14
Pendekatan Non-farmakologis untuk Pengelolaan Nyeri Akut Nyeri didefinisikan oleh International Association for the Study of Pain sebagai pengalaman sensoriss dan emosional yang tidak menyenangkan, akibat proses kerusakan jaringan yang benar terjadi, ataupun akibat ancaman kerusakan jaringan. 1 Nyeri merupakan pengalaman subyektif yang timbul berbeda-beda pada masing-masing individu melalui pengalaman hidup. Mekanisme patofisiologis dari nyeri serta lokasi proses nyeri, selanjutnya akan dijelaskan dan didiskusikan pada bab lain dari buku ini. Konsep-konsep yang mendasari proses persepsi nyeri meliputi hal-hal berikut: proses sensitisasi perifer dan sentral, pengenalan/interpretasi kortikal yang lebih tinggi, inhibisi desenden, dan respon- respon simpatetik. Pemahaman dasar dari konsep-konsep tersebut merupakan kunci untuk mengapresiasi berbagai teknik analgesi tradisional dan non-tradisional. Hadirnya pendekatan multimodalitas untuk pengelolaan nyeri yang telah diterima secara luas, maka fokus kita harus diperluas dan juga meliputi teknik-teknik penanganan nyeri di luar pendekatan farmakologis dari dunia Barat. Keseimbangan yang baik harus dicapai antara pengelolaan secara farmakologis dan teknik non-farmakologis non- tradisional. Observasi yang dilakukan selama tahun 1980-an menemukan bahwa harus dilakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pendekatan analgesi. Keberhasilan World Health Organization (WHO) dalam menyusun pedoman pengelolaan nyeri, didasarkan pada pemberian agen farmakologik yang tepat untuk masing-masing tingkat keparahan nyeri. Jenjang analgesik milik WHO memungkinkan penggunaan analgesik opiat sebagai dasar pengelolaan nyeri. Tujuan tersebut

Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat anestesi

Citation preview

Page 1: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

Pendekatan Non-farmakologis untuk Pengelolaan Nyeri Akut

Nyeri didefinisikan oleh International Association for the Study of Pain sebagai pengalaman sensoriss dan emosional yang tidak menyenangkan, akibat proses kerusakan jaringan yang benar terjadi, ataupun akibat ancaman kerusakan jaringan.1

Nyeri merupakan pengalaman subyektif yang timbul berbeda-beda pada masing-masing individu melalui pengalaman hidup. Mekanisme patofisiologis dari nyeri serta lokasi proses nyeri, selanjutnya akan dijelaskan dan didiskusikan pada bab lain dari buku ini. Konsep-konsep yang mendasari proses persepsi nyeri meliputi hal-hal berikut: proses sensitisasi perifer dan sentral, pengenalan/interpretasi kortikal yang lebih tinggi, inhibisi desenden, dan respon-respon simpatetik. Pemahaman dasar dari konsep-konsep tersebut merupakan kunci untuk mengapresiasi berbagai teknik analgesi tradisional dan non-tradisional.

Hadirnya pendekatan multimodalitas untuk pengelolaan nyeri yang telah diterima secara luas, maka fokus kita harus diperluas dan juga meliputi teknik-teknik penanganan nyeri di luar pendekatan farmakologis dari dunia Barat. Keseimbangan yang baik harus dicapai antara pengelolaan secara farmakologis dan teknik non-farmakologis non-tradisional. Observasi yang dilakukan selama tahun 1980-an menemukan bahwa harus dilakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pendekatan analgesi. Keberhasilan World Health Organization (WHO) dalam menyusun pedoman pengelolaan nyeri, didasarkan pada pemberian agen farmakologik yang tepat untuk masing-masing tingkat keparahan nyeri. Jenjang analgesik milik WHO memungkinkan penggunaan analgesik opiat sebagai dasar pengelolaan nyeri. Tujuan tersebut berhasil dicapai, yang dibuktikan dengan fakta bahwa penjualan opiat di Amerika Serikat, dalam hal ini adalah morfin, meningkat dari 76,747.0 mg pada tahun 1999 menjadi 134,792.7 mg pada tahun 2002.2 Pedoman WHO dengan jelas mendukung penggunaan analgesik non-opioid dan teknik-teknik non-farmakologik; namun demikian, pilihan-pilihan tersebut jarang digunakan secara optimal.

Monoterapi dengan opioid dihubungkan dengan efek-efek samping signifikan yang mengganggu dan kadang-kadang dapat membahayakan hidup. Opioid dapat menyebabkan efek depresi pernapasan yang bergantung kepada dosis pemberian, akibat gangguan pengaturan pada pusat pernapasan. Pusat refleks batuk di medula juga dapat dipengaruhi oleh penggunaan opioid, menyebabkan peningkatan resiko aspirasi. Opioid, seperti morfin dan fentanil, dihubungkan dengan kejadian konfusi, disfungsi kognitif, peningkatan efek sedasi, dan depresi pernapasan. Morbiditas demikian utamanya menyulitkan pada pasien-pasien usia lanjut, dan dapat meningkatkan morbiditas dan mengganggu aktivitas hidup sehari-hari. Efek-efek morfin dan kerabatnya terhadap traktus gastrointestinal, sepertinya bergantung kepada dosis

Page 2: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

pemberian dan cukup bervariasi. Seringkali terjadi disfungsi motilitas gastrointestinal dan disfungsi traktus genitourinari akibat penggunaan obat-obat opioid. Efek relaksasi pada otot spinchter esofagus bagian bawah akan meningkatkan resiko aspirasi, sementara peningkatan tonus yang disertai penurunan aktivitas propulsif dari usus seringkali menyebabkan konstipasi. Sejauh ini, salah satu efek opioid yang paling tidak diinginkan adalah aktivitasnya pada chemoreceptor trigger zone yang menyebabkan resiko tinggi untuk mual dan muntah. Analgesik opioid juga seringkali disalahgunakan. The Drug Abuse Warning Network mengeluarkan sebuah laporan pada tahun 2006, dengan data-data yang dikumpulkan berupa sampel dari kasus-kasus di unit gawat darurat (UGD) pada berbagai rumah sakit umum non-federal. Pada hampir 1.3 juta kasus di UGD, hampir setengah juta di antaranya merupakan kasus penggunaan secara non-medis dari obat-obat yang penggunaannya harus sesuai resep, seperti opiat benzodiazepine, dan relaksan otot.Faktanya, 31.9% dari kasus-kasus tersebut merupakan kasus penyalahgunaan opiat3 (Tabel 24.1).

Laporan dari The National Survey on Drug Use and Health, yang dipublikasikan pada tahun yang sama oleh Substance Abuse and Mental Health Services Administration, lebih jauh menggarisbawahi mengenai cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan obat-obat farmasi untuk tujuan non-medis, setidaknya oleh individu dewasa muda berusia 18-25 tahun. Sekalipun mayoritas dari kasus mengindikasikan bahwa obat yang bersangkutan diperoleh secara gratis dari teman atau kerabat (53%), namun sumber terbanyak kedua untuk penyalahgunaan non-medis dari resep obat diperoleh dari klinisi (12.7%) (Gambar 24.1).4 Apapun cara yang digunakan oleh individu untuk mendapatkan obat tersebut, kasus-kasus penyalahgunaan opiat tetaplah merupakan suatu realitas.

Komplikasi akhir akibat analgesik opioid adalah kejadian opioid-induced hyperalgesia (OIH). Fenomena hiperestesi ini dipercaya merupakan akibat dari peningkatan sensitivitas secara paradoks terhadap stimulus nyeri. OIH dapat dibedakan dengan efek pada kejadian toleransi, melalui peningkatan progresif dari intensitas nyeri sekalipun dengan peningkatan dosis yang adekuat. Etiologi OIH bersifat multifaktorial; namun para peneliti memiliki dugaan kuat adanya peranan sentral dari aktivasi reseptor NDMA.5

TERAPI NON-FARMAKOLOGIK

Apabila tujuan kita adalah untuk mendapatkan penanganan yang paling efektif dengan angka resiko efek samping yang minimal, maka kita harus mengintegrasikan semua metode analgesi yang ada. Seperti halnya bahwa penggunaan berbagai golongan obat analgesik dapat menurunkan dosis dan efek samping dari masing-masing obat, maka penggunaan teknik analgesik non-farmakologik ajuvan dapat mengurangi dosis analgesik kumulatif, sehingga dapat meningkatkan keamanan pasien. Selain itu, kebanyakan teknik-teknik non-farmakologik bebas dari efek samping. Mengurangi paparan terhadap obat juga dapat menurunkan insiden terjadinya efek samping yang

Page 3: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

mengganggu dan mengancam hidup, menurunkan resiko penyalahgunaan opioid, dan menurunkan angka prevalensi OIH. Keuntungan yang dapat diberikan oleh analgesik-analgesik non-farmakologik tidak boleh dianggap enteng.Tabel 24.1: Kasus-kasus Kunjungan ke Unit Gawat Darurat Akibat Penggunaan Opiat secara Non-medis

Jumlah kunjungan Konfiden 95% Obat Angka Persentase Batas Bawah Batas Atas____________________________________________________________________________________Opiat/opioid 158,281 31.9 131,292 185,270Hydrocodone/combos 42,491 31,831 52,151Oxycodone/combos 36,559 28,964 44,154Methadone 31,874 23,752 39,996___________________________________________________________________________________Catatan: Data diambil dari laporan-laporan Drug Abuse Warning Network pada kurang-lebih satu setengah juta kunjungan ke unit gawat darurat akibat penggunaan obat-obat farmasi secara non-medis pada tahun 2004.

Banyak dari teknik analgesi non-farmakologik yang berkembang dari pengobatan Timur dan belum diterima secara luas di dunia medis Barat. Namun demikian, teknik–teknik tersebut merupakan komponen yang sedang berkembang dari teknik pengobatan alternatif, yang menjadi cukup populer di kalangan pasien. Kendala terbesar untuk penggabungan teknik-teknik ini ke dalam bidang pengelolaan nyeri, meliputi ketidaktahuan, tekanan produksi, dan kurangnya penelitian yang baik untuk membuktikan validitasnya. Sayangnya, karena sifat dari kebanyakan teknik intervensi ini, maka sulit dirancang suatu model penelitian yang sesuai dengan standar dunia Barat.

Pengobatan secara holistik merupakan salah satu metode penyatuan dari sekian banyak mekanisme yang diajukan untuk sejumlah teknik analgesik non-tradisional, non-farmakologik yang populer akhir-akhir ini. Pengobatan holistik merupakan suatu konsep yang berfokus bahwa seorang pasien merupakan gabungan dari berbagai bagian tubuhnya. Semua bagian-bagian tubuh yang berbeda, termasuk pikiran, terhubung satu sama lain. Proses patologi yang berlangsung pada salah satu bagian tubuh, selanjutnya akan mempengaruhi bagian tubuh lainnya. Karenanya, untuk dapat menangani seorang pasien dengan tepat, klinisi harus memandang pasien sebagai lingkungan yang kompleks. Tidak ada bentuk analgesi yang dapat mengilustrasikan konsep tersebut secara lebih baik dari praktek akupuntur.

Di luar konsep pengobatan holistik, bidang akupuntur, akupresur, moksibusi, cupping, transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS), dan percutaneus electrical nerve stimulation (PENS) (elektro-akupuntur), semuanya memiliki kemiripan yang lain. Sekalipun teknik akupuntur, akupresur, dan moksibusi, semuanya berkembang dari pengobatan kuno di Asia-Timur; namun TENS dan PENS mmiliki pengembangan yang lebih bersifat Barat dengan progenitor awal pada praktek klinis dapat ditemukan sejak

Page 4: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

masa Yunani kuno. Hal mendasar yang menghubungkan semua jenis terapi tersebut meliputi pemberian stimulus noksius atau subnoksius pada lokasi-lokasi berlainan untuk menghasilkan efek iritasi pelawan nyeri, serta keadaan analgesi yang meninggi.

Gambar 24.1: Persentase dari laporan mengenai berbagai cara pasien (usia 18-25 tahun) mendapatkan obat-obat farmasi untuk penggunaan non-medis, dalam satu tahun terakhir

AKUPUNTUR

Teknik akupuntur mungkin pertama kali digunakan lebih dari 3000-4000 tahun yang lalu. Huang Di Nei Jing (The Yellow Emperor’s Classic of Internal Medicine), yang disusun sejak kurang lebih 400-100 tahun S.M, merupakan tulisan paling awal yang menjelaskan mengenai teknik akupuntur.6,7 Sejak pertama kali muncul, teknik ini mengalami pertumbuhan popularitas dengan lebih dari 10 juta penggunaan per tahun di Amerika Serikat.8 Pengesahan praktek akupuntur di dunia modern merupakan hasil dari dukungan pemerintah, yang diperoleh pada masa kekuasaan Mao Zedong pada akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an. Praktek ini menyebar hingga negara-negara Barat kurang lebih 20 tahun sesudahnya, dengan adanya perkembangan politik internasional dari AS. Popularitasnya berkembang dari berbagai laporan yang menyatakan efektifitas dari teknik tersebut untuk anestesi pembedahan. Saat ini, praktek akupuntur mendapat penilaian yang sangat tinggi, dimana Food and Drug Administration (FDA), National Institutes of Health NIH), serta WHO, semuanya memberikan persetujuan untuk penggunaannya.6

Teknik akupuntur didasarkan pada hubungan satu sama lain secara keseluruhan. Filosofi akupuntur mendalilkan bahwa terdapat satu sumber energi yang menyebar ke alam semesta dan semua benda di dalamnya. Aliran energi ini berada dalam kondisi keseimbangan antara energi yin dan yang, secara terus menerus. Aliran energi tersebut, disebut qi, mengalir melalui jalur yang disebut meridian. Tubuh terdiri dari rangkaian

Secara gratis dari teman atau kerabatResep dari seorang dokterDibeli dari teman atau kerabatDibeli dari penyalur obatDiambil dari teman atau kerabatCara lain-lainResep dari lebih dari satu dokterSumber yang tidak diketahui

Page 5: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

meridian-meridian yang menghubungkan berbagai bagian tubuh satu sama lain, dan dengan alam semesta. Terdapat empat belas meridian klasik yang telah dijabarkan bersama dengan lebih dari 360 titik-titik akupuntur yang spesifik. Apabila terjadi sumbatan pada salah satu meridian tubuh, energi qi akan berhenti mengalir dan menimbulkan kondisi patologi. (Gambar 24.2[a] dan 24.2[b] mengilustrasikan meridian-meridian dan area akupuntur untuk badan dan kepala).

Gambar 24.2a: Meridian-meridian akupuntur serta area efek terapeutik pada badan (dikutip dengan seijin dari Shmuel Halevi)

Terdapat berbagai titik akupuntur yang tersebar di antara meridian-meridian tersebut, dan pada titik-titik itulah penusukan jarum akan memberikan efek. Stimulasi pada titik-titik tersebut diberikan dengan cara memutar-mutar atau menjentikkan jarum akupuntuk untuk menghasilkan stimulus aferen. Titik-titik akupuntur distimulasi untuk mengurangi hambatan aliran qi ke seluruh tubuh. Ketika berhasil dilakukan, keseimbangan akan diperoleh kembali, dan gejala-gejala penyakit akan menghilang.6,8

Para ahli akupuntur membuktikan bahwa lokasi penempatan jarum telah tepat dengan melihat munculnya hiperemis kutaneus (fenomena de qi), yang diyakini dimediasi oleh pelepasan mediator-mediator secara lokal dan humoral (Gambar 24.3).

Page 6: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

Gambar 24.2b: Meridian-meridian pada wajah dan leher (dikutip dengan seijin dari Shmuel Halevi)

Sejak awal pengenalan akupuntur ke dunia kedokteran Barat, para peneliti klinis menemui kesulitan dalam memahami sifat mistik dari akupuntur dan berusaha untuk membuktikan validitas dari teknik ini. Untungnya, kondisi tersebut membaik dengan adanya ketertarikan dari dunia medis Barat. Sejumlah ahli yang tertarik pada akupuntur telah mencoba untuk menjelaskan mekanisme kerjanya; namun demikian, hanya beberapa dari teori yang diajukan yang bisa bertahan seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1965, Melzack dan Wall memperkenalkan teori gate control, yang selanjutnya digunakan untuk menjelaskan kemungkinan mekanisme dari kualitas analgesi akupuntur.9 Menurut teori tersebut, stimulasi noksius terhadap serabut saraf sensori A-β akan mengirimkan impuls aferen ke kornu dorsalis medula spinalis, yang akan menginhibisi transmisi impuls nyeri pada serabut-serabut saraf A-δ dan C yang berukuran lebih kecil. Teori ini, beserta teori-teori lainnya, mengajukan bahwa yang memiliki peranan dalam teknik akupuntur adalah jalur-jalur neural, dan bukannya meridian-meridian yang misterius. Hal ini kemudian memberikan dasar ilmiah yang

Area 1 – Penyakit-penyakit hidungArea 2 – Penyakit-penyakit mataArea 3 – Penyakit-penyakit pada pipi, mulut, dan bibirArea 4 – Penyakit-penyakit pada kepala, wajah, mata, hidung, temporal, dan oksipitalArea 5 – Penyakit-penyakit telingaArea 6 – Penyakit-penyakit mata, hidung, kepala, leher, lidah, telingaArea 7 – Penyakit-penyakit leher, tenggorokan, lidah

Page 7: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

diperlukan untuk mendorong penerimaan yang lebih luas terhadap akupuntur dalam dunia Barat.

Mengacu kepada dasar teori tersebut, beberapa penelitian terbaru mulai menyelidiki kontribusi neurohormonal pada akupuntur. Berdasarkan hasil observasi bahwa efek analgesi yang dihasilkan akupuntur memiliki onset lambat yang bertahan lebih lama dari periode stimulasi, maka diajukanlah teori mekanisme humoral.

Beberapa penelitian awal terhadap hewan, dan selanjutnya terhadap manusia, yang menggunakan antagonis opiat telah memberikan bukti nyata untuk mendukung hipotesis bahwa efek akupuntur setidaknya timbul sebagian akibat pelepasan opioid-opioid endogen.10-12 Tim Mayer menyelidiki efektifitas dari akupuntur setelah terjadi paparan dengan naloxone, suatu antagonis opioid spesifik. Sekalipun subyek-subyek yang mereka teliti mengalami kurang-lebih peningkatan ambang batas nyeri sebesar 27%, namun efek ini mengalami peniadaan setelah pemberian naloxone.13 Peningkatan kadar β=endorfin juga ditemukan pada penelitian kohort terhadap sejumlah subyek laki-laki yang menjalani operasi abdominal mayor. Peningkatan tersebut telah teramati 5 menit post-stimulasi, namun sulit untuk mengganggapnya hanya merupakan akibat terapi akupuntur.14 Sayangnya, peneliti saat itu menggabungkan akupuntur dan TENS ke dalam satu kelompok terapi; namun demikian, kebanyakan ahli meyakini bahwa dua bentuk teknik kontra-iritasi tersebut memiliki mekanisme yang serupa.

Gambar 24.3: Fenomena de qi, reaksi hiperemis yang menjadi patokan ahli akupuntur untuk memastikan penempatan jarum yang tepat

Sejumlah peneliti lainnya juga berpendapat adanya pengaruh endorfin pada efek akupuntur; namun demikian, hasil penelitian ini pun mendapat sanggahan. Nampaknya,

Page 8: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

beberapa peneliti tidak menemukan adanya korelasi antara terapi akupuntur dengan kadar opioid endogen tertentu. Tempfer at al15 menemukan dalam penelitian mereka terhadap 80 orang wanita yang akan melahirkan, bahwa tidak ada peningkatan kadar β-endorfin yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, sekalipun terdapat penurunan lama waktu persalinan. Sekalipun hasil penelitian mereka mendukung penggunaan akupuntur selama persalinan, namun mekanisme kerjanya masih dipertanyakan.

Sulit untuk mengesampingkan kemungkinan adanya peranan dari opioid endogen, karena telah dilaporkan adanya angka toleransi serta efek antagonisme terhadap opioid pada penggunaan akupuntur. Namun demikian, sulit untuk membuat asumsi demikian dengan adanya penemuan-penemuan yang menyatakan sebaliknya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh metodologi dari penelitian yang dilakukan, atau masih merupakan misteri yang belum terungkap sepenuhnya. Lebih banyak lagi penelitian yang mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa terdapat opioid endogen atau neurotransmiter lainnya yang terlibat dalam respon analgesi terhadap terapi akupuntur. Beberapa penelitian telah mengajukan teori interaksi yang sangat kompleks antara sejumlah jalur sistem saraf pusat (SSP) dengan berbagai transmiter neural dan humoral. Salah satu artikel yang meninjau penelitian-penelitian tersebut, dipublikasikan pada tahun 1987, mencoba untuk membedah literatur terkait topik ini. Setelah meninjau dengan seksama, terdapt dugaan bahwa sejumlah lokus SSP berhubungan dengan efek analgesi dari akupuntur, dan bahwa berbagai endorfin (met-enkephalin, dynorphin, β-endorfin, dll) serta neurotransmiter (serotonin dan norepinefrin) berperan sebagai sinyal antara sistem-sistem tersebut.12

Perkembangan terbaru dalam teknik pencitraan otak, seperti positron emisssion tomography (PET) dan functional resonance imaging (fMRI), telah memungkinkan penyelidikan lebih dalam terhadap mekanisme yang mendasari efek analgesi dari akupuntur. Berbagai penelitian telah mengidentifikasi adanya sistem neural kompleks yang terlibat dalam efek analgesi akupuntur. Penelitian-penelitian ini telah mendidentifikasi keterlibatan sejemulah area seperti hipotalamus, vermis serebellum, koteks cingular arkuata, korteks prefrontal, substansia grisea periaqueductal, hipokampus, dan area somatosensori I dan II. Sekalipun diketahui bahwa intervensi dengan plasebo dapat menstimulasi beberapa dari regio-regio otak tersebut, namun terdapat perbedaan dalam hal derajat stimulasi dan spesifisitas lokal.16,17

Sekalipun terdapat banyak peneliti yang mengajukan penjelasan yang berbeda mengenai mekanisme akupuntur, namun belum ada kesimpulan definitif yang dibuat. Mekanisme tersebut sepertinya merupakan kombinasi dari jalur-jalur yang telah disebutkan sebelumnya. Belakangan ini, suatu teori yang lebih eklektik dan terpadu mengenai mekanisme akupuntur telah diajukan. Stimulus noksius dari jarum stimulan pada serabut saraf aferen tipe I, II, dan A-δ, yang impulsnya mencapai traktus anterolateral medula spinalis, menghasilkan peningkatan pelepasan enkphalin dan dynorphin. Opioid-opioid endogen ini akan menghambat proses asending dari sinyal

Page 9: Bab 24 Pendekatan Non-farmakologis Untuk Pengelolaan Nyeri Akut

nyeri tambahan pada traktus spinotalamikus. Selanjutnya, jarum-jarum akupuntur juga akan mengaktifkan jalur desenden inhibitori melalui peningkatan aktivitas norepinefrin dan serotonin. Akhirnya, akupuntur akan menstimulasi kompleks pituitari-hipotalamus, menyebabkan peningkatan pelepasan β-endorfin.6 Nampaknya keterkaitan yang kompleks antara mekanisme neural dan humoral inilah yang menghasilkan sifat analgesi dari terapi akupuntur.

NIH, WHO, dan FDA telah mengesahkan, meregulasi, dan mengijinkan praktek akupuntur untuk beberapa penyakit tertentu. Namun demikian, kebanyakan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, memiliki hasil dan kesimpulan yang bertentangan. Menurut beberapa penulis, hal ini disebabkan karena efek plasebo atau kesulitan dalam merancang penelitian yang tepat untuk menguji sifat analgesi dari akupuntur. Sekalipun demikian, saat ini akupuntur dinilai memiliki efek analgesi yang lebih hebat dibanding plasebo.10 Beberapa penulis bahkan mempertimbangkan keuntungan efek plasebo, sementara dengan jelas terdapat peningkatan efek analgesi plasebo bersama penggunaan akupuntur.11 Hasil tersebut mendapat dukungan dari penelitian lebih akhir yang mengunakan PET dan fMRI untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang signifikan antara jalur neural sentral yang distimulasi atau di-inhibisi oleh akupuntur dalam perbandingan dengan akupuntur “palsu” (plasebo).16,17 Tidak salah lagi, ini merupakan area penelitian yang akan memberikan penjelasan lebih jauh mengenai tidak hanya efektifitas dari akupuntur, namun juga etiologinya.

Akupuntur telah mendapat dukungan yang baik untuk penanganan sindrom nyeri akut maupun kronik, namun aplikasinya dalam analgesi post-operatif masih belum sepenuhnya ditinjau. Beberapa perkembangan kecil telah diperoleh dengan dukungan dari NIH Consensus Development Panel (NIHCDP) untuk keberhasilan klinis dari akupuntur dalam meredakan nyeri post-operasi dental.18 Baru belakangan ini, praktek klinis dari analgesi akupuntur post-operatif mendapat penelitian yang berkualitas untuk mendukung penggunaannya.