Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Analisis Putusan Kasasi No. 242 K/Pdt.Sus/2012 Mengenai Pengadaan
Lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric
(GE) Transportation Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha
Muhammad Alpian Ramli & Ditha Wiradiputra1
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK
Dalam meningkatkan pelayanan transportasi kepada masyarakat, PT Kereta Api
Indonesia (Persero) senantiasa memperbarui lokomotif-lokomotif miliknya dengan cara
membeli dari General Electric (GE) Transportation secara langsung (Penunjukan
Langsung). Namun, pada pengadaan lokomotif tahun 2009, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa kedua perusahaan tersebut telah
melakukan persekongkolan tender. Setelah dilakukan upaya hukum keberatan, putusan
KPPU tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Bandung dan pada tingkat kasasi,
permohonan kasasi KPPU ditolak oleh Mahkamah Agung. Pertimbangan majelis hakim
adalah karena pengadaan lokomotif ini bukan termasuk tender sehingga tidak terikat
pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu pengadaan lokomotif ini sesuai dengan
Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 yang memperbolehkan BUMN
melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa. Penelitian ini
membahas aspek hukum penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa
ditinjau dari hukum persaingan usaha sehingga penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan menggunakan regulasi terkait hukum persaingan usaha. Di
akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan
General Electric (GE) Transportation tidak terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5
Tahun 1999 karena pengadaan lokomotif ini bukan termasuk tender dan telah dilakukan
sesuai Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008.
Kata kunci:
Penunjukan Langsung, Persekongkolan Tender, Pengadaan Lokomotif, Hukum
Persaingan Usaha
ABSTRACT
In ordert to improve public transport services, PT Kereta Api Indonesia (Persero)
always renews his locomotives by buying them from General Electric (GE)
Transportation directly (Direct Appointment). However, in the locomotive procurement
in 2009, Commission the Supervision of Business Competition (KPPU) condemned that
both companies had made bid rigging. After objection, the verdict was canceled by the
Bandung District Court, and the KPPU’s aplication was also rejected by the Supreme
Court on cassation level. Consideration of the judges was because the procurement was
1 Muhammad Alpian Ramli adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
mempertahankan skripsinya di hadapan sidang penguji. Ditha Wiradiputra adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Alpian dalam menulis skripsinya yang berjudul “Analisis Putusan Kasasi No. 242 K/Pdt.Sus/2012 Mengenai Pengadaan Lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation Ditinjau dari Hukum Persaingan Usaha”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
2
not a tender so that it was not bound by Article 22 of Law No. 5 of 1999. Besides this
locomotive procurement was in accordance with the SOEs Ministerial Regulation No.
Per-05/MBU/2008 allowing SOEs perform direct appointment in the procurement of
goods/services. This research discussed the legal aspects of direct appointment in the
procurement of goods and services in terms of antitrust law so that this research method
used a normative juridical regulations relating to antitrust law. At the end of the study,
the author concluded that PT Kereta Api Indonesia (Persero) and General Electric (GE)
Transportation was not proven to have violated Article 22 of Law No. 5 of 1999
because the locomotive procurement was not tender and had been performed in
accordance with the SOEs Ministerial Regulation No. Per-05/MBU/2008.
Key words:
Direct Procurement, Bid Rigging, Locomotive Procurement, Antitrust Law
A. PENDAHULUAN
Pengadaan barang dan jasa merupakan kegiatan yang sering dan rutin dilakukan, baik di
lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan swasta. Tujuannya adalah untuk memperoleh
barang/jasa yang dibutuhkan Instansi Pemerintah (atau swasta jika yang melakukan
pengadaan barang/jasa adalah pihak swasta) dalam jumlah yang cukup, dengan kualitas dan
harga yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam waktu dan tempat tertentu, secara efektif
dan efisien, menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku.2 Untuk pengadaan barang dan jasa
di lingkungan pemerintahan, pengaturannya mengacu pada Keputusan Presiden No. 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sedangkan untuk lingkungan
swasta pengaturan pengadaan barang dan jasa mengacu kepada keputusan direksi perusahaan
swasta tersebut.3
Namun pada tanggal 25 Juni 2007, Kementerian BUMN mengeluarkan Surat Edaran
bernomor S-298/S.MBU/2007 yang ditujukan kepada seluruh jajaran direksi, komisaris, dan
dewan pengawas BUMN untuk mengabaikan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan
bahwa BUMN ketika melaksanakan tender tidak terikat pada Keppres No. 80 Tahun 2003,
melainkan dapat membuat peraturan pengadaan sendiri dengan mengacu pada ketentuan Pasal
2 Presiden, Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi
Pemerintah, Keppres No. 18 Tahun 2000, Pasal 2 ayat (2). 3 Kementerian BUMN, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, Permen BUMN Nomor Per-05/MBU/2008, bagian Menimbang huruf b.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
3
99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran
BUMN.4
Setahun kemudian, Kementerian BUMN mengeluarkan Peraturan Menteri BUMN No.
Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Peraturan ini menjadi payung hukum bagi semua BUMN
dalam melakukan proyek pengadaan barang dan jasa yang tidak menggunakan dana dari
APBN/APBD.5 Melalui peraturan ini, BUMN dengan syarat-syarat tertentu diperbolehkan
untuk menunjuk langsung (penunjukan langsung) seorang atau lebih pelaku usaha untuk
menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan oleh BUMN tanpa melalui proses tender terlebih
dahulu.6 Namun, ketentuan ini banyak menimbulkan permasalahan dalam pengadaan barang
dan jasa di lingkungan BUMN karena sangat rentan terjadinya persekongkolan tender yang
dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Salah satu contoh kasus yang terkait dengan ketentuan penunjukan
langsung BUMN ini adalah kasus pengadaan lokomotif oleh PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dengan General Electric (GE) yang terjadi pada tahun 2009.
Melihat latar belakang tersebut, penelitian ini perlu dilakukan karena ada beberapa hal
yang secara hukum dapat ditelaah dan dikaji lebih jauh seperti adanya peraturan yang belum
banyak diketahui yaitu Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 yang
memperbolehkan BUMN melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa,
adanya penafsiran yang berbeda dari pihak KPPU maupun dari para pelaku usaha mengenai
penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa, serta adanya pertimbangan hukum yang
berbeda di tingkat Pengadilan Negeri maupun di Mahkamah Agung sehingga mengakibatkan
batalnya putusan KPPU.
a. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana aspek hukum penunjukan langsung yang dilakukan oleh PT Kereta
Api Indonesia (Persero) kepada General Electric (GE) dalam pengadaan
lokomotif ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha?
4 Kementerian BUMN, Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tentang Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, SE No. S- 298/S.MBU/2007. 5 Kementerian BUMN, Permen BUMN No.Per-05/MBU/2008, op cit, Psl.4. 6 Ibid, Ps. 5 ayat (2) huruf c jo. Ps. 9 ayat (3).
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
4
2. Apakah pengadaan lokomotif tersebut dapat dikategorikan sebagai tender dan
terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan kasasi No.242K/Pdt.Sus/2012
mengenai pengadaan lokomotif ini sehingga menyebabkan dibatalkannya putusan
KPPU?
b. Tujuan Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah dan pokok
permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui aspek hukum penunjukan langsung yang dilakukan oleh
BUMN khususnya PT Kereta Api Indonesia (Persero) kepada General Electric
(GE) dalam pengadaan lokomotif.
2. Untuk mengetahui apakah pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta
Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) Transportation melalui
penunjukan langsung dapat dikategorikan sebagai tender dan terikat oleh Pasal 22
UU No. 5 Tahun 1999.
3. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Kasasi No.242
K/Pdt.Sus/2012 sehingga menyebabkan dibatalkannya putusan KPPU.
B. TINJAUAN TEORITIS
a. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam lingkungan pemerintah, pengadaan barang dan jasa diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang kemudian diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 35
Tahun 2011 dan diubah kembali oleh Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Dalam
Perpres tersebut, pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah diartikan sebagai kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.7
Sedangkan dalam lingkungan BUMN, pengaturan pengadaan barang dan jasa dapat
tunduk pada Perpres No. 54 Tahun 2010 atau tidak. Apabila pengadaan barang atau jasa
7 Presiden, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun
2010, Ps. 1 angka 1.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
5
tersebut menggunakan dana dari APBN/APBD, baik sebagian ataupun seluruhnya, maka
pengaturannya berdasarkan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 yang telah dicabut
dengan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010. Sedangkan jika tidak menggunakan
APBN/APBD maka pengaturan pengadaan barang di lingkungan BUMN berdasarkan
Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008.8 Dalam Peraturan Menteri tersebut, pengadaan
barang/jasa didefinisikan sebagai “Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan
barang dan jasa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak
menggunakan dana langsung dari APBN/APBD.”9
b. Cara Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN
Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN, cara pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain tetapi tidak terbatas pada:
1. pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu diumumkan
secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada Penyedia Barang
dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan;
2. pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa konsultan, yaitu
pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas
sekurangkurangnya 2 (dua) penawaran;
3. penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara
langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest;
4. pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan
demikian nilainya berdasarkan harga pasar. 10
c. Tender
Dalam hukum persaingan usaha, salah satu hal yang sering menjadi obyek
persekongkolan adalah tender. Pengertian tender dapat ditemukan dalam berbagai sumber
seperti:
1. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang mencabut Keppres No. 18 Tahun 2000
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah), tender
atau pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai
8 Kementerian BUMN, Permen BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, bagian Menimbang huruf b. 9 Ibid, Ps 1 angka 1. 10 Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit, Ps. 5 ayat (2).
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
6
dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh
penyedia barang/jasa.11
2. Dalam Penjelasan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tender adalah tawaran mengajukan
sebuah harga untuk memborong suatu pekerjaan, maupun untuk pengadaan barang-
barang atau untuk menyediakan jasa-jasa tertentu.12
d. Persekongkolan Tender
Persekongkolan tender secara khusus diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 yang
berbunyi “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan /atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat”. Oleh karena itu, yang dilarang dalam Pasal tersebut adalah persekongkolan
(conspiracy dan collusion) antara pelaku usaha dengan pihak lain dalam penentuan pemenang
tender, yakni melalui pengajuan untuk menawarkan harga dalam memborong suatu pekerjaan
atau juga pengajuan penawaran harga untuk pengadan barang dan jasa-jasa tertentu. Akibat
dari persekongkolan dalam menentukan pemenang tender, seringkali timbul suatu kondisi
“barrier to entry” yang tidak menyenangkan/merugikan bagi pelaku usaha lain yang sama-
sama mengikuti tender (peserta tender) yang pada gilirannya akan mengurangi bahkan
meniadakan persaingan itu sendiri.
e. Penunjukan Langsung
Penunjukan langsung merupakan salah satu cara pengadaan barang dan jasa yang diatur
dalam Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008.13 Dalam regulasi tersebut, didefinisikan
Penunjukan Langsung yaitu sebagai cara pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara
langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest.14
Pasal 9 Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008 jo. Peraturan Menteri BUMN
No.15/MBU/2012 mengatur bahwa penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa di
lingkungan BUMN dapat dilakukan apabila memenuhi minimal salah satu dari persyaratan
sebagai berikut:
1. Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak dapat
ditunda keberadaannya (business critical asset);
2. Penyedia Barang dan Jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang spesifik);
11 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Keppres No. 80 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No. 120. 12 Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl. 22. 13 Kementerian BUMN, Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, Psl. 5. 14 Ibid, Psl. 5 ayat (2) huruf c.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
7
3. Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk menggunakan dan
memelihara produk tersebut membutuhkan kelangsungan pengetahuan dari Penyedia
Barang dan Jasa;
4. Bila pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa dengan menggunakan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan b telah dua kali dilakukan namun peserta
pelelangan atau pemilihan langsung tidak memenuhi kriteria atau tidak ada pihak yang
mengikuti pelelangan atau pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syarat-syarat
telah memenuhi kewajaran;
5. Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
atau yang memiliki jaminan (warranty) dari Original Equipment Manufacture;
6. Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset strategis
perusahaan;
7. Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang harga
yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas barang dan
jasa; Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun
nasional;
8. Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang sifatnya
tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya;
9. Penyedia Barang dan Jasa adalah BUMN dan/atau Anak Perusahaan sepanjang barang
dan/atau jasa yang dibutuhkan merupakan produk atau layanan dari BUMN atau Anak
Perusahaan dimaksud dengan ketentuan apabila BUMN dan/atau Anak Perusahaan
yang memproduksi atau memberi pelayanan yang dibutuhkan lebih dari satu, maka
harus dilakukan pemilihan langsung terhadap BUMN dan/atau Anak Perusahaan
tersebut.15
C. METODE PENELITIAN
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian yuridis normatif
yaitu penelitian yang menggunakan asas-asas hukum, sistematik hukum, serta dengan
mensinkronisasi beberapa peraturan perundang-undangan yang ada16. Alasannya adalah
karena pengadaan lokomotif yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan ditinjau
15 Kementerian BUMN, Peraturan Menteri BUMN No. 5/MBU/2008, op cit, Psl. 9. 16 Sri Mamudji, dkk. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm 9-10.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
8
dari perpektif hukum persaingan usaha dengan peraturan perundang-undangan terkait seperti
UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.
Sedangkan berdasarkan tempat diperolehnya data, penelitian ini menggunakan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan.17 Data sekunder yang digunakan terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.18
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa
peraturan perundang-undangan Indonesia seperti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia. Dalam penelitian ini akan digunakan bahan
hukum primer seperti UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008
Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik
Negara, dan lainnya.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisis, memahami, dan menjelaskan bahan hukum
primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, skripsi, tesis, penelusuran
internet, artikel ilmiah, jurnal, hasil seminar, bahan hasil penelitian dari universitas,
surat kabar, dan makalah. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan seperti buku
berjudul Hukum Persaingan Usahan: Antara Teks dan Konteks karangan Andi Fahmi
Lubis dan kawan-kawan, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum
Persaingan Usaha) karangan Budi Kagramanto, dan lainnya.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia atau kamus.
Salah satu bahan hukum tersier yang akan Penulis gunakan adalah kamus hukum
Black’s Law Dictionary.
D. PEMBAHASAN
1. Kasus Posisi
Kasus ini berawal pada tanggal 30 Desember 2008 dengan adanya niat PT Kereta Api
Indonesia (Persero) membeli lokomotif dari General Electric (GE) dengan alasan lokomotif
17 Ibid,hlm. 28 18 Ibid, hlm. 28-48.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
9
tersebut telah teruji dan para teknisi PT Kereta Api (Persero) pun sudah terbiasa dengan
lokomotif tersebut.19 Namun karena adanya peraturan internal yang tidak memperbolehkan
pembelian langsung apabila nilainya lebih dari Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)20
membuat PT Kereta Api (Persero) menetapkan metode penunjukan langsung dalam
pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif ini dengan konsekuensi hanya General Electric (GE) saja
yang akan diundang untuk mengajukan penawaran.
Kemudian pada tanggal 21 Juli 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menerima laporan tentang adanya dugaan persekongkolan tender pada pengadaan 20 (dua
puluh) unit Lokomotif CC 204 Tahun 2009 yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dengan General Electric (GE) Transportation.21 Hasilnya, KPPU menjatuhkan vonis
pada putusannya No. 05/KPPU-L/2010 yang menyatakan PT Kereta Api Indonesia (Persero)
dan General Electric terbukti melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang isinya adalah “pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” 22
Kemudian, General Electric (GE) Transportation dengan mengikutsertakan PT Kereta
Api Indonesia (Persero) melakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri Bandung.
Hasilnya, Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan putusan No.
01/Pdt/G/KPPU/2010/PN.BDG yang pada intinya membatalkan putusan KPPU dan
menyatakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) serta General Electric tidak terbukti
melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Kemudian pada tanggal pada tanggal 15 Juni 2011 KPPU
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya dalam putusan
No.242K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 28 Juni 2012, Mahkamah Agung menolak permohonan
kasasi dari KPPU.23
19 KPPU, Putusan No. 05/KPPU-L/2010, op cit, hlm 8-10. 20 Indonesia, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden
No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 85 Tahun 2006, lampiran 1 Bab I huruf c.
21 Ibid, hlm 2. 22 ibid, hlm. 91-92. 23 Mahkamah Agung, Putusan No. 242 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 92.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
10
2. Analisis Hukum
2a. Unsur-Unsur Penting Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tidak Terbukti
Dalam memutuskan perkara persekongkolan tender, KPPU menggunakan dasar hukum
Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pasal tersebut berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.”24
Dari pasal tersebut, terdapat beberapa unsur yang berdasarkan analisis Penulis tidak
terbukti sehingga pihak General Electric (GE) Transportation maupun PT Kereta Api
Indonesia (Persero) tidak terbukti melakukan pelanggaran Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.
Unsur-unsur yang dimaksud beserta analisisnya adalah sebagai berikut:
a. Unsur Bersekongkol
b. Unsur Pihak Lain
c. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender
d. Unsur Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat
Ad.a Unsur Bersekongkol
Penjabaran uraian dalam Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
bersekongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas
inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender
tertentu. Pedoman ini menyatakan juga bahwa persekongkolan dapat terjadi dalam 3 (tiga)
bentuk, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan dari
persekongkolan horizontal dan vertikal.25
Selain itu, Pasal 1 huruf 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persekongkolan sebagai berikut:
“Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”26
Dari definisi tersebut, diketahui bahwa dalam persekongkolan mensyaratkan adanya
bentuk kerjasama untuk menguasai pasar bersangkutan. Sedangkan berdasarkan putusan
KPPU No. 05/KPPU-L/2010, KPPU sama sekali tidak dapat memberikan bukti tertulis,
24 UU Persaingan Usaha, op cit, psl. 22. 25 KPPU, Pedoman Pasal 22, op cit, hlm. 15-17. 26 Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl 1 angka 8.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
11
keterangan saksi, catatan pertemuan, atau informasi dalam bentuk apapun yang
menunjukan adanya suatu kerjasama atau kesepakatan yang dilakukan oleh General
Electric (GE) Transportation dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Semua tindakan
yang dilakukan oleh General Electric (GE) dengan PT KAI sesuai dengan prosedur
pengadaan barang dari PT KAI dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan pengadaan
lokomotif. Dengan kata lain, tidak ada persekongkolan yang dilakukan GE dan PT KAI
sehingga unsur ini tidak terbukti.
Ad. b. Unsur Pihak Lain
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah para pihak (vertikal dan horizontal) yang
terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha
sebagai peserta ataupun subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.
Pembuktian unsur pihak lain dibuktikan berdasarkan bukti adanya keterlibatan pihak lain
dalam proses tender.27
Dalam menentukan General Electric (GE) Transportation sebagai pihak yang
menyediakan 20 (dua puluh) lokomotif, pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero)
mengambil keputusan semata-mata berdasarkan pertimbangan efisiensi tanpa terpengaruh
pihak GE. Oleh karena itu, unsur pihak lain ini tidak terpenuhi karena tidak adanya
paksaan atau pengaruh untuk memilih GE sebagai penyedia lokomotif.
Ad.c. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender
Yang dimaksud dengan tindakan mengatur dan/atau menentukan adalah suatu
perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan
untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan
peserta tender tersebut yang antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria pemenang,
persyaratan teknis, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya.28
KPPU di dalam putusannya No. 05/KPPU-L/2010 tidak dapat memberikan bukti
apapun yang dapat menunjukan adanya kesepakatan untuk mengatur dan menentukan
pemenang tender. Selain itu, pengadaan lokomotif ini bukan merupakan bagian dari tender
atau pelelangan secara umum, akan tetapi pengadaan lokomotif yang melalui mekanisme
27 Yuliana Juwita, larangan persekongkolan tender berdasarkan hukum persaingan usaha, suatu
perbandingan pengaturan di indonesia dan jepang, jakarta: fakultas hukum program pascasarjana, 2003, hlm. 62
28 Ibid, hlm. 63
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
12
penunjukan langsung yang sejak awal memang PT KAI berkeinginan membeli lokomotif
dari General Electric (GE).
PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengaku sejak awal memang berniat membeli
lokomotif dari GE dengan alasan lokomotif tersebut telah teruji dan para teknisi PT. Kereta
Api (Persero) sudah terbiasa dengan lokomotif dari GE, namun keinginan membeli
langsung tersebut terhambat oleh aturan internal yang tidak memperbolehkan pembelian
langsung apabila nilainya Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) atau lebih, sehingga
PT. Kereta Api (Persero) menetapkan metode penunjukkan langsung dalam pengadaan 20
(dua puluh) lokomotif ini dengan konsekuensi hanya GE yang akan diundang unuk
mengajukan penawaran.29 Singkatnya, tidak ada tindakan untuk mengatur atau menentukan
pemenang tender karena sejak awal PT KAI memang berkeinginan membeli lokomotif dari
GE. Oleh karena itu, unsur mengatur dan/atau menentukan pemenang tender juga tidak
terpenuhi
Ad.d. Unsur Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 1 angka 6 UU Persaingan Usaha memberi batasan terhadap istilah persaingan
usaha tidak sehat sebagai berikut:
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.”30
Unsur ini juga tidak terpenuhi karena KPPU tidak dapat memberikan bukti adanya
perbuatan GE dan PT KAI secara tidak jujur dan melawan hukum dalam pengadaan
lokomotif. Secara historis, GE telah menjalankan usahanya di Indonesia sejak tahun
1952.31 Sepanjang sejarah, pihak GE selalu taat dan patuh terhadap hukum di Indonesia
serta mempunyai reputasi yang baik di masyarakat.
Selain itu, alasan mengapa PT KAI memilih GE adalah karena mereka harus berhati-
hati untuk membeli lokomotif baru agar tidak menimbulkan masalah lain sehingga harus
melakukan investasi tambahan. Mereka sudah sejak lama menggunakan produk GE sejak
PT KAI masih berbentuk Perjan. Teknisi dan infrastruktur yang dimiliki saat ini pun sudah
memahami produk GE dengan baik sehingga akan memakan biaya tambahan lain lagi
29 Mahkamah Agung, op cit, hlm. 64. 30 Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Psl 1 angka 6. 31 Mahkamah Agung, op cit, hlm. 26.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
13
apabila menggunakan lokomotif pabrikan lain.32 Oleh karena itu tidaklah tepat jika
dikatakan telah terjadi persaingan tidak jujur atau melawan hukum yang menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dalam pengadaan lokomotif ini.
2b. Pengadaan Lokomotif In Casu Bukan Termasuk Tender Sehingga Tidak Terikat
Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c Permen BUMN Nomor Per- 05 /MBU/2008 Tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara
dijelaskan bahwa “penunjukan langsung yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan
secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty
contest”.33 Dan dalam Pasal 9 ayat (1) Permen tersebut juga dinyatakan bahwa “Pengadaan
Barang dan Jasa melalui penunjukan langsung dilakukan dengan menunjuk langsung 1 (satu)
atau Penyedia Barang dan Jasa”.34
Dari kedua ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa pengertian perundang-undangan
mengenai Penunjukan Langsung adalah penunjukan secara langsung pada 1 (satu) barang
dan/atau penyedia barang/jasa, dalam arti tidak ada pihak lain atau kompetitor dari
barang/jasa atau penyedia barang/jasa yang ditunjuk secara langsung tersebut.
Sedangkan berdasarkan Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999, tender adalah tawaran
mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau
untuk memborong suatu pekerjaan, untuk menyediakan jasa.35 Dalam hal ini tidak disebut
jumlah yang mengajukan penawaran, oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha saja.
Dari perbandingan pengertian antara penunjukan langsung dan tender tersebut dapat
diambil perbedaan antara keduanya. Perbedaannya yaitu pada penunjukan langsung pihak
penyelenggara pengadaan sudah menentukan atau menunjuk satu pihak yang akan menjadi
penyedia barang atau jasa yang diinginkan, sedangkan pada tender pihak penyelenggara akan
menentukan atau memilih satu pihak yang melakukan penawaran paling baik dari banyak
peserta yang mengikuti tender.
Selanjutnya, Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:
32 Ibid, hlm. 27. 33 Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit. 34 Ibid, Pasal 9 ayat (1). 35 Indonesia, UU Persaingan Usaha, op cit, Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
14
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
mengatur tentang persekongkolan tender yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ketentuan dari
pasal ini tidak berlaku terhadap pengadaan 20 (dua puluh) unit lokomotif yang dilakukan oleh
PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) pada tahun 2009. Alasannya
adalah karena pengadaan lokomotif tersebut bukanlah tender yang mana sejak awal PT Kereta
Api Indonesia (Persero) berkeinginan untuk membeli lokomotif dari General Electric (GE).
Dengan kata lain dalam pengadaan lokomotif ini tidak perlu dilakukan tender, cukup dengan
penunjukan langsung saja apabila sudah ada penyedia barang/jasa tertentu yang diinginkan
oleh penyelenggara pengadaan barang/jasa. Oleh karena bukan termasuk tender, maka
pengadaan lokomotif ini tidak terikat oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai
persekongkolan tender.
Jadi, pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia dengan General
Electric (GE) bukan termasuk tender karena sejak awal PT Kereta Api Indonesia (Persero)
memang berkeinginan membeli lokomotif dari GE. Oleh karena pengadaan lokomotif ini
tidak sama dengan tender, maka pengadaan lokomotif ini tidak terikat oleh Pasal 22 UU No. 5
Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. Dengan kata lain, dalam kasus ini PT Kereta
Api Indonesia (Persero) dan General Electric (GE) Transportation tidak dapat dikatakan
melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender.
2c. Prosedur Penunjukan Langsung Berbeda dengan Prosedur Tender
Selain memiliki perbedaan dalam pengertian, pengadaan lokomotif in casu juga berbeda
dalam prosedur pelaksanaannya sehingga pengadaan lokomotif ini bukan dalam lingkup
tender. Penjelasan mengenai mekanisme tender dan penunjukan langsung juga terdapat pada
Pasal 20 Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa. Metode pelelangan umum terbagi menjadi dua yaitu dengan prakualifikasi atau
dengan pascakualifikasi yang secara lengkap sebagai berikut:
a. Dengan Prakualifikasi:
1. pengumuman prakualifikasi;
2. pengambilan dokumen prakualifikasi;
3. pemasukan dokumen prakualifikasi;
4. evaluasi dokumen prakualifikasi;
5. penetapan hasil prakualifikasi;
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
15
6. pengumuman hasil prakualifikasi;
7. masa sanggah prakualifikasi;
8. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi;
9. pengambilan dokumen lelang umum;
10. penjelasan;
11. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
12. pemasukan penawaran;
13. pembukaan penawaran;
14. evaluasi penawaran;
15. penetapan pemenang;
16. pengumuman pemenang;
17. masa sanggah;
18. penunjukan pemenang;
19. penandatanganan kontrak;36
b. Dengan Pascakualifikasi:
1. pengumuman pelelangan umum;
2. pendaftaran untuk mengikuti pelelangan;
3. pengambilan dokumen lelang umum;
4. penjelasan;
5. penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
6. pemasukan penawaran;
7. pembukaan penawaran;
8. evaluasi penawaran termasuk evaluasi kualifikasi;
9. penetapan pemenang;
10. pengumuman pemenang;
11. masa sanggah;
12. penunjukan pemenang;
13. penandatanganan kontrak.37
Sedangkan untuk mekanisme penunjukan langsung, prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. undangan kepada peserta terpilih;
2. pengambilan dokumen prakualifikasi dan dokumen penunjukan langsung;
3. pemasukan dokumen prakualifikasi, penilaian kualifikasi, penjelasan, dan
pembuatan berita acara penjelasan;
4. pemasukan penawaran;
5. evaluasi penawaran;
6. negosiasi baik teknis maupun biaya;
7. penetapan/penunjukan penyedia barang/jasa;
8. penandatanganan kontrak.38
Dari prosedur tender dan prosedur penunjukan langsung yang telah diuraikan
sebelumnya, Penulis berpendapat bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya, yaitu:
36 Indonesia, Keppres No. 80 Tahun 2003, op cit, Psl 20. 37 Ibid, Pasal 20 38 Ibid.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
16
1. Pada tender, kesempatan untuk menjadi peserta tender diberikan kepada pelaku usaha
siapa saja yang dapat memenuhi kualifikasi. Sedangkan pada penunjukan langsung,
pihak penyelenggara pengadaan barang/jasa langsung memilih dan mengundang satu
pihak penyedia barang/jasa saja yang kemudian akan didengar presentasinya dan
dinegosiasikan baik teknis maupun biaya.
2. Pada tender, karena ada lebih dari satu peserta tender sehingga pihak penyelenggara
harus mengevaluasi dan memilih satu di antara beberapa peserta tender tersebut.
Sedangkan pada penunjukan langsung, pihak penyelenggara sejak awal sudah
berkeinginan untuk menunjuk pihak tertentu sebagai penyedia barang/jasa.
Berdasarkan perbedaan tersebut, maka pengadaan lokomotif yang dilakukan PT Kereta
Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) termasuk penunjukan langsung karena
PT Kereta Api Indonesia hanya mengundang General Electric (GE) saja untuk
mempresentasikan lokomotif buatannya. Oleh karena pengadaan lokomotif ini menggunakan
mekanisme penunjukan langsung, maka pengadaan lokomotif ini berbeda dengan tender.
2d. Pengadaan Lokomotif In Casu Sudah Sesuai dengan Regulasi
Dalam melakukan pengadaan 20 (dua puluh) lokomotif dengan penunjukan langsung
kepada General Electric (GE), PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada sehingga proses pengadaan pun telah memiliki dasar
hukum yang kuat. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Surat Edaran Kementerian BUMN No.S-298/S.MBU/2007 yang ditujukan kepada
seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN. Isi dari surat edaran
tersebut pada intinya adalah bahwa BUMN ketika melaksanakan tender tidak terikat
pada Keppres No. 80 Tahun 2003 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, melainkan dapat membuat peraturan pengadaan sendiri dengan mengacu
pada ketentuan Pasal 99 PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Selain itu, diperkenankan bagi BUMN untuk
melakukan penunjukan langsung apabila kegiatan pengadaan barang/jasa bersifat
mendesak.
2. Pasal 17 ayat (5) Keputusan Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa:
“Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa
dapat dilakukan dengan cara penunjukkan langsung terhadap 1 (satu) penyedia
barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
17
sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan”39
3. Pasal 5 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa
Badan Usaha Milik Negara yang kedudukannya lebih tinggi dan sekaligus menjadi
dasar Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa PT Kereta Api Indonesia
(Persero) disebutkan bahwa “penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa
atau melalui beauty contest”.40
Dan dalam Pasal 9 ayat (1) Permen tersebut dinyatakan bahwa “Pengadaan Barang
dan Jasa melalui penunjukan langsung dilakukan dengan menunjuk langsung 1 (satu)
atau Penyedia Barang dan Jasa”.41
Pada Pasal 9 ayat (3) Permen tersebut juga dijelaskan bahwa BUMN
diperbolehkan untuk melakukan penunjukan langsung apabila memenuhi persyaratan
tertentu, salah satunya seperti pengadaan yang dilakukan merupakan pembelian yang
berulang (repeat order) pada pihak tertentu sepanjang harga yang ditawarkan
menguntungkan dan tidak mengorbankan kualitas barang dan jasa. Telah diketahui
bahwa lokomotif General Electric (GE) Transportation telah digunakan PT Kereta Api
Indonesia (Persero) sejak lama serta teknisi maupun infrastruktur perkeretaapian di
Indonesia telah memahami produk General Electric (GE).42
Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengadaan 20 (dua
puluh) lokomotif yang diadakan oleh PT Kereta Api Indonesia dan General Electric (GE)
Transportation dengan mekanisme penunjukan langsung telah dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu,
pengadaaan lokomotif ini tidak melanggar hukum, khususnya hukum persaingan usaha.
2e. KPPU Tidak Dapat Menghadirkan 2 (Dua) Alat Bukti
Pada dasarnya KPPU dalam membuktikan adanya persekongkolan tender harus
menggunakan alat bukti yang telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 42 UU NO. 5 Tahun
1999. Alat-alat bukti yang digunakan oleh KPPU berupa:
a. Keterangan Saksi
39 Indonesia, Keppres No. 80 Tahun 2003, op cit. 40 Kementerian BUMN, Permen BUMN Nomor Per-05/Mbu/2008, op cit. 41 Ibid, Psl. 9 ayat (1). 42 Mahkamah Agung, op cit, Psl. 14.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
18
b. Keterangan Ahli
c. Surat dan Dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan Pelaku Usaha43
Akan tetapi, pada perkara pengadaan lokomotif ini KPPU tidak dapat menghadirkan
minimal 2 (dua) alat bukti yang dapat menunjukan adanya kerjasama atau kesepakatan
yang menunjukan persekongkolan antara General Electric (GE) dengan PT Kereta Api
Indonesia (Persero). KPPU hanya menggunakan asumsi dan persangkaannya bahwa telah
terjadi persekongkolan tender antara kedua perusahaan tersebut. Oleh karena tidak dapat
menghadirkan dua alat bukti, maka putusan KPPU seharusnya batal demi hukum.
2f. Putusan Lain KPPU Terkait Penunjukan Langsung
Pada pengadaan Proyek Outsourcing Roll Out Customer Information tahun 2006 yang
dilakukan oleh PLN kepada Netway secara langusng (penunjukan langsung), terlihat
inkonsistensi dari KPPU dalam menjatuhkan putusan No.03/KPPU-L/2006. Pada putusan
tersebut KPPU menilai bahwa penunjukan langsung yang dilakukan oleh PLN kepada
Netway bukan merupakan tender.44
Sedangkan pada pengadaan lokomotif in casu, KPPU menilai bahwa penunjukan
langsung PT KAI dengan General Electric (GE) termasuk ke dalam tender. Sedangkan kedua
kasus tersebut (pengadaan lokomotif dan pengadaan jasa outsourcing roll out) merupakan hal
yang sama yaitu pengadaan barang/jasa dengan mekanisme penunjukan langsung. Jadi, masih
terlihat keragu-raguan dari KPPU dalam memberikan batasan antara penunjukan langsung
dan tender dalam pengadaan barang dan jasa.
E. KESIMPULAN
Dari penjelasan serta analisis yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa hal yang
menjadi kesimpulan serta menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Kesimpulan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengadaan lokomotif yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan
menunjuk langsung General Electric (GE) sebagai penyedia lokomotif telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Peraturan Menteri BUMN No. Per-
43 KPPU, Peraturan Komisi Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Perkom KPPU No. 1 Tahun
2006, Psl 64. 44 KPPU, Putusan No. 03/KPPU-L/2006
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
19
15/MBU/2012 memperbolehkan BUMN, termasuk PT Kereta Api Indonesia
(Persero), dalam hal-hal tertentu untuk menunjuk langsung (penunjukan langsung)
satu pihak sebagai penyedia barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa tanpa melalui
proses tender terlebih dahulu.
b. Pengadaan lokomotif yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General
Electric (GE) Transportation dengan mekanisme penunjukan langsung bukan
termasuk tender. Alasannya adalah karena PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejak
awal memang berkeinginan membeli lokomotif dari General Electric (GE) sehingga
mekanisme pengadaannya cukup dengan penunjukan langsung, bukan dengan tender
yang diikuti oleh beberapa peserta tender. Karena pengadaan lokomotif ini tidak
termasuk tender, maka pengadaan lokomotif ini tidak terikat pada Pasal 22 UU No. 5
Tahun 1999 mengenai persekongkolan tender. Oleh karena tidak terikat dengan Pasal
22 UU No. 5 Tahun 1999, maka PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan General
Electric (GE) Transportation tidak dapat dikatakan telah melakukan persekongkolan
tender.
c. Pada Putusan Kasasi No: 242 K/Pdt.Sus/2012, majelis hakim berpendapat bahwa
Pengadilan Negeri tidak salah dalam menerapkan hukum (judex facti) sehingga dalam
putusan tersebut majelis hakim menolak permohonan kasasi dari KPPU. Majelis
hakim berpendapat bahwa proses penunjukan langsung, tidak termasuk lingkup tender
yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 5/1999 sehingga PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dan General Electric (GE) tidak terbukti melakukan pelanggaran Pasal 22
UU No. 5/1999. Majelis hakim juga berpendapat bahwa pengadaan lokomotif yang
dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan General Electric (GE) telah
sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN No. 05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksaan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan BUMN
F. SARAN
Dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, Penulis memiliki beberapa saran yaitu:
a. Kepada pemerintah dan pembentuk undang-undang, perlu dibuatnya pembatasan yang
jelas antara penunjukan langsung dan tender dalam pengadaan barang dan jasa.
Karena selama ini masih banyak pihak yang memiliki penafsiran berbeda terhadap
penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa.
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013
20
b. Kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), perlu dilakukan sosialisasi yang
intensif mengenai persekongkolan tender kepada banyak pihak seperti pelaku usaha,
mahasiswa, serta praktisi hukum maupun ekonomi. Hal ini karena pihak-pihak
tersebut perlu pemahaman mengenai persekongkolan tender yang mendalam serta dari
sumber yang terpercaya yaitu KPPU.
c. Kepada para pelaku usaha, perlu dibuatnya peraturan internal mengenai tata cara dan
teknis pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan peraturan perundangan-
undangan serta yang tidak menimbulkan multitafsir.
G. KEPUSTAKAAN
Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 33, TLN No. 3817.
________, Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres No. 54
Tahun 2010.
________, Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No. 120.
Juwita, Yuliana. “Larangan Persekongkolan Tender Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha,
Suatu Perbandingan Pengaturan di Indonesia dan Jepang. Tesis Magister Universitas
Indonesia. Jakarta, 2003.
Kementerian BUMN. Peraturan Menteri BUMN Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Negara BUMN No. Per-05/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengadaan Barang Dan Jasa BUMN, Permen BUMN No. Per-15/MBU/2012.
_________, Peraturan Menteri Negara BUMN Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Pengadaan Barang Dan Jasa BUMN, Permen BUMN No. Per-05/MBU/2008.
_________, Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tentang
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN. SE No. S- 298/S.MBU/2007.
KPPU, Peraturan Komisi Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Perkom KPPU
No. 1 Tahun 2006.
_________, Putusan No. 03/KPPU-L/2006
_________, Putusan No: 05/KPPU-L/2010
Mahkamah Agung, Putusan Kasasi No: 242 K/Pdt.Sus/2012
Mamudji, Sri, dkk. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pengadilan Negeri Bandung, Putusan No. 01/Pdt/G/KPPU/2010/PN.BDG
Analisis putusan kasasi..., Muhammad Alpian Ramli, FH UI, 2013