21
Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 115 K / PDT.SUS-PHI / 2014 TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN KESALAHAN BERAT YANG DIATUR DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA PT.SARI PURI PERMAI PERIODE TAHUN 2011-2013 Rizky Anugerah Saputra Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari pihak pekerja, namun dalam prakteknya pemutusan hubungan kerja itu sebagian besar datangnya dari pihak pengusaha. Contohnya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha terhadap pekerja yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat. Salah satu kasus yang terjadi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 adalah antara Alwi dengan PT.Sari Puri Permai mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja akibat adanya kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan konsep. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab apakah pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 telah tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Hakim Mahkamah Agung tidak tepat. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mengikat kedua belah pihak karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan Surat Edaran Menakertrans Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada butir 3 huruf a. Hal ini dikarenakan unsur kesalahan berat mengenai penggelapan terhadap Alwi telah terpenuhi sehingga untuk memutus hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 115 K / PDT.SUS-PHI / 2014 TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN KESALAHAN BERAT YANG DIATUR DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA PT.SARI PURI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : RIZKY ANUGERAH S

Citation preview

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 115 K / PDT.SUS-PHI / 2014TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN KESALAHANBERAT YANG DIATUR DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMAPT.SARI PURI PERMAI PERIODE TAHUN 2011-2013

Rizky Anugerah Saputra

Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya,[email protected]

AbstrakPemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari pihak pekerja, namun dalam prakteknya pemutusan hubungan kerja itu sebagian besar datangnya dari pihak pengusaha. Contohnya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha terhadap pekerja yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat. Salah satu kasus yang terjadi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 adalah antara Alwi dengan PT.Sari Puri Permai mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja akibat adanya kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan konsep. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab apakah pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 telah tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Hakim Mahkamah Agung tidak tepat. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mengikat kedua belah pihak karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan Surat Edaran Menakertrans Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada butir 3 huruf a. Hal ini dikarenakan unsur kesalahan berat mengenai penggelapan terhadap Alwi telah terpenuhi sehingga untuk memutus hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Kesalahan Berat, Perjanjian Kerja Bersama.

AbstractThe termination of an employment relationship is termination of employment which results in the terminate of rights and obligations between worker and entrepreneur. The termination of employment can occur on the initiative of either worker or entrepreneur, but in practice most of the termination of employment come from entrepreneur. For example, the termination of employment conducted by entrepreneur to worker based on grave wrongdoings. One case occurs on the Supreme Court Decision number 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 between Alwi and PT. Sari Puri Permai concerning dispute the termination of employment caused by grave wrongdoings regulated in collective labor agreement PT. Sari Puri Permai period 2011-2013.This research is a normative legal research. Approach used in this research is the statute approach, case approach, and conseptual approach. Technique of legal material collection in this research is by literature study on materials of law consisting primary, secondary, and tertiery. This is aimed to answer whether termination of employment based grave wrongdoings regulated in collective labor agreement of PT. Sari Permai period 2011-2013 to Alwi in the Supreme Court Decision number 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 is correct according to the applicable regulations.The results of research showed that the decision of supreme court is inappropriate. The termination of employment based on grave wrongdoings regulated in collective labor agreement of PT. Sari Puri Permai period 2011-2013 to Alwi is not eligible to agreement validity and not binding both parties because it is contradictory to applicable regulation that is Article 158 Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower, The Constitutional Court Decision Number 012/PUU-I/2003 and circular letter of Labor Minister Number SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 on item 3 letter a. This is caused by element of grave wrongdoings concerning embezzlement to Alwi has been fulfilled so in order to termination of employment based on grave wrongdoings should be processed in the court in accordance with criminal procedural law until criminal judge decision exists which legally enforceable. Based on the provision above then the termination of employment based on grave wrongdoings to Alwi is inappropriate according to applicable regulations.

Keywords: Termination of Employment, Grave Wrongdoings, Collective Labor Agreement.

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

1

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional adalah semua kegiatan untuk tercapainya pembaharuan ke arah yang lebih baik untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional tersebut, pekerja/buruh merupakan salah satu unsur penunjang yang mempunyai peran yang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan. Peran serta pekerja/buruh dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya.Berkaitan dengan hal tersebut, hak-hak pekerja/buruh perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sekaligus mengatur tentang perlindungan mengenai hak-hak pekerja/buruh. Wujud perlindungan dari pemerintah pada tahun 2003 adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi tenaga kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) mencabut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan ketenagakerjaan.Pekerja/buruh berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian pemberi kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hubungan pekerja/buruh dengan pemberi kerja ( baik perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya ) terjalin ketika adanya suatu hubungan kerja dimana, pekerja/buruh bekerja di bawah perintah pemberi kerja dan atas kerjanya maka pekerja/buruh akan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.Hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut maka hubungan kerja adalah bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.[footnoteRef:1] Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial Pancasila yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945).[footnoteRef:2] Sayangnya tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan dengan baik. [1: Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm 53.] [2: Asikin, Zainal et al, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm 238.]

Perselisihan antar manusia tidak dapat dihindarkan, karena manusia sebagai makhuk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan perselisihan antara satu dengan yang lain.[footnoteRef:3] Perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja (untuk selanjutnya disebut PHK). PHK berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Putusnya hak dan kewajiban bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya serta keluarganya, dan pengakhiran kemampuan menyekolahkan anak-anak. [3: Husni, Lalu, Op.cit., hlm 122.]

PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari pekerja/buruh, akan tetapi dalam prakteknya PHK itu sebagian besar datangnya dari pihak pengusaha.[footnoteRef:4] PHK oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh dapat disebabkan berbagai macam alasan, seperti mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan tutup, perusahaan pailit, atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat bahwa, pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat maksud ketentuan ini menyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak apabila pekerja/buruh terbukti melakukan kesalahan berat. [4: Ibid, hlm 28.]

Ketentuan PHK secara sepihak yang ditetapkan oleh pengusaha harus didukung dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pekerja/buruh tersebut telah melakukan kesalahan berat. Bukti-bukti tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa Pekerja/buruh tertangkap tangan, ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.Berkaitan dengan PHK berdasarkan kesalahan berat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2004 telah mengeluarkan Putusan No.012/PUU-I/2003 (untuk selanjutnya disebut Putusan MK) Tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Isi amar putusannya menyatakan bahwa, Pasal 158 dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maksud dalam Putusan MK ini salah satunya membatalkan pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sebagai alasan yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK karena dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah. Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangannya menilai PHK yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan kesalahan berat adalah dilakukan tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada tanggal 7 januari 2005 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran No.SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut SE Menakertrans) pada butir 3 huruf a yang menyatakan bahwa, pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat berdasarkan Pasal 158, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[footnoteRef:5] Hal ini berarti kesalahan berat yang terdapat pada Pasal 158 dalam UU Ketenagakerjaan adalah diberlakukan kembali atau dapat dijadikan dasar untuk mem-PHK seorang pekerja/buruh apabila terhadapnya telah ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dan sebagai bukti hukum yang nantinya dapat dijadikan bukti dalam perselisihan PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. [5: Hukum Online, PHK Karena Kesalahan Berat Harus Tunggu Putusan Pengadilan, (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14058/phk-karena-kesalahan-berat-harus-tunggu-putusan-pengadilan) diakses 14 Februari 2015.]

Permasalahan timbul pada praktiknya terdapat pengaturan mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama. Salah satu kasus yang terjadi adalah pada kasus antara Alwi Wijaya Kusuma, laki-laki, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Pondok Jati II / BL-23, Sidoarjo dengan PT. Sari Puri Permai (Shangri-la Hotel Surabaya) berada di jalan Mayjend Sungkono No. 120, Surabaya. Alwi diterima bekerja sebagai pekerja pada PT. Sari Puri Permai pada tanggal 18 Desember 1995 dan bekerja pada PT. Sari Puri Permai sebagai petugas valet, petugas valet adalah petugas yang melaksanakan penyerahan valet card dan sekaligus menarik uang jasa valet dari tamu untuk memarkirkan kendaraan bermotor milik tamu ke tempat parkir yang telah disediakan.Alwi tergabung dalam Serikat Pekerja Pariwisata Shangri-la Surabaya (untuk selanjutnya disebut SP PAR Shangri-la) dan selanjutnya bersama dengan PT. Sari Puri Permai terikat dalam ketentuan dan syarat-syarat dalam Perjanjian Kerja Bersama (untuk selanjutnya disebut PKB) periode tahun 2011-2013. Pada tanggal 22 Februari 2013, Alwi dirugikan dengan adanya PHK secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Sari Puri Permai. Berdasarkan bukti yang digunakan oleh perusahaan yaitu bukti rekaman CCTV dan data laporan pembukuan valet record, menyatakan bahwa Alwi mencoba mengambil keuntungan dari uang jasa valet dengan menggunakan posisinya pada saat itu dan tidak mencatat transaksi tersebut ke dalam laporan pembukuan valet record.Atas bukti tersebut, Alwi telah melanggar ketentuan pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 dalam PKB PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013, maka perusahaan mengambil tindakan sanksi hukum yang sesuai ketentuan dalam PKB tersebut yaitu berupa PHK berdasarkan kesalahan berat. Perselisihan PHK ini telah dilakukan upaya perundingan secara bipartit antara PT. Sari Puri Permai dan Alwi tentang PHK yang tidak menemui kesepakatan dalam perundingan tersebut, bahwa upaya perundingan tersebut berlanjut dan dilakukan upaya secara tripartit di Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Surabaya.Mediator dari Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Surabaya melakukan proses mediasi tripartit sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (untuk selanjutnya disebut UU PPHI). Hasil dari proses mediasi tripartit yaitu berupa nota anjuran tertanggal 17 April 2013 dengan Nomor 38/PHK/IV/2013 yang menganjurkan, agar pengusaha PT. Sari Puri Permai memanggil secara tertulis Alwi Wijaya Kusuma untuk bekerja kembali seperti semula. Pertimbangan Mediator menyatakan bahwa, kesalahan berat Alwi Wijaya Kusuma belum dapat dibuktikan secara otentik maka lebih baik hubungan kerja tetap dilanjutkan.Terhadap nota anjuran dari mediator tertanggal 17 April 2013 dengan Nomor 38/PHK/IV/2013, PT. Sari Puri Permai tidak melaksanakan sebagaimana anjuran mediator dari Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Surabaya. Pada tanggal 3 Juni 2013, PT. Sari Puri Permai menggugat Alwi Wijaya Kusuma ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan gugatannya yaitu untuk menyatakan tergugat melanggar ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan putus hubungan kerja antara pengugat dan tergugat. Berkaitan dengan gugatan tersebut maka Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya telah mengambil putusan, yaitu putusan nomor 57/G/2013/PHI.SBY tertanggal 2 September 2013 yang amarnya menyatakan bahwa, Tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode 2011-2013 dan menyatakan sah PHK yang berlaku efektif tertanggal 22 Februari 2013.Pertimbangan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan bahwa gugatan penggugat sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal 126 ayat (1) dalam UU Ketenagakerjaan menjelaskan, Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama, maka berlakulah sesuai ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) dalam Burgelijk Wetboek yang menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 dalam Burgelijk Wetboek (untuk selanjutnya disebut BW) akan mengikat kedua pihak yang akan membuatnya sebagai undang-undang.Atas putusan Nomor 57/G/2013/PHI.SBY tertanggal 2 September 2013, Alwi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung perihal kesalahan pertimbangan dan penerapan hukum Hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat. Alasan Alwi mengajukan kasasi yaitu bahwa berdasarkan ketentuan dalam Putusan MK No 012/PUU-I/2003 dan SE Menakertrans No SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 menyatakan bahwa PHK berdasarkan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas alasan kasasi Alwi tersebut maka Hakim Mahkamah Agung mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tertanggal 27 Maret 2014 yang amarnya menyatakan bahwa, Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Sdr. Alwi Wijaya Kusuma tersebut. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung untuk menolak gugatan kasasi Alwi yaitu bahwa alasan-alasan keberatan dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hakim tingkat pertama telah tepat dan benar dalam hal menilai, menimbang, dan menerapkan hukumnya.Perbedaan dalam penerapan aturan hukum terhadap PHK berdasarkan kesalahan berat pada peraturan perundang-undangan yaitu UU Ketenagakerjaan, Putusan MK, dan SE Menakertrans yang menyatakan bahwa, PHK dapat dilakukan kepada seorang pekerja/buruh setelah adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penerapan aturan hukum para majelis hakim baik pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung mendasarkan pada ketentuan PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB yang menyatakan bahwa, PHK dapat dilakukan apabila seorang pekerja/buruh melanggar dalam ketentuan yang diatur dalam PKB. Perbedaan tersebut menjadi permasalahan hukum yang menarik perhatian peneliti untuk dikaji mengenai ketepatan putusan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus PHK terhadap Alwi menurut peraturan perundang-undangan. Atas dasar permasalahan tersebut peneliti kemudian merancang penelitian dengan judul : Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Kesalahan Berat Yang Diatur Dalam Perjanjian Kerja Bersama PT.Sari Puri Permai Periode Tahun 2011-2013.

METODE PENELITIANJenis penulisan dalam penyusunan penelitian ini yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).[footnoteRef:6] Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif karena hal ini berkaitan dengan menganalisis sistem norma serta mengkaji ketepatan pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014. [6: Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm 34.]

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). Sumber utama yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.[footnoteRef:7] Bahan hukum merupakan bahan kajian yang berasal dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas. [7: Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008) hlm 86.]

1. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan.2. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku teks (text books) tentang ketenagakerjaan yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, berita website dan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan PHK.3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum.Teknik pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara mereduksi hukum dan mengklasifikasikan secara sistematis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang telah terkumpul sesuai dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah dengan cara preskriptif dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang dilakukannya. Argumentasi dilakukan oleh peneliti untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Hasil PenelitianKasus yang terjadi adalah permasalahan hukum dalam hal pemutusan hubungan kerja yaitu kasus pada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014. Para pihak dalam kasus tersebut adalah antara pekerja/buruh bernama Alwi Wijaya Kusuma, laki-laki, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Pondok Jati II / BL-23, Sidoarjo dengan perusahaan yaitu PT. Sari Puri Permai (Shangri-la Hotel Surabaya) berada di jalan Mayjend Sungkono No. 120, Surabaya. Alwi diterima bekerja sebagai pekerja pada PT. Sari Puri Permai pada tanggal 18 Desember 1995 dan bekerja pada PT. Sari Puri Permai sebagai petugas valet, petugas valet adalah petugas yang melaksanakan penyerahan valet card dan sekaligus menarik uang jasa valet dari tamu untuk memarkirkan kendaraan bermotor milik tamu ke tempat parkir yang telah disediakan. Alwi tergabung dalam SP PAR Shangri-la dan selanjutnya bersama dengan PT. Sari Puri Permai terikat dalam ketentuan dan syarat-syarat dalam PKB PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013.Pada tanggal 22 Februari 2013, Alwi dirugikan dengan adanya PHK secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Sari Puri Permai. Berdasarkan bukti yang digunakan oleh perusahaan yaitu bukti rekaman CCTV dan data laporan pembukuan valet record, menyatakan bahwa Alwi mencoba mengambil keuntungan dari uang jasa valet dengan menggunakan posisinya pada saat itu dan tidak mencatat transaksi tersebut ke dalam laporan pembukuan valet record. Atas bukti tersebut, Alwi telah melanggar ketentuan pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 PKB PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka perusahaan mengambil tindakan sanksi hukum yang sesuai ketentuan dalam PKB PT. Sari Puri Permai yaitu berupa PHK berdasarkan kesalahan berat.Atas adanya tindakan PHK tersebut, telah dilakukan upaya perundingan secara bipartit antara PT. Sari Puri Permai dan Alwi tentang PHK yang tidak menemui kesepakatan dalam perundingan tersebut, bahwa upaya perundingan tersebut berlanjut dan dilakukan upaya secara tripartit melalui mediasi di Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Surabaya. Upaya secara tripartit melalui mediasi yang ditengahi oleh mediator ternyata tidak menemui kesepakatan maka menurut ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a yang berbunyi, mediator mengeluarkan anjuran tertulis, mediator diwajibkan mengeluarkan nota anjuran mengenai perselisihan dan diberikan kepada para pihak untuk kepada para pihak untuk disetujui atau ditolak. Mengenai Nota anjuran dari mediator tertanggal 17 April 2013 dengan Nomor 38/PHK/IV/2013 disebutkan bahwa, agar pengusaha PT. Sari Puri Permai memanggil secara tertulis Alwi Wijaya Kusuma untuk bekerja kembali seperti semula. Pertimbangan Mediator disebutkan bahwa, kesalahan berat Alwi belum dapat dibuktikan secara otentik maka lebih baik hubungan kerja tetap dilanjutkan.Terhadap nota anjuran dari mediator tertanggal 17 April 2013 dengan Nomor 38/PHK/IV/2013, PT. Sari Puri Permai tidak melaksanakan sebagaimana anjuran mediator dari Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Surabaya. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) dalam UU PPHI yang berbunyi, dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri setempat. Berdasarkan ketentuan tersebut pihak yang menolak nota anjuran dari mediator dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri setempat.Pada tanggal 3 Juni 2013, PT. Sari Puri Permai menggugat Alwi Wijaya Kusuma ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan gugatannya yaitu menyatakan tergugat melanggar ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan putus hubungan kerja antara pengugat dan tergugat sejak tanggal 22 februari 2013. Berkaitan dengan gugatan tersebut maka Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya telah mengambil putusan, yaitu putusan nomor 57/G/2013/PHI.SBY tertanggal 2 September 2013 yang amarnya menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan sah PHK terhadap tergugat yang berlaku efektif tertanggal 22 Februari 2013. Pertimbangan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan bahwa, sesuai ketentuan yang diatur pada Pasal 126 ayat (1) dalam UU Ketenagakerjaan menjelaskan, Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama, maka berlakulah sesuai ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) BW yang menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 BW akan mengikat kedua pihak yang akan membuatnya sebagai undang-undang.Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di persidangan, maka, Alwi terbukti telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 yaitu Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Berdasarkan ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 maka Hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan gugatan PT.Sari Puri Permai untuk menyatakan sah PHK terhadap Alwi.Atas putusan Nomor 57/G/2013/PHI.SBY tertanggal 2 September 2013, Alwi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung perihal kesalahan pertimbangan dan penerapan hukum Hakim Pengadilan Hubungan Industrial mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat. Alasan Alwi mengajukan kasasi yaitu bahwa berdasarkan ketentuan dalam Putusan MK No 012/PUU-I/2003 dan SE Menakertrans No SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 menyatakan bahwa PHK berdasarkan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas alasan kasasi Alwi tersebut maka Hakim Mahkamah Agung mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tertanggal 27 Maret 2014 yang amarnya menyatakan bahwa, Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Alwi Wijaya Kusuma. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung untuk menolak gugatan kasasi Alwi yaitu bahwa alasan-alasan keberatan dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hakim pengadilan hubungan industrial telah tepat dan benar dalam hal menilai, menimbang, dan menerapkan hukumnya. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya yaitu putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan menolak permohonan kasasi Alwi, karena perkara mengenai perselisihan PHK terhadap Alwi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang.Menurut pendapat peneliti mengenai PHK terhadap Alwi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014, peneliti menemukan permasalahan penerapan hukum terkait PHK berdasarkan kesalahan berat. Permasalahan tersebut terlihat dengan adanya pengaturan PHK berdasarkan kesalahan berat pada peraturan perundang-undangan yaitu UU Ketenagakerjaan, Putusan MK, dan SE Menakertrans yang menyatakan bahwa, PHK dapat dilakukan kepada seorang pekerja/buruh setelah adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penerapan aturan hukum para majelis hakim baik pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung mendasarkan pada ketentuan PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 menyatakan bahwa, PHK dapat dilakukan apabila seorang pekerja/buruh melanggar dalam ketentuan yang diatur dalam PKB. Perbedaan tersebut menjadi permasalahan hukum yang menarik perhatian peneliti untuk dikaji mengenai ketepatan putusan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus PHK terhadap Alwi menurut peraturan perundang-undangan.Permasalahan yang telah ditemukan tersebut, selanjutnya peneliti akan menganalisis apakah PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 telah tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, agar dapat diketahui permasalahan mengenai ketepatan putusan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus PHK terhadap Alwi menurut peraturan perundang-undangan dan akan lebih dijabarkan dalam pembahasan hasil penelitian.

B. Pembahasan Hasil Penelitian1. Jenis dan unsur-unsur penggelapan dalam ketentuan PKBPertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada putusan Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 yang menyatakan bahwa, Alasan-alasan keberatan dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena hakim pengadilan hubungan industrial telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang, dan menerapkan hukumnya. Diketahui bahwa putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013.Menurut pendapat peneliti berkenaan dengan putusan Hakim yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013, ketentuan PKB tersebut yaitu pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 adalah yaitu bahwa ketentuan PKB tersebut memenuhi adanya jenis-jenis dan unsur-unsur penggelapan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan KUHP mengenai perbuatan tindak pidana penggelapan. Adapun alasannya yaitu bahwa pengaturan tentang penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP yang berbunyi,Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang/benda sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiahBerdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan penggelapan adalah suatu barang/benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan, tetapi karena suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, hubungan kerja dan sebagainya, lalu orang yang diberi kepercayaan itu menguasai barang/benda tersebut untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan pengelapan.Berdasarkan ketentuan dalam KUHP mengenai perbuatan tindak pidana penggelapan terdiri dari beberapa jenis-jenis tindak pidana penggelapan pada buku II bab XXIV mengenai penggelapan. Jika melihat ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan PKB tersebut terlihat bahwa mengenai jenis tindak pidana penggelapan yaitu termasuk penggelapan dengan pemberatan atau disebut juga gequalificeerde verduistering yang diatur dalam Pasal 374 KUHP, karena pelaku mempunyai adanya hubungan kerja dengan menggunakan posisinya untuk melakukan penggelapan.Penggelapan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 374 KUHP yang berbunyi,Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang/benda disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.Berdasarkan Pasal 374 KUHP menyatakan bahwa penggelapan dengan pemberatan karena penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai suatu barang/benda disebabkan adanya hubungan kerja, jabatannya atau karena pekerjaannya atau karena mendapatkan uang sebagai imbalannya dan ancaman hukuman untuk penggelapan dengan pemberatan ini yaitu pidana penjara paling lama lima tahun.Apabila seseorang dikatakan melakukan penggelapan harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan, agar dapat di katakan telah terjadi penggelapan. Unsur-unsur tindak pidana penggelapan terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif, mengenai penjelasan unsur-unsur tersebut yaitu sebagai berikut :A. Unsur-unsur objektif1. Memiliki secara melawan hukumMengenai perbuatan memiliki menurut Adami Chazawi menyatakan bahwa, perbuatan memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu barang/benda, seolah-olah ia pemilik barang/benda itu. Berdasarkan pengertian ini, bahwa pelaku dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu barang/benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap barang/benda itu. Misalnya, barang/benda tersebut telah dijual, dipakai sendiri, ditukar, disimpan dan sebagainyaKetentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan tersebut terlihat bahwa pelaku melakukan perbuatan memiliki atas suatu barang/benda yang berada dalam kekuasaannya dengan cara mencoba mengambil komisi, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi dan pelaku melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap komisi, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi untuk dipakai sendiri, disimpan, dan sebagainya.Mengenai unsur melawan hukum menurut Moch. Anwar menyatakan bahwa,unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya. Maksud unsur melawan hukum adalah pelaku melakukan perbuatan memiliki suatu barang/benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.2. Sesuatu barang/bendaMengenai sesuatu barang/benda menurut Adami Chazawi menyatakan bahwa,Pengertian barang/benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan barang/benda itu, yang menjadi indikatornya ialah, apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap barang/benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi terhadap benda-benda tidak berwujud dan tetap.Perbuatan memiliki suatu barang/benda yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang sifat kebendaannya tidak berwujud. Karena objek penggelapan hanya dapat ditafsirkan sebagai barang/benda yang sifat kebendaannya berwujud, dan atau bergerak.Ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan tersebut terlihat bahwa uang merupakan suatu barang/benda yang sifat kebendaannya berwujud dan mempunyai hubungan langsung dengan pelaku dikarenakan uang ini berada pada kekuasaannya dengan menggunakan posisinya.3. Seluruhnya atau sebagian milik orang lainUnsur ini mengandung pengertian bahwa barang/benda yang diambil haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian milik orang lain. Jadi harus ada pemiliknya, barang/benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan.Ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan tersebut terlihat bahwa yang dimaksud komisi, keuntungan, uang, dan hadiah dalam ketentuan PKB tersebut adalah seluruhnya atau sebagian milik dari PT.Sari Puri Permai. Apabila dalam hal komisi, keuntungan, uang, dan hadiah tersebut diambil oleh pelaku untuk dimiliki selain pemilik yang sah yaitu PT.Sari Puri Permai maka telah terjadi penggelapan.4. Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatanMengenai perbuatan memiliki bukan karena kejahatan bahwa, penguasaan barang/benda oleh seseorang dapat terjadi karena perjanjian sewa-menyewa, pinjam meminjam, hubungan kerja dan sebagainya. Apabila suatu barang/benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena kejahatan tetapi karena perbuatan yang sah, kemudian orang yang diberi kepercayaan kekuasaan itu ingin memiliki barang/benda tersebut untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan.Ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan tersebut terlihat bahwa, pelaku melakukan perbuatan memiliki dikarenakan adanya hubungan kerja dengan menggunakan posisinya.Posisi yang dimaksud dalam ketentuan PKB tersebut adalah kedudukan atau jabatan pelaku yang diberi kepercayaan oleh pemilik yang sah yaitu PT.Sari Puri Permai agar barang/benda tersebut berada dalam penguasaannya. Apabila barang/benda tersebut berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan tetapi karena posisinya yang sah, kemudian pelaku menggunakan posisinya untuk memiliki barang/benda tersebut untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum, maka telah terjadi penggelapan.B. Unsur SubjektifMengenai unsur subjektif dalam unsur-unsur penggelapan yaitu unsur kesengajaan. Kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal tertentu serta menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatan. Bahwa setiap unsur kesengajaan dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan pada semua unsur yang ada di belakang perkataan sengaja selalu diliputi oleh unsur kesengajaan itu. Menurut Adami Chazawi mengklasifikasikan kesengajaan pelaku dalam penggelapan berarti :a. Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki barang/benda milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai perbuatan yang melawan hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bertentangan dengan hak orang lain;b. Petindak dengan kesadaran yang sedemikian itu menghendaki untuk melakukan perbuatan memiliki;c. Petindak mengetahui, menyadari bahwa ia melakukan perbuatan memiliki itu adalah terhadap suatu barang/benda, yang disadarinya bahwa barang/benda itu milik orang lain sebagian atau seluruhnya;d. Petindak mengetahui, menyadari bahwa barang/benda milik orang lain berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.Ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya. Pada ketentuan tersebut terlihat bahwa pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan memiliki dengan cara yaitu mencoba untuk mengambil barang/benda yang berada dalam kekuasaannya dengan menggunakan posisinya.Berdasarkan penjelasan diatas Peneliti berpendapat bahwa pada ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya telah memenuhi adanya jenis-jenis dan unsur-unsur penggelapan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan KUHP mengenai tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu untuk membuktikan bahwa Alwi telah melakukan tindak pidana penggelapan, maka seharusnya Alwi harus di proses dahulu di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap untuk menyatakan bahwa Alwi bersalah atau tidak.

2. Keabsahan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 mengenai PHK berdasarkan kesalahan beratPertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada putusan Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 yang menyatakan bahwa, Alasan-alasan keberatan dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena hakim pengadilan hubungan industrial telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang, dan menerapkan hukumnya. Diketahui bahwa putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan sah PHK terhadap tergugat. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa, sesuai ketentuan yang diatur pada Pasal 126 ayat (1) dalam UU Ketenagakerjaan menjelaskan, Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama, maka berlakulah sesuai ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) BW yang menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 BW akan mengikat kedua pihak yang akan membuatnya sebagai undang-undang.Menurut pendapat peneliti berkenaan dengan putusan Hakim yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan sah PHK terhadap tergugat adalah yaitu bahwa PHK yang diatur dalam ketentuan PKB tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat. Adapun alasannya yaitu karena ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 telah memenuhi adanya jenis-jenis dan unsur-unsur penggelapan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan KUHP mengenai perbuatan tindak pidana penggelapan, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan PKB tersebut mengatur tentang PHK dengan perbuatan tindak pidana penggelapan. Mengenai ketentuan PHK dengan perbuatan tindak pidana penggelapan terdapat pada peraturan perundang-undangan yaitu UU Ketenagakerjaan yang disebut dengan PHK berdasarkan kesalahan berat.Peraturan perundang-undangan mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat terdapat pada Pasal 158 ayat (1) huruf a dalam UU Ketenagakerjaan yang berbunyi,Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.Berdasarkan ketentuan diatas maka pengusaha dapat mem-PHK pekerja/buruh berdasarkan kesalahan berat karena telah melakukan perbuatan tindak pidana penipuan, pencurian, atau penggelapan barang atau uang milik perusahaan. Untuk membuktikan kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh harus didukung dengan bukti yaitu berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (2) dalam UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi :a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atauc. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.Berkaitan dengan PHK berdasarkan kesalahan berat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan MK No.012/PUU-I/2003 Tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Isi amar putusannya menyatakan bahwa, Pasal 158 dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maksud dalam Putusan MK ini salah satunya membatalkan pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sebagai alasan yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK karena dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah. Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangannya menilai PHK yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan kesalahan berat adalah dilakukan tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan SE Menakertrans No.SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada butir 3 huruf a yang menyatakan bahwa, pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat berdasarkan Pasal 158, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti kesalahan berat yang terdapat pada Pasal 158 dalam UU Ketenagakerjaan adalah diberlakukan kembali atau dapat dijadikan dasar untuk mem-PHK seorang pekerja/buruh apabila terhadapnya telah ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dan sebagai bukti hukum yang nantinya dapat dijadikan bukti dalam perselisihan PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.Mengenai ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 telah memenuhi adanya jenis-jenis dan unsur-unsur penggelapan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHP tentang perbuatan tindak pidana penggelapan, sehingga untuk membuktikan bahwa pelaku yang telah melakukan tindak pidana penggelapan harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan hasil penelitian pada ketentuan PKB tersebut mengatur apabila pekerja/buruh telah melakukan perbuatan tindak pidana penggelapan serta melanggar ketentuan PKB tersebut maka dapat dilakukan PHK, berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu UU Ketenagakerjaan, Putusan MK No 012/PUU-I/2003 dan SE Menakertrans No SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 apabila pekerja/buruh telah melakukan perbuatan tindak pidana penggelapan maka dapat dilakukan PHK setelah adanya putusan hakim pidana. Hal ini telah membuktikan bahwa ketentuan PKB tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat.Menurut pendapat peneliti berkenaan dengan pertimbangan Hakim yang menyatakan bahwa, PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 berlakulah sesuai ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) BW yang menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 BW akan mengikat kedua pihak yang akan membuatnya sebagai undang-undang adalah yaitu bahwa ketentuan PKB tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mengikat kedua belah pihak. Adapun alasannya yaitu mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 bertentangan dengan PHK berdasarkan kesalahan berat sebagaimana yang diatur pada peraturan perundang-undangan, maka dalam ketentuan PKB tersebut yang mengatur tentang PHK berdasarkan kesalahan berat tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW yaitu bertentangan dengan suatu sebab yang halal.Suatu sebab yang halal dalam syarat sahnya suatu perjanjian ditujukan kepada isi perjanjian tersebut atau dalam hal ini, yaitu isi dalam perjanjian pada ketentuan PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian maka ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 yang mengatur tentang PHK berdasarkan kesalahan berat tersebut adalah batal demi hukum (null and void). Oleh karena ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka ketentuan PKB tersebut juga tidak menjadi layaknya undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat kedua belah pihak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

3. Ketepatan putusan Hakim Mahkamah Agung tentang PHK berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada putusan Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 yang menyatakan bahwa, Alasan-alasan keberatan dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena hakim pengadilan hubungan industrial telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang, dan menerapkan hukumnya. Diketahui bahwa putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan sah PHK terhadap tergugat yang berlaku efektif tertanggal 22 Februari 2013. Menurut pendapat peneliti berkenaan dengan putusan Hakim yang menyatakan bahwa, tergugat telah melanggar ketentuan dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 dan menyatakan sah PHK terhadap tergugat adalah tidak tepat. Adapun alasannya yaitu bahwa Alwi dinyatakan telah melanggar ketentuan PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 pada Pasal 44 ayat (44.2.4) dan (44.4) serta lampiran 3 Nomor 23 yang berbunyi, Mencoba untuk mengambil komisi, keuntungan, uang, hadiah, dan/atau menerima dalam bentuk apapun kompensasi secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan posisinya diketahui bahwa ketentuan PKB tersebut telah memenuhi adanya jenis-jenis dan unsur-unsur penggelapan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan KUHP mengenai tindak pidana penggelapan.Alwi yang diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan, untuk membuktikan bersalah atau tidaknya harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Walaupun terdapat bukti-bukti yang berupa rekaman CCTV dan data laporan pembukuan valet record namun bukti-bukti tersebut tidaklah sah untuk menyatakan bahwa Alwi telah melakukan perbuatan tindak pidana penggelapan karena bukti-bukti tersebut belum melalui proses pembuktian di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana.Mengenai PHK terhadap alwi adalah terkait PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mengikat kedua belah pihak karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan pasal 158 ayat (1) huruf a dalam UU Ketenagakerjaan yang berbunyi,Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.Berdasarkan ketentuan diatas maka pengusaha dapat mem-PHK pekerja/buruh berdasarkan kesalahan berat karena telah melakukan perbuatan tindak pidana penipuan, pencurian, atau penggelapan barang atau uang milik perusahaan. Untuk membuktikan kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh harus didukung dengan bukti yaitu berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (2) dalam UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi :a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atauc. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.Bukti-bukti pada ketentuan diatas harus dibuktikan pada pengadilan melalui hukum acara pidana untuk memperoleh putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap untuk membuktikan bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Apabila pekerja/buruh telah dinyatakan bersalah melakukan kesalahan berat oleh putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap maka, pengusaha dapat melakukan PHK. Hal tersebut sesuai dengan Putusan MK No 012/PUU-I/2003 dan butir 3 huruf a dalam SE Menakertrans No SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 yang menyatakan bahwa, pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini dikarenakan unsur kesalahan berat mengenai penggelapan terhadap Alwi telah terpenuhi sehingga untuk memutus hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut maka PHK berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PENUTUPSimpulanPada putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014, Hakim Mahkamah Agung mendasarkan putusannya pada ketentuan PKB PT. Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 mengenai PHK berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya yaitu putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan menolak permohonan kasasi Alwi, karena perkara mengenai perselisihan PHK terhadap Alwi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Hakim Mahkamah Agung tidak tepat. PHK berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB PT.Sari Puri Permai periode tahun 2011-2013 terhadap Alwi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mengikat kedua belah pihak karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 dan SE Menakertrans Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada butir 3 huruf a yang menyatakan bahwa, pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat Pasal 158, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dikarenakan unsur kesalahan berat mengenai penggelapan terhadap Alwi telah terpenuhi sehingga untuk memutus hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat harus di proses di pengadilan sesuai dengan hukum acara pidana sampai adanya putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut maka PHK berdasarkan kesalahan berat terhadap Alwi adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SaranBerdasarkan hasil pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan saran kepada para pihak yaitu :1. Kepada hakim dalam memutus perkara mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam perjanjian kerja bersama diharapkan lebih teliti mempertimbangkan adanya faktor yuridis yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat dan mempertimbangkan adanya putusan hakim pidana berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahan berat pekerja/buruh.2. Kepada pengusaha diharapkan dalam pembuatan perjanjian kerja bersama harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dalam pelaksanaanya tidak terjadi permasalahan berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat.3. Kepada serikat pekerja/serikat buruh diharapkan dapat lebih memahami mengenai substansi dari suatu perjanjian kerja bersama yang telah disepakati agar dalam pelaksanaanya tidak terjadi permasalahan berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat.4. Kepada pekerja/buruh diharapkan mengetahui mengenai pemutusan hubungan kerja berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.5. Kepada Dinas Ketenagakerjaan diharapkan lebih giat mengadakan sosialisasi dan penyuluhan mengenai hukum ketenagakerjaan.

DAFTAR PUSTAKABukuAnwar, Moch. 1997. Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II). Bandung: Alumni.Asikin, Zainal, et al. 2010. Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers.Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.Chazawi, Adami. 2006. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Jakarta: Bayu Media.Damanik, Sehat. 2006. Hukum Acara Perburuhan, Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Jakarta: Dss Publishing.Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Farianto, Darmanto Law Firm. 2009. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Gultom, Sri Subiandini. 2008. Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima Promosindo.Harahap, M. Yahya. 2007. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar GrafikaH.S., Salim. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.--------------. 2008. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.Husni, Lalu. 2006. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Ibrahim, Johnny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.-----------------. 2009. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. 2009. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta: Sinar Grafika.Machmud, Syahrul. 2014. Hukum Acara Khusus Pada Pengadilan Hubungan Industrial. Yogyakarta: Graha Ilmu.Maimun. 2007. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita.Miru, Ahmadi. 2010. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers.Muazd, Farid. 2006. Pengadilan Hubungan Industrial dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Diluar Pengadilan. Jakarta: Ind-Hill-Co.Mulyadi, Lilik dan Agus Subroto. 2011. Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori Dan Praktik. Bandung: PT. Alumni.Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.Rahayu, Devi. 2011. Hukum Ketenagakerjaan Teori dan Studi Kasus. Yogyakarta: New Elmatera.Sidabutar, Edi Sutrisno. 2007. Pedoman Penyelesaian PHK. Jakarta: Praninta Offset.Soepomo, Iman. 1983. Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan.-----------------. 1983. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.-----------------. 1990. Hukum Perburuhan: Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan.Suratman. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Indeks.Wijayanti, Asri. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.Wiwoho, Soedjono. 1983. Hukum Pengantar Perdjandjian Kerdja. Jakarta: Bina Aksara.

Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).Herziene Inlandsch Reglement tentang Pelaksanaan Tugas Kepolisian, Peradilan Perkara Perdata dan Penuntutan Perkara Pidana terhadap Golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1941 Nomor 44).Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316).Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359).Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356).Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 57/G/2013/PHI.SBY Perihal Gugatan PT. Sari Puri Permai Hotel, tanggal 2 September 2013.Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 K/Pdt.Sus-PHI/2014 Perihal Permohonan Kasasi Alwi, tanggal 27 Maret 2014.

WebsiteHukum Online. PHK Karena Kesalahan Berat Harus Tunggu Putusan Pengadilan. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14058/phk -karena-kesalahan-berat-harus-tunggu-putusan-pengadilan, (diakses pada tanggal 14 Februari 2015).

PerjanjianPerjanjian Kerja Bersama PT. Sari Puri Permai Periode Tahun 2011 2013.