21
1 BAB I PENGANTAR 1. Latar Belakang Permasalahan Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Parasit ini bersifat intraseluler, yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Ada lima spesies yang dapat menginfeksi manusia, yaitu : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi. Spesies yang banyak ditemui di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; Kemenkes RI 2011a; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu : bayi, balita, dan ibu hamil. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, diperkirakan 45% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 80% merupakan daerah endemis malaria (Kemenkes RI 2011b). Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah endemis malaria di wilayah barat Indonesia. Malaria di Propinsi Lampung dari tahun 2007 sampai 2010 dilaporkan memiliki Anual Parasite Incidence (API) masing-masing sebesar 0,33; 0,33; 0,78 dan 0,32 per 1000 penduduk. Nilai API Propinsi Lampung secara

BAB I PENGANTAR 1. Latar Belakang Permasalahanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75151/potongan/S3-2014... · 1. Latar Belakang Permasalahan Malaria adalah penyakit infeksi yang

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENGANTAR

1. Latar Belakang Permasalahan

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp.

Parasit ini bersifat intraseluler, yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles

betina. Ada lima spesies yang dapat menginfeksi manusia, yaitu : Plasmodium

falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan

Plasmodium knowlesi. Spesies yang banyak ditemui di Indonesia adalah P.

falciparum dan P. vivax (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs

dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; Kemenkes RI 2011a; Centers for

Disease Control and Prevention 2012).

Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat

menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu : bayi, balita,

dan ibu hamil. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, diperkirakan 45%

penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Dari seluruh

kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 80% merupakan daerah endemis malaria

(Kemenkes RI 2011b).

Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah endemis malaria di

wilayah barat Indonesia. Malaria di Propinsi Lampung dari tahun 2007 sampai

2010 dilaporkan memiliki Anual Parasite Incidence (API) masing-masing sebesar

0,33; 0,33; 0,78 dan 0,32 per 1000 penduduk. Nilai API Propinsi Lampung secara

2

umum masih dibawah angka rata-rata nasional tahun 2010 yaitu 1,96. Nilai API

ini, sesuai dengan kategori endemisitas yang dikeluarkan oleh Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia maka Propinsi Lampung secara keseluruhan

dikategorikan endemis rendah (Kemenkes RI 2011b). Beberapa lokasi di Propinsi

Lampung masih menunjukkan tingkat endemisitas sedang sampai tinggi seperti

kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan Padang Cermin

dan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran (Dinas Kesehatan Kabupaten

Pesawaran 2012; Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan 2012).

Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu daerah endemis malaria

dengan kategori sedang di Propinsi Lampung. Dinas Kesehatan Kabupaten

Pesawaran telah menetapkan penggunaan API sebagai indikator untuk melihat

kondisi malaria. Nilai API untuk Kabupaten Pesawaran pada tahun 2010 dan 2011

masing-masing adalah 2,77 dan 4,76 (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran

2012). Kabupaten Pesawaran, secara geografi merupakan daerah pesisir pantai

yang memiliki banyak genangan air, yang merupakan tempat yang cocok untuk

perindukan nyamuk Anopheles.

Angka kejadian malaria yang masih tinggi pada beberapa lokasi di

Indonesia termasuk di Kabupaten Pesawaran sangat berkaitan erat dengan

beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : perubahan lingkungan, mobilitas

penduduk yang cukup tinggi, perubahan iklim, status gizi masyarakat, program

pengendalian yang dilakukan dan faktor resistensi terhadap obat anti malaria

(Depkes RI 2009). Faktor-faktor ini baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-

3

sama akan mempengaruhi proses penularan malaria. Adanya perubahan pada

salah satu atau lebih faktor tersebut akan berpengaruh pada keseimbangan

ekosistem antara manusia, vektor, lingkungan dan parasit.

Pemerintah telah melakukan berbagai program pengendalian malaria

untuk mengatasi tingginya angka kejadiaan malaria saat ini. Pengendalian malaria

terus dikembangkan, mulai dari pengendalian vektor sampai pengendalian

parasite malaria. Program pengendalian malaria di Indonesia tertuang dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di

Indonesia secara bertahap sampai tahun 2030 (Kemenkes RI 2011b).

Salah satu faktor yang dapat menghambat pengendalian malaria adalah

resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria. Sejak dilaporkan resistensi

terhadap klorokuin yang terus menyebar ke seluruh daerah di Indonesia,

pemerintah membuat kebijakan-kebijakan baru dalam pengobatan malaria

(Depkes RI 2008). Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan standar

pengobatan malaria dengan menggunakan kombinasi berbasis artemisinin

(artemisinin based combination theraphy/ACT). Kebijakan pengobatan

menggunakan ACT ini dimulai sejak tahun 2004 dan saat ini telah

diimplementasikan di seluruh propinsi. Implementasi penggunaan ACT di

Kabupaten Pesawaran / Kabupaten Lampung Selatan telah dilaksanakan sejak

tahun 2004 tersebut. (Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI

2011b). Kajian tentang efektivitas berbagai obat antimalaria telah banyak

4

dilakukan. Hal ini karena suseptibilitas Plasmodium terhadap obat antimalaria

akan berpengaruh pada keberhasilan terapi yang pada akhirnya akan

mempengaruhi kejadian malaria tesebut.

Suseptibilitas Plasmodium terhadap antimalaria di Kabupaten Pesawaran

saat ini telah ditemukan dugaan kegagalan terapi, walaupun publikasi secara

ilmiah belum dilaporkan. Dugaan ini muncul dengan adanya kunjungan penderita

malaria secara berulang setelah mendapat pengobatan malaria. Kasus-kasus

malaria yang timbul di Kabupaten Pesawaran sebagian besar disebabkan oleh P.

falciparum dan P. vivax. Pengobatan pada penderita malaria yang dilakukan oleh

Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran mengacu pada standar pengobatan yang

dikeluarkan oleh kementerian Kesehatan. Seiring dengan perjalanan waktu

penggunaan ACT yang sudah cukup lama maka tidak menutup kemungkinan telah

ditemukan penurunan efektivitas ACT atau peningkatan resistensi Plasmodium

terhadap ACT. Kejadian malaria yang tetap tinggi dari tahun ketahun (API > 1)

(Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2012) merupakan salah satu alasan untuk

mengkaji efektivitas antimalarial tersebut.

Artemisinin combination theraphy merupakan terapi kombinasi malaria

lini pertama dengan kombinasi AAQ atau DHP dalam sedian fix dose yang

digunakan di Indonesia. Penggunaan kedua obat ini dikombinasikan dengan

primakuin untuk mengatasi parasit fase gametosit pada P. falciparum dan fase

hepatik pada P. vivax. Penggunaan kina, doksisiklin dan tetrasiklin ditetapkan

sebagai obat lini kedua (Kemenkes RI 2011a).

5

Identifikasi resistensi Plasmodium terhadap obat anti malaria, dapat

dilakukan dengan pendekatan in vitro maupun in vivo. Resistensi Plasmodium

terhadap obat antimalaria juga berkaitan dengan adanya polimorfisme gen

penyandi protein yang berhubungan dengan mekanisme kerja obat tersebut. Studi

dengan pendekatan molekuler telah dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa

mutasi gen yang bertanggungjawab terhadap resistensi. Polimorfisme pada gen

Plasmodium falciparum chloroquine resistance transporter (PfCRT) berhubungan

dengan resistensi P. falciparum terhadap klorokuin dan amodiakuin. Gen lain

yang juga telah diteliti adalah gen Plasmodium falciparum multi drug resistance 1

(PfMDR1) yang berhubungan dengan resistensi terhadap klorokuin, amodiakuin,

meflokuin, halofantrin dan kuinin. Polimorfisme pada gen penyandi enzim

dihydrofolate reductase (DHFR) berhubungan dengan resistensi terhadap

pirimetamin. Resistensi terhadap sulfadoksin berhubungan dengan polimorfisme

pada gen penyandi enzim dihydropteroate synthase (DHPS) (Syafruddin et al.,

2005).

Pola genetik yang dihubungkan dengan resistensi terhadap komponen

ACT pada P. falciparum sudah banyak dilaporkan namun masih belum banyak

dimengerti. Artemisinin merupakan antimalaria yang efek kerjanya berhubungan

dengan penghambatan sarcoendoplasmic reticulum calcium-dependent ATPase

(SERCA) Ca2+

-pump ATPase6. Mutasi pada gen PfATPase6 di Amerika Selatan

terbukti dan telah dihubungkan dengan peningkatan IC50 dari artemeter. Bukti

penelitian langsung tentang hubungan mutasi pada gen ATPase6 masih belum

6

banyak dilakukan. Di Kamboja terdapat penurunan efektivitas artesunat walaupun

tidak ditemukan mutasi pada gen ini (Tahar et al., 2009; Rodrigues et al., 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues et al., (2010) menunjukkan

bahwa efektivitas ACT dapat berubah dengan pemberian obat yang terus menerus,

sekalipun obat tersebut diberikan dalam bentuk kombinasi. Penelitian ini

merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan mencit. Mencit yang

terinfeksi malaria diberi pengobatan dengan ACT, dan diamati sampai beberapa

generasi. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan dosis yang digunakan

agar dapat membunuh parasit.

Beberapa kajian mengenai pola mutasi gen yang berhubungan dengan

resistensi Plasmodium terhadap antimalaria di wilayah Sumatera Bagian Selatan

sudah pernah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan tersebut diantaranya

adalah polimorfisme gen PfCRT, PfMDR1, PfDHPS dan PfDHFR pada isolat

Plasmodium dari penderita malaria di Propinsi Lampung oleh Syafruddin et al.,

(2005). Penelitian lain tentang gen PfCRT di Propinsi Lampung (Kamelia 2010)

dan Kabupaten Lahat (Suwandi 2011a) juga telah dilakukan. Pada penelitian-

penelitian tersebut ini telah ditemukan polimorfisme pada gen-gen yang

berhubungan dengan resistensi terhadap antimalaria selain artemisinin. Penelitian

tentang gen PfATP6 sampai saat ini belum pernah dilakukan pada daerah ini,

sedangkan artemisinin sebagai kombinasi dalam ACT telah lama digunakan

(Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI 2011b). Kondisi ini

memungkinkan adanya perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan

7

dengan resistensi terhadap ACT. Melihat kondisi tersebut maka perlu dikaji gen

yang berhubungan dengan resistensi P. falciparum terhadap ACT, yaitu gen

PfMDR1 yang berhubungan dengan amodiakuin, primakuin dan artemisinin serta

PfATP6 yang berhubungan dengan artemisinin.

Gambaran klinis penderita malaria secara klasik ditunjukkan dengan

adanya tiga gejala/tanda dasar malaria (trias malaria), yaitu : demam intermiten,

anemia hemolitik dan hepatosplenomegali (Biggs dan Brown 2001). Perubahan

gambaran klinis penderita malaria dalam perjalanan penyakitnya akan dipengaruhi

oleh respon terapi yang dihasilkan pada pengobatan. Resistensi Plasmodium

terhadap antimalaria yang terjadi akan memperlambat penurunan parasitemia

bahkan menghambat eliminasi parasit dari dalam tubuh penderita. Hal ini

disebabkan karena pertumbuhan parasit tidak dapat dihambat oleh antimalaria

yang diberikan. Plasmodium falciparum dalam kurun waktu 24-72 jam dalam

siklus hidupnya dapat berkembang menjadi stadium skizon mature yang siap

melepaskan merozoit-merozoit baru. Parasitemia yang tinggi akan menyebabkan

tubuh penderita memberikan respon terhadap pirogen tersebut sehingga

memberikan manifestasi klinis (gejala klinis) pada penderita. Parasitemia yang

semakin tinggi akan memberikan gejala klinis yang lebih buruk dibandingkan

dengan parasitemia yang lebih rendah, walaupun respon imun penderita juga

berperan penting dalam menghambat pertumbuhan parasit (Markell et al., 1986;

Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002;

White 2004; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Kajian tentang

8

gejala klinis pada penderita malaria di Kabupaten Pesawaran perlu untuk

dilakukan untuk mengetahui gambaran gejala klinis yang khas selain gejala-gejala

klinis yang telah di laporkan. Kajian gambaran gejala klinis malaria ini

bermanfaat dalam membantu mengarahkan untuk melakukan pemeriksaan

penunjang dalam rangka penegakkan diagnosis.

Penderita malaria falciparum yang mengandung Plasmodium dengan gen

bermutasi tentunya akan menjadi sumber infeksi yang perlu diwaspadai. Hal ini

karena penanggulangannya akan berbeda dengan strain yang masih sensitif

terhadap ACT. Kondisi seperti ini tentunya perlu untuk dipetakan untuk melihat

sebaran Plasmodium yang telah bermutasi. Pola pemetaan suatu penyakit

berdasarkan suatu wilayah sudah sering dilakukan untuk menentukan wilayah-

wilayah yang menjadi titik-titik sumber penularan. Analisis spasial dengan

pendekatan sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dilakukan pada berbagai

penelitian dalam rangka pengendalian malaria. Abdullah (2008), Mendrofa

(2008), dan Sulistiowati (2011), telah melakukan penelitian tentang analisis

spasial penderita malaria terhadap lingkungan di berbagai daerah di Indonesia.

Pada penelitian tersebut telah dipetakan penderita malaria dan hubungannya

dengan faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya malaria. Pada penelitian

ini pun akan dipetakan penderita yang mengandung P. falciparum yang telah

bermutasi untuk melihat sebaran P. falciparum yang telah mengalami mutasi.

Melihat kondisi malaria di Kabupaten Pesawaran, serta penggunaan ACT

yang sudah cukup lama, menjadikan hal yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini

9

mengkaji polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 serta hubungannya dengan

respon terapi ACT, yang dilanjutkan dengan mengkaji gambaran gejala klinis

malaria serta melakukan pemetaan penderita malaria yang mengandung gen

PfMDR1 dan PfATP6 yang bermutasi untuk melihat sebarannya.

Kajian yang akan dilakukan dirumuskan dalam permasalahan yang akan

diteliti, sebagai berikut :

1. Bagaimana efikasi ACT yang digunakan pada penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran ?

2. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen

PfMDR1 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran ?

3. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen

PfATP6 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran ?

4. Apakah terdapat hubungan polimorfisme (single nucleotide polymorphism /

SNPs) pada gen PfMDR1 dan PfATP6 terhadap respon pengobatan pada

penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ?

5. Bagaimana gambaran gejala klinis penderita malaria falciparum di Kabupaten

Pesawaran ?

6. Bagaimanakah distribusi / adakah pengelompokan kewilayahan penderita

malaria yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 pada isolat Plasmodium

10

dari penderita malaria falciparum yang bermutasi serta pengelompokan

kewilayahan penderita gagal terapi ACT di Kabupaten Pesawaran ?

2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis polimorfisme gen

PfMDR1 dan PfATP6 pada isolat plasmodium dari penderita malaria falciparum

di Kabupaten Pesawaran.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui efikasi ACT yang digunakan pada penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran.

2. Menganalisis polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen

PfMDR1 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran.

3. Menganalisis polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen

PfATP6 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di

Kabupaten Pesawaran.

4. Menganalisis hubungan polimorfisme (single nucleotide polymorphism /

SNPs) pada gen PfMDR1 dan PfATP6 terhadap respon pengobatan pada

penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran.

5. Mengetahui gambaran gejala klinis penderita malaria falciparum di Kabupaten

Pesawaran.

11

6. Mengetahui distribusi / pengelompokan kewilayahan penderita malaria yang

mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 yang bermutasi pada isolat

Plasmodium dari penderita malaria falciparum serta pengelompokan

kewilayahan penderita gagal terapi ACT di Kabupaten Pesawaran.

3. Keaslian Penelitian

Penelitian polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 pada penderita malaria

falciparum di Kabupaten Pesawaran yang mengkaji hubungannya dengan respon

terapi dan juga menganalisis gambaran gejala klinis yang timbul serta distribusi

kewilayahan penderita malaria sepanjang penelusuran literatur belum pernah

dilakukan di wilayah ini. Pada penelitian ini akan dikaji secara komprehensif

aspek parasit (gen PfMDR1 dan PfATP6), penderita dengan gejala klinis yang

muncul dan penyebaran atau pemetaan penderita malaria secara kewilayahan.

Penelitian tentang gen PfMDR1 telah banyak dilakukan di Indonesia dan

dunia. Penelitian yang dilakukan di Indonesia dan telah dipublikasikan oleh

Syafruddin et al., pada tahun 2003 adalah kajian tentang distribusi allele resisten

pada P. falciparum isolat Kabupaten Purworejo. Pada penelitian ini dikaji tentang

persentase allele mutan gen PfCRT, PfMDR1, PfDHFR dan PfDHPS. Metode

analisis polimorfisme dengan pendekatan metode Restriction Fragment Length

Polymorphism (RFLP). Hasil menunjukkan adanya mutasi pada PfCRT 76T

(99,1%), PfMDR1 86Y (92%), 1042D (4,5%), PfDHFR (84,7%), dan PfDHPS

(26,5-35,3%). Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2003) berbeda

12

dengan yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian Syafruddin et al., (2003)

merupakan penelitian yang hanya mengkaji polimorfisme gen-gen yang telah

diketahui kemungkinan titik mutasinya, sedangkan pada penelitian ini, penulis

melakukan eksplorasi untuk mencari kemungkinan titik-titik mutasi pada berbagai

posisi yang mungkin sudah terjadi. Perbedaan lain adalah pada metode yang

digunakan, pada penelitian ini untuk melihat polimorfisme dilakukan sequencing

sedangkan pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan metode RFLP. Hasil

sequencing yang didapat pada penelitian ini dilanjutkan dengan analisis

kekerabatan dengan menggunakan pohon filogenetik, hal ini yang juga tidak

dilakukan pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis

spasial pola penyebaran infeksi malaria dan pola penyebaran penderita malaria

yang mengandung gen PfMDR1 dan PfATP6 bermutasi.

Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005)

mengkaji tentang epidemiologi molekuler pada P. falciparum yang resisten

terhadap anti malaria di Indonesia. Penelitian ini membandingkan polimorfisme

gen-gen PfCRT, PfMDR1, PfDHPS dan PfDHFR antara kawasan barat dan timur

Indonesia yang memiliki tingkat endemisitas yang berbeda. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa telah ditemukan adanya polimorfisme gen PfDHFR,

PfDHPS, PfCRT dan PfMDR1. Frekuensi polimorfisme ini berbeda-beda,

PfDHPS dan PfMDR1 ditemukan lebih sedikit dibandingkan 2 gen lainnya. Salah

satu lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Pesawaran (saat itu Kabupaten

Lampung Selatan), Propinsi Lampung. Hasil analisis gen-gen yang berasal dari

13

sampel penderita malaria di Kabupaten Pesawaran juga menunjukkan adanya

polimorfisme. Terdapat beberapa perbedaan pada penelitian yang dipublikasikan

oleh Syafruddin et al., (2005) dengan penelitian ini, yaitu : (1) Tidak

dilakukannya analisis spasial distribusi penderita yang mengandung gen-gen

bermutasi tersebut berdasarkan kewilayahan pada penelitian oleh Syafruddin et

al., (2005); (2) Jeda waktu yang cukup lama antara penelitian yang dilakukan ini

dengan penelitian sebelumnya memungkinkan timbulnya perbedaan polimorfisme

gen-gen tersebut; (3) Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005)

tidak mengkaji gen PfATP6 yang berhubungan dengan resistensi terhadap

artemisinin; (4) Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin et al., (2005) tidak

mengkaji gen PfMDR1 yang berhubungan dengan resistensi terhadap artemisinin;

(5) Metode analisis polimorfisme yang digunakan oleh Syafruddin et al., (2005)

adalah dengan pendekatan metode RFLP sedangkan pada penelitian ini

menggunakan metode sequencing yang dilanjutkan dengan analisis filogenetik

dan homologi dari gen PfATP6 dan PfMDR1.

Penelitian tentang polimorfisme gen PfMDR, PfCRT, PfDHPS dan

PfDHFR lainnya di Indonesia pernah dilakukan oleh Asih et al., (2009). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Asih et al., (2009) dikaji hubungan antara

polimorfisme pada gen tersebut dengan efikasi pemberian ACT pada pasien

malaria falciparum tanpa komplikasi di Sumba, NTT. Metode analisis

polimorfisme yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan

metode RFLP. Hasil dari analisis gen-gen tersebut menunjukkan telah ditemukan

14

adanya polimorfisme dengan frekuensi yang berbeda-beda pada berbagai allele.

Pada penelitian ini belum mengkaji gen PfATP6 yang berhubungan dengan

resistensi Plasmodium terhadap artemisinin.

Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan di Indonesia sejak kurun waktu

2003 sampai 2009 tampak bahwa telah timbul adanya polimorfisme pada berbagai

gen yang berkaitan dengan resistensi. Eksplorasi untuk mengetahui kemungkinan

adanya polimorfisme pada titik-titik lain merupakan hal yang belum dilakukan

pada penelitian tersebut. Lampung sebagai salah satu daerah endemis malaria,

memerlukan kajian tentang polimorfisme pada isolat-isolat yang berasal dari

daerah Lampung. Hal ini untuk melihat kekerabatan antar isolat dari daerah

Lampung dan kedekatan gen-gen tersebut dengan isolat lain yang berasal dari luar

Lampung.

Penelitian tentang penanda molekuler untuk resistensi terhadap antimalaria

telah dilaporkan juga oleh peneliti dari berbagai dunia. Penelitian yang dilakukan

oleh Djimdé et al., (2001) mengkaji penanda molekuler pada P. falciparum yang

resisten terhadap klorokuin. Hasil penelitian ini menunjukkan gen PfCRT

berperan sebagai penanda pada resistensi ini. Pada penelitian ini juga di periksa

gen PfMDR1 dan kaitannya dengan resistensi terhadap klorokuin, namun hasil

yang didapat menunjukkan hanya 70% yang termasuk tipe mutan pada gen ini,

sedangkan pada gen PfCRT menunjukkan 100% tipe mutan. Penelitian ini

berhubungan dengan timbulnya resistensi terhadap anti malaria klorokuin, namun

15

tidak mengkaji bagaimana polimorfisme gen-gen yang berhubungan dengan

resistensi terhadap artemisinin dan komponen ACT lainnya.

Penelitian tentang PfMDR1 sebagai penanda molekuler terhadap

kemungkinan resistensi ACT dilaporkan oleh Dokomajilar et al., (2006a) dan

Humphreys et al., (2007). Keduanya mengkaji tentang polimorfisme gen PfMDR1

setelah terapi ACT di Uganda dan Tanzania. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa gen PfMDR1 dapat digunakan sebagai penanda yang berhubungan dengan

amodiakuin dan artemeter-lumefantrin. Pada penelitian tersebut tidak mengkaji

polimorfisme gen tersebut terhadap distribusi kewilayahan di suatu daerah. Pada

penelitian tersebut juga tidak dilaporkan bagaimana kondisi kekerabatannya

terhadap isolat lain.

Penelitian yang mengkaji gen PfMDR1 juga dilakukan oleh Schönfeld et

al., (2007), dengan membandingkan tingkat polimorfisme yang timbul akibat

resistensi terhadap klorokuin (gen PfCRT dan PfMDR1) dengan tingkat

polimorfisme yang timbul akibat resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamin

(PfDHPS dan PfDHFR). Tujuan penelitian yang dilakukan oleh Schönfeld et al.,

(2007) adalah untuk mengevaluasi penggunaan sulfadoksin-pirimetamin sebagai

obat lini pertama menggantikan klorokuin. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

tingginya mutasi (>50%) pada PfDHPS, PfDHFR, PfCRT dan PfMDR1 sehingga

perlu dipertimbangkan pengalihan lini pertama ke ACT. Metode analisis

polimorfisme yang digunakan pada penelitian tersebut dengan metode RFLP.

16

Kajian tentang polimorfisme yang berkaitan dengan ACT masih harus dilakukan,

mengingat penelitian ini hanya mengkaji sebatas resistensi pada klorokuin saja.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Lim et al., (2009) mengkaji hubungan

polimorfisme gen PfMDR1 terhadap kepekaan ACT dan kegagalan terapi ACT

pada pasien malaria falciparum di Kamboja. Hasil penelitian ini menyebutkan

PfMDR1 dapat dijadikan penanda molekuler untuk artesunat-meflokuin namun

tidak untuk artesunat-lumefantrin. Analisis polimorfisme dengan menggunakan

Real Time PCR. Pada penelitian ini tidak dilaporkan posisi polimorfisme sehingga

hal ini perlu untuk dilakukan kembali.

Penelitian tentang gen PfATP6 sebagai penanda molekuler pada resistensi

terhadap artemisinin relatif baru berkembang namun telah diteliti di berbagai

tempat. Penelitian tentang peranan gen PfATP6 di Asia dan Asia Tenggara telah

dilakukan dan telah dipublikasikan. Pada populasi di Vietnam, mutasi gen

PfATP6 ditemukan pada codon I89T, N463S, N465S, N683K, N460N, I898I dan

C1031C (Bertaux et al., 2009). Penelitian yang dilaporkan oleh G.Zhang et al.,

(2008) di China menunjukkan belum ditemukan adanya mutasi gen pada codon

(S769N) PfATP6. Banyaknya posisi mutasi yang dilaporkan dari gen ini

menunjukkan adanya variasi yang tinggi dari setiap isolat.

Penelitian yang dilakukan oleh Tahar et al., (2009) yang mengkaji

aktivitas in vitro dehidroartemisinin terhadap P. falciparum dan analisis urutan

gen PfATPase6. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan

dehidroartemisinin di Kamerun. Walaupun secara in vitro P. falciparum sangat

17

sensitif terhadap dehidroartemisinin, namun telah ditemukan adanya mutasi pada

gen ini. Penelitian yang dilakukan oleh Tahar et al., (2009) mendapatkan bahwa

lokasi mutasi yang dicuriga berhubungan dengan timbulnya resistensi terhadap

artemisinin, yaitu : pada codon nomor 263, 431, 623 dan 769. Beberapa peneliti

lain pun telah menyebutkan posisi 263 berperan pada sensitivitas terhadap

artemisinin (Afonso et al., 2006; Menegon et al., 2008; Dahlström et al., 2008;

Tahar et al., 2009). Penelitian yang mengkaji tentang peranan gen PfATP6

terhadap resistensi pada ACT di Indonesia khususnya di Propinsi Lampung belum

pernah dilaporkan.

Penelitian lain dilakukan oleh Dondorp et al., (2009), menganalisis gen

PfMDR1 dan PfATP6 sebagi penanda molekuler yang berkaitan dengan resistensi

terhadap artemisinin. Pada penelitian ini dikaji tentang suseptibilitas P.

falciparum terhadap artesunat, farmakokinatik artesunat dan penanda molekular

untuk resistensi terhadap artesunat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya

mutasi pada beberapa codon di gen PfMDR1 dan PfATP6 (PfSERCA) yang

berhubungan dengan kemungkinan resistensi Plasmodium terhadap artemisinin

dan derivatnya.

Penelitian yang dilaporkan oleh Ibrahim et al., (2009) menjelaskan bahwa

telah terjadi mutasi gen PfATP6 pada penderita malaria falciparum di Nigeria.

Pada penelitian ini dilakukan amplifikasi gen PfATP6 dengan metode nested PCR

pada fragmen sepanjang 798bp. Hasil analisis dengan metode sequensing

menunjukkan adanya mutasi sebesar 21,8%, yaitu : pada codon 537 (D537D)

18

terjadi perubahan urutan basa GAC-GAT sebesar (1,1%), codon 561 (K561N)

sebesar (1,1%), codon 569 (N569K) sebesar (17,2%), codon 630 (A630S) sebesar

(1,1%), dan codon 639 (G639D) sebesar (1,1%).

Penelitian lain yang dilakukan secara in vitro di Ghana oleh Kwansa-

Bentum et al., (2011) melaporkan bahwa mutasi gen PfATP6 telah terdapat pada

20 codon. Lima codon mempunyai proporsi mutasi cukup tinggi, yaitu : codon

D639G sebesar 50%, codon E431K sebesar 10,3%, codon D443E sebesar 7,4%

dan codon M813Q sebesar 7,4%.

Penelitian yang dilakukan oleh Miao et al., (2013) di Greater Mekong

Subregion menunjukkan diversitas genetik yang luas dari gen PfATP6. Titik

mutasi ditemukan diberbagai codon pada sampel-sampel yang berasal dari

wilayah ini, namun posisi L263E, E431K/A623E, dan S769N tidak ditemukan

adanya mutasi. Mutasi tunggal pada posisi E431K ditemukan pada 1 dari 116

sampel Myanmar dan 2 dari 13 sampel Vietnam.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2009 tersebut

menunjukkan bahwa telah ditemukan adanya mutasi pada gen PfATP6 di berbagai

lokasi yang berbeda pada setiap isolat. Melihat kondisi tersebut, maka penelitian

eksploratif untuk melihat keragaman genetik pada isolat-isolat Plasmodium di

Indonesia sangat perlu dilakukan. Penelitian tentang gen PfATP6 yang dilakukan

di Indonesia masih sedikit, dan sepanjang penelusuran penulis belum pernah

dilakukan di Propinsi Lampung dan dipublikasikan pada jurnal ilmiah. Di

Indonesia, daerah endemis malaria tersebar dari ujung barat sampai ujung timur

19

kepulauan Indonesia. Jarak yang jauh, perbedaan vektor, tempat perindukan

vektor, kondisi geografi dan mobilitas penduduk yang tinggi, dapat memberikan

perbedaan atau keragaman yang tinggi untuk setiap lokasi. Diversitas genetik

yang tinggi ini juga dapat menimbulkan keraguan mengenai fungsi gen PfATP6

sebagai gen yang bertanggungjawab pada resistensi Plasmodium terhadap

artemisinin (Miao et al., 2013). Penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji

keadaan genetik gen PfATP6 pada salah satu daerah endemis malaria yaitu pada

pesisir selatan Kabupaten Pesawaran Lampung.

Sistem Informasi Geografi ini merupakan teknologi pendukung yang

terkait dengan kedudukan sesuatu pada permukaan bumi. Sistem informasi ini

dapat digunakan pada berbagai disiplin ilmu termasuk disiplin ilmu kesehatan

terutama dalam hal pengendalian penyakit menular. Penelitian-penelitian malaria

yang telah dilakukan di Indonesia dengan menggunakan analisis spasial hanya

memetakan penderita malaria terhadap kondisi geografi dan lingkungan.

Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh Abdullah (2008); Mendrofa (2008)

dan Sulistiowati (2011). Pada penelitian tersebut telah berhasil dipetakan

penderita malaria terhadap lingkungan, tempat perindukan nyamuk vektor, jarak

ke tempat pelayanan kesehatan dan sebagainya. Penelitian dengan memetakan

penderita malaria dengan kegagalan terapi dan penderita yang mengandung P.

falciparum bermutasi belum pernah dilakukan. Pemetaan penderita gagal terapi

sangat penting dilakukan untuk melihat penyebaran penderita gagal terapi sebagai

dasar pengambilan kebijakan standar penatalaksaan malaria di suatu wilayah.

20

Pemetaan penderita malaria dengan berdasarkan kondisi genetik gen PfMDR1 dan

PfATP6 merupakan hal baru yang perlu dilakukan untuk melihat gambaran

keberadaan gen-gen tersebut di lingkungan.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Dapat diketahuinya pola mutasi gen PfMDR1 dan PfATP6 sebagai dasar

pengambilan kebijakan dalam pemilihan antimalaria yang sesuai di Kabupaten

Pesawaran.

2. Dapat diketahuinya hubungan kekerabatan gen PfMDR1 dan PfATP6 pada

isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran

dengan berbagai isolat lainnya maka hal ini dapat dipakai sebagai dasar untuk

memprediksi pola penyebaran Plasmodium tersebut sampai ke Kabupaten

Pesawaran.

3. Dapat diketahuinya efikasi komponen-komponen ACT yang digunakan di

Kabupaten Pesawaran sebagai dasar dalam evaluasi pengunaan obat anti

malaria.

4. Dengan diketahuinya gambaran gejala klinis yang timbul pada penderita

malaria di Kabupaten Pesawaran dapat dijadikan dasar ilmiah untuk

mengarahkan pemeriksaan penunjang dalam rangka penegakan diagnosis

malaria.

21

5. Dapat diketahuinya pemetaan distribusi pola mutasi gen PfMDR1 dan

PfATP6 di Kabupaten Pesawaran sehingga dapat diketahui sumber penularan

P. falciparum yang telah bermutasi yang dapat digunakan untuk

penanggulangan transmisi Plasmodium yang telah mengalami mutasi.