39
dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar PEDOMAN PENATALAKSANAAN NYERI AKUT I. PENDAHULUAN 1. TUJUAN 2. DEFINISI 3. MEKANISME NYERI AKUT 4. PRINSIP PENANGANAN NYERI AKUT II. FARMAKOLOGI 1. ANESTETIK LOKAL 2. ANALGESIK A. NON-OPIOID B. OPIOID 1. SISTEMIK 2. INTRASPINAL 3. KOMBINASI OPIOID / ANESTETIK LOKAL 3. SUPLEMEN UNTUK ANALGESIA III. NYERI PASCA BEDAH 1. DEFINISI 2. PERMASALAHAN A. KURANGNYA PERHATIAN B. EFEK SAMPING NYERI PASCA BEDAH 3. PENATALAKSANAAN IV. NYERI TRAUMA 1. PRINSIP UMUM A. TAHAP EMERGENSI B. TAHAP PENYEMBUHAN C. TAHAP REHABILITASI 2. KASUS KLINIS V. NYERI AKUT PADA KONDISI MEDIS TERTENTU 1. PENDAHULUAN 2. NYERI KARDIAK 3. NYERI AKUT ABDOMEN 4. NYERI AKUT PADA HERPES ZOSTER 5. NYERI MYOFASIAL 6. NYERI ARTHRITIS 7. NYERI SIMPATIS 1

12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tTerapi Nyeri Akut

Citation preview

Page 1: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

PEDOMAN PENATALAKSANAAN NYERI AKUT

I. PENDAHULUAN1. TUJUAN2. DEFINISI3. MEKANISME NYERI AKUT4. PRINSIP PENANGANAN NYERI AKUT

II. FARMAKOLOGI1. ANESTETIK LOKAL2. ANALGESIK

A. NON-OPIOIDB. OPIOID

1. SISTEMIK2. INTRASPINAL3. KOMBINASI OPIOID / ANESTETIK LOKAL

3. SUPLEMEN UNTUK ANALGESIA

III. NYERI PASCA BEDAH1. DEFINISI2. PERMASALAHAN

A. KURANGNYA PERHATIANB. EFEK SAMPING NYERI PASCA BEDAH

3. PENATALAKSANAAN

IV. NYERI TRAUMA1. PRINSIP UMUM

A. TAHAP EMERGENSIB. TAHAP PENYEMBUHANC. TAHAP REHABILITASI

2. KASUS KLINIS

V. NYERI AKUT PADA KONDISI MEDIS TERTENTU1. PENDAHULUAN2. NYERI KARDIAK3. NYERI AKUT ABDOMEN4. NYERI AKUT PADA HERPES ZOSTER5. NYERI MYOFASIAL6. NYERI ARTHRITIS7. NYERI SIMPATIS8. KASUS KLINIS

VI. NYERI PASCA BEDAH PEDIATRIKVII. NYERI OBSTETRIKVIII. NYERI AKUT PADA KANKER

1

Page 2: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

PEDOMAN PENATALAKSANAAN NYERI AKUT

PENDAHULUAN

TUJUANDEFINISI

Menurut IASP (International Association of the Study of Pain) nyeri didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in term of such damage”. Nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu.

Dari sini dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain :1. Nyeri merupakan rasa inderawi yang tidak menyenangkan. Keluhan tanpa

unsur tidak menyenangkan, tidak dapat dikategorikan sebagai nyeri.2. Nyeri selain merupakan rasa indrawi juga merupakan pengalaman emosional

yang melibatkan afeksi atau motivasi. Jadi nyeri memiliki dua dimensi yakni dimensi inderawi dan dimensi afeksi.

3. Nyeri terjadi sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata, disebut sebagai nyeri akut.

4. Nyeri juga dapat timbul akibat adanya rangsangan yang berpotensi merusak jaringan, hal ini disebut sebagai nyeri fisiologis, yang fungsinya untuk membangkitkan refleks penghindar.

5. Selain itu nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata, tapi penderita menggambarkannya sebagai suatu pengalaman seperti itu, hal ini disebut sebagai nyeri kronik.

Nyeri akut : Nyeri yang baru-baru terjadi dan lamanya terbatas, biasanya dapat dilihat adanya hubungan sebab dan jarak waktu yang jelas dengan terjadinya kerusakan jaringan atau suatu penyakit.

Nyeri kronik : Nyeri yang berlangsung dalam waktu lama, menetap walaupun penyebab awalnya sudah sembuh dan seringkali tidak ditemukan penyebab pastinya.

Rangsang noksius : Rangsang yang menyebabkan kerusakan atau berpotensi merusak integritas jaringan (defisini ini tidak berlaku untuk semua bentuk nyeri viseral)

Nosisepsi : proses deteksi hingga persepsi adanya rangsang noksius

Perilaku nyeri : perilaku yang membuat pengamat menyimpulkan bahwa seseorang sedang mengalami nyeri

2

Page 3: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

MEKANISME NYERICiri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan

jaringan yang nyata (actual tissue damage). Prototipe nyeri akut adalah nyeri pascabedah.

Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang, sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri terdapat serangkaian peristiwa elektrofisiologis yang secara kolektif disebut sebagai nosiseptif (nociception). Ada 4 proses fisiologis yang jelas yang terjadi dalam suatu nosisepsi, yakni 1) transduksi; 2) transmisi 3) modulasi ; 4) persepsi.

1. Transduksi (transduction), merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious stimuli) dirubah menjadi aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensoris (nerve ending) (gambar 1). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

Gambar 1. Proses Transduksi

2. Transmisi (transmision), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris menyusul proses transduksi (gambar 2).

3. Modulasi (modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang (gambar 3). Analgesik endogen ini meliputi opiat endogen, serotonergik, dan noradrenergik yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri di kornu posterior.

Gambar 2. Proses Transmisi

3

Page 4: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyelurkan asupan nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan, motivasi, pendidikan, status emosional dan kultur dari seseorang. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu asupan nyeri.

4. Persepsi (perseption), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Gambar 3. Proses Modulasi

Nyeri akut berawal dari kerusakan struktur integumen dari suatu organ. Substansi penyebab nyeri (algogen) dibentuk atau dilepas di sekitarnya dan merangsang ujung-ujung syaraf (nosiseptor) dari serabut-serabut tipis yang dilapisi ataupun tidak dilapisi myelin (proses transduksi). Sinyal yang ditimbulkan dibawa sepanjang serabut nosiseptor ini ke kornu dorsalis dari medula spinalis (atau nukleus sensorik dalam hal syaraf kranial) (proses transmisi). Disini proses modulasi (penguatan atau penekanan) bisa terjadi sebelum sinyal diteruskan ke daerah tertentu di korteks serebri yang memproses nyeri, sehingga timbul berbagai respons terhadap sinyal nyeri tersebut (proses persepsi). Sepanjang “jalur nyeri” berbagai refleks yang ditimbulkan bisa menghasilkan respon yang menguntungkan (misal : menghindari penyebab rangsang noksius) atau merugikan (misal : perubahan endokrin atau aktivasi simpatis tertentu).

Secara alamiah nyeri akut biasanya berakhir dengan penyembuhan spontan. Intensitas nyeri paling tinggi adalah pada saat awal timbul. Dengan terjadinya penyembuhan dan stabilisasi bagian yang luka, jumlah algogen yang dilepaskan berkurang, sementara sistem modulasi masih terus aktif sehingga nyeri secara bertahap akan berkurang. Ini berlaku untuk semua jenis nyeri akut “sederhana” seperti nyeri pasca bedah, trauma atau luka bakar. Selama tahap pemulihan, aktivasi berbagai jalur reaksi kimia dapat menyebabkan perubahan karakter nyeri.

4

Page 5: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Nyeri akut yang tidak diobati dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nyeri kronik.

Nyeri akut bisa timbul berulang, misalnya nyeri pada krisis sickle cell anemia dan beberapa nyeri kanker. Dengan timbul berulang kali, karakter nyeri ini menjadi mirip dengan nyeri kronis sehingga akan menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi untuk menanganinya.

PRINSIP PENANGANAN NYERI AKUT

Nyeri akut – suatu gejala, bukan penyakitHarus selalu diingat bahwa nyeri akut hanyalah suatu gejala dan memberikan

peringatan akan adanya kerusakan atau potensi kerusakan jaringan. Jadi, penyakit yang mendasarinya harus dicari dan ditangani sebelum atau selama pengobatan nyeri akut.

Alasan kegagalan pada masa laluBanyak penelitian menunjukkan bahwa nyeri akut tidak ditangani dengan baik

di masa lalu. Alasan utama yang mendasarinya adalah kurangnya perhatian, pengetahuan dan kemampuan petugas kesehatan maupun pasien dalam penatalaksanaan nyeri.

Kini disadari bahwa terdapat perbedaan yang besar antara satu pasien dengan pasien lain dalam hal persepsi nyeri meskipun penyebabnya sama. Juga respon antar pasien terhadap teknik terapi tertentu sangat bervariasi. Selain karena perbedaan genetik, faktor lain yang berperan dalam persepsi nyeri adalah : rasa cemas, takut, tingkat pengendalian diri, latar belakang etnis / budaya serta arti nyeri bagi masing-masing individu. Beberapa faktor ini mungkin merupakan jawaban mengapa kadangkala pada pasien didapatkan perbedaan kadar morpine hingga lima kali lipat untuk menghasilkan tingkat analgesia yang sebanding.

Pengukuran nyeri akut

Penatalaksanaan nyeri akut yang baik memerlukan adanya suatu cara pengukuran nyeri yang memadai. Tabel 1. memperlihatkan contoh cara menilai nyeri pasca bedah secara kualitatif. Tabel 2. memperlihatkan berbagai metode penilaian intensitas nyeri guna menilai keberhasilan terapi yang dilakukan.

Harus diingat bahwa metode ini mengandalkan penilaian subjektif dari pasien terhadap nyeri yang dialaminya. Secara obyektif harus dinilai juga pengaruh terapi terhadap fungsi penting seperti kemampuan untuk bernafas dalam, batuk-batuk, bergerak atau berjalan.Gambaran lebih jauh bisa diperoleh dengan menanyakan pertanyaan sederhana : “Apakah anda puas dengan penanganan nyeri anda?“. Jawaban yang diberikan mungkin bukan penilaian murni dari nyeri, tapi lebih disebabkan berbagai faktor lain. Misalnya, terdapat bukti bahwa pasien akan lebih puas dengan tingkat nyeri yang dideritanya bila merasa bahwa semua yang mungkin dikerjakan untuk mengurangi

5

Page 6: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

nyerinya sudah dilakukan. Bisa saja skor nyeri yang dilaporkan oleh pasien sebenarnya masih cukup tinggi.

Untuk menilai pengaruh terapi, perlu dilakukan pengukuran skala nyeri sebelum dan sesudahnya.

Pentingnya pencegahanIstilah “plasticity“ digunakan untuk menerangkan perubahan penanganan

sinyal nyeri pada sistem syaraf sebagai akibat dari proses pengalaman dan pembelajaran atau respon terhadap rangsang nyeri. Dengan tindakan preemptive, perubahan “plasticity“ ini dapat dicegah atau dikurangi, misalnya : pemberian analgetik sebelum tindakan bedah dapat mengurangi nyeri pasca bedah.

Tabel 1. Penilaian Nyeri Pasca Bedah Secara KualitatifPertanyaa

n Jawaban Kemungkinan penyebab Tindakan

Dimana sakitnya ?

Daerah operasi

Jauh dari daerah operasi

“Dimana-mana“ atau “Tidak tahu“

Akibat langsung pembedahan : Nyeri insisi / viseral Refleks spasme otot Posisi yang tidak

nyaman

Anestesi Penyakit yang sudah

ada sebelumnya Komplikasi

pembedahan Eksaserbasi nyeri

kronik

Stress Masalah emosional

yang sudah ada

Penatalaksanaan nyeri akut

Pastikan diagnosa, berikan penangangan, lakukan konsultasi bila perlu

Ansiolisis farmakologis / non-farmakologis,berikan simpati

Rasanya seperti apa ?

Tajam, rasa diiris/ ditarik, kram, berdenyut, spasme

Mati rasa, kesemutan /parestesi, nyeri terus menerus

Penyebab organik, berhubungan langsung dengan pembedahan

Penyebab organik, tidak berhubungan langsung dengan pembedahan (misal: kompresi atau trauma syaraf, iskemi)

Penatalaksanaan nyeri akut

Catat dan evaluasi, pastikan diagnosa sebelum memberi terapi

6

Page 7: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

“Aneh“, “Tidak tahu“

Penyebab non-organik (cemas, takut, dll.) Catat dan evaluasi,

terapi suportif, ansiolisis bila perlu

Tabel 2. Teknik Penilaian Intensitas NyeriTeknik Cara penilaian PenggunaanSkala 5 angka 0 = tidak ada nyeri

1 = sedikit nyeri2 = nyeri sedang3 = sangat nyeri4 = nyeri terparah

Penilaian rutin pasien

Skala verbal kuantitatif

0 . . . . . . 5 . . . . . . 10

Tidak nyeri Nyeri terparah

“Berapa angka yang menggambarkan nyeri anda ?“

Penilaian rutin pasien

Skala visual analog (VAS)Garis 10 cm, alat penggaris yang bisa digeser

Tidak nyeri Nyeri terparah

“Berilah tanda pada garis yang menunjukkan tingkat nyeri yang sedang dirasakan“

Penilaian rutin pasien bisa digunakan untuk anak usia > 6 tahun

Parameter fisiologis atau tingkah laku

Gelisah, muka kesakitan, mengerang, berkeringat, keluar air mata, dilatasi pupil, takikardia, hipertensi, melawan ventilator

Pada pasien kritis yang tidak sadar, tidak responsif atau deliriumCara ini belum divalidasi dan harus digunakan dengan hati-hati

Penilaian fungsi Apakah pasien mampu melakukan fungsi yang penting untuk pemulihan (nafas dalam, batuk, spirometri, rentang gerak sendi, jalan) ?Ya / Tidak

Memperkuat data subjektif pasienHarus dilakukan pada semua pasien

7

Page 8: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Penilaian tingkat kepuasan

”Apakah anda puas dengan penanganan nyeri anda?”

Memperjelas jawaban yang tidak pastiUntuk pasien yang sulit memahami teknik lain

Skala nyeri pediatrik (dilakukan pengamat)

Amati ekspresi wajah, gelisah, menangis, respons kardiovaskuler

Neonatus – usia 3 tahun Usia 3 – 6 tahun (anak tertentu)

Skala nyeri pediatrik (dilakukan pasien)

Gambar wajah

Gambarkan / lukis sakitnya

Koin nyeri

Termometer nyeri

Tunjuk (atau lingkari /warnai) wajah yang sesuai dengan apa yang sedang dirasakan

Dapat diperkirakan lokasi, karakter dan intensitas nyeri

Jumlah koin = skor yang ”diberikan” anak

Mirip dengan VAS pada orang dewasa

Usia > 6 tahun Usia 3 – 6 tahun pada anak tertentu

FARMAKOLOGI

ANESTETIK LOKALTeknik anestesi regional untuk pembedahan memberikan pengaruh positif

pada sistem respirasi, kardiovaskuler dan neuroendokrin; mengurangi perdarahan dan komplikasi akibat tromboemboli; dan mempersingkat waktu pemulihan. Berbagai teknik blok syaraf yang dapat dilanjutkan ke pasca bedah menghasilkan analgesia yang aman dan efektif. Mulai dari infiltrasi sekitar sayatan bedah menggunakan anestetik lokal kerja panjang, blok syaraf perifer maupun pleksus, hingga teknik blok kontinu syaraf perifer maupun aksial.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan, konsentrasi yang dianjurkan dan dosis maksimum yang ”aman” dapat dilihat pada Tabel 3. Dosis yang dicantumkan adalah dosis untuk pasien dewasa yang sehat; dosis maksimum harus diperhitungkan berdasarkan berat badan, terutama pada pasien anak.

8

Page 9: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Tabel 3. ANESTETIK LOKAL PADA TERAPI NYERI AKUT

Obat Konsentrasi (%)

Lama kerja (jam)

Dosis maks.(mg/kg)

KonsentrasiPemberian kontinu (%)

LidocaineInfiltrasiEpiduralPleksus / Syaraf

0,5 – 11 – 2

0,75 – 1,5

1 – 21 – 21 – 3

7

BupivacaineInfiltrasiEpiduralPleksus / Syaraf

Interpleural

0,125 – 0,250,25 – 0,750,25 – 0,50,25 – 0,5

1,5 – 61,5 – 58 – 24+3 – 10

3,5---

0,0625 – 0,1250,125 – 0,25

?

Catatan :1. Dosis maksimum yaitu pada orang dewasa sehat dgn penambahan epinefrin

1:200.0002. Bila tidak digunakan epinefrin, kurangi dosis maksimum 30 – 50%3. Lidokain mempunyai mula kerja cepat dan menyebabkan blok motorik yang

kuat4. Pada penggunaan bupivakain perlu diperhatikan :

Hindari penggunaan konsentrasi 0,75 pada pasien kebidanan Konsentrasi rendah terutama menghasilkan blok sensorik Dapat terjadi aritmia ventrikel dan henti jantung setelah pemberian IV

cepat Hindari pemberian intrapleural bila pleura abnormal, misal pada

pneumonia5. Ropivakain mempunyai profil yang mirip dengan bupivakain

ANALGESIKA. NON-OPIOID

Analgesik non-opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akut yang berhubungan dengan pembedahan, trauma dan berbagai kondisi medis. Obat-obat tersebut memiliki sifat memperkuat kerja dari analgesik opioid. Selain sebagai obat tambahan / kombinasi untuk nyeri setelah pembedahan besar, golongan non-opioid sangat bermanfaat untuk pasien rawat jalan, pasien bedah gigi dan pasien bedah minor. Jika memungkinkan, pemberian obat ini sebaiknya dimulai pada saat sebelum tindakan pembedahan. Berbagai obat golongan analgesik non-opioid yang paling sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.

9

Page 10: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Beberapa karakteristik obat golongan ini adalah :1. Efek analgesia terbatas sampai dosis tertentu2. Tidak dijumpai toleransi / ketergantungan fisik / psikis3. Memiliki efek antipiretik4. Menghasilkan analgesia pada tingkat sistem saraf perifer dengan

penghambatan pembentukan prostaglandin.

Tabel 4. ANALGESIK NON-OPIOID PADA TERAPI NYERI AKUT

Obat Dosis dewasa (mg, po) Interval (jam) Dosis maks./hari

(mg)Aspirin

Parasetamol500 – 1000500 - 1000

4 – 64 – 6

60004000

NSAIDSIbuprofenNaproxen

IndomethacinAsam

mefenamatPiroksikamKetoprofenDiclofenacKetorolacMeloxicamParecoxib

200 – 400500 lalu 250

25500 lalu 250

1050

50 – 10030 – 60

4 – 612

8 – 12612

6 – 86 – 12

6

32001250150

100030300200150

Catatan :Aspirin mempunyai efek samping nyeri / perdarahan lambung dan gangguan fungsi trombosit permanenParasetamol mempunyai efek samping hepatotoksik pada pemakaian dosis tinggi jangka lamaSemua NSAIDS :

1. Menyebabkan gangguan fungsi trombosit bersifat sementara2. Dapat menyebabkan nyeri / perdarahan lambung 3. Dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal4. Dapat menyebabkan gangguan sistem saraf pusat.

B. OPIOIDSISTEMIK

Opioid sistemik dapat diberikan secara oral, transdermal, SC, IM atau IV. Pada awal terapi, pemberian opioid sistemik harus dimulai dengan dosis awal yang cukup (loading) agar tercapai konsentrasi analgesik terendah yang efektif (minimum effective analgesic concentration / MEAC). Setelah itu efek analgesia dapat mudah dipertahankan dengan menjaga kadar obat dalam darah. Tabel 5. memberikan

10

Page 11: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

pedoman cara pemberian, dosis loading, dosis pemeliharaan dan lama kerja dari berbagai opioid yang paling sering digunakan.Catatan :

1. Dosis awal IV harus diberikan secara titrasi untuk mengurangi resiko overdosis

2. Kecuali pada pasien anak, berat badan tidak dapat secara akurat digunakan untuk memperkirakan dosis opioid yang efektif. Pada setiap pasien harus dilakukan titrasi hingga efek yang diinginkan tercapai

3. Dosis pemeliharaan biasanya ± ½ dari dosis awal yang efektif4. Jika nyeri hebat muncul sebelum jadwal pemberian dosis berikutnya, berikan

satu dosis pemeliharaan tambahan dan lanjutkan terapi sesuai jadwal5. Pada penggunaan morphine slow release, lakukan pembulatan dosis ke

miligram terdekat. Jangan membagi tablet karena jika tablet tidak utuh lagi dapat terjadi pelepasan dosis tinggi secara tiba-tiba

6. Metabolit dari meperidine (normeperidine) dapat terakumulasi dan menyebabkan kejang karena stimulasi susunan saraf pusat, dosis yang lebih tinggi atau pemberian jangka panjang tidak dianjurkan.

Tabel 5. OPIOID SISTEMIK PADA TERAPI NYERI AKUT

ObatCara

pemberianDosis awal

(mg/kg)

Dosis pemeliharaan

(mg/kg)Lama kerja (jam)

Codeine

Morphine

Meperidine(Pethidine)

Fentanyl

Sufentanil

POSC, IM

POSR POSC, IM

IVPO

SC, IMIVIV

IV

1,51,0

0,5 – 1,01,00,150,15

2,5 – 3,51,5 – 2,01,5 – 2,00,0008-0,00160,0001-0,0003

0,750,5

0,5 – 1,01,0 – 2,00,2 – 0,2

0,01–0,04/jam1,5 – 3,01,0 – 1,5

0,3–0,6/jam0,0003-0,0006/

jam-

3 – 43 – 4

412

3 – 4Continuous

3 – 43 – 4

ContinuousContinuous

-

11

Page 12: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Dosis pemeliharaan dan kecepatan pemberiannya dapat ditentukan dengan perhitungan sederhana menggunakan dua prisip dasar :

1. Dosis pemeliharaan yang diperlukan selama waktu paruh untuk mempertahankan tingkat analgesia yang telah dicapai adalah setengah dari dosis awal (loading dose)

2. Opioid yang banyak dipakai (codeine, morphine, meperidine) mempunyai waktu paruh ± 3 jam

Contoh kasus : Setelah operasi histerektomi, pasien memerlukan dosis awal morphine 15 mg IV untuk mencapai tingkat analgesia yang diinginkan. Berapa dosis morphine IV continuous yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat analgesia tersebut ?

Morphine yang dieliminasi selama waktu paruh = ½ x 15 mg = 7,5 mg Waktu paruh adalah 3 jam, maka morphine yang tereliminasi = 7,5 mg / 3 =

2,5 mg/jamJadi dosis yang diperlukan untuk mempertahankan analgesia adalah 2,5 mg / jam.

Perhitungan di atas cenderung memperkirakan kebutuhan morphine per jam yang lebih rendah, karena waktu paruh sesungguhnya adalah kurang dari 3 jam. Namun perhitungan tersebut tetap berguna untuk memberikan perkiraan awal dan biasanya berhasil baik.

Kunci keberhasilan dari penggunaan opioid sistemik adalah pemberian dosis awal yang dengan segera menghasilkan dosis analgesia yang diinginkan. Setelah tingkat analgesia tercapai, dosis pemeliharaan harus diberikan secara teratur dan tepat waktu, apapun cara pemberian yang dipilih (oral, rektal, IM, SC atau IV).

Pasien yang semula memerlukan opioid secara parenteral (IM, SC atau IV), pada keadaan tertentu selanjutnya dapat menggunakan cara enteral (per oral atau melalui tabung nasogastrik). Bagaimana cara melakukan konversi dosis parenteral ke dosis oral penting untuk diketahui agar kesinambungan analgesia yang memadai dapat dipertahankan. Berikut ini adalah cara yang disarankan :

1. Jumlahkan kebutuhan opioid parenteral selama 24 jam yang memberikan tingkat analgesia yang diinginkan

2. Rubah kebutuhan opioid total 24 jam tersebut ke dosis morphine IV yang ekuivalen menggunakan tabel potensi relatif (Tabel 6.)

3. Sesuaikan dosis morphine IV 24 jam tersebut berdasarkan ketersediaan hayati dari opioid enteral yang akan digunakan sehingga diperoleh perkiraan dosis 24 jam

4. Berikan opioid enteral tersebut dalam dosis terbagi berdasarkan waktu paruhnya

Tabel 6. POTENSI RELATIF BEBERAPA SEDIAAN OPIOID ENTERAL

12

Page 13: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Obat Dosis parenteral morphine 1 mg IV

Ketersediaan hayati dosis

enteral

Interval dosis enteral(jam)

MorphineMeperidine

CodeineMorphine

SR

1810

Tidak ada sediaan parenteral

0,30,30,30,5

3 – 433

8 – 12

Contoh :Seorang pasien kanker memerlukan meperidine 1000 mg IM / 24 jam untuk mencapai analgesia. Bagaimana cara pemberian morphine sustaine released (MS-Contin®) agar diperoleh hasil analgesia yang sebanding ?

Meperidine 1000 mg = morphine 125 mg IV (1000 / 8) Morphine 125 mg IV = MS-Contin® 250 mg (125 / 0,5) Berikan MS-Contin® 83,3 mg / 8 jam MS-Contin® tersedia dalam dosis 15, 30, 60 dan 100 mg, jadi bisa digunakan

dosis 75 atau 90 mg setiap 8 jam (karena tablet tidak boleh dibagi)Patient-controlled analgesia (PCA) memungkinkan pasien melakukan sendiri pemberian opioid dalam dosis kecil menggunakan alat yang diprogram untuk membatasi dosis maksimal. PCA diciptakan untuk meminimalkan pengaruh perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antar pasien. Bila pasien menekan tombol pemicu, pompa yang diatur oleh suatu mikroprosesor akan memberikan dosis yang diprogram. Suatu timer pada pompa akan membatasi pemberian dosis berikutnya sebelum suatu tenggang waktu (lockout interval) terlewati. Dengan demikian pasien melakukan sendiri titrasi dosis yang dibutuhkannya dalam batas-batas aman yang sudah ditentukan sebelumnya. Pemberian opioid menggunakan PCA juga dapat melalui subkutan atau epidural. Tabel 7. memberikan pedoman PCA untuk beberapa opioid yang sering digunakan.Tabel 7. PEDOMAN PEMBERIAN OPIOID PCA IV

Obat Konsentrasi Dosis bolus(mg)

Lockout interval(menit)

MorphineMeperidine

FentanylSufentanilNalbuphin

e

1 mg / ml10 mg / ml

0,010 mg / ml0,002 mg / ml

1 mg / ml

0,5 – 2,55 – 25

0,010 – 0,0200,002 – 0,005

1 - 5

5 – 105 – 103 – 103 – 105 - 15

Catatan :1. Kebutuhan opioid setiap pasien sangat bervariasi2. Untuk pasien usia lanjut atau sakit berat gunakan dosis kecil pada awal

pemberianINTRASPINAL (INTRATHECAL / EPIDURAL)

13

Page 14: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Pemberian opioid intraspinal telah digunakan untuk mengatasi nyeri pada berbagai jenis tindakan bedah dan nyeri akut lainnya. Pemberian intrathecal / subarachnoid dapat dilakukan bersamaan dengan injeksi spinal dari anestetik lokal pada saat pembedahan atau sebagai tambahan penatalaksanan nyeri pada teknik anestesi umum. Sebagian besar pasien akan bebas nyeri hingga 24 jam setelah pemberian dosis tunggal morphine secara intrathecal.Pemberian opioid melalui epidural telah lebih banyak digunakan secara luas. Melalui kateter epidural, analgesia dapat dipertahankan dalam jangka panjang menggunakan opioid saja atau kombinasi opioid dan anestetik lokal.

Sediaan morphine bebas pengawet telah digunakan dalam berbagai konsentrasi tanpa ada perbedaan efektifitas yang berarti. Tabel 8. memberikan pedoman pemberian opioid secara intraspinal.

Tabel 8. PEDOMAN PEMBERIAN OPIOID INTRASPINAL PADA NYERI AKUT

ObatDosis

tunggal(mg)

Dosis pemeliharaan

(mg/jam)

Onset(menit)

Lama kerja dosis tunggal

(jam)IntrathecalMorphineMeperidin

eFentanylEpiduralMorphineMeperidin

eFentanyl

0,1 – 0,310 – 300,005 - 0,025

1 – 620 – 1500,025 – 0,100

0,1 – 15 – 20

0,025 – 0,100

15?5

3055

8 – 24 +10 – 24 +

3 – 6

6 – 244 – 82 – 4

Catatan :1. Dosis dan lama kerja bisa berbeda pada setiap pasien tergantung pada : usia,

kondisi penyakit, lokasi penyuntikan, jenis nyeri, dan berbagai faktor lain.2. Pada pasien usia lanjut dan pada pemberian di daerah servikal / torakal

diperlukan dosis yang lebih kecil 3. Jika dikombinasikan dengan anestetik lokal, bisa digunakan bupivacaine

0,0625%4. Lama kerja sangat bervariasi, dosis yang lebih tinggi memberikan lama kerja

lebih panjang.

Pemberian opioid dengan rute apapun mengandung resiko terjadinya depresi pernafasan, demikian juga cara pemberian intraspinal. Pasien yang mendapat opioid intraspinal perlu diawasi, idealnya di suatu fasilitas perawatan intensif / ICU terutama untuk pasien resiko tinggi (usia lanjut, penyakit sistemik yang serius, pembedahan

14

Page 15: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

mayor). Namun demikian, tingginya biaya dan terbatasnya ketersediaan fasilitas membatasi penggunaan ICU secara rutin hanya untuk mengawasi penggunaan opioid.

Penelitian telah membuktikan bahwa opioid intraspinal dapat secara aman diberikan di bangsal umum dengan syarat :

Perawat telah mendapat pelatihan yang memadai Pasien dipilih secara seksama Pernafasan pasien diawasi secara berkala Terdapat protokol untuk mengatasi komplikasi dengan segera Staf medis dapat segera membantu bila diperlukan

Adalah tanggung jawab dari anestesiologis untuk menentukan apakah kondisi tersebut telah terpenuhi di tempat kerjanya sebelum melakukan pemberian opioid intraspinal.

KOMBINASI OPIOID / ANESTETIK LOKAL

Anestetik lokal konsentrasi rendah yang diberikan dengan infus kontinu melalui kateter epidural akan menghasilkan analgesia yang efektif, namun kadang disertai dengan efek samping hipotensi, blok motorik dan sensorik, nausea dan retensi urin. Kombinasi anestetik lokal dengan opioid akan menghasilkan efek sinergis sehingga hanya diperlukan dosis sangat rendah dari masing-masing obat. Bupivacaine sangat cocok digunakan untuk metode ini karena pemberian konsentrasi rendah menyebabkan blok motorik minimal.

Kombinasi bupivacaine 0,1% dan morphine 0,01% diberikan dengan infus kontinu 3–4 ml/jam melalui kateter epidural telah dibandingkan dengan konsentrasi yang sama dari masing-masing obat diberikan tersendiri. Kelompok yang mendapat morphine dan kelompok kombinasi memiliki skor nyeri yang lebih rendah dibanding kelompok bupivacaine. Efek samping yang berbeda secara bermakna adalah meningkatnya kejadian pruritus pada kedua kelompok yang mendapat morphine. Pada kedua kelompok yang mendapat bupivacaine tidak ditemukan hipotensi maupun gangguan ambulasi.

Kombinasi fentanyl 2–4 mcg/ml dan bupivacaine 0,0625% diberikan dengan infus kontinu 5-20 ml/jam menghasilkan analgesia yang baik pada pasien yang diketahui memiliki toleransi terhadap opioid dan pada pasien yang nyerinya tidak dapat dikontrol dengan pemberian opioid epidural saja.

Kombinasi anestetik lokal konsentrasi rendah dan opioid juga mulai banyak dipakai untuk pasien obstetrik pada saat persalinan.

SUPLEMEN ANALGESIA

15

Page 16: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

BENZODIAZEPINEObat-obat benzodiazepine telah digunakan secara luas dan terbukti

bermanfaat mengurangi rasa cemas yang disebabkan oleh nyeri akut. Sifat anxiolytic obat golongan ini mirip satu sama lain, melalui mekanisme potensiasi inhibisi syaraf yang dimediasi oleh GABA. Lama kerja ditentukan oleh waktu paruh dan ada tidaknya metabolit aktif. Diazepam paling banyak digunakan, namun karena waktu paruhnya dan salah satu metabolitnya panjang maka pemulihan setelah pemberian dosis besar akan sangat lambat. Lorazepam kurang bersifat lipophilic dan mempunyai mula kerja lambat dan masa pemulihan lebih panjang. Pemberian dosis sebelum tidur akan memudahkan dan meningkatkan kualitas tidur. Midazolam larut dalam air dan mempunyai mula kerja cepat serta masa kerja singkat, efek amnesia yang dihasilkan sangat baik. Midazolam sesuai untuk diberikan secara infus kontinu karena tidak mempunyai metabolit aktif. Harus diingat bahwa benzodiazepine dapat meningkatkan depresi pernafasan yang disebabkan oleh opioid.

KETAMINEKetamine asal mulanya diperkenalkan sebagai obat anestesi dissosiatif dan

telah secara luas digunakan, terutama untuk pembedahan pada luka bakar. Ketamine dalam dosis ”subdissosiatif” berguna juga sebagai suatu analgesik. Dosis tunggal 0,4 mg/kg IV menghasilkan efek anti nyeri yang sebanding dengan meperidine 1 mg/kg IV. Dosis ini menghasilkan analgesia yang memuaskan selama 1 jam pada 80% pasien pasca bedah. Penelitian pada pemberian infus kontinu menunjukkan ketamine menghasilkan analgesia lebih rendah dibanding opioid, namun fungsi respirasi sama sekali tidak terganggu. Kecepatan pemberian yang disarankan adalah 3 – 4 mg/kg/jam setelah bolus awal 1 mg/kg. Delirium dan halusinasi sering ditemukan setelah pemberian dosis anestesi maupun analgesi. Untuk mengurangi insidensi dan intensitasnya dapat diberikan premedikasi dengan opioid dan hyoscine, pemberian physostigmine atau dosis kecil barbiturat, benzodiazepine atau droperidol. Pada pemberian berulang dapat terjadi toleransi terhadap ketamin.

NYERI PASCA BEDAH

PERMASALAHANBanyak pasien telah menikmati kemajuan pengetahuan, keterampilan dan

teknologi canggih yang diterapkan pada pembedahan dewasa ini. Namun penatalaksanaan nyeri yang optimal masih sering dilupakan. Meskipun pengetahuan tentang patofisiologi nyeri dan farmakologi analgesik serta teknik pengendalian nyeri telah mengalami kemajuan, banyak pasien masih menderita nyeri setelah pembedahan.

Dokter dan perawat seringkali kurang adekuat menangani nyeri pasca bedah karena berbagai sebab. Salah satunya adalah karena kurangnya pengetahuan mengenai rentang dosis efektif dan lama kerja opioid, serta adanya ketakutan yang

16

Page 17: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

tidak beralasan akan terjadinya depresi pernafasan dan ketergantungan obat pada pasien yang mendapat terapi opioid.

Dengan menggunakan pengetahuan, obat-obatan dan teknik yang kini tersedia, semua pasien dengan nyeri pasca bedah seharusnya dapat menikmati analgesia yang efektif.

EFEK SAMPING NYERI PASCA BEDAH

Respon fisiologis terhadap luka atau stress bisa berupa gangguan fungsi pulmonal, kardiovaskuler, gastrointestinal, uriner, metabolisme dan fungsi otot serta perubahan neuroendokrin dan metabolik.

Pembedahan pada daerah abdomen atas atau toraks menyebabkan perubahan fungsi paru, yaitu penurunan kapasitas vital, volume tidal, volume residual, kapasitas residual fungsional dan volume ekspirasi paksa satu detik. Terjadi juga peningkatan tonus otot abdomen dan penurunan fungsi diafragma. Semua ini menyebabkan penurunan komplians paru-paru, splinting otot pernafasan, kesulitan bernafas dalam atau batuk-batuk kuat, dan pada beberapa kasus berlanjut menjadi hipoksemia, hiperkarbia, retensi sekret, atelektase dan pneumonia. Meningkatnya tonus otot juga meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat.

Nyeri merangsang neuron simpatis dan mengakibatkan takikardia, peningkatan stroke volume, kerja jantung dan konsumsi oksigen miokardium sehingga terjadi peningkatan resiko iskemi otot jantung. Resiko trombosis vena dalam meningkat bila imobilitas karena nyeri menyebabkan penurunan aktivitas fisik, bendungan vena dan agregasi platelet.

Setelah pembedahan, ileus, mual-mual dan muntah dapat terjadi karena berbagai sebab termasuk karena adanya impuls nosiseptif pada struktur viseral atau somatik. Nyeri dapat juga menyebabkan hipomotilitas uretra dan vesika urinaria sehingga timbul kesulitan berkemih. Karena efek samping ini pasien menjadi lebih lama tinggal di rumah sakit.

PENATALAKSANAAN

TUJUAN DAN PILIHAN TERAPITujuan utama penatalaksanaan nyeri pasca bedah adalah :

1. Mengurangi atau menghilangkan rasa tidak nyaman2. Membantu proses pemulihan3. Menghindari atau mengatasi secara efektif efek samping terapi4. Menjadikan terapi ekonomis

Penggunaan yang optimal dari teknik terapi apapun memerlukan pengetahuan, keterampilan , pengalaman dan perhatian akan adanya perbedaan respons dari tiap pasien. Penatalaksanaan nyeri yang memuaskan bisa saja dicapai melalui berbagai pendekatan terapi yang berbeda. Sebaliknya, meskipun digunakan teknik yang

17

Page 18: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

paling baru dan canggih namun bila variasi dosis dan interval antar pasien tidak diperhatikan dan penilaian efektifitas secara berkala tidak dilakukan, hasil yang dicapai akan kurang optimal.Dalam memilih teknik yang terbaik perlu dipertimbangkan faktor-faktor : klinis, pasien dan institusi.

Faktor klinisJenis pembedahan tertentu diketahui menyebabkan nyeri yang lebih hebat

dari pembedahan lain, misalnya bedah toraks atau abdomen akan lebih nyeri dari pembedahan pada tangan atau kaki. Perbedaan ini harus dikenali, demikian juga berbagai pilihan teknik yang bisa digunakan. Sebagai contoh, PCA akan menghasilkan analgesia yang lebih baik dari pemberian opioid IM ”bila perlu”, namun demikian epidural opioid analgesia (EOA) masih lebih unggul. Pada pasien tertentu, analgesia optimal yang dihasikan oleh EOA mungkin sangat diperlukan seperti pada nyeri hebat yang menggangu fungsi nafas (fraktur iga, bedah toraks) atau pasien dengan kondisi medis (obesitas, insufiensi respirasi).

Pemberian opioid IV secara intermitten, kontinu atau menggunakan PCA mungkin diperlukan pada keadaan tertentu. Teknik ini tidak memerlukan tambahan waktu dan keterampilan dari anestesiologis dalam memasang kateter epidural. Perlu dipertimbangkan personil yang akan memberikan dosis injeksi melalui kateter epidural, dengan pelatihan yang cukup pekerjaan ini dapat didelegasikan kepada perawat ruangan.

Pada pasien dengan riwayat kecanduan atau toleransi terhadap opioid, EOA saja seringkali kurang memberikan hasil optimal. Pemberian kombinasi opioid dengan anestetik lokal konsentrasi rendah akan memberikan hasil yang lebih memuaskan.

Pasien dengan riwayat koagulopati atau yang dijadwalkan akan mendapat antikoagulan selama operasi kardiak atau vaskuler merupakan masalah tersendiri. EOA akan sangat membantu mengurangi nyeri pasca bedah, namun apakah teknik ini aman untuk kelompok pasien tersebut ? Tidak ada jawaban pasti, masing-masing pasien harus dinilai tersendiri , bila keuntungan yang diperoleh lebih besar dari resiko yang mungkin timbul, teknik epidural anestesi dan analgesia dapat dipertimbangkan.

Setiap teknik penatalaksanan nyeri akut mempunyai resiko tertentu. Pada penggunaan opioid seringkali dikhawatirkan akan terjadinya adiksi dan depresi pernafasan. Dengan pengetahuan yang cukup akan dosis, mula kerja, lama kerja, efek samping dan patofisiologi dari depresi pernafasan karena opioid, penggunaan opioid semestinya tidak lagi disertai dengan kekhawatiran yang seringkali tidak berdasar tersebut.Faktor pasien

Setiap pasien yang menjalani pembedahan harus dipandang sebagai individu yang unik dan mungkin memiliki rasa cemas, takut, harapan tertentu atau ingatan akan pengalaman nyeri sebelumnya. Beberapa mungkin memiliki riwayat

18

Page 19: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

penggunaan obat-obatan sebelumnya atau memiliki toleransi terhadap opioid. Faktor-faktor tersebut penting untuk dipertimbangkan dalam memilih metode pengendalian nyeri. Misalnya, pasien dengan operasi mayor abdomen seharusnya akan sangat terbantu dengan epidural morphine, akan tetapi bila pasien ”takut tusukan jarum pada tulang belakang” perlu dipertimbangkan metode lain untuk penatalaksanaan nyeri pasca bedahnya.

Pada pasien yang dapat memahami konsep pemberian analgesia secara mandiri, PCA terbukti memberikan hasil yang lebih memuaskan. Metode PCA memungkinkan pasien mengendalikan sendiri dosis analgesia secara optimal, tepat dan cepat tanpa harus menunggu pemberian dosis oleh perawat atau dokter. Akan tetapi, bila konsep PCA terlalu sulit dipahami oleh pasien atau menyebabkan pasien takut tidak bisa mengatasi nyeri pasca bedahnya, sebaiknya digunakan metode lain.

Faktor institusiUnit khusus yang memberikan pelayanan penatalaksanaan nyeri akut dapat

didirikan di rumah sakit dengan mengambil model APS (Acute Pain Service) seperti telah dirintis di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia. Beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi sebelum menjalankan unit APS ini adalah adanya :

Protokol tentang teknik dan obat-obat standar Protokol tentang penanganan efek samping dan kegagalan terapi Instruksi terapi yang jelas, bila perlu menggunakan formulir khusus Penilaian dan pencatatan skor nyeri secara berkala untuk evaluasi terapi Pelatihan penatalaksanaan nyeri akut bagi perawat ruangan Pelayanan tersedia selama 24 jam per hari Program audit dan evaluasi keberhasilan unit APS

Kepuasan pasien dengan penatalaksanaan nyeri pasca bedahnya adalah masalah kompleks yang dipengaruhi berbagai faktor medis dan non-medis. Harus diingat bahwa meskipun dokter yang merawat dapat menyatakan penatalaksanaan nyeri telah berhasil namun hanya pasien yang dapat menyatakan bahwa penatalaksanaan “memuaskan”.

CONTOH KASUSKasus 1Masalah : Laki-laki berusia 41 tahun menjalani operasi hernia elektif dengan anestesi umum.

Penatalaksanaan : Sebelum penutupan luka operasi, dokter bedah memberikan infiltrasi 20 ml bupivacaine 0,25% dengan epinephrine 1 : 200.000 di daerah n. iliohipogastrik dan n. ilioinguinal. Setelah pasien mulai sadar, diberikan dosis awal pethidine 30 mg + metamizole 500 mg IV dilanjutkan dengan pethidine 50 mg + metamizole 1000 mg dalam 500 cc cairan infus diberikan drip untuk 8 jam dan diulang 3 – 4 kali.

19

Page 20: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Analisa : Pemberian infiltrasi anestetik lokal menghasilkan kontrol nyeri yang cepat dan bertahan untuk beberapa jam. Pemberian dosis awal analgetik IV diikuti dengan dosis pemeliharaan memastikan bahwa kadar dalam darah sudah optimal pada saat efek anestetik lokal berkurang. Delapan belas jam setelah operasi, pasien melaporkan skor nyeri istirahat 2/10, skor nyeri pada saat batuk-batuk kuat 4/10 dan pasien dapat tidur dengan baik pada malam harinya. Analgesia tercapai dengan efek samping atau komplikasi minimal, dan memerlukan sarana yang biasa ada di rumah sakit serta ekonomis.

Kasus 2 Masalah : Wanita usia 69 tahun dengan karsinoma esofagus menjalani operasi esofago-gastrektomi yang memerlukan insisi abdomen dan toraks. Setelah operasi yang berlangsung 11 jam, pasien dirawat di ICU dalam keadaan terintubasi untuk monitoring dan ventilasi mekanik.

Penatalaksanaan : Sebelum pembedahan dilakukan pemasangan kateter epidural torasik. Dua jam sebelum operasi berakhir, diberikan morphine epidural 2 mg, dan instruksi untuk mengulang dosis setiap 6-12 jam tergantung kebutuhan pasien. Pada saat diamati terdapat takikardia dan pasien gelisah karena kesakitan, dosis dinaikkan menjadi 3 mg. Berapa waktu kemudian pasien mulai terlihat tenang dan dengan tulisan tangan menyatakan bahwa tidak merasa sakit lagi. Setelah mendapat bantuan ventilator selama 8 jam, pasien diekstubasi, mendapat fisioterapi dan dapat pindah ke kursi tanpa dibantu. Pasien dipindahkan ke bangsal 24 jam setelah pembedahan dan morphine epidural dilanjutkan selama 4 hari. Setelah itu pasien tetap merasa bebas nyeri dengan kodein 60 mg tiap 4 jam diberikan melalui selang nasogastrik.

Analisa : Morphine epidural dipilih karena memberikan analgesia kuat untuk mengantisipasi nyeri pasca bedah hebat dari jenis operasi ini. Komunikasi dengan pasien juga sudah diperkirakan sulit karena pasien akan tetap terintubasi setelah operasi. Nyeri pada saat stimulasi dapat segera dikenali dan dosis morpine dinaikkan sesuai dengan kebutuhan. Teknik ini memungkinkan ekstubasi dini, fisioterapi, mobilisasi dan transfer dari ICU dalam waktu singkat. Meskipun harus menggunakan selang nasogastrik, pasien dapat tetap bebas nyeri dengan dosis opioid oral yang diberikan.

Ini adalah contoh penatalaksanaan yang sederhana namun efektif dalam menangani nyeri pasca pembedahan yang kompleks dengan morbiditas tinggi. Meskipun relatif lebih mahal, namun analgesia kuat yang dihasilkan telah mempercepat pemulihan, mengurangi komplikasi dan memperpendek masa tinggal di ICU yang hasil akhirnya akan mengurangi biaya perawatan.

NYERI TRAUMA

20

Page 21: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

PRINSIP UMUMPada penanganan nyeri karena trauma dapat dibedakan tiga tahap yang

berbeda : tahap emergensi, tahap penyembuhan dan tahap pemulihan. Pada setiap tahap bisa ditemukan 2 jenis masalah nyeri yaitu :

1. Nyeri kontinu : nyeri yang ada pada saat istirahat atau melakukan aktifitas sehari-hari

2. Nyeri insidental / sehubungan dengan tindakan (incident pain) : nyeri yang timbul saat manipulasi / pembersihan luka, ganti balutan, memandikan / membalik pasien, dsb.

Trauma pada suatu bagian dari sistem syaraf menyebabkan nyeri kontinu yang seringkali bersifat seperti rasa terbakar. Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan keadaan ini – nyeri deafferensiasi, nyeri disestesi, nyeri simpatis (termasuk reflex sympathetic dysthrophy), namun istilah yang paling mencakup semuanya adalah nyeri neuropatik. Kadangkala nyeri neuropatik timbul segera setelah trauma terjadi namun seringkali baru muncul setelah beberapa hari atau beberapa minggu. Nyeri ini harus dibedakan dari nyeri yang disebabkan karena kerusakan jaringan selain sistem syaraf. Diagram alur untuk mendiagnosa dan mengobati nyeri neuropatik dapat dilihat pada Bagan.

Nyeri neuropatik tidak responsif terhadap terapi opioid. Bisa dipertimbangkan penatalaksanaan menggunakan obat anti depresan, obat anti kejang, membran stabilisator, atau kombinasi darinya. Berbeda dengan nyeri karena kerusakan jaringan lain, nyeri neuropatik seringkali menetap dan berkembang menjadi sindroma nyeri kronik. Nyeri neuropatik adalah salah satu kondisi dimana penatalaksanaan nyeri akut dan nyeri kronis bertemu dalam satu spektrum.

TAHAP EMERGENSISelama tahap ini nyeri sangat hebat dan terutama disebabkan stimulasi

nosiseptif yang berkepanjangan karena adanya kerusakan jaringan. Tujuan utama pada tahap ini adalah stabilisasi pasien untuk mempertahankan kehidupan dan fungsi organ. Lama tahap ini bervariasi, tapi biasanya tidak lebih dari 72 jam seperti pada pasien trauma karena luka bakar. Modalitas penatalaksanaan dipengaruhi banyak faktor, termasuk kondisi pasien dan ketersediaan dan pengalaman dari personil yang menangani seperti dirangkum dalam Tabel 9. Pada banyak kasus, nyeri dapat dikurangi dengan mengatasi trauma yang mendasari, seperti pemasangan WSD pada pneumotoraks, stabilisasi fraktur iga atau fraktur ekstremitas. Segera setelah evaluasi bedah atau neurologis dari pasien trauma dianggap cukup, pemberian analgesia dalam tahap emergensi tidak merupakan kontra indikasi. Bahkan dengan berkurangnya nyeri dan pasien menjadi kooperatif, penanganan selama tahap ini bisa lebih efektif. Pasien luka bakar harus segera mendapat analgesia yang efektif segera setelah tercapai stabilisasi hemodinamik.

21

Page 22: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Selama tahap emergensi penatalaksanaan nyeri terutama menggunakan obat sistemik untuk trauma yang luas dan teknik anestesi / analgesia regional setelah stabilisasi pasien dengan trauma terbatas.

Bagan berikut memberikan pedoman penanganan nyeri untuk beberapa jenis trauma yang paling sering terjadi.

Tabel 9. PENATALAKSANAAN NYERI TRAUMA (TAHAP EMERGENSI)

Trauma luas Trauma regional

NYERI KONTINU

Opioid sistemik1. IV kontinu2. IV intermiten / PCA3. Kombinasi 1 dan 2

Analgesia regional1. Blok syaraf perifer2. Blok sentral3. Opioid intraspinal4. Kombinasi 2 dan 3

NYERI INSIDENTAL

Opioid sistemik (dosis ↑) Ketamine N2O Anestesi umum

Opioid sistemik Blok syaraf perifer Blok sentral Ketamine N2O Anestesi umum

TAHAP PENYEMBUHANTahap ini bisa berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan

tergantung dari jenis trauma. Karakteristik tahap ini adalah adanya nyeri kontinu yang diselingi dengan nyeri insidental atau nyeri saat dilakukan tindakan keperawatan seperti pembersihan luka yang mungkin harus dilakukan berulang kali.

Terapi pada tahap ini bertujuan memberikan analgesia kontinu yang memadai diselingi analgesia kuat selama dilakukan tindakan (Tabel 10.). Pada prinsipnya, opioid dengan lama kerja yang panjang dikombinasi dengan NSAID efektif untuk mengatasi nyeri kontinu sedangkan obat dengan lama kerja lebih pendek lebih berguna untuk nyeri insidental.Aspek non-farmakologis seperti dukungan emosional atau keterlibatan keluarga dalam perawatan dapat membantu pasien mengatasi nyeri pada tahap ini.

Tabel 10. PENATALAKSANAAN NYERI TRAUMA (TAHAP PENYEMBUHAN)

Trauma luas Trauma regional

22

Page 23: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

NYERI KONTINU

Opioid sistemik1. Parenteral (IV, IM, SC)2. Enteral (sustained

release)3. Transdermal (fentanyl)

Non opioid (aspirin, parasetamol, NSAID)

Kombinasi opioid dan NSAID

Opioid intraspinal (pada tahap awal)

TENS Ketorolac atau NSAID

parenteral (pada tahap awal)

NSAID oral

NYERI INSIDENTAL

Farmakologis = tahap emergensi Non-farmakologis (hipnosis, teknik relaksasi, pengalihan perhatian)

TAHAP REHABILITASI

Lama tahap ini sulit dipastikan, pasien trauma sudah masuk tahap mobilisasi dan mungkin sudah keluar dari rumah sakit. Pada pasien luka bakar misalnya luka telah menutup dan dilanjutkan dengan rehabilitasi medik atau rehabiltasi kerja. Karakter nyeri pada tahap ini digambarkan sebagai nyeri yang dalam dan terus menerus, mirip dengan misalnya nyeri karena radang sendi. Masalah nyeri jangka panjang bisa muncul pada tahap ini, sering dijumpai awal dari sindroma nyeri yang dimediasi oleh saraf simpatis.

Penatalaksanaan nyeri paling baik menggunakan NSAID, parasetamol atau jika perlu pemberian opioid lemah seperti codeine (Tabel 11.). Nyeri insidental selama tahap ini dapat ditangani seperti pada tahap penyembuhan.

Tabel 11. PENATALAKSANAAN NYERI TRAUMA ( TAHAP REHABILITASI )

Trauma luas Trauma regional

NYERI KONTINU

Opioid sistemikbiasanya tidak diperlukan Non-opioidmungkin diperlukan

Non-opioid1. Aspirin2. Parasetamol3. NSAID

NYERI INSIDENTAL = tahap penyembuhan

23

Tidak

Nyeri seperti terbakar / menjalar / disestesia pada trauma / luka bakar ; terdapat bukti trauma sistem syaraf

Blok simpatis untuk diagnosa

Nyeri berkurang

Obat simpatolitik atau blok simpatis berulang

Obat antidepresan (misal: amitriptilin 25-50 mg/hari)

Ya

Tidak

Nyeri berkurang

Sesuaikan dosis untuk mencapai respon

optimal

Infus lidokain IV 5 mg/kg dalam 1 jam untuk diagnosa

Ya

Tidak

Nyeri berkuran

g

Dicoba pemberian phenytoin / carbamazepam

Infus opioid (fentanyl 2-4 mcg/kg selama 30 menit)

Ya

Tidak

Nyeri berkuran

g

Opioid kerja panjang (morphine slow release)

Kombinasi terapi yang memberikan hasil maksimal

Ya

Page 24: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Bagan. TRAUMA TORAKS

24

Trauma toraks

Page 25: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Bagan. TRAUMA ABDOMEN

Bagan. TRAUMA NEUROLOGIS

Bagan. TRAUMA EKSTREMITAS

25

Rawat inap Rawat di ICU

Blok syarafinterkostal

Analgesik oral

Rawat jalan

Kateterinterpleural

Analgesik oral

Blok syarafinterkostal

PCA

Epiduraltorasik

Terintubasi Tidak terintubasi

PCAOpioid IV

Kemungkinanekstubasi

Epiduraltorasik

Blok syaraf

interkostal

Kateterinterpleural

PCA

Trauma abdomen

Tidak perlu pembedahan

PCAAnalgesiaepidural

Memerlukan pembedahan

Dosis kecil opioid IV

PCA

Trauma neurologis

Trauma syaraf perifer

Trauma syaraf simpatis

PCAOpioid IV

Trauma medula spinalis

Nyeri kausalgia

Analgesiaepiduraldengan

opioid saja

PCA Opioid IV Analgesiaepidural

dengan anestetik lokal

Page 26: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

KASUS KLINISKASUS 1Laki-laki 32 tahun yang sebelumnya sehat dirawat karena luka bakar grade II dan III seluas 70% mengenai wajah, badan, tangan dan kaki. Pasien diintubasi dan diventilasi karena gagal nafas akibat inhalasi uap panas. Skor nyeri 10 / 10 dan pasien tampak sangat gelisah dan kesakitan.

Penatalaksanaan :Tahap emergensi dan penyembuhan awalPilihan 1 : Nyeri dikontrol dengan bolus morphine IV yang dititrasi hingga total pemberian 60 mg, dilanjutkan dengan infus morphine 10 mg/jam IV. Nyeri insidental diatasi dengan meningkatkan dosis infus setelah sebelumnya diberikan bolus ekstra morphine IV. Untuk agitasi diberikan midazolam 1 mg/jam setelah bolus awal 4 mg IV.

Pilihan 2 : Setelah analgesia tercapai dengan titrasi dosis morhine IV hingga 60 mg seperti diatas, morphine IV diberikan melalui PCA dengan kecepatan pemberian basal 5 mg/jam dan dosis PCA 1 mg setiap 10 menit.

Tahap penyembuhan selanjutnyaDiberikan morphine slow release 30 mg setiap 12 jam dengan rencana menurunkan dosis secara bertahap sesuai dengan kebutuhan.

Analisa :Beberapa hal penting yang harus diingat selama penatalaksanaan pasien ini adalah :Pasien mungkin akan terintubasi untuk 3 – 10 hari untuk mengatasi masalah paru-paru. Ini merupakan tahap emergensi.

26

Trauma syaraf somatik perifer

Trauma vaskuler

PCAAnalgesiaepidural

Trauma ortopedik

Perlu untuk memonitor fungsi syaraf ?

Analgesiaepidural

dengan opioid saja

PCA

Kateter perineural dan anestetik lokal

Analgesiaepidural

dengan anestetik lokal

Ya Tidak

Trauma ekstremitas

Page 27: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

Pasien akan merasakan nyeri ringan hingga sedang sehubungan dengan lukanya dan aktifitas normal seperti berbaring miring atau bernafas (ini adalah nyeri kontinu)Pasien akan merasakan nyeri hebat 2 – 3 kali per hari pada saat pembersihan luka / ganti balutan (ini adalah nyeri insidental).Pasien mungkin mengalami gangguan kardiovaskuler karena sepsis atau kehilangan cairanBeberapa hal dapat mempersulit terapi seperti disorientasi, gangguan tidur.

Pilihan 1 adalah skenario yang umum ditemukan pada unit luka bakar, dan menunjukkan teknik yang relatif sederhana-memberikan dosis loading diikuti dengan dosis pemeliharaan. Kebutuhan opioid dan midazolam bisa meningkat tajam pada hari-hari pertama penatalaksanaan menggunakan teknik ini dan dosis harus sering diubah sesuai dengan kebutuhan.

Nyeri insidental memerlukan pendekatan lain. Bolus tambahan morphine perlu waktu sebelum bekerja, pada pasien ini dapat diberikan fentanyl 1 – 5 mcg/kg yang dititrasi untuk mengatasi nyeri selama penggantian balutan.

Pilihan 2 dapat dilakukan bila pasien tetap sadar, kooperatif dan responsif meskipun terintubasi dan mendapat ventilasi mekanik. Dengan teknik ini dapat dicegah terjadinya disorientasi dan oversedasi yang biasanya terjadi bila morphine IV diberikan oleh orang lain.Segera setalah pasien dapat menggunakan rute enteral, dapat diberikan morphine slow release dengan lama kerja panjang. Dosis yang diperlukan dapat dihitung menggunakan metode dan tabel yang telah diberikan pada bab Farmakologi.

KASUS 2Laki-laki 25 tahun mengalami kecelakaan lalu-lintas dan menderita fraktur iga bilateral multipel dengan flail chest, pneumotoraks kanan dan kontusio paru kanan. Dipasang WSD kanan, namun intubasi belum dipandang perlu segera dilakukan. Pasien melaporkan skor nyeri 4 / 10 bila berbaring tenang, skor 8 / 10 bila bergerak atau menarik nafas dalam dan skor 10 / 10 bila batuk-batuk.Penatalaksanaan :Pilihan 1 : Dipasang epidural torasik pada level T7-8. Bolus awal bupivacaine 0,25% 5 ml diikuti dengan infus bupivacaine 0,125% dengan kecepatan 8 ml/jam. Pilihan 2 : Pasien diberikan morphine 2 mg IV setiap 2 menit hingga dosis total 14 mg. Setelah itu digunakan morphine melalui PCA IV dengan dosis 2 mg dan lockout interval 6 menit. Sebagai tambahan, diberikan bolus awal ketorolac 60 mg dilanjutkan dengan dosis 30 mg / 6 jam.

Pilihan 3 : Dipasang kateter interpleural pada masing-masing sisi toraks. Bolus awal bupivacaine 0,125% 25 ml diberikan pada setiap sisi dan dilanjutkan dengan injeksi ulang setiap ± 5 jam bila perlu untuk mempertahankan analgesia.

27

Page 28: 12pedoman Penatalaksanaan Nyeri Akut 1

dr.Peter H.Y.Singal Anestesi FK UNHAS Makassar

AnalisaAnalgesia yang efektif sangat penting untuk memungkinkan pasien bisa bernafas dalam, batuk-batuk atau menjalani fisioterapi. Bila analgesia tidak memadai dapat terjadi penurunan volume paru-paru dan hambatan pengeluaran sekresi yang selanjutnya mengakibatkan atelektase, oksigenasi jelek dan pneumonia. Pasien mengalami tahap emergensi yang relatif singkat, namun dalam 48 jam pertama terdapat resiko tinggi gagal nafas terutama karena adanya kontusio paru. Penatalaksanaan yang agresif dari nyeri toraks dapat membantu mencegah terjadinya masalah ini.Blok epidural dengan anestetik lokal kontinu dapat menghasilkan analgesia yang prima sehingga fungsi paru membaik dan respon stres dari neuroendokrin menurun. Pemasangan pada daerah toraks membutuhkan keterampilan lebih tinggi dibanding pemasangan pada lumbar. Disini prinsip loading seperti pada pemberian sistemik juga harus diterapkan. Bisa digunakan bupivacaine 0,25% atau lidocaine 1% dilanjutkan dengan infus kontinu bupivacaine 0,125% atau lidocaine 0,5% sampai tercapai blok segmental di daerah yang diinginkan.Sebelum pemberian harus dipastikan bahwa hipovolemia sudah dikoreksi dan setelah pemberian perlu dilakukan pengawasan terhadap resiko hipotensi.Kombinasi opioid dengan anestetik lokal telah terbukti mampu meningkatkan functional residual capacity dan compliance paru. Bisa digunakan fentanyl 10 – 20 mcg/jam dikombinasi dengan bupivacaine 0,06%.Seorang anestesiologis yang terampil dengan pemasangan epidural torasik diperlukan untuk dapat menggunakan pilihan 1 di atas. Jika personil yang ada lebih terbiasa dengan pemasangan epiural lumbar, morphine dosis 4 – 6 mg akan memberikan analgesia torasik yang baik, namun mula kerja akan lebih lambat. Bila morphine dengan epidural lumbar gagal memberikan analgesia yang baik, posisi kateter akan kurang ideal untuk menghasilkan analgesia torasik yang memadai bila sebagai gantinya digunakan anestetik lokal.

Pada pilihan 2, analgesia sistemik memberikan analgesia yang memadai pada saat istirahat namun kurang kuat untuk nyeri insidental sehingga perlu diberikan analgesia tambahan. Ketorolac ditambahkan untuk meghasilkan analgesia melalui mekanisme perifer dan memperkuat kerja opioid. Jika NSAID parenteral tidak tersedia dan pasien belum bisa menggunakan rute enteral, dapat digunakan sediaan NSAID rektal.

Pilihan 3, memerlukan keterampilan khusus dari seorang anestesiologis yang berpengalaman melakukan insersi kateter interpleural. Komplikasi dari tindakan ini adalah : pneumotoraks, kateter terpasang intrapulmoner, perdarahan intratorasik dan reaksi toksis dari anestetik lokal.

28