34
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi Gangguan mobilitas fisik ( Imobilisasi ) adalah suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik menurut, perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat meningkatkan instruksi pembatasan gerak dalam tirah baring, pembatasan gerak fisik, selama menggunakan alat bantu eksternal ( mis gips, atau traksi rangka), pembatasan gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik, NANDA, Kim et al, 1995 dikutip oleh Potter & Perry, 2013. Menurut Kozier, 2012 Imobilisasi adalah merupakan penurunan jumlah dari pergerakan yang terkumpul pada individu. Secara normal seseorang akan bergerak apabila mereka mengalami ketidak nyamanan akibat penekanan pada suatu area tubuh. Imobilitas / Imobilisasi adalah merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas) misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya ( A Aziz dkk, 2014)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imobilisasi

2.1.1 Definisi

Gangguan mobilitas fisik ( Imobilisasi ) adalah suatu keadaan ketika

individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik

menurut, perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat meningkatkan

instruksi pembatasan gerak dalam tirah baring, pembatasan gerak fisik, selama

menggunakan alat bantu eksternal ( mis gips, atau traksi rangka), pembatasan

gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik, NANDA, Kim et al, 1995

dikutip oleh Potter & Perry, 2013.

Menurut Kozier, 2012 Imobilisasi adalah merupakan penurunan jumlah

dari pergerakan yang terkumpul pada individu. Secara normal seseorang akan

bergerak apabila mereka mengalami ketidak nyamanan akibat penekanan

pada suatu area tubuh.

Imobilitas / Imobilisasi adalah merupakan keadaan ketika seseorang

tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan

(aktivitas) misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat

disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya ( A Aziz dkk, 2014)

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

8

Jadi definisi Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus

istirahat ditempat tidur tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit

atau gangguan pada alat / organ tubuh yang bersifat fisik atau mental atau

bedrest yang lebih dari 3 hari atau lebih.

2.1.2. Tujuan Imobilisasi

Tujuan dilakukannnya Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :

a. Pengobatan atau terapi, seperti pada klien setelah menjalani pembedahan

atau mengalami cedera pada kaki atau tangan. Tirah baring merupakan

suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur

untuk tujuan terapi antara lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen,

mengurangi nyeri, mengembalikan kekuatan dan cukup istirahat.

b. Mengurangi nyeri pasca operasi

c. Ketidak mampuan premier seperti paralisis

d. Klien mengalami kemunduran pada rentang Imobilisasi parsial atau

mutlak

2.1.3 Tingkat imobilisasi

Tingkat Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :

a. Imobilisasi komplit : Imobilisasi dilakukan pada individu yang

mengalami gangguan tingkat kesadaran

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

9

b. Imobilisasi parsial : Imobilisasi yang dilakuakn pada klien yang

mengalami fraktur

c. Imobilisasi karena pengobatan : Imobilisasi pada penderita gangguan

pernafasan atau jantung, pada klien tirah baring ( bedrest) total, klien

tidak boleh bergerak dari tempat tidur, berjalan, dan duduk dikursi.

2.1.4 Jenis Imobilisasi menurut

Menurut A Aziz dkk, 2014 jenis imobilisasi adalah :

a. Imobilisasi Fisik

Merupakan pembatasan bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah

terjadinnya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien

hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan didaerah

paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk

mengurangi tekanan.

b. Imobilisasi Intelektual

Merupakan keadaanketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir,

seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Imobilisasi Emosional

Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional

karena adannya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri

sebagai contoh keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

10

amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh

atau kehilangan sesuatu yang dicintai.

d. Imobilisasi Sosial

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi

sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi

perannya dalam kehidupan sosial.

2.1.5 Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi

Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi A Aziz dkk, 2014 yaitu :

a. Muskuloskeletal : menurunnya masa otot dan menyebabkan kekuatan otot

menurun dan akan mudah terjadi kontraktur sendi dan osteoporosit.

b. Kardiovaskuler : dapat mengakibatkan hipotensi, meningkatkan kerja

jantung dan terjadinnya pembentukan thrombus.

c. Respiratori : akibat haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, aliran

darah keparu – paru terganggu sehingga pertukaran gas menurun, kerja

diasidosis respiratori.

d. Vertigo : terjadi akibat seseorang terlalu lama berbaring, hingga aliran

darah keotak berkurang dan menyebabkan pusing.

2.1.6 Dampak Imobilisasi

Dampak yang terjadi terhadap imobilisasi menurut Potter & Perry, 2013

adalah sebagai berikut :

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

11

a. Perubahan Metabolisme

Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin,

resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin

menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital

seperti: 1) berespon pada stress dan cedera, 2) pertumbuhan dan

perkembangan, 3) reproduksi, 4) mempertahankan lingkungan internal,

serta 5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi. Imobilisasi

mengganggu fungsi metabolisme normal seperti: menurunkan laju

metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,

dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan

peristaltik berkurang. Namun demikian pada proses infeksi klien yang

imobilisasi mengalami peningkatan BMR karena demam dan

penyembuhan luka membutuhkan oksigen.

b. Perubahan Pernafasan

Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien memiliki

komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah

atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada

paru akibat statis atau bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan

penyembuhan yang alam dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien.

Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada bronkiolus atau bronkus

dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara yang masuk

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

12

diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat

mengurangi keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan

berkembangnya komplikasi ini. kemampuan batuk klien secara produktif

menurun. Selanjutnya distribusi mukus pada bronkus meningkat,

terutama saat klien dalam posisi supine, telungkup atau lateral. Mukus

berkumpul pada bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia

hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk

bertumbuhnya bakteri.

c. Perubahan Kardiovaskuler

Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan

utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan

pembentukan trombus. Hipotensi ortostatik adalah peningkatan denyut

jantung lebih dari 15% atau tekanan darah sistolik menurun 15 mmHg

atau lebih saaat klien berubah posisi dari posisi terlentang ke posisi

berdiri.43 Pada kilen yang imobilisasi, menurunnya volume cairan yang

bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya

respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik

vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan

menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama terjadi pada klien lansia.

Karena beban kerja jantung meningkat, konsumsi oksigen juga

meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

13

efisiensi jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung

meningkat.

d. Perubahan Muskuloskeletal

Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan

permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen.

Pembatasan mobilisasi terkadang menyebabkan kehilangan daya tahan,

kekuatan dan massa otot, serta menurunnya stabilitas dan keseimbangan.

Dampak pembatasan mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium

dan gangguan sendi. Karena pemecahan protein, klien kehilangan massa

tubuh yang tidak berlemak. Massa otot berkurang tidak stabil untuk

mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya kelemahan. Jika mobilisasi

terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan, kehilangan massa otot akan

terus terjadi. Kelemahan otot juga terjadi karena imobilisasi, dan

imobilisasi lama sering menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi

angguran (disuse atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap

penyakit dan menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi

kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan

instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini

dapat terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien

kritis terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer

25 % dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

14

massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi

selama perawatan intensif.

e. Perubahan Eliminasi Urine

Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat

mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih

karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan

datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang

dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu

oleh gaya gravitasi. Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu

menimbulkan gaya garvitasi, pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki

ureter. Kejadian ini disebut stastis urine dan meningkatkan resiko infeksi

saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu kalsium yang

terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien imobilisasai

beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami

hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering

berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko

dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang pada atau

antara hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine menjadi pekat.

Urine yang pekat ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus urinarius

oleh bakteria escherchia coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada

klien yang imobilsasi adalah penggunaan kateter urine indwelling.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

15

Retensi urine, orang yang tidak dapat bergerak dapat menderita retensi

urine ( akumulasi urinedidalam kandung kemih), distensi kandung

kemih, dan kadang kala inkontinensia urine ( berkemih secara involunter).

Penurunan tonus otot kandung kemih menghambat kemampuannya untuk

mengosongkan urine secara komlit dan individu mengalami imobilitas

tidak mampu merelaksasi otot perineum secara cukup untuk dapat

berkemih.ketidak nyamanan menggunakan pispotuntuk defekasi / pispot

untuk berkemih, rasa malu dan tidak adanya privasi terkait fungsi ini, dan

posisi yang tidak alami untuk berkemih, semuannya itu menyulitkan klien

untuk merelaksasi otot perineum dengan baik dengan baik untuk berkemih

saat berbaring ditempat tidur.

Apabila urinasi tidak memungkinkan kandung kemih secara bertahap

menjadi penuh dengan urine. Kandung kemih dapat meregang secara

berlebihan, yang pada akhirnya menghambat desakan untuk berkemih. Saat

distensi kandung kemih cukup bermakna, beberapa tetesan kemih secara

involunter dapat terjadi (retensi dengan aliran berlebihan) ini tidak

meredakan distensi urine, karena sebagaian besar urine yang staknan tetap

berada dikandung kemih.

f. Perubahan Integumen

Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan

efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

16

membuat imobilisasi menjadi masalah resiko yang besar terhadap luka

tekan. Metabolisme jaringan bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi

serta eliminasi sampah metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi

metabolisme seluler dengan menurunkan atau mengeliminasi sirkulasi

jaringan secara keseluruhan.

g. Perubahan Perkembangan

Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul

akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung dihubungkan

dengan imobilisasi pada anak yang sangat muda dan pada lansia. Anak

yang sangat muda atau lansia yang sehat namun diimobilisasi memiliki

sedikit perubahan perkembangan. Namun, terdapatnya beberapa

pengecualian. Misalnya ibu yang mengalami komplikasi saat kelahiran

harus tirah baring dan mengakibatkan tidak mampu berinteraksi dengan

bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.

2.1.7 Komplikasi dari Imobilisasi

Komplikasi sekunder dari Imobilisasi menurut Black, 2014 adalah,

tromboplebitis, konstipasi, ateleksasis. masalah buang air kecil, kehilangan

kekuatan otot, gangguan integritas kulit, serta depresi.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

17

2.2 Berkemih

2.2.1 Definisi Berkemih

Berkemih menurut Potter Perry, 2010 adalah terjadi proses keinginan

berkemih saat kandung kemih mengandung urine sebanyak 150-200 ml pada

orang dewasa, dinding kandung kemih akan meregang dan mengirimkan

impuls sensorik di korda spinalis bagian sakrum, impuls dari pusat mikturisi

akan merespon atau mengabaikan dorongan berkemih, sehingga berkemih

berada dibawah dorongan volunter, jika individu memilih untuk tidak

berkemih spingter eksterna akan tetap berkontraksi dan menghambat reflek

mikturisi namun jika sudah siap untuk berkemih spingter eksternal akan

berelaksasi dan reflek mikturisi akan merangsang otot destrusor untuk

berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.

Berkemih ( mictio, micturition, voiding, urination) adalah proses

pengosongan vesika urinaria ( kandung kemih ). Proses ini dimulai dengan

terkumpulnya urine dalam vesika urinaria yang merangsang saraf-saraf

sensorik dalam dinding vesika urinaria ( bagian reseptor). Vesika urinaria

dapat menimbulkan rangsangan saraf bila terisi kurang lebih 250-450cc

( pada orang dewasa) dan 200-250cc pada anak-anak . (A Aziz dkk, 2014)

Reflek berkemih diawali ketika pengisian kadung kemih

meningkatkan tegagan dinding diatas ambang batas yang di rasakan sebagai

keinginan untuk berkemih. Saraf sensori menyamakan informasi tegangan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

18

ke medulla spinalis, dimana kenaikan aktivitas parasimpatis meyebabkanm

kontraksi otot detrusor. Kontraksi ini lebih lanjut meningkatkan tegagangan

dinding kandung kemih, meningkatkan reflex aktivitas parasimpatetis dan

meningkatkamn kontraksi .Proses ini berulang sampai(1) tegangan menjadi

stabil (selama satu menit), (2) reflex menjadi lelah , (3) sfingtert eksterna

relaksasi dan kandung kemih kosong . Jika pengosongan tidak terjadi, proses

ini akan berlangsung kembali dalam beberapa menit. ( Lemone, 2012).

Jadi berkemih adalah proses pengisian kandung kemih dan

merasakan keinginan berkemih dimana otot kandung kemih terjadi

peregangan mengirimkan impuls sensorik kepusat mikturisi hal ini terjadi

dibawah kontrol volunteer jika berkemih spingter eksterna akan berelaksasi

dan reflak mikturisi akan merangsang otot destrusor untuk berkontraksi

sehingga terjadi miksi.

2.2.2 Proses Pembentukan Urine

Caroline & Marry, 2012 menyatakan bahwa Urine adalah dibentuk di

ginjal, terdiri dari air yang berlebihan dari tubuh, sedikit karbon dioksida,

sejumlah kecil sampah padat dan zat abnormal yang disaring dari darah.

Produksi urine oleh ginjal relative konstan ( 1 ml/menit), namun jumlah ini

dapat bervariasi dari 0,5 sampai 20 ml/menit. Aliran melalui ureter terjadi

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

19

secara berselang dan di kontrol oleh kecepatan pembentukan gelombang

peristalisis. Peristalisis yang memaksa urine menuju kandung kemih untuk

peyimpanan terjadi tiap 10-50 detik. Aktivasi parasimpatetis meningkatkan

frekuensi peristalisis dan stimulasi simpatis menurunkan frekuesi. Nervus

aferen (nyeri) menginisasi reflex ureterorenal. Reflek ini, teraktivasi oleh

obstruksi, meyebabkan kontraksi ureter dan juga meyebabkan konstriksi

arteriol aferen untuk mengurangi produksi urine.Penyumbatan batu ginjal di

ureter adalah peyebab utama dari reflek ini.

Menurut Lemone 2012 karakteristik urinalisa adalah, warna urine kuning

terang hingga kuning gading, tampilan jernih, bau aromatic, PH 4,5-8,0,

Berat jenis 1.005 – 1.030, protein 2-8 mg/dl, glukosa negative, keton

negative, sel darah merah jarang, sel darah putih 3-4, sedimen kadang hialin

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine

Diet dan asupan, respon keinginan awal untuk berkemih ,gaya hidup, stress

psikologis, tingkat aktivitas, tingkat perkembangan, kondisi penyakit,

sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot, pembedahan, Pengobatan dan

pemeriksaaan diagnostik. ( A Aziz dkk, 2014)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

20

2.3 Inkontinensia Urin

2.3.1 Definisi

Inkontinensia urine adalah gangguan pengontrolan kandung kemih atau

berkemih involunter menurut Lemone dkk, 2012, menurut Black , 2014

Inkontinensia urine overflow adalah suatu kehilangan urine involunter

sehubungan dengan kelebihan distensi buli-buli. Buli – buli tidak dapat

menyimpan urine namun tidak kosong sepenuhnya, memyebabkan

keluarnya urine karena berkurangnya tekanan resistensi.

Menurut Brunner & Suddarth, 2010 Inkontinensia urine adalah merupakan

eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar

keinginan. Jadi inkontinensia urine adalah gangguan dalam proses berkemih

yang dapat diakibatkan oleh overflow yang disebabkan kelebihan distensi

buli – buli sehingga terjadia gangguan pada pengontrolan dalam berkemih.

2.3.2 Patofisiologi

Kontinensia membutuhkan input dari SSP, kandung kemih dapat

mengembang dan berkontraksi serta spingter yang dapat mempertahankan

tekanan uretra lebih tinggi dari tekanan dalam kandung kemih, kesadaran

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

21

penuh, mobilitas dan kecakapan juga diperlukan untuk mempertahankan

kontinensia.

Secara mekanis inkontinensia terjadi bila tekanan dalam kandung kemih

melebihi resistensi uretra sehingga menyebabkan urine keluar. Tiap kondisi

menyebabkan tekanan lebih tinggi disbanding tekanan kandung kemih normal

atau menurunkan resistensi uretra dapat berpotensi menyebabkan

inkontinensia. Relaksasi otot panggul, gangguan kontrol otak dan system saraf

dan gangguan kandung kemih dan ototnya adalah faktor penyebab yang

umunnya terjadi ( Lemone dkk, 2012 )

2.3.3. Penyebab inkontinensia

Inkontinensia berhubungan dengan peningkatan risiko jatuh, fraktur,

ulkus tekan, infeksi saluran kemih dan depresi. Inkontinensia fungsional

terjadi karena penyebab fisik, psikososial, atau farmakologi yang tidak

berhubungan dengan status system kemih. Penyebab fisik inkontinensia

urine independen dari kelainan saluran kemih sering berhubungan dengan

dewasa tua, strok, fraktur atau kelemahan ( Black, 2014)

2.3.4. .Tanda dan gejala

Tanda yang sering terjadi adalah Lower urinary tract symptoms (LUTS)

yang dialami dengan atau tanpa penyerta yang mencakup gejala pada tempat

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

22

penyimpanan mis (frekuensi, urgency, dan nokturia) gejala berkemih ( aliran

lambat, ragu-ragu mengejan dan tetesan akhir ) dan gejala pasca mikturis

(pengosongan kandung kemih inkomplit, menetes pasca berkemih).

2.3.5 Penanganan

Penanganan Inkontinensia urine ditujukan untuk mengoreksi penyebab

jika gangguan pokok tidak dapat diperbaiki tehnik untuk menangani haluan

urine sering kali dapat diajarkan. Evaluasi adanya inkontinensia dimulai

dengan riwayat lengkap termasuk pertanyaan spesifik mengenai gejala

saluran kemih bawah dan durasi, frekuensi volume, serta keadaan yang

berkaitan dengan pengeluaran urine.

2.4. Kateterisasi

2.4.1. Definisi

Kateterisasi transurethral atau kateterisasi urin adalah sebagai dari

kateter masuk ke dalam kandung kemih melalui uretra (kateter uretra).

Kateterisasi suprapubik adalah penyisipan kateter ke dalam kandung kemih

melalui dinding anterior abdomen (European Association of Urology

Nurses, 2012 ) Menurut Potter Perry, 2013 Kateterisasi kandung kemih

adalah tindakan memasukkan selang lateks atau plastik melalui uretra

kedalam kandung kemih.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

23

Kateterisasi diri intermiten sering digunakan untuk membantu pasien

dengan masalah pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Hal ini

efektif, dapat dipelajari dengan cukup mudah, dan tetap merupakan metode

yang disukai untuk mengosongkan kandung kemih pada pasien yang

mengalami inkontinensia akibat kandung kemih neurogenik (Donna D dkk,

2012).

Jadi kateterisasi adalah pemasangan selang dari muara uretra sampai

kedalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengalirkan urine yang

berada didalam kandung kemih agar urin dapat keluar dengan lancer.

2.4.2 Indikasi kateterisasi

Menurut Potter Perry, 2013 Indikasi katerisasi adalah sebagai berikut :

a) Kateterisasi Intermiten

Menghilangkan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih, untuk

dekompresi, pengambilan spesimen urine steril, pemeriksaan urine

residual setelah berkemih, manajemen jangka panjang pada klien

dengan cedera korda spinalis, degenerasi neuromuscular atau

inkompeten kandung kemih.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

24

b) Kateterisasi terpasang jangka pendek

Obstruksi aliran urine ( misalnya pada pembesaran prostat) perbaikan

operatif terhadap kandung kemih, uretra, dan struktur disekitarnya.

Pencegahan obstruksi uretra oleh bekuan darah setelah operasi sistem

urogenital, pengukuran keluaran urine pada pasien dengan penyakit

kritis, irigasi kandung kemih intermiten atau kontinu.

c) Kateter terpasang jangka panjang

Retensi urine berat dengan ISK berulang, ruam kulit, ulkus, luka yang

teriritasi akibat kontak dengan urine, penyakit dengan stadium terminal

2.4.3 Jenis kateterisasi

Ada dua jenis kateterisasi menurut Potter Perry, 2013 yaitu :

a) Kateterisasi intermiten

Memasukkan kateter sekali pakai yang cukup panjang untuk

mengalirkan urine dari kandung kemih 5 sampai 10 menit , setelah

kandung kemih kosong kateter segera dikeluarkan. Tindakan ini dapat

diulangi sesuai kebutuhan namun setiap tindakan akan meningkatkan

risiko trauma dan infeksi. Kateter sekali pakai memiliki lumen tunggal

dengan lubang kecil berukuran 1,3cm dari ujungnya.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

25

b) Kateter terpasang ( kateter foley )

Kateter terpasang lebih lama sampai klien mampu berkemih sendiri.

Kateter foley memiliki balon kecil yang dapat dikembangkan dan

mengelilingi kateter tempat diatas ujungnya saat dikembangkan. Kateter

retensi terpasang sering memiliki dua atau tiga lumen didalam badan

kateter.

2.4.4 Bahan kateter

European Association of Urology Nurses, 2012 menyatakan bahwa

bahan kateter terbuat dari :

a. Latex Latex, terbuat dari karet alam adalah bahan yang fleksibel

namun memiliki beberapa kekurangan. Karena potensi

ketidaknyamanan akibat gesekan permukaan yang tinggi, kerentanan

terhadap cepat oleh endapan mineral dari urin dan implikasi reaksi

alergi lateks dalam pengembangan uretritis dan striktur uretra atau

anafilaksis, penggunaan kateter lateks terbatas pada jangka pendek.

Pengantian kateter jenis latek sebaiknya dilakukan 1 minggu sekali

b. Silicone Kateter silikon (100% silicone) sangat lembut untuk jaringan

dan bersifat hypoallergenic. Karena dilapisi memiliki lumen yang

relatif besar Sementara silikon menyebabkan iritasi jaringan kurang

dan potensi kerusakan, balon kateter. Kateter silikon juga memiliki

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

26

risiko lebih besar untuk mengembangkanbalon saat kempes yang dapat

menyebabkan kateter yang tidak nyaman atau trauma uretra.

Penggantian kateter silikon penggantian dilakukan 2-3 minggu sekali.

2.4.5 Pemasangan kateter

Menurut Potter Perry, 2013 pemasangan kateter terdiri dari :

a) Membantu pengambilan posisi klien dan menjaga privasi serta

kenyamanan klien, mengosongkan urine dari kantong penampung dan

memberihkan perineum

b) Perlengkapan

Perlengkapan pemasangan kateter yang terdiri dari alat-alat steril

sebagai berikut : sarung tangan ( opsi sarung tangan tambahan), duk,

lubrikan.

c) Langkah-langkah Pemasangan kateter menurut A Aziz, 2014

1) Kaji rekam medis klien, termasuk instruksi penyelenggaraan

kesehatan dan catatan perawat, Periksa status klien tanyakan kapan

klien terakhir kali berkemih atau periksa intake dan output atau

lakukan palpasi kandung kemih. Mobilisasi dan keterbatasan fisik

pada pasien, Jenis kelamin dan usia klien, lakukan kebersihan

tangan, pakai sarung tangan bersih, lakukan inspeksi perineum

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

27

untuk melihat eritema, secret dan bau, buka sarung tangan setelah

inspeksi dan lakukan kebersihan tangan.

2) Kaji pengetahuan klien tentang tujuan kateterisasi. Jelaskan

prosedur pada klien. Persiapan personal keperawatan tambahan

untuk memberikan bantuan jika dibutuhkan.

3) Lakukan kebersihan tangan, tutup tirai dan pintu, tinggikan tempat

tidur sesuai dengan kenyamanan kenyamanan kerja

4) Posisiskan klien Wanita : bantu klien mencapai posisi supinasi

dengan lutut tertekuk minta klien untuk merelaksasi paha agar anda

dapat memutar pinggul. Posisikan klien pada posisi sim ( bebaring

pada sisi samping tubuh) dengan kaki bagian atas ditekuk pada

pinggul jika klien tidak dapat mengambil posisi supinasi dengan

lutut ditekuk. Pria : bantu klien mencapai posisi supinasi dengan

paha diabduksikan sedikit.

5) Tutupi klien dengan duk ,Wanita : tutup klien dengan selimut pada

bagian atas dan bagian bawah, yang hanya terlihat bagian

kemaluan, Pria : tutupi tubuh bagian atas ekstremitas dengan

selimut, tutupi ekstremitas dibawah dengan alas seprai sehingga

hanya genitalia yang terpajan. Dengan mengenakan sarung tangan

sekali pakai, cuci perineum dengan sabun dan air mengalir

seperlunya, keringkan dengan sempurna, buka dan buang sarung

tangan lakukan kebersihan tangan.Posisikan cahaya untuk

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

28

menerangi area perineum ( jika perlu mintalah bantuan asisten

untuk memegang senter,buka kemasan yang berisi system drainase,

letakkan kantung drainase pada rangka tempat tidur bagian bawah

dan letakkan selang drainase diantara pembatas dan matras.

6) Atur peralatan pada area steril. Buka kemasan steril bagian dalam

yang mengandung kateter. Tuangkan larutan antiseptik steril

kedalam bagaian yang tepat yang mengandung bola kapas steril.

Buka kemasan yang mengadung lubrikan. Ambil wadah spesimen

dan tabung suntik yang telah terisi lalu letakkan pada area steril

jangan membuka balon pretest

7) Berikan lubrikan pada kateter sepanjang 2,5- 5 cm untuk wanita

12,5cm-17,7 untuk pria . Pasang duk steril , Wanita : ambil duk

steril dengan lubang dan buka lipatan tanpa menyentuh objek yang

tidak steril, pasang duk diatas perineum sehingga labia terpajan dan

jangan menyentuh permukaan yang tidak terkontaminasi, Pria :

pasang duk diatas paha atas tepat dibawah penis tanpa membuka

lubang duk seluruhnya

8) Bersihkan meatus uretra, Wanita : dengan forceps pada tangan

dominan yang steril, bersihkan perineum dengan bola kapas yang

telah dibasadhi larutan antiseptik. Lakukan dari arah depan

kebelakang yaitu dari klitoris keanus. Dengan bola kapas baru

untuk tiap area. Lap sepanjang lipatan labia lateral, medial, dan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

29

tepat ditengah meatus urethra, Pria : dengan tangan dominan,

bersihkan penis dengan bola kapas yang dijepit forceps. Lakukan

dengan gerakan melingkar dari meatus urethra sampai kedasar

glans. Ulangi smpai tiga kali dengan menggunakan bola kapas baru

setiapkalinya.

9) Pegang kateter dengan tangan dominan yang dibungkus sarung

tangan dengan jarak 7,5-10cm dari ujung kateter. Pegang ujung lain

dari kateter pada telapak tangan dominan ( opsional : kateter dapat

dipegang dengan forceps)

10) Masukkan kateter Wanita, minta klien untuk mengedan perlahan

seolah-olah akan berkemih dan perlahan masukkan kateter melalui

meatus urethra. Masukkan kateter sepanjang 5-7,5cm pada dewasa

atau sampai urine mengalir keluar dari ujung kateter. Saat urine

muncul, masukan kateter lebih jauh sepanjang 2,5-5cm jangan

masukkan kateter dengan paksa, lepas labia dan pegang kateter

dengan tangan nondominan. Kembangkan balon secara perlahan

jika menggunakan kateter retensi Pria : Angkat penis dengan posisi

tegak lurus terhadap tubuh klien dan berikan sedikit tarikan. Minta

klien untuk mengedan seolah-olah akan berkemih dan perlahan

masukan kateter melalui meatus urethra.Masukkan kateter sampai

sepanjang 17-22,5cm pada dewasa atau sampai urin mengalir

keluar dari ujung kateter. Jika anda merasakan tahanan, tarik

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

30

kateter. Saat urine muncul, masukkan kateter lebih jauh sepanjang

2,5-5cm, jangan masukan kateter dengan paksa. Kembangkan balon

jika menggunakan kateter retensi. Posisikan kembali preputeum

jika diperlukan.Kembangkan balon sesuai rekomendasi pabrik lalu

lepaskan kateter dengan tangan non dominan dan tarik

perlahan.Tempelkan ujung kateter retensi keselang pengumpul

disistem drainase. Pastikan kantung drainase terletak lebih rendah

dari kandung kemih.

11) Mengamankan letak kateter, Wanita : tempelkan selang kateter

kepaha dalam dengan perekat non alergenik ( penahan selang serba

guna dengan tapi ) pastikan bahwa gerakan pada paha tidak akan

mengangkat kateter, Pria : tempelkan selang kateter keujung paha

atau abdomen bagian bawah (penis mengarah kedada). Pastikan

bahwa gerakan tidak akan merengangkan kateter. Bantu klien

mengambil posisi yang nyaman, buang perlengkapan duk dan urine

pada tempat yang semestinnya dan lepaskan sarung tangan

.Lakukan kebersihan tangan serta lakukan palpasi pada kandung

kemih dan tanyakan kenyamanan klien. Perhatikan karakter dan

jumlah urin didalam system drainase. Pastikan tidak ada urin yang

bocor dan kateter atau selang

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

31

2.4.6 Perawatan kateter

Perawatan kateter ( Potter Perry, 2013 ) yaitu :

a) Jelaskan prosedur pada klien, tutup pintu atau tirai tempat tidur.

b) Lakukan kebersihan tangan.

c) Posisikan klien pada wanita posisi supine, sedangkan pada pria posisi

supain atau fowler.

d) Letakkan bantalan tahan air dibawah klien. Tutup tubuh klien dengan

selimut sehingga area perineum yang terpajan, kenakan sarung

tangan bersih, lepaskan perekat untuk membebaskan selang kateter,

wanita : buka labia untuk memajankan meatus uretra dan lokasi

insersi kateter, pertahankan posisi tangan selama prosedur dilakukan,

pria : tarik preputium jika klien tidak disirkumsisi, pegang batang

penis tepat dibawah glans penis. Periksa meatus uretra dan jaringan

sekitar untuk melihat adanya inflamasi, pembengkakan dan sekret.

Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi sekret.

e) Bersihkan jaringan perineum ,wanita : gunakan kain bersih sabun dan

air. Bersihkan area sekitar meatus dan kateter bersihkan dari arah

pubis menuju anus, bersikan labia minora. Gunakan sisi kain yang

bersih untuk tiap pembersihan area sekitar anus. Pada pria : sambil

membuka meatus uretra, bersihkan area sekiatar kateter terlebih

dahulu kemudian lap dengan gerakan melingkar disekitar matus dari

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

32

glans. Periksa ulang meatus uretra, untuk melihat sekret ,bersihkan

kateter dari meatus sampai selang dengan gerakan melingkar. Pada

klien pria, kembalikan posisi preputium setelah perawatan selesai.

Sangkutkan kembali selang kateter,tempatkan klien pada posisi yang

aman dan nyaman. Buang peralatan yang telah terkontaminasi,

lepaskan sarung tangan, dan lakukan hygiene tangan.

Alternatif terhadap kateterisasi uretra menurut Potter Perry, 2013 untuk

dapat menghindari resiko infeksi adalah :

a) Kateterisasi suprapubik

Tindakan ini melibatkan operasi penempatan kateter melalui dinding

abdomen diatas simpisis pubis menuju kandung kemih. Prosedur ini

dapat dilakukan dalam anastesi lokal maupun umum. Kateter

dipertahankan ditempat dengan jahitan. Dengan segel cincin yang

tersedia secara komersial.

b) Kateter kondom

Kateter kondom adalah alternatif untuk kateterisasi, yang dapat

dilakukan untuk pria inkontinensia. Kondom merupakan pembungkus

lateks lembut dan fleksibel yang diselipkan pada penis. Klien dapat

mengenakannya pada malam hari atau terus menerus sesuai dengan

kebutuhannya.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

33

2.4.7 Komplikasi Pemasangan Kateter

Secara umum faktor resiko pemasangan kateter dibagi dua yaitu faktor

yang tidak dapat diubah, dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang

tidak dapat diubah antara lain adalah faktor umur, jenis kelamin, penyakit

virulensi kuman, faktor risiko yang dapat diubah antara lain adalah

prosedur pemangan kateter, perawatan kateter, lama penggunaan kateter,

ukuran dan tipe kateter, personal hygiene dan asupan cairan.

Menurut European Association of Urology Nurses, 2012 komplikasi

pemasangan kateter adalah :

a. Infeksi Saluran Kemih yang Berhubungan dengan Kateter (CAUTI)

Saluran kemih adalah sumber infeksi nosokomial yang paling umum,

terutama bila kandung kemih diperiksa, terhitung hampir 40% dari

semua infeksi yang didapat di rumah sakit dengan durasi kateterisasi

menjadi faktor risiko yang signifikan. Infeksi Saluran Kemih yang

Berhubungan dengan Kateter (CAUTI) didefinisikan sebagai

bakteriuria atau funguria dengan jumlah lebih dari 103 CFU / mL.

b. Epididimitis

Epididimitis adalah peradangan epididimis. Kondisi ini menyebabkan

rasa sakit dan bengkak dan hampir selalu unilateral dan relatif akut saat

onset. Pada pasien lansia, epididimitis biasanya disebabkan oleh

patogen urin yang umum. Epididimitis sebagai komplikasi kateterisasi

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

34

uretra terlihat lebih sering terjadi pada pasien dengan kateter yang

tinggal dibandingkan dengan kateterisasi intermiten

c. Penyumbatan kateter

Penyumbatan bisa terjadi akibat kinking kateter, kateter terhadap

dinding kandung kemih atau konstipasi. Kebocoran urin bisa terjadi

sebagai gejala penyumbatan kateter.

d. Trauma latrogenik

Trauma Iatrogenik selama kateterisasi uretra dapat menyebabkan

pembentukan lubang palsu, biasanya pada tingkat leher prostat atau

kandung kemih, penyakit pada saluran kencing atau traumatis pada

pria dengan gangguan sfingter pada wanita.

e. Hematuria

Haematuria dapat terjadi setelah kateterisasi. Selama kateterisasi

uretra, trauma prostat mungkin merupakan penyebab utamanya,

dekompresi retensi kronis tekanan tinggi juga dapat menyebabkan

hematuria.

2.5 Bladder Training

2.5.1 Definisi

Bladder Training adalah pelatihan kandung kemih adalah program

pendidikan untuk pasien yang dimulai dengan penjelasan menyeluruh

tentang masalah inkontinensia urin. Pasien belajar mengendalikan

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

35

kandung kemih. Agar program berhasil, ia harus waspada dan mampu

menahan keinginan untuk buang air kecil. ( Donna dkk, 2012 ). Menurut

Lewis Chan, 2013, Bladder Training adalah program terstruktur yang

melibatkan intervensi pendidikan dan prilaku untuk membangun

kembali kontrol kandung kemih pada orang dewasa. Bladder Training

adalah suatu latihan untuk mengurangi frekuensi miksi dan

meningkatkan kapasitas kandung kemih (Potter Perry, 2013).

Dapat disimpulkan bahwa definisi Bladder Training adalah suatu bentuk

latihan terstruktur yang melibatkan intervensi keperawatan yang

bertujuan untuk mengurangi frekuensi berkemih dan meningkatkan

kapasitas kandung kemih sehingga tidak terjadi gangguan dalam proses

berkemih.

2.5.2 Tujuan

Tujuan Bladder taining adalah untuk meningkatkan kapasitas kandung

kemih fungsional serta untuk mengurangi frekuensi, urgensi dan nokturi

serta meningkatkan kualitas hidup ( Lewis Chan, 2013)

Menurut Potter Perry, 2012 tujuan Bladder Training adalah

mengembalikan pola normal miksi dengan mengajarkan klien untuk

mengabaikan dorongan yang sering muncul dan menekannya. Jadi

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

36

tujuan Bladder Training adalah mengurangi frekuensi keinginan

berkemih dengan cara mengajarkan kepada pasien untuk mengabaikan

dorongan untuk berkemih sehingga interval berkemih menjadi normal.

2.5.3 Indikasi Bladder Training

Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami

inkontinensia, pada pasien yang terpasang kakater dalam waktu yang

lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu ( suharyanto,

2008)

2.5.4 Tehnik Bladder Training

2.5.4.1.Ada 2 tehnik dalam Bladder Training yaitu :

a. Menurut Donna, 2012 tehnik Bladder Training adalah mulai jadwal

untuk voiding, dimulai dengan interval terpanjang nyaman untuk

pasien meski intervalnya hanya 30 menit. Anjurkan pasien untuk

berhenti setiap 30 menit dan mengabaikan dorongan untuk buang

air kecil diantara interval yang ditentukan. Begitu dia merasa

nyaman dengan jadwal awal tingkatkan interval 15 – 30 menit.

Anjurkan pasien untuk mengikuti jadwal baru sampai dia mencapai

kesuksesan lagi. Seiring bertambahnya interval kandung kemih

berangsur – angsur mentolerir volume lebih banyak dan teknik

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

37

pengalihan perhatian untuk memaksimalkan keberhasilan dalam

latihan ulang.

b. Menurut Kozier & Erb’s, 2012 tehnik Bladder Training adalah

sebagai berikut :

1) Tentukan pola berkemih klien dan dorong klien untuk berkemih

sesuai pola tersebut

2) Susunlah suatu jadwal berkemih regular dan bantu klien untuk

mempertahannkan jadwal tersebut, walaupun klien merasakan

dorongan untuk berkemih atau tidak ( contoh saat terjaga setiap

1 – 2 jam selama siang dan malam hari sebelum beristirahat

dimalam hari, setiap 4 jam dimalam hari ).

3) Jadwalkan peregangan relaksasi yang berurutan seperti itu

cendrung dapat meningkatkan tonus otot dan lebih

meningkatkan kontrol sadar.

4) Dorong klien untuk menahan sensasi berkemih ketika klien

merasakan keinginan awal untuk berkemih, minta klien untuk

mempraktekkan nafas dalam secara perlahan sampai dorongan

untuk berkemih berkurang atau hilang.

5) Ketika klien menemukan bahwa berkemih dapat dikontrol

interval berkemih agak diperpanjang tanpa kehilangan

kemampuan berkemih

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

38

6) Atur intake cairan terutama selama malam hari untuk membantu

mengurangi kebutuhan berkemih dimalam hari.

7) Dorong konsumsi cairan jam 06.00 – jam 18.00, hindari

konsumsi jus jeruk dan minuman berkarbonat (terutama yang

mengandung pemanis buatan), alkohol dan minuman yang

mengandung kafein secara berlebihan karena dapat mengiritasi

kandung kemih dan meningkatkan risiko inkontinensia.

Jadwalkan konsumsi diuretik pada pagi hari.

8) Jelaskan pada klien konsumsi cairan yang adekuat dibutuhkan

untuk menjamin produksi urine yang adakuat yang akan

merangsang proses buang air kecil .

9) Pasang perlak / pelindung untuk menjaga seprai tetap kering,

sediakan pakaian dalam yang mudah menyerap air untuk

menampung urine menjaga agar klien tidak merasa malu, hindari

penggunaan popok yang akan menurunkan harga diri klien.

10) Bantu klien melakukan program latihan fisik untuk

meningklatkan tonus otot secara umumdan program latihan otot

pelvis yang ditujukan untuk memperkuat otot dasar pelvis.

11) Berikan penguat positif untuk mendorong kemampuan

berkemih. Puji klien atas usahannya untuk mau buang air kecil

dan untuk mempertahankan kemampuan berkemih.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

39

2.5.4.2. Tehnik Bladder Training

1. Distraksi

Cara distraksi

a. Tanyakan pola berkemih pada pasien

b. Bila ada keinginan berkemih anjurkan pasien menahan

berkemih dengan tarik nafas dalam melalui hidung dan

dikeluarkan melalui mulut ( diulang 2-3 kali ) atau bila

keinginan berkemih berkurang atau hilang )

2. Latihan otot abdomen

a. Atur posisi tidur dengan kaki ditekuk

b. Kencangkan otot perut

c. Angkat satu kaki mengarah ke perut bergantian dengan kaki

yang satunnya

d. Lakukan sit up dengan mengangkat kepala

e. Lakukan posisi miring kekanan dan kekiri dengan menahan

otot perut

f. Menurunkan kaki secara bergantian

g. Lakukana 3 set dengan 10-12 kali setiap tindakan

3. Latihan kagel

a. Atur posisi pasien ( berbaring, duduk, atau berdiri )

b. Pastikan kandung kemih kosong / setelah buang air kecil

c. Lemaskan otot daerah perut paha dan bokong

d. Bernafas secara spontan

e. Kencangkan otot pada lubang vagina ( pada pasien

perempuan )

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imobilisasi 2.1.1 Definisi

40

f. Kencangkan otot sekitar anus seperti menahan Buang air

besar

g. Lakukan latihan selam 10 detik dan lemaskan selama 10-15

detik

h. Lakukan sebanyak 10 kali

2.6 Penelitian yang terkait keberhasilan Bladder Training

Dari hasil penelitian Lucky ( 2015 ) dengan judul “ Efektivitas Bladder

Training sejak dini dan sebelum pelepasan kateter urine terhadap terjadinya

inkontinensia urine pada pasien pasca operasi di SMC RS Telogorejo” dengan

jumlah sampel yang digunakan pada pasien pasca operasi yang terpasang kateter

urine sebanyak 30 responden, dengan hasil penelitian terdapat perbedaan bladder

training sejak dini lebih baik daripada setelah pelepasan kateter urine.

Dalam penelitian yang lain menurut M Reza ( 2013) dengan judul penelitian

“Pengaruh Latihan Kandung Kemih ( Bladder Training ) Terhadap Interval

Berkemih Wanita Lanjut Usia (LANSIA ) dengan inkontinensia Urine di UPTD

PSLU Tresna WErdha Bakti Yuswa Profinsi Lampung “ dengan jumlah sampel

yang digunakan sebanyak 26 lansia penderita inkontinensia, dengan hasil penelitian

ada perbedaan rata-rata interval berkemih pada lansia sebelum dan setelah latihan

Bladder Training.