Upload
dangthu
View
235
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DAYA SAING
DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH
(Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan
Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
OLEH
RETNO KHAIRUNNISA
H14070068
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
RETNO KHAIRUNNISA. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan
Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak
Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa
Barat) (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO)
Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon
dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini
hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70
persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS)
dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding
membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan
melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang
penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk
melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi
tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta
mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap
daya saing usahaternak tersebut.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi jumlah produksi, biaya produksi, total
penerimaan usaha peternakan sapi perah anggota peternak KPS Bogor KUNAK
yang didapatkan dari hasil pengamatan, pengisisan kuisioner dan wawancara
secara langsung kepada pihak peternak dan pihak-pihak terkait lainnya seperti
penjual susu, pegawai atau pengurus KPS Bogor dan KPS Bogor KUNAK. Data
sekunder yang digunakan adalah data input output fisik usaha sapi perah, harga
finansial dan ekonomi input output usaha sapi perah, struktur ongkos usaha sapi
perah dan data pendukung lainnya yang diperoleh melalui fasilitas internet. Data
sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari
beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Badan Pusat
Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, Gabungan Koperasi Susu (GKSI),
dan studi pustaka melalui pengumpulan data yang berasal dari literatur dan buku-
buku. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan
kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Sampel dari
penelitian ini adalah para anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) KPS Bogor.
Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di
KUNAK memiliki daya saing yang baik, baik dari segi tingkat keuntungan,
keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif di tingkat privat maupun
di tingkat sosial. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat dan keuntungan
sosial yang lebih besar dari nol pada ketiga skala usaha. Selain itu pada ketiga
skala usaha tersebut, nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu. Hal
ini mengindikasikan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada masing-masing skala
usaha dalam menghasilkan komoditi susu segar.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah seperti penerapan bea masuk atas susu impor.
Terdapat dua skenario yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini, yaitu (1).
Penghapusan tarif impor susu sebesar lima persen, (2). Penetapan tarif impor susu
sebesar 15 persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penghapusan
tarif impor akan menurunkan tingkat keuntungan baik pada tingkat privat maupun
tingkat sosial. Selain itu penghapusan tarif impor susu berdampak pada penurunan
tingkat daya saing usahaternak sapi perah yang ditandai oleh semakin besarnya
nilai PCR dan DRC. Peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap
daya saing usahaternak sapi perah, yaitu akan meningkatkan nilai keuntungan
peternak dan meningkatkan nilai keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif.
Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan bagi para peternak
sebaiknya meningkatkan usahaternaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas
sehingga dapat meningkatkan nilai pendapatan peternak, misalnya melalui
diversifikasi produk yang dihasilkan. Bagi pemerintah disarankan untuk
melakukan peninjauan ulang terhadap penetapan tarif impor susu sehingga dapat
meningkatkan efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah, misalnya dengan
menetapkan tarif impor susu sebesar 15 persen atau 20 persen. Selain itu perlu
adanya peninjauan kembali mengenai bantuan kredit kepada peternak dan subsidi
pakan dan obat-obatan. Hal lain yang harus menjadi aspek penting adalah perlu
adanya penerapan kebijakan penyerapan seluruh Susu Segar Dalam Negeri
(SSDN) bagi IPS unuk meningkatkan kesejahteraan peternak lokal.
ANALISIS DAYA SAING
DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH
(Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan
Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
Oleh
RETNO KHAIRUNNISA
H14070068
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
Retno Khairunnisa
H14070068
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Retno Khairunnisa, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22
Januari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan
Bapak Tohar Jumali, SE. MM dan Ibu Ni Wayan Rusmiati. Penulis menjalani
pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001di
SDN Duren Seribu 04, Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan
tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Bogor.
Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 2
Bogor dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu
Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi
mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung dengan HIPOTESA
(Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai
staff divisi pada Divisi Informasi, Promosi dan Hubungan Internal dan organisasi
IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai anggota.
Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti
HIPOTEX-R 2009, Latihan Kepemimpinan dan Organisasi (LKO) IMEPI
Jabagbar 2010, Economic Work (E-work) 2010, Olimpiade Mahasiswa IPB tahun
2008 dan 2009, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.
Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Daya
Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah
(Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan
Bogor KUNAK, Jawa Barat)” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Daya Saing dan Dampak
Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus
: Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor
KUNAK, Jawa Barat)”. Usahaternak sapi perah merupakan salah satu prioritas
utama subsektor peternakan dalam menunjang pembangunan nasional. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini.
Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:
1. Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam
proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Tanti Novianti, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik,
M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas segala masukan, kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi penulis.
3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Kedua Orangtua tercinta Papa Tohar Jumali, SE. MM. dan Mama Ni Wayan
Rusmiati dan adikku tersayang Fitrianty Rahmadhania serta segenap keluarga
besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan
baik moril maupun materil serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Nhimas Antyan Banumasyta,
Fitriani Sucianti, dan Ika Mustika atas semangat, motivasi, doa, dan
perjuangan yang luar biasa ini.
6. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Michelle, Ajeng , Icca, Hesti, Sari,
Reni, Opie, Ainur, Amboii, Ranin, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman Rempati Kost : Tami, Dede, Ima, Sherly, Hanum, dan Mba
Arta atas bantuan dan dukungannya serta semangat bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. HIPOTESA dan INTEL 2010 atas semangat dan motivasinya yang luar biasa.
9. Seluruh anggota peternak KPS Bogor KUNAK, pengurus KPS Bogor, Staff
Direktorat Jenderal Peternakan RI dan Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor, Bapak Saptana (PSEKP), Anggun Eka, dan Mbak Andin
yang telah membantu penulis memperoleh data dan telah memberikan
pengetahuan dan informasi sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Retno Khairunnisa
H14070068
Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah
(Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha
Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
ABSTRAK
Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon
dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini
hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70
persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS)
dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding
membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan
melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang
penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk
melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi
tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta
mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap
daya saing usahaternak tersebut. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif dan kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis
Matrix (PAM). Sampel dari penelitian ini adalah para anggota peternak di
Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor. Hasil analisis menunjukkan
bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki daya saing yang baik,baik
dari segi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif maupun keunggulan
komparatif, dan peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap daya
saing usahaternak sapi perah.
Kata Kunci: Usahaternak Sapi Perah, Daya Saing, Koperasi, Policy
Analiysis Matriks (PAM)
Analysis of Competitiveness and Business Impact of Government Policies to
Dairy Farm
(Case Study: Farmers Cooperative Dairy and Livestock Members
Production KUNAK Bogor, West Java)
ABSTRACT
The high demand for dairy commodities can not respond properly by the milk
producers. The number of domestic milk production is currently only 30 percent that can meet consumer demand, while the remaining 70 percent must be imported from abroad.
Milk Processing Industry (IPS) in the country tend to choose to import milk than to buy
fresh milk produced by farmers. This causes weakening of the competitiveness of dairy cows. Government policy regarding the application of import duty of five percent is not
considered effective to protect and enhance the competitiveness of dairy cows. This study
aims to determine the level of competitiveness of dairy cows in terms of profitability,
competitive advantage and comparative advantage, and to determine the impact of government policies such as import tariffs on the competitiveness of livestock enterprises.
The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis tools
with the Policy Analysis Matrix (PAM). Samples from this study are members of the farmers in the area of Livestock (Kunak) KPS Bogor. The analysis showed that the
business of dairy cows in Kunak have a good competitiveness, both in terms of profit,
competitive advantage and comparative advantage, and increase in import tariffs will be
positively associated with the competitiveness of dairy cows.
Keyword: Dairy Cattle, Competitiveness, Policy Analiysis Matriks (PAM)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 7
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 13
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 13
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Usahaternak Sapi Perah ......................................................................... 15
2.2. Produksi Susu ....................................................................................... 16
2.3. Konsep Daya Saing ............................................................................... 17
2.4. Teori Keunggulan Kompetitif ................................................................ 18
2.5. Keunggulan Komparatif ........................................................................ 18
2.6. Kebijakan Pemerintah ........................................................................... 20
2.6.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output ................................... 22
2.6.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input ...................................... 25
2.7. Penentuan Harga Bayangan ................................................................... 28
2.8. Analisis Sensitivitas .............................................................................. 29
2.9. Teori Matriks Kebijakan ........................................................................ 29
2.10. Penelitian Terdahulu ............................................................................. 32
2.11. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 35
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 39
3.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 39
3.3. Metode Penentuan Sampel .................................................................... 40
3.4. Metode Analisis Data ............................................................................ 41
3.4.1. Menentukan Input dan Output .................................................... 41
3.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ........................... 42
3.4.3. Alokasi Biaya Produksi .............................................................. 42
3.4.4. Alokasi Biaya Tataniaga .............................................................. 43
3.4.5. Metode Analisis Harga Bayangan ................................................ 43
3.4.5.1. Harga Bayangan Nilai Tukar ................................................ 44
3.4.5.2. Harga Bayangan Output ....................................................... 45
3.4.5.3. Harga Bayangan Input ......................................................... 46
1) Harga Bayangan Pakan Ternak ........................................... 46
2) Harga Bayangan Obat-obatan ............................................. 47
3) Harga Bayangan Tenaga Kerja ............................................ 47
4) Harga Bayangan Lahan ....................................................... 48
5) Harga Bayanagan Pajak ...................................................... 48
ii
6) Harga Bayangan Tataniaga ................................................. 49
3.5. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) ............................. 49
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Desa ........................................................................ 57
4.1.1. Gambaran Umum Desa Situ Udik ............................................... 57
4.1.2. Gambaran Umum Desa Pasarean ................................................. 59
4.1.3. Gambaran Umum Desa Pamijahan .............................................. 60
4.2. Gambaran Umum KPS Bogor dan KUNAK ......................................... 63
4.2.1. Lokasi ......................................................................................... 63
4.2.2. Struktur Organisasi KPS Bogor ................................................... 64
4.2.3. Unit Usaha Koperasi ................................................................... 66
4.3. Gambaran Umum Responden ................................................................ 67
4.3.1. Status Usahaternak Sapi Perah. .................................................... 68
4.3.2. Umur ........................................................................................... 68
4.3.3. Pendidikan .................................................................................. 69
4.3.4. Jenis dan Jumlah Kepemiikan Sapi Laktasi ................................. 69
4.3.5. Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan ................................. 70
4.3.6. Tenaga Kerja ............................................................................... 72
4.3.7. Produksi dan Penjualan Hasil Ternak ........................................... 72
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah ...................... 74
5.1.1. Keunggulan Kompetitif ............................................................... 78
5.1.2. Keunggulan Komparatif .............................................................. 81
5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah ................................................... 84
5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ..................... 86
5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output .................. 90
5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output ......... 93
5.2. Analisis Sensitivitas ............................................................................... 97
5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima
Persen menjadi Nol Persen............................................................ 99
5.2.2. Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen. 101
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 104
6.2. Saran ..................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 109
LAMPIRAN .................................................................................................. 112
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1. Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor) ............................... 2
Tabel 1.2. Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010....................... 5
Tabel 1.3. Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009 ................ 9
Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ...................................... 22
Tabel 2.2. Tabel Analisis matriks Kebijakan ................................................. 31
Tabel 4.1. Penduduk Desa Situ Udik Menurut Mata Pencaharian ................. 58
Tabel 4.2. Jumlah Populasi Ternak Desa Situ Udik ...................................... 58
Tabel 4.3. Penduduk Desa Pasarean Menurut Tingkat Pendidikan ................ 60
Tabel 4.4. Penduduk Desa Pasarean Menurut Mata Pencaharian ................... 60
Tabel 4.5. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Mata Pencaharian ................ 62
Tabel 4.6. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Tingkat Pendidikan ............. 62
Tabel 4.7. Karateristik Responden Berdasarkan Umur .................................. 68
Tabel 4.8. Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............. 69
Tabel 4.9. Karateristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi
Laktasi ......................................................................................... 70
Tabel 5.1. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah di
KUNAK pada Kondisi Tarif Impor Lima Persen Tahun 2010
(Rp/Liter) ..................................................................................... 75
Tabel 5.2. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan ..................... 78
Tabel 5.3. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan Pada
Kondisi Tarif Impor Nol Persen, Lima Persen, dan 15 Persen ..... 98
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional
Tahun 2009 ............................................................................. 1
Gambar 1.2. Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun
2005-2009 (Ton) ...................................................................... 6
Gambar 2.1. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable .................................... 25
Gambar 2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable ............................ 27
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 38
Gambar 4.1. Struktur Organisasi KPS Bogor ............................................... 65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alokasi Input-Output Tahun 2000 ............................................ 112
Lampiran 2. Alokasi Budget Privat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil,
Menengah dan Besar ................................................................ 113
Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar ................................... 114
Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu .............................. 115
Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan .................................. 116
Lampiran 6. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak ................................ 116
Lampiran 7. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen ................... 117
Lampiran 8. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen ................ 117
Lampiran 9. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen ..................... 118
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bidang peternakan sebagai subsektor dari pertanian merupakan bidang
usaha yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terkait dengan
kesiapan subsektor peternakan dalam hal penyediaan bahan pangan hewani
untuk masyarakat. Dewasa ini pentingnya pembangunan pertanian khususnya
subsektor peternakan telah dirasakan dalam menunjang pembangunan Nasional
secara menyeluruh. Berdasarkan data Ditjennak (2010), nilai share Produk
Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap Nasional atas dasar harga
berlaku pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 persen.
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
Gambar 1.1 Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional
Tahun 2009
15%
7%
3%2%
2%
1%70%
Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional
Tahun 2009
(Atas Dasar Harga Berlaku)
Pertanian
Bahan Makanan
Perikanan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Nasional
2
Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan
serta meratakan taraf hidup rakyat. Terdapat enam sasaran pokok yang diharapkan
dalam pembangunan subsektor peternakan, yaitu meningkatkan pendapatan,
memperluas lapangan kerja, menunjang program konservasi tanah, menghemat
devisa negara, meningkatkan produktivitas dan turut serta dalam program
peningkatan gizi masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
peternakan untuk memenuhi kebutuhan gizi maka pembangunan peternakan saat
ini telah diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui
pendekatan kewilayahan, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan
landasan baru yaitu efisiensi, produktivitas dan berkelanjutan (sustainability).
Untuk mencapai tujuan tersebut, prioritas utama pada subsektor peternakan
adalah pada pengembangan usaha ternak sapi perah.
Berdasarkan data populasi sapi perah per provinsi tahun 2004 sampai
2009 jumlah populasi sapi perah tertinggi terdapat di pulau Jawa. Total populasi
sapi perah di pulau Jawa pada tahun 2004 sampai 2009 adalah sebanyak
2.413.059 ekor.
Tabel 1.1 Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor)
No. Provinsi Populasi Sapi Perah
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Jawa Timur 132.789 134.043 136.497 139.277 212.322 221.743
2 Jawa Tengah 112.155 114.116 115.158 116.260 118.424 120.677
3 Jawa Barat 98.958 92.770 97.367 103.489 111.250 117.337
4 DI Yogyakarta 7.772 8.212 7.231 5.811 5.652 5.495
5 DKI Jakarta 3.407 3.347 3.343 3.685 3.355 2.920
Jumlah/total
(Indonesia) 364.062 361.351 369.008 374.067 457.577 474.701
Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
3
Usaha sapi perah yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan
susu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan juga melihat
perkembangan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan dan meningkatnya
kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya gizi. Oleh karena itu subsektor
peternakan semakin dituntut untuk berperan serta dalam rangka pemenuhan
kebutuhan gizi dengan meningkatkan produksi melalui proses pengembangan
budidaya. Usahaternak sapi perah merupakan bisnis yang prospektif dan dapat
memberikan kesejahteraan kepada peternak jika dikelola dengan baik, seperti
pemberian pakan ternak dengan kualitas yang baik sehingga susu yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik dan harga jual yang tinggi.
Saat ini produksi susu di dalam negeri baru memenuhi 30 persen dari
kebutuhan konsumsi nasional, sedangkan 70 persen masih harus diimpor.
Rendahnya produksi susu secara nasional terjadi karena rendahnya produktivitas
sapi perah yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Peternakan
2010, total ketersediaan susu pada tahun 2009 sebesar 2.204,6 ribu ton yang sudah
termasuk di dalamnya berasal dari impor. Ketersediaan susu mengalami
peningkatan sebesar 0,2 persen menjadi 9,53 kg/kapita/tahun dari 9,5
kg/kapita/tahun. Meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun akan tetapi belum bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan susu
didalam negeri. Total permintaan susu pada tahun 2009 adalah 2.684 ribu ton,
dimana penyediaan dalam negeri baru mencapai sekitar 827,2 ribu ton. Hal ini
menunjukkan antara persediaan dan permintaan susu di Indonesia terjadi
4
kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan atau permintaan akan susu jauh lebih
besar daripada ketersediaan susu yang ada di dalam negeri.
Kekurangan produksi susu segar dalam negeri merupakan peluang yang
besar bagi para peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya guna
memenuhi permintaan dalam negeri dan untuk meningkatkan daya saing usaha
peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya daya saing usaha ternak sapi
perah terlihat pada hasil akhir atau output usaha peternakan yaitu susu. Harga
susu dalam negeri tidak dapat merespon kenaikan harga susu di pasar
internasional dengan baik. Pada tahun 2007, dimana harga susu dunia meningkat
cukup tinggi, sehingga imbangan antara harga susu segar di dalam negeri
terhadap harga susu impor setara susu segar bahkan hanya mencapai 42 persen
(Priyanti dan Saptati, 2008). Selain itu rendahnya daya saing terjadi karena
adanya disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak
yang disebabkan oleh posisi tawar menawar peternak dan koperasi yang rendah
terhadap IPS. Selain itu banyak peternak yang belum mampu menghasilkan susu
sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS.
Untuk meningkatkan daya saing usaha ternak sapi perah, perlu dilakukan
berbagai upaya seperti adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan
peternak. Peningkatan daya saing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri serta
kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Dalam Siregar (2009), faktor pemicu
daya saing dibedakan berdasarkan (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit
usaha, seperti strategi produk, teknologi, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor
5
yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis, kebijakan
perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan
regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan
kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan,
seperti lingkungan alam (Malian et al. 2004).
Tabel 1.2 Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010
Tahun Produksi (000 Ton)
2004 549.90
2005 536.00
2006 616.50
2007 567.70
2008 647.00
2009 827.20
2010*) 927.80 Keterangan : *) angka sementara
Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
Berdasarkan data pada Tabel 1.2, jumlah produksi susu nasional dari tahun
2002 hingga 2008 secara nasional mengalami flukuasi yang cukup signifikan
dengan trend yang cenderung meningkat. Pada tahun 2009 jumlah produksi susu
nasional sebanyak 827.20 ribu ton dan diperkirakan jumlah produksi susu
nasional pada tahun 2010 akan mengalami peningkatan mencapai 927.80 ribu ton.
Menurut Ditjennak (2010) pada tahun 2009 Jawa Barat merupakan salah
satu penghasil susu terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Berdasarkan data publikasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009), jumlah
populasi sapi perah di Jawa Barat pada tahun 2009 sebanyak 117.839 ekor. Untuk
jumlah produksi susu di wilayah Provinsi Jawa Barat juga terus mengalami
peningkatan dari tahun 2005 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 jumlah
6
produksi susu di Provinsi Jawa Barat mencapai 249.455.736 liter atau 256.440
ton.
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009)
Gambar 1.2 Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun
2005-2009(Ton)
Di Indonesia, 90 persen peternak sapi perah yang tergabung dalam
koperasi merupakan peternak rakyat dengan skala kepemilikan satu sampai
sembilan ekor. Secara umum, koperasi berfungsi untuk menguatkan kelompok
peternak dalam menghadapi pasar susu yang cenderung oligopoli. Selain
menyediakan input dan menjamin pemasaran susu, koperasi juga menyediakan
fasilitas-fasilitas pendukung seperti pemberian kredit, kawin suntik (IB),
penyediaan pakan, dan lain-lain. KPS Bogor merupakan salah satu bentuk
koperasi produksi susu yang terdapat di Bogor dan merupakan salah satu faktor
yang dapat memicu peningkatan produktivitas susu sapi perah di Kabupaten
Bogor. Pada tahun 1996, KPS Bogor melalui Kepres No. 069/B/Tahun 1994
tentang bantuan kredit Banpres untuk perkembangan usahaternak sapi perah
mendirikan suatu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah di kawasan
0,000
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
2005 2006 2007 2008 2009
daging
susu
telur
7
Kabupaten Bogor. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) terbagi di dalam enam
kelompok ternak dan terbagi ke dalam dua kecamatan, yaitu kecamatan
Cibungbulang dan kecamatan Pamijahan. Tujuan dari pendirian KUNAK adalah
untuk mempermudah akses bagi para peternak kepada koperasi dan sebagai usaha
merelokasi usaha ternak sapi perah untuk menyatukan lokasi peternakan dan
mempermudah melakukan pembinaan terhadap peternak. Oleh karena itu
Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan merupakan sentra penghasil
susu yang potensial di Kabupaten Bogor.
1.2. Perumusan Masalah
Terdapat banyak kendala yang dihadapi oleh para peternak yang berada
di Kawasan peternak (KUNAK) dalam rangka mengembangkan usahaternak sapi
perah, diantaranya SDM perternak, masalah teknis, masalah permodalan,
misalnya bunga bank mahal dan kelembagaan. Salah satu masalah SDM peternak
yaitu masih rendahnya kemampuan peternak dalam hal kemampuan
mengembangkan budidaya khususnya kesehatan ternak dan mutu bibit yang
rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada lambatnya laju pertumbuhan produksi
susu dan berpengaruh juga terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Masalah teknis
yang biasa dihadapi oleh para peternak diantaranya masalah keterbatasan lahan
hijau untuk pengusahaan ternak, masalah transportasi yang menyangkut tingginya
biaya transportasi, dan masalah pengusahaan pakan bagi ternak mereka.
Selain permasalahan tersebut, masalah utama yang dirasa menghambat
produksi dan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diterima peternak
8
adalah masalah ekonomis. Masalah ekonomis yang dihadapi peternak yaitu
mahalnya harga pakan ternak konsentrat, yaitu mencapai Rp. 2.800 per kilogram.
Peningkatan harga pakan ternak tidak diikuti oleh peningkatan harga susu. Harga
susu yang diterima peternak dirasa sangat rendah, yaitu Rp. 2.800 per liter hingga
Rp. 3.100 per liter.
Susu segar dari hasil produksi para peternak sapi perah pada umumnya
dimanfaatkan oleh dua kelompok yaitu rumah tangga dan pabrik-pabrik
pengolahan susu. Rumah tangga memanfaatkan susu untuk konsumsi secara
langsung, sedangkan bagi pabrik-pabrik pengolahan susu dijadikan bahan baku
produksi untuk diolah menjadi output tertentu. Para peternak yang berada di
KUNAK melakukan berbagai inovasi sebagai upaya untuk tetap bertahan dalam
mengembangkan usahaternak sapi perah. Mereka mengembangkan produk olahan
seperti youghurt untuk dijual langsung kepada masyarakat, selain itu mereka juga
menjual susu segar langsung kepada masyarakat dengan harga jual yang cukup
tinggi, yaitu Rp. 5.000 per liter. Namun penjualan susu ke masyarakat juga
mendapatkan berbagai kendala, diantaranya sulitnya mencari pangsa pasar untuk
susu segar. Hal ini disebabkan karena jenis susu yang paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia adalah yang berbentuk hasil olahan. Preferensi
masyarakat dalam mengkonsumsi susu olahan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas susu lokal,
terbatasnya jangkauan dalam hal pemasaran susu segar, harga susu segar relatif
lebih mahal dibandingkan susu olahan dan sifat susu olahan yang lebih praktis dan
9
tahan lama dibandingkan dengan susu segar yang bersifat mudah rusak dan tidak
tahan lama (Simatupang et.al, 1998).
Berdasarkan data Ditjennak (2010), jumlah konsumsi susu masyarakat
Indonesia adalah 8.90 kg/kapita/tahun dengan konsumsi tertinggi adalah susu
kental manis, yaitu 6,28 kg/kapita/tahun, sedangkan untuk konsumsi susu segar
hanya sekitar 0,04 kg/kapita/tahun. Tingginya jumlah konsumsi susu yang tidak
diikuti oleh jumlah produksi susu dalam negeri menyebabkan perlu adanya
intervensi dari pemerintah. Pemerintah melakukan intervensi dengan membuat
kebijakan untuk melakukan impor komoditi susu dari luar negeri. Menurut
Kementrian Pertanian, pada dasarnya ada dua klasifikasi utama jenis susu yang
dapat diimpor, yaitu: (i) susu dan kepala susu (cream), tidak dipekatkan maupun
tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya dan; (ii) susu dan
kepala susu, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis
lainnya. Sebagian besar Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih memilih untuk
impor susu dibandingkan susu yang dihasilkan oleh peternak dalam negeri. Saat
ini IPS hanya akan membeli bila harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) lebih
murah dari harga bahan baku susu impor.
Tabel 1.3 Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009
Tahun Volume Impor (000 Ton)
2004 165.41
2005 173.08
2006 188.13
2007 198.22
2008 180.93
2009 166.50
Sumber : DirektoratJenderal Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
10
Intervensi pemerintah mengenai bea masuk bahan baku susu impor yang
terdapat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu.
PMK tersebut dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 2009. Dalam PMK ini dijelaskan
bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam negeri
perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk susu
tertentu. Dengan demikian, PMK Nomor 19/2009 tertanggal 13 Februari 2009
yang menetapkan tarif impor produk susu nol persen tidak berlaku lagi. Dalam
PMK Nomor 101/PMK.011/2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar lima
persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan,
yoghurt, kefir dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang
dipekatkan atau tidak.
Dengan adanya intervensi pemerintah berupa peningkatan bea masuk
impor terhadap produk susu dari nol persen menjadi lima persen disambut baik
oleh para peternak sapi perah. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut dapat
menjadikan daya saing industri susu dalam negeri menjadi meningkat dan dapat
membantu industri susu dalam negeri khususnya peternak sapi. Namun hal ini
masih dirasa dilematis, karena peningkatan tarif impor tersebut belum dirasakan
sepenuhnya oleh para peternak sapi dan dirasa daya saing persusuan nasional ini
belum mengalami peningkatan secara signifikan. Selain penerapan kebijakan tarif
impor susu masalah lain yang dihadapi oleh para peternak sapi perah adalah
adanya kebijakan pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan. Adanya
11
pengurangan subsidi pakan membuat harga pakan ternak yang diterima oleh para
peternak dirasa mahal. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas dari susu sapi
yang dihasilkan dari usaha peternakan tersebut. Rendahnya kualitas tersebut
dikarenakan peternak mengganti jenis pakan yang mereka gunakan dengan pakan
yang harganya lebih murah dan kualitas yang lebih rendah dibanding pakan yang
biasa mereka gunakan.
Permasalahan susu bukan hanya dalam hal kurangnya jumlah produksi
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga terdapat masalah lain seperti
rendahnya posisi tawar menawar peternak. Para peternak sapi perah cenderung
lebih menyukai menjual susu segar hasil perahan mereka langsung kepada
masyarakat dibandingkan menjual susu mereka ke KPS. Hal ini dikarenakan
harga jual susu segar kepada KPS lebih murah dibandingkan dengan harga jual
kepada masyarakat sebesar Rp 5000,00 per liter. Menurut mereka penjualan susu
segar kepada masyarakat atau konsumen secara langsung dirasa lebih
menguntungkan. Selain itu pihak koperasi sering juga dirugikan oleh pihak IPS
yang menuntut penurunan harga beli susu di tingkat peternak dan koperasi.
Pada tahun 2008 harga pembelian susu oleh IPS mengalami penurunan.
Hal ini dikarenakan adanya pemberlakuan penghapusan tarif impor susu untuk
mengatasi tingginya harga susu ditingkat konsumen. Namun kebijakan tersebut
berlawanan dengan peningkatan kesejahteraan produsen lokal. Hal ini diduga
akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar peternak susu dan koperasi
karena menyebabkan harga susu segar yang ditawarkan oleh peternak menjadi
menurun atau lebih murah. Pajak impor susu pada level lima persen,
12
menyebabkan harga jual susu peternak semakin rendah, sehingga banyak peternak
yang menghentikan usahanya karena harga tidak bisa menutupi biaya produksi.
Dampak jangka panjang adalah meningkatnya jumlah pengangguran,
kemampuan penciptaan nilai tambah berkurang, serta menurunnya kemampuan
swasembada pangan. Selain itu pajak masuk impor susu di Indonesia
menyebabkan dampak sistemik dalam hal penyediaan lapangan kerja dan
penyediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis secara
kuantitatif untunk mengetahui dampak pemberlakuan tarif impor susu sebesar
lima persen terhadap daya saing komoditi susu lokal khususnya dan perlu adanya
perumusan kebijakan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi perah
pada umumnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor
KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan
dari segi keuntungan?
2. Bagaimanakah dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha
peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK?
13
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian Analisis Daya Saing dan Dampak
Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah adalah sebagai
berikut :
1. Menganalisis daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor
KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan
dari segi keuntungan.
2. Menganalisis dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha
peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian ini,
maka diharapkan penelitian ini berguna:
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peternakan
sapi perah
2. Bagi peternak dapat memperoleh informasi dan masukan dalam upaya
peningkatan daya saing usaha peternakan sapi perah.
3. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi, sumbangan pemikiran dan
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut.
14
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat daya saing usaha
peternakan sapi perah yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK).
Kajian difokuskan pada usaha peternakan rakyat bukan kepada industri
pengolahan susu. Adapun yang menjadi batasan kajian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini difokuskan kepada para peternak yang berada di Kawasan
Usaha Peternakan (KUNAK) Kabupaten Bogor yaitu di wilayah Kecamatan
Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan khususnya di Desa Situ Udik, Desa
Pasarean dan Desa Pamijahan.
2. Penelitian ini di fokuskan kepada enam kelompok peternak dan pengukuran
daya saing koperasi dan komoditi susu hanya dilakukan pada level
usahaternak.
3. Tahun yang menjadi objek penelitian adalah tahun 2010
4. Penelitian ini membagi para peternak kedalam tiga skala usaha berdasarkan
kepemilikan jumlah sapi laktasi. Peternak yang memiliki sapi laktasi
sebanyak satu hingga tiga ekor dikategorikan sebagai usahaternak skala kecil,
kepemilikan sapi empat hingga tujuh ekor dikategorikan sebagai usaha ternak
skala menengah, dan kepemilikan sapi lebih dari tujuh ekor dikategorikan
sebagai usaha ternak skala besar.
5. Kebijakan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah Kebijakan Tarif
Impor Susu sebesar lima persen.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Usaha Ternak Sapi Perah
Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan
sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai
usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi
(dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah
campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi
perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki
lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih
dari 20 ekor sapi perah campuran.
Menurut Ditjennak (2006), usahaternak sapi perah di Indonesia
berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi : (1) usaha ternak sebagai
usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha
ternak sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebesar 30 samapai
dengan 70 persen; dan (3) usahaternak sebagai usaha pokok dimana tingkat
pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak.
Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan
jenis peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada
sistem pemeliharaan yang konvensional. Peternakan sapi perah rakyat kita
umumnya memiliki kepemilikan ternak yang tidak terlalu tinggi. Peternak rakyat
16
kita hanya mampu memiliki rata-rata kurang dari lima ekor per keluarga peternak.
Peternak ini umumnya membentuk kelompok-kelompok ternak untuk
memudahkan dan membantu kelancaran dalam aktivitas usaha ternaknya, seperti
penjualan susu, penyediaan konsentrat dan masuknya teknologi baru untuk
diaplikasikan dalam kegiatan usaha.
Dalam Pratama (2010), usahaternak sapi perah berdasarkan pola
pemeliharaannya diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok
peternak rakyat, peternak semi komersil, dan peternak komersil. Menurut
Erwidodo (1998) menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia
umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam usaha kecil, sedangkan
usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi
perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari
80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor,
17 persen peternak skala menengah dengan kepemilikan sapi perah empat sampai
tujuh ekor. Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional
disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, dan 28 pesen diproduksi
oleh usaha ternak sapi perah skala menengah serta sisanya delapan persen
dihasilkan oleh usaha ternak sapi perah skala besar (Swastika et,al. 2005).
2.2 Produksi Susu
Menurut Ditjennak (2006), susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan
menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan
makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya
atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan
17
anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara
anatomis disebut dengan ambing. Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh
manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.
Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar
dalam waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya,
rusak, diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak,
2010). Kemampuan sapi perah dalam memproduksi susu ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Dalam
Siregar (2009) faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu diantaranya,
umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen
pemeliharaan dan pakan. Jumlah pakan dan kualitas pakan yang diberikan
kepada sapi haruslah yang berkualitas tinggi karena pakan merupakan salah satu
faktor yang menentukan kemampuan berproduksi sapi perah. Apabila kualitas
pakan rendah, maka jumlah pakan yang diberikan harus lebih banyak.
2.3 Konsep Daya Saing
Daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk
menunjukan keunggulan dalam hal tertentu, dengan cara memperlihatkan situasi
dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil kerja yang lebih baik, lebih cepat
atau lebih bermakna dibandingkan dengan seseorang/organisasi/institusi lainnya,
baik terhadap satu organisasi, Sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi
dalam suatu industri. Daya saing identik dengan produktivitas (output/input)
berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya kapital dalam
18
penggunaanya secara efisien (Porter, 2009). Daya saing merupakan kemampuan
suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup
rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan
produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang sering
digunakan untuk mengukur tingkat daya saing adalah indikator keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif suatu negara serta tingkat keuntungan yang
dihasilkan dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.
2.4 Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengukur daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Konsep
keunggulan kompetitif didasarkan pada keadaan perekonomian yang tidak berada
dalam keadaan distorsi, namun hal ini sulit ditemukan dalam dunia nyata.
Keunggulan kompetitif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan finansial dari
suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas
ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut,
sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat
secara keseluruhan (Kadariah et.al, 1978). Komoditi yang memiliki keunggulan
kompetititf dikatakan juga memiliki efisiensi secara finansial.
2.5 Teori Keunggulan Komparatif
Hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage)
dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki
keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan
19
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa
berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan
tidak ada perdagangan. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam
memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih
kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki
kerugian absolut lebih besar (memiliki kerugian komparatif) (Salvator, 1997).
Keunggulan Komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo hanya
didasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja. Ricardo menganggap
keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang
menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu
komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara
langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya.
Namun pada kenyataannya tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi,
oleh karena itu konsep keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo
perlu diadakan perbaikan.
Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler
yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara,
sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost)
dipandang lebih relevan. Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari
komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya disini
menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk
menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin
tentang pola perdagangan menyatakan bahwa komoditi-komoditi yang dalam
20
produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi
(yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan
faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak lansung faktor
produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor
(Ohlin,1933 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993). Teori H-O menitikberatkan
pada perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi
sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara. Sehingga
teorema H-O dapat menjelaskan mengenai proses terbentuknya keunggulan
komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvator, 1997)
Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993)
konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan)
potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak
mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif
dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi.
2.6 Kebiajakan Pemerintah
Sebuah kebijakan adalah sebuah tindakan yang sengaja dibuat untuk
memandu keputusan dan mencapai tujuan-tujuan yang rasional. Kebijakan
biasanya mengacu pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting dalam
sebuah organisasi, termasuk identifikasi dari berbagai laternatif dan pemilihan
salah satu diantaranya berdasarkan dampak yang akan dihasilkan. Kebijakan
pemerintah ditetapkan dengan tujuan meningkatkan ekspor dan meningkatkan
daya saing produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri.
Dalam Tarsono (2006), sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga
21
tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh
pada saat alikasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah
keuntungan yang maksimum dan alikasi barang dan jasa memberikan kepuasan
tertinggi bagi konsumen. Pemerataan yang diharapkan terjadi pada sistribusi
pendapatan antara berbagai golongan masyarakat di berbagai wilayah yang
menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan
mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan
terjangkau (Pearson et.al, 2004).
Terdapat dua kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu
komoditas yang dapat mendukung terciptanya tujuan tersebut, yaitu subsidi dan
kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif
dan subsidi negatif. Subsidi positif merupakan pembiayaan dari pemerintah
sedangkan subsidi negatif berupa pembiayaan kepada pemerintah berupa pajak.
Kebijakan perdagangan dalam negeri adalah pembatasan yang diterapkan pada
impor atau ekspor terhadap suatu komoditi tertentu melalui pemberlakuan kuota
atau tarif. Pemberian kuota atau tarif dimaksudkan untuk menurunkan kuantitas
barang yang diperdagangkan secara internasional dan untuk menciptakan
perbedaan harga suatu komoditi pada pasar domestik dengan pasar internasional.
Kebijakan perdagangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan ekspor dan
kebijakan impor. Kebijakan ekspor dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi
konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan
dengan harga di pasar dunia. Kebijakan ini dapat dilakukan berupa penerapan
pajak ekspor. Sedangkan kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen
22
dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari pada harga di pasar dunia.
Kebijakan ini dapat dilakukan berupa pengenaan tarif impor dan kuota impor.
Setiap kebijakan pemerintah baik kebijakan subsidi maupun kebijakan
perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang
diproduksi oleh suatu negara yang pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing
komoditas tersebut di pasar internasional.
2.6.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output
Intervensi pemerintah pada harga output dibagi menjadi delapan tipe
kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson,
1989). Klasifikasi dari kebijakan harga komoditas tersebut dapat dilihat dari Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Instrumen Dampak terhadap Produsen Dampak terhadap
Konsumen
Kebijakan Subsidi
Tidak merubah harga pasar
dalam negeri.
Menrubah harga pasar
dalam negeri.
Subsidi Pada Produsen
Pada barang-barang
subtitusi impor (S+PI ; S-
PI)
Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE ;
S-PE)
Subsidi Pada Konsumen
Pada barang-barang
subtitusi impor (S+CI ;
S-CI)
Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE ;
S-CE)
Kebijakan Perdagangan
seluruhnya merubah harga
pasar dalam negeri
Hambatab pada barang impor
(TPI)
Hambatan pada barang
ekspor (TCE)
Sumber : Monke and Pearson (1989) Keterangan :
S + = Subsidi
S - = Pajak
PE = Produsen barang orientasi ekspor
PI = Produsen barang subtitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor
CI = Konsumen barang subtitusi impor
TCE = Hambatan barang ekspor
TPI = Hambatan barang impor
23
Tabel. 2.1 menjelaskan bahwa terdapat dua instrumen kebijakan harga
output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Subsidi
adalah pembayaran yang dilakukan dari atau untuk pemerintah. Pembayaran yang
dilakukan dari pemerintah merupakan subsidi positif sedangkan pembayaran yang
dilakukan untuk pemerintah, misalnya pajak adalah subsidi negatif. Kebijakan
penerapan subsidi (positif atau negatif) pada dasarnya untuk melindungi produsen
dan konsumen dalam negeri dengan cara menciptakan perbedaan harga domestik
dengan harga internasional.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang dilakukan pada ekspor
atau impor suatu komoditi. Pembatasan yang dilakukan dapat berupa penerapan
tarif atau biaya terhadap suatu komoditi yang di ekspor ataupun diimpor atau
dengan pembatasan kuantitas (jumlah) komoditi yang akan diekspor ataupun
diimpor. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri,
misalnya dengan pemberlakuan tarif impor maupun pembatasan kuantitas (kuota
impor) karena harga domestik lebih tinggi daripada harga di pasar dunia,
sedangkan kebijakan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri
karena harga domestik lebih rendah dibandingkan harga di pasar dunia.
Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan
pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif
kebijakan, dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989).
a. Implikasi pada Anggaran Pemerintah
Kebijakan subsidi berdampak pada anggaran pemerintah. Kebijakan
subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah sedangkan kebijakan
24
subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah. Akan tetapi kebijakan
perdagangan tidak memiliki dampak terhadap kebijakan pemerintah.
b. Tipe Alternatif Kebijakan
Terdapat delapan tipe alternatif kebijakan subsidi untuk produsen dan
konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang subtitusi impor, yaitu:
a) Subsidi positif kepada produsen barang subtitusi impor (S+PI)
b) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE)
c) Subsidi negatif kepada produsen barang subtitusi impor (S-PI)
d) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE)
e) Subsidi positif kepada konsumen barang subtitusi impor (S+CI)
f) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE)
g) Subsidi negatif kepada konsumen barang subtitusi impor (S-CI)
h) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)
Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan
membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah
demikian juga bagi konsumen, sedangkan penerapan subsidi negatif akan
membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan harga yang
diterima konsumen menjadi lebih tinggi.
Kebijakan perdagangan terdapat dua alternatif kebijakan, yaitu:
a) Hambatan perdagangan pada barang impor
b) Hambatan perdagangan pada barang ekspor
c. Tingkat Kemampuan Penerapan
Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi yang
tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi
25
dapat diterapkan untuk setiap komoditi baik komoditi yang tradable maupun
komoditi yang non tradable.
2.6.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input
Kebijakan pemerintah juga diterapkan pada input yang dapat
diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (non
tradable). Intervensi pemerintah berupa kebijakan subsidi baik positif maupun
negatif dapat mempengaruhi input tradable namun kebijakan hambatan
perdagangan tidak diterapkan pada input domstik (non tradable) karena input
domestik (non tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri.
1. Kebijakan Input Tradable
P S1 P S
S C S1
A C A B
Pw Pw
B D
Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q
(a) S - II (b) S + II Keterangan :
S – II = Pajak untuk Input Impor
S + II = Subsidi untuk Input Impor
Pw = Harga Pasar Dunia
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 2.1 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable
26
Kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan perdagangan dapat
diterapkan pada input tradable. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable
dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya
pengaruh pajak pada input tradable yang menyebabkan terjadinya peningkatan
biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama terjadi penurunan
permintaan domestik dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke kiri atas.
Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan
antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi untuk
menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1.
Gambar 2.1 (b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang
digunakan. Harga yang berlaku pada kondisi perdagangan bebas adalah sebesar
Pw dengan tingkat produksi yang dihasilkan sebesar Q1. Adanya kebijakan
subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya
produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan bawah
yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi
produksi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yang merupakan
pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu
Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.
2. Kebijakan Input Non Tradable
Kebijakan pemerintah berupa kebijakan perdagangan tidak dapat
diterapkan pada input non tradable katena input non tradable hanya diproduksi
dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada
input non tradable adalah kebijakan subsidi dan pajak. Kebijakan subsidi dan
27
pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat dari
ilustrasi pada Gambar 2.2.
P C S P S
Pc Pp C
Pd B A
Pd A B
Pp
D Pc E
Pp’ D
Q3 Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q
(a) S – N (b) S + N
Keterangan :
S – N = Pajak untuk Barang Non Tradable
S + N = Subsidi untuk Barang Non Tradable Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2.2 Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable
Harga sebelum ditetapkannya pajak dan subsidi berada pada tingkat Pd.
Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah
sebesar Pc sedangkan Pp adalah harga pada tingkat produsen setelah
diberlakukannya pajak dan subsidi. Pada gambar 2.2 (a) dapat dilihat bahwa
sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari
permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di
tingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik
menjadi Pc karena adanya pajak input non tradable. Dengan adanya pajak (Pc-Pd)
menyebabkan produksi mengalami pnurunan menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari
produsen yang hilang sebesar BEA dan dari konsumen yang hialng sebesar BCA.
28
Gambar 2.2 (b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi
terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari perminaan dan penawaran,
input non tradable berada pada Pd dan Q1. Produk yang dihasilkan mengalami
peningkatan menjadi Q2 akibat adanya kebijakan subsidi. Harga yang diterima
produsen menjadi labih tinggi yaitu sebesar Pp dan harga yang dibayarkan oleh
konsumen menjadi lebih rendah yaitu sebesar Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang
dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE. Kehilangan
efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan
meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk
membayar.
2.7 Penentuan Harga Bayangan
Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian
pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan
(Gittinger, 1982). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau
harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Hal
ini dikarenakan sulit ditemukannya kondisi biaya imbangan sama dengan harga
pasar. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut :
a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika
sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya,
b. Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya
diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.
29
2.8 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu alat analisis yang digunakan secara
sistematis untuk menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi (proyek) bila
terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam
perecanaan. Bila terjadi suatu kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat
dapat di evaluasi dengan mengunakan analisis sensitivitas. Hal ini dikarenakan
tujuan dari analisis sensitivitas adalah untuk melihat bagaimana perubahan hasil
suatu kegiatan ekonomi. Menurut Kadariah (1988), analisa sensitivitas dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya : (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang
penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu
persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap
perubahan-perubahan tersebut dan (2) menentukan dengan berapa suatu harus
berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.
2.9 Teori Matriks Kebijakan
Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas,
yaitu tingkat usaha tani (farm production), penyampaian dari usaha tani ke
pengolah, pengolahan serta pemasaran (Monke and Pearson, 1989).
Perhitungan dengan menggunakan matriks kebijakan dapat dilakukan
secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Kelebihan
model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resource Cost
30
Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat
menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing,
seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO
(Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection
Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC
(Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk
mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan
keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari
selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka
transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku
pada usahaternak sapi perah dan mengukur dampak dari adanya kegagalan
(failure) pasar.
Indikator daya saing meliputi: (1) PCR (Private Cost Ratio) atau RBP
(rasio biaya privat) dan (2) DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) atau BSD
(Biaya imbangan sumberdaya domestik). Rasio biaya privat adalah rasio biaya
domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan
efisiensi finansial. Apabila nilai PCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas ekonomi
efisien secara finansial dan kemampuan itu meningkat. Rasio biaya sumberdaya
domestik merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai biaya
faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR<1 dan makin kecil, maka
aktivitas ekonomi efisien secara ekonomik dalam pemanfaatan sumberdaya
domestik untuk menghemat satu-satuan devisa dan kemampuannya meningkat.
31
Sebaliknya DRCR>1, maka permintaan domestik lebih menguntungkan dengan
melakukan impor.
Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri atas empat tahap: (1)
penentuan masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang
akan dianalisis; (2) penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan
keluaran; (3) pemisahan seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing,
serta menghitung besarnya penerimaan, dan (4) menghitung dan menganalisis
berbagai indikator yang bisa dihasilkan oleh PAM. Guna menganalisis daya saing
dan dampak kebijaksanaan pemerintah digunakan alat analisis Policy Analysis
Matrix, seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tabel Analisis Matriks Kebijakan
Uraian Penerimaan Biaya
Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik
Privat A B C D
Ekonomi E F G H
Efek Divergensi I J K L
Sumber : Pearson et al (2005)
Keterangan : Penerimaan Privat (A) Biaya Input Domestik Sosial (G)
Biaya Input Tradable Privat (B) Keuntungan Sosial (H) = E - (F + G)
Biaya Input Domestik Privat (C) Transfer Output (I) = (A) - (E) Keuntungan Privat (D) = A - (B + C) Transfer Input (J) = (B) - (F)
Penerimaan Sosial (E) Transfer Factor (K) = (C) - (G)
Biaya Input Tradable Sosial (F) Transfer Bersih (L) = (D) - (H)=I - (J + K)
Rasio biaya private (PCR) = C / (A-B)
Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E-F)
Koefisien proteksi output nominal (NPCO) = A/E
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) = B / F
Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A-B) / (E-F)
Koefisien keuntungan (PC) = D / H
Rasio subsidi untuk produsen (SRP) = L / E
Matrik PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk
mengestimasi keuntungan privat, baris kedua untuk mengestimasi keunggulan
ekonomi dan daya saing (keunggulan komparatif) atau efisiensi, dan baris ketiga
32
merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan
divergensi. Untuk kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua
merupakan kolom biaya input tradable, kolom ketiga merupakan kolom biaya
input non tradable dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan yang
merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.
2.10 Penelitian Terdahulu
Kuraisin (2006) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan
Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajur Halang,
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) dengan menggunakan metode analisis
Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis didapatkan bahwa pada ketiga skala
usahaternak sapi perah yang ada di Desa Tajurhalang menguntungkan secara
finansial dan secara ekonomi dengan ada atau tidak adanya kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada komoditas susu menyebabkan surplus
produsen berkurang dimana keuntungan privat yang didapatkan lebih kecil
daripada keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif.
Kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan
membuat peternak tidak memperoleh insentif bagi peningkatan skala usahanya.
Nilai kebijakan tarif impor susu sangat rendah yaitu sebesar 5 persen, sehingga
meningkatkan jumlah impor susu oleh IPS. Hasil analisis sensitivitas terjadi
peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen, penurunan harga susu sebesar
5 persen, dan pada hasil analisis sensitivitas gabungan menunjukkan bahwa usaha
tani sapi perah pada ketiga skala usaha memiliki keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif.
33
Siregar (2009) tentang Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu
terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota
TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). Metode pengolahan dan analisis yang
digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM
menunjukkan bahwa TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat memiliki daya saing
secara finansial maupun ekonomi dalam menghasilkan susu sapi segar walaupun
dalam keadaan tarif impor susu sebesar nol persen. Nilai keuntungan privat lebih
besar dari nol yaitu Rp 604,35 per liter dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.058,20
per liter. Selain itu pengusahaan sapi perah tersebut juga memiliki keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif dilihat dari nilai DRC lebih kecil dari satu
yaitu 0,66 dan PCR sebesar 0,78. Dalam analisis sensitivitas di dapatkan hasil
adanya penghapusan tarif impor susu menyebabkan berkurangnya daya saing
komoditi susu sapi lokal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan
DRC yang mengindikasikan adanya penurunan nilai keunggulan komparatif dan
kompetitif.
Pratama (2010) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan
Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Perah (Studi Kasus Anggota Koperasi
Peternak Garut Selatan, Jawa Barat). Metode analisis yang digunakan adalah
Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil perhitungan menggunakan metode
PAM, usahaternak sapi perah memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.
Usahaternak sapi perah memiliki penerimaan privat dalam memproduksi susu
segar adalah sebesar Rp 787,9 per liter susu dan keuntungan sosial sebesar Rp
1.706,5 per liter. Akan tetapi, dari hasil analisis menunjukkan adanya divergensi
34
yang menjelaskan bahwa ada penyimpangan, sehingga peternak mendapatkan
hasil dari kegagalan tersebut baik kegagalan di pasar input maupun kegagalan si
pasar output. Berdasarkan hasil analisis perbulan, usahaternak sapi perah
mengntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Analisis sensitivitas
menunjukkan adanya kebijakan penghapusan tarif impor susu dari lima persen
menjadi nol persen menurunkan keuntungan privat dan sosial. Hal ini
menyebabkan adanya penurunan daya saing komoditi susu sapi lokal baik dari
aspek keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
Sunandar (2007) tentang Analisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah
terhadap Pengusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (kasus di Kecamatan
Cambai, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan). Metode analisis yang
digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil analisis karet alam
memiliki keunggulan kompetitif dan keuntungan finansial karena nilai
keuntungannya positif. Hal ini ditunjukkan dengan hasil PCR sebesar 0,43 dan
keuntungan privat sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Selain itu keunggulan
komparatif dengan nilai DRC sebesar 0,77 dan nilai keuntungan sosial yang
positif, yaitu sebesar Rp 2.791,39 per kilogram. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan dengan adanya perubahan harga output yang menurun sebesar 6
persen akan menaikkan harag input pupuk sebesar 6 persen dan dari hasil analisis
gabungan menujukkan bahwa pengusahaan komoditi tanaman karet alam
memiliki daya saing.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada
penelitian ini dilakukan dengan membagi usaha ternak pada ketiga skala usaha
35
berdasarkan kepemilikan sapi perah (laktasi). Peternak dengan kepemilikan sapi
laktasi satu hingga tiga ekor termasuk kedalam skala usaha kecil, skala usaha
menengah memiliki kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor dan skala
usaha besar memiliki sapi laktasi lebih dari tujuh ekor. Penelitian ini dilakukan
pada saat adanya kebijakan penetapan tarif impor lima persen oleh pemerintah,
selain itu lokasi serta waktu penelitian berbeda.
2.11 Kerangka Pemikiran Operasional
Susu merupakan salah satu komoditi hasil peternakan yang tingkat
konsumsinya tinggi yaitu mencapai 8.90 kg/kapita/tahun pada tahun 2009.
Tingginya konsumsi susu di Indonesia meningkatkan permintaan susu dalam
negeri. Peningkatan permintaan susu dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan Indonesia harus melakukan impor
susu dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Walaupun harga
susu impor jauh lebih tinggi dibanding harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN),
banyak konsumen, terutama konsumen industri memilih untuk mendapatkan susu
dari luar negeri. Tingginya harga susu impor tidak dapat merubah preferensi
perusahaan atau konsumen untuk mengalihkan konsumsi susu ke produsen atau
koperasi dalam negeri. Jumlah impor susu sapi sekitar 70 persen (GKSI, 2008),
hal ini dikarenakan kualitas susu lokal jauh lebih rendah bila dibandingkan susu
impor.
Rendahnya daya saing usahaternak sapi perah saat ini disebabkan karena
berbagai kendala, diantaranya rendahnya kualitas SDM peternak, permasalahan
36
teknis, masalah permodalan, dan masalah sosial kelembagaan. Rendahnya daya
saing tersebut bedampak pada jumlah dan kualitas susu yang dihasilkan dari
usahaternak sapi perah. Salah satu pengembangan usahaternak sapi perah berada
di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). KUNAK yang berada dibawah KPS
Bogor merupakan salah satu sentra penghasil susu terbesar di wilayah Kabupaten
Bogor. Peternak yang berada dikawasan KUNAK mengembangkan usahaternak
sapi perah yang terbagi kedalam tiga skala usaha yaitu peternak yang memiliki
jumlah sapi laktasi kurang dari tiga ekor, peternak yang memiliki jumlah sapi
laktasi tiga sampai tujuh ekor, dan peternak yang memiliki sapi laktasi lebih dari
tujuh ekor. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat daya saing
susu yang dihasilkan oleh peternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK).
Pemerintah perlu meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah dengan
meningkatkan insentif bagi peternak dan koperasi. Pemerintah perlu
mengeluarkan kebijakan yang mendukung usahaternak sapi perah dan mendukung
keberlanjutan koperasi susu sapi perah, misalnya pemberian subsidi pakan, obat-
obatan dan pemberian kredit. Namun, sejak tahun 2000 pemerintah telah
mengurangi kebijakan pemberian subsidi pakan dan obat-obatan. Kebijakan
pemberian kredit kepada peternak juga mengalami kendala karena tingkat suku
bunga kredit yang tinggi sehingga memberatkan peternak. Kebijakan Pemerintah
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah dampak kebijakan dari Penetapan Tarif
Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu sesuai dengani peraturan
menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009 . Pemerintah melakukan
37
intervensi mengenai bea masuk bahan baku susu impor. Dalam PMK ini
dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam
negeri perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk
susu tertentu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif
BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar 5 persen yang meliputi
produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir dan susu
serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak.
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur daya saing usahaternak sapi
perah. Penilaian daya saing dilakukan dengan menggunakan analisis Matriks
PAM. Dalam Matriks PAM dilakukan secara finansial dan ekonomi. Penggunaan
PAM (Policy Analysis Matrix) untuk menganalisis beberapa komponen yaitu
keunggulan kompetitif (Rasio Biaya Privat/PCR), keunggulan komparatif (Biaya
Sumberdaya Domestik/ DRC), dan dampak kebijakan pemerintah yaitu, kebijakan
input (IT, FT, dan NPCI), kebijakan output (OT, dan NPCO) dan kebijakan input-
output (NT, EPC, PC, dan SRP). Setelah melakukan analisis PAM tahapan
analisis selanjutnya adalah analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan
keunggulan komparatif dan kompetitif dari usahaternak sapi perah. Analisis
sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada saat terjadi
penurunan tarif impor lima persen dan saat terjadi penetapan tarif impor 15
persen. Ringkasan proses penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
38
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional
Daya saing usahaternak sapi perah yang rendah
Kendala :
Kualitas SDM peternak
Permasalahan teknis dan
ekonomis
Permasalahan permodalan
kelembagaan
Hasil Akhir
Gambaran daya saing dan kinerja usahaternak sapi perah
di Kawasan Peternakan (KUNAK)
Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan
usahaternak sapi perah di KUNAK
Analisis Sensitivitas
Matriks Analisis Kebijakan
(PAM)
Dampak kebijakan pemerintah
Kebijakan input
Kebijakan output
Kebijakan input-output
Keunggulan komparatif
Keuntungan sosial
Biaya sumberdaya
domestik (DRC)
Keunggulan kompetitif
Keuntungan privat
Rasio biaya privat
(PCR)
Kebijakan tarif impor 5% berdasarkan
PMK Nomor 101/PMK.011/2009
Jumlah produksi dalam negeri tidak dapat
memenuhi permintaan susu dalam negeri
dan adanya persaingan dengan susu impor
Berbagai kendala dalam
pengembangan usahaternak sapi perah
di Kawasan Peternakan (KUNAK)
39
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah kerja Koperasi Produksi Susu dan
Usaha Peternakan (KPS Bogor) KUNAK, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian difokuskan pada anggota koperasi
tersebut yang tersebar pada tiga desa, yaitu Desa Pamijahan, Desa Pasarean, dan
Desa Situ Udik. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)
dan melalui beberapa pertimbangan diantaranya : (1) KPS Bogor KUNAK
merupakan lokasi kumpulan peternak sapi perah yang ada di Kabupaten Bogor,
(2) Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan merupakan sentra
penghasil susu yang potensial di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Februari sampai Mei 2011 yang meliputi survei lokasi penelitian,
penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan data hingga penyusunan skripsi.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer meliputi jumlah produksi, biaya produksi, total penerimaan
usaha peternakan sapi perah anggota peternak KPS Bogor KUNAK. Data primer
didapatkan dari hasil pengamatan, pengisisan kuisioner dan wawancara secara
langsung kepada pihak peternak dan pihak-pihak terkait lainnya seperti penjual
susu, pegawai atau pengurus KPS Bogor dan KPS Bogor KUNAK dan warga
sekitar Kawasan Usaha Peternakan. Data sekunder yang digunakan adalah data
40
input output fisik usahaternak sapi perah, harga finansial dan ekonomi input
output usaha sapi perah, struktur ongkos usaha sapi perah dan data pendukung
lainnya yang diperoleh melalui fasilitas internet. Data sekunder yang digunakan
pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa instansi yang terkait
dengan objek penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral
Peternakan, Gabungan Koperasi Susu (GKSI), dan studi pustaka melalui
pengumpulan data yang berasal dari literatur dan buku-buku. Untuk input output
yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung
berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor
dipakai harga CIF (Cost, Insurance and Freight) sedangkan untuk menghitung
harga sosial input non tradable digunakan harga imbangannya (opportunity cost).
3.3 Metode Penentuan Sampel
Dalam penelitian ini responden yang diteliti adalah para peternak dari
usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor yang berada di Kawasan Usaha
Peternakan (KUNAK). Responden yang diambil adalah para peternak yang
berasal dari enam kelompok peternak, diantaranya kelompok peternak bersih,
segar, tertib, mandiri, indah dan aman. Jumlah responden yang diteliti yaitu
sebanyak 30 orang peternak yang dipilih berdasarkan metode sensus. Penentuan
jumlah responden didasarkan pada karateristik responden sebagai pemilik
usahaternak tersebut. Penentuan jumlah responden peternak sapi perah terkait
dengan keadaan dari populasi yang bersifat homogen dalam hal struktur biaya
usaha ternak rakyat, sehingga jumlah 30 orang sampel dianggap sudah mewakili
41
karateristik dan keragaman struktur biaya usahaternak sapi perah anggota KPS
Bogor KUNAK.
3.4 Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menginterpretasi data
yang diperoleh, sedagkan analisis kuantitatif dilakukan dengan cara pengumpulan
data, lalu dilakuakan pengolahan data sehingga dapat diperoleh suatu data yang
valid yang disederhanakan dalam bentuk tabulasi. Analisis deskriptif kualitatif
dan analisis kuatitatif dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix
(PAM). Dalam pengolahan data, data diolah menggunakan program Microsoft
Excel dan Tabel Input Output Indonesia tahun 2000 untuk mengalokasikan biaya
dan komponen tradable dan non-tradable. Pengolahan data dengan menggunakan
metode PAM harus malalui beberapa tahapan, yaitu (1) dalam membangun model
PAM harus dilakukan penentuan input usaha peternakan sapi perah, (2)
pengalokasian input kedalam komponen tradable dan non tradable, (3) penentuan
harga bayangan input dan output produksi.
3.4.1. Menentukan Input dan Output
Dalam penelitian ini, input yang diperhitungkan adalah semua komponen
input yang digunakan dalam proses produksi. Komponen input tersebut antara
lain: pakan ternak, obat-obatan, tenaga kerja, peralatan, lahan, pajak, biaya air,
biaya listrik dan biaya tataniaga. Output yang dihasilkan berupa susu segar yang
siap dijual.
42
3.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Komponen biaya yang dikeluarkan selama proses produksi terdiri dari
komponen biaya domestik dan biaya asing. Pengalokasikan biaya menjadi
komponen domestik dan asing dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach)
(Monke dan Pearson, 1989). Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk
mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable).
Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam
komponen biaya domestik dan asing serta dipergunakan apabila produsen lokal
dilindungi. Dalam penelitian ini input yang digunakan termasuk kedalam
komponen tradable adalah pakan konsentrat, obat-obatan serta biaya tataniaga,
sedangkan untuk komponen input non-tradable yaitu pakan hijauan, ampas tahu,
tenaga kerja, sewa lahan, biaya air dan listrik, peralatan dan input lainnya sesuai
dengan pengunaan tabel Input Output 2000.
3.4.3. Alokasi Biaya Produksi
Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan.
Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau
komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input, penilaian
biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input (Pearson et al.,
2005). Input-input tradable seperti pakan konsentrat, obat-obatan, dan biaya tata
niaga digolongkan ke dalam komponen biaya asing. Input-input nontradable
seperti pakan hijauan, ampas tahu, tenaga kerja, peralatan, dan biaya lainnya
43
digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Tenaga kerja pertanian
dianggap homogen, karena semua dianggap sebagai tenaga kerja tidak terampil,
dan tidak ada perbedaan upah antara tenaga kerja pria dan wanita. Tenaga kerja
dibedakan antara tenaga kerja keluarga dan non-keluarga yang berpengaruh
terhadap perbedaan tingkat upah. Biaya tenaga kerja dihitung per Hari Orang
Kerja (HOK) dengan satu HOK adalah delapan jam kerja dan memiliki upah yang
berbeda-beda. Upah yang dibeikan kepada tenaga kerja adalah berupa upah
bulanan.
3.4.4. Alokasi Biaya Tataniaga
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau
kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan
kegunaan waktu (Gittinger, 1986). Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya
tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen
sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen.
3.4.5 Metode Analisis Harga Bayangan
Menurut Gitingger (1986), harga bayangan adalah sebagian harga yang
terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya
dalam keadaan keseimbangan. Namun pada kenyataannya kondisi biaya
imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan. Oleh karena itu di perlukan
penyesuaian terlebih dahulu terhadap harga pasar yang berlaku untuk memperoleh
nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial.
44
Alasan dari penggunaan harga bayangan, diantaranya :
a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika
sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya,
b. Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya
diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.
3.4.5.1 Harga Bayangan Nilai Tukar
Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van
der Task. Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan pada perkembangan nilai tukar
dollar. Metode tersebut dirumuskan sebagai berikut :
Dimana : SER = Nilai Tukar Bayangan (Rp/US $)
OER = Nilai Tukar Resmi (Rp/US $)
SCFt = Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor
ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
–
Dimana : SCFt = Faktor Konversi Standar untuk tahun ke-t
Mt = Nilai Impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Xt = Nilai Ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt = Penerimaan Pemerintah dari Pajak Impor untuk tahun ke-t (Rp)
Txt = Penerimaan Pemerintah dari Pajak Ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Dengan menggunakan rataan kurs rupiah terhadap dollar AS (OER)
selama tahun 2010 senilai Rp. 9.034 /US$ pada tahun 2010 nilai SER adalah
sebesar Rp 9.073,71 dan nilai SCF adalah sebesar 99,56 persen.
45
3.4.5.2 Harga Bayangan Output
Haraga perbatasan (border price) adalah harga yang digunakan sebagai
harga bayangan output. Komoditi susu sapi yang dihasilkan peternak di lokasi
penelitian merupakan subtitusi impor. Penghitungan mengenai harga bayangan
output pada penelitian ini adalah harga c.i.f (cost insurance freight) atau harga
bayangan untuk produk yang di impor. Harga c.i.f yang digunakan adalah harga
c.i.f di pelabuhan impor (pelabuhan Tanung Priok) karena posisi Indonesia
sebagai negara pengimpor untuk produk susu.
Harga bayangan dengan menggunakan harga c.i.f (cost insurance freight)
dikonversi terlebih dahulu menggunakan harga bayangan nilai tukar rupiah SER
(Shadow Exchange Rate) yang berlaku pada saat ini dengan biaya tata niaga untuk
produk yang diimpor tersebut. Rumus perhitungannya dapat ditulis sebagai
berikut [(c.i.f x SER) + biaya tata niaga]. Untuk menghitung harga susu dunia
setara dengan harga susu segar dalam negeri peneliti menggunakan formulasi
yang mengacu kepada Erwidodo dan Sayaka dalam Atien et al (2009). Formulasi
tersebut menggunakan pendekatan dimana harga susu dunia dihitung atas dasar
harga satu kilogram Full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan
kilogram susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kilogram FCMP merupakan
biaya susu segar ditambah biaya tata niaga (biaya transportasi dan
handling/bongkar muat) dari pelabuhan sampai ke peternak yaitu sebesar 2,5
persen.
Perhitungan harga susu FCMP didasarkan pada data rata-rata harga susu
pada bulan Januari hingga Maret 2010 (International Dairy Product Prices,
46
2010). Harga rata-rata susu FCMP per liter setelah dikonversi adalah sebesar Rp.
3.850,70, dimana harga tersebut sudah termasuk biaya pengapalan dan
administrasi. Harga bayangan susu yang digunakan adalah Rp. 3.946,97 per liter
susu, nilai tersebut diperoleh dari harga susu impor dikalikan dengan SER dan
ditambah 2.5 persen biaya tataniaga.
3.4.5.3 Harga Bayangan Input
1). Harga Bayangan Pakan Ternak
Pakan yang digunakan oleh para peternak dalam usahaternak sapi perah
dibagi dalam dua kelompok pakan yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat.
Selain itu terdapat jenis pakan tambahan yaitu ampas tahu. Pakan hijauan
merupakan pakan utama ruminansia karena melalui fermentasi di dalam rumen
oleh mikroba, serta dapat menyediakan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok. Sementara pakan konsentrat adalah campuran bahan pakan yang kaya
energi dan protein, yang berguna untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas susu
sapi perah laktasi. Penyediaan bahan pakan sapi perah harus mempertimbangkan
faktor palatabilitas (tingkat kesukaan sapi), nilai nutrisi, ketersediaan dan tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia, serta harga terjangkau.
Pakan hijau yang dibutuhkan oleh para peternak sapi sebagian besar
didapatkan di lahan-lahan terbuka. Jenis pakan hijau yang biasa digunakan
diantaranya berupa rumput-rumputan yang terdiri dari Rumput gajah (Pennisetum
purpureum), Rumput Raja (King grass), benggala (Pennisetum maximum), rumput
lapang dan BD (Brachiaria decumbens). Jenis pakan konsentrat dibeli peternak
47
melalui koperasi. Pakan konsentrat mengandung kadar serat kasar yang rendah
dan mudah dicerna seperti, dedak, kedelai, bungkil kelapa, dan bungkil kacang.
Harga bayangan pakan yang terdiri dari pakan hijauan dan ampas tahu
ditentukan berdasarkan harga yang berlaku di pasar. Hal ini dikarenakan sejak
tahun 2000 subsidi untuk pakan sudah dicabut oleh pemerintah. Akan tetapi harga
bayangan konsentrat ditentukan berdasarkan harga pasar internasional yaitu harga
cif pakan ternak ditambah dengan biaya-biaya tata niaga lainnya.
2). Harga Bayangan Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan oleh para peternak diperoleh dari koperasi.
Jenis obat-obatan tersebut sebagian di produksi di Indonesia dan sebagian lagi di
impor dari luar negeri. Jenis obat-obatan yang digunakan dalam usahaternak sapi
perah yaitu mineral, vasselin, dan biosid. Sebagian obat-obatan bahan bakunya
masih didatangkan dari luar negeri, namun harga bayangan jenis obat-obatan yang
diimpor dari luar negeri didasarkan pada harga c.i.f (cost insurance freight).
Setelah itu dilakukan penyesuaian dengan melakukan penambahan atau
pengurangan biaya transportasi atau pemasaran.
3). Harga Bayangan Tenaga Kerja
Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan
nilai produktivitas marginalnya (Gittinger, 1986). Tingkat upah memiliki nilai
yang berbeda untuk setiap kriteria tenaga kerja. Untuk tenaga kerja terdidik, upah
tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial) sedangkan untuk
tenaga kerja tidak terdidik, harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga
48
finansialnya dengan asumsi tenaga kerja tersebut belum bekerja sesuai dengan
tingkat produktivitasnya. Tenaga kerja yang digunakan oleh peternak dalam
membantu kegiatan usahatani adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya
tidak terdidik. Penentuan harag bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan
perhitungan yang dilakukan Yudja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya
(2001) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian.
4). Harga Bayangan Lahan
Lahan merupakan suatu faktor produksi yang termasuk kedalam suatu
input non-tradable dalam suau sistem usahatani. Menurut Gittinger (1986), harga
bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan tiap
musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat. Sulit untuk mengukur nilai
dari suatu usahatani yang dilakukan dalam suatu lahan oleh karena itu penentuan
harga bayangan dilakukan berdasarkan oleh nilai sewa lahan tersebut.
5). Harga Bayangan Pajak
Dalam penelitian ini, harga bayangan pajak dikeluarkan dari penilaian
harga sosial. Oleh karena itu, harga finansial untuk pajak bumi dan bangunan
(PBB) dalam penelitian ini dihitung dalam waktu sebulan sedangkan harga
bayangannya tidak diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pajak merupakan bagian
dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi
kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, oleh karena itu tidak dianggap
sebagai biaya (Kadariah, 2001).
49
6). Harga Bayangan Tataniaga
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai
atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk,
dan kegunaan waktu (Gittinger, 1986). Perhitungan biaya tataniaga adalah seluruh
biaya tataniaga dari produsen hingga ke konsumen atau dari produsen hingga ke
pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor hingga ke konsumen.
Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada penelitian ini adalah biaya
pengangkutan pakan dari produsen hingga ke peternak dan biaya pengangkutan
susu dari peternak hingga ke koperasi. Harga bayangan tata niaga untuk biaya
pengangkutan pakan dan susu adalah dengan menggunakan harga pasar ditambah
dengan biaya subsidi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 36,7 persen.
3.5 Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix)
Metode PAM (Policy Analysis Matrix) dikembangkan oleh Monke dan
Person sejak tahun 1987. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di
pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan
pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usaha
tani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah
kebijakan harga akan mengubah nilai output dan biaya input dan keuntungan
privat. Isu kedua adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan
infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani. Efisiensi diukur
dari tingkat sosial. Isu ketiga adalah dampak investasi baru dalam bentuk riset
atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson, et
al, 2005). Oleh sebab itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
50
pendekatan keunggulan kompetitif dan komparitif model PAM dengan formulasi
seperti pada Tabel 2.2 pada bab sebelumnya.
Daya Saing Usahaternak Sapi Perah
1. Analisis Keuntungan Finansial dan Keuntungan Sosial
A. Private Profitability (Keuntungan Privat) (KP), D = A – (B + C)
Salah satu indikator yang menentukan daya saing industri adalah
besarnya keuntungan privat. Keuntungan privat adalah selisih dari
pendapatan privat dengan biaya privat yang sesungguhnya di bayarkan atau
diterima petani. Jika nilai keuntungan privat D > O maka usaha ini
mendapatkan nilai keuntungan di atas normal sehingga usaha ini secara
finansial layak untuk dilanjutkan. Sebaliknya jika nilai D < 0 maka kegiatan
usaha tidak menguntungkan ketika adanya suatu intervensi dari pemerintah
terhadap input atau output.
B. Social Profitability (Keuntungan Sosial) (KS), H = E – (F + G)
Keuntungan sosial adalah selisish antara penerimaan sosial dengan
biaya sosial yang dihitung dengan harga sosial. Sebuah negara akan
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengedepankan
aktivitas-aktivitas yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi
(Pearson, et al, 2005). Jika H > 0 maka usaha tersebut efisien dan
mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya jika nilai H < 0, usaha
tersebut tidak menguntungkan secara ekonomi maka usaha tersebut perlu
kebijakan pemerintah.
51
2. Analisis Keunggulan Kompetitif (PCR) dan Keunggulan Komparatif
(DRCR)
A. Private Cost Ratio (Rasio Biaya Privat), (PCR) = C/ (A – B)
Nilai PCR menunjukkan nilai efisiensi suatu aktivitas ekonomi secara
finansial. Selain itu nilai PCR menunjukkan kemampuan suatu komoditi
membiayai faktor domestik pada harga privat. Jika nilai PCR < 1 berarti
bahwa untk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan
diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal
ini menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi tersebut efisien secara
kompetitif pada saat ada kebijakan pemerintah. Hal ini berarti usaha
peternakan sapi perah efisien secara finansial karena usaha tersebut mampu
membiayai faktor domestiknya pada harga privat.
B. Domestic Resource Cost Ratio, ( DRCR) = G/ (E – F)
Nilai DRCR menunjukkan indikator kemampuan suatu sistem
komoditi membiayai faktor domestik pada biaya sosial dan menunjukkan
penggunaan sumber daya domestik dalam menghasilkan devisa. Nilai
DRCR < 1 maka suatu aktivitas ekonomi memiliki keunggulan komparatif,
yaitu usaha peternakan sapi perah efisien secara ekonomi dalam
pemanfaatan sumber daya domestik, sehingga permintaan domestik lebih
menguntungkan dengan peningkatan produksi domestik.
52
I. Dampak Kebijakan Pemerintah
1. Kebijakan Output
A. Output Transfer (Transfer Output), (I) = A – E
Nilai I menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan
pada output sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pada harga output
privat dan sosial. Jika I bernilai positif berarti terdapat transfer (insentif)
dari masyarakat/negara (konsumen) terhadap produsen atau ada transfer
sumber daya yang menambah keuntungan sistem. Hal ini berarti konsumen
membeli dari produsen dan mendapat harga yang lebih tinggi dari harga
sebenarnya, dan sebaliknya jika I bernilai negatif berarti konsumen membeli
dari produsen dan mendapat harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya
atau ada transfer sumber daya yang mengurangi keuntungan sistem.
B. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (Koefisien
Proteksi Output Nominal), (NPCO) = A/E
NPCO adalah suatu rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer.
Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga output domestik (harga
privat) berbeda dengan harga sosial. Bila nilai NPCO > 1 berarti harga
output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau
berarti sistem mendapat suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai
NPCO < 1 berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di
pasar dunia.
53
2. Kebijakan Input
A. Input Transfer (Transfer Input), (J) = B – F
Transfer Input terjadi ketika terjadi perbedaan pada harga input
tradable yang menyebabkan biaya input tradable privat berbeda dengan
biaya sosialnya. Nilai J positif menyebabkan suatu implisit pajak atau
transfer sumber daya keluar dari sistem. Hal ini menunjukkan besarnya
transfer melalui penerapan tarif impor kepada produsen.
B. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (Koefisien
Proteksi Input Nominal), (NPCI) = B/F
NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. NPCI
menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable
dengan harga sosialnya. Jika nilai NPCI > 1 biaya input domestik lebih
mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan
adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian
bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi
menjadi lebih tinggi. Sebaliknya jika nilai NPCI < 1 biaya input domestik
lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal
ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga proses
produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri.
C. Transfer Faktor (TF), (K) = C – G
Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor
domestik yang menyebabkan harga privat faktor domestik berbeda dengan
harga sosialnya. Transfer faktor dapat bernilai positif ataupun negatif.
54
Transfer faktor bernilai positif berarti terdapat transfer sumberdaya keluar
sistem atau menyebabkan terjadinya implisit pajak. Sedangkan transfer
faktor berniali negatif berarti terdapat transfer sumberdaya ke dalam sistem
atau menyebabkan terjadinya implisit subsidi.
3. Kebijakan Input-Output
A. Effective protection Coefficient ( Koefisien Proteksi Efektif), (EPC)
= (A – B)/(E – F)
EPC merupakan suatu rasio yang membandingkan nilai tambah pada
tingkat harga domestik dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia. EPC
memiliki tujuan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang
disebabkan oleh sebuah kebijakan, baik transfer output maupun transfer
input. EPC dapat menggambarkan efektivitas kebijakan pemerintak bersifat
melindungi atau menghambat produksi. Jika nilai EPC > 1, kebijakan
pemerintah dapat melindungi konsumen domestik dan sebaliknya.
B. Net Transfer (Transfer Bersih), (L) = D – H
Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat
dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer
output, transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai L > 1
berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan
apabila nilai L < 1 berarti terjadi pengurangan pada surplus prosen akibat
dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output.
55
C. Profitabilitas Coefficient (Koefisien Keuntungan), (PC) = D/H
Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur
dengan Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara
keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC > 1 berarti secara
keseluruhan kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan insentif
terhadap produsen.
D. Subsidy Ratio to Producer (Perbandingan Subsidi bagi Produsen),
(SPR) = L/E
SRP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak
transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai
output pada tingkat harga dunia. SPR juga dapat menunjukkan pengaruh
transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP yang
negatif berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi
lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya kebijakan
pemerintah tersebut.
Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR
(Domestic Resource Cost Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif,
Analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan
variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan
kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI
(Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection
Coefficient), PC (Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers).
Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output,
56
dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial.
Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh
angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang
berlaku pada usaha peternakan sapi perah dan mengukur dampak dari adanya
kegagalan (failure) pasar.
57
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Desa
4.1.1. Gambaran Umum Desa Situ Udik
Desa Situ Udik yang memiliki luas 370.150 Ha terletak di Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Batas wilayah Desa Situ
Udik sebelah utara adalah Desa Situ Ilir Kecamatan Cibungbulang, sebelah
selatan Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan, sebelah barat Desa Cimayang
Kecamatan Pamijahan, dan sebelah timur Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang.
Desa Situ Udik berjarak enam kilometer dari Kecamatan Cibungbulang, 40
kilometer dari Kabupaten, dan 145 kilometer dari ibukota Provinsi Jawa Barat.
Secara geografis Desa Situ Udik berada pada ketinggian 460 meter diatas
permukaan laut dengan bentang wilayah berupa daratan dan perbukitan. Desa Situ
Udik memiliki luas daratan 300 Ha dan 71 Ha untuk perbukitan. Selain itu, Desa
Situ Udik memiliki curah hujan rata-rata 3009 mm/tahun dan suhu rata-rata 19°C.
Jumlah penduduk desa Situ Udik adalah 13.668 orang pada tahun 2010
yang terdiri dari 7043 orang laki-laki dan 6625 orang perempuan. Penduduk Desa
Situ Udik sebagian besar bekerja pada sektor jasa perdagangan yaitu sebesar 2984
orang, dan penduduk lainnya bekerja pada subsektor pertanian dan tanaman
pangan, susektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor industri kecil, dan
subsektor jasa. Penyebaran penduduk menurut mata pencahariannya dapat dilihat
pada Tabel 4.1.
58
Tabel 4.1 Penduduk Desa Situ Udik Menurut Mata Pencaharian
No. Sektor Jumlah Persentase (%)
1 Pertanian dan Tanaman Pangan 936 18,89
2 Perkebunan atau Perladangan 395 7,97
3 Perikanan 17 0,34
4 Industri Kecil 110 2,22
5 Jasa 514 10,37
6 Jasa Perdagangan 2.984 60,21
Jumlah 4.956 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Situ Udik (2010)
Desa Situ Udik memiliki berbagai jenis populasi hewan ternak. Populasi
sapi perah merupakan populasi terbesar kedua setelah ayam ras. Hal ini di dukung
dengan kondisi geografis Desa Situ Udik yang menyebabkan Desa Situ Udik
menjadi sentra pengembangan usahaternak sapi perah. Menurut Sutarsi (1981)
dalam Siregar (2009) wilayah yang cocok untuk pengembangan usahaternak sapi
perah di Indonesia adalah daerah pegunungan dengan ketinggian minimum 800
meter diatas permukaan laut. Data populasi ternak Desa Situ Udik dapat dilihat
pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Jumlah Populasi Ternak Desa Situ Udik
No. Jenis Ternak Populasi (ekor) Persentase (%)
1 Ayam Ras 30.000 92,53
2 Sapi Perah 855 2,64
3 Domba 594 1,83
4 Itik 415 1,28
5 Ayam Kampung 225 0,69
6 Sapi Potong 205 0,63
7 Kambing 90 0,28
8 Kerbau 37 0,11
Jumlah 32.421 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Situ Udik (2010)
59
4.1.2. Gambaran Umum Desa Pasarean
Desa Pasarean merupakan desa yang terletak di sebelah utara Desa Situ
Udik, sebelah selatan Desa Gunung Picung, sebelah barat Desa Pamijahan, dan
sebelah timur Desa Gunung Menyan. Secara administratif, Desa Pasarean berada
di dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi jawa
Barat. Desa Pasarean berada pada ketinggian 450 meter diatas permukaan laut
dengan rata-rata suhu udara 23°C hingga 31°C.
Desa Pasarean memiliki curah hujan rata-rata 40 mm/tahun. Menurut
bentang alamnya, Desa Pasarean terdiri dari dataran dan perbukitan atau
pegunungan. Luas wilayah Desa Pasarean adalah 277.208 Ha. Tingkat kesuburan
tanah Desa Pasarean terdiri dari tanah subur seluas 110.102 Ha dan tanah dengan
tingkat kesuburan sedang yaitu seluas 66.003 Ha. Desa Pasarean berjarak empat
kilometer dari pemerintah Kecamatan Cibungbulang, 40 kilometer dari
pemerintah Kabupaten Bogor, 187 kilometer dari pemerintah Provinsi Jawa Barat,
dan 100 kilometer dari Ibukota Negara Indonesia.
Desa pasarean terdiri dari dua dusun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk
Desa Pasarean sebesar 1.0327 orang dengan 2.555 Kepala Keluarga (KK). Jumlah
penduduk tersebut terdiri dari 5.876 orang laki-laki dan 5.451 orang perempuan.
Menurut tingkat pedidikannya, penduduk Desa Pasarean banyak yang tidak tamat
Sekolah Dasar yaitu sebanyak 1251 orang (41,73 persen). Penyebaran penduduk
menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
60
Tabel 4.3 Penduduk Desa Pasarean Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 Belum tamat SD 1.251 41,73
2 SD 653 21,78
3 SMP 698 23,28
4 SMA 327 10,91
5 Diploma 1, Diploma 2 11 0,37
6 Diploma 3 10 0,33
7 Sarjana 48 1,60
Total 2.998 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Pasarean (2010)
Menurut kelompok kerja, penduduk Desa Pasarean yang bekerja adalah
tenaga kerja produktif, yaitu rata-rata berumur 20 tahun hingga 26 tahun yaitu
sebanyak 5.562 orang. Penduduk Desa Pasarean pada umumnya bekerja sebagai
petani yaitu sebanyak 1.670 orang, selain itu mata pencaharian lain dari penduduk
Desa Pasarean adalah buruh tani, wiraswasta, pegawai negeri, pertukangan, abri,
nelayan, jasa, dan lainnya. Penyebaran penduduk menurut mata pencaharian dapat
dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Penduduk Desa Pasarean Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Petani 1.670 41,38
2 Buruh tani 1.275 31,59
3 Wiraswasta 545 13,50
4 Pertukangan 300 7,43
5 Pegawai Swasta 160 3,96
6 Pegawai Negeri 32 0,79
7 Lainnya 54 1,34
Total 4.036 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Pasarean (2010)
4.1.3. Gambaran Umum Desa Pamijahan
Desa Pamijahan terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Sebelah utara Desa Pamijahan berbatasan langsung dengan
61
Desa Situ Udik, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Sari, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Cibitung Wetan, dan sebelah timur berbatasan
dengan Desa Pasarean. Desa Pamijahan berada pada ketinggian 1.500 meter diatas
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.000 hingga 3.000 m3.
Luas daerah Desa Pamijahan adalah 39.996 Ha. Menurut bentang
alamnya, Desa Pamijahan terdiri dari daratan dan pegunungan. Sebagian besar
lahan dimanfaatkan untuk ladang dan persawahan yaitu seluas 28.996 Ha, dan
sisanya dimanfaatkan untuk perumahan, jalan, bangunan pendidikan, pemakaman
dan lapangan olahraga. Jarak kantor Desa Pamijahan dengan ibukota kecamatan
Pamijahan adalah tiga kilometer, 27 kilometer dengan ibukota kabupaten Bogor,
140 kilometer dari Ibukota Provinsi Jawa Barat, dan 80 kilometer dari Ibukota
Negara.
Desa Pamijahan terdiri dari dua dusun, 31 Rukun Tetangga (RT) dan 8
Rukun Warga (RW). Desa pamijahan memiliki jumlah penduduk sebesar 11.108
orang dengan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5.787 orang
dan 5.321 orang perempuan serta 2.717 Kepala Keluarga (KK) pada bulan Januari
tahun 2011 dengan kepadatan penduduk 2.857 jiwa per kilometer. Menurut mata
pencahariannya, penduduk Desa Pamijahan bermatapencaharian utama sebagai
petani. Data penyebaran penduduk desa Pamijahan berdasarkan mata
pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
62
Tabel 4.5. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Petani 2.780 42,07
2 Pertukangan 1.109 16,78
3 Pegawai Swasta 856 12,95
4 Pedagang 576 8,72
5 Buruh Pabrik 78 1,18
6 Pegawai Negeri 29 0,44
7 Lainnya 1.180 17,86
Total 6.608 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Pamijahan (2010)
Menurut tingkat pendidikannya, penduduk Desa Pamijahan sebagian
besar merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu 2.417 orang (39,49%). Faktor
latar belakang pendidikan juga berpengaruh terhadap jenis mata pencaharian
penduduk Desa Pamijahan yang sebagian besar adalah petani. Untuk jenjang
pendidikan tertinggi penduduk Desa Pamijahan adalah lulusan Sarjana S3
sebanyak 2 orang atau 0,03 %. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat penyebaran penduduk
Desa Pamijahan menurut tingkat pendidikannya.
Tabel 4.6. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 Tidak Tamat SD 32 0.52
2 SD 2417 39.49
3 SMP 2216 36.21
4 SMA 1378 22.52
5 Akademi 36 0.59
6 Sarjana S1 36 0.59
7 Sarjana S2 3 0.05
8 Sarjana S3 2 0.03
Total 6120 100.00
Sumber : Data Monografi Desa Pamijahan (2010)
63
4.2. Gambaran Umum KPS Bogor dan KUNAK
4.2.1. Lokasi
Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS Bogor) pada
dasarnya terbagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah luar Kunak dan wilayah
Kunak. Wilayah luar kunak adalah wilayah operasional dimana penduduk yang
beternak sapi perah yang termasuk ke dalam keanggotaan KPS Bogor terletak
menyebar di seluruh kawasan Bogor, Depok, dan sekitarnya. Kantor KPS Bogor
terletak di Jalan Baru Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
Dalam area seluas 4.480 m2, KPS Bogor terbagi kedalam beberapa unit bangunan
diantaranya bangunan kantor administrasi umum, ruang rapat atau ruang
petermuan, ruang produksi pakan ternak, gudang makanan ternak, ruang Chilling
Unit atau penampungan susu, ruang pelteknak, laboratorium, pos satpam,
mushola, dapur, toilet dan tempat parkir.
KPS bogor mengalami perubahan nama Badan Hukum sesuai dengan
adanya perubahan Anggaran Dasar (AD) No. 4654/BH/PAD/KWK.10/III/1996
dari “Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah” menjadi “Koperasi
Produksi Susu dan Usaha Peternakan”, yang dikenal dengan nama KPS Bogor.
KPS Bogor mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengna
dikeluarkannya Kepres No. 069/B/Tahun 1994 tentang bantuan kredit Banpres
untuk perkembangan kawasan usaha peternakan (KUNAK) sapi perah di
Kecamatan Cibungbulang dan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) merupakan suatu koperasi yang
menjadi bagian dari KPS Bogor. KUNAK adalah suatu kawasan khusus untuk
64
pengembangan usaha peternakan sapi perah. KPS Bogor KUNAK diresmikan
pendiriannya pada tahun 1997. Luas area KUNAK yaitu 100 Ha yang terbagi
kedalam dua kelompok besar, yaitu KUNAK I dan KUNAK II. KUNAK I terdiri
dari ttiga kelompok peternak, yaitu kelompok ternak Tertib, Segar dan Bersih.
Sedangkan untuk KUNAK II terdiri dari tiga kelompok peternak, yaitu kelompok
ternak Indah, Aman dan Mandiri.
Kantor administrasi KUNAK terletak di KUNAK II, Desa Pamijahan,
Kecamatan Pamijahan. Kantor administrasi ini juga merupakan tempat untuk
penyetoran susu. Jumlah anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) sebanyak 130 peternak yang aktif menyetorkan hasil produksi susu
setiap harinya. Hingga tahun 2010 jumlah populasi sapi perah yang berada di
KUNAK sebesar 2.300 ekor dengan jumlah produksi rata-rata 9.500 liter per hari.
4.2.2. Struktur Organisasi KPS Bogor
Struktur organisasi KPS Bogor sama dengan KPS Bogor KUNAK.
Berdasarkan SK.Pengurus KPS –Bogor No.465/KPS/X/2002 tanggal 31 Oktober
2002, terdapat stuktur organisasi KPS Bogor tahun 2002-2003. Berdasarkan
struktur organisasi tersebut, kekuasaan tertinggi terdapat pada Rapat Anggota
Tahunan (RAT) yang diadakan setiap setahun sekali. Pengurus adalah perwakilan
anggota koperasi yang dipilih melalui rapat anggota. Pengurus memiliki tugas
untuk mengelola koperasi dan kegiatan usaha lainnya.
65
Susunan Pengurus KPS-Bogor Periode 2009-2013
- Ketua : I Made Soewecha
- Sekretaris : Wahyanto, SE, MM
- Manajer : Bintarso
Kegiatan pelaksanaan tugas koperasi akan diawasi oleh suatu komite
pengawas. Fungsi dari pengawas adalah sebagai pengontrol kegiatan pengurus
agar sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah ditetapkan pada rapat
anggota.
Susunan Pengawas KPS-Bogor Periode 2009-2013
- Ketua : Drs. Purwanto
- Anggota : Deden Irianto, SE
- Anggota : Agus Zaenudin, S
Keterangan :
: Garis perintah dan tanggung jawab
: Garis Pengawasan 1. Unit Pelayanan Susu Murni dan Pelayanan Teknis Peternakan (Pelteknak)
2. Unit Usaha Pakan Ternak
3. Unit Usaha Susu Olahan
4. Unit Serba Usaha (USP, Waserda) 5. Bagian Kunak
6. Bagian Adm. Umum dan Keuangan
Gambar 4.1 Struktur Organisasi KPS Bogor
RAPAT
ANGGOTA
PNG.
KELOMPOK
PENGAWAS
KOOR. USAHA
PENGURUS B. PENG. KUNAK
KONSULTAN
1 3 2 5 4 6
66
4.2.3. Unit Usaha Koperasi
KPS Bogor memiliki beberapa unit usaha untuk mengembangkan pola
bisnis yang mengedepankan kemampuan bersaing dalam memenuhi kebutusan
pasar (minimal anggota koperasinya), diantaranya :
a. Unit Penampungan Pelayanan Susu Murni
Unit ini melakukan kegiatan penerimaan susu murni dari peternak di
lokasi peternak atau kelompok dan penerimaan susu di TPS KPS Bogor.
Jumlah penerimaan susu sapi di KPS Bogor terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah produksi susu
di KPS Bogor mencapai 5,692 juta liter.
b. Unit Pelayanan Teknis Peternakan
Unit ini memberikan pelayanan teknis meliputi pelayanan kesehatan
ternak seperti pengobatan sapi perah, inseminasi buatan, kebutuhan alat-
alat peternakan untuk para anggota, dan menyalurkan sapi perah kepada
anggota.
c. Unit Usaha Susu Pasteurisasi
Unit usaha ini melakukan pengolahan susu segar menjadi susu
pasteurisasi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan harga jual susu dan
harga beli susu dari anggota.
d. Unit Usaha Produksi Pakan Ternak
Unit usaha ini menyediakan pakan konsentrat yang dibutuhkan oleh para
anggota peternak. Unit ini menyediakan tiga grade kualitas pakan, yaitu
67
Lactofed (mengandung PK 12-13 persen), Matuken (mengandung PK 15-
16 persen), dan Matuken-18 (mengandung PK 17-18 persen).
e. Unit Usaha Simpan Pinjam (USP)
Sumber pemodalan USP berasal dari modal sendiri dengan tingkat suku
bunga yang rendah dari suku bunga perbankan pada umumnya. Unit ini
dikembangkan untuk membantu permodalan dan kebutuhan dana para
peternak, misalnya melakukan pinjaman dana kepada para peternak yang
ingin menambah jumlah sapi perah, melakukan perbaikan kandang, dan
kebutuhan lainnya.
f. Unit Usaha Waserda
Unit waserda dikembangkan untuk memudahkan para peternak untuk
mendapatkan barang-barang kebutuhan usaha ternak seperti sembako dan
peralatan perkandangan dengan harga yang bersaing.
4.3. Gambaran Umum Responden
Responden dalam penelitian ini adalah anggota peternak KPS Bogor
yang tersebar di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Gambaran umum responden meliputi status
usahaternak, umur, pendidikan, jenis dan jumlah kepemilikan sapi laktasi,
pemberian pakan, pemeliharaan ternak, tenaga kerja yang digunakan, dan cara
penjualan hasil ternak.
68
4.3.1. Status Usahaternak Sapi Perah
Berdasarkan hasil wawancara dengan para peternak, sebagian besar
peternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) menjadikan
usahaternak sapi perah sebagai pekerjaan utama. 25 orang responden atau 75
persen menyatakan bahwa usahaternak sapi perah merupakan pekerjaan utama,
sedangkan lima orang responden atau 25 persen menyatakan bahwa usahaternak
sapi perah merupakan pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama kelima responden
tersebut diantaranya pegawai swasta dan pensiunan pegawai negeri.
4.3.2. Umur
Umur peternak yang menjadi responden pada penelitian kali ini berkisar
anatara 29-82 tahun. Mayoritas responden berada pada kisaran umur dibawah 50
tahun. Berdasarkan data umur responden yang terdapat pada Tabel 4.7, dapat
dilihat bahwa sebaran umur responden pada selang umur 38 hingga 46 tahun
berjumlah 11 peternak atau 37 persen dari total responden, sedangkan pada selang
umur 29 tahun hingga 37 tahun terdapat 9 orang peternak atau 30 persen dari total
responden, dan sisanya tersebar pada selang umur 47 tahun hingga 82 tahun.
Tabel 4.7 Karateristik Responden Berdasarkan Umur
Selang Umur Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
29-37 9 30
38-46 11 37
47-55 2 7
56-64 5 17
65-73 1 3
74-82 2 7
Jumlah 30 100
69
4.3.3. Pendidikan
Terdapat keberagaman tingkat pendidikan peternak responden. Hal ini
dapat berpengaruh terhadap tingkat penyerapan teknologi baru dan ilmu
pengetahuan. Sebagian besar peternak responden mencapai tingkat pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sebanyak sembilan orang atau 30 persen.
Selain itu peternak responden yang menempuh pendidikan hingga Sarjana S1 (27
persen), tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) (13 persen), tingkat pendidikan Sarjana S2 dan tidak tamat sekolah (7
persen), dan tingkat pendidikan D2 (3 persen). Sebaran tingkat pendidikan
responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
Tidak Sekolah 2 7
SD 4 13
SMP 4 13
SMA 9 30
D2 1 3
Sarjana S1 8 27
Sarjana S2 2 7
Total 30 100
4.3.4. Jenis dan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi
Jenis sapi perah yang dikembangkan dan diusahan oleh para peternak di
Kawasan Usaha peternakan (KUNAK) adalah jenis sapi perah FH (Fries
Hollands) murni maupun turunannya. Jenis sapi ini berasal dari Belanda. Produksi
susu rata-rata jenis sapi FH adalah 4.500-5.500 liter per satu masa laktasi.
70
Menurut hasil penelitian, produksi susu sapi rata-rata milik responden adalah
9,73 liter per hari.
Tabel 4.9 menggambarkan karateristik responden berdasarkan jumlah
kepemilikan sapi laktasi. Berdasarkan Tabel 4.9, sembilan orang responden
memiliki jumlah sapi laktasi 2 sampai 6 ekor atau sekitar 30 persen lalu sembilan
orang responden memiliki jumlah sapi laktasi 7 sampai 11 ekor atau sekitar 30
persen. Untuk kepemilikan sapi laktasi tertinggi adalah lebih dari 36 ekor yaitu
sekitar dua responden.
Tabel 4.9 Karateristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi
Laktasi
Jumlah Kepemilikan Sapi
Laktasi (ekor) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
2-6 9 30
7-11 9 30
12-16 3 10
17-21 2 7
22-26 3 10
27-31 1 3
32-36 1 3
>36 2 7
Total 30 100
4.3.5. Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan
Pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh para peternak di kawasan
KUNAK meliputi pemerahan, pemberian pakan, dan pembersihan kandang.
Kegiatan pemerahan dilakukan oleh para peternak dua kali dalam sehari, dengan
perbandingan rata-rata waktu pemerahan 12:12, misalnya pemerahan pertama
dilakukan di pagi hari pada pukul 05.00 pagi lalu pemerahan kedua dilakukan
pada pukul 17.00 sore. Hal ini untuk menjaga kualitas dan kuantitas susu yang
71
dihasilkan oleh sapi. Kegiatan pembersihan kandang dan memandikan sapi
dilakukan oleh para peternak sebelum melakukan pemerahan. Hal ini dilakukan
untuk menjaga kualitas susu agar terhindar dari kotoran dan bibit penyakit.
Kegiatan pemberian pakan dilakukan dua hingga tiga kali dalam sehari.
Pakan ternak yang diberikan peternak terdiri dari pakan hijauan, pakan konsentrat,
dan ampas tahu. Pakan hijauan yang diberikan oleh para peternak adalah berupa
rumput gajah (Penniseum purpureum). Rumput untuk pakan ternak di dapat dari
hasil mengarit di lahan sendiri maupun dari luar lahan sendiri, misalnya lahan
rumput di daerah sekitar kawasan KUNAK. Walaupun setiap peternak sudah
memiliki lahan hijauan sendiri yang cukup luas, namun peternak masih
mengalami kesulitan untuk mencari pakan hijauan. Hal ini dikarenakan semakin
tingginya tingkat persaingan di antara peternak yang berada di dalam kawasan
KUNAK maupun peternak yang berada di luar kawasan KUNAK. Keterbatasan
pakan hijauan tersebut menyebabkan peternak harus membeli pakan hijauan
dengan harga rata-rata Rp. 100 hingga Rp. 200 per kilogram. Pemberian pakan
hijauan rata-rata untuk satu ekor sapi laktasi adalah 35,7 kg per hari.
Pakan konsentrat yang diberikan adalah jenis pakan yang dibeli oleh para
peternak di koperasi. Harga beli pakan yang dibeli di koperasi bervariasi, yaitu
dengan kisaran harga Rp. 1600 hingga Rp. 3600 per kilogram. Pemberian pakan
konsentrat dilakukan dua kali dalam sehari, dengan rata-rata untuk satu ekor sapi
adalah 5,9 kilogram per hari. Pemberian pakan konsentrat dilakukan dengan cara
mencampurkan pakan tersebut dengan ampas tahu. Pemberian ampas tahu
dilakukan dua kali dalam sehari, dengan jumlah rata-rata untuk satu ekor sapi
72
adalah 11,5 kilogram per hari. Harga untuk ampas tahu juga bervariasi, yaitu
dengan kisaran harga Rp. 300 hingga Rp.500 per kilogram.
Kendala yang dihadapi oleh para peternak selain terbatasnya pakan
hijauan yaitu harga pakan konsentrat yang mahal. Hal ini dirasa sangat merugikan
bagi para peternak karena harga pakan ternak per kilogram bisa melebihi harga
penjualan susu. Selain harga pakan yang tinggi, masalah lain yang dihadapi para
peternak adalah harga jual susu yang rendah. Dalam penelitian ini, dengan total
responden sebanyak 30 peternak harga jual susu rata-rata yang diterima oleh para
peternak yaitu Rp. 2.987,43 per liter susu.
4.3.6. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam pengembangan usaha peternakan
adalah untuk pemerahan, pencarian pakan, pemberian pakan, pembersihan
kandang, dan mengantar susu ke KPS. Dalam penelitian ini tenaga kerja dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan tenaga kerja adalah tenaga kerja luar
keluarga dimana pemberian upah untuk tenaga kerja dilakukan perbulan dengan
pemberian upah rata-rata Rp. 728.906 per bulan.
4.3.7. Produksi dan Penjualan Hasil Ternak
Susu segar merupakan hasil produksi utama yang dihasilkan oleh para
peternak. Produktivitas susu yang dihasilkan oleh para peternak adalah sebesar
9,73 liter per hari. Dalam sehari KPS dapat menerima setoran susu dari para
peternak hingga 9.500 liter per hari. Harga beli susu rata-rata yang diterima oleh
73
para peternak adalah Rp. 2.987,93 per liter. Pembayaran dari hasil produksi susu
segar yang disetorkan oleh para peternak ke KPS dilakukan setiap sebulan sekali.
Pembelian pakan konsentrat, biaya air, pembelian biosid, mineral, vasselin, dan
biaya-biaya lain dipotong dari pembayaran uang susu.
Selain menghasilkan susu segar, sekitar sepuluh persen peternak
menghasilkan susu olahan seperti youghurt untuk dijual secara eceran langsung ke
masyarakat di sekitar KUNAK. Untuk susu segar, para peternak langsung
menjualnya ke KPS. Fungsi pemasaran susu dilakukan oleh KPS. KPS melakukan
pengumpulan susu dari berbagai peternak, kemudian menyimpan susu tersebut di
sebuah chilling unit agar kualitas susu tetap terjaga yang kemudian akan
disalurkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) yaitu PT. Indomilk dengan harga
jual susu ke PT. Indomilk mencapai Rp. 3.600 per liter.
74
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Efisiensi dan daya saing komoditi susu sapi perah yang dihasilkan oleh
para peternak di KUNAK dianalisis melalui keuntungan finansial, keuntungan
ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan
Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Matriks PAM disusun
berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi yang terbagi dalam dua bagian,
yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Masing-masing biaya
peroduksi pada harga privat dan ekonomi dibagi menjadi input asing (tradable),
domestik (non-tradable), dan pajak. Dari hasil analisis matriks PAM dapet
diperoleh informasi mengenai efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah
dalam menghasilkan susu segar dan dapat melihat dampak kebijakan pemerintah
terhadap pengembangan usahaternak sapi perah tersebut. Hasil analisis matriks
PAM pengusahaan susu sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
dengan skala usaha kecil, skala usaha menengah, dan skala usaha besar dapat
dilihat pada Tabel 5.1.
75
Tabel 5.1. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah di
KUNAK pada Kondisi Tarif Impor Lima Persen Tahun 2010
(Rp/Liter)
Komponen Penerimaan Biaya Input
Keuntungan Input Tradabel Non Tradabel
Usahaternak Skala Kecil
Privat 3.000,00 180,18 2.384,20 435,62
Sosial 3.946,97 144,93 2.116,28 1.685,76
Divergensi (946,97) 35,25 267,92 (1.250,14)
Usahaternak Skala Menengah
Privat 3.005,00 134,88 2.195,83 674,29
Sosial 3.946,97 123,21 2.033,05 1.790,72
Divergensi (941,97) 11,68 162,78 (1.116,43)
Usahaternak Skala Besar
Privat 3.000,00 274,15 2.673,37 52,49
Sosial 3.946,97 202,16 2.136,91 1.607,90
Divergensi (946,97) 71,99 536,45 (1.555,41)
Sumber : Data Primer, diolah (2011)
Berdasarkan Tabel 5.1, secara keseluruhan analisis privat dan ekonomi
menunjukkan bahwa pengusahaan susu sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) KPS Bogor, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat menguntungkan.
Hal ini dapat dilihat bahwa usahaternak sapi perah skala kecil, skala menengah
dan skala besar di KUNAK pada tahun 2010 memiliki daya saing pada harga
privat dan harga sosial.
Divergensi yang dihasilkan pada tabel PAM pada usahaternak skala kecil
bernilai negatif untuk divergensi penerimaan dan divergensi pendapatan. Pada
penerimaan output, terjadi divergensi negatif sebesar Rp. 946,97 per liter karena
harga sosial susu lebih tinggi daripada harga yang diterima peternak. Hal ini
dikarenakan harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang
nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan susu lokal walaupun pada kondisi tarif
impor lima persen. Untuk input tradable, mengalami divergensi positif sebesar
76
Rp. 32,25 yang terjadi karena harga sosial input tradable yaitu pakan ternak dan
obat-obatan di pasar dunia (harga c.i.f) lebih rendah dibandingkan dengan harga
privat yang diterima oleh peternak. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat
kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga finansial
(privat) pakan ternak dan obat-obatan menjadi lebih tinggi dibandingkan harga
ekonominya (sosial). Divergensi positif juga terjadi pada biaya faktor domestik
sebesar Rp. 267,92 per liter susu yang terjadi karena biaya privat faktor domestik
lebih tinggi dibandingkan biaya sosialnya. Hal ini terjadi karena besarnya harga
sosial untuk biaya listrik dan biaya tata niaga lebih besar dibandingkan harga
privatnya karena adanya subsidi dari pemerintah berupa subsidi listrik dan subsidi
BBM sehingga menguntungkan bagi para peternak. Selain itu pada pendapatan
juga terjadi divergensi negatif sebesar Rp. 1.250,14 per liter susu. Hal ini terjadi
karena pendapatan privat peternak lebih kecil dibandingkan pendapatan sosialnya
Hal ini merupakan akumulasi efek dari divergensi harga output dan biaya input
baik tradable maupun non-tradable.
Divergensi yang dihasilkan pada tabel PAM pada usahaternak skala
menengah dan skala besar bernilai negatif untuk divergensi penerimaan dan
divergensi pendapatan. Divergensi negatif pada penerimaan output untuk
usahaternak skala menengah sebesar Rp. 941,97 per liter susu dan pada
usahaternak skala besar adalah Rp. 946,97 per liter susu. Hal ini terjadi karena
harga sosial susu lebih tinggi daripada harga yang diterima peternak. Harga sosial
susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang nilainya lebih tinggi
dibandingkan dengan susu lokal walaupun pada kondisi tarif impor lima persen.
77
Untuk input tradable, mengalami divergensi positif sebesar Rp. 11,68 untuk
usahaternak skala menengah dan Rp. 71,99 untuk usahaternak skala besar yang
terjadi karena harga sosial input tradable yaitu pakan ternak dan obat-obatan di
pasar dunia (harga c.i.f) lebih rendah dibandingkan dengan harga privat yang
diterima oleh peternak. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan
pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga finansial (privat) pakan
ternak dan obat-obatan menjadi lebih tinggi dibandingkan harga ekonominya
(sosial). Divergensi positif pada biaya faktor domestik untuk usahaternak skala
menengah sebesar Rp. 162,78 per liter susu dan pada usahaternak skala besar Rp.
536,45 per liter susu. Hal tersebut terjadi karena adanya pembayaran upah yang
lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya.
Berdasarkan Rusastra dan Yudja (1982) dan Suryana (1980) dalam
Emiliya (2001) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang digunakan peternak
dalam membantu usahanya adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya
tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja tersebut adalah 80 persen dari
tingkat upah yang berlaku pada daerah penelitian. Divergensi negatif pada nilai
pendapatan untuk usahaternak menengah sebesar Rp. 1.116,43 per liter susu dan
pada usahaternak skala besar adalah Rp. 1.555,41 per liter susu. Hal ini terjadi
karena pendapatan privat peternak lebih kecil dibandingkan pendapatan sosialnya
dan merupakan akumulasi efek dari divergensi harga output dan biaya input faktor
domestik.
Berdasarkan hasil dari Matriks Analisis Kebijakan, dilakukan
perhitungan-perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi
78
indikator daya saing yang dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas
susu sapi perah lokal yang dibedakan menjadi kebijakan input, kebijakan output
dan kebijakan input-output. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan
yang akan dijelaskan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Indikator-Indikator Matriks Analisis Kebijakan
Indikator Usahaternak
skala kecil
Usahaternak
skala sedang
Usahaternak
skala besar
Analisis Daya Saing
Keuntungan Privat 435,62 674,29 52,49
Keuntungan Sosial 1.685,76 1.790,72 1.607,90
Rasio Biaya Privat (PCR) 0,85 0,77 0,98
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,56 0,53 0,57
Dampak Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Output
Transfer Output (TO) -946,97 -941,97 -946,97
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,76 0,76 0,76
Kebijakan Input
Transfer Input (TI) 35,25 11,68 71,99
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,24 1,09 1,36
Transfer Faktor 267,92 162,78 536,45
Kebijakan Input-Output
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,74 0,75 0,73
Transfer Bersih (NT) -1.250,14 -1.116,43 -1.555,41
Koefisien Keuntungan (PC) 0,26 0,38 0,03
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) -0,32 -0,28 -0,39
Sumber : Data Primer, diolah (2011)
5.1.1. Keunggulan Kompetitif
Analisis keunggulan kompetitif dari suatu komoditas ditentukan oleh
nilai Keuntungan Privat (KP) dan nilai Rasio Biaya Privat (PCR). Keuntungan
finansial usahaternak sapi perah adalah selisih antara penerimaan dari penjualan
susu segar dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu yang dihitung
79
berdasarkan harga aktual atau harga pasar yaitu harga setelah adanya intervensi
dari pemerintah.
Berdasarkan hasil perhitungan Matriks Analisis Kebijakan diperoleh nilai
Keuntungan Privat (KP) bernilai positif, artinya peternak yang menjalankan
usahaternak sapi perah pada skala usaha kecil, menengah, dan besar tersebut
memperoleh profit diatas normal. Besar nilai KP menunjukkan besarnya
penerimaan yang diterima oleh para peternak setelah membayar seluruh biaya
input produksi. Pada usahaternak skala kecil, besar nilai KP adalah Rp. 435,62,
pada usahaternak skala menengah diperoleh nilai KP sebesar Rp. 674,29 per liter
susu dan pada usahaternak skala besar diperoleh nilai KP sebesar Rp. 52,49 per
liter susu. Hal ini berarti bahwa keuntungan yang diterima peternak sapi perah
dengan adanya kebijakan pemerintah pada saat dilakukan penelitian adalah
sebesar Rp. 435,62 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 674,29 per liter
susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 52,49 pada usahaternak skala
besar.
Keuntungan privat lebih besar diterima pada usahaternak skala
menengah, hal ini dikarenakan biaya produksi untuk pengusahaan sapi perah pada
skala menengah lebih rendah dibandingkan dengan usahaternak pada skala usaha
besar di wilayah penelitian. Selain itu, perbedaan harga jual susu segar yang
terima peternak juga berbeda pada setiap skala usaha, dimana harga jual susu rata-
rata pada usahaternak skala menengah paling tinggi yaitu Rp. 3.005 per liter susu.
Nilai keuntungan privat lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa
usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha dalam menghasilkan komoditi
80
susu segar menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga
privat.
Selain analisis Keuntungan Privat (KP), untuk menilai keunggulan
kompetitif dari pengusahaan usahaternak sapi perah dapat digunakan Rasio Biaya
Privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai
tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga
aktual. Nilai PCR dapat menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan
untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu sapi segar. Apabila
nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (<1) maka suatu aktivitas dapat
dikatakan efisien secara finansial pada saat ada kebijakan pemerintah. Semakin
kecil nilai PCR maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki.
Hasil Analisis Matriks Kebijakan menunjukkan bahwa nilai PCR pada
ketiga skala usaha memiliki nilai yang lebih kecil dari satu. Nilai PCR pada
usahaternak skala kecil adalah 0,85, usahaternak skala menengah adalah 0,77, dan
usahaternak skala besar adalah 0,98. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa
usahaternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), KPS Bogor
efisien secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai PCR
dari masing-masing skala usaha memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai
tambah output sebesar satu satuan pada harga privat pada masing-masing skala
usaha diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0,85
(usahaternak skala kecil), 0,77 (usahaternak skala menengah), dan 0,98
(usahaternak skala besar). Dari nilai PCR tersebut dapat dilihat bahwa
usahaternak yang memiliki nilai efisiensi lebih besar secara finansial dan memiliki
81
keunggulan kompetitif lebih besar adalah usahaternak skala menengah dengan
kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor.
5.1.2. Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditi
susu segar yang diusahakan di KUNAK, KPS Bogor memiliki daya saing
(keunggulan komparatif), mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah,
dan memiliki peluang yang besar sebagai produk subtitusi impor. Analisis
keunggulan komparatif dari suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungan
Sosial (KS) atau Social Profitability (SP) dan nilai Biaya Sumberdaya Domestik
atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC). Nilai DRC menunjukkan indikator
kemampuan suatu sistem komoditi membiayai faktor domestik pada biaya sosial
dan menunjukkan penggunaan sumber daya domestik dalam menghasilkan devisa.
Keuntungan Sosial (KS) menunjukkan besarnya penerimaan yang
diterima oleh para peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi pada
kondisi pasar persaingan sempurna, dimana tidak ada campur tangan pemerintah.
Nilai KS pada usahaternak skala kecil, menengah dan besar secara berturut-turut
adalah Rp. 1.685,76, Rp. 1.790,72, dan Rp. 1.607,90 per liter susu. Nilai KS yang
bernilai positif, lebih besar dari nol (>0), pada ketiga skala usaha menunjukkan
bahwa pengusahaan usahaternak sapi perah dalam memproduksi susu segar pada
ketiga skala usaha tersebut dapat menghasilkan keuntungan secara ekonomi
dengan kondisi tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Perbedaan nilai KS
pada setiap skala usaha disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang
dikeluarkan oleh masing-masing peternak, misalnya penggunaan pakan hijauan,
82
konsentrat, dan obat-obatan serta tingkat upah yang diberikan untuk masing-
masing tenaga kerja.
Nilai keuntungan sosial (KS) dalam usahaternak sapi perah memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai Keuntungan Privat (KP) pada
ketiga skala usaha tersebut. Hal ini dikarenakan harga sosial dari susu segar
nilainya lebih tinggi yaitu Rp. 3946,97 dibandingkan dengan harga privatnya yaitu
sekitar Rp. 3.000 per liter susu. Artinya, pengusahaan sapi perah lebih
menguntungkan saat tidak ada intervensi dari pemerintah baik terhadap input
ataupun output. Kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan
harga impor (tarif impor) belum dapat mengoptimalkan keuntungan yang diterima
oleh peternak dalam hal pengusahaan ternak sapi perah. Selain itu, biaya aktual
tenaga kerja yang dibayarkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya
menyebabkan keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan
privat yang diterima oleh peternak.
Selain nilai keuntungan ekonomi, nilai dari Rasio Sumberdaya Domestik
(DRC) juga dapat menggambarkan keunggulan komparatif usahaternak sapi perah
dalam menghasilkan komoditi susu segar. Suatu usaha dikatakan efisien secara
ekonomi apabila memiliki nilai DRC yang kurang dari satu (<1). Untuk ketiga
skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor memiliki nilai DRC yang
kurang dari satu, yaitu untuk usahaternak skala kecil nilai DRC sebesar 0,56,
skala menengah sebesar 0,53, dan untuk skala besar yaitu 0,57. Nilai DRC yang
masing-masing kurang dari satu pada ketiga usahaternak menunjukkan bahwa
pengusahaan sapi perah di KUNAK, KPS Bogor efisien secara ekonomi dan
83
mempunyai keunggulan komparatif serta mampu berjalan tanpa adanya intervensi
dari pemerintah.
Usahaternak skala menegah memiliki nilai DRC paling kecil
dibandingkan dengan usahaternak skala kecil maupun skala besar. Nilai DRC dari
usahaternak skala menengah yaitu 0,53, artinya untuk memproduksi atau
menghemat satu unit nilai tambah output pada usahaternak skala kecil
membutuhkan biaya sumberdaya domestik lebih kecil dari satu satuan yang dinilai
pada harga sosial, yaitu sebesar 0.53. Nilai DRC pada skala usaha menengah
hanya berselisih 0,03 dari usahaternak skala kecil, sedangkan untuk usahaternak
skala besar nilai DRC mencapai 0,57, yang berarti biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output pada usahaternak skala
besar membutuhkan biaya yang lebih besar, walaupun nilai DRC tetap kurang dari
satu.
Berdasarkan analisis PAM, nilai DRC yang kurang dari satu dapat
menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditi susu segar
lebih baik diproduksi dalam negeri karena biaya produksi susu segar dalam negeri
relatif lebih murah dibandingkan dengan mengimpor susu bubuk dari luar negeri
dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya produksi
susu dalam negeri hanya dapat memenuhi 30 persen dari total kebutuhan susu
nasional. Oleh karena itu perlu adanya intervensi dari pemerintah untuk
membantu pengembangan dan pengusahaan usahaternak sapi perah untuk
meningkatkan kapasitas produksi susu, misalnya dengan cara pemberian kredit
84
kepada peternak dengan bunga yang rendah, selain itu harus ada perbaikan dari
sistem hulu hingga hilir dari agribisnis persusuan ini.
Nilai DRC yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR (DRC<PCR)
menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan dari pemerintah yang dapat
meningkatkan efisiensi peternak dalam memproduksi susu sapi segar. Penurunan
efisiensi produksi terjadi ketika pemerintah menghapus subsidi untuk pakan
ternak dan obat-obatan pada tahun 2000. Selain itu adanya penghapusan tarif susu
impor juga berpengaruh terhadap tingkat efisiensi peternak dalam memproduksi
susu segar. Walaupun sejak 1 Juli 2009 tarif impor susu telah kembali dinaikkan
menjadi lima persen, namun efisiensi dari pengusahaan ternak sapi perah belum
juga maksimal. Banyak peternak yang tidak tahu mengenai kenaikan tarif impor
tersebut, sehingga banyak peternak yang kurang bergairah untuk mengembangkan
usahaternaknya karena mereka berpikir bahwa dengan kondisi tarif impor susu
sebesar nol persen maka harga jual susu mereka ke koperasi akan semakin rendah.
Selain itu harga pakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini juga
menjadi salah satu penyebab kurang efisiennya produksi susu para peternak.
Seluruh kebijakan-kebijakan tersebut mengakibatkan pengusahaan sapi perah
mengalami penurunan tingkat efisiensi jika dibandingkan apabila pemerintah
tidak menghapus subsidi untuk pakan ternak maupun obat-obatan dan menghapus
tarif impor.
5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah
Dalam suatu aktivitas ekonomi, adanya kebijakan dari pemerintah dapat
memberikan suatu dampak yang positif maupun dampak negatif kepada para
85
pelaku ekonomi maupun kedalam sistem perekonomian tersebut. Adanya suatu
penerapan kebijakan juga dapat mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan
produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Dengan
menggunakan Matriks Analisis Kebijakan kita dapat menghitung dampak
berbagai kebijakan terhadap input, output, maupun input-output dari beberapa
indikator hasil.
Pada dasarnya, dalam suatu kebijakan perdagangan luar negeri,
pemerintah membuat suatu kebijakan adalah dengan tujuan untuk melindungi
produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor serupa lebih rendah harganya
dibandingkan harga produk dalam negeri maka hal tersebut dapat melemahkan
daya saing dari produk domestik terhadap produk impor. Preferensi masyarakat
akan beralih ke produk-produk impor serupa yang harganya lebih murah
dibandingkan dengan produk domestik. Akibatnya akan terjadi penurunan
permintaan terhadap produk domestik sehingga akan menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah produksi. Akan tetapi, untuk permasalahan susu impor hal
tersebut tidak berlaku.
Saat ini harga susu impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga
susu domestik. Akan tetapi Industri Pengolahan Susu (IPS) cenderung lebih
senang untuk mengimpor susu walaupun dengan harga yang relatif lebih mahal.
Hal ini berimplikasi pada harga beli yang ditawarkan oleh IPS kepada para
peternak menjadi lebih rendah (murah). Penetapan harga beli yang rendah oleh
IPS akan menurunkan daya saing susu sapi lokal dengan produk susu impor.
Kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi
86
lokal, dalam hal ini peternak, guna meningkatkan daya saing produk dalam negeri.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input, output dan input-output akan
dijelaskan dalam subbab berikut ini.
5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input
Kebijakan pemerintah terhadap harga input dari usahaternak yang
dijalankan dapat berupa penetapan pajak ataupun subsidi. Bentuk kebijakan
pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif ataupun
non tarif) diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan
sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Dampak
kebijakan terhadap input dapat dijelaskan melalui nilai Transfer Input (IT),
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) dan Transfer Faktor (TF).
a. Transfer Input (IT)
Nilai transfer input merupakan selisih dari harga privat input tradable
dengan harga sosialnya. Transfer input (IT) yang bernilai positif menjelaskan
bahwa adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang
akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen
tidak mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika transfer input
bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input akan
mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat
menjadi lebih rendah dibandingkan pada tingkat harga sosial. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan
produsen lokal.
87
Dalam penelitian ini, nilai transfer input pada ketiga skala usaha bernilai
positif. Pada usahaternak skala kecil nilai transfer input sebesar 32,25, pada
usahaternak skala menengah memiliki nilai transfer input sebesar 11,68, dan
71,99 untuk usahaternak skala besar. TI yang bernilai positif berarti bahwa
kebijakan pemerintah pada input tradable merugikan produsen sebesar Rp, 32,25
per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu (usahaternak
skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala besar). Hal ini
terjadi karena adanya pajak atas input tradable sehingga harga input tradable
yang diterima peternak pada harga privat menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan harga sosialnya tanpa adanya distorsi pasar (pajak). Oleh karena itu
terdapat transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input tradable sebesar
Rp. 32,25 perliter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu
(usahaternak skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala
besar).
Harga input tradable seperti pakan ternak, terutama konsentrat yang
bahan bakunya sebagian besar diimpor dari luar negeri memiliki nilai yang lebih
tinggi pada harga privat. Hal ini dikarenakan struktur pasar dari pengusaha pakan
ternak yang cenderung oligopoli sehingga mereka dapat menentukan harga pakan
lebih tinggi di tingkat privat dibandingkan dengan harga sosial. Selain itu, harga
obat-obatan di tingkat harga privat juga memiliki harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini terjadi karena adanya pencabutan
kebijakan pemerintah mengenai subsidi obat-obatan sejak tahun 2000.
88
b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio untuk
mengukur transfer input tradable. NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan
harga domestik dari input tradable dengan harga sosialnya. Nilai NPCI
menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada
input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI lebih besar
dari satu (NPCI > 1) menjelaskan bahwa biaya input domestik lebih mahal
daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya
proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang
menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi.
Sebaliknya jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI < 1) menjelaskan bahwa biaya
input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga
dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga
proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri.
Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCI pada ketiga skala usaha bernilai
positif (NPCI>1) yaitu 1,24 untuk usahaternak skala kecil, untuk usahaternak
skala menengah sebesar 1,09, dan 1,36 untuk usahaternak skala besar. NPCI yang
bernilai positif tersebut berarti ada kebijakan proteksi terhadap produsen input,
sedangkan para peternak sapi perah pada ketiga skala usaha tersebut dirugikan
karena terjadi peningkatan biaya produksi dengan penggunaan input tersebut.
Peternak pada skalausaha kecil, menengah dan besar harus membeli input
tradable (pakan konsentrat dan obat-obatan) dengan harga yang lebih mahal 24
persen, 9 persen dan 36 persen dari harga seharusnya. Sedangkan produsen input
89
tersebut diuntungkan sebesar kerugian yang diterima oleh peternak pada masing-
masing skala usaha.
c. Transfer Faktor (FT)
Selain penggunakan input tradable, para peternak sapi perah juga
menggunakan input non-tradable (faktor domestik) dalam pengusahaan ternak
sapi perah. Seluruh komponen input yang dinakan dalam penelitian ini termasuk
kedalam input non-tradable (faktor domestik). Penggunaan input non-tadable
(faktor domestik) meliputi pakan ternak (hijauan dan ampas tahu), tenaga kerja,
sewa lahan, peralatan, tata niaga, dan input domestik lainnya. Transfer faktor
disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan
harga privat faktor domestik yang diterima peternak sapi perah di KUNAK, KPS
Bogor berbeda dengan harga sosialnya.
Berdasarkan hasil Analisis Matriks Kebijakan menunjukkan bahwa nilai
transfer faktor pada usahaternak sapi perah skala kecil bernilai positif, yaitu Rp.
267,92 per liter susu. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non-tradable yang
dikeluarkan oleh pemeintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi
dibandingkan dengan harga input non-tradable pada tingkat harga sosialnya. Hal
ini merugikan bagi peternak karen membayar input domestik lebih tinggi
dibandingkan harga sosialnya, akan tetapi produsen input domestik akan
mengalami keuntungan sebesar Rp. 267,92 per liter susu yang dihasilkan oleh
peternak.
Pada usahaternak skala menengah dan sakal besar, nilai Transfer Faktor
(TF) bernilai positif, yaitu Rp. 162,78 untuk usahaternak skala menengah dan Rp.
90
536,45 untuk usahaternak skala besar. Nilai TF yang positif menunjukkan bahwa
peternak pada kedua skala usaha tersebut membayar input domestik lebih tinggi
dibandingkan dengan harga sosialnya. Selain itu, produsen input domestik
mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp. 162,78 yang berasal dari
usahaternak skala menengah dan Rp. 536,45 dari usahaternak skala besar untuk
setiap satu liter susu yang dihasilkan.
Salah satu penyebab terjadinya transfer faktor pada usahaternak skala
menengah dan skala besar adalah adanya kebijakan yang distorsif di pasar tenaga
kerja. Penilaian harga bayangan dari upah yang diterima oleh para pekerja adalah
80 persen dari tingkat upah yang berlaku di pasar (Suryana, 1980). Hal ini
dikarenakan tenaga kerja yang digunakan dalam membantu usahaternak adalah
tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya adalah tenaga kerja tidak terdidik.
Selain itu komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analisis
ekonomi, namun komponen tersebut tetap diperhitungkan pada analisis finansial.
5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output
Kebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku pada harga
input, namun berlaku pula untuk output yang dihasilkan dari pengusahaan ternak
sapi perah. Dalam penelitian ini output yang dihasilkan adalah susu segar.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer
Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi
pemerintah dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa
tarif dan pajak ekspor ataupun impor.
91
a. Transfer Output (OT)
Transfer output terjadi karena adanya divergensi pada harga output yang
terjadi karena adanya perbedaan antara harga privat dengan harga sosialnya. Nilai
TO positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan
harga output privat lebih besar dibandingkan dengan harga output pada harga
bayangan. Hal ini menunjukkan adanya insentif dari konsumen kepada produsen
dimana konsumen membayar harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya
dibayarkan. Nilai TO negatif bearti bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi
pasar menyebabkan harga output pada harga privat menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan harga bayangannya.
Hasil analisis pada tabel PAM, nilai OT adalah negatif pada ketiga
usahaternak skala. Pada uasahaternak skala kecil, nilai OT sebesar Rp. 946,97 per
liter susu, Rp. 941,97 per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp.
946,97 pada usahaternak skala besar. Niali OT yang negatif pada masing-masing
skala usaha tersebut menu jukkan adanya divergensi dimana harga privat output
susu segar yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor lebih
rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut menjelaskan
bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap output susu segar akan lebih
menguntungkan konsumen karena konsumen membeli susu segar dengan harga
yang lebih rendah dari harga yang seharusnya.
Konsumen mendapat transfer output sebesar Rp. 946,97 per liter susu
dari usahaternak skala kecil, Rp. 941,97 per liter susu dari usahaternak skala
menengah, dan Rp. 946,97 dari usahaternak skala besar sehingga konsumen (IPS)
92
dapat membeli susu dengan harga yang lebih rendah sebesar OT dari masing-
masing peternak pada ketiga skala usaha dari harga yang seharusnya diterima
peternak jika tidak ada intervensi pemerintah atau distorsi pasar. Kebijakan
pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar lima persen, tidak berjalan
efektif karena pada kenyataannya produsen susu dalam negeri (peternak) masih
sulit bersaing dengan susu impor. Kecenderungan IPS untuk lebih suka membeli
susu impor juga merupakan salah satu kendala bagi para peternak lokal untuk
meningkatkan usahanya. Tarif impor sebesar lima persen masih dirasa rendah
oleh para peternak karena belum dapat meningkatkan efisiensi usaha mereka.
Berdasarkan nilai TO, usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha
mengalami kerugian yang berbeda-beda. Perbedaan besarnya kerugian ini
tergantung dari besarnya harga jual susu yang diterima oleh peternak. Peternak
pada skala usaha menengah mendapatkan harga jual susu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan peternak pada skala usaha kecil dan besar. Divergensi untuk
penerimaan output yang bernilai negatif ini juga terjadi karena harga sosial susu
diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang harganya lebih tinggi
dibandingkan dengan harga susu dalam negeri dengan standar dan kualitas yang
sama.
b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) dibuat untuk mengukur
output transfer dimana besarnya nilai NPCO adalah rasio antara penerimaan yang
dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung
berdasarkan harga bayangan. Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga
93
output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial (Pearson et al, 2005).
Bila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti harga output di pasar
domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau berarti sistem mendapat
suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO
< 1) berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di pasar dunia.
Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCO yang didapatkan pada penelitian
ini pada ketiga usahaternak skala adalah sama besar, yaitu 0,76. Nilai NPCO yang
kurang dari satu tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menetapkan
tarif impor lima persen belum berjalan efektif karena menyebabkan harga yang
diterima oleh para peternak, baik peternak dengan skala usaha kecil, menengah
maupun skala besar lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya.
Produsen hanya menerima harga 76 persen dari harga yang seharusnya diterima
peternak bila tidak ada distorsi pasar dan intervensi pemerintah pada pasar output.
5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan
melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC),
Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi
Produsen (SRP).
a. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi usahaternak sapi
perah di KUNAK, KPS Bogor. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan
94
pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC
yang lebih besar dari satu (EPC>1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang
melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan nilai EPC kurang dari
saru (EPC<1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak
berjalan efektif.
Berdasarkan hasil analisis, nilai EPC yang didapatkan dalam penelitian
ini adalah 0,74 untuk usahaternak skala kecil, 0,75 untuk usahaternak skala
menengah, dan 0,73 untuk usahaternak skala besar. Nilai EPC yang kurang dari
satu pada ketiga usahaternak skala sapi perah di KUNAK, KPS Bogor
menunjukkan bahwa kebijakan input-output tidak dapat berjalan efektif atau
menghambat peternak lokal dalam hal pengusahaan menghasilkan susu sapi segar.
Hal ini dikarenakan harga privat output yang diterima peternak lebih kecil
dibandingkan dengan harga sosialnya, dan harga input non-tradable yang diterima
peternak juga lebih mahal daripada harga bayangannya.
b. Transfer Bersih (NT)
Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat
dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer
output, transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai NT lebih besar
dari satu (NT > 1) berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output.
Sedangkan apabila nilai NT kurang dari satu (NT < 1) berarti terjadi pengurangan
pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada
input dan output.
95
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tabel 5.2, nilai NT bernilai negatif
pada ketiga usahaternak skala. Nilai NT yang diperoleh pada msing-masing skala
usaha adalah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 1.116,43
per liter susu (usahaternak skala menengah) dan Rp. 1.555,41 per liter susu (pada
usahaternak skala besar). Hal ini berarti bahwa terjadi pengurangan surplus
produsen sebesar nilai NT pada masing-masing usahaternak skala yang
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku pada saat ini. Keuntungan
yang diperoleh produsen pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi
pasar pada saat ini lebih rendah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala
kecil), Rp. 1.116,43 per liter susu (usahaternak skala menengah) dan Rp.
1.555,41 per liter susu (pada usahaternak skala besar) dibandingkan kerugian
apabila tidak ada intervensi pemerintah.
c. Koefisien Keuntungan (PC)
Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan
Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat
dan keuntungan sosial. Tabel 5.2 menunjukkan nilai PC yang dihasilkan dari
masing-masing usaha ternak memiliki nilai kurang dari satu. Nilai PC sebesar
0,26 (usahaternak skala kecil ), 0,38 (usahaternak skala menengah), dan 0,03
(usahaternak skala besar) berarti bahwa keuntungan produsen dengan intervensi
dan distorsi yang terjadi saat ini adalah 0, 26 kali dari keuntungan sosial pada
usahaternak skala kecil, 0, 38 kali dari keuntungan sosial pada usahaternak skala
menengah, dan 0,03 kali dari keuntungan sosial untuk usahaternak skala besar .
Nilai PC tersebut juga menunjukkan bahwa produsen harus mengeluarkan dana
96
kepada konsumen (IPS) sebesar 74 persen pada usahaternak skala kecil, 62 persen
pada usahaternak skala menengah dan 97 persen pada usahaternak skala besar,
sehingga keuntungan yang diterima peternak lebih kecil daripada keuntungan
sosialnya.
d. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer
bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. SRP juga dapat menunjukkan
pengaruh transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP
yang negatif (SRP<0) berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya
produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya kebijakan
pemerintah tersebut. Nilai SRP yang positif (SRP>0) menunjukkan bahwa adanya
kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi
terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi.
Berdasarkan hasil pada Tabel 5.2, nilai SRP yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah bernilai negatif untuk masing-msing skala usaha. Nilai SRP
sebesar 0,32 (usahaternak skala kecil), dan 0,28 (usahaternak skala menengah)
dan 0,39 (usahaternak skala besar) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
yang berlaku saat ini menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi
lebih besar 32 persen pada usahaternak skala kecil, 28 persen pada usahaternak
skala menengah dan 39 persen pada usahaternak skala besar dari opportunity cost
masing-masing peternak dari setiap skala usaha untuk berproduksi. Nilai yang
97
keseluruhan negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar
yang terjadi saat ini merugikan produsen susu (peternak) di KUNAK, KPS Bogor.
5.2. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubtitusi kelemahan metode
PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor
yang sebenarnya sangat rentan untuk berubah. Dalam penelitian ini, analisis
sensitivitas yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana daya saing
usahaternak sapi perah dan dampak dari kebijakan pemerintah seperti
peningkatan penerapan tarif impor. Selain itu analisis sensitivitas juga dilakukan
ketika penerapan tarif impor dihapuskan menjadi nol persen.
Penelitian ini menggunakan dua sekenario analisis sensitivitas, yaitu:
1. Daya saing komoditi susu jika tarif impor turun sebesar 5 persen menjadi nol
persen
Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana dampak dari
penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing komoditi susu segar yang
dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor. Hipotesis dari analisis
ini adalah adanya penurunan tingkat daya saing dan tingkat keuntungan yang
diterima oleh para peternak akibat adanya penghapusan tarif impor susu.
2. Daya saing komoditi susu jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen
Analisis ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan daya saing
komoditi susu yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dari
penerapan tarif impor lima persen menjadi 15 persen sesuai dengan pernyataan
ketua GKSI. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen cukup adil bagi para
98
peternak dan konsumen susu segar sehingga dapat meningkatkan posisi tawar
menawar peternak lokal. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen diharapkan
dapat memberikan insentif bagi para peternak sehingga para peternak dapat
mengembangkan usahanya.
Hasil analisis sensitivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Indikator-indikator Matriks Analisis Kebijakan pada Kondisi
Tarif Impor Nol Persen, 5 Persen, dan 15 Persen
Indikator Tarif Impor 0 Persen Tarif Impor 5 Persen Tarif Impor 15 Persen
A B C A B C A B C
KP 285,62 374,04 -97,51 435,62 674,29 52,49 735,62 974,79 352,49
KS 1.488,41 1.593,37 1.410,55 1.685,76 1.790,72 1.607,90 2.080,46 2.185,41 2.002,59
PCR 0,89 0,85 1,04 0,85 0,77 0,98 0,76 0,69 0,88
DRC 0,59 0,56 0,60 0,56 0,53 0,57 0,50 0,48 0,52
TO -899,62 -1.044,87 -899,62 -946,97 -941,97 -946,97 -946,97 -941,97 -946,97
NPCO 0,76 0,72 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76 0,76
TI 35,25 11,68 71,99 35,25 11,68 71,99 35,25 11,68 71,99
NPCI 1,24 1,09 1,36 1,24 1,09 1,36 1,24 1,09 1,36
TF 267,92 162,78 536,45 267,92 162,78 536,45 267,92 162,78 536,45
EPC 0,74 0,71 0,73 0,74 0,75 0,73 0,74 0,75 0,73
NT -1.202,79 -1.219,33 -1.508,06 -1.250,14 -1.116,43 -1.555,41 -1.250,14 -1.116,43 -1.555,41
PC 0,19 0,23 -0,07 0,26 0,38 0,03 0,35 0,45 0,18
SRP -0,81 -0,77 -1,07 -0,32 -0,28 -0,39 -0,60 -0,51 -0,78
Keterangan : A : Usahaternak skala kecil
B : Usahaternak skala menegah
C : Usahaternak skala besar
Menurut hasil analisis sensitivitas, semakin tinggi penetapan tarif impor
maka semakin tinggi pula daya saing usahaternak sapi perah. Penatapan tarif
impor tersebut memberikan insentif yang lebih kepada para peternak sapi perah di
KUNAK, KPS Bogor dan memacu para peternak untuk mengembangkan
usahanya. Peningkatan daya saing ditandai dengan semakin meningkatnya nilai
keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diterima oleh peternak. Selain itu
99
daya saing secara kompetitif dan komparatif dari usahaternak sapi perah di
KUNAK, KPS Bogor semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin kecilnya
nilai DRC dan PCR.
5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima
Persen menjadi Nol Persen
Penghapusan tarif impor, seperti yang terjadi pada tahun 2009 yang
bertahan selama kurang lebih tiga bulan, menyebabkan tingkat keuntungan yang
diterima peternak baik dari sisi privat maupun sisi ekonomi mengalami
penurunan. Selain itu tingkat daya saing usahaternak sapi perah juga menurun.
Banyak peternak yang merasa dirugikan karena harga jual susu mereka semakin
menurun. Hal ini juga dialami oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dimana
harga jual susu mereka berkisar antara Rp. 2800 hingga Rp. 2900 per liter susu.
Dampak penghapusan tarif impor sebesar lima persen dirasakan juga di
KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor tersebut menyebabkan
berkurangnya nilai keuntungan privat dari Rp. 435,62 menjadi Rp. 285,62 per liter
susu pada usahaternak skala kecil, pada usahaternak skala menegah terjadi
penurunan dari Rp. 674,29 menjadi Rp. 374,04 per liter susu, dan pada
usahaternak skala besar pada kondisi tarif impor nol persen peternak mengalami
kerugian hingga Rp. 97,51 per liter susu. Selain menurunnya nilai keuntungan
privat, keuntungan sosial peternak juga mengalami penurunan walaupun harga
jual susu impor mengalami penurunan sebesar Rp. 197,35 per liter susu.
Selain berkurangnya nilai keuntungan privat ataupun sosial, dampak lain
dari adanya penghapusan tarif impor susu adalah berkurangnya daya saing
100
usahaternak sapi perah lokal. Hal ini terjadi pada usahaternak pada ketiga skala
usaha di KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor menurunkan keunggulan
kompetitif yang ditandai dengan semakin tingginya nilai PCR. Pada usaha ternak
skala kecil dan skala menengah, nilai PCR kurang dari satu yaitu 0,89 dan 0,85
walaupun pada kondisi tarif impor sebesar nol persen. Hal ini berarti pada
usahaternak skala kecil dan menengah tersebut masih memiliki keunggulan
kompetitif. Namun, pada usahaternak skala besar, nilai PCR mencapai 1,04 yang
berarti bahwa usahaternak tersebut tidak efisien secara finansial dan tidak
memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga susu
yang diterima oleh peternak, sedangkan alokasi biaya input yang dikeluarkan oleh
peternak besar. Selain penurunan tingkat keunggulan kompetitif, penghapusan
tarif impor juga berdampak pada penurunan keunggulan komparatif. Penurunan
tingkat keunggulan komparatif ditandai dengan semakin tingginya nilai DRC.
Ketiga skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor tetap memiliki
keunggulan komparatif meskipun diberlakukan tarif impor sebesar nol persen.
Nilai DRC yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR
mengindikasikan bahwa pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar tidak
memberikan insentif yang baik bagi para peternak sehingga keuntungan privat
yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Intervensi pemerintah baik
pada input maupun distorsi pada pasar output cenderung merugikan peternak.
Distorsi pada pasar output terjadi karena kecenderunagn IPS untuk lebih
101
menggunakan produk susu impor walaupun harga susu impor relatif lebih mahal
dibandingkan dengan harga jual susu lokal.
5.2.2. Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen
Nilai tarif impor sebesar 15 pesen dirasakan cukup adil bagi para
peternak. Menurut ketua GKSI, tarif impor yang sesuai untuk melindungi para
peternak lokal adalah 15 persen. Dengan adanya penetapan tarif impor sebesar 15
persen maka akan meningkatkan daya saing para peternak lokal sehingga mereka
memiliki posisi tawar menawar yang kuat sehingga akan memberikan insentif
yang lebih bagi para peternak untuk mengembangkan usahanya.
Penetapan tarif impor sebesar 15 persen meningkatkan harga jual susu
para peternak di ketiga skala usaha. Pada usahaternak skala kecil dan skala besar
harga jual susu meningkat dari Rp. 3.000 pada kondisi tarif impor lima persen
menjadi Rp. 3.300, sedangkan untuk usahaternak skala menengah harga jual susu
meningkat dari Rp 3.005 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi Rp.
3.305,50. Peningkatan harga jual susu para peternak di tingkat privat memberikan
insentif lebih bagi para peternak, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya nilai
keuntungan privat pada usahaternak skala kecil dan besar sebesar Rp. 300 per liter
susu dan pada usahaternak skala menengah meningkat sebesar Rp. 300,50 per liter
susu. Keuntungan privat untuk usahaternak skala kecil meningkat dari Rp. 435,62
menjadi Rp. 735,62 , pada usahaternak skala menengah meningkat dari Rp.
674,29 menjadi Rp. 974,79 , dan pada usahaternak skala besar meningkat dari Rp.
52,49 menjadi Rp. 352,49.
102
Peningkatan keuntungan privat diikuti dengan semakin rendahnya nilai
PCR pada ketiga skala usaha. Pada usahaternak skala kecil nilai PCR mengalami
penurunan dari 0,85 pada saat tarif impor lima persen menjadi 0,76 pada kondisi
tarif impor 15 persen, pada usahaternak skala menengah nilai PCR juga
mengalami penurunan dari 0,77 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi 0,69
pada kondisi tarif impor 15 persen, dan pada usahaternak skala besar nilai PCR
menurun dari 0,98 menjadi 0,88 pada kondisi tarif impor 15 persen. Adanya
peningkatan nilai keuntungan privat dan penurunan nilai PCR mengindikasikan
bahwa terjadi peningkatan keunggulan kompetitif dari komoditi susu sapi yang
dihasilkan oleh para peternak yang berada di KUNAK, KPS Bogor pada kondisi
penetapan tarif impor sebesar 15 persen.
Selain terjadi peningkatan keunggulan kompetitif, peningkatan tarif
impor susu menjadi 15 persen juga meningkatkan keunggulan komparatif
komoditi susu yang dihasilkan oleh para peternak sapi perah di KUNAK, KPS
Bogor. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai keuntungan sosial dan
menurunnya nilai DRC di ketiga skala usahaternak. Keuntungan sosial para
peternak pada ketiga skala usaha meningkat dari Rp. 1.685,76 per liter susu
menjadi Rp. 2.080,46 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 1.790,72
menjadi Rp. 2.185,41 pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 1.607,90
menjadi Rp. 2.002,59 pada usahaternak skala besar. Keuntungan sosial pada
ketiga skala usaha meningkat sebesar Rp. 394,70 per liter susu. Selain terjadi
peningkatan nilai keuntungan sosial, peningkatan keunggulan komparatif juga
ditandai dengan semakin kecilnya nilai DRC. Nilai DRC pada ketiga skala usaha
103
mengalami penurunan, yaitu pada usahaternak skala kecil menurun dari 0,56 pada
kondisi tarif impor lima persen menjadi 0,50 pada kondisi tarif impor 15 persen,
pada usahaternak skala menengah nilai DRC turun dari 0,53 menjadi 0,48 pada
kondisi tarif impor 15 persen, dan pada usahaternak skala besar nilai DRC
menurun dari 0,57 menjadi 0,52 pada kondisi tarif impor 15 persen.
104
VI. KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil analisis dan tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor mendapatkan nilai
keuntungan yang nilainya lebih besar dari nol pada ketiga skala usaha. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa pengusahaan sapi perah pada ketiga
skala usaha tersebut efisien dan menguntungkan baik secara finansial
maupun ekonomi. Hal ini menunjukkkan bahwa pengusahaan sapi perah di
KUNAK, KPS Bogor layak dan baik untuk dikembangkan. Besarnya nilai
keuntungan yang diperoleh pada masing-masing skala usaha berbeda-beda,
tergantung dari harga jual susu yang diterima oleh para peternak dan jumlah
input yang digunakan oleh para peternak di masing-masing skala usaha.
2. Usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor
memiliki daya saing baik dan memiliki keunggulan kompetitif pada kondsi
tarif impor sebesar lima persen dari segi finansial dalam menghasilkan susu
segar. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat yang lebih besar dari
nol, yaitu Rp. 669,92 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 674,29
per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 52,49 per liter susu
pada usahaternak skala besar. Selain itu nilai PCR yang kurang dari satu
pada ketiga skala usaha, yaitu 0,76 untuk usahaternak skala kecil, 0,77
untuk usahaternak skala menengah dan 0,98 untuk usahaternak skala besar.
105
Dari nilai PCR tersebut dapat dilihat bahwa usahaternak yang memiliki nilai
efisiensi lebih besar secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif
lebih besar adalah usahaternak skala kecil dengan kepemilikan sapi laktasi
satu hingga tiga ekor.
3. Usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor
memiliki daya saing baik dan memiliki keunggulan komparatif pada kondsi
tarif impor sebesar lima persen dari segi ekonomi dalam menghasilkan susu
segar. Usahaternak sapi perah memiliki nilai keuntungan sosial yang
nilainya lebih dari nol, yaitu Rp. 1.873,20 pada usahaternak skala besar, Rp.
1.790,72 pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 1.607,90 pada
usahaternak skala kecil. Selain itu, untuk ketiga skala usahaternak sapi
perah memiliki nilai DRC yang kurang dari satu, yaitu 0,51pada
usahaternak skala kecil, 0,53 pada usahaternak skala menengah, dan 0,57
pada usahaternak skala besar.
4. Nilai keuntungan privat pada pengusahaan sapi perah lebih kecil
dibandingkan dengan nilai keuntungan di tingkat sosial. Hal ini disebabkan
karena harga bayangan susu yang didekati dengan susu impor lebih tinggi
dai harga finansialnya. Selain itu dari hasil analisis didapatkan nilai DRC
yang lebih kecil dibandingkan nilai PCR (PCR>DRC). Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan
efisiensi peternak dalam memproduksi susu sapi segar. Kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah seperti adanya tarif impor susu sebesar lima
106
persen tidak dapat mendorong daya saing susu sapi lokal dan kebijakan
tersebut tidak memberikan insentif bagi peternak.
5. Adanya penghapusan tarif impor menyebabkan menurunnya daya saing
yang ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan DRC, dan menurunnya
tingkat keuntungan yang diperoleh para peternak. Hal ini tetap terjadi
walaupun pemerintah telah menetapkan kondisi tarif impor lima persen. Hal
ini terjadi karena kurangnya informasi kepada para peternak mengenai
peningkatan kembali tarif impor tersebut. Penetapan tarif impor sebesar 15
pesen meningkatkan daya saing dan nilai keuntungan bagi para peternak
dengan nilai PCR dan DRC yang semakin kecil. Semakin besar penetapan
tarif impor, maka akan meningkatkan daya saing peternak lokal dan
meningkatkan nilai keuntungan yang diterima oleh peternak.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian di KUNAK, KPS Bogor Jawa
Barat, saran yang layak untuk dipertimbangkan adalah:
1. Bagi para peternak di KUNAK, KPS Bogor sebaiknya meningkatkan
usahaternaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga dapat
meningkatkan pendapatan peternak dan peternak diharapkan mampu
menerima dan mengimplikasikan berbagai teknologi baru untuk
pengusahaan ternak sapi perah serta memperbaiki manajemen pemeliharaan
sapi perah sehingga dapat menghasilkan susu dengan kualitas yang baik
sehingga harga jual susu peternak menjadi meningkat.
107
2. Bagi pemerintah sebaiknya mendukung pengusahaan ternak sapi perah
dengan mengeluarkan kebijakan baik dari sisi input maupun output yang
dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah.
Pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai kebijakan tarif impor susu yang
saat ini ditetapkan lima persen untuk melindungi para produsen lokal
(peternak) karena pada saat ini Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri
masih lebih memilih untuk mengimpor susu dari luar negeri meskipun
dalam kondisi adanya penetapan tarif impor lima persen. Pemerintah perlu
untuk mempertimbangkan untuk meningkatkan tarif impor hingga 15 persen
atau 20 persen sesuai dengan usulan GKSI agar jumlah susu impor yang
masuk ke dalam negeri menjadi terbatas. Dengan penetapan tarif impor
tersebut akan meningkatkan keuntungan dan daya saing peternak sehingga
layak untuk diterapkan untuk mengembangkan usahaternak sapi perah dan
memberikan motivasi bagi para peternak untuk meningkatkan jumlah
produksi susu dalam negeri.
3. Selain menghasilkan insentif bagi peternak, penetapan tarif impor susu juga
memberikan tambahan penerimaan pemerintah sebesar jumlah impor
dikalikan dengan selisih harga setelah tarif dengan harga sebelum tarif. Oleh
karena itu penerimaan yang didapatkan oleh pemerintah sebaiknya
digunakan untuk membiayai riset dan kajian mengenai pengembangan
usahaternak sapi perah serta memberikan pendidikan dan penyuluhan
kepada para peternak guna meningkatkan usahaternak mereka. Selain
pengkajian ulang mengenai penetapan tarif impor, kebijakan lain yang perlu
108
dipertimbangkan adalah pemberian kredit kepada para peternak dengan
bunga yang rendah dan pengkajian kembali mengenai kebijakan subsidi
pakan ternak dan obat-obatan. Karena pada saat ini harga jula pakan
semakin tinggi tetapi kualitas pakan tersebut dirasa semakin menurun. Oleh
karena itu perlu adanya intervensi pemerintah sebagai pengawas terhadap
pemasok bahan baku sehingga dapat menghindari terjadinya distorsi pada
pasar input.
4. Pentingnya penerapan kebijakan penyerapan seluruh Susu Segar Dalam
Negeri bagi industri pengolahan susu, baik yang tergabung dalam anggota
IPS maupun industri pengolahan susu diluar IPS. Selain itu untuk
meningkatkan posisi tawar menawar peternak kepada IPS, perlu didukung
dengan adanya kebijakan untuk menciptakan suatu kondisi pemasaran susu
segar yang adil bagi para peternak dan IPS. Salah satu bentuk kebijakan
tersebut adalah penetapan harga susu sebaiknya berdasarkan kesepakatan
antara peternak dengan IPS, sehingga tidak akan ada pihak yang merasa
dirugikan.
109
DAFTAR PUSTAKA
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif serta Dampak
Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman
Pangan di Provinsi Riau. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.
Erwidodo. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi Terhadap
Industri Persusuan di Indonesia. Prosiding. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2.
Sutomo S, Mangiri K, penerjemah: Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
GKSI. 2008. Harga Susu Sapi Perah Segar Tingkat Peternakan dan Koperasi
Susu di Jawa Barat. GKSI Pusat, Jakarta.
Kadariah, LK dan C, Grey. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomis. Edisi Dua. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Kuraisin, V. 2006. Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan
Pemerintah Terhadap Komoditi Susu Sapi (Studi Kasus: Desa
Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) [Skripsi].
Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Lindert, P.H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Alih Bahasa
Burhanuddin Abdullah) Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Malian et al. 2004. Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi
Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi 22: 26-45
Monke EA, Pearson SR. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agriculture
Developement. Itacha and London: Cornell University Press.
Monke EA, Pearson SR. 2005. The Policy Analysis Matrix for Agriculture
Developement (2nd Edition). Itacha and London: Cornell University
Press.
110
Pearson, S. Dan C, Gotsch. 2004. Application of The Policy Analysis Martix in
Indonesian Agriculture. Bachri S, penerjemah : Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New
York.
Porter, M.E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New York.
Pratama, P. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Komoditas Susu Segar Sapi Perah (Studi Kasus: Anggota
Koperasi Peternak Garut Selatan, Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Priyanti, A dan Saptati, RA. 2009. Dampak Harga Susu Dunia Terhadap Harga
Susu dalam Negeri di Tingkat Peternak: Kasus Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara di Jawa Barat.
Salvator, D. 1997. Ekonomi Internasional, edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
Simanjuntak S. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Simanjuntak, P et.al. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net
Economic Benefit for Comparative Advantage Analysis Agribusiness
Division Working Paper No. 2/91, Centre for Agro-Socioeconomic
Research, Bogor.
Siregar, P. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap
Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak
Anggota TPK Cibedug, KPBSU Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Sudaryanto, T dan P, Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu
Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif
Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sunandar, I. 2007. Analisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Pengusahaan komoditi Tanaman Karet Alam (kasus di Kecamatan
Cambai, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan). [Skripsi].
Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
111
Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubi Kayu dan Jagung
di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya
Sumber Daya Domestik. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.
Swastika et al. 2005. The Status and Prospect of crops in Indonesia. United
Nation: ESCAP.
Yusdja, Y. 2001. Analisis Kebijakan Industri Persusuan dalam Negeri. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3):257-268.
112
Lampiran 1. Alokasi Input-Output Tahun 2000
FINANSIAL EKONOMI
No Uraian
Domesti
k Asing Pajak Domestik Asing
A Penerimaan Output
1 Output susu 100% 0% 0% 100% 0%
B Input Produksi
1 Pakan
Pakan hijauan 100% 0% 0% 100% 0%
Konsentrat 75% 15% 10% 85% 15%
Ampas tahu 100% 0% 0% 100% 0%
2 Obat-obatan
Mineral 78.45% 15.625% 5.93% 84.38% 15.625%
Biosid 78.45% 15.625% 5.93% 84.38% 15.625%
Vaselin 78.45% 15.625% 5.93% 84.38% 15.625%
3 Tenaga kerja 100% 0% 0% 100% 0%
Keluarga 100% 0% 0% 100% 0%
Non-Keluarga 100% 0% 0% 100% 0%
4 Penyusutan peralatan 100% 0% 0% 100% 0%
5 Sewa lahan 100% 0% 0% 100% 0%
6 Pajak 100% 0% 0% 100% 0%
7 Biaya air 100% 0% 0% 100% 0%
8 Biaya listrik 100% 0% 0% 100% 0%
9 Biaya tata niaga
Biaya transport susu 85% 10% 5% 90% 10%
Biaya transport pakan 85% 10% 5% 90% 10%
113
Lampiran 2. Alokasi Budget Pivat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil,
Menengah dan Besar
Keterangan
Usahaternak
SkalaKecil
Usahaternak Skala
Menengah
Usahaternak Skala
Besar
Biaya Rp/lt Biaya Rp/lt Biaya Rp/lt
Budget
Privat
Budget
Sosial
Budget
Privat
Budget
Sosial
Budget
Privat
Budget
Sosial
Penerimaan
Susu segar 3000 3946.97 3005 3946.97 3000 3946.97
Biaya Produksi
Pakan
Pakan hijauan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Konsentrat 1062.5 833.01 773.8 667.92 1758.2 1275.3
Ampas tahu 443.0 443.0 456.1 456.1 337.1 337.1
Obat-obatan
Mineral 28.6 18.86 9.9 9.05 13.7 10.23
Vaselin 16.9 16.9 18.8 18.8 10.1 10.1
Biosid 31.3 15.09 7.3 4.03 11.1 5.79
Tenaga kerja
Keluarga 234.3 187.4 222.2 177.8 171.4 137.2
Non keluarga 0.0 0.0 301.6 241.3 176.9 141.5
Sewa lahan 285.4 285.4 147.4 147.4 63.2 63.2
Pajak 23.3 0.0 11.8 0.0 4.1 0.0
Penyusutan
peralatan 61.5 61.5 40.7 40.7 23.8 23.8
Biaya air 10.4 10.4 14.6 14.6 11.9 11.9
Biaya listrik 99.0 124.3 59.7 75.0 42.2 53.0
Biaya tata niaga
Biaya transport susu 22.4 30.6 56.9 77.8 22.1 30.3
Biaya transport
pakan 65.6 89.7 75.0 102.5 27.5 37.6
Total biaya 2384.2 2116.3 2195.8 2033.0 2673.4 2136.9
114
Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar
Uraian Jumlah (Rp)
Total Ekspor (Xt) 1425376420747980.00
Total Impor (Mt) 1225582108089630.00
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 5454000000000.00
Penerimaan Pajak Impor (TMt) 17107000000000.00
Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) 9034.00
Xt+Mt 2650958528837610.00
Xt-TXt 1419922420747980.00
Mt+TMt 1242689108089630.00
SCFt 0.996
SER 9073.71
Keterangan : Berdasarkan data tahun 2010
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (ekspor-impor)
ER : http://www.exchange-rates.org/Rate/USD/IDR/7-28-2010 (28 Juli 2010)
StCF= Standart Convertion Factor/ premium nilai tukar (%)
SER = Nilai tukar bayangan /equilibrium (Rp/$)
OER = Nilai tukar resmi (Rp/$)
SCFt = Xt + Mt
(Xt-TXt) + (Mt+TMt)
SCFt = 99.56%
SERt = OERt
SCFt
SERt = 9074
115
Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu
Harga bayangan komoditas susu
Harga rata-rata susu dalam
negeri (Rp/lt)
2.5% biaya
tataniaga Harag Sosial Susu di
tingkat peternak
1 2= 2.5%*1 3=1+2
3850.70 96.27 3946.97
Keterangan : Harga FCMP dari Harga Monthly Whole Milk Powder Price
1lb=0.45359237kg ; 1kg= 2.204632 lb
Harga FCMP Januari-
Maret 2010
Bulan
Harga
FCMP (US/Kg)
Harga FCMP
(Rp/Kg)
Harga FCMP + freight
and Insurance (Rp/kg)
Harga susu
dalam negeri (Rp/lt)
1 2 3= 2*SER 4 5 = 4/8 liter
susu
Januari 3.28 29796.12 31285.93 3910.74
Februari 3.15 28595.87 30025.67 3753.21
Maret 3.26 29624.09 31105.29 3888.16
rata-rata susu (Rp/lt) 3850.70
116
Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan
No. Keterangan Obat-obatan
1 FOB (US$/kg) 0.842678104
2 Freight and Insurance ($/kg) 0.08426781
3 CIF Indonesia ($/ton) 0.926945914
4 Nilai Tukar ($/USD) 9034
5 Standart Convertion Factor 99.56%
6 Nilai Tukar Bayangan (Rp/$) 9073.71
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 8410.84
8 Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg) 210.271
9 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 8621.1
11 Biaya pendistribusian obat-obatan (Rp/kg) 5000
12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 3621.1
Lampiran 6. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak
No. Keterangan Pakan
1 FOB (US$/kg) 0.260592985
2 Freight and Insurance ($/kg) 0.026059299
3 CIF Indonesia ($/ton) 0.286652284
4 Nilai Tukar ($/USD) 9034
5 Standart Convertion Factor 99.56%
6 Nilai Tukar Bayangan (Rp/$) 9073.71
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 2601.00
8 Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg) 65.025
9 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 2666.0
11 Biaya pendistribusian pakan (Rp/kg) 1000
12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 1666.0
117
Lampiran 7. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen
Komponen Penerimaan Biaya Input
Keuntungan Input Tradabel Non Tradabel
Usahaternak Skala Kecil
Privat 2,850.00 180.18 2384.2 285.62
Sosial 3,749.62 144.93 2,116.28 1,488.41
Divergensi (899.62) 35.25 267.92 (1,202.79)
Usahaternak Skala Menengah
Privat 2,704.75 134.88 2195.8 374.04
Sosial 3,749.62 123.21 2,033.05 1,593.37
Divergensi (1,044.87) 11.68 162.78 (1,219.33)
Usahaternak Skala Besar
Privat 2,850.00 274.15 2673.4 (97.51)
Sosial 3,749.62 202.16 2,136.91 1,410.55
Divergensi (899.62) 71.99 536.45 (1,508.06)
Lampiran 8. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen
Komponen Penerimaan Biaya Input
Keuntungan Input Tradabel Non Tradabel
Usahaternak Skala Kecil
Privat 3,000.00 180.18 2384.2 435.62
Sosial 3,946.97 144.93 2,116.28 1,685.76
Divergensi (946.97) 35.25 267.92 (1,250.14)
Usahaternak Skala Menengah
Privat 3,005.00 134.88 2195.8 674.29
Sosial 3,946.97 123.21 2,033.05 1,790.72
Divergensi (941.97) 11.68 162.78 (1,116.43)
Usahaternak Skala Besar
Privat 3,000.00 274.15 2673.4 52.49
Sosial 3,946.97 202.16 2,136.91 1,607.90
Divergensi (946.97) 71.99 536.45 (1,555.41)
118
Lampiran 9. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen
Komponen Penerimaan Biaya Input
Keuntungan Input Tradabel Non Tradabel
Usahaternak Skala Kecil
Privat 3,300.00 180.18 2384.2 735.62
Sosial 4,341.67 144.93 2,116.28 2,080.46
Divergensi (946.97) 35.25 267.92 (1,250.14)
Usahaternak Skala Menengah
Privat 3,305.50 134.88 2195.8 974.79
Sosial 4,341.67 123.21 2,033.05 2,185.41
Divergensi (941.97) 11.68 162.78 (1,116.43)
Usahaternak Skala Besar
Privat 3,300.00 274.15 2673.4 352.49
Sosial 4,341.67 202.16 2,136.91 2,002.59
Divergensi (946.97) 71.99 536.45 (1,555.41)