Upload
haphuc
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah
penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya
tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi,
maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan.
Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari
dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai
tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya
diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan
bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan
pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP
yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Sedangkan KUHAP sendiri diatur dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan
rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam
pengertian penyidikan adalah:
1. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung
tindakantindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan
2. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik
3. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-
undangan
4. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan
tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak
pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya.
Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.1
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidik adalah pejabat polisi
Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Tugas utama dari penyidik adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang
dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangka.2
Penyidikan meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian
halnya penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika
yang ditangani. Penyitaan ini erat hubungannya dengan kewenangan Polri
sebagai penyidik sering membutuhkan penyitaan meskipun sifatnya sementara,
terutama bila adanya dugaan telah terjadi suatu perbuatan pidana.3
Penyitaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan menyita atau
pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Proses penegakan
hukum mengesahkan adanya suatu tindakan berupa penyitaan. Oleh karenanya
penyitaan merupakan tindakan hukum berupa pengambil alihan dari
1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia , (Malang:
Bayumedia Publishing, April 2005), hal.380-381 2 Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana Penyelidikan dan
Penyidikan , Jakarta: Sinar Grafika, hal. 11. 3 Bambang Poernomo. 1996. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta. Seksi Kepidanaan
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Halaman 57.
penguasaan untuk sementara waktu barang-barang dari tangan seseorang atau
kelompok untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengertian
penyitaan itu sendiri dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 16 KUHAP yang
berbunyi:
“penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian
dalam penyidikan, penuntutan peradilan”.
Sedangkan di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti
pada pasal 1 ayat 4 berbunyi:
“Penyitaan adalah serangkaian tindkaan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian
dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.
Dalam penyitaan tentu terdapat ketentuan yang harus dipehatikan dan
ada sesuatu hal yang perlu dimengerti dalam penyitaan, hal ini di atur dalam
peraturan pemerintah tentang kitab Undang-Undang acara pidana Pasal 1 ayat
16 KUHAP, mangenai paksaan penyitaan, bahkan adanya keputusan menteri
pertahanan yang mengatur masalah penyitaan.4 Arti penting masalah penyitaan
tercermin dalam Pasal 38 Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa penyitaan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri
setempat, walaupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik
harus segera bertindak dan dapat melakukan penyitaan hanya atas benda
bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan guna
4 Ibid, hlm. 265.
mendapatkan persetujuan. Penyitaan sangat erat hubungannya dengan hak-hak
azasi manusia. Dalam melakukan suatu penyitaan harus diusahakan adanya
imbangan yang layak. Imbangan antara kepentingan instansi yang dalam
melakukan penyitaan terhadap orang yang disangka telah melakukan tindak
kejahatan di satu pihak, dengan kepentingan orang itu sendiri di lain pihak
serta untuk kepentingan masyarakat dimana orang tersebut memegang peranan
penting dalam proses penyidikan tindak pidana.5
Penyitaan dengan surat perintah merupakan syarat obyektif, yang dapat
diuji kebenarannya oleh orang lain, misalnya hakim waktu mengeluarkan
perintah melakukan penyitaan atas permintaan jaksa dan waktu menerima
pengaduan dari terdakwa. Banyaknya aturan tentang penyitaan memberi
petunjuk adanya usaha dari pembentuk Undang-undang untuk membatasi
tindakan penyitaan pada keadaan-keadaan yang secara obyektif dirasa sangat
perlu sehingga hak azasi manusia tetap dijunjung tinggi. Meskipun demikian
dapat ditemukan beberapa kekurangan dalam hal penyitaan ini, misalnya :
1. Polisi tidak menunjukkan surat perintah penyitaan dalam melakukan
penyitaan sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang.
2. Hakim dalam hal ini dapat memberi atau menolak ijin perpanjangan
waktu penyitaan, tidak diwajibkan untuk menyelidiki perkaranya dengan
mempertimbangkan alasan-alasannya, maka untuk itu penyitaan
5 Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm
79.
dilakukan semata-mata untuk dapat mempermudah pelaksanaan
pengusutan.6
Seringkali dijumpai seorang tersangka mengalami penyitaan oleh aparat
penyidik sebagai tindakan darurat, tanpa memenuhi ketentuan hukum
mengenai penyitaan atau bahkan tersangka dikenai tindakan lain yang dirasa
sebagai penderitaan oleh tersangka. Penyidik seringkali tidak memperhatikan
hal-hal yang seharusnya dipenuhi sebagai dasar mengambil tindakan hukum,
sehingga dapat terjadi kesalahan prosedural dalam pelaksanaan penyitaan
terhadap tersangka tindak pidana. Oleh karena itu dalam hal penyitaan perlu
dipertimbangkan hal-hal yang berkenaan dengan tata cara pelaksanaan
penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang
ditangani polisi sebagai aparat penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan.
Berdasarkan pengertian (penafsiran otentik) sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tentang pengertian penyitaan dapat
disimpulkan bahwa benda yang disita atau benda sitaan yang dalam beberapa
Pasal KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b,40, 45 ayat (2), 46 (2), 181 Pasal ayat
(1), 194, 197 ayat (1) huruf i, 205 ayat (2) dinamakan juga sebagai "barang
bukti" adalah berfungsi (berguna) untuk kepentingan "pembuktian" dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.7 Barang bukti dapat diartikan sebagai
benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar
dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana
6 Leden Marpaung, 1992, Ibid., halaman 84.
7 Bambang Poernomo. 1996, Ibid., halaman 92.
yang dituduhkan.8 Pengertian barang bukti dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Pengelolaan Barang Bukti pada pasal 1 ayat 5 berbunyi:
“Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk
keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan”.
Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu
sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian,
apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini
tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP
yang masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana.
Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku
saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran
dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita
mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di
samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam
pembuktian.
Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti
khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja,
sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses
perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat
penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu
tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk
8 J.C.TSimorangkir,dkk, 2004, Kamus Hukum,(cetakan kedelapan), Jakarta: Sinar Grafika
Offset, Hal 14.
menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di
dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Penerapan suatu kaidah hukum merupakan salah satu sistem yang harus
dilakukan untuk mewujudkan suatu tujuan hukum sendiri yakni mencapai
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kepastian hukum dapat
diterapkan dalam penyitaan tindakan dalam tindak pidana narkotika. Akhir-
akhir ini tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat
penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan
tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di
Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.9 Salah satu tindak pidana
yang terjadi di Indonesia adalah tindak pidana narkotika, pengertian narkotika
menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 ayat 1 berbunyi :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.
Pasal 6 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 membagi narkotika
dalam 3 golongan yaitu, narkotika golongan I, narkotika golongan II dan
narkotika golongan III. Golongan I ini dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan sebagaimana dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 yang berbunyi
: “Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan”. Namun dalam Pasal 8 ayat 2 dijelaskan penggunaan Dalam jumlah
terbatas dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
9 A.Hamzah dan RM.Surahman, Kejahatan Narkotika dan Psitropika, Sinar Grafika
dan teknologi dan reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi kepala badan pengawas
obat dan makanan. Narkotika golongan II dan golongan III yang berupa bahan
baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur
dengan peraturan menteri.
Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan tanpa hak dan melawan
hukum yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin
menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan
berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik,
mental dan kehidupan sosial.10
Dalam upaya menangani keadaan ini, maka dari itu tepat ditahun 2009
keluarlah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-
undang ini tampil dengan lebih sempurna sebagai perubahan dari undang-
undang yang lama. Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai
narkotika saja namun juga mengatur mengenai precursor narkotika yang
merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan narkotika.11
Sebagai contoh kasus, Petugas Satresnarkoba Polresta Padang
menciduk tiga pengedar sabu di dua lokasi berbeda, pada hari Rabu tanggal 12
April 2017 sekitar pukul 17.30 WIB. Ketika ditangkap, para pelaku berusaha
membuang barang bukti untuk mengelabuhi polisi. Penangkapan pertama
dilakukan terhadap pelaku Randi Chandra 19 tahun di kawasan Kampung
10
Akhmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam
Bidang Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 16 11
A.Hamzah dan RM.Surahman, op.cit
Teluk Nibung Jalan Padang-Painan, RT 01/RW 05, Kelurahan Gates,
Kecamatan Lubuk begalung. Dari penangkapan pertama, petugas menangkap 2
pelaku lain, Dozi Akbar 22 tahun dan Jeki Ride Pambora 27 tahun di jalan
Batang Kajai Teluk Nibung, RT 02/RW 03 Keturahan Gates, Kecamatan
Lubuk Begalung. Dalam penangkapan terhadap ketiga pelaku tersebut petugas
menemukan barang bukti berupa satu paket kecil sabu dan 3 unit HP. Setelah
ditemukan barang bukti, ketiga pelaku langsung digiring ke Mapolresta
Padang. “Untuk memancing pelaku, petugas kemudian menggunakan teknik
undercoverbuy (pembelian terselubung),” sebut Kapolresta Padang Kombes
Pol Chairul Aziz melalui Kasat Resnarkoba Kompol Abriadi.
Petugas menjalin komunikasi dengan pelaku melalui handphone dan
kemudian memesan sabu kepada pelaku. Alhasil, pelaku yang termakan umpan
polisi sanggup menyadiakan sabu tersebut dan sepakat untuk melakukan
transaksi di salah satu warung yang sudah tidak dipakai di Kampung Teluk
Nimbung, Jalan Padang-Painan, RT 01/RW 05, Kelurahan Gates.
Setelah adanya kesepakatan dengan pelaku untuk melakukan transaksi ,
petugas berpakaian preman langsung menuju lokasi. Beberapa petugas
menyebar melakukan pengintaian. Tak lama menunggu, pelaku yang sudah
menjadi target operasi itu mendatangi warung tersebut. Saat itu juga, pelaku
dengan petugas yang menyamar melakukan transaksi, namun merasa curiga
orang bertransaksi itu adalah polisi, saat pelaku hendak menyerahkan barang
dan meminta uang, pelaku sempat melempar sabu tersebut dari tangannya dan
merusaha kabur. Namun polisi yang sudah siaga di sekitar lokasi langsung
membekuk pelaku.
Setelah dibekuk, petugas mengambil sabu tersebut sebagai barang
bukti. Saat diinterogasi, pelaku mengakui sabu tersebut miliknya yang dibeli
dari Jeki Ride Pambora dan pelaku Dozi Akbar. Mendapat informasi itu,
petugas langsung menuju kediaman pelaku Jeki Ride Pambora di Jalan Batang
kajai Telung Nibung. Alhasil petugas menangkap pelaku Jeki Ride Pambora
dan Pelaku Dozi Akbar saat tengah duduk di tepi jalan di depan rumah Jeki
Ride Pambora. Setelah menagkap kedua pelaku, petugas menggeledah tubuh
pelaku yang disaksikan oleh Ketua RT dan warga setempat. Setelah itu petugas
membawa ketiga pelaku bersama barang bukti ke Mapolresta Padang untuk
pengusutan lebih lanjut. Setelah ditangkap dan ditemukan sabu, kembali
dilakukan pengembangan hingga ditangkap lagi dua orang pelaku yang
berperan sebagai Bandar Narkoba,” kata Kompol Abriadi. Terhadap ketiga
pelaku akan dijerat pasal 112 jo 114 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang penyalahgunaan narkotika dengan ancaman hukuman diatas lima tahun
kurungan penjara.
Dari contoh kasus yang di jabarkan penulis di atas, rata-rata
penangkapan pelaku pengguna narkotika berasal dari pengembangan kasus dan
tidak dijelaskan berapa jumlah barang bukti yang didapat secara rinci serta
sulitnya mencari saksi pada saat penangkapan.
Perkara penyalahgunaan narkotika penanganan terhadap perkara ini
tetap melalui prosedur penanganan tindak pidana, dengan berdasarkan pada
KUHAP. Proses penanganan perkara pidana diawali dengan pemeriksaan
pendahuluan dimana tahap ini cukup menentukan, karena tahap inilah
dikumpulkan bukti-bukti. Apabila bukti-bukti telah lengkap untuk bahan
penuntutan, maka pemeriksaan dimuka sidang pengadilan akan lancar. Barang
bukti pidana sesuai dengan Pasal 39 yang dihubungkan dengan Pasal 1 butir 15
KUHAP adalah benda-benda yang dapat disita menurut hukum karena ada
hubungannya atau keterlibatannya dengan tindak pidana (misalnya benda yang
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana; yang
dipergunakan menghalanghalangi penyidikan tindak pidana atau benda lain
yang berhubungan dengan tindak pidana). Barang bukti ini dapat disita
penegak hukum dan menjadi tanggungjawabnya atas rusak atau hilangnya
barang bukti tersebut.
Penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan wajib
bertanggungjawab terhadap barang sitaan untuk dirawat, disimpan dan dijaga
dengan baik karena barang tersebut sebagai bukti dalam menunjukkan pelaku
kejahatan. Ada kemungkinan barang-barang sitaan tersebut dapat hilang atau
rusak yang disebabkan banyak faktor, misalnya adanya bencana alam,
dihilangkan sengaja, dibuat cacat hukum, terbakar ataupun cara penyimpanan
yang salah.12
Dengan adanya kemungkinan ini penyidik wajib mengganti kerugian
hilang dan atau rusaknya barang tersebut dan besarnya ganti rugi juga
ditentukan dari ketentuan-ketentuan peraturan ada. Kepolisian yang berwenang
bertanggungjawab secara penuh terhadap rusak dan atau hilangnya barang
sitaan yang berada dalam kekuasaannya. Berdasarkan uraian tersebut penulis
tertarik untuk mengkaji tentang pelaksanaan penyitaan barang bukti dilakukan
12
Erni Widhayanti, 1989, Hak-hak Tersangka/Terdakwa Di Dalam KUHAP Bidang
Penyidikan, Sinar Grafika, Jakarta. Halaman 36.
oleh aparat Kepolisian Resort Kota Padang dalam kasus tindak pidana
penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian guna menyusun proposal skripsi dengan judul :
PELAKSANAAN PENYITAAN BARANG BUKTI NARKOTIKA OLEH
PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DI
WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulisan membatasi bahasan yang akan
diteliti dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penyitaan barang bukti narkotika oleh
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah hukum
Polresta Padang?
2. Apa kendala dalam pelaksanaan penyitaan barang bukti narkotika oleh
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah hukum
Polresta Padang?
3. Bagaimanakah upaya mengatasi kendala dalam pelaksanaan penyitaan
barang bukti narkotika oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia di wilayah hukum Polresta Padang?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka
penulisan ini ditujukan:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan penyitaan barang bukti
narkotika oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di
wilayah hukum Polresta Padang.
2. Untuk mengetahui apa kendala dalam pelaksanaan penyitaan barang
bukti narkotika oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di
wilayah hukum Polresta Padang.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya mengatasi kendala dalam
pelaksanaan penyitaan barang bukti narkotika oleh Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia di wilayah hukum Polresta Padang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menjadi suatu
sumbangan pemikiran serta dapat menambah wawasan pembaca
terhadap pemahaman pelaksanaan penyitaan barang bukti narkotika
oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah
hukum Polresta Padang.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi bagi
mahasiswa fakultas hukum dalam pembuatan karya ilmiah.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa
fakultas hukum tentang pelaksanaan penyitaan barang bukti narkotika
oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah
hukum Polresta Padang.
d. Hasil penelitian hendaknya mampu mempertajam pengetahuan penulis
terhadap masalah yang diteliti.
2. Secara praktis
a. Untuk memberikan masukan pada masyarakat pada pelaksanaan
penyitaan barang bukti narkotika oleh Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia di wilayah hukum Polresta Padang.
b. Untuk memberikan masukan pada penyidik terhadap pelaksanaan
penyitaan barang bukti narkotika oleh Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia di wilayah hukum Polresta Padang.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
Tindakan penyitaan oleh penyidik merupakan tindakan yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Untuk itu dalam penelitian ini
penulis menggunakan teori penegakan hukum. Penegakan hukum
merupakan usaha-usaha untuk menegakan norma norma atau kaedah kaedah
sekaligus nilai nilai yang ada dibelakangnya. Selain itu penegakan hukum
juga dapat diartikan sebagai proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.13
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor faktor tersebut mempunyai arti
yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya trletak pada isi faktor
13
Satjipto Rahardjo.Masalah Penegakan Hukum.Sinar Baru: Bandung.1983.Hal 24
tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
adalah:14
a. Faktor hukum
Praktik penyelenggaraan hukum dilapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang
telah ditentukan secara normatif.
Justru itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka
pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai
kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
b. Faktor penegak hukum
Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum
memainkan peranan penting. Apabila peraturan sudah baik, tetapi
kualitas penegak hukum kurang baik, maka akan ada masalah dalam
penegakan hukum itu sendiri.
14
Soerjono soekanto. Faktor-faktor yang memepengaruhi penegakan hukum. Cetakan
kelima. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004. hlm 42
c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung
Faktor sarana atau fasilitasnpendukung mencakup perangkat
lunak dan perangkat keras,, salah saatu contoh peraangkat lunak
adalah pendidikan.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasala dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyrakat. Setiap warga masyarakat
atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang diambil adaah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan
hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan
hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan saah satu indicator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Faktor Kebudayaan
Kebudayan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk. Menurut soerjonoo soekanto, kebudayaan
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat,
yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalh
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetakan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.
Adapun teori teori penegakan hukum, sebagai berikut:
a. Teori aliran utilitis.
Teori aliran utilitis disebut juga teori aliran kegunaan yakni
aliran yang menggariskan bahwa tujuan hukum yaitu untuk mengabdi
kepada kegunaan, yaitu kegunaan yang dinikmati oleh warga
masyarakat dengan kadar setinggi mungkin.
b. Teori Keadilan
Tujuan hukum adalah keadilan dilihat secara luas. Keadilan
dapat dilihat dari seberapa besar dampaknya bagikesejahteraan
manusia. Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak
bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.
c. Teori Etis
Teori Etis yaitu teori yang menyatakan bahwa isi suatu hukum
yang berlaku bagi suatu bangsa yaitu haruslah berdasarkan pada
kesadaran etis suatu bangsa yang bersangkutan, melaksanakan
pandangan pandangan yang benar akan nilai nilai kehidupan yang
baik, menurut teori ini tujuan hukum adalah mencapai keadilan dan
penegakan hukum.
d. Teori penegakan hukum john graham
Bahwa penegakan hukum dilapangan oleh polisi merupakan
kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan gambaran bagaimana hubungan
antara konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan
konsep adalah definisi.
a. Penyitaan
Dalam pasal 1 ayat 16 KUHAP, Penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan.
b. Barang bukti
Pengertian barang bukti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
benda yang digunakan untuk meyakinkan hakim akan kesalahan
terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya; barang
yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam suatu perkara. Barang
bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik
tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan
(alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang
merupakan hasil dari suatu delik.15
c. Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika, adalah serangkaian perbuatan terlarang oleh
undang undang, dan tercela dalam kaitan dengan kegiatan pemakaian
dan peredaran atau perdagangan penggunaan obat atau zat kimia yang
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia.Sinar Grafika.2015,Jakarta. Cet.ke 9.
Hlm 254
berfungsi menurunkan tingkat kesadaran ingatan atau fisik bahkan
menimbulkan masalah dan gangguan kesehatan kejiwaan seorang, dalam
situasi dan kondisi tertentu yang telah terjadi, karenanya dapat dikenakan
sanksi fisik maupun moral bahkan perampasan kekayaan bagi
pelakunya.16
Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan
Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan
ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
Undang-undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya
adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa
semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan
kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan
kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar
kepentingankepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat
besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak
sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.
d. Penyidik
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi
Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
F. Metode Penelitian
16
Supramono,G.Hukum Narkotika Indonesia.Djambatan.2001, Jakarta
Dalam usaha memcahkan permasalahan yang telah dirumuskan perlu
adanya metode pelitian yang jelas dan sistematis, berkaitan dengan itu ada
beberapa tahap yang perlu ditentukan antara lain:
1. Pendekatan Masalah
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode
yuridis empiris atau metode yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang
dilakukan terhadap norma hukum yang berlaku dihubungkan dengan
fakta fakta yang ada di lapangan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yang besifat
deskriptif, ditujukan untuk memberikan data yang sedetail mungkin
mengenai masalah yang diteliti, serta memberikan gambaran mengenai
proses pelaksanaan penyitaan dan tanggung jawab keamanan barang
bukti narkotika.Dalam hal ini, penulis mendeskripsikan atau
menggambarkan tentang bagaimana proses pelaksanaan penyitaan oleh
penyidik terhadap barang bukti pada tindak pidana narkotika.
3. Jenis dan Sumber data
a. Jenis data
1) Data Primer
Data primer merupakan data yang didapat dari hasil
penelitian langsung di lapangan (field research) baik itu hasil
wawancara dan pengamatan di lapangan yang berkaitan dengan
permasalahan.
2) Data sekunder
Data sekunder merupakan informasi-informasi dari bahan
studi kepustakaan yang diperlukan bagi penelitian17
.
a) Bahan Hukum Primer
Adapun bahan hukum yang saya gunakan untuk
mendukung data sekunder yaitu bahan hukum primer dan bahan
hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
- Peraturan Presiden Nomor 23 Tahunb 2010 Tentang Badan
Narkotika Nasional.
- Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Prosedur
Administrasi Pertanggung Jawaban Keuangan di Polri.
- Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
17
Amiruddin Dan Zainal Asikin.2003.Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, Hal-167
- Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort
dan Kepolisian Sektor.
- Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 27/ J.
A/3/ 1998 tentang Syarat dan Tata Cara Penetapan Status
Barang Sitaan Narkotika.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.18
Bahan hukum sekunder ini
berupa buku-buku, majalah atau jurnal hukum, teori-teori
atau pendapat sarjana, hasil penelitian hukum, hasil karya
ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya. Bahan hukum
sekunder yang terutama digunakan adalah buku teks karena
buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum
dan pandangan-pandangan klasik para sarjana.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.19
Bahan hukum tersier ini
berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, ensiklopedia
dan sebagainya.
18
Ibid, hlm. 114. 19
Bambang Sunggono. 2010, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm 113
b. sumber data
1) Penelitian lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dapat didefinisikan yaitu secara
langsung mengadakan pengamatan untuk memperoleh informasi
yang diperlukan dalam penyusunan laporan
2) Penelitian kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan
hanya berdasarkan atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian
baik yang telah maupun yang belum dipublikasikan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini:
a. Studi dokumen
Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dari
data yang terdapat dilapangan. Dengan menggunakan teknik ini
peneliti akan mencari dan menghimpun data-data atau kasus-kasus
yang berkaitan dengan penyitaan barang bukti narkotika yang
dilakukan oleh Penyidik SATRESNARKOBA Polresta Padang.
b. Wawancara
Wawancara atau dikenal dengan istilah interview adalah salah
satu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara
langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban respoden
bisa dicatat atau direkam. Menurut Kartono, Wawancara adalah suatu
percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu dan
merupakan proses Tanya-jawab lisan, dimana dua orang atau lebih
saling berhadapan secara fisik”.20
Oleh karna itu wawancara yang di
gunakanan penulis adalah wawancara semi tersruktur, yaitu
wawancara dengan membuat pedoman wawancara terlebih dahulu
disusun dan dipersiapkan. Namun, tidak menutup kemungkinan
adanya pertanyaan-pertanyaan baru yang secara spontan sebagai
reaksi dari narasumber yang menjadi sampel. Dalam hal ini
penulismenggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara non
random dengan bentuk purposive sampling. Adapun yang dijadikan
narasumber dalam wawancara ini yaitu
1) Kasat Reserse Narkotika Polresta Padang (Unit Idik II)
2) Dua orang penyidik di Kepolisian Polresta Padang
Sifat daftar pertanyaan yang akan digunakan dalam
menghimpun data melalui wawancara untuk penelitian ini adalah
campuran yaitu sebagian jawaban pertanyaan telah disediakan oleh
peneliti dan sebagian besar lagi bebas dijawab oleh responden.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan segala keterangan dan
informasi yang berkaitan dengan penyitaan barang bukti narkotika
yang dilakukan oleh Penyidik SATRESNARKOBA Polresta Padang.
5. Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan data
20
Jonathan sarwono, Pintar Menulis Karya Ilmiah-Kunci Sukses Dalam Menulis Ilmiah,
C.V ANDI OFFSET, 2010. hlm.34
Pengolahan data diperlukan dalam usaha merapikan data-data
yang telah dikumpulkan sehingga memudahkan dalam menganalisa
data tersebut. Pengolahan data ini meliputi:
1) Editing (pengeditan)
Editing merupakan proses penelitian kembali terhadap catatan-
catatan, berkas-berkas dan informasi yang telah dikumpulkan.
Tujuan dilakukannya editing dalam proposal penelitian ini
adalah untuk meneliti kembali hasil wawancara yang diperoleh
dari narasumber dan memeriksa apakah hasil wawancara
tersebut sudah dapat dipertanggung jawabkan sesuai kenyataan
dengan mencocokannya dari catatan-catatan dan berkas-berkas
yang telah didapat secara langsung.
2) Tabulasi
Tabulasi adalah bentuk pengolahan data yang dilakukan dengan
menyajikannya dalam bentuk table. Penyajian data dalam
bentuk table berfungsi sebagai pemapar gambaran deskriptif
mengenai sesuatu variable tertentu.21
b. Analisis data
Semua data yang telah diolah dilakukan analisis secara
kualitatif, analisis kualitatif dilakukan dengan melihat pelaksanaan
penyitaan barang bukti narkotika sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
21
Bambang Sunggono,op. cit. hlm. 130.