pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan

(Akmal, 2009).

2. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter  yang terwujud dalam

kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi

Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi  seorang pribadi. Karakter

Page 5: BAB II

menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari

kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur (Hudzan, 2002) .

Tujuan Pendidikan Karakter meliputi (Akmal, 2009) :

1. Mendorong kebiasaan dan perilaku yang terpuji  sejalan dengan nilai-nilai universal,

tradisi budaya, kesepaatan sosial dan religiositas agama.

2. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai penerus bangsa.

3. Memupuk kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak

terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial.

4. Meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri,

orang lain dan lingkungan.

5. Agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan

pengahargaan harkat dan martabat manusia.

3. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Nilai-nilai di bawah ini merupakan uraian berbagai perilaku dasar dan sikap yang

diharapkan dimiliki peserta didik sebagai dasar pembentukan karakternya yakni: nilai

keutamaan, nilai kerja, nilai cinta tanah air (patriotisme), nilai demokrasi, nilai kesatuan,

menghidupi nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai di atas diambil sebagai garis

besarnya saja, sifatnya terbuka,artinya masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang

relevan dengan situasi sekolah. Misalnya: taqwa kepada Tuhan, tanggung jawab, disiplin,

mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerja sama, percaya diri,

kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah

hati, toleransi, cinta damai, dan persatuan, dapat dipercaya,rasa hormat dan perhatian,

peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan/citizenship, ketulusan, berani, tekun,

integritas, jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama.

(Akmal, 2009).

Page 6: BAB II

4. Prinsip Pelaksanaan Pendidikan karakter

Pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah

dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja di sekolah tersebut.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain, (Akmal, 2009) :

a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan

atau kamu yakini.

b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa

dirimu.

c. Karakter  yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan cara-

cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab

mengandung resiko.

d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai

patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.

e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa

mengubah dunia.

f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi

yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk

dihuni.

5. Strategi dan Metodologi Pendidikan Karakter

Strategi yang diterapkan oleh pendidikan karakter  yaitu dengan menggunakan

strategi terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya. Nilai-nilai karakter dapat disampaikan

melalui mata pelajaran: agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), pendidikan jasmani

dan olah raga, IPS, bahasa Indonesia dan pengembangan diri. Pendidikan karakter di

sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai. Pendidikan karakter agar dapat

Page 7: BAB II

disebut sebagai integral dan utuh harus menentukanmetode yang dipakai, sehingga

tujuan pendidikan karakter itu akansemakin terarah dan efektif. Adapun unsur-unsur yag

harus dipertimbangkan dalam menentukan metode yang dapat diterapkan dalam

pendidikan karakter antara lain (Akmal, 2009) :

Mengajar, yaitu dengan cara mengajarkan nilai-nilai itu sehingga peserta didik memiliki

gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bias dikembangkan dalam

mengembangkan karakter pribadinya. Keteladanan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan

oleh guru, kepalasekolah, dan staf administrasi disekolah yang dapat dijadikan sebagai

model teladan bagi siswa.Karena siswa akan lebih banyak belajar dari apa yang mereka

lihat.

Menentukan prioritas, yaitu setiap yang terlibat dalam sebuah lembaga pendidikan

yang ingin menekankan pendidikan karakter juga harus memahami secara jernih prioritas

nilai apakah yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter dalam satuan pendidikan

tertentu.

Refleksi, yaitu mengadakan semacam pendalaman, refleksi untuk melihat sejauh mana

satuan pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikankarakter.

Metode-metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan karakter misalnya dengan

menggunakan pendekatan penanaman nilai (InculcationApproach), perkembangan moral

kognitif, analisis nilai (Values Analysis Approach), klarifikasi nilai, pembelajaran

berbuat (ActionLearning Approach), Student Active Learning, Developmentally

Appropriate Pro Contextual Learning yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang

efektif dan menyenangkan.

6. Penilaian Pendidikan Karakter

Penilaian adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala,

berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan serta

perkembangan karakter yang dicapai siswa. Tujuan penilaian dilakukan untuk mengukur

seberapa jauh nilai-nilai yang dirumuskan sebagai standar minimal telah dikembangkan

dan ditanamkan di sekolah serta dihayati, diamalkan, diterapkan dan dipertahankan oleh

siswa dalam kehidupan sehari-hari (Akmal, 2009).

Page 8: BAB II

Penilaian pendidikan karakter lebih dititik beratkan kepada keberhasilan penerimaan

nilai-nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan nilai-nilai karakter 

yangditerapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penilaian dapat

berbentuk penilaian sikap dan perilaku, baik individu maupun kelompok. Cara penilaian

pendidikan karakter pada peserta didik dilakukan oleh semua guru. Penilaian dilakukan

setiap saat, baik pada jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran, dikelas maupun di luar

kelas dengan cara pengamatan dan pencatatan. Instrumen penilaian dapat berupa lemabar

observasi, lembar skala sikap, lembar portofolio, lembar check list, dan lembar pedoman

wawancara. Informasi yang diperoleh dari berbagai teknik penilaian kemudian dianalisis

oleh guru untuk memperoleh gambaran tentang karakter peserta didik. Gambaran

menyeluruh tersebut kemudian dilaporkan sebagai suplemen buku rapor oleh wali kelas.

(Akmal, 2009).

7. Peningkatkan Mutu Pendidikan Karakter di Jenjang Pendidikan

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,

Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter

untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan

konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur

dan jenjang pendidikan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas

pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan

memperkaya (Phonix, 1999).

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan

informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam

keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7

jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam

keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan

di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan

Page 9: BAB II

kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter

peserta didik (Phonix, 1999).

Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang

tua dalam mendidik anak dilingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan

sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap

perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk

mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu

memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga

dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di

sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama

dalam pembentukan karakter peserta didik (Phonix, 1999).

8. Memahami Pendidikan Berkarakter

Dalam era sekarang ini, pendidikan berkarakter sangat perlu diperdalam oleh setiap

guru yang mengajar di sekolah. Hal ini tiada lain dalam upaya membentengi moralitas

pelajar agar tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif. Sebaiknya pembentukan pendidikan

karakter ini dimulai sejak usia dini, karena bila karakter sudah terbentuk sejak usia dini,

maka anak tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berbau negatif.

(Phonix,1999).

Pendidikan berkarakter juga harus bisa terintregrasi dengan baik dalam membangun

kepribadian anak didik. Karena dengan adanya pendidikan berkarakter ini, setidaknya

dalam proses pendidikan dapat membangun manusia Indonesia yang berkarakter.

Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan itu tidak hanya dari segi akademik semata,

melainkan moralitas juga dapat terbangun dengan baik dalam diri para generasi muda

dewasa ini. (Phonix,1999).

Namun untuk keberhasilan pendidikan itu sendiri, tidak berpusat dari faktor guru dan

fasilitas belajar mengajar semata. Melainkan disertakan adanya partisipasi masyarakat

dan keluarga khususnya orang tua juga turut berperan penting dalam menunjang

keberhasilan pendidikan berkarakter ini. Sebab waktu seorang anak di sekolah jauh lebih

sedikit ketimbang waktu mereka di rumah bersama orang tuanya.

Page 10: BAB II

Diterapkan pendidikan berkarakter, merupakan harapan semua pihak agar dapat

melahirkan didikan-didikan yang mampu menjawab tantangan jaman, serta tidak

terimbas oleh pengaruh negarif. disamping itu juga bisa melahirkan generasi yang

mandiri dan bertanggungjawab serta mampu membuka lapangan pekerjaan dengan

kemampuan enterpreneur yang dimiliki (Phonix,1999).

Kita sadari bersama, bahwa bangsa kita cukup banyak mengalami penurunan kualitas

karakter, mulai dari masalah gontok-gontokan , kurang kerja sama, lebih suka

mementingkan diri sendiri, golongan atau partai, sampai kepada sarat dengan korupsi,

kolusi dan nepotisme. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter yang

ditanamkan sejak dini, terkait karakter perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan,

bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir.

(Phonix, 1999).

Dengan kata lain bahwa membangun insan berkarakter merupakan upaya kesadaran

dalam memperbaiki dan meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat istiadat,

nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat dan pikiran bangsa kita ini. Memang untuk

mewujudkan insan berkarakter ini memerlukan waktu dan upaya. Namun alangkah

baiknya diawali dari lingkup yang terkecil seperti keluarga dan sekolah yang

dilaksanakan dengan menganalogikan proses pembelajaran. Tentu saja dilaksanakan

melalui pembelajaran yang dapat mengadopsi semua nilai-nilai karakter bangsa yang

akan dibangun (Phonix, 1999).