Transcript
Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Melanjutkan pendidikan program dokter spesialis (PPDS) merupakan

dambaan setiap dokter yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran.

Program pendidikan dokter spesialis, terutama spesialis bedah, seringkali

menimbulkan stres pada kehidupan profesional seorang PPDS. Dokter PPDS

diharapkan mampu memenuhi tuntutan klinis, akademis, fisis, dan sosial.

Sementara, PPDS pada umumnya bekerja hingga 80 jam per minggu (Katz, Sharp

& Ferguson, 2006). Stres dapat menjadikan seorang dokter tidak mampu

bertanggung jawab secara penuh terhadap diri dan pekerjaannya (Rios, Gascon,

Lage & Guerrero, 2006).

Salah satu alasan adalah kondisi kerja yang tidak menguntungkan yang

dialami oleh ahli bedah telah menyebabkan penurunan jumlah ahli bedah dan,

pada gilirannya, telah menyebabkan peningkatan yang lebih besar dalam beban

kerja dan risiko kesalahan dokter bedah. Waktu operasi rata-rata adalah 210

menit. Analisis urin menunjukkan bahwa tingkat biopirin secara signifikan lebih

tinggi setelah operasi 210 menit atau yang lebih lama, dibandingkan dengan 209

menit atau yang lebih pendek dan tingkat ini juga meningkat setelah suatu operasi

dengam 200 gram atau lebih darah hilang. Berdasarkan tingkat urin biopirin,

dokter bedah mengalami lebih banyak stres pada pagi hari setelah tugas malam

(Yamaguchi, 2011).

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

2

Yamaguchi (2011) menambahkan bahwa masalah kurang tidur kronis dan

terlalu banyak pekerjaan PPDS bedah telah menjadi isu penting di dunia,

termasuk Jepang. Sebuah kombinasi tidur siang berkualitas rendah dan

peningkatan tekanan tidur pada malam hari dapat menyebabkan rendahnya tingkat

kewaspadaan dan peningkatan risiko kesalahan pada orang yang bertugas malam,

seperti tenaga medis, dalam hal ini adalah seorang residen/PPDS.

Seperti yang diungkapkan oleh Issa, Yussuf, Olanrewaju & Oyewale

(2009), pendidikan kedokteran seringkali membutuhkan usaha dan kerja keras

yang penuh stresor, dan sering dilaporkan sebagai penyebab burnout, ansietas,

depresi, dan masalah psikososial pada residen. Stres yang terjadi meningkat

seiring dengan program residensi sebagai akibat meningkatnya pengharapan dan

tanggung jawab, karena residen diharapkan untuk menjadi klinisi, pendidik,

peneliti, dan administrator yang baik di akhir masa pendidikan. Konsekuensi dari

tingginya stres dapat berujung pada depresi, burnout, kemarahan, iritabilitas,

ansietas, kurang tidur, kelelahan, hingga penyalahgunaan zat.

Menurut Brantley (dalam Maruish, 2002), stres dapat disebabkan oleh

peristiwa hidup dan kejadian-kejadian kecil yang terjadi setiap hari. Peristiwa

hidup adalah peristiwa penting yang dapat mempengaruhi hidup seseorang,

misalnya pernikahan, kelahiran, kematian, kehilangan pekerjaan, dan lain

sebagainya. Sebagian besar stres yang dihadapi setiap hari memang tidak

seekstrem peristiwa hidup. Kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari

dan dapat menyebabkan stres disebut daily hassles, misalnya bersaing dengan

seseorang, mendengar kabar buruk, mengalami pengeluaran yang tak terduga,

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

3

terburu-buru untuk memenuhi deadline, bertengkar dengan orang lain, dan lain

sebagainya.

Hasil wawancara awal dengan salah satu dokter Program Pendidikan

Dokter Spesialis di salah satu rumah sakit, berinisial LR (perempuan, 32 tahun),

menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan dokter PPDS bedah masih

dilakukan sesuai dengan tugas yang diberikan, namun kadangkala apabila

intensitas jumlah pasien bedah meningkat, baik pada siang hari maupun malam

hari, membuat beban kerja menjadi berlebihan dan apabila berkelanjutan

menyebabkan kelelahan yang berujung pada penurunan kualitas pelayanan. Ketika

LR merasa kualitas pelayanannya menurun, LR berpikiran bahwa dirinya tidak

berkompeten sebagai seorang dokter PPDS Bedah. Hal ini membuat LR menjadi

sedih, mudah marah dan tidak bersemangat (wawancara, 23 Agustus 2015).

Salah satu dokter PPDS bedah plastik berinisial MK (perempuan, 30

tahun) mengeluhkan bahwa minimnya waktu yang dimiliki untuk istirahat

membuat kinerja saat operasi menjadi kurang optimal seperti mengalami migrain

dan nyeri pada punggung. Sebagai seorang dokter PPDS bedah plastik, terdapat

tuntutan yang tinggi terkait dengan hasil operasi. Dalam operasi maupun tindakan

yang dilakukan, dokter PPDS bedah plastik dituntut untuk dapat memberikan

hasil yang maksimal dan rapi sesuai dengan estetika yang ada, sehingga muncul

perasaan khawatir, penuh tekanan dan ketegangan jika hasil atau tindakan yang

diberikan tidak sesuai dengan tuntutan yang diberikan kepada MK. Hal inilah

yang menyebabkan MK selalu berpikir bahwa apabila MK tidak memberikan

hasil operasi yang sempurna, maka MK tidak berhasil menjalani operasi dengan

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

4

baik. Hal inilah yang menyebabkan MK berpikir untuk lebih berfokus pada proses

operasi saja dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain dikarenakan adanya

penilaian dari segi estetika hasil operasi. Tidak jarang dikarenakan MK yang

selalu berpikir bahwa proses menjadi seorang dokter PPDS Bedah merupakan hal

yang sangat penting dan utama, mengakibatkan interaksi sosial MK dengan rekan

sesama PPDS bedah lainnya menjadi kurang terjalin dengan baik. MK

mengeluhkan bahwa MK merasakan adanya perubahan pada emosi seperti

ketegangan, khawatir, mudah marah, dan kebosanan selama menjalani proses

menjadi dokter PPDS bedah. Tidak hanya itu, MK juga mengalami penurunan

nafsu makan dan gangguan tidur (wawancara, 12 September 2016). Hal yang

terjadi pada MK sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hayes & Rogers (2008)

bahwa cara dan pola berpikir seseorang mempengaruhi perilaku dan perasaan

yang akan dimunculkan dalam situasi spesifik. Penelitian Loehr (dalam Santrock,

2003) menunjukkan bahwa suasana hati yang negatif memungkinkan untuk

marah, merasa bersalah, dan memperbesar kesalahan yang telah terjadi.

Jumlah mahasiswa yang mengalami stres akademik meningkat setiap

semester (Govaerst & Gregoire, 2004). Stres yang paling umum dialami oleh

mahasiswa merupakan stres akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu

keadaaan individu mengalami tekanan hasil persepsi dan penilaian tentang stresor

akademik, yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan di

perguruan tinggi (Govaerst & Gregoire, 2004).

Olejnik dan Holschuh (2007) menguraikan stres akademik, sebagai suatu

respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

5

dikerjakan individu. Stres akademik merupakan ketegangan akibat terlalu

banyaknya tugas yang harus dikerjakan individu. Stres adalah perasaan lelah

(kewalahan) akibat peristiwa-peristiwa yang tidak mampu dikendalikan dan stres

juga merupakan respon fisik dan psikologis terhadap tuntutan dan tekanan (Larsen

& Buss, 2008). Menurut Atkinson, Atkinson & Hilgard (2004), peristiwa yang

dirasakan sebagai stres biasanya masuk ke dalam salah satu atau lebih kategori

berikut : peristiwa traumatik di luar rentang pengalaman manusia yang lazim,

peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, peristiwa yang tidak dapat diperkirakan,

peristiwa yang menantang batas kemampuan dan konsep diri individu atau konflik

internal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Misra dan McKean (2000)

menunjukkan bahwa mahasiswa cenderung mengalami stres berkaitan dengan

perkuliahan, manajemen waktu, kesehatan, dan tekanan pada diri sendiri. Faktor

penyebab stres akademik, diantaranya persiapan belajar untuk ujian, tingkat

persaingan, dan pencapaian standar nilai yang memuaskan. Penelitian yang

dilakukan oleh Gadzella dan Masten (2004) mengungkapkan bahwa mahasiswa

yang dapat mengelola emosinya dengan baik mampu mengendalikan kecemasan,

dan tidak mudah mengalami frustrasi. Hal lain yang juga dapat diketahui adalah

bahwa mahasiswa yang memiliki kebiasaan belajar yang baik tidak mengalami

stres ketika belajar.

Stres yang berkepanjangan yang dialami oleh individu dapat

mengakibatkan penurunan kemampuan untuk beradaptasi terhadap stres (Potter &

Perry, 2005). Kondisi tersebut dapat memicu timbulnya masalah-masalah

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

6

kesehatan pada individu. Mahasiswa yang mengalami stres akademik dapat

berdampak positif atau negatif (Agolla & Ongori, 2009). Menurut Goff (2011),

peningkatan jumlah stres akademik akan menurunkan kemampuan akademik yang

berpengaruh terhadap indeks prestasi. Beban stres yang dirasa terlalu berat dapat

memicu gangguan memori, konsentrasi, penurunan kemampuan penyelesaian

masalah, dan kemampuan akademik (Goff, 2011). Dampak positif dari stres,

berupa peningkatan kreativitas dan memicu pengembangan diri, selama stres yang

dialami masih dalam batas kapasitas individu. Stres tetap dibutuhkan untuk

pengembangan diri mahasiswa (Smeltzer & Bare, 2008).

Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan

untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik

yang semakin meningkat, sehingga individu semakin terbebani oleh berbagai

tekanan dan tuntutan (Alvin, 2007). Lazarus berpendapat berbagai kejadian dinilai

oleh tiap individu melalui dua langkah, yaitu primer dan sekunder. Penilaian

primer (primary appraisal) merupakan penilaian sebuah situasi atau kejadian

mengandung bahaya, menimbulkan ancaman atau tantangan atau tidak. Apabila

dinilai sebagai situasi yang membahayakan, maka akan mengarah pada potential

injury. Penilaian kondisi sebagai ancaman akan menyebabkan stres atau rasa

takut, dan penilaian kondisi sebagai tantangan akan mengarah pada growth atau

pertumbuhan. Setelah penilaian ini dilakukan, Lazarus mengatakan individu akan

melakukan penilaian sekunder untuk mengevaluasi potensi atau kemampuan

individu mampu untuk menghadapi tekanan atau tidak (Grant, Compas, Thurm,

McMohan & Gipson 2006).

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

7

Beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan

antara stres dengan penyakit, menyatakan bahwa stres akut akan bisa menurunkan

daya tahan tubuh manusia. Beberapa studi kasus telah menunjukkan bahwa

beberapa hormon stres dikeluarkan tubuh ketika beban berlebihan datang. Hal ini

akan bisa mempengaruhi kemampuan kelenjar timus untuk menstimulasi dan

mengatur aktivitas leukosit (sel darah putih). Terganggunya aktivitas sel darah

putih inilah yang akan bisa menurunkan imunitas dan daya tahan tubuh akan

menurun, karena salah satu fungsi leukosit ini adalah memerangi berbagai jenis

virus bakteri yang masuk ke dalam tubuh (Nevid, 2005).

Bila terganggu, maka otomatis tubuh akan lebih mudah terserang berbagai

jenis penyakit yang berkaitan dengan imunitas tubuh sendiri. Stres akan

meningkatkan hormon tubuh yang bernama adrenalin ke dalam saluran darah.

Hormon ini bersama-sama dengan beberapa hormon yang lain akan menyebabkan

beberapa perubahan terjadi di dalam tubuh sebagai persiapan untuk melindungi

diri. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah denyut jantung akan

meningkat dan tekanan darah akan meningkat pula. Bila hal ini dibiarkan, maka

hal ini akan bisa berakibat buruk terhadap kesehatan jantung serta kesehatan

pembuluh darah (Davison, Neale & Kring, 2012).

Lebih lanjut, Davison, Neale & Kring (2012) menjelaskan bahwa stres

juga akan meningkatkan tekanan darah, di samping juga akan memudahkan

proses pembekuan darah. Jika stres pada individu tidak tertangani, maka bukan

tidak mungkin stres tersebut akan membuat individu menjadi frustrasi. Tingkatan

stres pada individu satu sama lain berbeda-beda. Individual differences tersebut

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

8

karena adanya faktor jenis kelamin, usia, tingkah laku, intelegensi, afeksi, budaya,

dan sebagainya. Stres adalah hal yang alamiah, sehingga tidak perlu berlebihan

ketika stres datang. Dokter PPDS bedah harus menjadikan stres sebagai tantangan

agar dapat mengelola stres dengan baik, karena jika stres bisa dikelola dengan

baik, stres tersebut akan bisa menjadi bermanfaat untuk kehidupan (Jusung,

2006).

Stres yang melebihi tahap tertentu apabila tidak dikelola dengan sebaik-

baiknya akan menimbulkan berbagai masalah bagi residen/dokter PPDS bedah

(Romas & Sharma, 2004). Pengelolaan stres biasanya berhubungan dengan

strategi koping. Koping membantu individu menghilangkan, mengurangi,

mengatur atau mengelola stres yang dialaminya. Koping dipandang sebagai faktor

penyeimbang usaha individu untuk mempertahankan penyesuaian dirinya selama

menghadapi situasi yang dapat menimbulkan stres. Menurut Sarafino (2006),

usaha koping sangat bervariasi dan tidak selalu dapat membawa pada solusi dari

suatu masalah yang menimbulkan situasi stres. Individu melakukan proses koping

terhadap stres melalui proses transaksi dengan lingkungan, secara perilaku dan

kognitif.

Berbagai dampak mungkin dapat muncul, sehingga membuat diperlukan

adanya penanganan guna mengatasi stres. Seperti penelitian yang telah dilakukan

oleh Hariyanto, Supriyono & Lestari (2012) dengan menggunakan latihan body

scan terhadap stres mahasiswa keprofesian dokter yang akan menjalani ujian

rotasi klinik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan body scan

terbukti mampu menurunkan tingkat stres, namun penelitian ini hanya

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

9

memberikan penekanan pada aspek fisik saja, yaitu mempersiapkan tubuh untuk

lebih peka dan mempersiapkan individu untuk dapat mengenali tubuhnya sendiri.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Subekti (2011) menggunakan metode

relaksasi untuk menurunkan stres dan keluhan tukak lambung pada penderita

tukak lambung kronis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa relaksasi

terbukti mampu menurunkan tingkat stres, namun penelitian ini hanya

memberikan penekanan pada aspek fisik saja, yaitu melalui teknik relaksasinya.

Selain itu, kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti sulit dalam mengontrol

tugas rumah yang diberikan, yaitu berupa melakukan relaksasi secara berkala

sesuai dengan yang telah disepakati pada saat proses pelatihan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewi (2009) dengan menggunakan

terapi musik untuk menurunkan stres pada mahasiswa. Penelitian tersebut

menggunakan terapi musik sebagai salah satu teknik relaksasi yang hanya

berpusat pada emosinya saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik dapat

menurunkan stres. Kelemahan dari penelitian ini adalah apabila melakukan

relaksasi tanpa adanya musik hasilnya tidak signifikan dalam menurunkan stres

jika dibandingkan dengan relaksasi dengan menggunakan musik. Penelitian

selanjutnya dilakukan oleh Rohmah (2007) melalui diskusi kelompok dan

pelatihan efikasi diri untuk menurunkan stres mahasiswa yang sedang skripsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres

pada mahasiswa. Penelitian tersebut hanya berpusat pada perubahan perilaku saja

dalam menurunkan stres. Selain itu, stres dapat muncul setelah pelatihan

dilakukan pada individu yang yang sudah tidak mengikuti diskusi kelompok.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

10

Sumber permasalahan berupa pola pikir yang negatif, baik terhadap diri

sendiri, lingkungan maupun masalah yang dihadapi, merupakan suatu ancaman

bagi keberlangsungan hidup yang dapat menjadi penyebab munculnya stres,

sehingga diperlukan adanya suatu upaya untuk mengatasi hal tersebut (Stallard,

2005). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengelola pikiran-pikiran

negatif adalah dengan pendekatan restrukturisasi kognitif. Terapi kognitif atau

pendekatan rekstrukturisasi kognitif yang diusulkan oleh Beck bertujuan untuk

mengubah pola pikir yang maladaptif menjadi lebih adaptif, melalui cara

mengubah sistem keyakinan seseorang dan meningkatkan kejernihan intrepretasi

logis terhadap sebuah pengalaman. Ellis (dalam Corey, 2007) menyatakan bahwa

seseorang mampu memodifikasi keyakinan-keyakinannya dengan melatih

kemampuan berpikirnya. Saat ini perkembangan ilmu psikologi membuka

berbagai ruang baru dalam memberikan berbagai alternatif terkait dengan

intervensi, salah satunya berupa pelatihan berpikir positif. Hal inilah yang

menyebabkan peneliti menawarkan pelatihan berpikir positif pada PPDS Bedah.

Berpikir positif berkaitan dengan pola hidup yang berorientasi pada keyakinan

yang positif, dengan berpikir positif seorang residen mampu bertahan dalam

situasi yang penuh stres (Kivimaki, Elovainio, Singh-Manoux, Vahtera, Helenius,

Pentti, 2005).

Pelatihan berpikir positif adalah salah satu pengembangan atas model

kognitif yang bertujuan untuk membantu seseorang mengenali pola pikir dan

memahami, mengubah pola pikir yang negatif menjadi pola pikir positif yang

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

11

terbentuk dari pengalaman tidak menyenangkan serta berbagai permasalahan

kehidupan yang datang.

Berdasarkan latar berlakang masalah tersebut, permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada perubahan tingkat stres pada PPDS

Bedah ketika diberi intervensi berupa pelatihan berpikir positif ?”. Berdasarkan

permasalahan tersebut pula, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Efektivitas Pelatihan Berpikir Positif untuk Menurunkan Stres pada PPDS

Bedah”.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik efektivitas

pelatihan berpikir positif dalam menurunkan stres akademik yang dialami oleh

dokter PPDS bedah.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat,

secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan

pengetahuan dan informasi di bidang psikologi, khususnya bidang psikologi

klinis dan psikologi positif, serta memperkaya hasil-hasil penelitian

sebelumnya mengenai efektivitas pelatihan berpikir positif untuk menurunkan

stres akademik pada PPDS Bedah.

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

12

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta menjadi

acuan dalam rangka menurunkan tingkat stres akademik melalui pelatihan

berpikir positif pada PPDS Bedah.

D. Keaslian Penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui, sudah ada beberapa penelitian dengan

menggunakan variabel pelatihan berpikir positif dan stres akademik. Namun, yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada

subjek penelitiannya. Penelitian pertama adalah tentang “Efektivitas pelatihan

berpikir positif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa” tahun 2009 oleh

Kholidah. Subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Unversitas PGRI Yogyakarta berjumlah 48 berstatus sebagai

mahasiswa aktif, mengalami stres dalam kategori sangat tinggi dan tinggi dan

bersedia dengan suka rela mengikuti pelatihan. Mereka dibagi atas dua kelompok,

kelompok yang mendapat pelatihan (kelompok eksperimen) berjumlah 24 orang

dan kelompok kontrol (waiting list) berjumlah 24 orang. Skala tingkat stres pada

mahasiswa (STSM) yang digunakan sebagai skrining untuk mengungkap ada

tidaknya gangguan stres pada mahasiswa, diberikan pada waktu seleksi subjek.

Analisis uji-t; dengan menganalisis perbedaan gained score antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil bahwa : Pelatihan

berpikir positif efektif untuk menurunkan tingkat stres pada mahasiswa. Hal ini

ditunjukkan dengan perolehan hasil t hitung pada data gained score (peningkatan

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

13

berpikir positif) sebesar 8,232 dengan p = 0,001 dan gained score (penurunan

tingkat stres pada mahasiswa) sebesar -8,148 dengan p = 0,001. Dengan demikian,

pelatihan berpikir positif memberikan sumbangan efektif sebesar 22,1% untuk

meningkatkan berpikir positif mahasiswa. Pelatihan berpikir positif memberikan

sumbangan efektif sebesar 20,16% untuk menurunkan tingkat stres pada

mahasiswa.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Syam (2014) berjudul “Pelatihan

regulasi emosi untuk menurunkan stres caregiver lansia”. Subjek dalam penelitian

ini berjumlah empat orang dengan karakteristik individu yang memiliki dan

merawat lansia hipertensi. Metode penelitian kuasi eksperimen dengan disain

penelitian the one group pretest and posttest design. Hasil penelitian

menunjukkan ada perbedaan stres caregiver sebelum dan setelah diberi pelatihan

regulasi emosi. Hal ini berarti regulasi emosi efektif untuk menurunkan stres

caregiver lansia. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut milik Robinson

mengenai stress caregiver.

Kemudian penelitian ketiga berjudul “Pengaruh pelatihan regulasi emosi

terhadap pengurangan stres dan peningkatan optimisme pada penganggur di

Yogyakarta”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Karjuniwati (2010). Subjek pada

penelitian tersebut adalah penganggur yang ada di Yogyakarta. Hal ini

dimaksudkan agar peneliti dapat memberikan saran pada penganggur setengah

pengangguran yang mengalami stres dan pesimis untuk menerapkan konsep-

konsep regulasi emosi secara tepat serta lebih bersemangat mencari pekerjaan.

Hasil yang didapatkan adalah bahwa dengan pelatihan regulasi emosi, stres subjek

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

14

menjadi berkurang dan subjek dapat memunculkan rasa optimis serta semangat

dalam mencari pekerjaan.

Penelitian kempat berjudul “Pengaruh humor terhadap stres pada mahasiswa

tingkat akhir yang mengerjakan skripsi di Universitas Brawijaya Malang”.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Supriyono dan Lestari (2010). Jumlah

partisipan sebanyak 34 mahasiswa (22 laki-laki dan 12 perempuan) Fakultas

Teknik Universitas Brawijaya Malang angkatan 2008-2010 yang sedang

mengerjakan skripsi. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian

eksperimen murni dengan disain pretest-posttest control group design, yaitu

dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. Untuk mengukur

tingkatan stres digunakan alat ukur berupa Percieved Stress Scale (PSS).

Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa humor mempengaruhi skor atau

tingkatan stres. Partisipan yang mendapatkan media humor mengalami penurunan

skor atau tingkatan stres dibandingkan dengan partisipan yang tidak mendapatkan

media humor (video dokumenter). Penurunan stres pada kelompok yang diberi

media humor ini besar kemungkinan dikarenakan media humor dapat

menstimulasi partisipan untuk tertawa dan merasa bahagia.

Penelitian kelima berjudul “Pengaruh self-regulated learning dan koping

kultural terhadap stres dalam menghadapi tugas perkuliahan pada mahasiswa di

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.

Penelitian ini dilakukan oleh Mayudia (2012). Subjek yang diambil dalam

penelitian tersebut adalah laki-laki dan perempuan berusia 18-25 tahun yang

kuliah di Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh dalam

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

15

uji regresi diketahui koefisien determinasi R Square (R2) menunjukkan nilai

sebesar 0.570 atau 57%. Hal ini berarti self regulated learning dan koping kultural

memberikan sumbangsih sebesar 57%, sedangkan 43% sisanya dapat dijelaskan

oleh variabel lain selain self regulated learning dan koping kultural. Hasil regresi

pada demografi pada self regulated learning dan koping kultural yaitu jenis

kelamin, hanya memberikan 2% bagi perubahan variabel stress.

Penelitian keenam berjudul “Pengaruh latihan body scan terhadap stres

mahasiswa keprofesian dokter yang akan menjalani ujian rotasi klinik”. Penelitian

tersebut dilakukan oleh Hariyanto, Supriyono & Lestari (2012). Penelitian

tersebut menggunakan metode penelitian eksperimen murni dengan disain pretest-

posttest control group design yaitu dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah

perlakuan. Untuk mengukur tingkatan stres digunakan alat ukur berupa Student-

life Stress Inventory (SLSI). Jumlah partisipan dalam eksperimen tersebut adalah

44 orang. Hasil uji bootstrap analysis menunjukkan bahwa latihan body scan

dapat secara signifikan menurunkan stres.

Penelitian ketujuh berjudul “Efektivitas pelatihan pemaknaan surat Al –

Insyirah untuk mengurangi stres mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi”.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Zahra (2013). Jumlah partisipan sebanyak 15

mahasiswa (delapan kelompok eksperimen dan tujuh pada kelompol kontrol).

Hasil tes menggunakan teknik analisis statistik Mann Whitney test menggungkap

bahwa Mann Whitney U sebagai post-test pada p = 0,049 (p < 0,05, signifikan),

sehingga menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam skor post-test antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

16

Penelitian kedelapan berjudul “Efektifitas intervensi terapi musik klasik

terhadap stres dalam menyusun skripsi pada mahasiswa PSIK Semarang”.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Primadita (2012). Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian tersebut adalah purposive sampling dengan jumlah responden 31

orang. Jenis penelitian adalah pra-eksperimen yang termasuk ke dalam pre test

dan post test satu kelompok disain. Analisis data statistik yang digunakan adalah

Wilcoxon Match Pairs Test. Pengumpulan data dilakukan pada saat sebelum dan

setelah terapi diberi musik klasik dengan menggunakan Instrumen DASS 42 yang

dikembangkan oleh Lovibond dan Lovibond (1995) digunakan sebagai pengukur

item. Berdasarkan penelitian tersebut, ada perbedaan dalam tingkat stres

responden sebelum dan setelah terapi diberikan musik klasik. Dari hasil uji

Wilcoxon untuk tingkat stres sebelum dan sesudah terapi musik klasik, nilai

signifikansi yang diperoleh sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05.

Berdasarkan uraian penelitian-penelitian terdahulu, dapat disimpulkan:

1. Keaslian topik

Belum banyak dilakukan penelitian dengan topik mengenai stres pada

PPDS bedah, terutama di Indonesia. Penelitian secara khusus mengenai

pelatihan berpikir positif untuk menurunkan stres pada PPDS Bedah belum

pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Kholidah (2009)

menggunakan variabel bebas pelatihan berpikir positif, sedangkan variabel

tergantungnya adalah stres pada mahasiswa. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan topik efektivitas pelatihan berpikir positif untuk menurunkan

stres akademik pada PPDS Bedah.

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

17

2. Keaslian teori

Penelitian ini menggunakan teori stres yang dikemukakan oleh Olejnik &

Holschuh (2007) stres akademik merupakan sebagai suatu respon yang

muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan

serta persepsi individu terhadap banyaknya pengetahuan yang harus dikuasai

dan persepsi terhadap ketidakcukupan waktu untuk mengembangkan

pengetahuan yang harus dikuasai tersebut. Faktor-faktor stres yang digunakan

adalah faktor-faktor yang dikemukakan oleh Alvin (2007). Untuk pelatihan

berpikir positif, peneliti menggunakan konsep pelatihan model teori ABC

Ellis dan teori berpikir positif dari Elfiky (2008).

3. Keaslian alat ukur

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur varibel tergantung, yaitu stres,

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan alat ukur yang digunakan

untuk mengukur stres pada dokter PPDS bedah. Alat ukur stres akademik pada

dokter PPDS bedah merupakan adopsi dan modifikasi sesuai dengan keadaan

dokter PPDS bedah dari Perception of academic stress scale (PAS) yang

disusun oleh Bedewy dan Gabriel (2014) . Alat ukur berupa kuesioner yang

berisi pernyataan-pernyataan untuk mengukur stres akademik pada dokter

PPDS bedah.

4. Keaslian subjek

Subjek penelitian dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria yang

telah ditentukan peneliti. Subjek dalam penelitian ini adalah dokter PPDS

Bedah.

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

18

5. Keaslian intervensi

Intervensi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pelatihan

berpikir positif. Penelitian ini menggunakan pelatihan berpikir positif yang

merujuk pada pendekatan model ABC Ellis serta aspek berpikir positif dari

Albercht (2003), yaitu harapan positif, afirmasi diri, pernyataan yang tidak

menilai dan pernyesuaian diri terhadap kenyataan.


Recommended