28
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). DM tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel β pancreas (Radio, 2011). Penderita DM tipe 2 masih dapat menghasilkan insulin akan tetapi, insulin yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam tubuh sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh. DM tipe 2 umumnya diderita pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes mellitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya pelepasan glukosa ke hati yang berlebihan (Ilyas, 2009). 2.1.2 Etiologi Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin, dan faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor-faktor pencetus diabetes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

  • Upload
    vokiet

  • View
    234

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Melitus 2

2.1.1 Pengertian

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). DM tipe 2

atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh terjadinya

resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel β pancreas (Radio,

2011).

Penderita DM tipe 2 masih dapat menghasilkan insulin akan tetapi, insulin

yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam

tubuh sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh. DM tipe 2

umumnya diderita pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas

(Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes mellitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya

hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya pelepasan glukosa ke hati yang

berlebihan (Ilyas, 2009).

2.1.2 Etiologi

Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin,

dan faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor-faktor pencetus diabetes

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

12

diantaranya obesitas, kurang gerak/olahraga, makanan berlebihan dan penyakit

hormonal yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).

2.1.3 Faktor Resiko

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah

dan terjadinya DM tipe 2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin dan penyakit

penyerta (Duanning, 2003).

a. Usia

Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur

sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin

meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin

tinggi. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi

setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut (Medicastore,

2007: Rochmah 2006).

Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan

perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkatan sel

berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang mempengaruhi

fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel β

pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa,

sistem saraf pusat dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa darah akan

naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam

setelah makan (Rochmah, 2006).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

13

b. Jenis kelamin

Beberapa teori menyatakan perempuan lebih banyak mengalami DM tipe 2

hal ini diakibatkan karena secara fisik memiliki peluang peningkatan index masa

tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca

menopause membuat distribusi lemak di tubuh menjadi mudah terakumulasi

akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih beresiko menderita

DM tipe 2 (Irawan,2010)

c. Penyakit penyerta

Separuh dari kesembuhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas

dirawat di rumah sakit setiap tahunnya dan komplikasi DM menyebabkan

peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002).

Penyandang DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan

penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita

ulkus/gagren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih

mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari pada pasien non DM

(Waspadji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha untuk menyembuhkan

melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan penyakit tersebut

kearah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap

(Waspadji, 2009).

d. Lama menderita DM

DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh

karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah

komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

14

dikaitkan dengan komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada

hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat

kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin

lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi

kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler sebagai

manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya

dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya

terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai

komplikasi (Waspadji, 2009).

2.1.4 Patofisiologi DM tipe 2

Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang

lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam

peta, sehingga disebut pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpa

yang menghasilkan hormon glucagon sel β yang menghasilkan insulin. Kedua

hormon ini bekerja berlawanan, glucagon meningkatkan glukosa darah sedangkan

insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah ( Price& Wilson, 2006)

Insulin yang dihasilkan oleh sel β pankreas dapat diibaratkan sebagai anak

kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam

sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau

jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga

kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat (hiperglikemia). Pada DM tipe 2

jumlah insulin kurang atau dalam keadaan normal, tetapi jumlah reseptor insulin

dipermukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

15

kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak,

namun karena jumlah lubang kuncinya (reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa

yang masuk ke dalam sel berkurang (resistensi insulin). Sementara produksi

glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah

meningkat (Subekti & Suryono, 2009).

Resistensi insulin pada awalnya belum menyebabkan DM secara klinis, sel

β pancreas masih bisa melakukan kompensasi. Insulin disekresikan secara

berlebihan sehingga terjadi hiperinsulenemia dengan tujuan normalisasi kadar

glukosa darah. Mekanisme kompenasi yang terus-menerus menyebabkan

kelelahan sel β pancreas, kondisi ini disebut dekompensasi dimana produk insulin

menurun secara absolute. Resistensi dan penurunan produksi insulin

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala DM berdasarkan Trias DM adalah poliuri (urinasi yang sering),

polifagi (meningkatkan hasrat untuk makan) dan polidipsi (banyak minum akibat

meningkatnya tingkat kehausan). Saat kadar glukosa darah meningkat dan

melebihi ambang batas ginjal maka glukosa yang berlebihan ini akan dikeluarkan

(diekskresikan). Untuk mengeluarkan glukosa melalui ginjal dibutuhkan banyak

air (H2O). Hal ini yang akan menyebabkan penderita sering kencing dan tubuh

kekurangan cairan (dehidrasi) sehingga timbul rasa haus yang menyebabkan

banyak minum (polidipsi). Pasien juga akan mengalami hasrat untuk makan yang

meningkat (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin

dan pemecahan protein serta lemak. Karena glukosa hilang bersamaan urin, maka

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

16

pasien mengalami gejala lain seperti keletihan, kelemahan, tiba-tiba terjadi

perubahan pandangan, kebas pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit

sembuh, dan sering muncul infeksi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,

2002).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 umumnya ditegakkan apabila ditemukan keluhan

klinis berupa poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien

adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan

pruritus pada wanita (Soegondo, 2009). Apabila ada keluhan khas dan

pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau pemeriksaan glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. untuk

kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang

baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan lebih lanjut dengan mendapatkan satu

kali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar

glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari lain (Soegondo, 2009).

2.1.7 Penatalaksaan

Penatalaksanaan standar DM tipe 2 mencakup pengaturan makanan,latihan

jasmani, obat yang memberikan efek hipoglikemia (OHO/Obat Hipoglikemia Oral

dan insulin), edukasi/penyuluhan dan pemantauan kadar glukosa darah secara

mandiri (home monitoring) (Waspadji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

17

Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama pengelolaan DM dijabarkan

sebagai berikut :

a. Perencanaan Makan (diit)

Perencanaan makan pada pasien DM tipe 2 adalah untuk mengendalikan

glukosa, lipid dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diit hipokalori pada

pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka pendek dan

berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Sukardji (2009)

mengatakan bahwa penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat

meningkatkan kontrol diabetes. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan

penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi

(Sukardji, 2009).

b. Latihan Jasmani

Masalah utama pada pasien DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor

insulin terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa ke

dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur kontraksi

otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel terhadap glukosa

juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan sensitivitas insulin meningkat

yang pada akhirnya akan menurunkan kadar gukosa darah (Ilyas, 2009).

Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes

karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,

meningkatkan fungsi jantung, paru, dan otot serta memperlambat proses penuaan

(Sukardji & Ilyas, 2009). Latihan jasmani yang dianjurkan untuk pasien diabetes

adalah jenis aerobik seperti jalan kaki, lari, naik tangga, sepeda, sepeda statis,

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

18

jogging, berenang, senam, aerobik, dan menari. Pasien DM dianjurkan melakukan

latihan jasmani secara teratur 3-4 kali dalam seminggu selama 30 menit.

c. Obat Yang Memiliki Efek Hipoglikemia

Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa :

1. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)

Obat Hipoglikemia Oral (OHO) yang terdiri dari : pemicu sekresi insulin

(seperti sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin

(seperti Biguanid, tiazolididion), penghambat glukosidase alfa, dan incretin

memetic, penghambatan DPP-4 (Waspadji, 2009).

2. Insulin

Saat ini dalam penanganan DM tipe 2 terdapat beberapa cara pendekatan.

Salah satu pendekatan terkini yang dianjurkan di Eropa dan Amerika Serikat

adalah dengan memakai nilai A1c (HbA1c) sebagai dasar penentuan awal

sikap atau cara memperbaiki pengendalian diabetes (Soegondo, 2009).

Untuk daerah pemeriksaan A1c masih sulit dilaksanakan dapat digunakan

daftar konversi A1c dengan rata-rata kadar glukosa darah. Meskipun demikian

semua pendekatan pengobatan tetap menggunakan perencanaan makan (diet)

sebagai pengobatan utama, dan apabila hal ini bersama dengan latihan jasmani

ternyata gagal mencapai target yang ditentukan maka diperlukan penambahan

obat hiperglikemik oral atau insulin (Soegondo, 2009).

d. Penyuluhan

Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan pengobatan

diabetes adalah ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatan yang telah

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

19

ditentukan. Penelitian terhadap pasien diabetes, didapatkan 80% menyuntikkan

insulin dengan cara yang tepat 59% memakai dosis yang salah dan 75% tidak

mengikuti diet yang dianjurkan (Basuki, 2009). Untuk mengatasi ketidakpatuhan

tersebut, penyuluhan terhadap pasien dan keluarga mutlak diperlukan.

Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang

berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan memang

penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan

antara berbagai kegiatan yang merupakan bagian intergral dari kegiatan rutin

sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan lain-lain. Pengaturan jumlah dan

jenis makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat

ditinggalkan, walaupun ternyata banyak diabaikan oleh pasien dan keluarga.

Keberhasilan pengobatan tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan

dengan pasien dan keluarganya. Pasien yang mempunyai pengetahuan cukup

tentang diabetes, selanjutnya mau mengubah perilakunya akan mengendalikan

kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih berkualitas (Basuki, 2009).

e. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)

DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan memerlukan pengobatan jangka

panjang, sehingga pasien dan keluarganya harus dapat melakukan pemantauan

sendiri kadar glukosa darahnya di rumah. Beberapa cara yang dapat dilakukan

untuk PKGS adalah dengan pemantauan reduksi urin, pemantauan glukosa darah

dan pemantauan komplikasi serta cara mengatasinya (Soewondo, 2009).

PKGS kini telah diakui secara luas oleh sekitar 40% pasien DM tipe 1 dan

26% pasien DM tipe 2 di Amerika. ADA mengindikasikan PKGS pada kondisi-

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

20

kondisi berikut : 1) mencapai dan memelihara kendali glikemik : PKGS

memberikan informasi kepada dokter dan perawat mengenai kendali glikemik dari

hari ke hari agar dapat memberikan nasihat yang tepat, 2) mencegah dan

mendeteksi hipoglikemia, 3) mencegah hiperglikemik, 4) menyesuaikan dengan

perubahan gaya hidup terutama berkaitan dengan masa sakit, latihan jasmani atau

aktivitas lainnya seperti mengemudi, dan 5) menentukan kebutuhan untuk

memulai terapi insulin pada pasien DM gestasional (Soewondo, 2009).

Pemantauan dengan menggunakan A1c merupakan parameter tingkat

pengendalian kadar glukosa darah. Kelebihan pemeriksaan A1c adalah mampu

menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama 8-12 minggu terakhir.

Pemeriksaan A1c mempunyai korelasi dengan komplikasi diabetes. Pengendalian

dikatakan baik jika kadar HbA1c kurang dari 7% acceptable jika kadar HbA1c

antara, 76%-9%(Batubara, 2009).

2.1.8 Komplikasi

Menurut Price and Wilson (2002) komplikasi DM dapat dibagi menjadi

dua yaitu komplikasi metabolik akut komplikasi metabolik kronik. Komplikasi

akut disebabkan oleh keadaan hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketogenik,

serta hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik jangka panjang melibatkan

pembuluh darah baik mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi ini

diakibatkan oleh kadar glukosa yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama.

Komplikasi kronik DM dapat mengenal makrovaskular (rusaknya

pembuluh besar) dan mikrovaskular (rusaknya pembuluh darah kecil).

Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit seperti serangan jantung, strok dan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

21

insufisiensi aliran darah ke tungkai terganggu. Sedangkan komplikasi

mikrovaskular meliputi kerusakan pada mata (retinopati), yang bisa menyebabkan

kebutaan, kerusakan pada ginjal (nefropati) yang bisa berakibat pada gangguan

kaki diabetes sampai kemungkinan terjadinya amputasi pada tungkai (Ignatavicius

& Workman, 2010).

2.2 Ankle Brackial Index (ABI)

2.2.1 Definisi Ankle Brachial Index (ABI)

Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive

pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala klinis

iskhemia, penurunan perfusi perifer yang dapat mengakibatkan angiopati dan

neuropati diabetik (Mulyati, 2009). Tekanan darah sistolik pergelangan kaki lebih

tinggi dari tekanan darah sistolik brachialis merupakan estimasi terbaik dari

tekanan darah sistolik pusat (Sacks, dkk. 2002).

Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi

mengalami gangguan pada sirkulasi perifer, uji ABI ini umumnya digunakan

untuk menjelaskan ada tidaknya penyakit pembuluh darah arteri perifer, dan

digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pembuluh darah arteri perifer

(Simatupang, dkk. 2013). ABI adalah pemeriksaan non invasive yang dilakukan

dengan mudah meggunakan dopler tangan dan tensimeter dengan nilai normal

0,9-1 (Amstrong & Lavery, 1998 dalam Mulyati, 2009).

ABI digunakan untuk menunjang diagnosis penyakit vaskuler pada DM

dengan menyediakan indikator objektif perfusi arteri ke ekstremitas bawah, ABI

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

22

juga dikenal sebagai Ankle/Arm Index (AAI) dan Resting Pressure Index (RPI)

(Sacks, dkk, 2002).

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi ABI

Pada dasarnya ABI merupakan hasil pembagian dari tekanan darah sistolik

ankle dengan tekanan darah sistolik brachial. Tekanan darah merupakan hasil dari

peningkatan cardiac output oleh resistensi perifer yang dirumuskan dengan

(Sherwood, 2001) :

Tabel 1 : Rumus Tekanan Darah

Berikut adalah faktor-faktor fisiologis utama yang dapat mempengaruhi tekanan

darah (Sanion & Sanders, 2007)

a. Aliran balik vena

Aliran balik vena merupakan aliran yang membawa darah dari seluruh

tubuh ke ventrikel kiri jantung. Jika darah yang kembali menurun, otot

jantung tidak akan terdistensi, kekuatan ventrikuler pada fase sistolik akan

menurun.

b. Frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung

Secara umum apabila kontraksi dan kelainan kekuatan kontraksi jantung

meningkat, tekanan darah juga akan meningkat. Akan tetapi, apabila

jantung berdetak terlalu kencang ventrikel tidak akan terjadi sepenuhnya

diantara detakan, sehingga curah jantung dan tekanan darah akan menurun.

Tekanan darah = curah jantung X resistensi perifer

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

23

c. Resisten perifer

Resisten perifer merupakan resisten dari pembuluh darah bagi aliran darah.

d. Elastisitas arteri besar

Elastisiatas arteri adalah kemampuan serat elastis yang membuat dinding

arteri elastis sehingga arteri dapat berperilaku seperti balon. Sifat elastis

menyebabkan arteri dapat membesar/mengembang untuk secara sementara

menampung kelebihan volume darah dan menyimpan sebagian energi

tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi jantung di dinding yang

terenggang.

e. Viskositas darah

Viskositas darah bergantung pada keberadaan sel-sel darah dan protein

plasma termasuk di dalamnya zat-zat nutrient seperti glukosa, asam amino,

lemak dan vitamin serta zat sisa seperti keratin dan bilirubin.

f. Hormon

Beberapa hormon memiliki efek terhadap tekanan darah. Contohnya pada

saat stress, medulla kelenjar adrenal akan menyekresikan noreprinefrin dan

epinefrin, yang keduanya akan menyebabkan vasokontriksi sehingga

meningkatnya tekanan darah.

2.2.3 Prosedur ABI

Cara pengukuran ABI pada dasarnya sama dengan pengukuran tekanan

darah. Manset tekanan diletakkan di lengan atas dan dipompa sampai titik tidak

ada nadi brachialis yang dapat dideteksi dengan Doppler. Kemudian manset

perlahan dikempiskan sampai dopler dapat mendeteksi kembali nadi, angka yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

24

ditunjukkan oleh tensimeter saat nadi kembali terdeteksi merupakan nilai tekanan

sistolik. Tindakan ini dilakukan kembali pada kaki, manset diletakkan di distal

betis dan Doppler diletakkan di atas dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior.

Tekanan sistolik kaki dibagi dengan tekanan sistolik brachialis merupakan nilai

ABI.

Adapun prosedur pengukuran ABI sebagai berikut :

a. Lakukan pengukuran tekanan darah brachialis (Potter & Perry, 2006) :

1) Siapkan sphygnomanometer dan stetoskop serta alat tulis.

2) Kaji faktor yang mempengaruhi tekanan darah

3) Kaji tempat yang paling baik untuk melakukan pengukuran tekanan darah

4) Bantu klien untuk mengambil posisi beban lengan atas pada setinggi

jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas

5) Dengan klien duduk atau berbaring, posisikan beban lengan atas pada

setinggi jantung dengan telapak tangan menghadap ke atas

6) Gulung lengan baju pada bagian atas lengan

7) Palpasi arteri brachialis, letakkan menset 2,5 cm di atas nadi brachialis,

selanjutnya dengan menset masih kempis pasang menset dengan rata pas

sekeliling lengan atas.

8) Pastikan manometer diposisikan vertical sejajar mata dan pengamat tidak

boleh lebih jauh dari 1 meter

9) Letakkan earpieces stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak

redup (muffled)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

25

10) Carilah lokasi arteri brachialis dan letakkan bel atau diafragma chestpiece

di atasnya serta jangan membiarkan chestpiece menyentuh manset atau

baju klien

11) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang

12) Kembungkan menset 30 mmHg di atas tekanan sistolik yang dipalpasi,

kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan

kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik

13) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang terdengar

14) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup timbul

15) Kempiskan manset dengan cempat dan sempurna buka manset dari lengan

kecuali jika ada rencana untuk mengulang

16) Bantu klien untuk kembali ke posisi yang nyaman dan rapikan kembali

baju lengan atas serta beritahu hasil pengukuran kepada klien

b. Pengukuran tekanan ankle dengan Doppler

1) Pastikan penempatan manset tekanan darah yang tepat pada pasien dengan

posisi kaki lurus. Manset harus ditempatkan disekitar pergelangan kaki 2,5

cm di atas maleolus tersebut.

2) Pastikan bahwa manometer diposisikan vertical sejajar mata dan pengamat

tidak boleh lebih jauh dari 1 meter.

3) Letakkan earpiece stetoskop pada telinga dan pastikan bunyi jelas, tidak

redup.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

26

4) Ketahuilah lokasi arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior dan

letakkan bel atau diafragma chestpiece di atasnya serta jangan membiarkan

chestpiece menyentuh manset.

5) Tutup katup balon tekanan searah jarum jam sampai kencang.

6) Gembungkan manset 30 mmHg diatas tekanan sistolik yang dipalpasi,

kemudian dengan perlahan lepaskan dan biarkan air raksa turun dengan

kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik.

7) Catat titik pada manometer saat bunyi jelas yang pertama terdengar.

8) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik dimana bunyi redup rimbul.

9) Lanjutkan mengempiskan manset, catat titik pada manometer sampai 2

mmHg terdekat dimana bunyi tersebut hilang.

10) Kempiskan manset dengan cepat dan sempurna. Buka manset dari

pergelangan kaki kecuali jika ada rencana untuk mengulang.

2.2.4 Cara Perhitungan ABI dan Interpretasi ABI

Setelah mendapatkan tekanan darah sistolik pada masing-masing

brachialis dan pedis, maka dilihat tekanan sistolik yang lebih tinggi. Perhitungan

nilai ABI dilakukan dengan vena membagi tekanan darah sistolik tertinggi dari

dorsalis pedis atau tibia posterior dengan tekanan darah sistolik brachialis

tertinggi (Laurel, 2005)

Interpretasi nilai ABI (Alonso et al, 2010:28)

ABI = Tekanan Sistolik tertinggi pergelangan kaki

Tekanan sistolik tertinggi lengan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

27

> 1.3 : Noncompressible

> 1.0-1.3 : Normal

> 0.9-1.0 : Borderline

< 0.89-0.71 : Mild Obstruction (intermitten claudication)

< 0.71-0.41 : Moderete Obstruction

< 0.41 : Severe Obstruction

2.3 Latihan Active Lower Range of Motion (ROM)

2.3.1 Definisi

ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya

kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-masing

persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif, aktif dengan bantuan

maupun pasif. ROM dibedakan menjadi tiga yaitu : Active Range of Motion

(AROM), Active Assistance Range of Motion (AAROM), dan Passive Range of

Motion (PROM) (Potter & Perry, 2005).

AROM merupakan latihan yang dilakukan oleh klien sendiri tanpa

bantuan dari perawat, namun tetap di awasi oleh perawat. Melalui latihan ini dapat

meningkatkan kemandirian dan kepercayaan diri pada klien (Ellish & Bentz,

2007). AROM merupakan gerakan segmen dalam ROM terbatas yang dihasilkan

oleh kontraksi aktif otot-otot sendi yang melintas ( Kisner & Colby, 2007).

Active Lower Range of Motion merupakan latihan rentang gerak sendi

bawah. Latihan ini merupakan prosedur dari latihan ROM biasa namun hanya

memanfaatkan sendi bawah (lower ekstremity).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

28

2.3.2 Manfaat Latihan

Latihan AROM memberikan manfaat bagi sistem tubuh menurut Potter

dan Perry (2006) menjelaskan sistem yang dipengaruhi setelah dilakukan AROM

antara lain :

a) Sistem Kardiovaskuler

Meningkatkan curah jantung

Memperbaiki kontraksi miokardial, kemudian menguatkan otot

jantung

Menurunkan tekanan darah istirahat

Memperbaiki aliran darah vena

b) Sistem Respirasi

Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan

Meningkatkan ventilasi alveolar

Menurunkan kerja pernafasan

Meningkatkan pengembangan diafragma

c) Sistem Metabolik

Meningkatkan laju metabolisme basal

Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak

Meningkatkan pemecahan trigliserida

Meningkatkan asam lambung

Meningkatkan produksi panas tubuh

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

29

d) Sistem Muskuloskeletal

Memperbaiki tonus otot

Meningkatkan mobilisasai sendi

Memperbaiki toleransi otot

Meningkatkan masa otot

Mengurangi kehilangan densitas tulang

e) Toleransi Aktivitas

Meningkatkan toleransi aktivitas

Mengurangi kelemahan

f) Faktor Psikososial

Meningkatkan toleransi terhadap stress

Melaporkan perasaan lebih baik

Melaporkan pengurangan penyakit

Pemberian Active Lower Range Of Motion sama halnya memberikan

manfaat seperti pemberian Active Range of Motion, namun latihan yang diberikan

hanya menekankan pada sendi ekstremitas bawah yang dapat memperlancar

sirkulasi perifer ekstremitas bawah. Menurut Ika (2010) menyatakan bahwa

dengan pemberian Active Lower Range of Motion dapat meningkatkan nilai ABI

pasien DM tipe 2. Latihan ini dapat meningkatkan kontraksi otot yang aktif

sehingga sirkulasi perifer dapat meningkat, selain itu latihan ini dapat

meningkatkan kekuatan otot pasien DM tipe 2.

Active lower ROM merupakan salah satu latihan yang dilakukan khusus

untuk merawat kaki pasien DM tipe 2. Hal ini dikarenakan gerakan hanya terfokus

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

30

pada ekstremitas bawah yaitu pinggul, lutut, mata kaki, kaki dan jari-jari kaki.

Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (2011) menjelaskan

bahwa perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik

sebesar 50-60% yang mempengaruhi kualitas hidup. Pemeriksaan dan perawatan

kaki diabetes merupakan semua aktivitas khusus di daerah kaki (senam kaki,

memeriksa dan merawat kaki) yang dilakukan individu sebagai upaya dalam

mencegah timbulnya ulkus diabetikum. Beberapa penelitian yang telah dilakukan

untuk membuktikan manfaat dari berbagai intervensi tersebut dalam mengurangi

gejala neuropati dan penyakit vaskuler secara emperis. Intervenesi yang pernah

diteliti antara lain senam kaki, massase kaki serta latihan rentang gerak sendi atau

yang sering di kenal dengan Range of Motion (ROM) (Ika, 2010).

2.3.3 Kontra Indikasi

Ellis dan Bentz (2007) menyatakan bahwa latihan memerlukan energi dan

cenderung meningkatkan sirkulasi. Adanya penyakit atau gangguan yang dapat

meningkatkan kebutuhan energi dan membahayakan seperti sakit jantung dan

penyakit pernafasan harus dilakukan konsultasi kepada dokter terlebih dahulu.

Selain itu, Ellis dan Bentz juga menyatakan latihan ROM juga memberikan stress

pada jaringan lunak pada persendian dan struktur tulang. Latihan tidak

diperkenankan pada persendian yang bengkak, inflamasi atau daerah sekitar

persendian mengalami injuri. Beberapa kontra indikasi yang terpapar diatas

berlaku juga untuk semua jenis ROM termasuk Active Lower ROM.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

31

2.3.4 Prosedur Latihan

Timby (2009) menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh

perawat pada saat melakukan latihan ROM sebagai berikut:

a. Latihan diterapkan pada sendi secara professional untuk menghindari

peserta latihan mengalami ketegangan dan injuri otot serta kelelahan.

b. Posisi yang diberikan memungkinkan gerakan sendi secara leluasa.

c. Latihan dilakukan secara sistematis dan berulang.

d. Tekankan pada peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat

adalah gerakan sampai dengan mengalami tahanan bukan nyeri.

e. Tidak melakukan latihan pada sendi yang mengalami nyeri

f. Amati respon non verbal serta latihan.

g. Latihan harus segera dihentikan dan berikan kesempatan pada peserta

latihan untuk beristirahat apabila terjadi spasme otot yang

dimanifestasikan dengan kontraksi otot yang tiba-tiba dan terus

menerus.

Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan dan menunjukan hasil

cukup bervariasi. Menurut teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis

dan intensitas latihan ROM tersebut, namun dari berbagai hasil penelitian tentang

manfaat latihan ROM dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan latihan

ROM sebagai salah satu intervensi. Tseng,Chen, Wu & Lin (2007) dalam

penelitiannya yaitu penerapan latihan ROM pada pasien stroke menyebutkan

bahwa dosis latihan yang dipergunakan yaitu 2 kali sehari, 6 hari dalam seminggu

selama 4 minggu dengan intensitas masing-masing 5 gerakan untuk setiap sendi.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

32

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang

menerapkan latihan ROM pada penderita DM hanya menyebutkan bahwa latihan

ROM diberikan hanya 1 bulan intervensi, dengan hasil adanya penurunan tekanan

pada plantar kaki yang berarti ROM ini menurunkan resiko penderita neuropati

diabetikum mengalami ulkus diabetikum pada kaki. Department of Rehabilitation

Services The Ohio Medical Center (2009) menyebutkan bahwa latihan ROM

untuk bagian ankle sebagaimana dilakukan minimal 3 kali sehari dengan

intensitas masing-masing gerakan 10 kali.

Prosedur tindakan yang biasanya digunakan pada latihan rentang gerak

Active Lower ROM yaitu:

a. Gerakan pinggul

Fleksi: menggerakkan tungkai kedepan dan keatas sebesar 90-1200 otot

yang dipengaruhi yaitu psoas mayor iliacus, iliopsoas dan Sartorius

Ekstensi: menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain sebesar 90-

1200. Otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan

semimembranosus

Hiperekstensi: menggerakkan tungkai kebelakang tubuh sebesar 30-500,

otot yang dipengaruhi yaitu gluteus maksimus, semitendinosus dan

semimembranosus

Abduksi: menggerakkan tungkai kesamping menjauhi tubuh sebesar 30-

500, otot yang dipengaruhi yaitu gluteus medius dan gluteus minimus

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

33

Adduksi, menggerakkan tungkai kembali keposisi medial sebesar 30-500,

otot yang dipengaruhi yaitu adductor longus, adductor brevis, dan

adductor magnus

Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai uyang lain sebesar 900, otot yang

dipengaruhi yaitu gluteus medius, gluteus minimus dan tensor fasciae latae

Rotasi keluar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain sebesar

900, otot yang dipengaruhi yaitu obturatorius internus dan obturatorius

eksternus

Sirkumsisi: menggerakkan tungkai melingkar, otot yang dipengaruhi yaitu

psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius, dan adductor magnus.

b. Gerakan lutut

Fleksi: menggerakkan tumit kearah belakan paha sebesar 120-1300, otot

yang dipengaruhi yaitu bisep femoralis semi tendonosus, semi

membranosus, dan Sartorius

Ekstensi: mengembalikan tungkai keposisi semula 120-1300, otot yang

dipengaruhi yaitu rektus femuralis, vastus lateralis, vastus medialis, dan

vastus intermedius

c. Gerakan Mata Kaki

Dorso fleksi:menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk keatas

sebesar 20-300, otot yang dipengaruhi tibialis anterior

Plantar fleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk

kebawah sebesar 45-500, otot yang dipengaruhi yaitu gastronemus soleus

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

34

d. Gerakan Kaki

Inversi: memutar telapak kaki kesamping dalam (media) sebesar 100 atau

kurang, otot yang dipengaruhi yaitu tibialis anterior dan tibialis posterior

Eversi: memutar telapak kaki kesamping luar (lateral) sebesar 100 atau

kurang, otot yang dipengaruhi yaitu peroneus longus dan peroneus brevis

e. Gerakan Jari-jari Kaki

Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki kebawah sebesar 30-600, otot yang

dipengaruhi yaitu fleksor digitorus, lumbrikalis pedis dan hallusis brevis

Ekstensi: meluruskan kembali jari-jari kaki sebesar 30-600, otot yang

dipengaruhi yaitu ekstensor digitorum longus, ekstensor digtorum brevis

dan ekstensor digitorum hallusis longus

Abduksi: meregangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain sebesar 150 atau

kurang, otot yang dipengaruhi yaitu abduksi, hallusis dan interosseus

dorsalis

Adduksi: merapatkan kembali jari-jari kaki bersama-sama sebesar 150 atau

kurang, otot yang dipengaruhi yaitu adduksi hallusis dan interosseus

plantaris

2.3.5 Pengaruh Active Lower ROM terhadap PerubahanABI

Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama pada pasien DM tipe 2

menyebabkan perubahan patologi pada pembuluh darah, ini dapat menyebabkan

penebalan tunika intima “hyperplasia membrane basalis arteria”, oklusi

(penyumbatan) arteri dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas trombosit,

sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi). Selain itu

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

35

keadaan hiperglikemia yang lama juga menyebabkan kekakuan pada arteri

diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal. Meningkatnya kadar

fripronogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya

agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat, dan

memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah kaku

hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi (Foot Condition Center, 2013).

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM berupa

penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah kapiler dan sering terjadi pada

tungkai bawah. Akibatnya perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi

kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi

nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan

amputasi.

Dampak dari menurunnya sirkulasi perifer pada pasien DM tipe 2 dapat

dilihat dari penurunan nilai ABI yang berada dibawah rentang normal yaitu

dibawah 0,9-1 sehingga berisiko terjadinya penyakit vaskuler perifer dalam

katagori mild claudication. Almazini (2009) menjelaskan bahwa DM tipe 2

mengalami kerusakan yang ditimbulkan pada neuropati diabetikum meliputi

penebalan membrane basal kapiler, hiperplasia sel endotel, infark dan iskemia

neuronal. Hal ini disebabkan karena kadar glukosa darah yang tinggi pada pasien

diabetes menyebabkan konsentrasi glukosa yang tinggi di saraf. Hal ini kemudian

menyebabkan konsentrasi glukosa menjadi sorbitol. Kadar fruktosa saraf juga

meningkat. Fructose dan sorbitol saraf yang berlebihan menurunkan ekspresi dari

komtransporter sodium/myonositol sehingga menurunkan kadar myoinositol. Hal

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

36

ini menyebabkan penurunan kadar phosphoinositide, bersama-sama dengan

aktivitas pompa Natrium dan penurunan kadar phospoinositide ATPase. Aktivitas

aldose reductase mendeplesi kofaktornya, Nicotinamide Adenine Dinucleotida

Phosphate (NADPH), yang menghasilkan penurunan kadar nitric oxide dan

glutathione yang berperan dalam melawan proses oksidatif. Kurangnya nitric

oxide juga menghambat relaksasi vaskuler yang dapat menyebabkan iskemia

kronik (Ika, 2010)

ROM merupakan jenis latihan yang berfungsi untuk memperlancar

peredaran darah, apabila peredaran darah lancar maka akan menghambat proses

penebalan membrane kapiler, peningkatan ukuran dan jumlah sel endotel kapiler,

sehingga diameter lumen pembuluh darah tetap adekuat khususnya pembuluh

darah kapiler. Dampaknya adalah adanya perbaikan pada nilai tekanan darah

sistolik baik brachial maupun ankle. Sehingga dengan pemberian Active Lower

ROM pada pasien DM tipe 2 mampu memberikan perubahan pada nilai ABI (Ika,

2010). Aliran darah yang lancar ini tentunya akan memudahkan nutrient masuk ke

dalam sel secara langsung latihan pada penderita DM membantu meningkatkan

sensitivitas reseptor insulin sehingga kadar glukosa darah menjadi stabil. Dengan

demikian kerusakan sel-sel khususnya syaraf lebih jauh dapat dihindari.

ROM memiliki manfaat pada peredaran darah khususnya daerah yang

dilibatkan dalam latihan (dalam hal ini lower extremity). Peredaran darah yang

lancar pada area tersebut menghambat proses demyelinisasi sel-sel saraf, dimana

proses dymelinisasi tersebut merusak akson. Dengan demikian apabila sel-sel

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

37

saraf dalam kondisi baik maka proses transmisi implus terutama pada sel reseptor

satah satunya tendon pun adekuat.

Gerakan Active Lower ROM ini sama halnya dengan meningkatkan kerja

fisik pada otot ekstremitas bawah yang degerakkan. Pada saat otot mengalami

kontraksi timbul tiga efek sirkulasi utama yaitu : Pertama, jantung dirangsang

sehingga sehingga kecepatan denyut jantung dan kekuatan pemompaannya

menjadi sangat meningkat sebagai akibat rangsangan simpatis ke jantung dan

terbebasnya jantung dari hambatan parasimpatis normal. Kedua, sebagian besar

arteriol di sirkulasi perifer berkontraksi dengan kuat kecuali arteriol-arteriol dalam

otot yang aktif, yang berdilatasi dengan kuat akibat pengaruh vasodilator local.

Jadi jantung dirangsang untuk meningkatkan aliran darah yang memang

dibutuhkan oleh otot. Ketiga, dinding otot vena dan daerah kapasitas lainnya pada

sirkulasi berkontraksi secara kuat yang akan sangat meningkatkan tekanan

pengisian sistemik rata-rata, hal ini merupakan salah satu factor yang paling

penting dalam meningkatkan aliran balik vena ke jantung, sehingga curah jantung

meningkat. Ke tiga hal tersebut akan meningkatkan tekanan arteri maka aliran

darah menuju otot yang aktif akan mengalami peningkatan. Efek peningkatan

tekanan juga akan sangat meregangkan dinding pembuluh darah sehingga aliran

total di dalam otot sering mengalami peningkatan (Guyton & Hall, 2008)

Jadi dapat disimpulkan dengan melakukan latihan ini maka akan terjadi

pergerakan tungkai yang mengakibatkan menegangnya otot-otot tungkai dan

menekan vena disekitar otot-otot tersebut. Hal ini akan mendorong darah kearah

jantung dan tekanan vena akan menurun (mekanisme pompa vena). Mekanisme

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Diabetes Melitus 2 2.1.1

38

ini akan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki, mempernbaiki

sirulasi darah, memperkuat otot-otot kecil, mencegah terjadinya kelainan bentuk

kaki, meningkatkan kekuatan otot betis dan paha, dan mengatasi keterbatasan

gerak sendi.

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa manfaat latihan pada kaki dapat

meningkatkan aliran darah perifer diantaranya dalam penelitian Alviyah dan

Virginia (2011) menyebutkan bahwa senam kaki pada pasien DM melibatkan

kelompok otot-otot utamanya (otot kaki), sehingga otot kaki berkontraksi secara

teratur maka akan terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.

Kemudian akan terjadi dilatasi arteriol maupun kapiler, menyebabkan lebih

banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga akan terjadi peningkatan sirkulasi darah

kaki dan penarikan glukosa ke dalam sel.