Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imobilisasi
2.1.1 Definisi
Gangguan mobilitas fisik ( Imobilisasi ) adalah suatu keadaan ketika
individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik
menurut, perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat meningkatkan
instruksi pembatasan gerak dalam tirah baring, pembatasan gerak fisik, selama
menggunakan alat bantu eksternal ( mis gips, atau traksi rangka), pembatasan
gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik, NANDA, Kim et al, 1995
dikutip oleh Potter & Perry, 2013.
Menurut Kozier, 2012 Imobilisasi adalah merupakan penurunan jumlah
dari pergerakan yang terkumpul pada individu. Secara normal seseorang akan
bergerak apabila mereka mengalami ketidak nyamanan akibat penekanan
pada suatu area tubuh.
Imobilitas / Imobilisasi adalah merupakan keadaan ketika seseorang
tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan
(aktivitas) misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat
disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya ( A Aziz dkk, 2014)
8
Jadi definisi Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus
istirahat ditempat tidur tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit
atau gangguan pada alat / organ tubuh yang bersifat fisik atau mental atau
bedrest yang lebih dari 3 hari atau lebih.
2.1.2. Tujuan Imobilisasi
Tujuan dilakukannnya Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :
a. Pengobatan atau terapi, seperti pada klien setelah menjalani pembedahan
atau mengalami cedera pada kaki atau tangan. Tirah baring merupakan
suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur
untuk tujuan terapi antara lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen,
mengurangi nyeri, mengembalikan kekuatan dan cukup istirahat.
b. Mengurangi nyeri pasca operasi
c. Ketidak mampuan premier seperti paralisis
d. Klien mengalami kemunduran pada rentang Imobilisasi parsial atau
mutlak
2.1.3 Tingkat imobilisasi
Tingkat Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :
a. Imobilisasi komplit : Imobilisasi dilakukan pada individu yang
mengalami gangguan tingkat kesadaran
9
b. Imobilisasi parsial : Imobilisasi yang dilakuakn pada klien yang
mengalami fraktur
c. Imobilisasi karena pengobatan : Imobilisasi pada penderita gangguan
pernafasan atau jantung, pada klien tirah baring ( bedrest) total, klien
tidak boleh bergerak dari tempat tidur, berjalan, dan duduk dikursi.
2.1.4 Jenis Imobilisasi menurut
Menurut A Aziz dkk, 2014 jenis imobilisasi adalah :
a. Imobilisasi Fisik
Merupakan pembatasan bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinnya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan didaerah
paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk
mengurangi tekanan.
b. Imobilisasi Intelektual
Merupakan keadaanketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir,
seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilisasi Emosional
Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional
karena adannya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri
sebagai contoh keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah
10
amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh
atau kehilangan sesuatu yang dicintai.
d. Imobilisasi Sosial
Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi
sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.
2.1.5 Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi
Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi A Aziz dkk, 2014 yaitu :
a. Muskuloskeletal : menurunnya masa otot dan menyebabkan kekuatan otot
menurun dan akan mudah terjadi kontraktur sendi dan osteoporosit.
b. Kardiovaskuler : dapat mengakibatkan hipotensi, meningkatkan kerja
jantung dan terjadinnya pembentukan thrombus.
c. Respiratori : akibat haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, aliran
darah keparu – paru terganggu sehingga pertukaran gas menurun, kerja
diasidosis respiratori.
d. Vertigo : terjadi akibat seseorang terlalu lama berbaring, hingga aliran
darah keotak berkurang dan menyebabkan pusing.
2.1.6 Dampak Imobilisasi
Dampak yang terjadi terhadap imobilisasi menurut Potter & Perry, 2013
adalah sebagai berikut :
11
a. Perubahan Metabolisme
Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin,
resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin
menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital
seperti: 1) berespon pada stress dan cedera, 2) pertumbuhan dan
perkembangan, 3) reproduksi, 4) mempertahankan lingkungan internal,
serta 5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi. Imobilisasi
mengganggu fungsi metabolisme normal seperti: menurunkan laju
metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan
peristaltik berkurang. Namun demikian pada proses infeksi klien yang
imobilisasi mengalami peningkatan BMR karena demam dan
penyembuhan luka membutuhkan oksigen.
b. Perubahan Pernafasan
Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien memiliki
komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah
atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada
paru akibat statis atau bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan
penyembuhan yang alam dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien.
Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada bronkiolus atau bronkus
dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara yang masuk
12
diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat
mengurangi keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan
berkembangnya komplikasi ini. kemampuan batuk klien secara produktif
menurun. Selanjutnya distribusi mukus pada bronkus meningkat,
terutama saat klien dalam posisi supine, telungkup atau lateral. Mukus
berkumpul pada bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia
hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk
bertumbuhnya bakteri.
c. Perubahan Kardiovaskuler
Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan
utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan
pembentukan trombus. Hipotensi ortostatik adalah peningkatan denyut
jantung lebih dari 15% atau tekanan darah sistolik menurun 15 mmHg
atau lebih saaat klien berubah posisi dari posisi terlentang ke posisi
berdiri.43 Pada kilen yang imobilisasi, menurunnya volume cairan yang
bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya
respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik
vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan
menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama terjadi pada klien lansia.
Karena beban kerja jantung meningkat, konsumsi oksigen juga
meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang
13
efisiensi jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung
meningkat.
d. Perubahan Muskuloskeletal
Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan
permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen.
Pembatasan mobilisasi terkadang menyebabkan kehilangan daya tahan,
kekuatan dan massa otot, serta menurunnya stabilitas dan keseimbangan.
Dampak pembatasan mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium
dan gangguan sendi. Karena pemecahan protein, klien kehilangan massa
tubuh yang tidak berlemak. Massa otot berkurang tidak stabil untuk
mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya kelemahan. Jika mobilisasi
terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan, kehilangan massa otot akan
terus terjadi. Kelemahan otot juga terjadi karena imobilisasi, dan
imobilisasi lama sering menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi
angguran (disuse atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap
penyakit dan menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi
kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan
instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini
dapat terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien
kritis terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer
25 % dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya
14
massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi
selama perawatan intensif.
e. Perubahan Eliminasi Urine
Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat
mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih
karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan
datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang
dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu
oleh gaya gravitasi. Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu
menimbulkan gaya garvitasi, pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki
ureter. Kejadian ini disebut stastis urine dan meningkatkan resiko infeksi
saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu kalsium yang
terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien imobilisasai
beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami
hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering
berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko
dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang pada atau
antara hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine menjadi pekat.
Urine yang pekat ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus urinarius
oleh bakteria escherchia coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada
klien yang imobilsasi adalah penggunaan kateter urine indwelling.
15
Retensi urine, orang yang tidak dapat bergerak dapat menderita retensi
urine ( akumulasi urinedidalam kandung kemih), distensi kandung
kemih, dan kadang kala inkontinensia urine ( berkemih secara involunter).
Penurunan tonus otot kandung kemih menghambat kemampuannya untuk
mengosongkan urine secara komlit dan individu mengalami imobilitas
tidak mampu merelaksasi otot perineum secara cukup untuk dapat
berkemih.ketidak nyamanan menggunakan pispotuntuk defekasi / pispot
untuk berkemih, rasa malu dan tidak adanya privasi terkait fungsi ini, dan
posisi yang tidak alami untuk berkemih, semuannya itu menyulitkan klien
untuk merelaksasi otot perineum dengan baik dengan baik untuk berkemih
saat berbaring ditempat tidur.
Apabila urinasi tidak memungkinkan kandung kemih secara bertahap
menjadi penuh dengan urine. Kandung kemih dapat meregang secara
berlebihan, yang pada akhirnya menghambat desakan untuk berkemih. Saat
distensi kandung kemih cukup bermakna, beberapa tetesan kemih secara
involunter dapat terjadi (retensi dengan aliran berlebihan) ini tidak
meredakan distensi urine, karena sebagaian besar urine yang staknan tetap
berada dikandung kemih.
f. Perubahan Integumen
Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan
efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini
16
membuat imobilisasi menjadi masalah resiko yang besar terhadap luka
tekan. Metabolisme jaringan bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi
serta eliminasi sampah metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi
metabolisme seluler dengan menurunkan atau mengeliminasi sirkulasi
jaringan secara keseluruhan.
g. Perubahan Perkembangan
Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul
akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung dihubungkan
dengan imobilisasi pada anak yang sangat muda dan pada lansia. Anak
yang sangat muda atau lansia yang sehat namun diimobilisasi memiliki
sedikit perubahan perkembangan. Namun, terdapatnya beberapa
pengecualian. Misalnya ibu yang mengalami komplikasi saat kelahiran
harus tirah baring dan mengakibatkan tidak mampu berinteraksi dengan
bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.
2.1.7 Komplikasi dari Imobilisasi
Komplikasi sekunder dari Imobilisasi menurut Black, 2014 adalah,
tromboplebitis, konstipasi, ateleksasis. masalah buang air kecil, kehilangan
kekuatan otot, gangguan integritas kulit, serta depresi.
17
2.2 Berkemih
2.2.1 Definisi Berkemih
Berkemih menurut Potter Perry, 2010 adalah terjadi proses keinginan
berkemih saat kandung kemih mengandung urine sebanyak 150-200 ml pada
orang dewasa, dinding kandung kemih akan meregang dan mengirimkan
impuls sensorik di korda spinalis bagian sakrum, impuls dari pusat mikturisi
akan merespon atau mengabaikan dorongan berkemih, sehingga berkemih
berada dibawah dorongan volunter, jika individu memilih untuk tidak
berkemih spingter eksterna akan tetap berkontraksi dan menghambat reflek
mikturisi namun jika sudah siap untuk berkemih spingter eksternal akan
berelaksasi dan reflek mikturisi akan merangsang otot destrusor untuk
berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Berkemih ( mictio, micturition, voiding, urination) adalah proses
pengosongan vesika urinaria ( kandung kemih ). Proses ini dimulai dengan
terkumpulnya urine dalam vesika urinaria yang merangsang saraf-saraf
sensorik dalam dinding vesika urinaria ( bagian reseptor). Vesika urinaria
dapat menimbulkan rangsangan saraf bila terisi kurang lebih 250-450cc
( pada orang dewasa) dan 200-250cc pada anak-anak . (A Aziz dkk, 2014)
Reflek berkemih diawali ketika pengisian kadung kemih
meningkatkan tegagan dinding diatas ambang batas yang di rasakan sebagai
keinginan untuk berkemih. Saraf sensori menyamakan informasi tegangan
18
ke medulla spinalis, dimana kenaikan aktivitas parasimpatis meyebabkanm
kontraksi otot detrusor. Kontraksi ini lebih lanjut meningkatkan tegagangan
dinding kandung kemih, meningkatkan reflex aktivitas parasimpatetis dan
meningkatkamn kontraksi .Proses ini berulang sampai(1) tegangan menjadi
stabil (selama satu menit), (2) reflex menjadi lelah , (3) sfingtert eksterna
relaksasi dan kandung kemih kosong . Jika pengosongan tidak terjadi, proses
ini akan berlangsung kembali dalam beberapa menit. ( Lemone, 2012).
Jadi berkemih adalah proses pengisian kandung kemih dan
merasakan keinginan berkemih dimana otot kandung kemih terjadi
peregangan mengirimkan impuls sensorik kepusat mikturisi hal ini terjadi
dibawah kontrol volunteer jika berkemih spingter eksterna akan berelaksasi
dan reflak mikturisi akan merangsang otot destrusor untuk berkontraksi
sehingga terjadi miksi.
2.2.2 Proses Pembentukan Urine
Caroline & Marry, 2012 menyatakan bahwa Urine adalah dibentuk di
ginjal, terdiri dari air yang berlebihan dari tubuh, sedikit karbon dioksida,
sejumlah kecil sampah padat dan zat abnormal yang disaring dari darah.
Produksi urine oleh ginjal relative konstan ( 1 ml/menit), namun jumlah ini
dapat bervariasi dari 0,5 sampai 20 ml/menit. Aliran melalui ureter terjadi
19
secara berselang dan di kontrol oleh kecepatan pembentukan gelombang
peristalisis. Peristalisis yang memaksa urine menuju kandung kemih untuk
peyimpanan terjadi tiap 10-50 detik. Aktivasi parasimpatetis meningkatkan
frekuensi peristalisis dan stimulasi simpatis menurunkan frekuesi. Nervus
aferen (nyeri) menginisasi reflex ureterorenal. Reflek ini, teraktivasi oleh
obstruksi, meyebabkan kontraksi ureter dan juga meyebabkan konstriksi
arteriol aferen untuk mengurangi produksi urine.Penyumbatan batu ginjal di
ureter adalah peyebab utama dari reflek ini.
Menurut Lemone 2012 karakteristik urinalisa adalah, warna urine kuning
terang hingga kuning gading, tampilan jernih, bau aromatic, PH 4,5-8,0,
Berat jenis 1.005 – 1.030, protein 2-8 mg/dl, glukosa negative, keton
negative, sel darah merah jarang, sel darah putih 3-4, sedimen kadang hialin
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine
Diet dan asupan, respon keinginan awal untuk berkemih ,gaya hidup, stress
psikologis, tingkat aktivitas, tingkat perkembangan, kondisi penyakit,
sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot, pembedahan, Pengobatan dan
pemeriksaaan diagnostik. ( A Aziz dkk, 2014)
20
2.3 Inkontinensia Urin
2.3.1 Definisi
Inkontinensia urine adalah gangguan pengontrolan kandung kemih atau
berkemih involunter menurut Lemone dkk, 2012, menurut Black , 2014
Inkontinensia urine overflow adalah suatu kehilangan urine involunter
sehubungan dengan kelebihan distensi buli-buli. Buli – buli tidak dapat
menyimpan urine namun tidak kosong sepenuhnya, memyebabkan
keluarnya urine karena berkurangnya tekanan resistensi.
Menurut Brunner & Suddarth, 2010 Inkontinensia urine adalah merupakan
eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar
keinginan. Jadi inkontinensia urine adalah gangguan dalam proses berkemih
yang dapat diakibatkan oleh overflow yang disebabkan kelebihan distensi
buli – buli sehingga terjadia gangguan pada pengontrolan dalam berkemih.
2.3.2 Patofisiologi
Kontinensia membutuhkan input dari SSP, kandung kemih dapat
mengembang dan berkontraksi serta spingter yang dapat mempertahankan
tekanan uretra lebih tinggi dari tekanan dalam kandung kemih, kesadaran
21
penuh, mobilitas dan kecakapan juga diperlukan untuk mempertahankan
kontinensia.
Secara mekanis inkontinensia terjadi bila tekanan dalam kandung kemih
melebihi resistensi uretra sehingga menyebabkan urine keluar. Tiap kondisi
menyebabkan tekanan lebih tinggi disbanding tekanan kandung kemih normal
atau menurunkan resistensi uretra dapat berpotensi menyebabkan
inkontinensia. Relaksasi otot panggul, gangguan kontrol otak dan system saraf
dan gangguan kandung kemih dan ototnya adalah faktor penyebab yang
umunnya terjadi ( Lemone dkk, 2012 )
2.3.3. Penyebab inkontinensia
Inkontinensia berhubungan dengan peningkatan risiko jatuh, fraktur,
ulkus tekan, infeksi saluran kemih dan depresi. Inkontinensia fungsional
terjadi karena penyebab fisik, psikososial, atau farmakologi yang tidak
berhubungan dengan status system kemih. Penyebab fisik inkontinensia
urine independen dari kelainan saluran kemih sering berhubungan dengan
dewasa tua, strok, fraktur atau kelemahan ( Black, 2014)
2.3.4. .Tanda dan gejala
Tanda yang sering terjadi adalah Lower urinary tract symptoms (LUTS)
yang dialami dengan atau tanpa penyerta yang mencakup gejala pada tempat
22
penyimpanan mis (frekuensi, urgency, dan nokturia) gejala berkemih ( aliran
lambat, ragu-ragu mengejan dan tetesan akhir ) dan gejala pasca mikturis
(pengosongan kandung kemih inkomplit, menetes pasca berkemih).
2.3.5 Penanganan
Penanganan Inkontinensia urine ditujukan untuk mengoreksi penyebab
jika gangguan pokok tidak dapat diperbaiki tehnik untuk menangani haluan
urine sering kali dapat diajarkan. Evaluasi adanya inkontinensia dimulai
dengan riwayat lengkap termasuk pertanyaan spesifik mengenai gejala
saluran kemih bawah dan durasi, frekuensi volume, serta keadaan yang
berkaitan dengan pengeluaran urine.
2.4. Kateterisasi
2.4.1. Definisi
Kateterisasi transurethral atau kateterisasi urin adalah sebagai dari
kateter masuk ke dalam kandung kemih melalui uretra (kateter uretra).
Kateterisasi suprapubik adalah penyisipan kateter ke dalam kandung kemih
melalui dinding anterior abdomen (European Association of Urology
Nurses, 2012 ) Menurut Potter Perry, 2013 Kateterisasi kandung kemih
adalah tindakan memasukkan selang lateks atau plastik melalui uretra
kedalam kandung kemih.
23
Kateterisasi diri intermiten sering digunakan untuk membantu pasien
dengan masalah pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Hal ini
efektif, dapat dipelajari dengan cukup mudah, dan tetap merupakan metode
yang disukai untuk mengosongkan kandung kemih pada pasien yang
mengalami inkontinensia akibat kandung kemih neurogenik (Donna D dkk,
2012).
Jadi kateterisasi adalah pemasangan selang dari muara uretra sampai
kedalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengalirkan urine yang
berada didalam kandung kemih agar urin dapat keluar dengan lancer.
2.4.2 Indikasi kateterisasi
Menurut Potter Perry, 2013 Indikasi katerisasi adalah sebagai berikut :
a) Kateterisasi Intermiten
Menghilangkan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih, untuk
dekompresi, pengambilan spesimen urine steril, pemeriksaan urine
residual setelah berkemih, manajemen jangka panjang pada klien
dengan cedera korda spinalis, degenerasi neuromuscular atau
inkompeten kandung kemih.
24
b) Kateterisasi terpasang jangka pendek
Obstruksi aliran urine ( misalnya pada pembesaran prostat) perbaikan
operatif terhadap kandung kemih, uretra, dan struktur disekitarnya.
Pencegahan obstruksi uretra oleh bekuan darah setelah operasi sistem
urogenital, pengukuran keluaran urine pada pasien dengan penyakit
kritis, irigasi kandung kemih intermiten atau kontinu.
c) Kateter terpasang jangka panjang
Retensi urine berat dengan ISK berulang, ruam kulit, ulkus, luka yang
teriritasi akibat kontak dengan urine, penyakit dengan stadium terminal
2.4.3 Jenis kateterisasi
Ada dua jenis kateterisasi menurut Potter Perry, 2013 yaitu :
a) Kateterisasi intermiten
Memasukkan kateter sekali pakai yang cukup panjang untuk
mengalirkan urine dari kandung kemih 5 sampai 10 menit , setelah
kandung kemih kosong kateter segera dikeluarkan. Tindakan ini dapat
diulangi sesuai kebutuhan namun setiap tindakan akan meningkatkan
risiko trauma dan infeksi. Kateter sekali pakai memiliki lumen tunggal
dengan lubang kecil berukuran 1,3cm dari ujungnya.
25
b) Kateter terpasang ( kateter foley )
Kateter terpasang lebih lama sampai klien mampu berkemih sendiri.
Kateter foley memiliki balon kecil yang dapat dikembangkan dan
mengelilingi kateter tempat diatas ujungnya saat dikembangkan. Kateter
retensi terpasang sering memiliki dua atau tiga lumen didalam badan
kateter.
2.4.4 Bahan kateter
European Association of Urology Nurses, 2012 menyatakan bahwa
bahan kateter terbuat dari :
a. Latex Latex, terbuat dari karet alam adalah bahan yang fleksibel
namun memiliki beberapa kekurangan. Karena potensi
ketidaknyamanan akibat gesekan permukaan yang tinggi, kerentanan
terhadap cepat oleh endapan mineral dari urin dan implikasi reaksi
alergi lateks dalam pengembangan uretritis dan striktur uretra atau
anafilaksis, penggunaan kateter lateks terbatas pada jangka pendek.
Pengantian kateter jenis latek sebaiknya dilakukan 1 minggu sekali
b. Silicone Kateter silikon (100% silicone) sangat lembut untuk jaringan
dan bersifat hypoallergenic. Karena dilapisi memiliki lumen yang
relatif besar Sementara silikon menyebabkan iritasi jaringan kurang
dan potensi kerusakan, balon kateter. Kateter silikon juga memiliki
26
risiko lebih besar untuk mengembangkanbalon saat kempes yang dapat
menyebabkan kateter yang tidak nyaman atau trauma uretra.
Penggantian kateter silikon penggantian dilakukan 2-3 minggu sekali.
2.4.5 Pemasangan kateter
Menurut Potter Perry, 2013 pemasangan kateter terdiri dari :
a) Membantu pengambilan posisi klien dan menjaga privasi serta
kenyamanan klien, mengosongkan urine dari kantong penampung dan
memberihkan perineum
b) Perlengkapan
Perlengkapan pemasangan kateter yang terdiri dari alat-alat steril
sebagai berikut : sarung tangan ( opsi sarung tangan tambahan), duk,
lubrikan.
c) Langkah-langkah Pemasangan kateter menurut A Aziz, 2014
1) Kaji rekam medis klien, termasuk instruksi penyelenggaraan
kesehatan dan catatan perawat, Periksa status klien tanyakan kapan
klien terakhir kali berkemih atau periksa intake dan output atau
lakukan palpasi kandung kemih. Mobilisasi dan keterbatasan fisik
pada pasien, Jenis kelamin dan usia klien, lakukan kebersihan
tangan, pakai sarung tangan bersih, lakukan inspeksi perineum
27
untuk melihat eritema, secret dan bau, buka sarung tangan setelah
inspeksi dan lakukan kebersihan tangan.
2) Kaji pengetahuan klien tentang tujuan kateterisasi. Jelaskan
prosedur pada klien. Persiapan personal keperawatan tambahan
untuk memberikan bantuan jika dibutuhkan.
3) Lakukan kebersihan tangan, tutup tirai dan pintu, tinggikan tempat
tidur sesuai dengan kenyamanan kenyamanan kerja
4) Posisiskan klien Wanita : bantu klien mencapai posisi supinasi
dengan lutut tertekuk minta klien untuk merelaksasi paha agar anda
dapat memutar pinggul. Posisikan klien pada posisi sim ( bebaring
pada sisi samping tubuh) dengan kaki bagian atas ditekuk pada
pinggul jika klien tidak dapat mengambil posisi supinasi dengan
lutut ditekuk. Pria : bantu klien mencapai posisi supinasi dengan
paha diabduksikan sedikit.
5) Tutupi klien dengan duk ,Wanita : tutup klien dengan selimut pada
bagian atas dan bagian bawah, yang hanya terlihat bagian
kemaluan, Pria : tutupi tubuh bagian atas ekstremitas dengan
selimut, tutupi ekstremitas dibawah dengan alas seprai sehingga
hanya genitalia yang terpajan. Dengan mengenakan sarung tangan
sekali pakai, cuci perineum dengan sabun dan air mengalir
seperlunya, keringkan dengan sempurna, buka dan buang sarung
tangan lakukan kebersihan tangan.Posisikan cahaya untuk
28
menerangi area perineum ( jika perlu mintalah bantuan asisten
untuk memegang senter,buka kemasan yang berisi system drainase,
letakkan kantung drainase pada rangka tempat tidur bagian bawah
dan letakkan selang drainase diantara pembatas dan matras.
6) Atur peralatan pada area steril. Buka kemasan steril bagian dalam
yang mengandung kateter. Tuangkan larutan antiseptik steril
kedalam bagaian yang tepat yang mengandung bola kapas steril.
Buka kemasan yang mengadung lubrikan. Ambil wadah spesimen
dan tabung suntik yang telah terisi lalu letakkan pada area steril
jangan membuka balon pretest
7) Berikan lubrikan pada kateter sepanjang 2,5- 5 cm untuk wanita
12,5cm-17,7 untuk pria . Pasang duk steril , Wanita : ambil duk
steril dengan lubang dan buka lipatan tanpa menyentuh objek yang
tidak steril, pasang duk diatas perineum sehingga labia terpajan dan
jangan menyentuh permukaan yang tidak terkontaminasi, Pria :
pasang duk diatas paha atas tepat dibawah penis tanpa membuka
lubang duk seluruhnya
8) Bersihkan meatus uretra, Wanita : dengan forceps pada tangan
dominan yang steril, bersihkan perineum dengan bola kapas yang
telah dibasadhi larutan antiseptik. Lakukan dari arah depan
kebelakang yaitu dari klitoris keanus. Dengan bola kapas baru
untuk tiap area. Lap sepanjang lipatan labia lateral, medial, dan
29
tepat ditengah meatus urethra, Pria : dengan tangan dominan,
bersihkan penis dengan bola kapas yang dijepit forceps. Lakukan
dengan gerakan melingkar dari meatus urethra sampai kedasar
glans. Ulangi smpai tiga kali dengan menggunakan bola kapas baru
setiapkalinya.
9) Pegang kateter dengan tangan dominan yang dibungkus sarung
tangan dengan jarak 7,5-10cm dari ujung kateter. Pegang ujung lain
dari kateter pada telapak tangan dominan ( opsional : kateter dapat
dipegang dengan forceps)
10) Masukkan kateter Wanita, minta klien untuk mengedan perlahan
seolah-olah akan berkemih dan perlahan masukkan kateter melalui
meatus urethra. Masukkan kateter sepanjang 5-7,5cm pada dewasa
atau sampai urine mengalir keluar dari ujung kateter. Saat urine
muncul, masukan kateter lebih jauh sepanjang 2,5-5cm jangan
masukkan kateter dengan paksa, lepas labia dan pegang kateter
dengan tangan nondominan. Kembangkan balon secara perlahan
jika menggunakan kateter retensi Pria : Angkat penis dengan posisi
tegak lurus terhadap tubuh klien dan berikan sedikit tarikan. Minta
klien untuk mengedan seolah-olah akan berkemih dan perlahan
masukan kateter melalui meatus urethra.Masukkan kateter sampai
sepanjang 17-22,5cm pada dewasa atau sampai urin mengalir
keluar dari ujung kateter. Jika anda merasakan tahanan, tarik
30
kateter. Saat urine muncul, masukkan kateter lebih jauh sepanjang
2,5-5cm, jangan masukan kateter dengan paksa. Kembangkan balon
jika menggunakan kateter retensi. Posisikan kembali preputeum
jika diperlukan.Kembangkan balon sesuai rekomendasi pabrik lalu
lepaskan kateter dengan tangan non dominan dan tarik
perlahan.Tempelkan ujung kateter retensi keselang pengumpul
disistem drainase. Pastikan kantung drainase terletak lebih rendah
dari kandung kemih.
11) Mengamankan letak kateter, Wanita : tempelkan selang kateter
kepaha dalam dengan perekat non alergenik ( penahan selang serba
guna dengan tapi ) pastikan bahwa gerakan pada paha tidak akan
mengangkat kateter, Pria : tempelkan selang kateter keujung paha
atau abdomen bagian bawah (penis mengarah kedada). Pastikan
bahwa gerakan tidak akan merengangkan kateter. Bantu klien
mengambil posisi yang nyaman, buang perlengkapan duk dan urine
pada tempat yang semestinnya dan lepaskan sarung tangan
.Lakukan kebersihan tangan serta lakukan palpasi pada kandung
kemih dan tanyakan kenyamanan klien. Perhatikan karakter dan
jumlah urin didalam system drainase. Pastikan tidak ada urin yang
bocor dan kateter atau selang
31
2.4.6 Perawatan kateter
Perawatan kateter ( Potter Perry, 2013 ) yaitu :
a) Jelaskan prosedur pada klien, tutup pintu atau tirai tempat tidur.
b) Lakukan kebersihan tangan.
c) Posisikan klien pada wanita posisi supine, sedangkan pada pria posisi
supain atau fowler.
d) Letakkan bantalan tahan air dibawah klien. Tutup tubuh klien dengan
selimut sehingga area perineum yang terpajan, kenakan sarung
tangan bersih, lepaskan perekat untuk membebaskan selang kateter,
wanita : buka labia untuk memajankan meatus uretra dan lokasi
insersi kateter, pertahankan posisi tangan selama prosedur dilakukan,
pria : tarik preputium jika klien tidak disirkumsisi, pegang batang
penis tepat dibawah glans penis. Periksa meatus uretra dan jaringan
sekitar untuk melihat adanya inflamasi, pembengkakan dan sekret.
Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi sekret.
e) Bersihkan jaringan perineum ,wanita : gunakan kain bersih sabun dan
air. Bersihkan area sekitar meatus dan kateter bersihkan dari arah
pubis menuju anus, bersikan labia minora. Gunakan sisi kain yang
bersih untuk tiap pembersihan area sekitar anus. Pada pria : sambil
membuka meatus uretra, bersihkan area sekiatar kateter terlebih
dahulu kemudian lap dengan gerakan melingkar disekitar matus dari
32
glans. Periksa ulang meatus uretra, untuk melihat sekret ,bersihkan
kateter dari meatus sampai selang dengan gerakan melingkar. Pada
klien pria, kembalikan posisi preputium setelah perawatan selesai.
Sangkutkan kembali selang kateter,tempatkan klien pada posisi yang
aman dan nyaman. Buang peralatan yang telah terkontaminasi,
lepaskan sarung tangan, dan lakukan hygiene tangan.
Alternatif terhadap kateterisasi uretra menurut Potter Perry, 2013 untuk
dapat menghindari resiko infeksi adalah :
a) Kateterisasi suprapubik
Tindakan ini melibatkan operasi penempatan kateter melalui dinding
abdomen diatas simpisis pubis menuju kandung kemih. Prosedur ini
dapat dilakukan dalam anastesi lokal maupun umum. Kateter
dipertahankan ditempat dengan jahitan. Dengan segel cincin yang
tersedia secara komersial.
b) Kateter kondom
Kateter kondom adalah alternatif untuk kateterisasi, yang dapat
dilakukan untuk pria inkontinensia. Kondom merupakan pembungkus
lateks lembut dan fleksibel yang diselipkan pada penis. Klien dapat
mengenakannya pada malam hari atau terus menerus sesuai dengan
kebutuhannya.
33
2.4.7 Komplikasi Pemasangan Kateter
Secara umum faktor resiko pemasangan kateter dibagi dua yaitu faktor
yang tidak dapat diubah, dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang
tidak dapat diubah antara lain adalah faktor umur, jenis kelamin, penyakit
virulensi kuman, faktor risiko yang dapat diubah antara lain adalah
prosedur pemangan kateter, perawatan kateter, lama penggunaan kateter,
ukuran dan tipe kateter, personal hygiene dan asupan cairan.
Menurut European Association of Urology Nurses, 2012 komplikasi
pemasangan kateter adalah :
a. Infeksi Saluran Kemih yang Berhubungan dengan Kateter (CAUTI)
Saluran kemih adalah sumber infeksi nosokomial yang paling umum,
terutama bila kandung kemih diperiksa, terhitung hampir 40% dari
semua infeksi yang didapat di rumah sakit dengan durasi kateterisasi
menjadi faktor risiko yang signifikan. Infeksi Saluran Kemih yang
Berhubungan dengan Kateter (CAUTI) didefinisikan sebagai
bakteriuria atau funguria dengan jumlah lebih dari 103 CFU / mL.
b. Epididimitis
Epididimitis adalah peradangan epididimis. Kondisi ini menyebabkan
rasa sakit dan bengkak dan hampir selalu unilateral dan relatif akut saat
onset. Pada pasien lansia, epididimitis biasanya disebabkan oleh
patogen urin yang umum. Epididimitis sebagai komplikasi kateterisasi
34
uretra terlihat lebih sering terjadi pada pasien dengan kateter yang
tinggal dibandingkan dengan kateterisasi intermiten
c. Penyumbatan kateter
Penyumbatan bisa terjadi akibat kinking kateter, kateter terhadap
dinding kandung kemih atau konstipasi. Kebocoran urin bisa terjadi
sebagai gejala penyumbatan kateter.
d. Trauma latrogenik
Trauma Iatrogenik selama kateterisasi uretra dapat menyebabkan
pembentukan lubang palsu, biasanya pada tingkat leher prostat atau
kandung kemih, penyakit pada saluran kencing atau traumatis pada
pria dengan gangguan sfingter pada wanita.
e. Hematuria
Haematuria dapat terjadi setelah kateterisasi. Selama kateterisasi
uretra, trauma prostat mungkin merupakan penyebab utamanya,
dekompresi retensi kronis tekanan tinggi juga dapat menyebabkan
hematuria.
2.5 Bladder Training
2.5.1 Definisi
Bladder Training adalah pelatihan kandung kemih adalah program
pendidikan untuk pasien yang dimulai dengan penjelasan menyeluruh
tentang masalah inkontinensia urin. Pasien belajar mengendalikan
35
kandung kemih. Agar program berhasil, ia harus waspada dan mampu
menahan keinginan untuk buang air kecil. ( Donna dkk, 2012 ). Menurut
Lewis Chan, 2013, Bladder Training adalah program terstruktur yang
melibatkan intervensi pendidikan dan prilaku untuk membangun
kembali kontrol kandung kemih pada orang dewasa. Bladder Training
adalah suatu latihan untuk mengurangi frekuensi miksi dan
meningkatkan kapasitas kandung kemih (Potter Perry, 2013).
Dapat disimpulkan bahwa definisi Bladder Training adalah suatu bentuk
latihan terstruktur yang melibatkan intervensi keperawatan yang
bertujuan untuk mengurangi frekuensi berkemih dan meningkatkan
kapasitas kandung kemih sehingga tidak terjadi gangguan dalam proses
berkemih.
2.5.2 Tujuan
Tujuan Bladder taining adalah untuk meningkatkan kapasitas kandung
kemih fungsional serta untuk mengurangi frekuensi, urgensi dan nokturi
serta meningkatkan kualitas hidup ( Lewis Chan, 2013)
Menurut Potter Perry, 2012 tujuan Bladder Training adalah
mengembalikan pola normal miksi dengan mengajarkan klien untuk
mengabaikan dorongan yang sering muncul dan menekannya. Jadi
36
tujuan Bladder Training adalah mengurangi frekuensi keinginan
berkemih dengan cara mengajarkan kepada pasien untuk mengabaikan
dorongan untuk berkemih sehingga interval berkemih menjadi normal.
2.5.3 Indikasi Bladder Training
Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
inkontinensia, pada pasien yang terpasang kakater dalam waktu yang
lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu ( suharyanto,
2008)
2.5.4 Tehnik Bladder Training
2.5.4.1.Ada 2 tehnik dalam Bladder Training yaitu :
a. Menurut Donna, 2012 tehnik Bladder Training adalah mulai jadwal
untuk voiding, dimulai dengan interval terpanjang nyaman untuk
pasien meski intervalnya hanya 30 menit. Anjurkan pasien untuk
berhenti setiap 30 menit dan mengabaikan dorongan untuk buang
air kecil diantara interval yang ditentukan. Begitu dia merasa
nyaman dengan jadwal awal tingkatkan interval 15 – 30 menit.
Anjurkan pasien untuk mengikuti jadwal baru sampai dia mencapai
kesuksesan lagi. Seiring bertambahnya interval kandung kemih
berangsur – angsur mentolerir volume lebih banyak dan teknik
37
pengalihan perhatian untuk memaksimalkan keberhasilan dalam
latihan ulang.
b. Menurut Kozier & Erb’s, 2012 tehnik Bladder Training adalah
sebagai berikut :
1) Tentukan pola berkemih klien dan dorong klien untuk berkemih
sesuai pola tersebut
2) Susunlah suatu jadwal berkemih regular dan bantu klien untuk
mempertahannkan jadwal tersebut, walaupun klien merasakan
dorongan untuk berkemih atau tidak ( contoh saat terjaga setiap
1 – 2 jam selama siang dan malam hari sebelum beristirahat
dimalam hari, setiap 4 jam dimalam hari ).
3) Jadwalkan peregangan relaksasi yang berurutan seperti itu
cendrung dapat meningkatkan tonus otot dan lebih
meningkatkan kontrol sadar.
4) Dorong klien untuk menahan sensasi berkemih ketika klien
merasakan keinginan awal untuk berkemih, minta klien untuk
mempraktekkan nafas dalam secara perlahan sampai dorongan
untuk berkemih berkurang atau hilang.
5) Ketika klien menemukan bahwa berkemih dapat dikontrol
interval berkemih agak diperpanjang tanpa kehilangan
kemampuan berkemih
38
6) Atur intake cairan terutama selama malam hari untuk membantu
mengurangi kebutuhan berkemih dimalam hari.
7) Dorong konsumsi cairan jam 06.00 – jam 18.00, hindari
konsumsi jus jeruk dan minuman berkarbonat (terutama yang
mengandung pemanis buatan), alkohol dan minuman yang
mengandung kafein secara berlebihan karena dapat mengiritasi
kandung kemih dan meningkatkan risiko inkontinensia.
Jadwalkan konsumsi diuretik pada pagi hari.
8) Jelaskan pada klien konsumsi cairan yang adekuat dibutuhkan
untuk menjamin produksi urine yang adakuat yang akan
merangsang proses buang air kecil .
9) Pasang perlak / pelindung untuk menjaga seprai tetap kering,
sediakan pakaian dalam yang mudah menyerap air untuk
menampung urine menjaga agar klien tidak merasa malu, hindari
penggunaan popok yang akan menurunkan harga diri klien.
10) Bantu klien melakukan program latihan fisik untuk
meningklatkan tonus otot secara umumdan program latihan otot
pelvis yang ditujukan untuk memperkuat otot dasar pelvis.
11) Berikan penguat positif untuk mendorong kemampuan
berkemih. Puji klien atas usahannya untuk mau buang air kecil
dan untuk mempertahankan kemampuan berkemih.
39
2.5.4.2. Tehnik Bladder Training
1. Distraksi
Cara distraksi
a. Tanyakan pola berkemih pada pasien
b. Bila ada keinginan berkemih anjurkan pasien menahan
berkemih dengan tarik nafas dalam melalui hidung dan
dikeluarkan melalui mulut ( diulang 2-3 kali ) atau bila
keinginan berkemih berkurang atau hilang )
2. Latihan otot abdomen
a. Atur posisi tidur dengan kaki ditekuk
b. Kencangkan otot perut
c. Angkat satu kaki mengarah ke perut bergantian dengan kaki
yang satunnya
d. Lakukan sit up dengan mengangkat kepala
e. Lakukan posisi miring kekanan dan kekiri dengan menahan
otot perut
f. Menurunkan kaki secara bergantian
g. Lakukana 3 set dengan 10-12 kali setiap tindakan
3. Latihan kagel
a. Atur posisi pasien ( berbaring, duduk, atau berdiri )
b. Pastikan kandung kemih kosong / setelah buang air kecil
c. Lemaskan otot daerah perut paha dan bokong
d. Bernafas secara spontan
e. Kencangkan otot pada lubang vagina ( pada pasien
perempuan )
40
f. Kencangkan otot sekitar anus seperti menahan Buang air
besar
g. Lakukan latihan selam 10 detik dan lemaskan selama 10-15
detik
h. Lakukan sebanyak 10 kali
2.6 Penelitian yang terkait keberhasilan Bladder Training
Dari hasil penelitian Lucky ( 2015 ) dengan judul “ Efektivitas Bladder
Training sejak dini dan sebelum pelepasan kateter urine terhadap terjadinya
inkontinensia urine pada pasien pasca operasi di SMC RS Telogorejo” dengan
jumlah sampel yang digunakan pada pasien pasca operasi yang terpasang kateter
urine sebanyak 30 responden, dengan hasil penelitian terdapat perbedaan bladder
training sejak dini lebih baik daripada setelah pelepasan kateter urine.
Dalam penelitian yang lain menurut M Reza ( 2013) dengan judul penelitian
“Pengaruh Latihan Kandung Kemih ( Bladder Training ) Terhadap Interval
Berkemih Wanita Lanjut Usia (LANSIA ) dengan inkontinensia Urine di UPTD
PSLU Tresna WErdha Bakti Yuswa Profinsi Lampung “ dengan jumlah sampel
yang digunakan sebanyak 26 lansia penderita inkontinensia, dengan hasil penelitian
ada perbedaan rata-rata interval berkemih pada lansia sebelum dan setelah latihan
Bladder Training.