of 18 /18
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Melanjutkan pendidikan program dokter spesialis (PPDS) merupakan dambaan setiap dokter yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran. Program pendidikan dokter spesialis, terutama spesialis bedah, seringkali menimbulkan stres pada kehidupan profesional seorang PPDS. Dokter PPDS diharapkan mampu memenuhi tuntutan klinis, akademis, fisis, dan sosial. Sementara, PPDS pada umumnya bekerja hingga 80 jam per minggu (Katz, Sharp & Ferguson, 2006). Stres dapat menjadikan seorang dokter tidak mampu bertanggung jawab secara penuh terhadap diri dan pekerjaannya (Rios, Gascon, Lage & Guerrero, 2006). Salah satu alasan adalah kondisi kerja yang tidak menguntungkan yang dialami oleh ahli bedah telah menyebabkan penurunan jumlah ahli bedah dan, pada gilirannya, telah menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam beban kerja dan risiko kesalahan dokter bedah. Waktu operasi rata-rata adalah 210 menit. Analisis urin menunjukkan bahwa tingkat biopirin secara signifikan lebih tinggi setelah operasi 210 menit atau yang lebih lama, dibandingkan dengan 209 menit atau yang lebih pendek dan tingkat ini juga meningkat setelah suatu operasi dengam 200 gram atau lebih darah hilang. Berdasarkan tingkat urin biopirin, dokter bedah mengalami lebih banyak stres pada pagi hari setelah tugas malam (Yamaguchi, 2011).

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

  • Author
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

dambaan setiap dokter yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran.
Program pendidikan dokter spesialis, terutama spesialis bedah, seringkali
menimbulkan stres pada kehidupan profesional seorang PPDS. Dokter PPDS
diharapkan mampu memenuhi tuntutan klinis, akademis, fisis, dan sosial.
Sementara, PPDS pada umumnya bekerja hingga 80 jam per minggu (Katz, Sharp
& Ferguson, 2006). Stres dapat menjadikan seorang dokter tidak mampu
bertanggung jawab secara penuh terhadap diri dan pekerjaannya (Rios, Gascon,
Lage & Guerrero, 2006).
Salah satu alasan adalah kondisi kerja yang tidak menguntungkan yang
dialami oleh ahli bedah telah menyebabkan penurunan jumlah ahli bedah dan,
pada gilirannya, telah menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam beban
kerja dan risiko kesalahan dokter bedah. Waktu operasi rata-rata adalah 210
menit. Analisis urin menunjukkan bahwa tingkat biopirin secara signifikan lebih
tinggi setelah operasi 210 menit atau yang lebih lama, dibandingkan dengan 209
menit atau yang lebih pendek dan tingkat ini juga meningkat setelah suatu operasi
dengam 200 gram atau lebih darah hilang. Berdasarkan tingkat urin biopirin,
dokter bedah mengalami lebih banyak stres pada pagi hari setelah tugas malam
(Yamaguchi, 2011).
Yamaguchi (2011) menambahkan bahwa masalah kurang tidur kronis dan
terlalu banyak pekerjaan PPDS bedah telah menjadi isu penting di dunia,
termasuk Jepang. Sebuah kombinasi tidur siang berkualitas rendah dan
peningkatan tekanan tidur pada malam hari dapat menyebabkan rendahnya tingkat
kewaspadaan dan peningkatan risiko kesalahan pada orang yang bertugas malam,
seperti tenaga medis, dalam hal ini adalah seorang residen/PPDS.
Seperti yang diungkapkan oleh Issa, Yussuf, Olanrewaju & Oyewale
(2009), pendidikan kedokteran seringkali membutuhkan usaha dan kerja keras
yang penuh stresor, dan sering dilaporkan sebagai penyebab burnout, ansietas,
depresi, dan masalah psikososial pada residen. Stres yang terjadi meningkat
seiring dengan program residensi sebagai akibat meningkatnya pengharapan dan
tanggung jawab, karena residen diharapkan untuk menjadi klinisi, pendidik,
peneliti, dan administrator yang baik di akhir masa pendidikan. Konsekuensi dari
tingginya stres dapat berujung pada depresi, burnout, kemarahan, iritabilitas,
ansietas, kurang tidur, kelelahan, hingga penyalahgunaan zat.
Menurut Brantley (dalam Maruish, 2002), stres dapat disebabkan oleh
peristiwa hidup dan kejadian-kejadian kecil yang terjadi setiap hari. Peristiwa
hidup adalah peristiwa penting yang dapat mempengaruhi hidup seseorang,
misalnya pernikahan, kelahiran, kematian, kehilangan pekerjaan, dan lain
sebagainya. Sebagian besar stres yang dihadapi setiap hari memang tidak
seekstrem peristiwa hidup. Kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari
dan dapat menyebabkan stres disebut daily hassles, misalnya bersaing dengan
seseorang, mendengar kabar buruk, mengalami pengeluaran yang tak terduga,
3
terburu-buru untuk memenuhi deadline, bertengkar dengan orang lain, dan lain
sebagainya.
Hasil wawancara awal dengan salah satu dokter Program Pendidikan
Dokter Spesialis di salah satu rumah sakit, berinisial LR (perempuan, 32 tahun),
menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan dokter PPDS bedah masih
dilakukan sesuai dengan tugas yang diberikan, namun kadangkala apabila
intensitas jumlah pasien bedah meningkat, baik pada siang hari maupun malam
hari, membuat beban kerja menjadi berlebihan dan apabila berkelanjutan
menyebabkan kelelahan yang berujung pada penurunan kualitas pelayanan. Ketika
LR merasa kualitas pelayanannya menurun, LR berpikiran bahwa dirinya tidak
berkompeten sebagai seorang dokter PPDS Bedah. Hal ini membuat LR menjadi
sedih, mudah marah dan tidak bersemangat (wawancara, 23 Agustus 2015).
Salah satu dokter PPDS bedah plastik berinisial MK (perempuan, 30
tahun) mengeluhkan bahwa minimnya waktu yang dimiliki untuk istirahat
membuat kinerja saat operasi menjadi kurang optimal seperti mengalami migrain
dan nyeri pada punggung. Sebagai seorang dokter PPDS bedah plastik, terdapat
tuntutan yang tinggi terkait dengan hasil operasi. Dalam operasi maupun tindakan
yang dilakukan, dokter PPDS bedah plastik dituntut untuk dapat memberikan
hasil yang maksimal dan rapi sesuai dengan estetika yang ada, sehingga muncul
perasaan khawatir, penuh tekanan dan ketegangan jika hasil atau tindakan yang
diberikan tidak sesuai dengan tuntutan yang diberikan kepada MK. Hal inilah
yang menyebabkan MK selalu berpikir bahwa apabila MK tidak memberikan
hasil operasi yang sempurna, maka MK tidak berhasil menjalani operasi dengan
4
baik. Hal inilah yang menyebabkan MK berpikir untuk lebih berfokus pada proses
operasi saja dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain dikarenakan adanya
penilaian dari segi estetika hasil operasi. Tidak jarang dikarenakan MK yang
selalu berpikir bahwa proses menjadi seorang dokter PPDS Bedah merupakan hal
yang sangat penting dan utama, mengakibatkan interaksi sosial MK dengan rekan
sesama PPDS bedah lainnya menjadi kurang terjalin dengan baik. MK
mengeluhkan bahwa MK merasakan adanya perubahan pada emosi seperti
ketegangan, khawatir, mudah marah, dan kebosanan selama menjalani proses
menjadi dokter PPDS bedah. Tidak hanya itu, MK juga mengalami penurunan
nafsu makan dan gangguan tidur (wawancara, 12 September 2016). Hal yang
terjadi pada MK sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hayes & Rogers (2008)
bahwa cara dan pola berpikir seseorang mempengaruhi perilaku dan perasaan
yang akan dimunculkan dalam situasi spesifik. Penelitian Loehr (dalam Santrock,
2003) menunjukkan bahwa suasana hati yang negatif memungkinkan untuk
marah, merasa bersalah, dan memperbesar kesalahan yang telah terjadi.
Jumlah mahasiswa yang mengalami stres akademik meningkat setiap
semester (Govaerst & Gregoire, 2004). Stres yang paling umum dialami oleh
mahasiswa merupakan stres akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu
keadaaan individu mengalami tekanan hasil persepsi dan penilaian tentang stresor
akademik, yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan di
perguruan tinggi (Govaerst & Gregoire, 2004).
Olejnik dan Holschuh (2007) menguraikan stres akademik, sebagai suatu
respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus
5
banyaknya tugas yang harus dikerjakan individu. Stres adalah perasaan lelah
(kewalahan) akibat peristiwa-peristiwa yang tidak mampu dikendalikan dan stres
juga merupakan respon fisik dan psikologis terhadap tuntutan dan tekanan (Larsen
& Buss, 2008). Menurut Atkinson, Atkinson & Hilgard (2004), peristiwa yang
dirasakan sebagai stres biasanya masuk ke dalam salah satu atau lebih kategori
berikut : peristiwa traumatik di luar rentang pengalaman manusia yang lazim,
peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan,
peristiwa yang menantang batas kemampuan dan konsep diri individu atau konflik
internal.
menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung mengalami stres berkaitan dengan
perkuliahan, manajemen waktu, kesehatan, dan tekanan pada diri sendiri. Faktor
penyebab stres akademik, diantaranya persiapan belajar untuk ujian, tingkat
persaingan, dan pencapaian standar nilai yang memuaskan. Penelitian yang
dilakukan oleh Gadzella dan Masten (2004) mengungkapkan bahwa mahasiswa
yang dapat mengelola emosinya dengan baik mampu mengendalikan kecemasan,
dan tidak mudah mengalami frustrasi. Hal lain yang juga dapat diketahui adalah
bahwa mahasiswa yang memiliki kebiasaan belajar yang baik tidak mengalami
stres ketika belajar.
6
berdampak positif atau negatif (Agolla & Ongori, 2009). Menurut Goff (2011),
peningkatan jumlah stres akademik akan menurunkan kemampuan akademik yang
berpengaruh terhadap indeks prestasi. Beban stres yang dirasa terlalu berat dapat
memicu gangguan memori, konsentrasi, penurunan kemampuan penyelesaian
masalah, dan kemampuan akademik (Goff, 2011). Dampak positif dari stres,
berupa peningkatan kreativitas dan memicu pengembangan diri, selama stres yang
dialami masih dalam batas kapasitas individu. Stres tetap dibutuhkan untuk
pengembangan diri mahasiswa (Smeltzer & Bare, 2008).
Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan
untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik
yang semakin meningkat, sehingga individu semakin terbebani oleh berbagai
tekanan dan tuntutan (Alvin, 2007). Lazarus berpendapat berbagai kejadian dinilai
oleh tiap individu melalui dua langkah, yaitu primer dan sekunder. Penilaian
primer (primary appraisal) merupakan penilaian sebuah situasi atau kejadian
mengandung bahaya, menimbulkan ancaman atau tantangan atau tidak. Apabila
dinilai sebagai situasi yang membahayakan, maka akan mengarah pada potential
injury. Penilaian kondisi sebagai ancaman akan menyebabkan stres atau rasa
takut, dan penilaian kondisi sebagai tantangan akan mengarah pada growth atau
pertumbuhan. Setelah penilaian ini dilakukan, Lazarus mengatakan individu akan
melakukan penilaian sekunder untuk mengevaluasi potensi atau kemampuan
individu mampu untuk menghadapi tekanan atau tidak (Grant, Compas, Thurm,
McMohan & Gipson 2006).
Beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan
antara stres dengan penyakit, menyatakan bahwa stres akut akan bisa menurunkan
daya tahan tubuh manusia. Beberapa studi kasus telah menunjukkan bahwa
beberapa hormon stres dikeluarkan tubuh ketika beban berlebihan datang. Hal ini
akan bisa mempengaruhi kemampuan kelenjar timus untuk menstimulasi dan
mengatur aktivitas leukosit (sel darah putih). Terganggunya aktivitas sel darah
putih inilah yang akan bisa menurunkan imunitas dan daya tahan tubuh akan
menurun, karena salah satu fungsi leukosit ini adalah memerangi berbagai jenis
virus bakteri yang masuk ke dalam tubuh (Nevid, 2005).
Bila terganggu, maka otomatis tubuh akan lebih mudah terserang berbagai
jenis penyakit yang berkaitan dengan imunitas tubuh sendiri. Stres akan
meningkatkan hormon tubuh yang bernama adrenalin ke dalam saluran darah.
Hormon ini bersama-sama dengan beberapa hormon yang lain akan menyebabkan
beberapa perubahan terjadi di dalam tubuh sebagai persiapan untuk melindungi
diri. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah denyut jantung akan
meningkat dan tekanan darah akan meningkat pula. Bila hal ini dibiarkan, maka
hal ini akan bisa berakibat buruk terhadap kesehatan jantung serta kesehatan
pembuluh darah (Davison, Neale & Kring, 2012).
Lebih lanjut, Davison, Neale & Kring (2012) menjelaskan bahwa stres
juga akan meningkatkan tekanan darah, di samping juga akan memudahkan
proses pembekuan darah. Jika stres pada individu tidak tertangani, maka bukan
tidak mungkin stres tersebut akan membuat individu menjadi frustrasi. Tingkatan
stres pada individu satu sama lain berbeda-beda. Individual differences tersebut
8
karena adanya faktor jenis kelamin, usia, tingkah laku, intelegensi, afeksi, budaya,
dan sebagainya. Stres adalah hal yang alamiah, sehingga tidak perlu berlebihan
ketika stres datang. Dokter PPDS bedah harus menjadikan stres sebagai tantangan
agar dapat mengelola stres dengan baik, karena jika stres bisa dikelola dengan
baik, stres tersebut akan bisa menjadi bermanfaat untuk kehidupan (Jusung,
2006).
Stres yang melebihi tahap tertentu apabila tidak dikelola dengan sebaik-
baiknya akan menimbulkan berbagai masalah bagi residen/dokter PPDS bedah
(Romas & Sharma, 2004). Pengelolaan stres biasanya berhubungan dengan
strategi koping. Koping membantu individu menghilangkan, mengurangi,
mengatur atau mengelola stres yang dialaminya. Koping dipandang sebagai faktor
penyeimbang usaha individu untuk mempertahankan penyesuaian dirinya selama
menghadapi situasi yang dapat menimbulkan stres. Menurut Sarafino (2006),
usaha koping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari
suatu masalah yang menimbulkan situasi stres. Individu melakukan proses koping
terhadap stres melalui proses transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan
kognitif.
adanya penanganan guna mengatasi stres. Seperti penelitian yang telah dilakukan
oleh Hariyanto, Supriyono & Lestari (2012) dengan menggunakan latihan body
scan terhadap stres mahasiswa keprofesian dokter yang akan menjalani ujian
rotasi klinik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan body scan
terbukti mampu menurunkan tingkat stres, namun penelitian ini hanya
9
memberikan penekanan pada aspek fisik saja, yaitu mempersiapkan tubuh untuk
lebih peka dan mempersiapkan individu untuk dapat mengenali tubuhnya sendiri.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Subekti (2011) menggunakan metode
relaksasi untuk menurunkan stres dan keluhan tukak lambung pada penderita
tukak lambung kronis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa relaksasi
terbukti mampu menurunkan tingkat stres, namun penelitian ini hanya
memberikan penekanan pada aspek fisik saja, yaitu melalui teknik relaksasinya.
Selain itu, kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti sulit dalam mengontrol
tugas rumah yang diberikan, yaitu berupa melakukan relaksasi secara berkala
sesuai dengan yang telah disepakati pada saat proses pelatihan.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewi (2009) dengan menggunakan
terapi musik untuk menurunkan stres pada mahasiswa. Penelitian tersebut
menggunakan terapi musik sebagai salah satu teknik relaksasi yang hanya
berpusat pada emosinya saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik dapat
menurunkan stres. Kelemahan dari penelitian ini adalah apabila melakukan
relaksasi tanpa adanya musik hasilnya tidak signifikan dalam menurunkan stres
jika dibandingkan dengan relaksasi dengan menggunakan musik. Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Rohmah (2007) melalui diskusi kelompok dan
pelatihan efikasi diri untuk menurunkan stres mahasiswa yang sedang skripsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres
pada mahasiswa. Penelitian tersebut hanya berpusat pada perubahan perilaku saja
dalam menurunkan stres. Selain itu, stres dapat muncul setelah pelatihan
dilakukan pada individu yang yang sudah tidak mengikuti diskusi kelompok.
10
Sumber permasalahan berupa pola pikir yang negatif, baik terhadap diri
sendiri, lingkungan maupun masalah yang dihadapi, merupakan suatu ancaman
bagi keberlangsungan hidup yang dapat menjadi penyebab munculnya stres,
sehingga diperlukan adanya suatu upaya untuk mengatasi hal tersebut (Stallard,
2005). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengelola pikiran-pikiran
negatif adalah dengan pendekatan restrukturisasi kognitif. Terapi kognitif atau
pendekatan rekstrukturisasi kognitif yang diusulkan oleh Beck bertujuan untuk
mengubah pola pikir yang maladaptif menjadi lebih adaptif, melalui cara
mengubah sistem keyakinan seseorang dan meningkatkan kejernihan intrepretasi
logis terhadap sebuah pengalaman. Ellis (dalam Corey, 2007) menyatakan bahwa
seseorang mampu memodifikasi keyakinan-keyakinannya dengan melatih
kemampuan berpikirnya. Saat ini perkembangan ilmu psikologi membuka
berbagai ruang baru dalam memberikan berbagai alternatif terkait dengan
intervensi, salah satunya berupa pelatihan berpikir positif. Hal inilah yang
menyebabkan peneliti menawarkan pelatihan berpikir positif pada PPDS Bedah.
Berpikir positif berkaitan dengan pola hidup yang berorientasi pada keyakinan
yang positif, dengan berpikir positif seorang residen mampu bertahan dalam
situasi yang penuh stres (Kivimaki, Elovainio, Singh-Manoux, Vahtera, Helenius,
Pentti, 2005).
kognitif yang bertujuan untuk membantu seseorang mengenali pola pikir dan
memahami, mengubah pola pikir yang negatif menjadi pola pikir positif yang
11
kehidupan yang datang.
Berdasarkan latar berlakang masalah tersebut, permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada perubahan tingkat stres pada PPDS
Bedah ketika diberi intervensi berupa pelatihan berpikir positif ?”. Berdasarkan
permasalahan tersebut pula, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Efektivitas Pelatihan Berpikir Positif untuk Menurunkan Stres pada PPDS
Bedah”.
pelatihan berpikir positif dalam menurunkan stres akademik yang dialami oleh
dokter PPDS bedah.
C. Manfaat Penelitian
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat teoritis
klinis dan psikologi positif, serta memperkaya hasil-hasil penelitian
sebelumnya mengenai efektivitas pelatihan berpikir positif untuk menurunkan
stres akademik pada PPDS Bedah.
12
acuan dalam rangka menurunkan tingkat stres akademik melalui pelatihan
berpikir positif pada PPDS Bedah.
D. Keaslian Penelitian
menggunakan variabel pelatihan berpikir positif dan stres akademik. Namun, yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada
subjek penelitiannya. Penelitian pertama adalah tentang “Efektivitas pelatihan
berpikir positif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa” tahun 2009 oleh
Kholidah. Subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Unversitas PGRI Yogyakarta berjumlah 48 berstatus sebagai
mahasiswa aktif, mengalami stres dalam kategori sangat tinggi dan tinggi dan
bersedia dengan suka rela mengikuti pelatihan. Mereka dibagi atas dua kelompok,
kelompok yang mendapat pelatihan (kelompok eksperimen) berjumlah 24 orang
dan kelompok kontrol (waiting list) berjumlah 24 orang. Skala tingkat stres pada
mahasiswa (STSM) yang digunakan sebagai skrining untuk mengungkap ada
tidaknya gangguan stres pada mahasiswa, diberikan pada waktu seleksi subjek.
Analisis uji-t; dengan menganalisis perbedaan gained score antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil bahwa : Pelatihan
berpikir positif efektif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa. Hal ini
ditunjukkan dengan perolehan hasil t hitung pada data gained score (peningkatan
13
berpikir positif) sebesar 8,232 dengan p = 0,001 dan gained score (penurunan
tingkat stres pada mahasiswa) sebesar -8,148 dengan p = 0,001. Dengan demikian,
pelatihan berpikir positif memberikan sumbangan efektif sebesar 22,1% untuk
meningkatkan berpikir positif mahasiswa. Pelatihan berpikir positif memberikan
sumbangan efektif sebesar 20,16% untuk menurunkan tingkat stres pada
mahasiswa.
regulasi emosi untuk menurunkan stres caregiver lansia”. Subjek dalam penelitian
ini berjumlah empat orang dengan karakteristik individu yang memiliki dan
merawat lansia hipertensi. Metode penelitian kuasi eksperimen dengan disain
penelitian the one group pretest and posttest design. Hasil penelitian
menunjukkan ada perbedaan stres caregiver sebelum dan setelah diberi pelatihan
regulasi emosi. Hal ini berarti regulasi emosi efektif untuk menurunkan stres
caregiver lansia. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut milik Robinson
mengenai stress caregiver.
terhadap pengurangan stres dan peningkatan optimisme pada penganggur di
Yogyakarta”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Karjuniwati (2010). Subjek pada
penelitian tersebut adalah penganggur yang ada di Yogyakarta. Hal ini
dimaksudkan agar peneliti dapat memberikan saran pada penganggur setengah
pengangguran yang mengalami stres dan pesimis untuk menerapkan konsep-
konsep regulasi emosi secara tepat serta lebih bersemangat mencari pekerjaan.
Hasil yang didapatkan adalah bahwa dengan pelatihan regulasi emosi, stres subjek
14
menjadi berkurang dan subjek dapat memunculkan rasa optimis serta semangat
dalam mencari pekerjaan.
partisipan sebanyak 34 mahasiswa (22 laki-laki dan 12 perempuan) Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya Malang angkatan 2008-2010 yang sedang
mengerjakan skripsi. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian
eksperimen murni dengan disain pretest-posttest control group design, yaitu
dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. Untuk mengukur
tingkatan stres digunakan alat ukur berupa Percieved Stress Scale (PSS).
Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa humor mempengaruhi skor atau
tingkatan stres. Partisipan yang mendapatkan media humor mengalami penurunan
skor atau tingkatan stres dibandingkan dengan partisipan yang tidak mendapatkan
media humor (video dokumenter). Penurunan stres pada kelompok yang diberi
media humor ini besar kemungkinan dikarenakan media humor dapat
menstimulasi partisipan untuk tertawa dan merasa bahagia.
Penelitian kelima berjudul “Pengaruh self-regulated learning dan koping
kultural terhadap stres dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa di
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.
Penelitian ini dilakukan oleh Mayudia (2012). Subjek yang diambil dalam
penelitian tersebut adalah laki-laki dan perempuan berusia 18-25 tahun yang
kuliah di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh dalam
15
uji regresi diketahui koefisien determinasi R Square (R2) menunjukkan nilai
sebesar 0.570 atau 57%. Hal ini berarti self regulated learning dan koping kultural
memberikan sumbangsih sebesar 57%, sedangkan 43% sisanya dapat dijelaskan
oleh variabel lain selain self regulated learning dan koping kultural. Hasil regresi
pada demografi pada self regulated learning dan koping kultural yaitu jenis
kelamin, hanya memberikan 2% bagi perubahan variabel stress.
Penelitian keenam berjudul “Pengaruh latihan body scan terhadap stres
mahasiswa keprofesian dokter yang akan menjalani ujian rotasi klinik”. Penelitian
tersebut dilakukan oleh Hariyanto, Supriyono & Lestari (2012). Penelitian
tersebut menggunakan metode penelitian eksperimen murni dengan disain pretest-
posttest control group design yaitu dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah
perlakuan. Untuk mengukur tingkatan stres digunakan alat ukur berupa Student-
life Stress Inventory (SLSI). Jumlah partisipan dalam eksperimen tersebut adalah
44 orang. Hasil uji bootstrap analysis menunjukkan bahwa latihan body scan
dapat secara signifikan menurunkan stres.
Penelitian ketujuh berjudul “Efektivitas pelatihan pemaknaan surat Al –
Insyirah untuk mengurangi stres mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi”.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Zahra (2013). Jumlah partisipan sebanyak 15
mahasiswa (delapan kelompok eksperimen dan tujuh pada kelompol kontrol).
Hasil tes menggunakan teknik analisis statistik Mann Whitney test menggungkap
bahwa Mann Whitney U sebagai post-test pada p = 0,049 (p < 0,05, signifikan),
sehingga menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam skor post-test antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
16
terhadap stres dalam menyusun skripsi pada mahasiswa PSIK Semarang”.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Primadita (2012). Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian tersebut adalah purposive sampling dengan jumlah responden 31
orang. Jenis penelitian adalah pra-eksperimen yang termasuk ke dalam pre test
dan post test satu kelompok disain. Analisis data statistik yang digunakan adalah
Wilcoxon Match Pairs Test. Pengumpulan data dilakukan pada saat sebelum dan
setelah terapi diberi musik klasik dengan menggunakan Instrumen DASS 42 yang
dikembangkan oleh Lovibond dan Lovibond (1995) digunakan sebagai pengukur
item. Berdasarkan penelitian tersebut, ada perbedaan dalam tingkat stres
responden sebelum dan setelah terapi diberikan musik klasik. Dari hasil uji
Wilcoxon untuk tingkat stres sebelum dan sesudah terapi musik klasik, nilai
signifikansi yang diperoleh sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05.
Berdasarkan uraian penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan:
1. Keaslian topik
pelatihan berpikir positif untuk menurunkan stres pada PPDS Bedah belum
pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Kholidah (2009)
menggunakan variabel bebas pelatihan berpikir positif, sedangkan variabel
tergantungnya adalah stres pada mahasiswa. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan topik efektivitas pelatihan berpikir positif untuk menurunkan
stres akademik pada PPDS Bedah.
17
muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan
serta persepsi individu terhadap banyaknya pengetahuan yang harus dikuasai
dan persepsi terhadap ketidakcukupan waktu untuk mengembangkan
pengetahuan yang harus dikuasai tersebut. Faktor-faktor stres yang digunakan
adalah faktor-faktor yang dikemukakan oleh Alvin (2007). Untuk pelatihan
berpikir positif, peneliti menggunakan konsep pelatihan model teori ABC
Ellis dan teori berpikir positif dari Elfiky (2008).
3. Keaslian alat ukur
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur varibel tergantung, yaitu stres,
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan alat ukur yang digunakan
untuk mengukur stres pada dokter PPDS bedah. Alat ukur stres akademik pada
dokter PPDS bedah merupakan adopsi dan modifikasi sesuai dengan keadaan
dokter PPDS bedah dari Perception of academic stress scale (PAS) yang
disusun oleh Bedewy dan Gabriel (2014) . Alat ukur berupa kuesioner yang
berisi pernyataan-pernyataan untuk mengukur stres akademik pada dokter
PPDS bedah.
telah ditentukan peneliti. Subjek dalam penelitian ini adalah dokter PPDS
Bedah.
18
Intervensi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan
berpikir positif. Penelitian ini menggunakan pelatihan berpikir positif yang
merujuk pada pendekatan model ABC Ellis serta aspek berpikir positif dari
Albercht (2003), yaitu harapan positif, afirmasi diri, pernyataan yang tidak
menilai dan pernyesuaian diri terhadap kenyataan.