29
10 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Diabetes mellitus (DM) terkadang dirujuk sebagai “gula tinggi”, baik oleh klien maupun penyediaan pelayanan kesehatan (Black, 2014). DM merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Brunner & Suddarth, 2016). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan penyakit kronis, yang biasa disebut dengan “gula manis”, biasanya DM ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi).

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Diabetes

mellitus (DM) terkadang dirujuk sebagai “gula tinggi”, baik oleh klien maupun

penyediaan pelayanan kesehatan (Black, 2014).

DM merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi

insulin, kerja insulin, atau keduanya (Brunner & Suddarth, 2016). Berdasarkan

definisi diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan penyakit kronis, yang

biasa disebut dengan “gula manis”, biasanya DM ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein, mengarahkan ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi).

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

11

2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes mellitus (DM) diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat status klinis

berbeda meliputi Tipe 1, Tipe 2, gestasional, atau tipe DM spesifik lainnya (Black,

2014).

a. Diabetes tipe 1

DM Tipe 1, sebelumnya disebut IDDM, atau diabetes melitus onset-anak-anak,

ditandai dengan destruksi sel beta pankreas, mengakibatkan defisiensi insulin absolut.

DM tipe 1 diturunkan sebagai heterogen, sifat multigenik (Black, 2014).

b. Diabetes tipe 2

DM Tipe 2 dulunya disebut dengan diabetes Melitus tak-tergantungan insulin

(Brunner & Black, 2016).

c. Diabetes gestasional

Diabetes gestasional ditandai dengan setiap derajat intoleransi glukosa yang muncul

selama kehamilan (trimester kedua atau ketiga). Resiko diabetes gestasional,

glikosuria, atau riwayat kuat keluarga pernah mengalami disbetes. (Brunner &

Suddarth, 2016).

d. Diabetes melitus tipe khusus

Diabetes melitus tipe spesifik lain ditandai dengan kelainan genetik pada sel beta,

kelainan genetik pada kinerja insulin, penyakit pankreas esokrin, gangguan endokrin,

diinduksi obat atau bahan kimia, infeksi (LeMone, 2016).

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

12

2.1.3 Patofisiologi

DM adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat

kerusakan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya. Ada empat tipe utama DM.

DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe spesifik lain (LeMone, 2016).

DM tipe 1 biasanya ditandai oleh defisiensi insulin absolut karena kerusakan sel betha

pankreas akibat serangan autoimun. Diabetes ini sering berkembang pada anak-anak,

bermanifestasi pada pubertas dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia. Untuk

bertahan hidup diabetes tipe ini memerlukan insulin eksogen seumur hidup (Deni

Yasmara, et al, 2016).

DM tipe 2 adalah resistensi terhadap aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun

dijaringan perifer. Keadaan ini disebub dengan resistensi insulin. Orang dengan DM tipe

2 memiliki penurunan sensivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan

produksi glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan

jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. (Black, 2014). Diabetes tipe II

disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respons

sekresi insulin yang tidak adekuat oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif).

Kondisi tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya genetik, gaya hidup,

dan diet yang mengarah pada obesitas. Resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin

akan menyebabkan toleransi glukosa terganggu yang akan mengawali kondisi DM tipe

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

13

II dengan manifestasi hiperglikemia (Ozougwo, Obimba, Belonwo & Unkalamba, 2013

dalam LeMone, 2016).

Kondisi hiperglikemia pada pasien DM tersebut bermanifestasi pada tiga gejala klasik

diabetes yaitu 3P (poliuria, polidipsia, dan polifagia). Puliuria (sering buang air kecil),

akibat kondisi hiperglikemia melampaui ambang reabsorpsi ginjal sehingga

menimbulkan glukosuria. Kondisi glukosuria selanjutnya menyebabkan diuresis

osmotik sehingga timbul manifestasi banyak buang air kecil (Deni Yasmara, et al,

2016).

2.1.4 Manifestasi Klinis

a. Diabetes Tipe 1

Manifestasi DM tipe 1 terjadi akibat kekurangan insulin untuk menghantarkan

glukosa menembus membran sel ke dalam sel. Molekul glukosa menumpuk dalam

peredaran darah, mengakibatkan hiperglikemia. Hiperglikemia menyebabkan

hiperosmolaritas serum, yang menarik air dari ruang intraseluler ke dalam sirkulasi

umum. Peningkatan volume darah meningkatkan aliran darah ginjal dan

hiperglikemia bertindak sebagai diuretik osmosis. Diuretik osmosis yang dihasilkan

meningkatkan haluaran urine. Kondisi ini disebut poliuria. Ketika kadar glukosa

darah melebihi ambang batas glukosa – biasanya sekitar 180mg/dl – glukosa

diekskresikan ke dalam urine, suatu kondisi yang disebut glukosuria. Penurunan

volume intraselular dari peningkatan haluran urine menyebabkan dehidrasi. Mulut

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

14

menjadi kering dan sensor haus diaktifkan, yang menyebabkan orang tersebut minum

jumlah air yang banyak (Polidipsia) (LeMone, 2016).

Karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa insulin, produksi energi

menurun. Penurunan energi ini menstimulasi rasa lapar dan orang makan lebih

banyak (Polifagia). Meski asupan makan meningkat, berat badan orang tersebut turun

saat tubuh kehilangan air dan memecah protein dan lemak sebagai upaya

memulihkan sumber energi. Penglihatan yang buram juga umum terjadi, akibat

pengaruh osmotik yang menyebabkan pembengkakan lensa mata.

Oleh sebab itu, manifestasi klasik meliputi poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai

dengan penurunan berat badan, malaise, dan keletihan. Bergantung pada tingkat

kekurangan insulin, manifestasinya bervariasi dari ringgan hingga berat. Orang

dengan DM tipe 1 membutuhkan sumber insulin eksogen (eksternal) untuk

mempertahankan hidup (Le Mone, 2016).

b. Diabetes Tipe 2

Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan manifestasi yang lambat dan sering kali

tidak menyadari sampai mencari perawatan kesehatan untuk beberapa masalah lain.

Hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya tidak seberat pada DM tipe 2, tetapi

manifestasi yang sama muncul, khususnya poliuria dan polidipsia. Polifagia jarang

dijumpai dan penurunan berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

15

hiperglikemia: penglihatan buram, keletihan, paresthesia, dan infeksi kulit (LeMone,

2016).

2.1.5 Komplikasi

a. Komplikasi Akut

1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Akibat gangguan pada sekresi hormon insulin, kerja insulin atau oleh keduanya

pada pasien diabetes melitus Tipe II dan kerusakan sel beta pula Langerhans pada

DM tipe I, pasien DM akan mengalami kondisi hiperglikemia akibat penurunan

uptake glukosa kedalam sel yang diikuti peningkatan lipolysis, gluconeogenesis di

hepar dan pemecahan protein. Peningkatan lipolisis dapat mengakibatkan

peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton

(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton), benda keton keluar melalui urine

(ketonuria), peningkatan aseton dalam tubuh akan menyebabkan bau napas seperti

buah (aseton) (Deni Yasmara et, al 2016).

Selain itu, kondisi hiperglikemik diperparah dengan peningkatan glukosa dari

proses gluconeogenesis di hepar. Kekurangan insulin juga akan mengakibatkan

pemecahan protein. Protein akan dikonversi menjadi glukosa sehingga

menyebabkan peningkatan BUN (blood urea nitrogen). Peningkatan BUN dan

peningkatan benda keton akan menyebabkan suatu kondisi yang dikenal dengan

asidosis metabolik. Manifestasi asidosis metabolik diantaranya pH (pH turun

dibawah 7,3) dan kadar bikarbonat (Deni Yasmara et, al 2016).

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

16

Mekanisme tubuh dalam mengatasi asidosis metabolik diatas dengan cara

meningkatkan frekuensi pernapasan dalam upaya mengeluarkan kelebihan CO2

yang dibentuksebagai upaya tubuh mebentuk ekuilibrium asam-basa. Pernapasan

tersebut dikenal dengan pernapasan Kusmaul. Kondisi diatas apabila tidak

ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.

Kondisi hipoglikemik yang terjadi pada pasien juga akan menyebabkan syok

hipovolemik akibat diuresis osmotic yang tidak ditangani. Ketoasidosis/

ketoasidosis diabetic sering kali ditemukan pada DM tipe I dibandingkan tipe II,

karena pada DM tipe I kekurangan insulin lebih bersifat absolut (Deni Yasmara et,

al 2016).

2) Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)

Komplikasi yang banyak dijumpai pada penderita diabetes tipe II adalah sindrom

hiperglikemik hiperosmolar nonketotik, peningkatan glukosa darah yang

disebebkan oleh gangguan sekresi insulin, resistensi insulin ataupun dapat

mengakibatkan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari 300

mg/100 mL. Peningkatan glukosa ini akan menyebabkan ambang batas ginjal

untuk glukosa, sehingga muncul manifetasi glukosuria yang diikuti dengan

diuresis osmotik (Deni Yasmara et, al 2016).

Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan kedalam urine (glukosuria),

ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,

keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

17

dan elektrolit yang berlebihan pasien akan mengalami dehidrasi dan kehilangan

banyak elektrolit, pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.

Selanjutnya pasien dapat mengalami penurunan serebral sehingga tanpa

penanganan yang cepat dan tepat pasien bisa mengalami koma dan meninggal

(Price & Wilson dalam Deni Yasmara et, al 2016).

3) Hipoglikemia

Hipoglikemia (kadar glukosa darah rendah) umum terjadi pada penyandang DM

tipe I dan terkadang terjadi pada penyandang DM tipe 2 yang diobati dengan

agens hipoglikemik oral tertentu. Kondisi ini sering kali disebut syok insulin,

reaksi insulin, atau “penurunan” pada pasien DM tipe I. Hipoglikemia terutama

disebabkan oleh ketidaksesuaian antara asupan insulin (mis., kesalahan dosis

insulin), aktivitas fisik, dan kurang tersedianya karbohidrat (mis., melewatkan

makan). Asupan alcohol dan obat-obatan seperti kloramfenikol (Chloromycetin),

Coumadin, inhibitor monoamine oksidase (MAO), probensid (Benemid), salisat,

dan sulfonamide juga dapat menyebabkan hipoglikemia (LeMone, 2016).

Manifestasi hipoglikemia terjadi akibat respons kompensatorik sistem saraf

otonom (SSO) dan akibat kerusakan fungsi serebral akibat penurunan ketersediaan

glukosa yang dapat dipakai oleh otak. Manifestasi berbeda-beda, khususnya pada

lansia. Awitan mendadak dan glukosa darah biasanya kurang dari 450-60 mg/dl.

Hipoglikemia berat dapat menyebabkan kematian (LeMone, 2016).

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

18

b. Komplikasi Kronik

Menurut (Brunner & Suddarth, 2016) komplikasi kronik biasanya terjadi 10 – 15

tahun setelah awitan diabetes melitus. Komplikasinya mencakup berikut:

1) Penyakit makrovaskular (pembuluh darah besar): mempengaruhi sirkulasi

koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak.

2) Penyakit mikrovaskular (pembuluh darah kecil): mempengaruhi mata (retinopati)

dan ginjal (nefropati); kontrol kadar gula darah untuk menunda atau mencegah

awitan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.

3) Penyakit neuropati: mempengaruhi saraf motorik dan otonom serta berperan

memunculkan sejumlah masalah, seperti impotensi dan ulkus kaki.

Menurut (Perkeni, 2015):

1) Retinopati diabetic

2) Nefropati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan

mengurangi risiko atau memperlambat progress inefropati, dan untuk penderita

ginjal diabetic, mnurunkan asupan protein sampai bawah 0.8 gram/kgBB/ hari

tidak direkomendasikan memperbaiki risiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR

ginjal.

3) Neuropati, pada neuropati perifer hilangnya sensasi distal merupakan faktor

pentingnya berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko

amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar

sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari. Setelah diagnosis DMT 2 ditegakkan,

pada setiap pasien perlu dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya

polineuropati distal yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

19

sederhana (menggunakan monofilament 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian

diulang paling sedikit setiap tahun. Pada keadaan polineuropati perlu dilakukan

perawatan kaki yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan

amputasi. Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pergabalin

dapat mengurangi rasa sakit. Semua penyandang DM yang disertai neuropati

perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki utuk mengurangi risiko ulkus kaki.

Untuk pelaksanaan penyulit ini sering kali diperlukan kerjasama dengan bidang/

disiplin ilmu lain.

2.1.6 Penatalaksanaan

Apabila persepsi penyakit diderita negatif, maka kualitas hidup diabetisi akan rendah,

sedangkan apabila persepsi diabetisi terhadap penyakit yang diderita positif, maka

kualitas hidup diabetisi akan tinggi. Persepsi yang baik akan menyebabkan manajamen

akan bagus, manajemen bagus akan mengakibatkan gula darah diabetisi akan terkontrol,

sehingga komplikasi akan terpanjang dan kualitas hidup diabetisi akan baik. Jika

persepsi diabetisi tidak baik akan berdampak pada manajemen yang tidak bagus, maka

komplikasi bisa terjadi, maka kualitas hidup diabetisi tidak bagus.

Pada persepsi pasien yang tidak baik, perawat memberikan informasi terkait 5 pilar

seperti edukasi, terapi nutrisi, latihan jasmani, terapi farmakologis, dan monitoring

(Perkeni, 2015).

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

20

Penatalaksanaan DM meliputi terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis:

a. Terapi Non – Farmakologis

1) Edukasi

Persepsi yang baik dengan cara memberikan pendidikan atau edukasi yang baik

tentang kesehatan pasien, upaya tersebut merupakan pencegahan agar tidak

terjadinya komplikasi.

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian

dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari

pengelolaan DM secara holistik (PERKENI, 2015). DM merupakan suatu penyakit

kronis yang memerlukan perilaku manajemen diri khusus seumur hidup. Perawat

memainkan peran penting dalam mengidentifikasi pasien yang menderita diabetes,

mengkaji keterampilan perawatan diri pasien DM, memberikan pendidikan

kesehatan dasar kepada pasien DM, mendukung penyuluhan yang diberikan oleh

spesialis dan merujuk pasien untuk menjalani perawatan tindak lanjut setelah

pulang (Bruner & Sudarth, 2016).

2) Terapi Nutrisi

Tujuan terapi nutrisi untuk orang dewasa dengan diabetes adalah untuk

mempromosikan dan mendukung pola makan sehat dalam mencapai dan

mempertahankan berat badan, glikemik, tekanan darah, dan tujuan lipid sambil

mengatasi masalah individu, termasuk akses ke makanan sehat, preferensi pribadi

dan budaya, dan faktor lainnya (ADA, 2018).

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

21

Tujuan nutrisi adalah untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah

dan tekanan darah dalam kisaran normal (atau seaman mungkin mendekati

normal) dan profil lipid dan lipoprotein yang menurunkan risiko penyakit

vaskuler, mencegah, atau setidaknya memperlambat, munculnya komplikasi

kronik; memenuhi kebutuhan nutrisi individu; dan menjaga kepuasan untuk makan

hanya pilihan makanan yang terbatas ketika bukti ilmiah yang ada

mengindikasikan demikian (Bruner & Sudarth, 2016).

Rencana makan harus mempertimbangkan pilihan makan pasien, gaya hidup,

waktu biasanya pasien makan, dan latar belakang etnis serta budaya pasien

(Bruner & Sudarth, 2016). Serta, bagi pasien yang membutuhkan insulin untuk

membantu mengontrol kadar gula darah, diperlukan konsistensi dalam

mempertahankan jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pada setiap sesi

makan (Bruner & Sudarth, 2016).

3) Latihan jasmani

Mafaat olahraga sama bagi setiap orang, dengan atau tanpa DM: meningkatkan

kebugaran fisik, memperbaiki keadaan emosional, pengendalian berat badan, dan

meningkatkan kapasitas kerja. Pada penyandang DM, olahraga meningkatkan

ambilan glikosa oleh sel otot, yang kemungkinan mengurangi kebutuhan akan

insulin. Olahraga juga mengurangi kolestrol dan trigliserida, yang mengurangi

risiko penyakit kardiovaskular. Penyandang DM harus berkonsultai dengan tenaga

kesehatan primer sebelumnya memulai atau menganti program olahraga.

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

22

Kemampuan untuk mempertahankan program olahraga dipengaruhi oleh banyak

faktor yang berbeda, termasuk keletihan dan kadar glukosa (LeMone, 2016).

Program olahraga untuk penyandang DM tipe 2 amat penting. Manfaat olahraga

teratur meliputi: menurunkan berat badan pada mereka yang kelebihan berat

badan, memperbaiki kontrol glikemik, meningkatkan kesejahteraan, bersosialisasi

dengan orang lain, dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Kombinasi diet,

olahraga, dan penurunan berat badan sering kali menurunkan kebutuhan akan

agens hipoglikemik oral. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan sensivitas

terhadpa insulin, peningkatan pengeluaran kkal, dan peningkatan harga diri.

Olahraga teratur dapat mencegah DM tipe 2 pada individu berisiko tinggi (ADA,

2009 dalam Le Mone, 2016).

Berikut ini panduan umum program olahraga (LeMone, 2016): Sebelum memulai

program, lakukan penapisan medis untuk hipertensi, neuropati, retinopati, dan

nefropati sebelumnya tidak terdiagnosis. Mulai program dengan olahraga ringan

dan secara bertahap tingkatkan intensitas dan durasi. Berolahraga minimal 150

menit seminggu dalam sesi pendek dan teratur. Masukan latihan tahanan

(penguatan otot) dan latihan aerobic dengan impak rendah dalam program.

b. Terapi farmakologis

Untuk mengetahui persepsi pasien terhadap terapi farmakologis maka yang dilakukan

seorang perawat dengan cara mengedukasi tentang obat dengan 7 benar pada obat

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

23

yaitu: benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar pemberian, benar

dokumentasi dan benar informasi. Ketika pasien mengetahui tentang 7 benar obat,

maka tidak akan terjadinya komplikasi sehingga kualitas hidup pasien DM akan

meningkat.

1) Obat – Obat Diabetes Melitus

Menurut (Perkeni, 2015) Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk

suntikan. Berdasarkan cara kerja, Obat Antihiperglikemia Oral dibagi menjadi 5

golongan, yaitu: 1) Pemacu sekresi insulin (Insulin Seretagogue), yang termasuk,

yaitu: Sulfonilurea dan Gilinid. 2) Peningkatan Sensivitas terhadap insulin, yang

termasuk obat : Metfotrmin dan Tiazolidindion (TZD). 3) Penghambat Absorpsi

Glukosa di saaluran pencernaan. 4) Penghambat DPP – IV (Dipeptidly Peptidose –

IV. dan 5) Penghambat SGLT – 2 (Sodium Glucose Contransporter. Dan Obat

Antihiperglikemia Suntik, seperti: Insulin, jenis – jenis insulin menurut (Black,

2014) yaitu Kerja cepat (Rapid – acting insulin), Insulin kerja pendek (Short –

acting insulin), Insulin kerja menengah (Intermediate –acting insulin), dan Insulin

kerja panjang (Long – acting insulin).

2) Monitoring Farmakologis

Monitoring DM menurut (Perkeni, 2015), yaitu: Pemeriksaan Kadar Glukosa

Darah, pemeriksaan HbA1c, peemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau dan mencapai kontrol metabolik dan mengurangi bahaya

hipoglikemia (Le Mone, 2016), Glycated Albumin (GA) digunakan untuk menilai

indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme

hemoglobin dan masa hidup eritrosit seperti HbA1c merupakan indeks kontrol

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

24

glikemik jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses metabolik albumin terjadi

lebih cepat daripada hemoglobin dengan perkira 15 – 20 hari sehingga GA

merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan seperti

sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas dan gangguan fungsi tiroid

dapat mempengaruhi albumin yang berpotensi mempengaruhi nilai pengukuran

GA (Perkeni, 2015).

2.2 Persepsi

2.2.1 Definisi

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan suatu objek yang diawali oleh proses

pengindraan, proses diterimanya rangsangan oleh alat indra, kemudian individu

memiliki perhatian, selanjutnya diteruskan ke otak, lalu individu menyadari tentang

sesuatu yang diamati (Sunaryo, 2013).

Persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh

harapan dan pengalaman. Kadangkala persepsi merupakan suatu hambatan kita dalam

berkomunikasi. Karena apa yang kita persepsikan belum tentu sama dengan yang

dipersepsikan oleh orang lain (Anita Murwani & Istichomah, 2013).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses

akhir dan pandangan seseorang terhadap suatu kejadian yang diawali oleh alat indra,

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

25

kemudian kemudian individu memiliki perhatian, selanjutnya diteruskan ke otak, lalu

individu menyadari tentang sesuatu yang diamati.

2.2.2 Proses Terjadinya Persepsi

Proses terjadinya melalui tiga proses, yaitu prosses fisik, fisiologis, dan prsikologis.

Proses fisik terjadi melalui kealaman, yakni objek diberikan stimulus, kemudian

diterima oleh reseptor atau panca indra. Sementara itu, proses fisiologis terjadi melalui

stimulus yang dihantarkan ke saraf senssorik lalu disampaikan ke otak.Terakhir, proses

psikologis merupakan proses yang terjadi pada otak sehingga indiviu menyadari

stimulus yang diterima. Jadi, ketiga syarat tersebut sangat diperlukan demi tercapainya

suatu peersepsi yang baik (Sunaryo, 2013).

2.2.3 Macam-Macam Persepsi

Ada dua macam persepsi (Sunaryo, 2004), yaitu:

a. Eksternal Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang

datang dari luar diri individu.

b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal

dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri.

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

26

2.2.4 Dimensi – Dimensi Persepsi

Bahwa persepsi tentang lingkungan fisik dan sosial merupakan kegiatan internal dalam

menangkap stimulus dan kemudian memprosesnya melalui stimulus syaraf dan otak

sampai akhirnya tercipta struktur, stabilitas, dan makna darinya. untuk memahami

bekerjanya proses terebut, kita harus menyadari akan adanya dua dimensi pokok

fundamental dari persepsi:

a. Dimensi fisik (mengatur / mengorganisasi)

b. Dimensi psikologis (menafsirkan)

Kedua dimensi ini secara bersama-sama bertanggung jawab atas hasil – hasil

persepsi, sehingga pengertian tentangnya akan memberi gambaran tentang bagaimana

persepsi akan terjadi.

1) Dimensi persepsi secara fisik

Dimensi fisik ini merupakan tahap penting dari persepsi. Dimensi ini

menggambarkan perolehan kita akan informasi tentang dunia luar. Tahap

permulaan ini akup karakteristik – karakterisik stimulasi yang berupa energi,

hakekat dan fungsi mekanisme penerimaan manusia (mata, telinga, hidung, mulut

dan kulit) serta transmisi data melalui syaraf menuju ke otak, untuk kemudian

diubah ke dalan bentuk yang bermakna.

Bekerjanya anggota tubuh manusia pada tahap ini dapat dikatakan sama antara

satu dengan orang lainnya, baik yang berasal dari kebudayaan yang sama ataupun

berbeda. Karena setiap orang pada dasarnya memiliki mekanisme autonomis dan

biologis yang sama, yang menghubungkan mereka dengan lingkungannya.

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

27

2) Dimensi persepsi secara psikologis

Dibandingkan dengan penanganan stimuli secara fisik, keadaan individu (seperti

kepribadian, kecerdasan, pendidikan, emosi, keyakinan, nilai, sikap, motivasi, dan

lain-lain) mempunyai dampak yang jauh lebih menentukan terhadap persepsi

mengenai lingkungan dan prilaku. Pada tahap ini, setiap indivudu menciptakan

struktur, stabilitas, dan makna dalam persepsinya, serta memberikan sifat yang

pribadi dan penafsiran mengenai dunia luar.

2.2.5 Persepsi Penyakit Diabetisi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Scollan-Koliopoulos (2011) diketahui

bahwa penderita diabetes yang memiliki riwayat keturunan cenderung memiliki persepsi

bahwa dirinya mampu mengendalikan penyakitnya. Sampel penelitian tersebut

menunjukkan perilaku manajemen diri yang tinggi sebagai usaha mencapai

pengendalian penyakit yang optimal (Scollan-Koliopoulos, 2011). Penelitian lain yang

dilakukan oleh Scollan-Koliopoulos (2010) juga menunjukkan kontribusi persepsi

penyakit terhadap cara penderita diabetes melakukan manajemen diri. Persepsi

konsekuensi yang dibentuk oleh penderita diabetes yang memiliki riwayat keturunan

cenderung berhubungan dengan cara penderita melakukan manajemen diri. Penderita

yang mengetahui bahwa diabetes dapat menimbulkan komplikasi akan cenderung

melakukan manajemen diri yang tinggi. Perilaku tersebut untuk menghindari

konsekuensi akibat penyakit diabetes (Scollan-Koliopoulos, 2010).

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

28

Persepsi penyakit merupakan cara pandang seseorang dalam menilai dan memahami

kondisi kesehatannya (Putriyani, 2013). Regulasi diri ialah hal yang penting dalam

persepsi penyakit sebab merupakan penentu timbulnya persepsi positif atau persepsi

negatif (Ibrahim N, Desa A, Chiew-Tong NK, 2011).

Persepsi penyakit yaitu pendekatan yang digunakan secara luas didalam psikologi

kesehatan, salah satunya digunakan yaitu untuk menjelaskan perilaku dan cara

mengatasi DMT2 (Weinman & Petrie, 1997; Anonim, 2014). Persepsi atau pemahaman

tentang kesehatan dipengaruhi oleh bagaimana penderita percaya terhadap

kemampuannya menjalani pengobatan, kehidupan, psikososial, pendidikan yang dimiliki

serta dukungan keluarga (Pricahyo, 2012). Kegagalan dalam mengelola aspek psikologi

dapat berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup pasien DMT2 dan persepsi pasien

terkait penyakit berkontribusi terhadap kualitas hidup pasien (Donald et al., 2012).

Menurut Yaragchi et al., (2012), Benyamin et, al., (2012) dan Long (2013) yang

menyatakan bahwa domain B-IPQ memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup. DMT2

merupakan salah satu penyakit kronis yang memerlukan pengobatan seumur hidup. Hal

inilah yang menyebabkan beberapa pasien mulai membangun persepsi tentang penyakit

yang dideritanya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penururnan kualitas

hidup, salah satunya adalah persepsi negatif yang dibangun ketika seseorang tidak dapat

mengelola penyakit yang dideritanya. Sebaliknya pasien yang beranggapan bahwa

kondisinya baik-baik saja cenderung mempunyai kualitas hidup yang baik, sehingga

dimensi dari B-IPQ akan cenderung lebih positif.

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

29

Persepsi penyakit telah diidentifikasi dalam beberapa studi sebagai faktor signifikan

yang mempengaruhi praktik perawatan diri, tekanan psikologis dan hasil kesehatan

lainnya di antara orang yang hidup dengan T2DM (Nuworza Kugbey et al., 2017).

2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Penyakit Diabetisi

Pada pasien DM dengan pendidikan lebih tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik

tentang penyakitnya. Mereka mampu mengolah dampak yang muncul akibat penyakit

berikut penatalaksanaanya secara mandiri sesuai kemampuan yang dimiliki (Javanbakht,

et, al. 2012). Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan perolehan pengetahuan individu.

Pasien dengan pengetahuan yang layak memiliki kesadaran untuk merubah gaya hidup

kearah yang lebih sehat dan hidup yang berkualitas (Gultom, 2012).

2.2.7 Alat Ukur Persepsi Penyakit Diabetisi

a. The Illness Perception Questionnaire (IPQ-R)

The Illness Perception Questionnaire (IPQ-R), merupakan revisi dari IPQ asli yang

dikembangkan oleh Moss – Morris (2002). Versi IPQ-R berisi 7 domain kognitif dan

emosional antara lain garis waktu akut / kronis, garis waktu siklis, konsekuensi,

kontrol priadi, kontrol pengobatan, koherensi penyakit, representasi emosionl.

Penyebabnya dikategorikan sebagai berikut: 1) atribusi psikologis (stress atau

kekhawatiran, sikap mental, masalah dalam keluarga, kerja paksa, keadaan

emosional, kepradian), 2) faktor resiko ( hereditas, diet, perawatan medis yang buruk

dimasa lalu, peilaku sehari-hari, penuaan, rokok, dan alkohol), 3) kekebalan/ imunitas

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

30

(kuman, virus, polusi, kekebalan yang berubah), 4) kecelakaan atau kesempatan

(kebetulan aau nasib buruk, cedera, dan kecelakaan) (Moss-Morris et al., 2002).

b. Brief – Illness Perception Questionnaire (B-IPQ)

Brief – Illness Perception Questionnaire (B-IPQ) yaitu sejenis instrument yang

digunakan untuk mengetahui persepsi asien akan penyakit yang dideritanya karena

pasien akan diminta untuk menjawab pertanyaan tentang ancaman (rasa sakit)

kesehatan yang dirasakan. Instrumen B-IPQ sudah didigunakan di London, UK untuk

menggambarkan ancaman rasa sakit pada lima penyakit berbeda, antara lain asma,

DM tipe 2, miokardial, ginjal dan diagnosis awal setres serta sudah melewati uji

validitas instrument yang digunakan (Elizabeth B, et all., 2006).

Uji validitas dan Uji validitas dengan metode Person correlation (nilai korelasi

sedangkan uji reabilitas menggunakan teknik Internal consistency (Crombach alpha

coefficient 7) (Priyatno D., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh R. Dwi Bangga, et

al., (2016), instrumen B-IPQ versi Indonesia valid untuk mengukur persepsi penyakit

pada pasien diabetes melitus di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie kota

Pontianak dengan nilai korelasi masing-masing item > 0.3 (0.05), serta reliable untuk

mengukur persepsi penyakit pada pasien diabetes melitus di RSUD Sultan Syarif

Mohamad Alkadrie kota Pontianak dengan nilai Cronbach alpha coefficient 0.812 >

0.7 (0.05).

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

31

Kuesioner persepsi penyakit dengan menggunakan B-IPQ yang terdiri dari 8

pertanyaan yang mencakup 9 pertanyaan yg mencakup 8 pertanyaan aspek penilaian

dan 1 pertanyaan terbuka. Delapan aspek penilaian tersebut diantaranya nilai

representasi penyakit kognitif yaitu konsekuensi (no.1), durasi waktu (no.2), tingkat

kontrol pribadi atas penyakit (no.3), kontrol (no.4) dan identitas (no.5). Untuk nilai

representasi emosional yaitu perhatian (no.6) dan emosional (no.8). Untuk nilai

representasi pemahaman yaitu pemahaman penyakit (no.7). Penilaian kuesioner

dilakukan dengan mengambil skor rata – rata dari responden pasien untuk setiap

domain yang terdiri dari satu pertanyaan jawaban diatas 5 berarti pasien menganggap

aspek penyakit ini dengan serius. Juga total sakit diperoleh dengan menambah

respons untuk masing – masing dari 8 pertanyaan dengan pertanyaan 3,4 dan 7

dicadangkan sebelum menambahkannya ke sekor. Total score kemudian dibagi 8 dan

angka yang dihasilkan mencerminkan seberapa serius pasien mamandang penyakit.

Sekor rata – rata diatas 5 menunjukkan bahwa pasien menganggap penyakit secara

serius.

2.3 Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi

Kualitas Kehidupan sebagai persepsi individu tentang posisi mereka dalam kehidupan

dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya

dengan tujuan, harapan, standar, dan masalah mereka. Ini adalah konsep luas yang

dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

32

pribadi, hubungan sosial, dan hubungannya dengan ciri-ciri penting lingkungannya

(WHO, 2019).

Kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk

mendapatkan hidup yang normal dengan persepsi secara individu mengenai tujuan,

harapan, standa dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang dialami dengan

dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut berada (Adam

dalam Nursalam, 2014). Kualitas hidup (quality of life) digunakan dalam bidang

pelayanan kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan

kemampuan untuk memenuhi, tuntutan kegiatan dalam kehidupan secara normal dan

dampak sakit dapat berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan

(Brooks & Anderson dalam Nurssalam, 2014).

2.3.2 Kualitas Hidup Pasien Diabetisi

Kualitas hidup diabetisi adalah gambaran perasaan puas dan bahagia akan kehidupan

secara umum, khususnya hidup dengan diabetes (Yudiyanto et al.,, 2008). Salah satu

luaran dari suatu terapi penyakit adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,

untuk itu WHO memunculkan konsep kualitas hidup ini. Permasalahan kualitas hidup

perlu dipertimbangkan karena luaran terapi tidak hanya sekedar mempertimbangkan

data laboratorium dan hasil pemeriksaan fisik pasien setelah mendapat pengobatan saja

(Perwitasari, 2014).

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

33

Kualitas hidup digunakan sebagai acuan dalam penilaian outcome pasien diabetes

melitus tipe 2 (DMT2) (Sundaram et al., 2009). Penelitian sebelumnya melaporkan

bahwa pasien DMT2 memiliki kualitas hidup rendah dibandingkan populasi normal

(Kiadaliri et al., 2013). Penururnan kualitas hidup akibat dari penyakit yang diderita

maupun komplikasi yang menyertainya (Luscombe, 2000; Maddigan et al., 2006;

Andayani et al., 2010).

Salah satu faktor yang juga mempengaruhi kualitas hidup pasien DM adalah komplikasi

penyakit DM. Dari Hasil penelitian didapatkan bahwa hampir semua pasien mengalami

komplikasi penyakit DM (Margaretha Teli, 2017).

Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien DM. Berdasarkan penelitian

sebelumnya terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan, status sosial

ekonomi berdasarkan jenis kelamin, pendapatan, status pernikahan, lama menderita,

komplikasi diabetes mellitus, aktivitas self care, efikasi diri, dukungan sosial dan depresi

dengan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 (Dika Erniantin et al., 2018).

2.3.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Diabetisi

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Naili Rafi’ah (2017), Penelitian menyebutkan usia 50

tahun sebanyak 53 orang dan usia <50 tahun sebanyak 28 orang yang terkena DM

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

34

dengan komplikasi menunjukan penyebab utamanya yaitu perubahan pola hidup.

Sehingga faktor usia mempengaruhi pada kualitas hidup pasien DM.

b. Jenis kelamin

Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien DM (Saputro,

2008).

c. Status Perkawinan

Terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan kualitas hidup

pasien diabetes melitus tipe II, sehingga penderita DM tipe II yang janda/ duda

mempunyai risiko 12,4 kali lebih besar untuk memiliki kualitas hidup yang lebih

rendah (tidak puas) daripada menikah atau memiliki pasangan (Dwi Wahyu

Ningtyas, et, al. 2013).

d. Pendidikan

Penelitian di Iran telah membuktikan hubungan tingkat pendidikan yang tinggi

dengan peningkatan nilai kualitas hidup, pasien DMT2 dengan pendidikan lebih

tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penyakitnya (Javanbakht, et, al.

2012). Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan perolehan pengetahuan individu.

Pasien dengan pengetahuan yang layak memiliki kesadaran untuk merubah gaya

hidup kearah yang lebih ehat dan hidup yang berkualitas (Gultom, 2012).

Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup

pasien diabetes Melitus tipe II, sehingga penderita DM tipe II yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah (Sekolah Dasar) mempunyai resiko 1,9 kali lebih besar

Page 26: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

35

untuk memiliki kualitas hidup yang lebih rendah (tidak puas) daripada yang

berpendidikan tinggi (SMA, PT/ Akademi) (Dwi Wahyu Ningtyas, et, al. 2013).

e. Lama Menderita DM

Dwi Wahyu Ningtyas, et, al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara lama menderita DM tipe II. Sehingga, pasien DM tipe II yang

menderita penyakit 10 tahun memiliki risiko 4 kali lebih besar memiliki kualitas

hidup yang lebih rendah (tidak puas) daripada yang menderita <10 tahun.

f. Pekerjaan

Penelitian yang dilakukan oleh Naili Rafi’ah (2017), Penelitian menyebutkan tidak

bekerja sebanyak 53 orang dan yang bekerja sebanyak 28 orang yang terkena DM

dengan komplikasi menunjukan penyebab utamanya yaitu perubahan pola hidup.

Sehingga faktor pekerjaan mempengaruhi pada kualitas hidup pasien DM.

2.3.4 Alat Ukur Kualitas Hidup Diabetisi

a. Pengukuran WHO – BREEF Quality of Life (QoL)

Terjemahan kuesioner WHO – BREEF Quality of Life (QoL) ini dilakukan atas

nama Organisasi Kesehatan Dunia oleh Dr Ratna Mardiati; Satya Joewana,

Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta; Dr Hartati Kurniadi; Isfandari, Kementerian

Kesehatan Indonesia dan Riza Sarasvita, Rumah Sakit Ketergantungan Obat

Fatmawati, Jakarta.

Page 27: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

36

Kuesioner kualitas hidup dengan WHOQOL – BREF terdiri dari 26 pertanyaan yang

mencakup domain fungsi fisik, keterbatasan peranan emosi, fatigue, kesehatan

mental, fungsi sosial, nyeri, dan kesehatan umum. Kuesioner kualitas hidup dibagi

menjadi 4 domain yaitu domain 1 tentang kesehatan fisik (no.3, no.4, no.10, no.15,

no.16, no.17, no.18), domain 2 tentang kondisi psikologi (no.5, no.6, no.7, no.11,

no.19 dan no.26), domain 3 tentang hubungan sosial yaitu (no.20, no.21, no.22) dan

domain kondisi lingkungan yaitu (no.8, no.9, no.12, no.13, no.14, no.23, no.24, dan

no.25).

b. Pengukuran Diabetes Quality of Life (DQOL)

Diabetes Quality of Life (DQoL) yang dibuat oleh Jacobson dkk. (1988). DQoL

berfungsi untuk mengukur kepuasan, dampak, dan kekhawatiran pada pasien DMT2.

Alat ini mengukur kepuasan individu dengan berbagai komponen kehidupan seperti

kekhawatiran mereka baik sosial maupun masa depan dan besarnya dampak diabetes

dalam mempengaruhi kehidupan (Asseltyne, 2011).

Instrumen ini memiliki 46 item inti yang terdiri dari empat indikator, yaitu kepuasan

dengan pengobatan (15 item), dampak pengobatan (20 item), kekhawatiran tentang

dampak masa depan diabetes (empat item), dan kekhawatiran tentang isu-isu sosial

dan pekerjaan (tujuh item). Instrumen ini juga terdiri dari item kesehatan secara

keseluruhan. Dimensi dan skor total DQoL (skor rata-rata di empat dimensi) yang

mencetak 0-100 dimana 0 mewakili kualitas serendah mungkin hidup dan 100 yang

tertinggi (Asseltyne, 2011).

Page 28: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

37

DQoL menggunakan skala model Likert dengan lima pilihan jawaban, adapun

beberapa bentuk pilihan jawabannya yaitu; sangat puas-sangat tidak puas, sangat

berdampak-sangat tidak berdampak, dan tidak pernah-selalu.

Gibbons dan Fitzpatrik (2009) menyatakan bahwa insrtumen ini telah digunakan di

berbagai penelitian kualitas hidup pada pasien diabetes dan memperoleh hasil yang

sangat baik untuk validitas, reliabilitas, tingkat respon.

Adapun konsistensi internalnya men-capai Alpha Chronbach 0,66-0,969. Selain itu,

kedua peneliti ini meng-evaluasi skala DQoL menunjukkan bahwa sebagian besar

skala ini memiliki bukti yang baik dari konsistensi internal meskipun beberapa item

memiliki Alpha rendah. Validitas diskriminatif telah mendukung sensitivitas skala ini

dalam mengidentifikasi kondisi kesehatan pasien yang beragam dengan berbagai

tingkat gejala dan komorbiditas.

Page 29: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi

38

2.4 Kerangka teori

Skema 2.1 Kerangka teori

DM

Faktor resiko DM tipe 2:

Obesitas

Pola makan dan nutrisi

yang buruk

Kurang aktivitas fisik

Prediabetes atau intoleransi

glukosa terganggu

Merokok

Riwayat DM

Penatalaksanaan DM:

Edukasi

Terapi nutrisi

Latihan jasmani

Terapi farmakologis

Monitoring

Komplikasi DM:

Komplikasi akut

Komplikasi kronik

Persepsi:

- Proses terjadinya persepsi

- Macam- macam persepsi

- Dimensi- dimensi persepsi

Persepsi penyakit DM:

Kualitas hidup:

- Domain kesehatan fisik

- Domain kesehatan psilologis

- Domain hubungan sosial

- Domain lingkungan

Kualitas hidup diabetisi