21
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. Akibat stres kecenderungan mengalami gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker. Salah satu nya terjadi gangguan tidur terjadi karena Proses pemulihan yang terhambat menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi. Kondisi tidur dapat memasuki suatu keadaan istirahat periodik dan pada saat itu kesadaran terhadap alam menjadi terhenti, sehingga tubuh dapat beristirahat. Otak memiliki sejumlah 1

askep Stres

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asuhan keperawatan pada pasien stres

Citation preview

Page 1: askep Stres

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu

equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh

terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan).

Stres disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan

kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula.

Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai

adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan

neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya,

denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain.

Akibat stres kecenderungan mengalami gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada

punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh,

termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.

Salah satu nya terjadi gangguan tidur terjadi karena Proses pemulihan yang terhambat

menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang

tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi. Kondisi tidur dapat memasuki

suatu keadaan istirahat periodik dan pada saat itu kesadaran terhadap alam menjadi terhenti,

sehingga tubuh dapat beristirahat. Otak memiliki sejumlah fingsi, struktur, dan pusat-pusat

tidur yang mengatur siklus tidur dan terjaga. Tubuh pada saat yang sama menghasilkan

substansi yang ketika dilepaskan ke dalam aliran darah akan membuat mengantuk. Proses

tersebut jika diubah oleh stres, kecemasan, gangguan dan sakit fisik dapat menimbulkan

insomnia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengaruh stres atau psikologi terhadap pola tidur?

1.3 Tujuan

1. Ingin mengetahui pengaruh stres atau psikologi terhadap pola tidur

1.4 Metode Penulisan

Metode yang di gunakan ialah membaca dan merangkum dari karya orang lain serta

mencari informasi dari internet.

1

Page 2: askep Stres

1.5 Sistematika Penulis

Kata pengantar

Daftar isi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4. Metode

1.5 Sistematika Penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Stres

2.2 Tahapan Tidur Normal

2.3 Kualitas Tidur

2.4 Hubungan Stres dengan Tidur

BAB 3 PENUTUP

3.1 Simpulan

Daftar Pustaka

2

Page 3: askep Stres

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Stres

2.1.1. Definisi

Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu

equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh

terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan

secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang

tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang

menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua

sebagai suatu sistem (WHO, 2003). Menurut Morgan dan King, “…as an internal state which

can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of

temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as

potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King,

1986). Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh

tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak

terkontrol (AAT Sriati, 2007).

2.1.2. Kajian mengenai stres

Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali diajukan oleh

Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia menggambarkan prinsip-prinsip

keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi)

di lingkungan badan internal, sangat penting untuk bertahan hidup. Oleh karena itu,

perubahan dalam lingkungan eksternal atau kekuatan eksternal yang mengubah

keseimbangan internal harus bereaksi dan mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan

hidup. Contoh kekuatan eksternal adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di udara,

pengeluaran energi, dan keberadaan predator. Selain itu, penyakit juga stres yang mengancam

keseimbangan lingkungan internal tubuh (Nasution I. K., 2007). Ahli saraf Walter Cannon

menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah

dijelaskan Bernard. Dia juga adalah yang pertama untuk memperkenalkan bahwa stresors

dapat berupa emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight

or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga

3

Page 4: askep Stres

mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters

(neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf)

dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu

epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon

terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon

"fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-

lain. (Nasution I. K., 2007). Seterusnya, Hans Selye, seorang ilmuwan awal yang

mempelajari stres, melanjut pengamatan Cannon. Beliau mengatakan bahawa selain daripada

respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan

kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon

fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai

korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan

rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh,

fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007).

Dalam eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus

yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus

gastrointestinal dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu proses adaptasi

umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa proses ini adaptif,

penyesuaian yang sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres. Proses adaptif

yang berlebihan, dapat merusak tubuh. Overstres, bisa berbahaya. (Nasution I. K., 2007)

2.1.3. Jenis-jenis stres

Quick dan Quick (1984) dan Hans Selye dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat

dua jenis stres, yaitu eustres dan distres.

Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif

(bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang

diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat

performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong tubuh untuk

beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh mampu

menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah hambatan dan

meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif,sehat, dan menantang (Walker.J, 2002).

Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif,

dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu terhadap

penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan

4

Page 5: askep Stres

dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang

melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah

fisik atau psikologis. Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung

bereaksi secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal (Walker.J,

2002).

2.1.4. Sumber stres

Sumber stres atau penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara penyebabnya

adalah, fisik, psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti suara,

polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa. Pada

stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu biasanya yang bersifat negatif seperti

frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah, kuatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu,

rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresor sosial yaitu tekanan

dari luar disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial

yang bersifat traumatic yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai,

kehilangan pekerjaan, pension, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan lain-lain.

(Nasution I. K., 2007).

2.1.5. Mekanisme stres

Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres:

1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi

intensitas respons stres.

2) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak

begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.

3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat

meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.

4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas dapat

menambah atau mengurangi respons stres.

Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua

sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik

berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ

dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan

kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal

ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem

5

Page 6: askep Stres

korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja

pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis

selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks

adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang

meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk

melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui

aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan

dalam respons fight or flight (Nasution I. K., 2007).

2.1.6. Gejala stres

Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan,

kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam

(kebencian), sensitif dan hyperreactivity, memendam perasaan, penarikan diri depresi,

komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan

kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan

spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri.

Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah : meningkatnya denyut jantung, tekanan

darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari

hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya

gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan, kelelahan secara

fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue

syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada, gangguan pada

kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur,

rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.

Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari

pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan

minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotaj dalam pekerjaan, perilaku makan yang

tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas, perilaku makan yang tidak normal

(kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,

kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan

berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi,

meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan

interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

6

Page 7: askep Stres

Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak semestinya

dianggap sebagai stres oleh yang lain. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan

berbeda pada setiap individu (AAT Sriati, 2007).

2.1.7. Penentuan tahap stres

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami

seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala. Antaranya adalah dengan

menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai

Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995).

Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42

item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item.

DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional

negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur

secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk

pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional,

secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh

kelompok atau individu untuk tujuan penelitian.(Lovibond & Lovibond, 1995).

Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat berat.

Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42

item, mencakup 3 subvariabel, yaitu fisik, emosi/psikologis, dan perilaku. Jumlah skor dari

pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-

119 (berat); >120 (Sangat berat) .(Lovibond & Lovibond, 1995).

Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti Perceived Stres Scale(PSS)

atau Profile Mood States(POMS). Alat-alat ini digunakan sebagai instrument untuk

mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai alat untuk

mendiagnosa (Cohen, 1983) .

2.2 Tahapan Tidur Normal

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia

yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain

diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-

tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari

dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).

7

Page 8: askep Stres

Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur

bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Harsono,

1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating

system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak

(Potter & Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat

termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons.

Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga

dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.

Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.

Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus

yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).

2.2.1 Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye

Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement

(NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur

stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh

fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus

dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

2.2.2 Tidur stadium satu

Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun

dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan

bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).

2.2.3 Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu

tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti

(Patlak, 2005).

2.2.4 Tidur stadium tiga

8

Page 9: askep Stres

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu

sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera

menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).

2.2.5 Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat.

Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith

& Segal, 2010).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat

restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di

siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai

100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya

berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau

bangun (Japardi, 2002).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata

tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut

jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).

Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM

lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang

(Potter & Perry, 2005).

2.2.6 Siklus Tidur

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi

berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok

harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat

mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup,

keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).

2.2.6 Mekanisme Tidur

Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis. NREM

ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat serta tekanan

darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan

mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM

terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini

9

Page 10: askep Stres

disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas otot involunter. REM disebut

juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).

Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90

menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM

menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta,

disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur (pada

mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit

dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM.

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut

Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang

tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut

akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi

oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,

histaminergik (Japardi, 2002).

Sistem serotoninergik

Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan.

Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga

meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan

terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa

peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis

di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis

dengan tidur REM.

Sistem adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel

nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat

mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi

peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada

tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.

Sistem kolinergik

Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan pemberian

prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini,

10

Page 11: askep Stres

mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas

kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi,

sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang

menghambat pengeluaran kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase

awal dan penurunan REM.

Sistem histaminergik

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

Sistem hormon

Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin

Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing

Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar

hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi

pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur

mekanisme tidur dan bangun.

2.3 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut

tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,

kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian

terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas

tidur, menurut American Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan

sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,

waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti

kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,

2.4 Hubungan stres dengan pola tidur

Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur

terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada

keadaan semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar

kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ tubuh tidak bisa

bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami

11

Page 12: askep Stres

penurunan konsentrasi. Kondisi tidur dapat memasuki suatu keadaan istirahat periodik dan

pada saat itu kesadaran terhadap alam menjadi terhenti, sehingga tubuh dapat beristirahat.

Otak memiliki sejumlah fingsi, struktur, dan pusat-pusat tidur yang mengatur siklus tidur dan

terjaga. Tubuh pada saat yang sama menghasilkan substansi yang ketika dilepaskan ke dalam

aliran darah akan membuat mengantuk. Proses tersebut jika diubah oleh stres, kecemasan,

gangguan dan sakit fisik dapat menimbulkan insomnia.

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas

maupun kuantitas. Insomnia adalah gejala yang dialami oleh orang yang mengalami kesulitan

kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan tidur singkat atau tidur nonrestoratif.

Penderita insomnia mengalami ngantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan

kualitas tidurnya tidak cukup.

Gejala-gejala insomnia secara umum adalah seseorang sulit untuk memulai tidur,

sering terbangun pada malam hari ataupun di tengah-tengah saat tidur. Orang yang menderita

insomnia juga bisa terbangun lebih dini dan kemudian sulit untuk tidur kembali.

Insomnia merupakan ganggguan tidur yang paling sering dikeluhkan. Penelitian yang

dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kurang lebih 1/3 dari orang dewasa

pernah menderita insomnia setiap tahunnya. Gangguan tidur ini dapat mempengaruhi

pekerjaan, aktifitas sosial dan status kesehatan penderitanya. Nurmiati Amir, dokter

spesialis kejiwaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo, mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen dari total penduduk di

Indonesia atau sekitar 28 juta orang. Total angka kejadian insomnia tersebut 10-15 persennya

merupakan gejala insomnia kronis. Seseorang dapat mengalami insomnia transien akibat stres

situasional seperti masalah keluarga, kerja atau sekolah, jet lag, penyakit, atau kehilangan

orang yang dicintai. Insomnia temporer akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan

kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran, stres,

dan kecemasan.

12

Page 13: askep Stres

BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu

equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh

terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan).

Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur terjadi

proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan

semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar kembali.

Karena terjadi respon stres proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ

tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat

lelah dan mengalami penurunan konsentrasi.

Akibat dari stres kualitas tidur atau kepuasan seseorang terhadap tidur tersebut,

sehingga memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,

kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian

terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas

tidur, menurut American Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan

sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,

waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti

kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,

13