Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dasar pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2011).
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu
aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang
semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan
sikap makin positif terhadap objek tertentu dan begitupula aspek sebaliknya
(Dewi & Wawan, 2010).
1. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup didalam domain kognitif dan mempunyai 6
tingkatan (Bloom, 1956) yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah pelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehention)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi
atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam
konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu
kreteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
(Bloom, 1956)
Gambar 2.1 Gambar aspek koginitif
2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengetahuan :
Pengetahuan dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan
eksternal. Adapun faktor internal terdiri dari pendidikan, minat, pengalaman, dan
usia. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari ekonomi, kebudayaan, dan
kebudayaan (Notoatmodjo, 2011).
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri
sendiri atau sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan (Fuad, 2005).
pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
menerima informasi. Pendidikan itu sendiri adalah bimbingan yang diberikan oleh
seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu pengetahuan
(Notoatmodjo, 2011).
proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan agar
manusia menjadi lebih baik dan berkembang lagi (Fransiska, 2010).
b. Pekerjaan
Manfaat analisis pekerjaan akan memberikan informasi tentang aktivitas
pekerjaan, standar pekerjaan, konteks pekerjaan, persyaratan personalia, perilaku
manusia dan alat alat yang dipergunakan (Hasibuan, 2011).
pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pada umumnya bekerja akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan menyita waktu (Notoatmodjo,
2011).
c. Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
berulang tahun. Tingkat kematangan berfikir akan bertambah seiring dengan
bertambahnya usia (Notoatmodjo, 2011). satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.
Semisal, umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga
waktu umur itu dihitung. Oleh yang demikian, umur itu diukur dari sejak lahir
sehingga masa kini (Depkes, 2013).
d. lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat
bervariasi, umumnya digolongkan menjadi tiga kategori dalam aspek-aspek yang
dibutuhkan, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik, biologi dan sosial (Endra
Febri, 2015). lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok (Notoatdmojo, 2011).
Didalam bidang perilaku kesehatan, terdapat beberapa teori yang menjadi
acuan didalam penelitian mengenai kesehatan di masyarakat yakni teori dari
WHO dan Snehandu B. Karr.
WHO membagi 4 determinan mengapa seseorang berperilaku yakni :
1. Pemikiran dan perasaan.
Hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau dapat disebut pula
pertimbangan pribadi terhadap obyek kesehatan merupakan langkah awal
seseorang untuk berperilaku. Pemikiran dan perasaan dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti pengetahuan, kepercayaan, dan sikap.
2. Adanya acuan atau referensi dari seseorang yang dipercayai.
Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh orang yang dianggap penting
oleh dirinya seperti tokoh masyarakat. Apabila seseorang itu dipercaya, maka apa
yang dilakukan atau dikatakannya akan cenderung untuk diikuti.
3. Sumber daya yang tersedia.
Adanya sumber daya seperti fasilitas, uang, waktu, tenaga kerja akan
mempengaruhi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Pengaruh ini dapat
bersifat positif maupun negatif.
4. Kebudayaan, kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang ada di masyarakat.
Teori kedua adalah menurut Snehandu B. Karr dimana terdapat lima
determinan perilaku yang dapat mempengaruhi antara pengertahuan individu
dengan perilaku yang diperbuat yakni:
i. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau
perawatan kesehatannya.
ii. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya. Didalam kehidupan
bermasyarakat, perilaku seseorang cenderung memerlukan dukungan dari
masyarakat sekitarnya. Apabila suatu perilaku tidak didukung oleh
masyarakat sekitar, maka orang tersebut akan merasa tidak nyaman
terhadap perilakunya tersebut.
iii. Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan.
Seseorang akan cenderung mengikuti suatu tindakan apabila ia
mempunyai penjelasan yang lengkap tentang tindakan yang akan
dilakukannya tersebut.
iv. Otonomi pribadi, yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan
atau keputusan.
v. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini
disebabkan untuk melakukan suatu tindakan apapun, diperlukan suatu
kondisi dan situasi yang tepat. Kondisi dan situasi mempunyai pengertian
yang luas, baik fasilitas yang tersedia maupun kemampuan yang ada.
2.3 Konsep Dasar Anemia Dalam Kehamilan
Anemia pada ibu hamil adalah keadaan dimana seorang ibu hamil
mengalami defisiensi zat besi dalam darahnya. Anemia atau sering disebut kurang
darah adalah keadaan di mana darah merah kurang dari normal, dan biasanya
yang digunakan sebagai dasar adalah kadar Hemoglobin (Hb). WHO menetapkan
kejadian anemia defisiensi besi pada ibu hamil berkisar antara 20% sampai 89%
dengan menentukan Hb 11 gr% sebagai dasarnya (Depkes RI, 2009).
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi,
menurut WHO kejadian anemia hamil berkisar antara 20% sampai dengan 89%
dengan menetapkan Hb 11 gr % sebagai dasarnya. Hb 9–10 gr % disebut anemia
ringan. Hb 7–8 gr % disebut anemia sedang. Hb <7 gr % disebut anemia berat
(Manuaba, 2010).
Pengaruh anemia pada kehamilan antara lain resiko pada masa antenatal:
berat badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada
masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal,
shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi yang
dapat terjadi pada neonatus: premature, apgar score rendah, gawat janin
(Manuaba, 2010).
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko
2,429 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi
tablet Fe (Jamilus dan Herlina 2008). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur
dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi
tablet Fe, frekuensi konsumsi perhari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe
merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia,
khususnya anemia kekurangan besi. Suplementasi besi merupakan cara efektif
karena kandungan besinya yang dilengkapi asam folat yang sekaligus dapat
mencegah anemia karena kekurangan asam folat (Depkes, 2009).
2.4 Epidemiologi
Dari hasil survey di Indonesia maka di ketahui angka kematian ibu (AKI)
di Indonesia saat ini berkisar antara 300-400 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup. Angka kematian ibu di Indonesia menunjukkan masih buruknya tingkat
kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Tingginya anemia yang menimpa ibu hamil
memberikan dampak negatif terhadap janin yang di kandung dari ibu dalam
kehamilan, persalinan maupun nifas yang di antaranya akan lahir janin dengan
berat badan lahir rendah (BBLR), partus premature, abortus, pendarahan post
partum, partus lama dan syok (Depkes,2013).
Frekuensi anemia selama kehamilan bergantung terutama pada status besi
sebelumnya dan suplementasi prenatal. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada
wanita miskin dan dipengaruhi oleh kebiasaan makan makanan sehari-hari
(American college of Obstetricians and Gynecologists, 2008).
Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan masalah gizi
terutama anemia defisiensi besi. Wanita hamil berisiko tinggi mengalami anemia
defisiensi besi karena kebutuhan zat besi meningkat secara signifikan selama
kehamilan. Pada masa kehamilan zat besi yang dibutuhkan oleh tubuh lebih
banyak dibandingkan saat tidak hamil menginjak trimester kedua sampai dengan
trimester ketiga. Pada trimester pertama kehamilan, kebutuhan zat besi lebih
rendah disebabkan jumlah zat besi yang ditransfer ke janin masih rendah
(Waryana, 2010).
2.4.1 Patofisiologi Anemia Pada Kehamilan
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan
dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun
sedikit menjelang atern serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi
yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasma, yang menyebabkan
peningkatan sekresi aldesteron (Rukiah, 2010).
Zulhaida Lubis, 2005 mengklasifikasikan anemia defisiensi besi menjadi
beberapa stadium :
Stadium 1
Kehilangan zat besi melebihi ukuran, menghabiskan cadangan dalam
tubuh terutama disumsum tulang.
Stadium 2
Cadangan zat besi yang berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan
membentuk sel darah merah yang memproduksi lebih sedikit.
Stadium 3
Mulai terjadi anemia kadar hemoglobin dan haemotokrit menurun.
Stadium 4
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan
mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah baru yang sangat
kecil (Mikrositik).
Stadium 5
Semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia maka timbul
gejala – gejala karena anemia semakin memburuk.
Ibu hamil memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan membentuk sel darah merah, janin dan plasenta. Kenaikan
volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe dan zat besi
(Zulhaida Lubis, 2005).
(
W
HO, 2013)
Gambar 2.2 Sel Darah Merah Normal dan Abormal karena anemia
2.4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Kehamilan
Pemeriksaan Antenatal Care pada ibu hamil dilakukan tahap pemantauan
dan pemeriksaan terhadap keadaan anemia pada ibu hamil sehingga apabila ibu
menderita gejala anemia defisiensi besi dapat dideteksi sedini mungkin dengan
pemeriksaan antenatal yang secara teratur untuk diberi penanganan segera. Pada
pemeriksaan ini tablet penambahan darah (tablet Fe) juga diberikan pada ibu yang
tidak mengalami anemia untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi. Pada
beberapa penelitian yang sudah dilakukan bahwa jumlah penderita semakin
menurun pada kelompok yang sering mengunjungi klinik antenatal dan meningkat
pada kelompok yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal.
Anemia yang paling sering dijumpai dalam kehamilan adalah anemia
akibat kekurangan zat besi karena kurangnya asupan unsur besi dalam makanan.
Gangguan penyerapan, peningkatan kebutuhan zat besi atau karena terlampau
banyaknya zat besi yang keluar dari tubuh, misalnya pada perdarahan. Wanita
hamil butuh zat besi sekitar 40 mg perhari atau 2 kali lipat kebutuhan kondisi
tidak hamil.
Ibu hamil dengan pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang rendah akan berperilaku
kurang patuh dalam mengkonsumsi tablet tersebut serta dalam pemilihan
makanan untuk sumber zat besi (Fe) juga rendah. Sebaliknya ibu hamil yang
memiliki pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang baik, maka cenderung lebih
banyak menggunakan pertimbangan rasional dan semakin patuh dalam
mengkonsumsi tablet zat besi (Mardliyanti, 2006).
Menurt Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai resiko
1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia defisiensi besi di banding dengan
paritas rendah. Adanya kecenderungan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran
(paritas), maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia defisiensi besi.
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang
di derita masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di jumpai di daerah
pedesaan dengan malnutrisi atau kekurangan gizi. Kehamilan dan persalinan
dengan jarak yang berdekatan, dan ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat sosial
ekonomi rendah (Manuaba, 2010).
2.4.3 Gejala Anemia Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil
Secara klinis dapat dilihat tubuh yang pucat dan tampak lemah
(malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu menderita anemia defisiensi besi atau
tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan pemeriksaan darah
tepi. Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan standar.
Manifestasi klinik dari ibu hamil dengan anemia adalah keluhan lemah, pucat,
mudah pingsan, dengan tekanan darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia
defisiensi besi. Awalnya terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam
bentuk feritin di hati, saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, feritin
inilah yang diambil. Daya serap zat besi dari makanan sangat rendah, Zat besi
pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 – 30 % sedangkan dari
sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan dipacu lebih cepat
untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya penderita sering
berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah, letih, mata
berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir, kelopak mata, dan kuku pucat
(Wiknjosastro, 2005).
2.4.4 Faktor Faktor Internal Dan Eksternal kejadian anemia pada ibu hamil
Beberapa faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi
terjadinya anemia pada ibu hamil pada umumnya adalah:
1. Umur
Menurut Amiruddin (2007), bahwa ibu hamil yang berumur kurang dari
20 tahun dan lebih dari 35 tahun yaitu 74,1% menderita anemia defisiensi besi dan
ibu hamil yang berumur 20 – 35 tahun yaitu 50,5% menderita anemia. Wanita
yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai risiko
yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan kesehatan dan keselamatan
ibu hamil maupun janinnya, beresiko mengalami pendarahan dan dapat
menyebabkan ibu mengalami anemia.
2. Paritas
Menurt Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai resiko
1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia di banding dengan paritas rendah.
Adanya kecenderungan bahwa semakin banyak jumlah kelahiran (paritas), maka
akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
3. Kurang Energi Kronis (KEK)
41% (2.0 juta) ibu hamil menderita kekurangan gizi. Timbulnya masalah
gizi pada ibu hamil, seperti kejadian KEK, tidak terlepas dari keadaan sosial,
ekonomi, dan bio sosial dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, konsumsi pangan, umur, paritas, dan sebagainya.
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu cara untuk mengetahui resiko
Kurang Energi Kronis (KEK) Wanita Usia Subur (WUS). Pengukuran LILA tidak
dapat digunakan untuk memantau perubahan tatus gizi dalam jangka pendek.
Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan untuk tujuan penapisan
status gizi Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang
mempunyai ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK denganukuran LILA yang
rendah mencerminkan kekurangan energi dan protein dalam intake makanan.
4. Infeksi dan Penyakit
Zat besi merupakan unsur penting dalam mempertahankan daya tahan
tubuh agar tidak mudah terserang penyakit. Menurut penelitian, orang dengan
kadar Hb <10 g/dl memiliki kadar sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang
rendah pula. Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan
tubuh akibat kondidi fisiologis (hamil, kehilangan darah karena kecelakaan,
pascabedah atau menstruasi), adanya penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing
tambang, malaria, TBC). Ibu yang sedang hamil sangat peka terhadap infeksi dan
penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu,
tetapi dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin. Diantaranya, dapat
mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Penyakit infeksi yang di derita ibu hamil biasanya
tidak diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui setelah bayi lahir dengan
kecacatan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak
cairan tubuh serta zat gizi lainnya (Bahar, 2006).
Penyakit yang diderita ibu hamil sangat menentukan kualitas janin dan
bayi yang akan dilahirkan. Penyakit ibu yang berupa penyakit menular dapat
mempengaruhi kesehatan janin apabila plasenta rusak oleh bakteri atau virus
penyebab penyakit. Sekalipun janin tidak langsung menderita penyakit, namun
Demam yang menyertai penyakit infeksi sudah cukup untuk menyebabkan
keguguran. Penyakit menular yang disebabkan virus dapat menimbulkan cacat
pada janin sedangkan penyakit tidak menular dapat menimbulkan komplikasi
kehamilan dan meningkatkan kematian janin 30% (Bahar, 2006).
5. Jarak kehamilan
Menurut Ammirudin (2007) proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu
dengan prioritas 1 – 3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata
jarak kurang dari 2 tahun menunjukan proporsi kematian maternal lebih banyak.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat
untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya.
Pada ibu hamil dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi anemia dalam
kehamilan. Karena cadangan zat besi ibu hamil pulih. Akhirnya berkurang untuk
keperluan janin yang dikandungnya.
6. Pendidikan
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang
di derita masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di jumpai di daerah
pedesaan dengan malnutrisi atau kekurangan gizi. Kehamilan dan persalinan
dengan jarak yang berdekatan, dan ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat sosial
ekonomi rendah (Manuaba, 2010). Menurut penelitian Amirrudin (2007), faktor
yang mempengaruhi status anemia adalah tingkat pendidikan rendah.
2.5 Konsep Sehat-Sakit model Hendrik L Blum
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Hartati (2011), status
kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling
berinteraksi satu sama lain dalam mempengaruhi status kesehatan setiap individu
sehingga terjadi keselarasan dan keseimbangan antara faktor satu dengan faktor
lainnya. Adapun beberapa faktor penentu tersebut adalah lingkungan, perilaku
(gaya hidup), keturunan dan pelayanan kesehatan. Bagan kerangka pikir Hendrik
L. Blum dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
LINGKUNGAN PELAYANAN
KESEHATAN
KETURUNAN
PERILAKU
STATUS
KESEHATAN
(Hendrik L Blum dalam Hartati,
2011)
Gambar 2.3 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan
Makna panah berdasarkan model Hendrik L. Blum yang menuju kepada
status kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran
panah paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang
paling besar, karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua
adalah lingkungan dan yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau
keturunan tidak dapat di intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran
paling kecil (Endra Febri, 2015). Gambar diatas memperlihatkan sehat tidaknya
seseorang tergantung 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan
pelayanan kesehatan. Faktor tersebut berpengaruh langsung pada kesehatan dan
juga berpengaruh satu sama lain. Status kesehatan akan tercapai optimal jika
empat faktor tersebut kondisinya juga optimal. Bila salah satu faktor terganggu,
status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal. Keempat faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah (Hartati, 2011) :
1. Faktor genetik atau keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia
yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti
diabetes melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak
mungkin kita hindari (Endra Febri, 2015).
2. Faktor pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat
yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan
dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua
adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri apakah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan (Endra Febri,
2015).
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan.
Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan
pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan
pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan
kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas
dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti
ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan
kesehatan masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas akan
ditangani masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer
(Endra Febri, 2015).
3. Faktor perilaku
Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada
perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh
kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi, dan
perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya (Endra Febri, 2015).
Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga
kesehatan memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan
Indonesia Sehat 2015. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat
harus dapat dimunculkan dari dalam diri sendiri maupun masyarakat untuk
menjaga kesehatannya. Individu dan masyarakat yang berprilaku hidup
bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang
bersih dan sehat. pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus
dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada
individu dan masyarakat. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan
keluarga, sekolah dan msayarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role
model harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program
kesehatan. Faktor perilaku, seperti pada penjelasan sebelumnya,
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tercapainya derajat
kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan, pemanfaatan
terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan maupun terhadap
kemungkinan masalah genetik yang timbul (Endra Febri, 2015).
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat
bervariasi, umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang
berhubungan dengan aspek fisik, biologi dan sosial (Endra Febri, 2015).
a. Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca,
makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini
berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa
serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada
masyarakat. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat
menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan
kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak
dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat
menjadi penyebab (Endra Febri, 2015).
b. Lingkungan biologis
Bersifat biologis atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan,
hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat
berperan sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan
hospes intermediate. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya
bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi
ketidakseimbangan di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi
sakit (Endra Febri, 2015).
c. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti
kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat
istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup,
pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan poolitik.
Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media
seperti radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila
manusia tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial,
akan terjadi konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala psikosomatik
seperti stres, insomnia, depresi, dan lain-lain (Endra Febri, 2015).
2.6 Bahaya Anemia Defisiensi Besi Dalam Kehamilan
Pengaruh anemia pada kehamilan akan meningkatkan resiko pada masa
antenatal yaitu: berat badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini,
anemia pada masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah,
perdarahan intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi.
Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus: premature, apgar skor
rendah, gawat janin ( Manuaba, 2010).
Bahaya anemia pada Trimester II dan trimester III dapat menyebabkan
terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan pertumbuhan
janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestasional mudah
terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer A. dkk.,
2008).
Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran
prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85% ,merupaka
penyebab kematian bayi. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi
adalah kejadian kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan
kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini menunjukkan bahwa 66,82%
kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat melahirkan. Jika dilihat dari
golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2008 adalah disebabkan
penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu 56,09% (Depkes,
2009).
Ahmad Rofiq (2008) proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan
prioritas 1-3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak kurang
dari 2 tahun menunjukkan proporsi kematian maternal lebih banyak. Jarak
kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk
memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu
hamil dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi anemia defisiensi besi
dalam kehamilan. Karena cadangan zat besi ibu hamil pulih. Akhirnya berkurang
untuk keperluan janin yang dikandungnya.