Upload
nguyenngoc
View
236
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN
PERDAGANGAN BEBAS
TERHADAP DAYA SAING PRODUK
MANUFAKTUR INDONESIA
JAKARTA – 2011
DITERBITKAN OLEH: PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
Kementerian Perdagangan
Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat Telp/Fax. (021) 3860371 www. Kemendag.go.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dunia dan pola hubungan antar negara yang
secara umum memperlihatkan jarak antar satu negara dengan negara lain yang
menurun, membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara dan
meningkatnya akses pasar produk ke negara lain. Keterbukaan ekonomi dan
perdagangan memberikan konsekuensi dua hal secara sekaligus, yaitu tantangan
dan peluang. Semakin terbukanya perdagangan antar satu negara dengan negara
lainnya dapat memberikan peluang meningkatnya akses pasar produk dalam
negeri di pasar internasional sekaligus juga tantangan terhadap daya saing industri
dalam negeri terhadap produk luar negeri.
Perdagangan bebas antar negara ditunjukkan dengan tarif bea masuk relatif
rendah. Indonesia memiliki rata-rata tarif bea masuk Most Favored Nation (MFN)
relatif rendah pada tahun 2010, yaitu mencapai 7,69 persen. Rendahnya tarif bea
masuk atas barang impor tersebut mendorong peningkatan impor Indonesia,
sehingga terjadi juga perubahan pasar asal impor. Peningkatan importasi
mengakibatkan adanya persaingan antara barang impor dan barang produksi
dalam negeri, sehingga dituntut adanya daya saing produk dalam negeri untuk
dapat bersaing di pasar negara tujuan dan pasar domestik.
Secara teoritis, perdagangan bebas dapat memberikan keuntungan secara
ekonomi karena meningkatnya akses pasar dan surplus ekonomi secara
keseluruhan. Sekalipun demikian, pandangan yang menyetujui perdagangan bebas
ini dihadapkan oleh pandangan kaum proteksionis, di mana seharusnya industri
dalam negeri dilindungi dari persaingan keras perdagangan dunia. Di sini
muncullah infant industry argument, yaitu suatu argumen bahwa industri
domestik seharusnya dilindungi negara hingga kelak mampu bersaing di pasar
internasional.
Perdagangan bebas tentunya juga memberikan sejumlah manfaat, seperti
terbukanya akses pasar barang dan jasa, terpenuhinya bahan baku, bahan
2
penolong, dan barang modal, peningkatan investasi yang akan mempengaruhi
struktur industri, mendorong adanya peningkatan kapasitas (capacity building)
untuk peningkatan daya saing industri domestik, dan peningkatan daya beli
masyarakat. Namun, perdagangan bebas tidak akan dapat memberikan manfaat
yang besar jika daya saing industri dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan
dengan industri luar negeri.
Hingga saat ini, Indonesia telah menjalin kesepakatan perdagangan bebas
dengan beberapa negara mitra dagang, yaitu ASEAN (ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA)), ASEAN–China Free Trade Area (AC-FTA), ASEAN-
Korea FTA (AK-FTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-
EPA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), dan ASEAN-Australia-New Zealand FTA
(AANZ-FTA). Selain itu, Indonesia juga sedang melakukan kerjasama
komprehensif dengan beberapa negara, antara lain ASEAN-Japan Comprehensive
Economic Partnership (AJ-CEP) dan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic
Partnership Agreement (Indonesia-EFTA CEPA). Kesepakatan tersebut secara
langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap perekonomian
Indonesia.
Implementasi kesepakatan perdagangan bebas membawa konsekuensi
terhadap daya saing produk, baik daya saing di pasar internasional maupun daya
saing di pasar domestik. Produk manufaktur merupakan produk andalan Indonesia
dengan rata-rata pangsa ekspor terhadap ekspor non migas Indonesia sebesar 77,6
persen pada tahun 2008-2010 dengan tren cenderung meningkat sebesar 5,3
persen selama tiga tahun terkahir. Selain itu juga, muncul berbagai permasalahan
yang terkait dengan pemanfaatan preferensi dengan negara-negara yang telah
menjalin kerja sama dengan Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan kajian dampak
kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur
Indonesia.
3
Gambar 1.1 Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia dengan Negara-negara
Mitra
Sumber: www.mapsofworld.com
Dari beberapa kesepakatan perdagangan bebas yang disepakati Indonesia,
kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)
merupakan kesepakatan bilateral yang disepakati pada tahun 2008 dan dipilih
sebagai fokus dalam studi ini. Pemilihan Jepang tentunya tidak terlepas dari
signifikansinya negara ini dalam perdagangan internasional Indonesia.
Hubungan kerjasama Indonesia–Jepang telah berjalan selama lebih dari 50
tahun. Bagi Indonesia, Jepang merupakan negara mitra dagang utama, baik dalam
hal ekspor maupun impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik-BPS (Februari
2011), Jepang menempati peringkat pertama dengan pangsa pasar 12,72 persen
sebagai negara tujuan ekspor non migas Indonesia pada tahun 2010. Sementara
itu, pada tahun yang sama posisi Jepang sebagai negara asal produk impor non
migas menempati peringkat kedua setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dengan pangsa pasar 15,62 persen (Gambar 1.2).
AANZ-FTA
4
NEGARA LAINNYA
20.76%
RRT18.19%
JEPANG15.62%
SINGAPURA
9.29%
AMERIKA SERIKAT
8.59%
THAILAND6.86%
KOREA SELATAN5.17%
MALAYSIA
4.18%
AUSTRALIA3.78%
JERMAN2.76%
TAIWAN2.73%
PERANCIS
1.22%INGGRIS
0.87%
Pangsa Impor Non Migas Menurut Negara Asal Tahun 2010
NEGARA LAINNYA35.60%
JEPANG
12.72%RRT10.85%
AMERIKA SERIKAT
10.27%
SINGAPURA7.36%
MALAYSIA5.98%
KOREA SELATAN5.29%
THAILAND
3.13%
TAIWAN2.51%
JERMAN2.30%
AUSTRALIA1.82%
INGGRIS1.31%
PERANCIS0.87%
Pangsa Ekspor Non Migas Menurut Negara Tujuan Tahun 2010
Gambar 1.2 Posisi Jepang Sebagai Negara Mitra Dagang Utama Indonesia
Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Produk non migas utama yang diekspor Indonesia ke Jepang, antara lain Biji
Logam, Kerak dan Abu, Bahan Bakar Mineral/Minyak Mineral, Nikel dan Barang
daripadanya, Mesin Perlengkapan Elektris, Karet dan Barang daripadanya,
Tembaga dan Barang daripadanya, Kayu dan Barang Dari Kayu, Reaktor Nuklir,
Ketel, Mesin dan Perak, Ikan dan Krustasea, Moluska, Kertas dan Kertas Karton.
Adapun produk non migas utama yang diimpor Indonesia dari Jepang, meliputi
Reaktor Nuklir, Ketel, Mesin dan Perak, Mesin dan Perlengkapan Elektris serta
Bagiannya, Kendaraan yang Bergerak di stas Rel Kereta Api atau Trem dan
Bagiannya, Bagian-Bagian Otomotif, Besi dan Baja, Barang dari Besi atau Baja,
Plastik dan Barang daripadanya, Karet dan Barang daripadanya, Tembaga dan
Barang daripadanya, dan Bahan Kimia Organik, sebagaimana tersaji dalam Tabel
1.1 dan Tabel 1.2. Beberapa produk non migas utama tersebut merupakan produk-
produk industri manufaktur Indonesia yang diekspor ke Jepang dan diimpor dari
Jepang.
5
Tabel 1.1 Komposisi Ekspor Non migas 10 Produk Utama Indonesia ke Jepang
Berdasarkan HS 2 Dijit TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%)
2006 2007 2008 2009 2010 06-10 10/09 2010
Total Ekspor 12,198.6 13,092.8 13,795.3 11,979.0 16,496.5 5.3 37.7 100.0
26 Bijih logam, terak dan abu 2,022.8 1,541.2 1,730.3 2,152.5 2,984.2 11.8 38.6 18.1
27 Bahan bakar mineral, minyak mineral dan produk sulingannya; zat mengandung bitumen; malam mineral1,360.2 1,331.4 2,085.2 2,193.2 2,802.0 21.5 27.8 17.0
75 Nikel dan barang daripadanya 1,225.0 2,128.8 1,380.2 581.3 1,430.8 -9.4 146.1 8.7
85 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara, perekam dan pereproduksi gambar dan suara televisi, serta bagian dan aksesori dari barang tersebut1,009.8 1,105.0 1,212.7 907.9 1,233.3 2.1 35.8 7.5
40 Karet dan barang daripadanya 892.5 1,031.9 1,327.4 727.4 1,232.6 3.0 69.5 7.5
74 Tembaga dan barang daripadanya 244.4 593.9 201.2 563.8 839.4 27.3 48.9 5.1
44 Kayu dan barang dari kayu; arang kayu 1,009.4 816.2 697.7 572.2 735.3 -9.4 28.5 4.5
84 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; bagian daripadanya520.9 606.6 759.8 568.0 588.1 1.8 3.5 3.6
03 Ikan dan krustasea, moluska serta invertebrata air lainnya578.7 519.3 528.6 518.9 570.6 -0.3 10.0 3.5
48 Kertas dan kertas karton; barang dari pulp kertas,dari kertas atau dari kertas karton318.2 280.7 347.0 402.8 447.2 11.0 11.0 2.7
Sub total 9,181.8 9,954.9 10,270.2 9,188.1 12,863.6 6.1 40.0 78.0
Lainnya 3,016.7 3,137.9 3,525.1 2,790.9 3,632.9 2.6 30.2 22.0
NILAI (JUTA US $)HS2 URAIAN
Sumber: BPS (2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Tabel 1.2 Komposisi Impor Non migas 10 Produk Utama Indonesia dari Jepang
Berdasarkan HS 2 Dijit TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%)
2006 2007 2008 2009 2010 06-10 10/09 2010
Total Impor 5,488.0 6,472.7 14,864.7 9,810.5 16,910.7 30.6 72.4 100.0
84 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; bagian daripadanya 1,803.4 2,233.5 4,265.2 2,777.9 5,135.9 26.0 84.9 30.4
85 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara, perekam dan pereproduksi gambar dan suara televisi, serta bagian dan aksesori dari barang tersebut367.1 458.8 1,963.9 1,265.1 1,952.7 54.6 54.4 11.5
87 Kendaraan selain yang bergerak di atas rel kereta api atau trem, dan bagian serta aksesorinya875.9 582.3 1,974.4 829.1 1,714.0 18.5 106.7 10.1
98 Ketentuan Khusus 0.0 406.6 821.7 740.1 1,627.3 - 119.9 9.6
72 Besi dan baja 535.6 705.2 1,526.3 941.7 1,574.5 27.7 67.2 9.3
73 Barang dari besi atau baja 261.5 261.7 694.2 569.5 894.9 38.2 57.1 5.3
39 Plastik dan barang daripadanya 244.6 285.4 496.8 418.2 633.4 25.7 51.5 3.7
40 Karet dan barang daripadanya 179.5 228.0 422.7 369.4 483.2 27.9 30.8 2.9
74 Tembaga dan barang daripadanya 23.3 29.8 255.1 190.7 446.0 117.3 133.8 2.6
29 Bahan kimia organik 280.7 293.0 376.9 317.9 417.8 9.2 31.5 2.5
Sub total 4,571.5 5,484.3 12,797.1 8,419.7 14,879.8 32.2 76.7 88.0
Lainnya 916.5 988.3 2,067.6 1,390.8 2,030.9 21.3 46.0 12.0
HS2 URAIANNILAI (JUTA US $)
Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
Selain sebagai negara mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga merupakan
salah satu investor utama di Indonesia. Realisasi investasi Penanaman Modal
Asing (PMA) Jepang di Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 712,6 juta
yang meliputi 323 proyek. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Jepang
mempunyai peranan yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia,
khususnya terhadap pengembangan investasi di Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi yang lebih
komprehensif antara Indonesia dengan Jepang, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tanggal 20 Agustus
2007 menyepakati adanya kemitraan ekonomi antara Indonesia dengan Jepang
melalui penandatanganan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-
6
EPA). Kesepakatan ini merupakan perjanjian perdagangan bebas bilateral pertama
yang dilakukan oleh Indonesia, yang disahkan melalui Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement Between The Republic of Indonesia
and Japan for an Economic Partnership (Persetujuan antara Republik Indonesia
dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi) dan mulai berlaku efektif pada
tanggal 1 Juli 2008.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari Indonesia untuk menjalin
kerjasama melalui EPA dengan Jepang, di antaranya adalah:
1. Jepang merupakan mitra dagang dan investor utama buat Indonesia dan
Indonesia merupakan penerima bantuan asing (official development assistance
- ODA) terbesar dari Jepang sejak tahun 1970 hingga 1999.
2. Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia hingga tahun 2007
dengan penyerapan sekitar 20 persen dari seluruh produk ekspor Indonesia
yang diekspor ke Jepang dan Jepang merupakan negara asal impor terbesar
Indonesia hingga tahun 2007 dengan penyerapan sebesar 13 persen dari total
impor Indonesia.
3. EPA dikonsepkan sebagai economic partnership agreements yang merupakan
perjanjian area bebas plus plus yang meliputi perdagangan produk, jasa,
investasi, tenaga kerja dan juga pengadaan kerjasama dibidang keuangan,
information and communications technology (ICT) serta promosi
dagang/investasi dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara lain di
ASEAN yang telah memiliki perjanjian dengan Jepang seperti Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand, sedangkan Brunei dan Vietnam menyusul.
IJ-EPA mencakup tiga pilar utama, yaitu liberalisasi berupa penghapusan/
pengurangan hambatan perdagangan (penyederhanaan pengurusan, bea masuk,
pemberian kepastian hukum), fasilitasi perdagangan berupa pengurangan biaya
perdagangan dan peningkatan kinerja bea cukai penanganan di pelabuhan dan
jasa-jasa yang terkait dengan perdagangan, dan kerjasama di berbagai bidang di
luar perdagangan di mana Jepang berkomitmen untuk melakukan kegiatan
capacity building bagi Indonesia.
7
Selain itu, IJ-EPA merupakan sebuah free trade agreement new-age yang
terdiri dari tiga belas isu komprehensif dan bersifat World Trade Organization
(WTO) plus (melebihi kesepakatan-kesepakatan yang sudah diatur WTO)
ditambah capacity building sebagai bagian dari partnership agreement. Tiga belas
unsur dalam IJ-EPA meliputi 1) Trade in Goods, 2) Trade in Services, 3) Rules of
Origin (ROO), 4) Investment, 5) Improvement of Business Confidence, 6)
Movement of Natural Persons, 7) Energy and Mineral Resources, 8) Customs
Procedures, 9) Intellectual Property Rights, 10) Competition Policy, 11)
Technical Cooperation and Capacity Building, 12) General Provisions, dan 13)
Government Procurement.
Adapun tujuan IJ-EPA adalah untuk meningkatkan perdagangan kedua
negara, mendorong peningkatan investasi Jepang di Indonesia yang diharapkan
selanjutnya dapat mengembangkan industri dan teknologi serta memperdalam
keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi regional dan internasional.
Peningkatan investasi dapat membuka sekaligus penyerapan tenaga kerja yang
besar di Indonesia.
Dalam IJ-EPA, untuk perdagangan barang disepakati moda penurunan tarif
bea masuk dilakukan secara bertahap, dimana dalam penurunan tarif tersebut
terdapat beberapa kategori produk, salah satunya adalah produk yang masuk
dalam skema User Specific Duty Free Scheme (USDFS). USDFS adalah
pemberian fasilitasi yang dipercepat untuk produk Jepang yang masuk ke
Indonesia terkait dengan industri driven sector (otomotif, elektronik, alat berat,
dan pembangkit energi) dengan syarat utama digunakan sebagai bahan baku dan
belum diproduksi / tidak ekonomis dibuat di dalam negeri.
Sebagai kompensasi terhadap pemberian fasilitas USDFS oleh Indonesia,
pihak Jepang akan membantu Indonesia untuk meningkatkan daya saing
produknya, sehingga bisa melewati batas toleransi hambatan non tarif di Jepang.
Bantuan Jepang tersebut tertampung dalam elemen cooperation, dan khusus
untuk produk industri difokuskan pada pengembangan industri manufaktur atau
disebut Manufacturing Industri Development Center (MIDEC). MIDEC berfungsi
sebagai motor penggerak untuk pembangunan kapasitas industri (industrial
8
capacity building) guna meningkatkan daya saing produk industri Indonesia yang
meliputi tiga belas sektor, yaitu metal working, welding, mold & dies, energy
conservation, export & investment promotion, SME’s, automotives,
electric/electronics, steel/ steel products, textile, petrochemical & oleochemicals,
nonferrous, dan food & beverages.
Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form
IJ-EPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan kesepakatan perdagangan bebas
lainnya yang telah ditandatangani dan diimpelementasikan Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian
Perdagangan, pada tahun 2010 pemanfaatan SKA Form IJ-EPA hanya sekitar 16
persen terhadap ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang dengan nilai US$ 2,9 juta
dan total Form SKA IJ-EPA sebanyak 53.182 lembar. Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan mengapa para pelaku usaha di Indonesia tidak memanfaatkan secara
maksimal kesepakatan perdagangan bebas Indonesia dengan Jepang tersebut.
Selain itu , muncul pertanyaan tentang daya saing produk manufaktur Indonesia di
pasar Jepang.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk mengetahui permasalahan dan
dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur
Indonesia, maka dilakukan kajian mengenai “Dampak Kesepakatan
Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia.”
1.2 Pertanyaan Penelitian
Kajian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apa permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA Form IJ-
EPA?
2. Bagaimana dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA
terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia?
3. Bagaimana strategi peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia?
9
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA
Form IJ-EPA.
2. Menganalisis dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing
produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan untuk peningkatan daya saing produk
manufaktur Indonesia.
1.4 Output dan Manfaat Penelitian
Adapun output dari kajian ini berupa laporan tentang bahan rekomendasi
dalam rangka merumuskan kebijakan dan strategi peningkatan pemanfaatan SKA
Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia dalam
kerangka kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Kajian ini diharapkan dapat
digunakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam memperoleh
gambaran dan informasi tentang posisi pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan
posisi daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang sebagai bahan
referensi. Di samping itu, hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para
pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan peningkatan pemanfaatan
SKA Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia di
pasar Jepang.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Aspek Produk Manufaktur Indonesia
a. Produk-produk manufaktur yang termasuk dalam skema perdagangan
bebas IJ-EPA berdasarkan klasifikasi produk HS 2007 (Lampiran I),
khususnya terhadap produk Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan),
Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang), Mentega, Lemak, dan Minyak
Kakao (Kakao Olahan), Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03
10
(Garmen), Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur), dan Sak dan Kantong
(termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik).
b. Pemanfaatan SKA Preferensi Form IJ-EPA dan JI-EPA
2. Aspek Ekonomi
a. Analisis kinerja perdagangan Indonesia-Jepang untuk produk manufaktur
b. Analisis potensi daya saing produk manufaktur Indonesia
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika dari penulisan laporan kajian ini disusun sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, mencakup latar belakang dilakukannya kegiatan ”Kajian
Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas terhadap Daya Saing Produk
Manufaktur Indonesia”, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, output dan
manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika
penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka, mengulas teori perdagangan internasional, teori
kebijakan perdaganan, teori integrasi ekonomi, teori daya saing, Indonesia-Japan
Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan penelitian-penelitian sebelumnya
yang terkait dengan perdagangan bebas dan daya saing.
BAB III Metodologi Penelitian, meliputi kerangka pemikiran, metode analisis
yang digunakan, dan jenis dan sumber data akan dipaparkan dalam bab ini.
BAB IV Gambaran Umum Kinerja Perdagangan Jepang dan Indonesia,
mendeskripsikan perkembangan kinerja perdagangan Jepang dan Indonesia di
pasar dunia serta kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan Jepang (termasuk
perubahan pola ekspor dan impor Indonesia-Jepang).
BAB V Gambaran Umum Kinerja Industri Manufaktur Indonesia, memaparkan
kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia, perkembangan dan struktur industri manufaktur Indonesia,
perkembangan rasio penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Indonesia,
perkembangan investasi industri manufaktur Indonesia, dan kinerja beberapa
industri manufaktur Indonesia yang menjadi fokus kajian.
11
BAB VI Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi,
menjelaskan tentang pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala implementasi
di berbagai daerah (Surabaya, Denpasar, Semarang, Medan, Bandung, Manado),
pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan kendala implementasinya, studi kasus
pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan JI-EPA di Jepang, dan studi kasus
kesepakatan perdagangan bebas bilateral Malaysia Jepang serta Thailand Jepang.
BAB VII Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas
terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan
tentang analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA
terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia berdasarkan pangsa pasar dan
kinerja industri manufaktur Indonesia, dan strategi peningkatan daya saing produk
manufaktur Indonesia.
BAB VIII Kesimpulan dan Saran, menyimpulkan keseluruhan hasil kajian dan
memberikan rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing produk manufaktur
Indonesia di pasar Jepang.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Perdagangan Internasional
Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua alasan utama
setiap negara melakukan perdagangan internasional. Alasan pertama, negara-
negara melakukan perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu
sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,
selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara
mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat
melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu-
sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala
ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara dapat
membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu
saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber
dayanya, sehingga mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam
skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut
mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Dalam dunia
nyata, pola-pola perdagangan internasional mencerminkan adanya interaksi yang
terus-menerus dari kedua motif dasar di atas.
Perdagangan internasional, dijelaskan juga oleh Krugman dan Obstfeld
(2004), dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara
memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Suatu
negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam
memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi
barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara
lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif
dengan perdagangan internasional, yaitu perdagangan antara dua negara akan
menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
13
Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pengertian perdagangan dalam ilmu
ekonomi adalah suatu proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak
sukarela dari masing-masing pihak. Aspek sukarela ini penting karena memiliki
implikasi fundamental, hal ini dilakukan apabila setiap pihak memperoleh
manfaat dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Motif pertukaran adalah
adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade) yang ditunjukkan oleh garis
D-E pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gains from Trade
Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai
berikut:
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat
penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional,
setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan
luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh
spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang
sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih
baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
14
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha
tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena
mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan
turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional,
pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu
negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara
manajemen yang lebih modern
Teori perdagangan internasional telah mengalami perkembangan. Masngudi
(2006) menjelaskan bahwa pada abad ke-16 dan 17 telah berkembang suatu
sistem kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh para negarawan di Eropa, yang
oleh Adam Smith disebut dengan sistem merkantilisme (merchantilism). Aliran
Merkantilis mempunyai tujuan utama untuk mendirikan negara nasional yang kuat
dan memupuk kemakmuran nasional. Perdagangan internasional diharapkan harus
selalu terjadi surplus neraca perdagangan, sehingga terjadi pengumpulan logam
mulia yang diidentikkan dengan kemakmuran. Pemerintah membuat peraturan di
bidang perdagangan bagi kepentingan nasionalnya, yakni untuk mendorong
ekspor dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang
mewah). Di samping itu, pemerintah akan mendorong output dan kesempatan
kerja nasional.
Dalam hubungan ini, Adam Smith telah melemparkan kritik-kritiknya, baik
yang menyangkut pengertian kekayaan, masalah surplus neraca perdagangan,
maupun masalah campur tangan pemerintah yang demikian besar di bidang
perdagangan. Teori pra-klasik atau merkantilisme dianggap tidak relevan,
selanjutnya muncullah teori keunggulan absolut (absolute advantage theory) dari
Adam Smith. Adam Smith berpendapat bahwa kemakmuran suatu negara bukan
ditentukan oleh banyaknya logam mulia yang dimilikinya, tetapi ditentukan oleh
sumber daya ekonomi dan produksi hasil tenaga kerja. Keuntungan perdagangan
internasional tergantung pada produktivitas tenaga kerja yang dimiliki oleh
15
masing-masing negara dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.
Semakin tinggi produktivitas dan efisiensi, maka negara akan dapat lebih
menekan ongkos-ongkos produksinya. Negara akan mengekspor barang tertentu
karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara
mutlak lebih murah daripada negara lain. Menurut Adam Smith, peranan
pemerintah harus dikurangi guna menciptakan perdagangan bebas. Dengan
adanya perdagangan bebas, maka akan menimbulkan persaingan yang semakin
ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan
spesialisasi dan pembagian kerja internasional berdasarkan keunggulan
absolutnya. Melalui perdagangan internasional akan diperoleh barang yang lebih
banyak, lebih bervariasi, meningkatkan konsumsi dan demikian pula peningkatan
kemakmuran (Masngudi, 2006).
David Ricardo menilai bahwa teori keunggulan absolut yang dikemukakan
oleh Adam Smith memiliki kelemahan. David Ricardo berusaha
menyempurnakan kelemahan dalam teori keunggulan absolut dengan teori
keunggulan komparatif (comparative advantage theory). Menurut teori
keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya
komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif,
masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan
antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan
spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah
pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor
produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada
akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun
suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap
menguntungkan bagi kedua negara.
John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif
dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian
mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan
mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang
dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau
16
dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar
perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal
balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk
membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan
oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut
sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar
masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).
Teori Heckscher-Ohlin (H-O), yang merupakan teori perdagangan
internasional modern, mencoba menjawab kelemahan teori klasik keunggulan
komparatif dalam menjelaskan mengenai penyebab perbedaan produktivitas.
Menurut Heckscher-Ohlin, penyebab perbedaan produktivitas dikarenakan adanya
jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh
masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan
harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu, teori modern H-O dikenal dengan
The Proportional Factor Theory. Negara-negara yang memiliki faktor produksi
relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi
produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing
negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor
produksi yang realtif langka atau mahal dalam memproduksinya (Darwanto). Di
samping itu, penyebab perbedaan produktivitas lainnya adalah faktor intensitas
(factor intensity), yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi (labor
intensity atau capital intensity). Teori H-O menggunakan dua kurva, yaitu kurva
isocost (kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama) dan kurva
isoquant (kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama).
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang
dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan
sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Studi empiris Wassily Leontief pada tahun 1953 mengemukakan fakta
struktur perdagangan luar negeri Amerika Serikat pada tahun 1947 bertentangan
dengan teori H-O. Pada tahun tersebut Amerika Serikat cenderung mengekspor
produk padat tenaga kerja dan mengimpor produk padat modal padahal secara
17
umum Amerika Serikat diasumsikan sebagai negara yang relatif memiliki banyak
modal dan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain.
Pertentangan kesimpulan ini kemudian dikenal dengan sebutan Paradoks Leontief.
Berdasarkan penelitian lebih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan
ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama, yaitu
intensitas faktor produksi yang berkebalikan, tarif dan hambatan non tarif,
perbedaan dalam skill dan human capital, dan perbedaan faktor sumber daya
alam. Adapun kelebihan dalam teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak
tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya, jika suatu
negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih sedikit.
Opportunity cost digambarkan sebagai production possibility curve (PPC)
yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara
dengan sejumlah faktor produksi secara full-employment. Dalam hal ini bentuk
PPC akan tergantung pada asumsi tentang opportunity cost yang digunakan, yaitu
PPC Constant cost dan PPC increasing cost.
Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD) diperkenalkan pertama kali oleh
dua ekonom Inggris, yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai
kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan
suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga. Kelebihan
dari offer curve yaitu masing-masing negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga faktor
produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu
produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan keunggulan
komparatif dan pola perdagangan suatu negara. Kualitas sumber daya manusia
dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing
di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori
modern yaitu teori offer curve.
18
2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional
Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan
perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan
pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan
perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam
volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah
pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan
wirausahawan, pola konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan
internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara
dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus
dikombinasikan dan bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu
negara.
Kebijakan perdagangan internasional dapat ditujukan untuk
melindungi/memproteksi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant
industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun tujuan
kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi adalah
memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara
tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya
menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika
bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai
instrumen kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan
tarif maupun non tarif.
Kebijakan perdagangan internasional tidak hanya bersifat untuk
memproteksi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas yang
memungkinkan bila setiap negara berspesialisasi dalam memproduksi barang di
mana suatu negara memiliki komparatif. Pendukung kebijakan perdagangan bebas
menekankan bahwa kebijakan perdagangan bebas akan mengarah pada efisiensi
dan akan meningkatkan kesejahteraan nasional. Setelah PD II peranan
perdagangan internasional mengarah pada kebijakan perdagangan bebas. Hal ini
ditandai dengan terbentuknya the General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) yang melatarbelakangi lahirnya perundingan pengurangan tarif secara
19
multilateral melalui Most Favoured Nation (MFN) kepada seluruh anggota
GATT. Tidak hanya dalam kerangka pengurangan tarif, pada Putaran Uruguay
(1986-1993), tetapi juga mencakup subsidi, countervailing measures, anti-
dumping, technical barriers to trade, government procurement, dll (Gandolfo,
1998).
Kini peranan GATT digantikan oleh World Trade Organization (WTO) yang
terakhir telah menggelar Putaran Doha. Dewasa ini, WTO merupakan kerjasama
perdagangan bebas dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminasi, dan
resiprokal. Tak hanya melalui pengurangan tarif bea masuk secara multilateral,
upaya liberalisasi perdagangan dijalin melalui kebijakan kerjasama perdagangan
secara regional dan bilateral. WTO tidak hanya mencakup perdagangan barang
semata, melainkan meliputi juga perdagangan jasa yang terkait dengan aspek
kekayaan intelektual. Beberapa dasawarsa terakhir terjadi perluasan baik dalam
pengenaan hambatan perdagangan non tarif dan kebijakan diskriminasi komersial
(preferential trading agreement, PTA).
2.2.1 Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional
Tim Penulis Bank Indonesia (2008) memaparkan beberapa instrumen
kebijakan perdagangan internasional yang umum dipakai di berbagai
negara, antara lain:
1. Tarif impor tidak lain merupakan instrumen pajak yang dikenakan
pemerintah atas barang-barang impor. Penerapan tarif telah diterapkan
oleh berbagai negara selama berabad-abad sejak era merkantilis dan
telah menjadi salah satu metode yang paling umum, sederhana dan
mudah untuk mengumpulkan pendapatan pemerintah. Hingga Perang
Dunia (PD) I tarif dianggap dapat melindungi terhadap perdagangan
internasional dan dikenakan tanpa diskriminasi. Perlindungan atau
proteksionisme dapat dirasakan dari setiap kenaikan tarif yang
dikenakan karena tarif menaikkan biaya produk impor dari luar negeri
sehingga perusahaan domestik yang bersaing dengan produk impor
menjadi terlindungi. Terdapat dua jenis tarif impor, yakni tarif spesifik
20
dan tarif ad valorem. Meski sangat jarang, pemerintah pada dasarnya
dapat mengenakan kedua jenis tarif tersebut untuk barang yang sama
secara bersamaan. Hal ini dikenal dengan pengenaan tarif dua
komponen (two-part tariff).
2. Kuota impor adalah instrumen pembatasan kuantitas barang yang
dapat diimpor dalam kurun waktu tertentu. Pembatasan impor (kuota)
bertujuan untuk membatasi barang-barang impor, mencegah barang-
barang yang penting berada di tangan negara lain, menjamin
tersedianya barang-barang di dalam negeri dalam proporsi yang cukup,
dan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga
guna mencapai stabilitas harga di dalam negeri. Gandolfo (1998)
menambahkan bahwa pemerintah biasanya mengeluarkan lisenssi/ izin
impor terkait dengan penerapan kuota impor untuk mengatur secara
langsung perdagangan internasional.
3. Voluntary exports restraints (VER) merupakan instrument pembatasan
yang dikenakan pemerintah negara eksportir terhadap kuantitas barang
yang diekspor dalam jangka waktu tertentu. VER muncul sebagai
reaksi setelah negara importir, umumnya yang mempunyai pasar yang
besar dan strategis, berupaya melindungi diri dari serbuan impor dari
negara ekspor tertentu.
4. Pajak (bea keluar) ekspor adalah instrumen pajak yang dikenakan pada
barang ekspor. Sepeti halnya tarif impor, pajak ekspor dapat berupa
pajak khusus ataupun pajak ad valorem. Pada umumnya pajak ekspor
dikenakan untuk melindungi konsumen atau produsen pengguna di
dalam negeri. Misalnya, Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap
ekspor kakao untuk melindungi produsen dalam negeri.
5. Subsidi merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu menutupi
sebagian biaya produksi per unit barang produksi dalam negeri,
sehingga produsen dalam negeri dapat menjual barangnya lebih murah
dan bisa bersaing dengan barang impor. Dewasa ini pengenaan subsidi
21
ekspor dilakukan oleh negara maju untuk produk-produk pertanian,
meskipun hal ini melanggar salah satu aturan WTO.
6. Voluntary import expansion (VIE) merupakan instrumen kebijakan
perdagangan internasional yang lahir dari kesepakatan antara dua
negara mitra dagang untuk meningkatkan kuantitas impor tertentu
yang berasal dari salah satu negara tersebut. Kesepakatan ini banyak
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk lebih menyeimbangkan arus
perdagangan bilateral antara kedua negara.
7. Dumping, kebijakan perdagangan internasional bertujuan untuk
mengadakan diskriminasi harga, yakni produsen menjual barang di
luar negeri lebih murah daripada di dalam negeri. Kekuatan monopoli
di dalam negeri yang lebih bersih daripada luar negeri dan terdapatnya
hambatan yang cukup kuat menjadi persyaratan yang harus dipenuhi
dalam kebijakan dumping.
2.2.2 Manfaat Perdagangan Bebas
Banyak studi yang berkesimpulan bahwa perdagangan bebas berimplikasi
positif bagi negara-negara yang terlibat. Di samping meningkatkan
kesejahteraan, Kindleberger dan Lindert berpendapat bahwa perdagangan
bebas juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi. Urata
dan Kiyota menemukan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh
positif pada ekonomi. Ekspor dengan dengan daya saing tinggi akan
meningkat. Studi Saktyanu et al. menunjukkan penurunan subsidi ekspor
di negara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia.
Berbeda dengan hasil studi yang secara umum memberikan dampak
positif, Haryadi et.al memperlihatkan bahwa liberalisasi perdagangan
dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada
penurunan Produk Dometik Bruto Indonesia dan Australia-Selandia Baru.
Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan
internasional adalah dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade
creation. Efek positif, yaitu trade creation adalah terjadinya perdagangan
22
akibat beralihnya konsumsi dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang
bersifat high-cost ke produk impor dari luar negeri yang bersifat low-cost;
dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intranegara mitra.
Namun demikian, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan
non mitra, merubah arah kecenderungan perdagangan sehingga
menimbulkan efek negatif yaitu trade diversion, yang merujuk kepada
perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari negara non
anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara mitra;
dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non
mitra. Trade diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan
dengan terjadinya perubahan orientasi suplai ke sumber yang relatif lebih
mahal.
Manfaat perdagangan bebas sangat ditentukan oleh salah satu efek yang
lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif
ataupun netral, tergantung dari besarnya magnitude dari trade creation dan
trade diversion. Perdagangan bebas akan sangat menguntungkan apabila
dampaknya terhadap trade creation lebih besar dibandingkan dampaknya
terhadap trade diversion. Meskipun terjadi trade creation dan trade
diversion, secara keseluruhan memberikan dampak perdagangan yang
positif.
2.3 Teori Integrasi Ekonomi
2.3.1 Definisi Integrasi Ekonomi
Para ekonom telah mengembangkan definisi intregrasi ekonomi dari
berbagai sudut pandang yang berbeda, akan tetapi definisi bakunya belum
ditemukan hingga saat ini. Machlup menyatakan bahwa istilah integrasi
dalam ilmu ekonomi digunakan pertama kali dalam organisasi industri
guna menggambarkan kombinasi perusahaan baik secara vertikal maupun
horizontal. Integrasi horizontal mengacu pada hubungan para pesaing,
sedangkan integrasi vertikal mengacu pada unifikasi para pemasok dan
pembeli.
23
Tinbergen (dikutip dari Jovanović, 2006) mendefinisikan integrasi
ekonomi sebagai penciptaan struktur perekonomian internasional yang
lebih bebas dengan jalan menghapuskan diskriminasi, pembatasan
institusi, dan mengenalkan kebebasan transaksi perekonomian (integrasi
negatif). Integrasi ekonomi juga dapat dipandang sebagai penyesuaian
kebijakan yang ada dan penciptaan kebijakan dan institusi baru yang
memiliki kekuatan koersif (integrasi positif).
Pinder mendefinisikan bahwa integrasi sebagai suatu proses unifikasi dan
integrasi ekonomi sebagai penghapusan diskriminasi di antara negara
anggota, penciptaan dan pengimplementasian kebijakan bersama. Kahnert
memahami integrasi sebagai suatu proses penghapusan diskriminasi yang
terjadi sepanjang batas nasional secara progresif. Mennis dan Sauvant
memandang integrasi sebagai suatu proses di mana batas-batas di antara
negara menjadi kurang diskontinu, mengarah pada bentuk sistem yang
lebih komprehensif, menghubungkan dan menggabungkan perangkat
industri, kebijakan administrasi dan ekonomi negara-negara anggota.
Integrasi ekonomi didefinisikan oleh Pelkmans sebagai penghapusan
batas-batas ekonomi di antara dua atau lebih perekonomian. Batas-batas
ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan
mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara
aktual maupun potensial relatif rendah (Jovanović, 2006).
Sementara Balassa (1961), integrasi ekonomi dianggap sebagai suatu
proses yang mencakup langkah-langkah yang dirancang untuk
menghapuskan diskriminasi dari negara-negara yang berbeda dan suatu
urusan negara yang direpresentasikan oleh berbagai bentuk diskriminasi di
antara perekonomian nasional. Sementara Holzman (Jovanović, 2006),
menyatakan bahwa integrasi ekonomi sebagai situasi di mana dua kawasan
menjadi satu atau memiliki satu pasar yang ditandai dengan kesamaan
harga barang dan faktor produksi di antara dua kawasan tersebut.
Pada akhirnya, Jovanović (2006) menyimpulkan bahwa pengertian
integrasi ekonomi internasional tersebut merupakan sebuah gagasan rumit
24
yang harus didefinisikan secara hati-hati. Definisi seringkali samar dan
tidak memberikan alat yang cukup untuk memudahkan proses integrasi di
antara negara-negara. Integrasi ekonomi internasional didefinisikan
sebagai suatu proses sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan
tingkat kemakmurannya. Dalam upaya meningkatkan tingkat kemakmuran
tersebut, integrasi merupakan opsi kebijakan yang lebih efisien dibanding
apabila masing-masing negara melakukan upaya secara unilateral.
Integrasi juga mensyaratkan paling tidak adanya beberapa pembagian
tenaga kerja dan kebebasan mobilitas barang dan jasa dalam suatu
kelompok negara. Integrasi pada tingkatan yang lebih tinggi juga
mensyaratkan mobilitas yang bebas atas faktor produksi dalam intra-
kawasan, termasuk hambatan pergerakan faktor produksi antar area yang
terintegrasi.
Integrasi ekonomi adalah integrasi di sektor riil yang bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam integrasi ekonomi
terdapat dua kepentingan yang saling berlawanan, yaitu antara mendorong
perdagangan dan membatasi perdagangan pada saat bersamaan. Integrasi
ekonomi dilakukan dengan liberalisasi perdagangan antara negara yang
berpartisipasi dalam integrasi, namun pasa saat yang sama juga
menerapkan berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif kepada negara
lain di luar anggota. Dengan demikian, integrasi akan menciptakan dua
aturan yang berbeda secara bersamaan, yaitu aturan-aturan yang
diterapkan kepada negara-negara yang menjadi anggota dan aturan lain
yang diterapakan kepada non-anggota. Dua kepentingan yang berlawanan
ini dijumpai pada berbagai tingkat integrasi ekonomi, yaitu baik pada
integrasi ekonomi tingkat regional, inter-regional, plurilateral ataupun
bilateral, namun tidak dijumpai pada kesepakatan integrasi pada tingkat
multilateral. Tidak ditemukannya dua kepentingan yang saling berlawanan
ini menandai perbedaan fundamental antara integrasi yang bersifat
multilateral dengan integrasi pada tingkat non multilateral (Tim Penulis
Bank Indonesia, 2008).
25
Kajian Dollar, Sach dan Warner, Edwards, dan Wacziarg menunjukkan
bahwa integrasi ekonomi yang menurunkan atau menghilangkan semua
hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, dapat
meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara
anggota, dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat
memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas input dan barang dalam
perekonomian, produsen domestik dapat meningkatkan profit dengan
semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja.
2.3.2 Tahapan Integrasi Ekonomi
Beberapa bentuk yang dianggap mewakili tahapan integrasi ekonomi
dikemukakan oleh Balassa (1961), antara lain:
1. Preferential Trading Area (PTA), yang merupakan blok perdagangan
yang memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara
tertentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak
menghilangkannya sama sekali.
2. Free Trade Area (FTA) adalah suatu kawasan di mana tarif dan kuota
antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap
mempertahankan tarif mereka terhadap negara-negara bukan anggota.
3. Customs Union (CU) merupakan FTA yang meniadakan hambatan
pergerakan komoditi antarnegara anggota dan menerapkan tarif yang
sama terhadap negara-negara bukan anggota. Efek kesejahteraan statis
dari sebuah persekutuan pabean diukur melalui penciptaan perdagangan
(trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion).
Penciptaan perdagangan terjadi ketika produksi domestik digantikan
oleh impor dari produsen dengan biaya yang lebih rendah dan lebih
efisien di dalam persekutuan pabean. Hal ini meningkatkan
kesejahteraan. Pengalihan perdagangan terjadi ketika impor berasal dari
pemasok di luar persekutuan pabean digantikan dengan pemasok dari
dalam persekutuan pabean dengan biaya yang lebih tinggi. Hal ini
26
mengurangi kesejahteraan. Efek kesejahteraan dinamis lebih penting dan
terjadi ketika persaingan dan skala ekonomis yang meningkat dan
tingkat investasi yang lebih tinggi menjadi mungkin dalam integrasi
ekonomi.
4. Common Market (CM) merupakan suatu CU yang juga meniadakan
hambatan pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal).
Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat
menghasilkan alokasi sumber yang efisien.
5. Economic Union (EU) merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi
kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan
struktural).
6. Total Economic Integration adalah bentuk penyatuan kebijakan moneter,
fiskal, dan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga
supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh
negara anggota.
Keenam tahapan integrasi ekonomi Balassa tersebut dapat digambarkan
dalam Gambar 2.2 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi integrasi
ekonomi, semakin kompleks persyaratan kebijakan yang diperlukan (Tim
Penulis Bank Indonesia, 2008). Dalam perkembangannya tahapan integrasi
ekonomi tersebut telah mengalami penyesuaian pada berbagai hal, akan
tetapi masih tetap dapat menjadi alat dasar dalam studi mengenai integrasi
ekonomi.
27
Gambar 2.2 Tahapan Integrasi Ekonomi Menurut Balassa
Sumber: Balassa (1961), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.
2.3.3 Manfaat dan Kerugian Integrasi Ekonomi
Dengan adanya integrasi ekonomi, maka akan meningkatkan persaingan
aktual dan potensial baik bagi pelaku pasar yang berasal dari suatu negara,
dalam sekelompok negara, maupun pelaku pasar di luar kedua kelompok
tersebut. Persaingan di antara pelaku pasar tersebut diharapkan akan
mendorong harga barang dan jasa yang sama lebih rendah, meningkatkan
variasi kualitas dan pilihan yang lebih luas bagi kawasan yang terintegrasi.
Integrasi ekonomi akan menstimulasi aliran dan perdagangan intraregional
yang lebih tinggi serta munculnya perusahaan yang mampu berkompetisi
secara global. Selain itu, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berujung
pada peningkatan kesejahteraan di seluruh kawasan.
Di sisi lain, integrasi ekonomi internasional dapat membatasi kewenangan
suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan, dan moneter
untuk mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Kerugian lain dari
adanya inadalah adanya kemungkinan hilangnya pekerjaan dan potensi
menjadi pasar bagi negara yang tidak mampu bersaing.
28
2.4 Teori Daya Saing
Teori Ricardo dan Ohlin cenderung memandang keunggulan komparatif yang
alami. Karena itu, bisa dipahami apabila industri yang memiliki keunggulan
komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri padat sumber daya dan
padat karya yang tidak terampil. Ini berlainan dengan industri yang memiliki
keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya pada modal
dan padat teknologi.
Persaingan global yang hyper competitive memaksa setiap negara /
perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi ini dikenal
dengan “Sustainable Competitive Advantage” (SCA). SCA adalah suatu strategi
keunggulan daya saing yang berkelanjutan, meskipun menurut Richard D’aveni
(1994) pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat
memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan. Situasi hyper competitive,
keunggulan daya saing perusahaan/negara tetap didasarkan pada keunggulan
kompetitif dinamis meskipun dengan jangka waktu yang pendek. SCA relatif
lebih tepat dan menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agroindustri karena
resource base-nya dapat diperbaharui (Masngudi, 2006).
Dalam konteks lainnya, Tambunan (1996) mengemukakan bahwa daya saing
suatu komoditas di pasar internasional juga ditentukan oleh teknologinya. Di masa
depan tuntutan teknologi merupakan karakteristik dalam proses pengembangan
ekspor dengan mengambil dasar pemikiran dan asumsi-asumsi yang dibangun
oleh teori klasik, oleh karena teori-teori klasik tidak melihat pentingnya pengaruh
proses teknologi terhadap pola perdagangan dunia. Pada akhirnya dikatakan
bahwa keunggulan kompetitif akan lebih menentukan daya suatu negara atau
suatu komoditas daripada keunggulan komparatifnya. Paltts dan Gregory (1991)
mengungkapkan bahwa faktor pemilihan tergantung pada keunggulan suatu
komoditi yang dihasilkan oleh perusahaan atau industri tergantung pada
permintaan konsumen terhadap produk cukup signifikan mendorong perusahaan
untuk lebih kompetitif.
Berkaitan dengan daya saing suatu komoditas, pola perdagangan sekarang ini
tidak serta-merta melihat pendekatan pasar sebagai dasar untuk melakukan
29
strategi (market based strategy) di dalam melakukan perdagangan internasional,
tetapi juga didasarkan pada pentingnya pendekatan yang disebut dengan resource
based strategy dimana faktor sumber daya menjadi lebih penting. Karena itu,
Huseini (2000) mengungkapkan perlunya mengkaji ulang strategi pemasaran
internasional di Indonesia.
Beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari The US
National Competitiveness Council):
1. Daya saing mencakup efisiensi (mencapai sasaran dengan biaya serendah
mungkin) dan efektivitas (memiliki sasaran yang tepat). Pilihan tentang inilah
yang sangat menentukan dari sasaran industri. Daya saing meliputi baik tujuan
akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut (Buckley, P. J. et al, “Measures
of International Competitiveness: A Critical Survey”, Journal of Marketing
Management, 1988).
2. Daya saing industri adalah kemampuan perusahaan atau industri dalam
menghadapi tantangan persaingan dari para pesaing asingnya (US Department
of Energy).
3. Mendukung kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara atau
supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan pemanfaatan
faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mempertahankan keberadaan dalam
persaingan internasional (OECD, 1996. “Industrial
Competitiveness:Benchmarking Business Environments in the Global
Economy”).
Hal sangat penting tentang daya saing dalam tingkat industri ini adalah
pandangan bahwa keunggulan daya saing nasional semestinya dilihat pada tingkat
ini. Ini antara lain yang diyakini oleh Porter [Michael E. Porter] yang juga
menyampaikan
“….. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the
industry. Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of
industries connected through vertical and horizontal relationships. A nation’s
economy contains a mix of clusters, whose makeup and sources of competitive
advantage (or disadvantage) reflect the state of the economy’s development.”
30
2.5 Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)
Pada tanggal 28 November 2006, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dan
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertemu di Tokyo
untuk bersama-sama mengumumkan bahwa perjanjian pada prinsipnya telah
dicapai antara Indonesia dan Jepang pada elemen utama Indonesia-Japan
Economic Partnership Agreement (selanjutnya disebut sebagai IJ-EPA). IJ-EPA
menandai sebuah era baru bagi kemitraan Indonesia dan Jepang, dengan menempa
hubungan yang lebih erat ekonomi melalui kerja sama untuk peningkatan
kapasitas, liberalisasi, promosi dan fasilitasi perdagangan dan investasi antara
kedua negara. Perjanjian IJ-EPA juga akan mencakup berbagai kegiatan ekonomi
termasuk sumber daya energi dan mineral, pergerakan orang alam, pengadaan
pemerintah, kekayaan intelektual, kebijakan persaingan, perbaikan lingkungan
bisnis dan promosi kepercayaan bisnis.
Selain itu, IJ-EPA mencakup pula capacity building untuk proyek-proyek
kerjasama yang komprehensif berfokus pada kegiatan yang akan meningkatkan
daya saing industri Indonesia, perikanan, pertanian, dan produk kehutanan
termasuk inisiatif bersama untuk lebih meningkatkan daya saing industri
manufaktur Indonesia melalui Inisiatif Pusat Pengembangan Industri Manufaktur.
Kedua pemimpin negara menyambut baik kesepakatan secara prinsip pada unsur-
unsur utama dari masalah negosiasi. Keduanya menginstruksikan delegasi
masing-masing, membangun perjanjian ini pada prinsipnya, untuk segera
menyelesaikan IJ-EPA.
Ratifikasi IJ-EPA tersebut berlangsung pada bulan Juli 2008, di mana Jepang
bersama Indonesia mencoba menyelaraskan serangkaian langkah
implementasinya. Unsur-unsur utama dalam kemitraan ekonomi (economic
partnership agreement, EPA) yang disepakati Jepang dan Indonesia, terdiri atas:
1. perdagangan dalam barang: ketentuan tarif, non-tarif, ketentuan asal (trade in
goods: tariffs and non-tariff measures, rules of origin trade remedies),
2. perdagangan dalam jasa (trade in services),
3. prosedur bea cukai (customs procedure),
4. penanaman modal (investment),
31
5. fasilitasi bergeraknya sumber daya manusia (movement of natural persons),
6. sumber daya energi dan mineral (energy and mineral resources),
7. hak cipta (intelectual property right),
8. prosedur pembelian oleh pemerintah (government procurement),
9. persaingan (competition),
10. perbaikan dalam lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis
(improvement of business environment and promotion of business confidence),
11. kerjasama (cooperation).
Diuraikannya gagasan Jepang tentang EPA yang didalamnya FTA (Free
Trade Agreement) dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing-masing negara
anggota ASEAN. Akan tetapi pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku
bisnis yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif.
Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami
bahwa FTA merupakan kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan
perdagangan antar-mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan
perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen
terhadap negara ketiga.
Salah satu syaratnya adalah suatu sistem sertifikasi asli (system of certificates
of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan
(trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota.
Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak
dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas
efisiensi alokasi sumber daya, dan dampak dinamis, di mana produktivitas yang
lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan
kelompok ikut berperan dalam pembentukan FTA.
Tujuan FTA adalah membentuk sekaligus memperlancar perdagangan dan
investasi dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara
cepat maupun mantap karena serangkaian alasan yang tidak terbatas pada
kedekatan secara geografis. Hal-hal yang hendak digarap adalah kesertaan dalam
32
pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang
pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak.
Hal yang dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan
mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara
pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan
jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume
perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara.
Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagangan berarti perluasan
perdagangan yang biasanya dilakukan antara para pihak yang bersangkutan,
menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara
lebih murah, dan di pihak produsen negara pengekspor memperoleh laba sebagai
hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoritis kemakmuran kedua negara
penandatangan FTA makin membaik (improving the economic welfare).
Sebaliknya, hendaknya pihak Indonesia tidak lupa bahwa peniadaan
hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi negeri
ini. Dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui
tahapan peningkatan produktivitas yang mencakup perluasan pasar, peningkatan
daya saing, alih teknologi disertai inovasi teknologi.
2.6 Penelitian Sebelumnya
Studi mengenai dampak kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral
terhadap daya saing industri manufaktur telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) oleh
berbagai perusahaan di Jepang, khususnya terkait dengan kesepakatan
perdagangan bebas secara bilateral yang dilakukan oleh Jepang dengan beberapa
negara mitranya (Malaysia, Meksiko, dan Chili) telah dilakukan oleh Takahashi
dan Urata pada tahun 2010. Hasil studi Takahashi dan Urata (2010)
memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan berkisar 12,2 persen (Japan-Malaysia
FTA) hingga 32,9 persen (Japan-Mexico FTA). Di samping itu, studi tersebut
menemukan beberapa kendala utama yang membatasi pemanfaatan SKA dengan
negara mitra FTA, yakni kecilnya perdagangan dengan negara mitra FTA,
33
kesulitan mendapatkan SKA yang dibutuhkan, dan kurangnya pengetahuan
tentang FTA. Dari segi tarif preferensi, perbedaan tarif MFN dan tarif preferensi
sangat kecil. Studi tersebut juga menemukan karakteristik perusahaan yang
menggunakan FTA, yaitu perusahaan besar, memiliki keterikatan bisnis dengan
negara mitra FTA, dan perusahaan beroperasi dalam industri mesin transportasi.
Juswanto dan Mulyanti (2003) memfokuskan studi tentang daya saing
industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekspor dengan pendekatan
Constant Market Share Analysis (CMSA). Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa komposisi komoditi merupakan permasalahan utama dalam pertumbuhan
ekspor produk industri Manufaktur Indonesia mengingat dampaknya terhadap
pertumbuhan negatif. Ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsenterasi pada
SITC 6 dan 8 yang memiliki pertumbuhan yang relatif rendah terhadap
permintaan dunia, sedangkan produk SITC 7 memiliki pertumbuhan yang relatif
tinggi terhadap pertumbuhan permintaan dunia kendatipun secara relatif rendah di
Indonesia. Sementara pasar ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsentrasi di
Jepang, Amerika Serikat, NIE, dan negara-negara ASEAN.
Pendekatan Export Product Dynamics (EPD) untuk mengukur daya saing
beberapa produk ekspor utama Indonesia dalam kerangka kesepakatan
perdagangan bebas regional (ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-
China Free Trade Area (AC-FTA)) telah dilakukan oleh Widyasanti (2010), di
mana hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi yang baik dan telah
membuka pangsa pasarnya sendiri untuk beberapa produk. Namun beberapa
strategi kebijakan diperlukan untuk produk-produk ini, terutama untuk produk
sayuran yang telah kehilangan kesempatannya di pasar ASEAN. Di pasar Cina,
Indonesia berhasil merebut pasar hanya untuk produk plastik dan karet, produk
mineral dan alas kaki. Produk-produk yang berada dalam kondisi lagging
opportunity, adalah minyak dan lemak hewani dan nabati, dan produk makanan.
Ekspor produk Indonesia di pasar Cina dikategorikan sebagai leading retreat dan
lagging retreat.
Untuk studi kinerja industri manufaktur di Indonesia berdasarkan keuntungan
(price cost margin, PCM) telah dilakukan Oktaviani, Asmara, dan Sahara (2008)
34
yang mengkaji kinerja industri manufaktur Indonesia baik industri berskala
sedang maupun besar, menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja industri manufaktur pada industri besar secara positif adalah output dan
efisiensi sedangkan faktor yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri manufaktur adalah
pengeluaran untuk tenaga kerja. Pada beberapa sektor industri, faktor bahan baku
dan penolong serta bahan bakar dan pelumas menjadi faktor yang mempunyai
pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada
industri. Pada industri sedang, faktor yang mempunyai pengaruh paling besar
dalam meningkatkan PCM pada industri manufaktur adalah output industri,
diikuti oleh faktor efisiensi dan jumlah perusahaan, sedangkan faktor yang
mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap penurunan PCM pada industri
manufaktur adalah pengeluaran untuk tenaga kerja. Studi lainnya yang
menggunakan pendekatan yang sama dengan fokus yang berbeda telah dilakukan
oleh Putra (2009) untuk industri Pulp dan Kertas di Indonesia, Suryawati (2009)
untuk industri Tekstil dan Pakaian Jadi di Provinsi DIY, dan Kaesti (2010) untuk
industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia tahun 2000-2003.
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini tentunya tidak
terlepas dari tujuan penelitian itu sendiri. Pada tahapan awal, akan dilakukan
analisis data sekunder terkait empat jenis analisis, yaitu:
1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Preferensi Form IJ-EPA dan JI-
EPA
2. Daya saing produk manufaktur
3. Industri Manufaktur Indonesia
4. Pola ekspor dan impor Indonesia dari Jepang
Penggunaan analisis data sekunder ini kemudian diharapkan juga dapat
memetakan industri yang menjadi sampel dalam kegiatan survei lapangan dan
Focus Group Discussion (FGD). Dari sampel yang dipilih tersebut, lalu dianalisis
data temuan studi lapangan yang menyangkut potensi dan permasalahan yang
dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia terkait dampak kesepakatan
perdagangan bebas Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)
terhadap kinerja dan daya saingnya. Selain itu, Tim Kajian juga akan melakukan
analisis studi kasus (benchmarking) pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas IJ-
EPA di Jepang dan pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan
Jepang dengan negara lain di ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Secara
ilustratif, kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini terlihat pada
Gambar 3.1.
36
3.2 Jenis dan Sumber Data
Kajian ini mempergunakan dua jenis data, yakni data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan melalui teknik wawancara
secara langsung dan penyebaran kuesioner ke berbagai instansi terkait, asosiasi,
dan para pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekspor ke Jepang dan bergerak
dalam industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,
Cokelat dan Kembang Gula, Garmen, Furnitur, dan Barang dari Plastik dengan
penarikan sampel bertujuan (purposive sampel). Adapun lokasi pengambilan
sampel dilakukan di wilayah Jakarta, Medan, Denpasar, Manado, dan Bandung.
Di samping itu, pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group
Discussion (FGD) di Surabaya dan Semarang. Yang menjadi dasar pertimbangan
dalam pemilihan lokasi survei lapangan dan FGD adalah karena Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan
Provinsi Jawa Barat merupakan penerbit SKA Form IJ-EPA utama selain Provinsi
DKI Jakarta dengan pelaksanaan secara otomasi (online). Manado dipilih menjadi
daerah survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses
otomasi atau manual (offline). Melalui survei lapangan dan FGD ini dapat
Implikasi Kebijakan
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
37
diketahui tentang potensi dan permasalahan terkait dengan dampak kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA terhadap kinerja dan daya saing industri manufaktur
Indonesia, terutama data pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala dalam
pengimpelementasiannya serta kinerja industri di berbagai daerah di Indonesia.
Guna mendapatkan gambaran dan benchmarking pelaksanaan kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA secara komprehensif, maka dilaksanakan pula
kunjungan kerja ke Jepang, Thailand, dan Malaysia (Thailand dan Malaysia
merupakan negara ASEAN lainnya yang melakukan kesepakatan perdagangan
bebas dengan Jepang).
Sementara itu, data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi dan penerbitan
yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Fasilitasi Ekspor dan
Impor Kementerian Perdagangan, World Integrated Trade Solution (WITS),
International Monetary Fund (IMF), World Bank, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan di beberapa daerah, dan sumber-sumber lainnya yang relevan.
3.3 Metode Analisis
3.3.1 Constant Market Share Analysis (CMSA)
Analisis pangsa pasar konstan (constant market share analysis, CMSA)
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis daya
saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang dan pertumbuhan ekspor
Indonesia. Asumsi dasar yang digunakan dalam metode ini sesuai dengan
yang dikembangkan Leamer dan Stern pada tahun 1970, bahwa terdapat tiga
alasan kesuksesan (kegagalan) ekspor suatu negara yang pertumbuhan
ekspornya lebih tinggi (rendah) dari pertumbuhan ekspor dunia, yaitu 1)
ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang pertumbuhan
permintaannya relatif tinggi (rendah), 2) ekspor lebih ditujukan ke wilayah
yang mengalami pertunbuhan relatif tinggi (stagnan), dan 3) kemampuan
(ketidakmampuan) bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya.
Asumsi dasar lainnya adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu negara di
pasar dunia tidak berubah antar waktu, sehingga perbedaan antara
pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang
38
mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan pangsa
pasarnya merupakan efek dari daya saing. Perbedaan pertumbuhan ekspor
aktual tersebut disebabkan oleh persaingan, komposisi komoditi dan efek
distribusi pasar (Suprihatini, Mei 2005: 1-29).
Dalam metode analisis CMSA, pertumbuhan ekspor didekomposisikan
menjadi empat yaitu 1) pertumbuhan standar, 2) pengaruh komposisi
komoditas, 3) pengaruh ditribusi pasar, dan 4) pengaruh persaingan.
Juswanto dan Mulyanto (2003) mengembangkan pendekatan CMSA untuk
menganalisis daya saing ekspor manufaktur Indonesia dengan mengikuti
Formulasi yang dikembangkan oleh Leamer dan Stern (1970). Sejumlah
notasi yang digunakan dalam metode CMSA yang dikembangkan adalah
sebagai berikut:
Vi : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 1
Vi’ : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 2
V*j : Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 1
V’*j : Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 2
Vij : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i ke negara j pada periode 1
r : Persentase peningkatan total ekspor dunia dari periode 1 ke periode 2
ri : Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i dari periode 1 ke
periode 2
rij : Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i ke negara j dari
periode 1 ke periode 2
Nilai ekspor negara A pada periode 1 adalah:
j
i
iji
j
ij VVVV **
(3.1)
dan kita juga dapat mendefinisikan ekspor negara A pada periode 1 sebagai
berikut:
i j
j
i
i
j
ij VVVV *** (3.2)
Pada analisis level pertama, ekspor dapat diasumsikan hanya terjadi pada
satu barang ke suatu pasar. Pada level ini, metode CMSA berpendapat
39
bahwa jika negara A mempertahankan pangsa ekspornya di pasar dunia,
maka ekspor akan meningkat sebesar rV** , sehingga persamaan identitasnya
dapat ditulis sebagai berikut:
****
'
******
'
** rVVVrVVV (3.3)
Persamaan (3.3) di atas memperlihatkan level pertama dari analisis yang
mengandung arti bahwa pertumbuhan ekspor dari periode 1 ke periode 2
( **
'
** VV ) dibagi menjadi bagian yang terkait dengan peningkatan ekspor
dunia secara umum (rV**) dan residu yang tidak dapat dijelaskan, yaitu efek
daya saing (competitiveness effect) sebesar ****
'
** rVVV .
Pada level analisis berikutnya, analisis level kedua, metode ini
memperluas analisis dengan argumen bahwa ekspor secara faktual terdiri
dari sekumpulan komoditas dan pasar yang cukup beragam untuk suatu
kelompok komoditas tertentu. Sejalan dengan persamaan (3.3), untuk
komoditas i kita dapat menuliskan persamaan identitas sebagai berikut:
**
'
***
'
* iiiiiiii VrVVVrVV (3.4)
Persamaan (3.4) dapat diagregasikan dalam bentuk:
**
'
** VV )( **
'
** ii
i
iii
i
i VrVVVr
)()( **
'
** ii
i
iii
i
i VrVVVrrr
)()()( **
'
*** ii
i
iii
i
ii
i
VrVVVrrVr
)()( **
'
**** ii
i
iii
i
i VrVVVrrrV (3.5)
(1) (2) (3)
Persamaan (3.5) menunjukkan bahwa analisis level kedua dimana
pertumbuhan ekspor negara A dapat dipecah menjadi:
1. peningkatan ekspor dunia secara umum
2. komposisi komoditas negara A pada periode 1
40
3. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan
perbedaan antara ekspor aktual dengan peningkatan secara hipotetis jika
negara A menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok
komoditi.
Dari persamaan (3.5), efek komposisi komoditi (commodity-composition
effect) dapat didefinisikan sebagai:
*)( i
i
i Vrr (3.6)
Persamaan (3.6) mengandung arti bahwa jika ekspor dunia komoditas i
meningkat lebih besar dibandingkan dengan ekspor total dunia, maka (ri – r)
bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh bobot yang lebih besar
ketika ditambahkan unsur lainnya yaitu Vi*. Hasilnya, persamaan (5) akan
menjadi positif jika negara A berkonsentrasi pada ekspor komoditas-
komoditas yang pasarnya tumbuh relatif cepat dan akan bernilai negatif jika
negara A berkonsentrasi pada pasar yang komoditasnya tumbuh relatif lebih
rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor total dunia.
Analisis terakhir dalam metode ini adalah analisis level ketiga dimana
metode ini akan mengobservasi ekspor yang terdiferensiasi menurut negara
tujuan ekspor dan jenis komoditas. Asumsi yang tepat dari kasus ini adalah
pangsa pasar yang tetap dari ekspor kelompok komoditas tertentu (i) pada
negara tertentu (j). Identik dengan persamaan identitas (3.3) dan (3.4), kita
akan memperoleh:
ijijijijijijijij VrVVVrVV '' (3.7)
dan dapat diagregasikan menjadi:
**
'
** VV )( '
ijij
i
ijij
j
ij
i
ij
j
VrVVVr
)()( '
ijij
i
ijij
j
ij
i
ijii
j
VrVVVrrrrr
)()( '
ijij
i
ijij
ji
ijijijiijiijij
j
VrVVVrVrVrrVrV
41
)())()()( '
ijij
i
ijij
ji
ijiij
i j
iji
i j
ij
j
VrVVVrrVrrrV
)())()()( '
** ijij
i
ijij
ji
ijiij
i j
ii
i
i VrVVVrrVrrrV
)())()( '
*** ijij
i
ijij
j
ijiij
i j
ii
i
VrVVVrrVrrrV
(3.8)
(1) (2) (3) (4)
Persamaan (3.8) menunjukkan bahwa analisis level ketiga dimana
pertumbuhan ekspor negara A dipecah berdasarkan sumbernya, yaitu:
1. peningkatan ekspor dunia secara umum
2. komposisi komoditas negara A pada periode 1
3. distribusi pasar ekspor negara A
4. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan
perbedaan antara peningkatan ekspor aktual dengan peningkatan
hipotetis jika negara A mempertahankan pangsa pasar ekspornya untuk
setiap kelompok komoditas dan setiap negara.
Dari persamaan (3.8), kita mengetahui bahwa efek distribusi pasar adalah
sebagai berikut:
))( ijiij
i j
Vrr (3.9)
Persamaan (3.9) berarti bahwa jika ekspor dunia untuk komoditas i ke
negara j meningkat lebih dari ekspor dunia total untuk komoditas i tersebut,
maka (rij – ri) akan bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh
bobot yang lebih besar ketika ditambahkan dengan Vij. Hasilnya adalah
persamaan (3.9) akan positif jika negara A mengkonsentrasikan ekspornya
pada pasar yang tumbuh relatif cepat serta bernilai negatif jika negara A
memfokuskannya pada negara atau kawasan yang relatif stagnan.
42
Lain halnya dengan metode CMSA yang digunakan oleh Suprihatini
(Mei 2005) di mana mengelaborasi tingkat pertumbuhan ekspor seperti yang
diFormulasikan oleh Tyers et.all (1985) sebagai berikut:
Pertumbuhan standar : ..
....
)1(
)1()(
t
tt
E
EE = g (3.10)
Pengaruh komposisi komoditas : + ..
.)(
)1(
)1(
t
i
iti
E
Egg
(3.11)
Pengaruh distribusi pasar : + ..
)1()(
)1(
t
i j
E
ijtEgigij
(3.12)
Pengaruh daya saing : + ..
)(
)1(
)1()1()(
t
i jijtijijtijt
E
EgEE
(3.13)
di mana :
g = ..
....
)1(
)1()(
t
tt
W
WW (3.14)
gi = it
itit
W
WW
)1(
)1()(
(3.15)
gij = ijt
ijtijt
W
WW
)1(
)1()(
(3.16)
Keterangan :
E(t).. adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t
E(t-1).. adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t-1
E(t)i. adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk suatu jenis produk
ai (jenis produk i tertentu)
E(t).j adalah nilai total seluruh ekspor komoditas i Indonesia tahun t ke
negara tujuan j.
E(t)ij adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk jenis produk ai ke
negara j.
43
W(t)i adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara
pengekspor tertentu) tahun t untuk produk ai.
W(t)j adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara
pengekspor tertentu) seluruh komoditas i tahun t ke negara tujuan j
W(t)ij adalah nilai total ekspor standar dunia tahun t untuk produk ai ke
negara j.
W(t).. adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara
pengekspor tertentu) untuk seluruh komoditas i tahun t
3.3.2 Export Product Dynamics (EPD)
Export Product Dynamics (EPD) merupakan salah satu indikator untuk
mengidentifikasi daya saing/ keunggulan kompetitif suatu produk dan
mengukur posisi produk suatu negara dalam suatu tujuan tertentu serta
mengukur kedinamisan performa suatu produk. Terdapat beberapa alasan
dalam mengidentifikasi suatu produk yang dinamis (pertumbuhannya cepat)
dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya di atas rata-rata secara
kontinu selama waktu yang panjang, maka produk ini mungkin menjadi
sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut. Selanjutnya,
jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang
spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam
kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa.
Adapun metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi
produk-produk dinamis adalah dengan memilih produk-produk berdasarkan
tingkat pertumbuhan pangsa pasar dan permintaan selama periode yang
ditetapkan.
Matriks EPD terbagi menjadi empat kategori, yaitu Rising Star (RS), Lost
Opportunity (LO), Falling Star (FS), dan Retreat (R). Rising Star ditandai
dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produk-produk
yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan
pangsa pasar pada produk dinamis. Falling Star juga tidak diinginkan,
terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk-produk dinamis.
44
Sementara itu, Retreat tidak diinginkan lagi di pasar. Retreat bisa diinginkan
kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak
mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Matriks Export Product Dynamics (EPD)
Catatan:
sumbu x: pertumbuhan pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia
sumbu y: pertumbuhan pangsa produk dalam perdagangan dunia
Sumber: Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation, Ministry
of States for National Development Planning/ The National Development Planning Agency
(Bappenas) (2009).
3.3.3 Koefisien Indeks Konsentrasi
Berdasarkan Bera (2008), instabilitas penerimaan ekspor dapat diukur
melalui koefisien indeks konsentrasi (Coefficient of Concentration Index,
CCI). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung
koefisien indeks konsentrasi adalah koefisien konsentrasi Gini-Hirschman.
Salah satu model dari koefisien konsentrasi Gini-Hirschman adalah Indeks
Konsentrasi Pasar (IKP), yang memfokuskan perhatian terhadap ekspor
komoditas tertentu ke beberapa negara tujuan. Suatu komoditas dianggap
rentan jika sangat tergantung atau terkonsentrasi terhadap satu atau beberapa
pasar tertentu karena dengan adanya gangguan yang relatif kecil saja akan
sangat mempengaruhi volume maupun nilai ekspor. Kisaran nilai IKP ini
berada di antara 0-100, di mana semakin besar nilai IKP maka ekspor akan
semakin terkonsentrasi terhadap satu negara. IKP dapat dirumuskan sebagai
berikut:
45
2
1
100
n
j
j
jtX
XG
(3.17)
dimana:
jtG = Indeks konsentrasi pasar
jX = Ekspor ke negara tujuan j
X = Total ekspor
3.3.4 Analisis Kuantitatif
Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan daya saing
industri manufaktur Indonesia, maka digunakan analisis kuantitatif dengan
pendekatan ekonometrika berupa analisis regresi data panel yang
melibatkan data deret waktu dan kerat lintang.
Adapun model estimasi yang diterapkan dalam kajian ini merupakan
adaptasi model perkiraan kasar dari keuntungan industri Price-Cost Margin
(PCM) yang dikembangkan oleh Muhammad Firdaus dkk (2008). Model
PCM sendiri menganalisis hubungan kinerja industri dengan efisiensi
(XEF), jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pekerja (W), pengeluaran
untuk bahan bakar pelumas (PBBP), pengeluaran untuk bahan baku
domestik (PBBD), pengeluaran untuk bahan baku luar negeri (impor)
(PBBI), dan output (OUTPUT). Model estimasi PCM tersebut dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
(3.18)
Berdasarkan Agus Widarjono (2005), untuk menentukan model estimasi
yang paling tepat dalam analisis regresi data panel di atas maka diperlukan
tiga tahapan pengujian. Pertama, pengujian F-restricted untuk memilih
antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect Model (FEM).
Kedua, pengujian Langrange Multiplier (LM) untuk menentukan
penggunaan metode OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect Model
46
(ECM). Terakhir adalah uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara
Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (ECM).
Di samping itu, terdapat beberapa ketentuan yang dibuat oleh Judge et.al
(Gujarati, 2003) dalam menentukan pemilihan FEM dan ECM, yaitu:
1. FEM akan menjadi pilihan yang lebih baik jika jumlah observasi (T) >
jumlah unit kerat lintang (N).
2. Ketika N besar dan T kecil, hasil estimasi FEM dan ECM dapat
berbeda secara signifikan. Jika secara individu atau kerat lintang, unit
sampel penelitian tidak memberikan gambaran random dari sampel
yang lebih besar maka FEM akan lebih sesuai. Sebaliknya, jika unit
kerat lintang pada sampel dianggap memberikan gambaran random
maka ECM akan lebih sesuai di mana asumsi statistik menjadi tidak
bersyarat.
3. Jika komponen error individu dan satu atau lebih variabel independen
berhubungan maka estimator ECM menjadi bias di mana FEM tidak
akan bias.
4. Jika N>T dan asumsi data ditelaah secara random, maka estimator
ECM lebih efisien dari FEM.
47
BAB IV
GAMBARAN UMUM KINERJA PERDAGANGAN
JEPANG DAN INDONESIA
4.1. Perkembangan Kinerja Perdagangan Jepang
4.1.1. Kinerja Perdagangan Jepang di Pasar Dunia
Selama satu dekade terakhir ini (tahun 2001-2010) kinerja total
perdagangan Jepang ke dunia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang
tinggi, khususnya pada periode tahun 2001 hingga 2008, di mana total
perdagangan Jepang dengan dunia terus tumbuh rata-rata 10.8 persen per
tahun. Total perdagangan Jepang dengan dunia pada periode tersebut,
meningkat dari US$ 751 miliar pada tahun 2001 menjadi US$ 1,54 triliun
pada tahun 2008 dengan rincian ekspor meningkat dari sebesar US$ 403
miliar menjadi US$ 781 miliar, sedangkan impor meningkat dari US$ 349
miliar menjadi sebesar US$ 763 miliar. Dengan demikian, selama kurun
waktu delapan tahun tersebut total perdagangan Jepang ke dunia telah
meningkat dua kali lipat. Dari sisi neraca perdagangan y-o-y (year on
year), Jepang terus mengalami surplus yang nilainya bervariasi dengan
tren positif.
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa surplus perdagangan
tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tercatat pada tahun 2004,
mencapai sebesar US$ 111 miliar. Setelah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang positif sejak terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun
1998, selanjutnya pada pertengahan tahun 2008 dunia mulai mengalami
krisis keuangan global yang diawali dengan krisis subprime mortage di
Amerika Serikat yang kemudian memicu krisis keuangan secara global
sehingga mempengaruhi kinerja perdagangan terhadap semua negara tidak
terkecuali Jepang. Dari data yang disajikan pada Gambar 4.1 terlihat
pergerakan kinerja perdagangan Jepang sebelum dan sesudah krisis. Krisis
keuangan global telah menyebabkan penurunan kinerja perdagangan
Jepang di dunia secara keseluruhan. Ekspor Jepang ke dunia turun sebesar
48
US$ 200,6 miliar (25,68 persen) dan impor turun US$ 210,5 miliar (27,61
persen). Kondisi tersebut membaik pada tahun 2010 yang ditunjukkan
dengan peningkatan (rebound) ekspor sebesar US$ 189 miliar (32,57
persen), impor sebesar US$ 141 miliar (25,48 persen).
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ekspor 403 417 472 566 595 647 714 781 581 770
Impor 349 338 383 455 516 579 622 763 552 693
Total Perdagangan 751 754 855 1.021 1.111 1.226 1.337 1.544 1.133 1.462
Neraca (RHS) 54 79 89 111 79 68 92 19 29 77
-
20
40
60
80
100
120
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
US$
Mil
iar
US
$ M
ilia
r
Gambar 4.1 Perdagangan Jepang – Dunia Tahun 2001-2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Pada saat terjadinya krisis keuangan global, Indeks saham Nikkei jatuh
hingga mencapai 9,38 persen atau turun 952,58 poin yaitu dari ¥
10.155,90 menjadi ¥ 9.203,32. Penurunan angka indeks saham ini adalah
yang terendah sejak tahun 2003 dan merupakan penurunan terbesar ketiga
sejak Perang Dunia II. Selanjutnya, nilai tukar Yen terapresiasi terhadap
Dollar AS: US$ 1 mencapai ¥ 98 sebagai yang tertinggi sejak 6 bulan
terakhir (bulan Agustus 2007: 1 US$ setara dengan ¥ 119). Cadangan
devisa Jepang per 30 September 2008 mencapai sebesar US$ 995,85
miliar dan mengalami penurunan sebesar US$ 851 juta dibandingkan
cadangan devisa per 31 Agustus 2008. Pemerintah Jepang pada tahun
2008 juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi menjadi 0,7 persen;
dan untuk tahun 2009 diperkirakan sebesar 0,5 persen. Pada prinsipnya
Jepang akan terus melakukan kebijakan moneter yang mendukung
pertumbuhan ekonomi. Jumlah pinjaman berbagai lembaga keuangan di
49
Jepang kepada Lehman Brothers diperkirakan mencapai sebesar ¥ 320
miliar (US$ 3,2 miliar), 44 persen diantaranya dianggap merupakan
unsecured loans. Kebangkrutan Lehman Brothers mengakibatkan
pemerintah Jepang gagal mengeluarkan surat berharga senilai ¥ 250 miliar,
yang telah disepakati akan dikeluarkan oleh Lehman Brothers.
Berdasarkan Gambar 4.2, ekspor dan pertumbuhan Jepang ke dunia
menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 sampai tahun 2008 (sebelum krisis
keuangan) Jepang mencatatkan peningkatan rata-rata pertumbuhan ekspor
sebesar 10,8 persen per tahun. Meskipun krisis keuangan global sudah
terasa sejak pertengahan tahun 2008, tetapi kinerja ekspor tahun 2008
masih mencatat kenaikan sebesar US$ 67,1 miliar. Dampak krisis
keuangan global berdampak sedemikian terhadap kinerja ekspor tahun
2009, penurunan ekspor Jepang ke dunia turun US$ 200 miliar (25,68
persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian pemulihan
kinerja ekspor Jepang terlihat pada tahun 2010, ekspor naik US$ 189
miliar (32,57 persen).
-40
-20
0
20
40
60
80
100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
%
US$
Mill
iar
Ekspor % growth (rhs)
Gambar 4.2 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Jepang – Dunia
Tahun 2001-2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
50
Demikian juga halnya dengan impor Jepang dari dunia sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 4.3 di mana rata-rata pertumbuhan per tahun
sebesar 12,10 persen sejak tahun 2010-2008 (sebelum krisis keuangan
global). Jepang mencatat impor sebesar US$ 762,5 miliar pada tahun
2008, naik 22 persen dari tahun sebelumnya. Krisis keuangan global yang
mulai terasa sejak pertengahan tahun 2008 berimbas pada melemahnya
impor Jepang dari dunia, impor turun US$ 210 miliar (27,6 persen). Sama
halnya dengan ekspor Jepang, setelah pelemahan ekspor di tahun 2009,
terjadi rebound pada tahun 2010, impor naik menjadi US$ 692,6 miliar
(25,48 persen).
22,55
-27,61-35
-25
-15
-5
5
15
25
35
-300
-100
100
300
500
700
900
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
%
US$
Mill
iar
Impor % growth (rhs)
Gambar 4.3 Impor dan Pertumbuhan Impor Jepang – Dunia
Tahun 2001-2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.1.2. Pangsa Perdagangan Jepang di Dunia
Amerika Serikat merupakan mitra perdagangan Jepang terbesar pada tahun
2001, dengan pangsa sebesar 24,8 persen (US$ 186,3 miliar) dari total
perdagangan Jepang. Peran yang besar dari Amerika Serikat
mempengaruhi kondisi perdagangan Jepang. Krisis keuangan global di
51
Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2008 telah menggeser posisi
Amerika sebagai negara tujuan ekspor terbesar Jepang. Pada tahun 2010,
pangsa perdagangan Jepang dengan RRT naik mencapai 20,7 persen (US$
302 miliar), sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 13 persen
(US$ 189,5 miliar). Pada perkembangannya, tahun 2010 terjadi
peningkatan nilai perdagangan lebih dari 200 persen menjadi US$ 44
miliar.
Pada tahun 2001 Indonesia hanya memiliki pangsa yang relatif kecil di
pasar Jepang, yaitu sebesar 2,8 persen (US$ 21,3 miliar) dari total
perdagangan Jepang ke dunia. Perkembangan perdagangan Jepang dan
Perjanjian IJ-EPA ternyata kurang dimanfaatkan Indonesia. Pangsa
perdagangan Jepang dengan Indonesia hanya mengalami sedikit kenaikan
menjadi 3 persen.
United States of America
24.8%
China11.8%
Republic of Korea5.6%
Chinese Taipei5.1%
Germany3.7%
Hong Kong, China3.3%
Malaysia3.2%
Thailand3.0%
Australia2.9%
Indonesia2.8%
Lain-lain33.8%
China20.7%
United States of America
13.0%
Republic of Korea6.2%
Chinese Taipei5.2% Australia
4.1%Thailand
3.8%
Indonesia3.0%
Hong Kong, China3.0%
Saudi Arabia2.9%
Malaysia2.8%Germany
2.7%
Lain-lain32.7%
Gambar 4.4 Perubahan Pangsa Perdagangan Jepang ke Dunia (2001-2010)
Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.2. Perkembangan Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia
4.2.1. Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia
Pada tahun 2001-2010 kinerja total perdagangan Indonesia ke dunia
menunjukkan pertumbuhan yaang positif. Total perdagangan Indonesia ke
dunia tumbuh rata-rata sebesar 15,9 persen per tahun. Gambar 4.5
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia lebih lambat
dibandingkan dengan pertumbuhan impor, di mana ekspor hanya tumbuh
secara rata-rata sebesar 12,96 persen per tahun, sedangkan impor tumbuh
2001 2010
52
sebesar 20,93 persen per tahun. Meskipun sampai saat ini Indonesia masih
mengalami surplus perdagangan, tetapi Indonesia perlu mewaspadai
kemungkinan defisit perdagangan karena perkembangan impor yang jauh
melampaui pertumbuhan ekspor ke dunia.
Dalam perkembangan satu dekade ini, total nilai perdagangan Indonesia
tahun 2010 telah meningkat hampir dari 2,5 kali dari total nilai
perdagangan tahun 2001, yaitu dari US$ 87,3 miliar tahun 2001 menjadi
US$ 293,4 miliar pada tahun 2010. Indonesia telah menikmati surplus
perdagangan yang bervariasi, di mana surplus perdagangan tertinggi
terjadi pada tahun 2006 sebesar US$ 39,6 miliar dan surplus terendah
terjadi pada tahun 2008 US$ 7,8 miliar. Pada tahun 2008 surplus
perdagangan tergerus akibat terjadinya lonjakan impor Indonesia, di mana
impor Indonesia pada saat itu meningkat 73,48 persen yang tidak
diimbangi dengan lonjakan ekspor. Negara-negara dengan pangsa
perdagangan ekspor relatif besar dari Indonesia mengalami imbas dari
krisis ekonomi tahun 2008. Setelah mengalami pertumbuhan yang positif
sejak tahun 2001, krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan
tahun 2008 menyebabkan kinerja perdagangan Indonesia mengalami
perlambatan. Nilai perdagangan Indonesia tahun 2009 turun sebesar 19,9
persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ekspor 56.3 57.2 61.1 71.6 85.7 100.8 114.1 137.0 116.5 157.8
Impor 31.0 31.3 32.6 46.5 57.7 61.1 74.5 129.2 96.8 135.7
Total Perdagangan 87.3 88.4 93.6 118.1 143.4 161.9 188.6 266.2 213.3 293.4
Neraca (RHS) 25.4 25.9 28.5 25.1 28.0 39.7 39.6 7.8 19.7 22.1
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
US$
Mill
iar
US$
Mill
iar
Gambar 4.5 Perdagangan Indonesia – Dunia Tahun 2001-2010
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).
53
Krisis keuangan global berdampak terhadap melemahnya kinerja baik
ekspor maupun impor Indonesia dan dunia secara keseluruhan. Krisis
keuangan global menyebabkan nilai ekspor Indonesia pada tahun 2009
turun sebesar US$ 20,5 miliar (14,97 persen) dan impor turun sebesar
US$ 32,4 miliar (25,5 persen). Pemulihan kinerja perdagangan Indonesia
telah terlihat pada akhir tahun 2009 di mana ekspor Indonesia telah
menunjukan peningkatan. Ekspor non-migas triwulan ke IV tahun 2009
meningkat 1,3 persen atau US$ 331 juta lebih tinggi dibandingkan kinerja
triwulan ke IV tahun 2008. Peningkatan tersebut membuat kontraksi
ekspor non migas selama tahun 2009 lebih baik dari perkiraan saat
keadaan ekonomi dunia mengalami krisis. Ekspor non migas Indonesia di
tahun 2009 mencapai US$. 97,5 miliar, atau 9.7 persen lebih rendah dari
ekspor non migas tahun 2008 (Gambar 4.6).
-20
-10
0
10
20
30
40
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
160.0
180.0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
%
US
$ M
illi
ar Ekspor
% growth (rhs)
Gambar 4.6 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia–Dunia
Tahun 2001-2010
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).
Data statistik 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi pemulihan kondisi
ekonomi di dunia sebagai dampak dari kebijakan moneter dan stimulus
fiskal yang dilakukan negara maju dan berkembang mendorong pemulihan
54
perekonomian dunia lebih awal dari yang diperkirakan dan program
diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan India yang telah berjalan membantu mempercepat pemulihan ekspor.
Pada kenyataannya pemulihan perekonomian RRT dan India sangat kuat
sehingga meningkatkan permintaan terhadap ekspor Indonesia,
ditunjukkan dengan terjadinya rebound baik ekspor dan impor Indonesia
ke dunia pada tahun 2010, ekspor Indonesia tumbuh 35,42 persen dan
impor tumbuh sebesar 40,11 persen.
Meskipun nilai total ekspor tahun 2009 mengalami penurunan
dibandingkan nilai tahun 2008, tetapi total surplus perdagangan Indonesia
mengalami peningkatan. Nilai total ekspor pada tahun 2009 sebesar US$
116,5 miliar atau turun 15 persen dibandingkan dengan nilai total ekspor
tahun 2008. Sementara nilai total impor pada tahun 2009 sebesar US$ 96,8
miliar atau turun 25 persen dari tahun sebelumnya. Sebagian penurunan
impor tersebut disebabkan karena penurunan permintaan bahan baku dan
bahan penolong untuk produk ekspor. Dengan demikian terjadi surplus
neraca perdagangan yang cukup signifikan yaitu sebesar US$ 19,7 miliar.
Surplus tersebut meningkat 151 persen dibandingkan dengan surplus
neraca perdagangan tahun 2008 (Gambar 4.5 dan 4.7).
-40
-20
0
20
40
60
80
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
160.0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
%
US$
Mill
iar Impor
% growth (rhs)
Gambar 4.7 Impor dan Pertumbuhan Impor Indonesia–Dunia
Tahun 2001-2010
Sumber : BPS (Diolah oleh Pusdatin Perdagangan, Kementerian Perdagangan)
55
4.2.2. Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia
Gambar 4.8 memperlihatkan bahwa Jepang adalah partner perdagangan
terbesar Indonesia pada tahun 2001, di mana pangsa total perdagangan
Indonesia dilakukan dengan Jepang sebesar 20,3 persen (US$ 17,7
miliar). Dalam perkembangannya dalam satu dekade terakhir (2001-2010)
pangsa perdagangan dengan Jepang telah menurun menjadi 14,6 persen
(US$ 42,7 miliar) di tahun 2010. Meskipun demikian, Jepang masih
merupakan mitra perdagangan terbesar Indonesia.
Posisi Amerika Serikat yang pada tahun 2001 berada diurutan kedua telah
bergeser ke posisi keempat, di mana pangsa perdagangan Indonesia
dengan Amerika Serikat turun dari 12,6 persen (US$ 10,9 miliar) di tahun
2001 menjadi 8,1 persen (US$ 23,7 miliar) pada tahun 2010. Posisi
Amerika Serikat telah digeser oleh RRT yang pangsanya naik dari 4,6
persen (US$ 4,0 miliar) pada tahun 2001 menjadi 12,3 persen (US$ 36,1
miliar) pada tahun 2010. Hal ini sejalan dengan pesatnya pertumbuhan
ekonomi RRT yang secara otomatis meningkatkan penawaran dan
permintaan barang di pasar internasional dan efektifitas implementasi
perjanjian kerjasama perdagangan regional ASEAN dengan RRT dalam
AC-FTA.
Selain pertumbuhan perdagangan dengan RRT, Indonesia juga mengalami
pertumbuhan yang tinggi dengan India. Gambar 4.8 menunjukkan bahwa
India yang pada tahun 2001 belum masuk ke dalam 10 negara dengan
pangsa perdagangan terbesar, pangsa India pada tahun 2010 telah
meningkat dari 1,8 persen (US$ 1,54 miliar) menjadi 4,5 persen dengan
total nilai US$ 13,2 miliar dan berada pada urutan ketujuh. Nilai total
perdagangan tersebut telah meningkat hampir 10 kali lipat dalam satu
dekade ini.
56
Japan20.3%
United States of America
12.6%
Singapore9.8%
Republic of Korea6.9%
China4.6%
Australia4.2%
Chinese Taipei3.7%
Malaysia3.2%
Germany3.0%
Thailand2.3%
United Kingdom
2.3%
Lain-lain27.1%
Japan14.6%
China12.3%
Singapore11.6%
United States of America
8.1%
Republic of Korea6.9%
Malaysia6.1%
India4.5%
Thailand4.1%
Australia2.8%
Chinese Taipei2.8%
Germany2.0%
lain-lain24.2%
Gambar 4.8 Perubahan Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia
Tahun 2001 dan 2010
Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3. Kinerja Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang
Pada periode 2001-2010, kinerja perdagangan Indonesia dan Jepang
menunjukan kecenderungan (tren) peningkatan dalam nilai perdagangannya. Dari
Gambar 4.9 terlihat bahwa total perdagangan pada tahun 2001 yang hanya sebesar
US$ 17,7 miliar telah meningkat menjadi US$ 42,75 miliar dengan rata-rata
pertumbuhan mencapai 12,99 persen per tahun. Persentase pertumbuhan
perdagangan Indonesia-Jepang ini dua persen lebih tinggi daripada rata-rata
pertumbuhan perdagangan Jepang ke dunia.
Pada sisi neraca perdagangan, Indonesia selalu menikmati surplus
perdagangan dengan Jepang yang nilainya bervariasi, meskipun Jepang selalu
mencatatkan surplus perdagangannya ke dunia. Pada periode 2001-2010, surplus
perdagangan Indonesia dengan Jepang tertinggi dicatat pada tahun 2007 mencapai
US$ 17,11 miliar meskipun tren neraca perdagangan cenderung landai. Pada
tahun 2006 terjadi lonjakan surplus perdagangan meningkat sebesar 45 persen
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, naik dari US$ 11,14 miliar
pada tahun 2005 menjadi US$16,22 miliar pada tahun 2006.
2001 2010
57
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Neraca (RHS) 9.02 8.32 7.64 9.38 9.88 11.14 16.22 17.11 12.61 8.73 8.82
Ekspor 14.42 13.01 12.05 13.60 15.96 18.05 21.73 23.63 27.74 18.57 25.78
Impor 5.40 4.69 4.41 4.23 6.08 6.91 5.52 6.53 15.13 9.84 16.97
Total Perdagangan 19.81 17.70 16.45 17.83 22.04 24.96 27.25 30.16 42.87 28.42 42.75
-
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
US$
Mili
ar
US$
Mili
ar
Gambar 4.9 Perdagangan Indonesia-Jepang Tahun 2001-2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan pengelompokkan golongan barang, neraca perdagangan migas
Indonesia-Jepang cenderung menunjukkan peningkatan surplus selama kurun
waktu 2004-2010 sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 4.10. Surplus
perdagangan migas tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$
13,7 milliar. Sementara itu, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang
tahun 2004-2010 cenderung fluktuatif, mengalami kenaikan dari tahun 2004
hingga mencapai puncaknya pada tahun 2006. Kemudian terjadi penurunan
hingga pada tahun 2008 mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,1 miliar
dan kembali mengalami surplus perdagangan pada tahun 2009 yang selanjutnya
defisit pada tahun 2010 (Gambar 4.10).
58
9.9
11.1
16.217.1
12.6
8.7 8.8
7.68.5
9.510.5
13.7
6.6
9.2
2.3 2.7
6.7 6.6
-1.1
2.2
-0.4-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
US$
Mili
ar
Total
Migas
Non Migas
Gambar 4.10 Neraca Perdagangan Migas dan Non-migas Indonesia-Jepang
Tahun 2004-2010
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Ditinjau dari perkembangan perdagangan produk migas Indonesia dengan
Jepang, ekspor Indonesia mendominasi hampir 100 persen dari total perdagangan
migas dengan Jepang. Surplus perdagangan Indonesia untuk migas tertinggi
selama periode 2004-2010 terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$ 13,7
miliar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.11.
7.68.5
9.510.5
13.9
6.6
9.3
0.0 0.0 0.0 0.1 0.3 0.0 0.1
7.68.5
9.510.5
13.7
6.6
9.2
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
US
$ M
ilia
r
Ekspor Impor Neraca
Gambar 4.11 Perkembangan Perdagangan Migas Indonesia dengan Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
59
Meskipun ekspor non-migas Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun selama tahun 2004-2010, pada tahun 2008 dan 2010 nilainya tidak dapat
mengimbangi impor non-migas Indonesia dari Jepang. Impor non migas Indonesia
dari Jepang pada tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun
sebelumnya sedangkan ekspornya hanya mampu tumbuh 5 persen. Hal ini
sebagaimana digambarkan dalam Gambar 4.12.
8.49.6
12.213.1
13.8
12.0
16.5
6.16.9
5.56.5
14.9
9.8
16.9
2.3 2.7
6.7 6.6
-1.1
2.2
-0.4-2.0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
US
$ M
ilia
r
Ekspor Impor Neraca
Gambar 4.12 Perkembangan Perdagangan Non-migas Indonesia dengan Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.1. Perkembangan Ekspor Indonesia ke Jepang
Rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2001-2010
sebesar 7,85 persen per tahun. Meskipun imbas krisis keuangan global
pada pertengahan tahun 2008 menurunkan ekspor secara dramastis di
tahun 2009 dengan nilai sebesar US$ 9,17 Miliar (33 persen). Pada tahun
2010 ekspor Indonesia mengalami pemulihan meskipun tidak sebesar nilai
ekspor sebelum krisis global terjadi, di mana ekspor Indonesia ke Jepang
naik sebesar 38 persen (US$ 7,21 Miliar) seperti dapat dilihat dalam
Gambar 4.13. Selama periode 2001-2010 pertumbuhan ekspor tertinggi
terjadi pada tahun 2010 sebesar 38 persen yang menunjukkan pemulihan
akibat krisis keuangan global.
60
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
-40.0
-30.0
-20.0
-10.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gro
wth
(%)
US$
Mili
ar
Ekspor (LHS) Growth Ekspor (RHS)
Gambar 4.13 Nilai dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia ke Jepang
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Gambar 4.14 menunjukkan komposisi ekspor produk migas dan non-
migas Indonesia ke Jepang yang memiliki komposisi yang hampir
berimbang sepanjang tahun 2004-2010. Rata-rata ekspor Indonesia ke
Jepang pada periode 2005-2010, terdiri dari 56 persen produk non-migas
(US$ 12,2 miliar) dan 44 persen produk migas (US$ 9,4 miliar). Rata-rata
pertumbuhan ekspor non-migas selama tahun 2005-2010 cukup bervariasi,
dengan nilai sebesar 13,15 persen per tahunnya. Pertumbuhan ekspor non-
migas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2006, di mana Indonesia
mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 27 persen (US$ 2,6 miliar).
Sementara, rata-rata pertumbuhan ekspor migas Indonesia ke Jepang
periode 2005-2010 sebesar 9,21 persen per tahun. Pertumbuhan ekspor
migas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2010, di mana ekspor tumbuh
sebesar 40,78 persen (US$ 2,69 miliar) dibandingkan tahun sebelumnya.
Krisis keuangan global pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan
penurunan ekspor baik migas dan non migas Indonesia, ekspor migas
turun 52,71 persen sedangkan non-migas turun 13,17 persen. Krisis
keuangan global yang terjadi berdampak lebih mendalam terhadap kinerja
ekspor migas Indonesia dibandingkan dengan ekspor non-migas. Ekspor
61
non-migas Indonesia dinilai lebih mampu menahan dampak dari krisis
tersebut.
16
18,0 21,7 23,627,7
18,6
25,8
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
-50.0
-40.0
-30.0
-20.0
-10.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gro
wth
(%)
US$
Mill
iar
Non Migas
Migas
growth Migas-RHS
growth Non Migas-RHS
Gambar 4.14 Ekspor Migas dan Non-Migas Indonesia ke Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.1.1. Perkembangan Ekspor Migas Indonesia ke Jepang
Kenaikan ekspor migas Indonesia ke Jepang lebih disebabkan oleh
kenaikan harga migas di pasar dunia, di mana volume ekspor Indonesia
memiliki tren menurun. Dampak krisis keuangan global pertengahan
tahun 2008 berakibat pada terkoreksinya ekspor migas Indonesia ke
Jepang, di mana ekspor migas pada tahun 2009 turun dari US$ 13,9
miliar di tahun 2008 menjadi US$ 6,6 miliar pada tahun 2009. Dilihat
lebih jauh lagi pada saat awal krisis global, permintaan energi dunia
menurun yang kemudian menyebabkan harga produk migas dunia anjlok
pada awal tahun 2009, tetapi tren harga minyak sepanjang tahun 2009
menunjukkan tren peningkatan sejalan dengan paket stimulus pemulihan
ekonomi dunia yang dikeluarkan pemerintah diseluruh dunia. Sepanjang
tahun 2009 harga minyak tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009,
yaitu US$ 80,50. Harga tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan
dengan harga minyak dunia yang pernah mencapai US$ 146 sebelum
62
krisis global terjadi. Jadi, penurunan ekspor migas ke Jepang lebih
disebabkan oleh harga migas yang turun (Gambar 4.14).
Berdasarkan komposisi produk migas dalam Gambar 4.15, ekspor
produk migas Indonesia didominasi oleh ekspor gas terutama (hampir
100 persen adalah Liquid Natural Gas (LNG)) dengan rata-rata pangsa
ekspor gas Indonesia ke Jepang mencapai 60 persen dari total ekspor
produk migas Indonesia ke Jepang. Indonesia mencatatkan ekspor gas ke
Jepang sebesar US$ 8 miliar pada tahun 2008, terjadi peningkatan yang
drastis. Pertumbuhan ekspor gas ke Jepang pada tahun 2008 mencapai
lebih dari 300 persen, di mana peningkatan harga gas yang diekspor
menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan nilai
ekspor, selain juga adanya peningkatan volume ekspor gas ke Jepang.
Ekspor hasil minyak yang merupakan produk hilir menempati pangsa
terkecil jika dibandingkan dengan Gas (60,09 persen), Minyak Mentah
(27,4 persen), dan Hasil Minyak hanya sebesar 11,06 persen pada lima
tahun terakhir. Hal ini menunjukan bahwa ekspor Indonesia ke Jepang
masih mengandalkan ekspor barang hasil alam (upstream product) yang
added value didalam negeri masih belum optimal.
Gambar 4.15 Komposisi Ekspor Migas Indonesia ke Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
63
4.3.1.2. Perkembangan Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang
Berdasarkan sektor, ekspor produk non-migas Indonesia ke Jepang
didominasi oleh ekspor produk industri. Pada tahun 2005-2010 rata-rata
pangsa ekspor produk industri sebesar 68,38 persen dari total ekspor non
migas, tetapi secara umum pangsa produk industri cenderung menurun
diikuti dengan pertumbuhan ekspor dari sektor tambang (Gambar 4.16).
9.6
12.2 13.1
13.8
12.0
16.5
-
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
US$
Mill
iar Pertanian
Hasil Tambang
Industri
Gambar 4.16 Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang Menurut Sektor
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Menurut HS 10 dijit, produk industri Indonesia yang paling banyak
diekspor ke Jepang pada tahun 2010, antara lain Mate Nikel, TSNR 20,
produk Tembaga yang sudah dimurnikan, Plywood, produk Alumunium,
Printer-copier, Wiring Harness untuk Kendaraan Bermotor, Kertas
tanpa Serat, Ban untuk Kendaraan Bermotor, Pelek dan Penutup untuk
Otomotif. Produk Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) dan Sak dan
Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) yang
merupakan fokus produk dalam kajian ini termasuk ke dalam 20 besar
komoditi utama produk industri yang diekspor ke Jepang. Sebagaimana
yang tertera dalam Tabel 4.1, tren kedua produk tersebut selama tahun
2006-2010 cenderung positif. Pasca implementasi kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA sejak tanggal 1 Juli 2008, ekspor produk
Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) Indonesia ke Jepang meningkat
setiap tahunnya. Sementara ekspor produk Sak dan Kantong (termasuk
64
cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) meningkat secara tajam
pada tahun 2009 hingga mencapai US$ 81,9 juta, namun mengalami
penurunan sebesar 8,7 persen pada tahun 2010.
Tabel 4.1
Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang
Berdasarkan HS 10 Dijit
Tahun 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
TOTAL EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI 8,202,542,701 9,655,870,228 9,352,503,433 7,034,537,989 10,020,127,349 42.44 0.84
PANGSA EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI TERHADAP EKSPOR NON MIGAS 67.24 73.75 67.79 58.72 60.74 3.43 -4.22
1 7501100000 Nickel mattes 1,224,747,226 2,128,512,575 1,380,069,327 580,783,509 1,429,608,366 146.15 -9.42
2 4001222000 Tsnr, oth standard indonesian rubber 523,893,701 658,261,143 972,582,032 443,175,607 954,198,645 115.31 8.37
3 7403190000 Other refined copper, unwrought 231,410,742 414,604,931 181,829,783 513,117,929 807,111,589 57.30 31.15
4 4412310000 Oth plywood,each thick.<6mm with at least one outer ply of tropical wood 561,650,325 433,426,734 397,560,459 298,738,528 406,632,162 36.12 -9.68
5 7601100000 Aluminium, not alloyed 390,621,544 396,346,529 391,512,631 233,957,892 322,280,969 37.75 -8.71
6 8443311010 Printer-copier,ink-jet,color,capable of connecting to a data machine/network 100,773,616 150,249,388 293,522,885 291,900,683 288,914,322 -1.02 31.92
7 8544301000 Wiring harnesses for motor vehicles 154,219,287 209,154,575 273,688,321 198,270,173 278,618,884 40.52 11.96
8 4802559000 Paper,no fibres, for other purpose 40< weight <150 g/m,roll 142,957,715 141,282,609 174,241,597 221,829,343 238,247,987 7.40 15.87
9 4011100000 New pneumatic tyres,of rubber of a kind used on motor cars 167,425,027 171,896,171 208,413,341 224,443,649 191,060,404 -14.87 5.45
10 8708701300 Wheel centre disc & cap for oth vehicle of heading 87.03 71,697,615 112,481,254 126,019,850 109,090,907 147,850,704 35.53 15.22
11 4802570000 Other paper & paperboard, weight>40g/m2 and =< 150g/m2 131,637,513 105,136,008 129,157,126 135,417,093 142,702,645 5.38 4.23
12 8539319090 Other fluorescent, hot cathode 36,816,530 51,566,603 65,608,406 67,585,899 121,204,467 79.33 30.39
13 9403600000 Other wooden furniture 91,097,680 89,435,179 102,547,331 102,258,762 115,604,406 13.05 6.29
14 8001100000 Tin, not alloyed 44,418,187 35,020,739 48,503,304 23,599,196 113,071,398 379.13 15.88
15 3907609000 Poly(ethylene terephthalate) in oth form 117,977,392 95,402,351 110,758,929 85,810,209 112,523,575 31.13 -1.99
16 4412940000 Oth plywood of blockboard,laminboard and battenboard 31,850,494 76,130,529 87,766,420 85,087,132 102,830,275 20.85 27.83
17 8525802019 Other digital camera 71,144,894 92,721,490 87,379,846 96,802,025 96,616,903 -0.19 6.77
18 8703229000 Other vehicles, 1,000-1500 cc, not ckd internal combust recipro piston engine 59,193 403,479 97,832,545 72,692,984 95,801,837 31.79 636.86
19 4703290000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,non coniferous71,747,329 65,826,033 101,652,353 53,875,107 91,405,666 69.66 2.88
20 3923219000 Oth sacks & bags, of polymers of ethylene 40,098,299 44,930,032 49,274,469 81,867,609 74,742,017 -8.70 20.27
NO
PERUB.
2010/2009
(%)
TREND
'06-10
(%)
HS10 URAIAN
NILAI (US$)
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Dengan pendekatan HS 6 dijit, produk Perabotan Kayu Lainnya
(Furnitur) dan Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen)
termasuk ke dalam 50 besar komoditi utama produk industri yang
diekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2010. Selain itu, untuk produk
Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) menduduki
peringkat ke-166 dalam ekspor produk industri Indonesia ke Jepang
(Tabel 4.2). Sama halnya dengan pendekatan yang menggunakan HS 10
dijit, ekspor produk industri Indonesia ke Jepand didominasi oleh produk
Mate Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga
yang sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin
Cetak Offset.
65
Tabel 4.2
Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang
Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
750110 Nickel mattes 1,224,747,226 2,128,512,575 1,380,069,327 580,783,509 1,429,608,366 146.15 -9.42 1
400122 Natural rubber in other forms :-- Technically specified natural rubber (TSNR)524,571,948 661,541,733 978,178,077 444,512,974 957,632,859 115.43 8.40 2
740319 Refined copper products, unwrought, nes 231,410,742 414,604,931 181,829,783 513,117,929 807,111,589 57.30 31.15 3
441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.561,650,325 433,426,734 397,560,459 298,738,528 406,632,162 36.12 -9.68 4
760110 Aluminium unwrought, not alloyed 390,621,544 396,346,529 391,512,631 233,957,892 322,280,969 37.75 -8.71 5
844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network115,263,412 150,649,577 293,886,934 292,591,148 289,003,818 -1.23 28.43 6
854430 Ignition wiring sets and other wiring sets of a kind used in vehicles, aircraft or ships190,983,618 209,777,138 274,195,492 198,340,243 278,750,782 40.54 7.25 7
480255 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing >40 g/m¦ but not >150 g/m¦, in rolls142,957,715 143,931,727 179,444,076 222,154,763 238,247,987 7.24 15.67 8
401110 New pneumatic tyres, of rubber, of a kind used on motor cars (incl. station wagons & racing cars)167,425,027 171,896,171 208,413,341 224,443,649 191,060,404 -14.87 5.45 9
870870 Wheels including parts and accessories for motor vehicles 112,975,266 130,456,677 140,962,584 114,213,786 159,210,269 39.40 5.69 10
480257 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦(excl. of 4802.54-4802.56)131,637,513 105,136,008 129,157,126 135,417,093 142,702,645 5.38 4.23 11
853931 Fluorescent lamps, hot cathode 56,623,758 75,858,448 89,516,527 90,120,847 133,768,943 48.43 20.82 12
940360 Wooden furniture (excl. of 94.01 & 9403.30-9403.50) 91,097,680 89,435,179 102,547,331 102,258,762 115,604,406 13.05 6.29 13
800110 Tin not alloyed unwrought 44,418,187 35,020,739 48,503,304 23,599,196 113,071,398 379.13 15.88 14
390760 Poly(ethylene terephthalate), in primary forms 117,977,392 95,402,351 110,758,929 85,810,209 112,523,575 31.13 -1.99 15
441294 Plywood, veneered panels&similar laminated wood, of blockboard, laminboard&battenboard31,850,494 76,130,529 87,766,420 85,087,132 102,830,275 20.85 27.83 16
852580 Television cameras, digital cameras & video camera recorders 81,290,018 95,332,323 91,120,029 96,910,384 96,742,634 -0.17 3.71 17
870322 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1000 cc to 1500 cc572,426 729,494 98,013,041 73,022,912 95,897,677 31.33 341.43 18
470329 Chemical wood pulp,soda/sulphate,non-coniferous,semi-bl/bleachd,nes71,747,329 65,826,033 101,652,353 53,875,107 91,405,666 69.66 2.88 19
854449 Electric conductors, for a voltage not exceeding 80 V, nes 125,510,703 103,046,901 104,199,077 50,952,230 74,808,517 46.82 -15.96 20
392321 Sacks and bags (including cones) of polymers of ethylene 46,987,655 45,008,962 49,610,597 81,878,690 74,742,017 -8.72 16.49 21
621010 Garments made up of textile felts and of nonwoven textile fabrics28,439,864 29,273,201 33,400,685 36,025,494 34,660,919 -3.79 6.22 34
180400 Cocoa butter, fat and oil. 3,997,000 2,563,000 2,899,002 8,185,475 7,551,637 -7.74 27.55 166
HS 6
DGTPeringkatURAIAN
NILAI (US$) PERUB.
2010/2009
(%)
TREND
'06-10
(%)
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).
Berdasarkan catatan BPS, ekspor produk hasil pertanian tertinggi ke
Jepang tertinggi pada tahun 2010 berasal dari produk Udang Kecil dan
Udang Biasa, yaitu sebesar US$ 303 juta. Ekspor tersebut merupakan 68
persen dari total ekspor hasil pertanian Indonesia. Selain itu, ekspor hasil
laut seperti Ikan Tuna, Skip Jack, Sardines, Teripang, Mutiara Alam,
Rumput Laut, juga merupakan porsi yang penting dalam menyusun ekspor
produk pertanian ke Jepang.
Untuk ekspor produk pertambangan menunjukkan tren peningkatan, akibat
dari peningkatan harga komoditas tambang di dunia dan peningkatan
volume ekspor. Ekspor hasil tambang Indonesia ke Jepang antara lain
adalah Bijih Tembaga dan Konsentratnya (49 persen), Batubara untuk
bahan bakar (24 persen), Batubara lainnya (23 persen), Bijih Nikel (1,7
persen) dan Batubara Antrasit (0.14). Ekspor produk tambang ke Jepang
sangat terkonsentrasi pada Mineral Tembaga, Nikel dan Batubara, di mana
66
produk-produk tersebut merupakan bahan baku untuk industri Metalurgi di
Jepang.
4.3.2. Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang
Pada periode 2001-2010 rata-rata impor Indonesia naik sebesar 20,1
persen per tahun, meskipun pada tahun 2000-2003 impor Indonesia dari
Jepang menunjukan penurunan nilai impor. Pertumbuhan impor Indonesia
dalam satu dekade tersebut cenderung fluktuatif dapat dilihat pada Gambar
4.17. Pada tahun 2008 Indonesia mencatat lonjakan impor dari Jepang, di
mana impor Indonesia tumbuh sebesar 131 persen (US$ 8,6 Miliar)
dibandingkan dengan tahun 2007. Krisis keuangan global yang terjadi
pada pertengahan 2008 juga berdampak pada penurunan impor Indonesia
dari Jepang. Sama halnya dengan ekspor, impor Indonesia juga turun pada
tahun 2009 sebesar US$ 5,29 miliar (34 persen) dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Impor Indonesia mengalami peningkatan kembali
(rebound) secara dramatis pada tahun 2010 sebagai manifestasi dari
pemulihan ekonomi dunia, terutama Jepang.
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
160
(8.00)
(3.00)
2.00
7.00
12.00
17.00
22.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Grow
th (%
)
US$
Mili
ar
Impor (LHS) Growth Impor (RHS)
Gambar 4.17 Nilai dan Pertumbuhan Impor Indonesia dari Jepang
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Lebih dari 99 persen impor Indonesia dari Jepang merupakan produk non-
migas. Pada tahun 2004-2010 impor non-migas Indonesia dari Jepang
67
tumbuh secara fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 30 persen per
tahunnya. Lonjakan impor non-migas Indonesia dari Jepang terjadi pada
tahun 2008, di mana impor tumbuh sebesar 129 persen menjadi US$ 14,9
miliar. Krisis keuangan global berdampak pada penurunan pertumbuhan
impor non migas Indonesia dari Jepang. Untuk impor migas dari Jepang,
lonjakan ekspor tumbuh hingga mendekati 400 persen pada tahun 2008
dan anjlok hingga mendekati 100 persen di tahun 2009. Meskipun pada
tahun 2008 terjadi peningkatan pertumbuhan nilai impor migas mendekati
400 persen dari Jepang dengan nilai US$ 203 juta, tetapi kenaikan impor
migas tersebut hanya 1,7 persen dari total impor Indonesia (Gambar 4.18).
6.16.9
5.5
6.5
15,1
9.8
17
-200
-100
0
100
200
300
400
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(%)
US$
(Mili
ar)
Non Migas
Migas
growth Migas-RHS
growth Non Migas-RHS
Gambar 4.18 Impor Migas dan Non-migas Indonesia dari Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.2.1. Perkembangan Impor Migas Indonesia dari Jepang
Mayoritas impor migas Indonesia dari Jepang sepanjang periode 2006-
2010 adalah hasil minyak dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,23
persen. Impor hasil migas Indonesia dari Jepang pada tahun 2008 naik
empat kali lipat menjadi US$ 263,3 juta dari tahun 2007 yang hanya
berkisar US$ 54,0 juta. Kenaikan impor migas tersebut didorong oleh
meroketnya impor hasil minyak yang menjadi US$ 263,2 juta pada
68
tahun 2008. Untuk impor gas Indonesia dari Jepang periode 2006-2010
cenderung meningkat dengan rata-rata sebesar 11,42 persen (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Impor Migas Indonesia dari Jepang Berdasarkan Komposisi
Produk
Tahun 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
Minyak Mentah - 18,670 2,650 - 171 - -
Hasil Minyak 27,787,978 53,913,646 263,248,084 33,195,305 55,060,469 65.87 9.23
Gas 11,513 81,011 49,980 19,743 40,046 102.84 11.42
Total Ekspor Migas 27,799,491 54,013,327 263,300,714 33,215,048 55,100,686 65.89 9.22
NILAI (US$)
Kelompok
Perub.
2010/2009
(%)
Tren '06-10
(%)
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.2.2. Perkembangan Impor Non-migas Indonesia dari Jepang
Gambar 4.19 menunjukkan impor non-migas Indonesia dari Jepang
hampir 100 persen didominasi oleh produk industri dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 30,6 persen selama periode 2006-2010 dan
pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 128,8 persen.
Peningkatan impor produk industri pada tahun tersebut disumbang oleh
kenaikan impor produk Tali Sepatu Boot, Pipa Bor Belum Jadi (green
pipe) dengan yield strength < 75.000 Psi dan Ujungnya Belum
Dikerjakan, Bagian dari Motor > 1,5 kW tapi tidak lebih dari 75 kW,
Bagian Dari Decoder, dan Display Panel Datar (termasuk Luminescence,
Plasma, dan Teknologi Lainnya (HS 10 dijit).
2006 2007 2008 2009 2010
Pertanian 15.5 8.1 38.4 16.8 24.4
Industri 5,455.3 6,447.4 14,754.2 9,759.8 16,842.5
Hasil Tambang 17.2 17.0 72.1 33.9 43.3
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
Juta U
S$
Gambar 4.19 Impor Non-migas Indonesia dari Jepang
Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
69
Pada tahun 2010 sebagian impor produk industri Indonesia dari Jepang
merupakan produk Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar
Tidak Lengkap (incompletely knocked down, IKD) dari pos 8704 dengan
5 ton < Massa Total <=24 ton, Damper dirancang untuk penggunaan
bukan di jalan raya dengan massa total > 24 ton: Lain-lain, Sekop
mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang berputar 360º diatas
bangunan, Kendaraan Bermotor Selain Sedan dengan Sistem Gardan
Tunggal (4 x 2) IKD, dan Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap
(incompletely knocked down, IKD) dengan Massa Total > 24 ton (HS 10
Dijit).
Tabel 4.4
Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang
Berdasarkan HS 10 Dijit Tahun 2006-2010
2006 2007 2008 2009 2010
1 9801202000 Vhcls of head 8704 with 5 ton < gross weight <= 24 ton, incmpltly knocked down0 180,223,743 336,629,462 273,192,781 617,393,216 125.99 -
2 8704102200 Damper designed for off highway, > 24 t not ckd 0 78,027,613 217,914,634 183,885,051 476,102,140 158.91 -
3 8429520000 Mach with a 360,revolving super struct, mech shovels,excavators and shove loader78,600,945 108,744,529 277,772,646 150,111,927 417,479,197 178.11 44.23
4 9801102000 Oth vhcl of head 8703 with (4x2) system incompletely knocked down, for person0 88,362,868 164,798,239 237,523,722 414,395,378 74.46 -
5 9801203000 Vhcls of head 8704 with gross weight >24 ton,incmpltly knocked down,for good0 67,887,871 196,207,170 115,681,818 386,303,046 233.94 -
6 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 1,832,920 10,075,235 182,194,134 151,167,706 341,212,227 125.72 272.90
7 8431499000 Oth parts of machinery of heading 84.26, 84.29/84.30 0 146,395,146 213,615,521 72,745,557 242,655,831 233.57 -
8 8406900000 Parts of steam turbines and parts 5,128,575 5,721,798 7,850,869 64,460,799 179,078,478 177.81 159.29
9 7304190000 Oth.tube,pipe&hollow profile,seamless, line pipe of a kind use for oil/gas pipe0 5,798,761 52,483,720 58,678,544 171,548,901 192.35 -
10 8483102400 Transmission shafts for engines of oth vehicles of chapter 87 44,293,517 62,353,277 91,522,539 83,927,163 165,499,137 97.19 34.09
11 8703235391 Oth motor car,2000-2500cc, (4x2) system ,not ckd,int combust recipro pist engine36,211,093 59,324,689 73,219,530 78,576,017 164,539,206 109.40 39.22
12 8443910000 Part & accessori of print machinery used for print by component of head 84.421,099,673 1,071,198 5,368,989 135,951,045 160,917,690 18.36 339.97
13 8529904000 Parts of digital cameras/video camera recorders with app of hd 85.25 to 85.280 49,381 3,269,752 177,280,961 134,402,824 -24.19 -
14 8429110000 Track laying, bulldozers and angledozers 47,327,631 40,133,575 73,230,708 56,584,328 117,587,949 107.81 24.16
15 8404909000 Other parts of auxiliary machinery for use with boilers 198,597 31,049 142,719 24,711,553 117,041,605 373.63 598.49
16 8708999900 Other parts,acces for other vehicles of heading 87.02, 8704, 8705350,210,271 60,721,284 834,859,143 88,611,109 116,528,306 31.51 -16.66
17 7208270000 Flat-rolled iron/nas,HRC,pickled,width> 600mm, of a thickness of less than 3 mm36,428,270 58,829,404 134,559,472 63,407,358 116,442,238 83.64 27.11
18 8542390000 Other electronic integrated circuits 13,536,596 15,359,923 99,665,965 75,383,032 112,926,812 49.80 79.20
19 9801201000 Vhcls of head 8704 with gross weight <=5 ton, incompletely knocked down0 0 2,275,236 47,702,155 100,579,257 110.85 -
20 8409994900 Oth parts suitable for vehicles for oth vehicles 87, comp-ignition 0 23,372,134 46,008,743 47,061,497 100,241,074 113.00 -
NO HS URAIANNILAI (US$) Perub.
2010/2009 (%)
Trend '06-10
(%)
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan HS 6 dijit dalam Tabel 4.5, mayoritas impor produk
industri Indonesia dari Jepang pada tahun 2010 berupa produk
Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap (IKD),
Damper dirancang untuk penggunaan bukan di jalan raya dengan massa
total > 24 ton, Sekop mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang
70
berputar 360º diatas bangunan, Tembaga Dimurnikan: Katoda dan
Bagian dari Katoda, Cylinder block, liner, head dan head cover.
Tabel 4.5
Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang
Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010
URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010
5,455,282,918 6,447,447,201 14,754,153,355 9,759,801,103 16,842,531,731 72.57 30.591
980120 Motor vehicles for the transport of goods of heading 87.04 - 248,111,614 535,111,868 436,576,754 1,104,275,519 152.94 - 2
870410 Dump trucks designed for off-highway use 98,006,157 79,326,760 223,775,454 186,132,576 487,190,264 161.74 50.08 3
980110 Motor vehicles for the transport of persons of heading 87.30 : - 88,986,280 175,725,839 244,066,254 419,749,193 71.98 - 4
842952 Shovels and excavators with a 360 revolving superstructure 78,600,945 108,744,529 277,772,646 150,111,927 417,479,197 178.11 44.23 5
740311 Copper cathodes and sections of cathodes unwrought 1,832,920 10,075,235 182,194,134 151,167,706 341,212,227 125.72 272.90 6
840991 Parts suit. for use solely/principally with spark-ignition internal combustion piston engines162,799,782 188,660,904 291,629,967 201,435,136 291,227,179 44.58 13.07 7
840999 Parts for diesel and semi-diesel engines 115,401,538 92,623,771 169,435,349 131,833,692 279,478,518 111.99 23.64 8
843149 Parts of cranes,work-trucks,shovels,and other construction machinery81,392,883 182,575,628 254,012,099 82,874,685 268,883,234 224.45 17.35 9
848310 Transmission shafts (including cam shafts and crank shafts) and cranks44,293,517 84,639,909 168,164,843 132,738,119 253,536,997 91.01 48.28 10
870323 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1500 cc to 3000 cc36,211,093 79,168,776 90,938,064 125,550,161 241,674,402 92.49 53.07 11
870899 Motor vehicle parts nes 350,210,842 82,018,337 886,355,520 121,086,439 230,000,844 89.95 -4.41 12
853690 Electrical app for switchg/protec elec circuits,not exced 1,000 V,nes20,707,426 20,166,530 129,466,466 90,134,418 184,758,317 104.98 79.94 13
840690 Parts of steam and vapour turbines 5,128,575 5,721,798 7,850,869 64,460,799 179,078,478 177.81 159.29 14
730419 Line pipe of a kind used for oil/gas pipelines, other than of stainless steel. - 5,798,761 52,483,720 58,678,544 171,548,901 192.35 - 15
720917 Flat-rolled products of iron/non-alloy steel, of a width of 600mm/more, in coils, not further worked than cold-rolled (cold-reduced), not clad/plated/coated, of a thickness of 0.5mm/more but not >1mm56,397,180 86,152,449 171,472,441 94,978,559 171,397,362 80.46 26.12 16
848340 Gears and gearing, other than toothed wheels, chain sprockets and other transmission elements presented separately; ball or roller screws; gear boxes and other speed changers, including torque converters77,138,919 85,219,321 148,397,480 90,091,200 167,189,506 85.58 17.38 17
844391 Parts & accessories of printing machinery used for printing by means of plates, cylinders & other printing components of heading 84.421,099,673 1,071,198 5,368,989 135,951,045 160,917,690 18.36 339.97 18
852990 Parts suitable f use solely/princ w the app of headings 85.25 to 85.28 347,465 348,462 60,540,045 196,022,929 153,867,555 -21.51 537.18 19
870850 Drive-axles with differential, whether/not provided with other transmission components, & non-driving axles; parts thereof of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05.24,533,557 25,825,558 98,464,819 53,603,417 148,315,001 176.69 54.17 20
Total Ekspor Non Migas
Perub.
'10/09 (%)
Tren '06-10
(%)
Peringkat
2010
Nilai (US$)HS 6
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Dari Tabel 4.4 dan 4.5 dapat disimpulkan bahwa impor produk industri
Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk yang memiliki
keterkaitan dengan industri di Jepang, seperti industri kendaraan
bermotor dan alat berat.
4.3.2.3. Impor Indonesia Menurut Kelompok Barang Ekonomi
Menurut kelompok barang ekonomi, impor Indonesia dari Jepang
didominasi oleh bahan baku/penolong. Nilai dan pangsa impor bahan
baku/penolong melonjak tajam lebih dari dua kali lipat pasca
diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada
tahun 2008. Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2009, impor
bahan baku/penolong meningkat hingga mencapai US$ 11,3 miliar.
Gambar 4.21 memperlihatkan bahwa sebagian besar impor bahan
71
baku/penolong Indonesia dari Jepang berupa Bahan Baku (Olahan)
untuk Industri, Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal, dan Suku
Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan. Dominasi industri otomotif
dan alat berat dari Jepang terlihat dari data impor bahan baku suku
cadang dan perlengkapan alat angkut dan suku cadang barang modal.
Industri otomotif Jepang di Indonesia masih sangat konservatif dalam
mengembangkan industri di Indonesia, di mana hanya sebagian kecil
dari rantai industri otomotif yang dikembangkan di Indonesia dengan
kontribusi penambahan nilai di dalamnya yang masih sangat terbatas.
6,9
5,56,5
15,1
9,8
17,0
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
US$ M
iliar
Barang Modal
Bahan Baku/Penolong
Barang Konsumsi
Gambar 4.20 Impor Indonesia dari Jepang Menurut Kelompok Barang
Ekonomi
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
72
Gambar 4.21 Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia dari Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Berdasarkan pengklasifikasian barang konsumsi, impor barang konsumsi
Indonesia dari Jepang didominasi oleh mobil penumpang sebesar 57,69
persen (US$ 351 juta) pada tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa
perdagangan Indonesia dan Jepang untuk barang konsumsi masih belum
terdiversifikasi dalam hal produknya. Jika dibandingkan dengan barang
konsumsi lainnya seperti barang konsumsi tahan lama dan barang
konsumsi setengah tahan lama pertumbuhan impor mobil penumpang
jauh lebih cepat. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.22.
73
150 133 147
250
408380
609
-
100
200
300
400
500
600
700
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
US$
Juta
Barang Yang Tidak Diklasifikasikan
Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah TanggaMakanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah TanggaBarang Konsumsi Tahan Lama
Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan)
Alat Angkutan bukan untuk Industri
Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama
Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama
Mobil Penumpang
Gambar 4.22 Impor Barang Konsumsi Indonesia dari Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
Barang modal kecuali alat angkutan mendominasi impor barang modal
Indonesia dari Jepang. Nilai impornya pada tahun 2010 mencapai US$
2,93 miliar dengan pangsa sebesar 58 persen dari total impor barang
modal. Impor tersebut mencakup produk-produk Mesin-mesin Elektrik
ataupun Mesin-mesin Non-elektrik (HS 84). Dari tinjauan HS 10 dijit,
impor bahan baku untuk industri Perakitan Alat-alat Berat mendominasi
impor barang modal bukan alat angkut. Hal ini sejalan dengan tingginya
permintaan pasar alat-alat berat di dalam negeri akibat berkembangnya
industri pertambangan di dalam negeri. Selain industri alat berat, impor
produk Mobil Penumpang dalam kelompok barang modal juga
mengalami peningkatan pangsa yang sangat signifikan. Dari US$ 5,05
miliar impor barang modal tahun 2010, 35 persen (US$ 1,77 miliar)
merupakan impor mobil penumpang (Gambar 4.23).
74
1.51 1.741.36
1.80
3.93
2.69
5.05
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
US$
Mill
iar
Alat Angkutan Untuk Industri
Mobil Penumpang
Barang Modal Kecuali Alat Angkutan
Gambar 4.23 Impor Barang Modal Indonesia dari Jepang
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)
4.3.3. Pola Ekspor dan Impor Indonesia-Jepang Pasca Implementasi
Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
Dari sisi Jepang, penerapan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA
menyebabkan perubahan pola ekspor Jepang ke Indonesia (impor
Indonesia dari Jepang). Sebelum implementasi kesepakatan perdagangan
bebas IJ-EPA, ekspor utama Jepang ke Indonesia berupa Bagian dan
Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif 87.01 hingga 87.05, Bagian yang
Cocok untuk Penggunaan Terpisah atau dengan Mesin pos tarif 84.07 atau
84.08, Sirkuit Terpadu Elektronik dan Microassemblies: Digital, dan
Mobil dan Kendaraan Bermotor Lainnya terutama Dirancang untuk
Pengangkutan Orang (selain yang dimaksud pos 87.02) termasuk Station
Wagon dan Mobil Balap dengan Kapasitas Silinder > 1.500 cc. Pasca
implementasi IJ-EPA beberapa produk Jepang mengalami peningkatan
ekspor ke Indonesia. Adapun produk-produk yang melonjak dalam ekspor
Jepang ke Indonesia, yakni Produk-produk yang Tidak Terspesifikasi,
Kendaraan Bermotor untuk Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10
dengan CI Mesin Piston Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa
Total > 20 ton, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari
75
pos tarif 87.01-87.05, Bagian yang Cocok untuk Digunakan
Tersendiri/Terutama dengan Mesin dari pos tarif 84.26/84.29/84.30 (di
luar pos tarif 8431.41-8431.43), dan Sirkuit Terpadu Elektronik Lainnya
selain Pengeras Suara/Memori/Prosesor dan Kontroler. Hal ini
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.6 mengenai perbandingan ekspor
utama Jepang ke Indonesia sebelum dan pasca implementasi kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA.
Tabel 4.6
Perbandingan Komposisi Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum dan
Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
870899 Other 870899 Other 870899 Other
840991 Suitable for use solely or principally with
sparkignition internal combustion piston
854221 Digital 854221 Digital
854221 Digital 840991 Suitable for use solely or
principally with sparkignition
840991 Suitable for use solely or
principally with sparkignition 870323 Of a cylinder capacity exceeding 1,500 cc 730429 Other 730429 Other
842952 Machinery with a 360° revolving 870323 Of a cylinder capacity exceeding 870323 Of a cylinder capacity exceeding
870410 Dumpers designed for offhighway use 740311 Cathodes and sections of 740311 Cathodes and sections of 840820 Engines of a kind used for the propulsion 847989 Other 847989 Other854229 Other 852990 Other 852990 Other
847330 Parts and accessories of the machines of 870410 Dumpers designed for 870410 Dumpers designed for 720917 Of a thickness of 0.5 mm or more but not 842952 Machinery with a 360° revolving 842952 Machinery with a 360° revolving
2005 2006 2007
Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
999999 Commodities not specified 999999 Commodities not specified 870423 Motor vehicles for the 842952 Self-propelled mechanical 870899 Other parts & accessories for the 870410 Dumpers designed for off-
870899 Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 842952 Self-propelled mechanical
840991 Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use 870840 Gear boxes & parts thereof, of 870423 Motor vehicles for the
transportof goods (excl. of
740311 Cathodes & sections of cathodes,
of refined copper, unwrought
870899 Other parts & accessories for the
motor vehicles of 87.01-87.05, 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 870410 Dumpers designed for off- 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 870840 Gear boxes & parts thereof, of 870840 Gear boxes & parts thereof, of 740311 Cathodes & sections of cathodes, 843149 Parts suit. for use 842952 Self-propelled mechanical 999999 Commodities not specified
840820 Compression-ignition internal 854239 Other Electronic integrated 843149 Parts suit. for use 854239 Other Electronic integrated 870423 Motor vehicles for the 840290 Parts of the boilers of 8402.11-
2008 2009 2010
Keterangan: Perubahan pola ekspor
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Khusus produk yang tergolong ke dalam kategori industri manufaktur
berdasarkan ISIC Revision 3 dengan HS 6 dijit, pada tahun 2007 ekspor
Jepang ke Indonesia didominasi oleh produk Kendaraan Bermotor untuk
Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10 dengan CI Mesin Piston
Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa Total > 20 ton, Dumpers
yang dirancang untuk Penggunaan Jalan Tol, Mesin dengan Suprastrukur
76
Bergulir 360°, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari pos
tarif 87.01-87.05, dan Bagian dan Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif
87.01 hingga 87.05. Produk-produk tersebut merupakan kebutuhan
industri kendaraan bermotor (otomotif) dan industri mesin untuk
pertambangan, penggalian dan konstruksi dalam negeri. Setelah IJ-EPA
diterapkan, ekspor produk industri manufaktur Jepang ke Indonesia tidak
menunjukkan perubahan pola. Produk-produk industri manufaktur yang
mendominasi ekspor Jepang ke Indonesia masih tetap sama.
Tabel 4.7
Perbandingan Komposisi Ekspor Produk Industri Manufaktur Jepang ke
Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan
Bebas IJ-EPA Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Sebelum
Implementasi IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
842952 Machinery with a 360° 870899 Other 870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes870899 Other 854229 Other 870410 Dumpers designed for
840991 Suitable for use solely or
principally with sparkignition
870323 Of a cylinder capacity
exceeding 1,500 cc but not
842952 Machinery with a 360° revolving
superstructure854229 Other 840991 Suitable for use solely or 870840 Gear boxes
870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes 740311 Cathodes and sections of 870899 Other870323 Of a cylinder capacity 870410 Dumpers designed for 870323 Of a cylinder capacity 870840 Gear boxes 870840 Gear boxes 740311 Cathodes and sections of 843149 Other 842952 Machinery with a 360°
revolving superstructure
854229 Other
840820 Engines of a kind used for the 870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes 843149 Other
870410 Dumpers designed for
offhighway use
840820 Engines of a kind used for the
propulsion of vehicles of
840290 Parts
200720062005
Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Pasca
Implementasi IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions842952 Self-propelled mechanical shovels 870899 Other parts & accessories for the 843930 Machinery for finishing
870899 Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) 290121 Ethylene
840991 Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use 761410 Stranded wire, cables, plaited 870423 Motor vehicles for the transportof 740311 Cathodes & sections of cathodes, 291411 Acetone870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10)
principally designed for the
870410 Dumpers designed for off-highway
use
290122 Propene (propylene)
870840 Gear boxes & parts thereof, of the
motor vehicles of headings 87.01
870840 Gear boxes & parts thereof, of the
motor vehicles of headings 87.01
842620 Tower cranes
843149 Parts suit. for use
solely/principally with the
842952 Self-propelled mechanical shovels
& excavators with a 360? revolving
843820 Machinery for the manufacture of
confectionery/cocoa/chocolate840820 Compression-ignition internal 854239 Other Electronic integrated 280130 Fluorine; bromine854239 Other Electronic integrated 870423 Motor vehicles for the transportof 890520 Floating/submersible
870410 Dumpers designed for off-highway
use
840820 Compression-ignition internal
combustion piston engines
844316 Flexographic printing machinery
2008 2009 2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
77
Produk-produk yang dihasilkan oleh industri besi dan baja; industri
kendaraan bermotor; industri bagian dan aksesoris kendaraan bermotor
dan mesinnya; industri untuk mesin pertambangan, penggalian, dan
konstruksi; dan industri logam dasar bukan besi adalah mayoritas ekspor
Jepang ke Indonesia setelah diterapkannya IJ-EPA.
Berdasarkan komposisi dalam Tabel 4.8, impor Jepang dari Indonesia
(ekspor Indonesia ke Jepang) baik sebelum maupun sesudah diterapkannya
IJ-EPA tidak menunjukkan perubahan pola. Impor Jepang dari Indonesia
masih tetap didominasi oleh produk Natural Gas, Liquefied (HS 2711.11),
Copper Ores & Concentrates (HS 2603.00), dan Bituminous Coal,
Whether /Not Pulverised (HS 2701.12).
Tabel 4.8
Perbandingan Komposisi Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum
dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
Impor Utama Jepang dari Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied
270900 Petroleum oils & oils obt. from
bituminous mins., crude
270112 Bituminous coal, whether/not
pulverised but not
260300 Copper ores & concentrates
270112 Bituminous coal, whether/not 260300 Copper ores & concentrates 270112 Bituminous coal, whether/not pulverised
271019 Petroleum oils & oils obtained from
bituminous minerals (other than
270900 Petroleum oils & oils obt. from
bituminous mins., crude
270900 Petroleum oils & oils obt. from
bituminous mins., crude260300 Copper ores & concentrates 271019 Petroleum oils & oils obtained
from bituminous minerals
750110 Nickel mattes
750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes 400122 Technically spec. natural rubber (TSNR)
400122 Technically spec. natural rubber
(TSNR)
262099 Ash & residues (excl. from the
manufacture of iron/steel),
262099 Ash & residues (excl. from the
manufacture of iron/steel), n.e.s. in Ch.26270119 Coal other than anthracite & 400122 Technically spec. natural rubber 271019 Petroleum oils & oils obtained from
441231 Plywood, consisting solely of sheets 270119 Coal other than anthracite & 270119 Coal other than anthracite & bituminous,
760110 Aluminium, not alloyed, unwrought 480256 Paper&paperboard, not
containing fibres obtained by a
441231 Plywood, consisting solely of sheets of
wood (other than bamboo), each ply not>
2008 2009 2010
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
271111 Natural gas 271111 Natural gas 271111 Natural gas
270900 Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained 270112 Bituminous coal 260300 Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes
271019 Other 270112 Bituminous coal 270112 Bituminous coal
260300 Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes 260300 Copper ores and concentrates.
750110 Nickel mattes 271019 Other 271019 Other
441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of 400122 Technically specified natural
262099 Other 400122 Technically specified natural 262099 Other
030613 Shrimps and prawns 271011 Light oils and preparations 441213 With at least one outer ply of
tropical wood specified in 400122 Technically specified natural
rubber (TSNR)
760110 Aluminium, not alloyed 271011 Light oils and preparations
Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
2005 2006 2007
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Komposisi impor produk industri manufaktur Jepang dari Indonesia tidak
menunjukkan suatu pola perubahan, di mana hal ini sama halnya yang
78
terjadi pada impor utama Jepang dari Indonesia secara umum. Produk-
produk industri manufaktur yang diimpor Jepang dari Indonesia berasal
dari industri logam dasar bukan besi; industri pengolahan minyak bumi;
industri lembaran veneer, produsen kayu lapis, laminboard, partikel papan
dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota
perairan lainnya.
Tabel 4.9
Perbandingan Komposisi Impor Produk Industri Manufaktur Jepang dari
Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan
Bebas IJ-EPA Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Sebelum
Implementasi IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions271019 Other 750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes
750110 Nickel mattes 271019 Other 271019 Other
441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of
030613 Shrimps and prawns 271011 Light oils and preparations 271011 Light oils and preparations
271011 Light oils and preparations 760110 Aluminium, not alloyed 760110 Aluminium, not alloyed
760110 Aluminium, not alloyed 030613 Shrimps and prawns 030613 Shrimps and prawns
480256 Weighing 40 g/m² or more but
not more than 150 g/m², in
480256 Weighing 40 g/m² or more but
not more than 150 g/m², in
854430 Ignition wiring sets and other
wiring sets of a kind used in 271112 Propane 854430 Ignition wiring sets and other
wiring sets of a kind used in
480256 Weighing 40 g/m² or more but
not more than 150 g/m², in 854430 Ignition wiring sets and other
wiring sets of a kind used in
800110 Tin, not alloyed 800110 Tin, not alloyed
271113 Butanes 401110 Of a kind used on motor cars 844359 Other
2005 2006 2007
Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Pasca
Implementasi IJ-EPA
HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions
271019 Petroleum oils & oils obtained from bituminous minerals (other than crude) & preparations not elsewhere specified/incld., containing by weight 70 %/more of petroleum oils/of oils obtained from bituminous minerals, these oils being the basic constituents271019 Petroleum oils & oils obtained from bituminous minerals (other than crude) & preparations not elsewhere specified/incld., containing by weight 70 %/more of petroleum oils/of oils obtained from bituminous minerals, these oils being the basic constituents750110 Nickel mattes
750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes 271019 Petroleum oils & oils obtained
441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.480256 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦, in sheets with one side not > 435 mm&the oth441231 Plywood, consisting solely of
sheets of wood (other than 760110 Aluminium, not alloyed, unwrought441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.480256 Paper&paperboard, not
271011 Light petroleum oils & preparations030613 Shrimps & prawns, whether/not in shell, frozen030613 Shrimps & prawns, 030613 Shrimps & prawns, whether/not in shell, frozen760110 Aluminium, not alloyed, unwrought760110 Aluminium, not alloyed,
unwrought480256 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦, in sheets with one side not > 435 mm&the oth854430 Ignition wiring sets & other wiring sets of a kind used in vehicles/aircraft/ships271011 Light petroleum oils & 854430 Ignition wiring sets & other wiring sets of a kind used in vehicles/aircraft/ships844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network800110 Tin, not alloyed, unwrought
800110 Tin, not alloyed, unwrought 271011 Light petroleum oils & preparations854430 Ignition wiring sets & other
wiring sets of a kind used in 844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network800110 Tin, not alloyed, unwrought 844331 Machines which perform
two/more of the functions of
2008 2009 2010
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari sisi Indonesia, sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam subbab
4.3.1.2 dan diperlihatkan dalam Tabel 4.1 dan 4.2 bahwa ekspor produk
industri manufaktur Indonesia ke Jepang tidak menunjukkan perubahan
pola ekspor baik sebelum maupun sesudah IJ-EPA diterapkan. Sebagian
besar ekspor produk industri manufaktur Indonesia ke Jepang berupa Mate
79
Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga yang
sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin Cetak
Offset yang diproduksi oleh industri logam dasar bukan besi; industri
pengolahan minyak bumi; industri lembaran veneer, produsen kayu lapis,
laminboard, partikel papan dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan
pengawetan ikan dan biota perairan lainnya. Pangsa terbesar impor produk
industri manufaktur Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk
industri kendaraan bermotor dan alat berat. Beberapa produk yang
dihasilkan oleh industri komponen kendaraan bermotor dan industri besi-
baja Jepang mengalami peningkatan yang cukup tajam dalam impor
Indonesia dari Jepang (Tabel 4.5).
80
BAB V
GAMBARAN UMUM KINERJA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA
Bab ini akan memfokuskan terhadap pembahasan tentang kinerja industri
manufaktur dan peranannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), struktur
industri manufaktur, penyerapan tenaga kerja dan investasi industri manufaktur
serta kinerja beberapa industri manufaktur yang menjadi fokus kajian.
5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia
Beberapa tahun terakhir sektor industri manufaktur telah menjadi penopang
utama perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir, kontribusi sektor
industri manufaktur mengalami peningkatan yang cukup signifikan atas
keseluruhan PDB Indonesia. Pada tahun 1990, sektor industri manufaktur hanya
menyumbang sekitar 20,6 persen, sedangkan pada tahun 2000 kontribusinya
terhadap PDB meningkat menjadi 27,75 persen (Gambar 5.1). Pada
perkembangan selanjutnya, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB
periode 2000-2010 cenderung fluktuatif, bahkan dalam dua tahun terakhir sejak
tahun 2008 hingga 2010 kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB
Indonesia menurun dari 27,81 persen pada tahun 2008 menjadi 24,82 persen pada
tahun 2010 (Gambar 5.2).
Sektor Manufaktur
20,66%
Sektor Lainnya
79,34%
1990
Sektor Manufaktur
27,75%
Sektor
Lainnya
72,25%
2000
Gambar 5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB Indonesia
Tahun 1990 dan 2000
Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
81
27,75
29,0528,72
28,25
28,07
27,41
27,54
27,05
27,81
26,37
24,82
22,00
23,00
24,00
25,00
26,00
27,00
28,00
29,00
30,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
%
Gambar 5.2 Perkembangan Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB
Indonesia Tahun 2000-2010
Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Meskipun cenderung fluktuatif dalam kontribusinya terhadap PDB, sektor
industri manufaktur diyakini sebagai sektor yang dapat mendorong sektor lain
dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Dalam buku yang ditulis oleh
Dumairy (1996) produk-produk sektor industri manufaktur selalu memiliki term
of trade yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah
yang besar dibanding produk-produk sektor lain. Sejalan dengan hal tersebut,
maka peran sektor industri manufaktur semakin penting, sehingga sektor industri
manufaktur mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam
sektor industri secara umum.
Kontribusi sektor industri manufaktur yang besar terhadap perekonomian
menyebabkan siklus perekonomian tidak terlepas dari dinamika sektor industri
manufaktur. Siklus guncangan/sentimen positif dan negatif dalam ekonomi sering
dikaitkan dengan jumlah perusahaan yang masuk dan keluar dari suatu industri.
Selain terhadap perekonomian, dinamika perusahaan juga mempengaruhi
penurunan output dan kesempatan kerja sektor industri manufaktur. Beberapa
penelitian memberikan bukti empiris pengaruh siklus bisnis terhadap dinamika
industri manufaktur. McQueen dan Thorley (1993) menyatakan kapasitas
82
produksi industri manufaktur di AS akan menurun dan melambat selama masa
resesi.
5.2 Perkembangan dan Struktur Industri Manufaktur Indonesia
Sektor industri manufaktur dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Pada akhir tahun 1997 krisis ekonomi yang terjadi masih menyisakan
sedikit permasalahan yang membuat pertumbuhan sektor ini bergerak lambat.
Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh iklim usaha yang belum kondusif,
penguasaan teknologi yang masih lemah, dan kualitas sumber daya manusia masih
belum memadai; sedangkan faktor eksternal muncul dari para pesaing di pasar
internasional yang menawarkan produk sejenis.
Pada era globalisasi saat ini, persaingan bisnis semakin ketat yang ditandai
dengan semakin banyaknya perusahaan manufaktur baru yang memproduksi
produk sejenis. Setiap perusahaan selalu berusaha merebut pasar global untuk
memaksimalkan profit dan nilai perusahaan. Pada era globalisasi ini, perusahaan
yang mampu memanfaatkan seluruh sumber dayanya secara efisien dan efektif
akan memenangkan persaingan. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu
memanfatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif, tidak
mampu bersaing di pasar global.
Menurut Wie (2006) dalam Arifin (2008:91), salah satu langkah untuk
menyelesaikan permasalahan tadi adalah dengan menjaga kebijakan yang
mendukung persaingan usaha yang sehat guna terciptanya alokasi sumber daya
yang efektif dan efisien.
5.3 Perkembangan Rasio Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
Manufaktur Indonesia
Perluasan kesempatan kerja merupakan usaha untuk mengembangkan sektor-
sektor yang mampu menyerap tenaga kerja. Usaha penyerapan tenaga kerja tidak
terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti perkembangan jumlah
penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas tenaga
83
kerja dan kebijaksanaan mengenai penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Di
samping itu, perluasan penyerapan tenaga kerja juga tidak mengabaikan usaha-
usaha lain yang mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi melalui
berbagai program. Salah satu cara untuk memperluas penyerapan tenaga kerja
adalah melalui pengembangan industri terutama industri yang bersifat padat
karya. Perkembangan dapat terwujud melalui investasi swasta maupun
pemerintah. Pengembangan industri tersebut akan menyebabkan kapasitas
produksi meningkat sehingga dapat menciptakan kesempatan kerja.
Selain besarnya pangsa industri manufaktur terhadap PDB, penyerapan
tenaga kerja pada industri manufaktur non migas juga menempati urutan atas
sehingga membaik tidaknya kinerja sektor industri manufaktur mempunyai
dampak nyata baik terhadap ekspor, penyerapan tenaga kerja maupun ekonomi
secara keseluruhan.
11.953 11.890
12.369
12.549
12.840
13.824
12,72
12,46
12,38
12,24 12,24
12,78
11,90
12,00
12,10
12,20
12,30
12,40
12,50
12,60
12,70
12,80
12,90
10.500
11.000
11.500
12.000
12.500
13.000
13.500
14.000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rib
u O
ran
g
Tenaga Kerja Industri PengolahanRasio Tenaga Kerja Sektor Industri Terhadap Jumlah Angkatan Kerja
Gambar 5.3 Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan, 2005-
2010
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Berdasarkan data BPS, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri
manufaktur pada tahun 2010 sebesar 13,82 juta orang, atau meningkat 7,67 persen
dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 12,84 juta orang. Secara umum,
84
jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur sejak tahun 2006
hingga 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,45
persen per tahun.
Sementara itu, rasio jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri
manufaktur terhadap seluruh jumlah angkatan kerja nasional pada tahun 2010
sebesar 12,78 persen atau meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar
12,24 persen. Peningkatan ini mengindikasikan adanya perkembangan investasi
pada sektor manufaktur yang cukup signifikan.
5.4 Perkembangan Investasi pada Sektor Industri Manufaktur Indonesia
Indonesia saat ini sangat membutuhkan investasi baik domestik maupun
asing untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan
langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi tersebut, investasi pada
hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.
Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya menumbuhkan
perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat
menggairahkan investasi.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan
sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk
kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi
secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau
investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan
investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa
menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern,
2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India,
sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 1980-an dan
1990-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka
investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat
hampir 200 persen.
85
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim
berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas
politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar
(listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor
pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan
perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good
governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan
pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan
neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai
dari tanah sampai kontrak.
Industri manufaktur bukan lagi menjadi penyumbang investasi Penanaman
Modal Asing (PMA) terbesar di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari porsi nilai
realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor industri manufaktur
(sektor sekunder) yang secara terus-menerus mengalami penurunan selama tahun
2006-2010 dengan tren sebesar 21,3 persen. Porsi nilai realisasi investasi PMA
pada tahun 2010 anjlok menjadi 20,7 persen dibandingkan dengan porsi pada
tahun 2006 (60,4 persen). Dari sisi jumlah proyek, tren porsi investasi PMA
industri manufaktur terhadap total investasi PMA cenderung menurun sebesar 3,4
persen setiap tahunnya selama periode 2006-2010. Porsi jumlah proyek investasi
PMA industri manufaktur yang terealisasi pada tahun 2010 sebesar 35,6 persen
adalah yang terendah sepanjang tahun 2006-2010 (Tabel 5.1).
Kontributor utama investasi PMA di Indonesia berganti menjadi sektor tersier
sejak tahun 2007 dengan kontribusi sebesar 48,8 persen. Terjadinya pergeseran
struktur PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier karena para investor asing
mulai melakukan peneterasi dan ekspansi di sektor tersier sejak tahun 2005,
khususnya di subsektor pengangkutan, gudang dan komunikasi, subsektor
perdagangan dan reparasi, dan subsektor jasa lainnya. Semakin rendahnya tingkat
daya saing industri manufaktur Indonesia menjadi penyebab lain dari peralihan
investasi PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier. Industri manufaktur di
Indonesia yang pada umumnya masih bersifat padat karya kalah bersaing dengan
86
industri manufaktur di negara lain yang memiliki upah buruh yang jauh lebih
murah, seperti China, India, dan Vietnam (Soekarni, Hidayat, Suryanto (2010)).
Tabel 5.1 Perkembangan Porsi Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor,
Tahun 2006 -2010 (dalam persen)
P I P I P I P I P I
Sektor Primer 4.5 8.9 6.3 5.8 4.8 2.3 4.0 4.3 13.6 18.8
Sektor Sekunder 41.8 60.4 39.7 45.4 43.5 30.4 38.8 35.4 35.6 20.7
Sektor Tersier 53.7 30.7 54.0 48.8 51.7 67.4 57.2 60.3 50.8 60.5
Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Sektor 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Ditinjau dari perkembangan nilai realisasi investasi PMA, nilai realisasi
investasi PMA industri manufaktur memiliki tren negatif sebesar 3,5 persen
selama periode 2006-2010. Setelah sempat mengalami kenaikan pada tahun 2007,
nilai realisasi investasi PMA industri manufaktur terus melorot hingga mencapai
US$ 3,4 miliar pada tahun 2010. Kendatipun nilai realisasi investasi PMA di
industri manufaktur menurun sepanjang tahun 2006-2010, jumlah proyek
investasi PMA yang terealisasi justru naik setiap tahunnya sebesar 27,2 persen.
Pada tahun 2009 jumlah proyek investasi PMA yang terealisasi sempat
mengalami penurunan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan tahun 2008,
menjadi sebanyak 474 unit. Sementara itu, tahun 2010 tercatat sebagai tahun
dengan jumlah proyek investasi PMA tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun
lainnya. Jumlah proyek investasi PMA industri manufaktur yang terealisasi pada
tahun 2010 mencapai 1.096 unit. Perkembangan realisasi nilai investasi PMA
dengan jumlah proyek yang tidak sejalan dalam industri manufaktur menunjukkan
bahwa nilai investasi PMA dalam setiap proyek di industri manufaktur semakin
rendah (Tabel 5.2).
87
Tabel 5.2 Perkembangan Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor, 2006-2010
(dalam juta US$)
P I P I P I P I P I
Sektor Primer 39 532.4 62 599.3 55 335.6 49 462.6 420 3,042.3
Sektor Sekunder 363 3,619.7 390 4,697.0 495 4,515.2 474 3,831.1 1,096 3,357.1
Sektor Tersier 467 1,839.5 530 5,045.1 588 10,020.5 698 6,521.2 1,565 9,815.3
Total Realisasi Investasi PMA 869 5,991.6 982 10,341.4 1,138 14,871.3 1,221 10,814.9 3,081 16,214.7
2006 2007 2008 2009 2010Sektor
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lima
industri manufaktur di Indonesia yang menjadi primadona bagi para investor asing
pada tahun 2006 adalah industri logam, mesin, dan elektronik (US$ 955,7 juta, 86
proyek), industri kertas dan percetakan (US$ 747 juta, 16 proyek), industri
kendaraan bermotor dan alat transportasi lain (US$ 438,5 juta, 28 proyek),
industri tekstil (US$ 424 juta, 61 proyek), dan industri makanan (US$ 354,4 juta,
45 proyek). Selanjutnya, lima industri manufaktur utama berdasarkan realisasi
investasi PMA pada tahun 2010 adalah industri makanan (Rp 1,0 miliar, 194
proyek), industri kimia dan farmasi (Rp 798,4 juta, 159 proyek), industri logam,
mesin, dan elektronik (Rp 589,6 juta, 274 proyek), industri kendaraan bermotor
dan alat transportasi lain (Rp 393,8 juta, 98 proyek), dan industri tekstil (Rp 154,8
juta, 112 proyek). Industri kertas dan percetakan tidak lagi menjadi pilihan utama
para investor asing di tahun 2010.
Untuk realisasi investasi PMA berdasarkan lokasi, pada tahun 2006 tersebar
ke Jawa Barat (US$ 1,6 miliar, 200 proyek), DKI Jakarta (US$ 1,5 miliar, 330
proyek), Riau (US$ 585,2 juta, 8 proyek), Banten (US$ 508,2 juta, 84 proyek),
dan Kalimantan Timur (US$ 402,5 juta, 8 proyek). Tidak jauh beda dengan
kondisi pada tahun 2006, realisasi investasi PMA di Indonesia menurut lokasi
pada tahun 2010 masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Akan tetapi terdapat
perkembangan pesat kegiatan investasi di luar pulau Jawa yang didukung oleh
perbaikan pelayanan investasi di daerah dan koordinasi antara pusat dan daerah
yang semakin baik. Realisasi investasi PMA terbesar masuk ke DKI Jakarta (US$
6,4 miliar, 886 proyek), Jawa Timur (US$ 1,8 miliar, 110 proyek), Jawa Barat
88
(US$ 1,7 miliar, 597 proyek), Banten (US$ 1,5 miliar, 280 proyek), dan
Kalimantan Timur (US$ 1,1 miliar, 98 proyek). Riau yang pada tahun 2006
menduduki peringkat ke-3 dalam realisasi investasi PMA, pada tahun 2010 telah
digantikan posisinya.
Berdasarkan negara asal, lima negara yang menjadi investor utama dalam
realisasi investasi PMA pada tahun 2006 adalah Jepang 15,1 persen (US$ 902,8
juta, 113 proyek), Inggris 11 persen (US$ 660,5 juta, 49 proyek), Singapura (US$
508,3 juta, 81 proyek), Korea Selatan (US$ 475,7 juta, 140 proyek), dan Malaysia
(US$ 407,6 juta, 36 proyek), sedangkan lima negara yang menjadi investor utama
dalam realisasi investasi PMA pada tahun 2010 adalah Singapura dengan pangsa
sebesar 30,9 persen (US$ 5 miliar, 414 proyek), Inggris sebesar 11,7 persen (US$
1,9 miliar, 133 proyek), Amerika Serikat sebesar 5,7 persen (US$ 930,8 juta, 100
proyek), Jepang sebesar 4,4 persen (US$ 712,6 juta, 323 proyek), dan Belanda
sebesar 3,8 persen (US$ 608,3 juta, 107 proyek). Dari perbandingan negara asal
investasi PMA pada tahun 2006 dan 2010 dapat diketahui terdapat pergeseran
posisi negara asal. Jepang yang semula menduduki peringkat pertama sebagai
negara investor dalam PMA di Indonesia pada tahun 2006, terhempas ke
peringkat empat pada tahun 2010.
Ditinjau dari perkembangan realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang
selama tahun 2006-2010 yang diperlihatkan dalam Gambar 4.25, rata-rata
pertumbuhan investasi menurun sebesar 3,7 persen. Pada tahun 2007, realisasi
investasi PMA yang berasal dari Jepang sebesar US$ 618,2 juta, menurun sebesar
31,5 persen dari tahun 2006. Pasca implementasi IJ-EPA sejak 1 Juli 2008, tren
investasi PMA dari Jepang justru menunjukkan kecenderungan menurun sebesar
27,8 persen. Realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang pada tahun 2008
sebesar US$ 1,4 miliar (130 proyek) merupakan pencapaian terbesar pasca
pemberlakuan IJ-EPA. Selanjutnya, nilai realisasi investasi PMA dari Jepang pada
tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 50,3 persen dibanding dengan tahun
sebelumnya, hingga menjadi US$ 678,9 juta (124 proyek). Sedangkan pada tahun
2010 realisasi investasi PMA dari Jepang naik dari US$ 678,9 juta menjadi US$
712,6 juta dengan diiringi peningkatan dalam jumlah proyek menjadi sebanyak
89
323 unit. Kondisi realisasi investasi PMA dari Jepang yang menurun pasca
implementasi IJ-EPA mengindikasikan bahwa kesepakatan IJ-EPA tidak
berdampak signifikan terhadap peningkatan investasi.
902.8
618.2
1365.4
678.9 712.6
113 113130 124
323
0
50
100
150
200
250
300
350
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
2006 2007 2008 2009 2010
unitjuta US$
Investasi Proyek
Gambar 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Tahun 2006-
2010
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Industri manufaktur adalah sektor pilihan utama bagi para investor Jepang di
Indonesia. Rata-rata kontribusi industri manufaktur terhadap investasi PMA dari
Jepang selama tahun 2006-2010 sebesar US$ 754,3 juta (86,2 persen). Investasi
PMA di industri manufaktur tertinggi selama tahun 2006-2010 terjadi pada tahun
2008 dengan nilai realisasi sebesar US$ 1,4 miliar dan jumlah proyek sebanyak 95
unit. Sementara yang terendah terjadi pada tahun 2010 dengan nilai realisasi
sebesar US$ 509,3 juta dan jumlah proyek sebesar 212 unit (Tabel 5.3).
90
Tabel 5.3 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Menurut Sektor
Tahun 2006-2010 (dalam juta US$)
P I P I P I P I P I
Sektor Primer 2 1.2 - 0.0 2 1.7 2 3.8 12 5.7
Industri Manufaktur (Sektor Sekunder) 66 747.5 77 531.7 95 1354.8 79 628.2 212 509.3
Sektor Tersier 45 154.1 36 86.4 34 20.9 43 46.9 99 197.6
Total 113 902.8 113 618.2 131 1377.4 124 678.9 323 712.6
2010Sektor
2006 2007 2008 2009
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Berdasarkan penggolongan dalam industri manufaktur dalam Tabel 4.5.,
realisasi investasi PMA dari Jepang terkonsentrasi pada industri logam dasar,
barang logam, mesin dan elektronika; industri alat angkutan dan transport lainnya;
dan industri barang karet dan barang plastik, baik pada periode sebelum maupun
sesudah diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Keterkaitan
antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang terhadap industri-industri
tersebut menjadi alasan mengapa realisasi investasi PMA pada ketiga industri
tersebut dominan dibandingkan dengan industri lainnya di Indonesia. Setelah
diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, industri makanan dan
industri tekstil menjadi industri pilihan utama bagi para investor Jepang. Hal ini
dapat diketahui dari kenaikan realisasi investasi PMA di kedua industri tersebut
sejak tahun 2008.
91
Tabel 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri
Manufaktur Tahun 2006-2010 (dalam juta US$)
P I P I P I P I P I
IND. ALAT ANGKUTAN & TRANSPORT LAINNYA 17 324,874 16 242,381 32 640,643 25 381,948 49 133,120
IND. ALAT KEDOKTERAN, OPTIK, ALAT UKUR & JAM 1 10,850 1 8,740 1 -
IND. BARANG KARET & BARANG PLASTIK 9 37,639 7 16,216 15 95,429 3 8,376 18 44,692
IND. KAYU/Wood Industry 4 7,365 4 14,450 2 38,645 2 5,025 1 -
IND. KERTAS, BARANG DARI KERTAS & PERCETAKAN 1 52,052 1 1,398 2 52,200 2 -
IND. KIMIA DASAR, BARANG KIMIA & FARMASI/Chemical & Pharmaceutical Ind. 4 26,195 4 11,583 2 5,082 9 38,320 18 5,023
IND. KULIT & BARANG DARI KULIT & SEPATU 1 15,700 1 -
IND. LAINNYA/Other Industry 3 5,700 4 11,130 1 230 8 2,785
IND. LOGAM DASAR, BRG LOGAM, MESIN & ELEKTRONIKA 23 269,419 32 161,345 29 485,531 27 106,068 79 160,121
IND. MAKANAN/Food Industry 3 11,097 4 49,287 3 2,462 4 49,391 12 89,360
IND. TEKSTIL/Textile Industry 3 15,367 5 18,501 5 14,911 7 23,157 22 73,840
IND.MIN.NON LOGAM/Non Metal Min. Ind. 2 3,494 1 353
Total 66 747,501 77 531,711 95 1,354,774 79 628,215 212 509,294
Sektor2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut lokasi, realisasi investasi PMA dari Jepang sepanjang tahun 2006-
2010 terkonsentrasi di pulau Jawa. Pada tahun 2010, realisasi investasi PMA
tersebar di provinsi Jawa Barat (US$ 444,5 juta, 164 proyek), DKI Jakarta (US$
135,2 juta, 69 proyek), dan Jawa Timur (US$ 91,6 juta, 15 proyek).
Tabel 5.5 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri
Manufaktur Tahun 2006-2010
Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu)
1 BALI 12 3,445 11 3,215 10 7,455 7 1,623 31 7,819
2 BANTEN 4 69,762 2 585 4 7,627 8 44,109 21 8,420
3 DI YOGYAKARTA 1 1,000 1 100 3 1,747
4 DKI JAKARTA 30 197,679 17 177,969 23 311,598 25 49,215 69 135,194
5 JAMBI 1 34,071 1 -
8 JAWA BARAT 55 603,979 67 388,863 74 901,790 67 520,704 164 444,499
6 JAWA TENGAH 2 12,201 1 3,100 2 3,136 5 7,573
7 JAWA TIMUR 10 26,511 11 30,296 10 75,583 11 54,990 15 91,551
8 KALIMANTAN SELATAN 2 2,100
9 KALIMANTAN TIMUR 1 22
10 KEPULAUAN RIAU 1 3,932 2 21,750 1 410 1 10
11 LAMPUNG 2 63
12 NUSA TENGGARA BARAT 1 1,000 3 120
13 NUSA TENGGARA TIMUR 2 1,850 2 3,785 1 -
14 SULAWESI SELATAN 2 2,256 1 -
15 SULAWESI TENGGARA 1 400
16 SULAWESI UTARA 1 972
17 SUMATERA SELATAN 1 6,949 1 -
18 SUMATERA UTARA 1 3,350 2 13,480
113 902,775 113 618,160 131 1,377,379 124 678,945 323 712,599
2010
Total
ProvinsiNo2006 2007 2008 2009
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
92
5.5 Kinerja Beberapa Industri Manufaktur Tertentu di Indonesia
Cakupan industri manufaktur di Indonesia sangat luas, akan tetapi kajian ini
hanya memfokuskan pada beberapa industri tertentu, antara lain:
5.5.1 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya
Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan yang cukup besar karena
memiliki wilayah kelautan yang cukup luas, dengan bentangan luas laut
mencapai kurang lebih 5,8 Juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan/
laut Nusantara 2,3 juta km2, perairan territorial 0,8 juta km dan ZEEI 2,7
km dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km yang terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada. Terdapat perairan umum di wilayah
daratan seluas 0,54 juta km2. Produksi perikanan Indonesia didominasi
oleh perikanan tangkap dengan potensi lestari sumber daya ikan laut
sekitar 6,40 juta ton/tahun, sedangkan pemanfaatan ikan laut baru
mencapai 4,1 juta ton pada tahun 2006 sedangkan produksi perikanan
budidaya mencapai 2,6 juta ton/tahun pada tahun 2006.
Sumbangan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan
lainnya terhadap PDB baru mencapai 3,14 persen. Industri pengolahan
dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya, khususnya ikan
merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan di masa
yang akan datang. Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional,
industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya telah
ditetapkan pengembangannya melalui pendekatan klaster dalam
membangun daya saing yang berkelanjutan. Pengembangan industri
pengolahan hasil laut dengan pendekatan klaster diperlukan jaringan
yang saling mendukung dan menguntungkan antara industri pengguna
dengan industri pendukung serta industri terkait lainnya melalui
kerjasama dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik
pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, maupun lembaga lainya
(termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan dalam industri
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia
sepanjang tahun 2006-2009 cenderung mengalami penurunan setiap
93
tahunnya sebesar 4,5 persen. Jumlah perusahaan dalam industri
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia
pada tahun 2006 sebanyak 863 perusahaan, sedangkan pada tahun 2009
jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 742 perusahaan (Gambar 5.5).
Jumlah perusahaan tersebut mengalami penurunan sebesar 9,4 persen
dibandingkan dengan tahun 2008. Nilai penurunannya jauh lebih banyak
jika dibandingkan dengan tahun 2006, yakni sebesar 14 persen.
Kekurangan pasokan bahan baku sebagai akibat tingginya ekspor ikan
utuh Indonesia menjadi penyebab utama banyaknya perusahaan dalam
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
Indonesia yang menghentikan produksinya.
863 823 819
742
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1,000
2006 2007 2008 2009
Gambar 5.5 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia
Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Dari 742 perusahaan yang terdaftar pada tahun 2009 sebanyak 48
perusahaan tergolong ke dalam pengalengan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya, 141 perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya, 31 perusahaan pengasapan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya, 299 perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,
109 perusahaan pemindangan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, dan 114
94
perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan lainnya
(Gambar 5.6).
46 46 55 48
185 157 168141
3611
2231
398419 379
299
137122 123
109
6168 72
114
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1,000
2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Peru
saha
an15129-Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya
15125-Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya
15124-Pembekuan ikan dan biota
perairan lainnya
15123-Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya
15122-Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya
15121-Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
Gambar 5.6 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Berdasarkan
Kelompok Industri Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Berdasarkan Laporan Kementerian Perindustrian (2009), industri
pengalengan ikan yang masih melakukan kegiatan produksi sekitar 41
perusahaan. Di antaranya 31 perusahaan lokal dan sepuluh perusahaan
pemegang merk impor. Selain kekurangan bahan baku ikan, industri-
industri tersebut mengimpor kemasan kaleng (tin plate). Sedangkan data
yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali mencatat
bahwa sampai dengan tahun 2009 jumlah perusahaan dalam industri
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sebanyak 50
perusahaan. Sebagian besar perusahaan tersebut berlokasi di kota
Denpasar. Sementara itu, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara
(2010) mencatat bahwa jumlah perusahaan industri pengolahan dan
pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada tahun 2009 sebanyak
21 perusahaan, di mana terdapat empat perusahaan pengalengan Ikan dan
Biota Perairan Lainnya, empat perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan
dan Biota Perairan Lainnya, satu perusahaan pengasapan Ikan dan Biota
95
Perairan Lainnya, sepuluh perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya, dan dua perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya. Jumlah perusahaan tersebut berkurang pada tahun 2010
sebagaimana yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 jumlah perusahaan dalam
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang
berada di Provinsi Sulawesi Utara menjadi sebanyak 12 perusahaan, di
mana empat perusahaan merupakan perusahaan pengalengan Ikan dan
Biota Perairan Lainnya, tiga perusahaan pengasapan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya, dan lima perusahaan pembekuan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara tersebut terkonsentrasi di
kota Bitung dan Manado. Dalam perkembangannya hanya terdapat
beberapa perusahaan yang masih aktif melakukan produksi hingga
pertengahan tahun 2011. Hal ini terjadi karena adanya penurunan bahan
baku produksi akibat gangguan iklim. Ditinjau dari bentuk status
permodalan, pada tahun 2009 industri pengolahan dan pengawetan Ikan
dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara sebanyak lima
perusahaan dengan status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),
sembilan perusahaan Penanaman Modal Asing, dan tujuh perusahaan
lainnya.
96
4 44
1
3
10
5
2
0
2
4
6
8
10
12
2009 2010
Jum
lah P
erus
ahaa
n
15121-Pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
15122-Penggaraman/
pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
15123-Pengasapan Ikan dan
Biota Perairan Lainnya
15124-Pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
15129-Pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
Gambar 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 2009-2010
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya Indonesia sepanjang tahun 2006-2009 memiliki tren yang
cenderung menurun sebesar 5persen dengan rata-rata jumlah tenaga kerja
per tahun sebesar 105.949 orang. Pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
mencapai 95.361 orang, terendah sepanjang tahun 2006-2009 sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 4.29. Jumlah tersebut juga menunjukkan
minimnya penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan
Ikan dan Biota Perairan Lainnya karena rata-rata perusahaan hanya
mampu menyerap sebanyak 129 orang per perusahaan pada tahun 2009.
97
115,449
103,227 109,757
95,361
2006 2007 2008 2009
Gambar 5.8 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 2006-
2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Ditinjau dari kelompok industri berdasarkan data Statistik Industri Besar
dan Sedang 2009, penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan
pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pada tahun 2009
tersebar di industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sekitar
55,7 persen, kemudian di pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
(25,1 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya (6,8 persen), penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya (6,8 persen), pemindangan Ikan dan Biota Perairan (3,8 persen),
dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (1,8 persen). Komposisi
penyerapan tenaga kerja tersebut mengalami pergeseran dibandingkan
dengan tahun 2006. Terjadi penurunan dalam pangsa penyerapan tenaga
kerja industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,
penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, pemindangan
Ikan dan Biota Perairan. Sebaliknya, terjadi kenaikan dalam penyerapan
tenaga kerja di kelompok industri lainnya (Gambar 5.9).
98
17.1%
9.3%
1.0%
63.2%
4.0%
5.5%
2006
15121Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
15122Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya
15123Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya
15124Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya
15125Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya
15129Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya
25.1%
6.8%
1.8%55.7%
3.8%6.8%
2009
Gambar 5.9 Perbandingan Komposisi Tenaga Kerja Industri Pengolahan
dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia
Tahun 2006 dan 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Tenaga kerja pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009 mencapai
4.843 orang atau sekitar 39,6 persen dari total tenaga kerja industri besar
dan sedang Provinsi Sulawesi Utara. Sebagian besar (3.254 orang atau
67,2 persen dari total tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan
Ikan dan Biota Perairan Lainnya) bekerja pada industri pengalengan Ikan
dan Biota Perairan Lainnya, kemudian diikuti oleh industri pembekuan
Ikan dan Biota Perairan Lainnya sejumlah 598 orang (12,3 persen),
industri penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 571
orang (11,8 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya 259 orang (5,3 persen), dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya 161 orang (3,3 persen) (BPS Provinsi Sulawesi Utara, 2010).
Salah satu perusahaan pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, Sinar
Pure Food International, mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 1.285
orang pada tahun 2010. Berdasarkan hasil survei lapangan, PT Samudera
Sentosa dan PT Deho Canning Co. yang bergerak dalam industri
pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mampu menyerap tenaga
99
kerja masing-masing sejumlah 362 orang dan 459 orang hingga
pertengahan tahun 2011. Untuk industri pengasapan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara, PT Manadomina Citra
Taruna mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 200 orang, sedangkan PT
Celebes Mina Pratama mampu menyerap 130 orang pada tahun yang
sama.
Pada tahun 2009 besaran total pengeluaran bahan baku dan bahan
penolong dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya mencapai Rp. 12,4 triliun, didominasi oleh bahan baku
dan bahan penolong lokal sebesar Rp. 12 triliun (96,4 persen) sedangkan
sisanya sebesar Rp. 442,6 miliar (3,6 persen) berasal dari luar negeri. Jika
dilihat dari perkembangannya sepanjang tahun 2006-2009, terjadi
kecenderungan penurunan dalam total pengeluaran bahan baku dan bahan
penolong tetapi terdapat peningkatan dalam komposisi pengeluaran bahan
baku dan bahan penolong impor. Menurunnya komposisi bahan baku dan
bahan penolong lokal terjadi karena berkurangnya pasokan bahan baku
lokal akibat dari diekspornya sebagian besar bahan baku ke luar negeri.
Kebijakan pemerintah melonggarkan ekspor ikan beku dan segar dalam
bentuk utuh menjadi 22 jenis pada tahun 2008 diakui oleh Martani, Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan
Perikanan (2008) menjadi salah satu pemicu berkurangnya pasokan bahan
baku. Harga ekspor bahan baku lebih tinggi daripada dalam negeri.
Terjadinya kekurangan pasokan bahan baku lokal inilah yang mendorong
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
menaikkan impor bahan baku dan bahan penolong. Di samping itu,
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di
Indonesia pun masih memiliki ketergantungan terhadap impor bahan
penolong berupa bahan kemasan, kaleng. minyak kedelai, dsb.
100
2006 2007 2008 2009
Lokal 18,184.5 13,265.4 10,583.6 11,991.6
Impor 454.7 306.4 221.2 442.6
Total 18,639.2 13,571.8 10,804.8 12,434.2
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
20,000
US
$ m
ilia
r
97.6 97.7 98.0 96.4
2.4 2.3 2.0 3.6
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009
Lokal Impor
Gambar 5.10
Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri
Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia
Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
Data Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009
menunjukkan bahwa sekitar 90,5persen bahan baku dan bahan penolong
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
berasal dari dalam negeri (lokal), sedangkan sisanya sebesar 9,5 persen
diimpor dari luar negeri. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan
Produk Ikan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara masih bergantung
terhadap impor bahan penolong berupa kaleng, minyak kedelai, dan bahan
kemasan.
Pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar tenaga listrik dan
gas pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya memiliki tren menurun sebesar 23,5 persen sepanjang tahun
2006-2009. Pemakaian BBM dalam industri pengolahan dan pengawetan
Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia mengalami penurunan yang
signifikan dari sebesar Rp. 1,2 triliun pada tahun 2006 menjadi sebesar Rp.
338,5 miliar pada tahun 2009. Penurunan pemakaian BBM dalam industri
101
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia
serta kenaikan TDL tersebut membuat industri semakin terbebani dan
mengurangi insentif berproduksi.
1,216.8
431.6 410.2 388.5
212.3
272.2205.4 224.7
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
2006 2007 2008 2009
US$ m
iliar
BBM Listrik
Gambar 5.11 Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan
Bahan Bakar Tenaga Listrik dan Gas dalam Industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
BPS Provinsi Sulawesi Utara mencatat bahwa pemakaian bahan bakar
minyak (BBM) untuk industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya mencapai US$ 53,2 miliar, sedangkan pemakaian bahan
bakar tenaga listrik dan gas (BBL) sebesar US$ 36,6 miliar. Besaran
pemakaian BBM dan BBL tersebut sekitar 13,8persen dari biaya input
dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan
Lainnya Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009.
Ditinjau dari perkembangannya, nilai output industri pengolahan dan
pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia selama kurun
waktu 2006-2009 mengalami tren menurun sebesar 10 persen. Nilai output
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di
Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 20 triliun, menurun
dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp. 27,2 triliun.
Penurunan nilai output tersebut terjadi karena belum optimalnya
102
pemanfaatan kapasitas produksi industri pengolahan dan pengawetan Ikan
dan Biota Perairan Lainnya yang hanya mampu memanfaatkan 50 persen-
60 persen. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Martani Husaini, Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan
dan Perikanan (2007). Kendatipun setiap tahunnya kapasitas, realisasi dan
utilisasi produksi dari industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota
Perairan Lainnya mengalami peningkatan selama kurun waktu 2006-2009
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.11, akan tetapi tidak dapat
diimbangi dengan kenaikan output industri. Kurangnya pasokan bahan
baku menjadi kendala dalam peningkatan output industri.
Gambar 5.12 Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri
Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia
Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-
2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)
103
Tabel 5.6 Perkembangan Kapasitas, Realisasi,dan Utilisasi Produksi
Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di
Indonesia Tahun 2006-2009
Ikan/ Udang Beku Ikan dan Udang dalam Kaleng
2006 2007 2008*)
2009**)
2006 2007 2008*)
2009**)
Kapasitas Produksi
(Juta Ton)
1.51 1.54 1.59 1.64 0.41 0.42 0.43 0.44
Realisasi Produksi
(Juta Ton)
0.76 0.79 0.89 0.92 0.22 0.22 0.24 0.24
Utilisasi Produksi
(persen)
50.3 51.4 55.7 56.1 52.5 53 55 55.5
Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia,
Departemen Perindustrian.
Berdasarkan perkembangan nilai tambah selama kurun waktu 2006-2009,
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
memiliki tren meningkat sebesar 5 persen. Nilai tambah tertinggi pada
industri pengolahan Ikan dan Biota Perairan Lainnya terjadi pada tahun
2009 yang mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan yang terendah terjadi pada
tahun 2007 dengan nilai tambah sebesar Rp. 3,8 triliun. Nilai tambah
industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada
tahun 2009 meliputi 68,5 persen dari nilai outputnya. Biaya input pada
tahun 2009 mencapai 31,5 persen dari nilai output. Sementara itu,
persentase nilai tambah pada tahun 2007 hanya berkisar 19,9persen dari
nilai output sedangkan biaya inputnya meliputi mencapai 81,1 persen. Hal
ini mengindikasikan bahwa makin rendahnya komposisi biaya input
menghasilkan semakin tingginya nilai tambah. Nilai tambah industri
pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Provinsi
Sulawesi Utara mencapai Rp 674,1 miliar atau sekitar 50,8 persen dari
output.
5.5.2 Industri Cokelat dan Kembang Gula
Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga dunia
setelah Pantai Gading dan Ghana. Ditinjau dari segi produktivitas,
104
Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain
penghasil kakao. Selama ini kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk
biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya
terhadap perekonomian sedikit.
Tiga besar negara penghasil kakao meliputi Pantai Gading (1.276.000
ton), Ghana (586.000 ton), Indonesia (456.000 ton). Luas lahan tanaman
kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha dengan produktivitas rata-rata
900 kg per ha. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2010), daerah
penghasil kakao Indonesia adalah Sulawesi Selatan 184.000 ton (28,26
persen), Sulawesi Tengah 137.000 ton (21,04 persen), Sulawesi Tenggara
111.000 ton (17,05 persen), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85 persen),
Kalimantan Timur 25.000 ton (3,84 persen), Lampung 21.000 ton (3,23
persen) dan daerah lainnya 122.000 ton (18,74 persen).
Meskipun sebagian besar hasil perkebunan kakao Indonesia diekspor
dalam bentuk bahan mentah, di dalam negeri juga terdapat industri
pengolahan kakao. Industri pengolahan kakao banyak berada di pulau
Jawa. Sebaran pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pengolahan
kakao dapat dilihat pada Gambar 5.12
Gambar 5.13 Sebaran Industri Pengolahan Kakao di Indonesia
Sumber: Kementerian Perindustrian
105
Selama kurun waktu 2006-2009 jumlah perusahaan dalam industri Cokelat
dan Kembang gula Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya.
Jumlah perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia
pada tahun 2009 sebanyak 89 perusahaan, dari sebelumnya pada tahun
2006 sebanyak 103 perusahaan. Dari 89 perusahaan yang termasuk ke
dalam subindustri Bubuk Cokelat pada tahun 2009 sebanyak 8 perusahaan
sedangkan perusahaan subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang
Gula sebanyak 81 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan tersebut
terjadi karena banyaknya perusahaan subindustri Bubuk Cokelat dan
subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula yang berhenti
beroperasi.
9 1 6 8
94101 94
81
0
20
40
60
80
100
120
2006 2007 2008 2009
Jum
lah Pe
rusa
haan
15431 Industri Bubuk Coklat
15432 Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula
Gambar 5.14. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Cokelat dan
Kembang Gula Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, industri Cokelat dan Kembang
Gula hanya mampu menyerap 0,4 persen dari total tenaga kerja industri
manufaktur skala besar dan sedang Indonesia (19.070 orang) selama
kurun waktu 2006-2009. Dalam perkembangannya, jumlah tenaga kerja
yang mampu diserap oleh industri Cokelat dan Kembang Gula pada tahun
2009 sebanyak 18.889 orang, mengalami penurunan sebesar 3,5 persen
dibandingkan dengan tahun 2008 atau mengalami kenaikan sebesar 3,1
106
persen dari tahun 2006. Secara rata-rata jumlah tenaga kerja yang dapat
diserap oleh setiap perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula
di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 212 orang. Berdasarkan
pengelompokkan industri, penyerapan tenaga kerja pada subindustri
Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula lebih dominan dibandingkan
dengan penyerapan tenaga kerja pada subindustri Bubuk Cokelat pada
tahun 2009. Subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula
menyerap 16.739 tenaga kerja pada tahun 2009, sedangkan subindustri
Bubuk Cokelat menyerap 2.150 tenaga kerja. Kontribusi penyerapan
tenaga kerja tersebut sejalan dengan banyaknya jumlah perusahaan yang
ada di dalam kelompok subindustri tersebut.
2,050 50 1,414 2,150
16,276 19,445 18,155 16,739
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Tena
ga K
erja
(Ora
ng)
15431 Industri Bubuk Coklat 15432 Industri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula
Gambar 5.15. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Cokelat
dan Kembang Gula Indonesia Berdasarkan Pengelompokkan Industri
Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Kendatipun industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia pernah
terhambat oleh rendahnya pasokan bahan baku biji kakao dari dalam
negeri akibat penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10
persen atas penjualan dalam negeri melalui Undang-Undang No. 18
Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas
Penjualan Barang Mewah, penggunaan bahan baku lokal memiliki porsi
yang lebih besar dibandingkan dengan bahan baku impor sebagaimana
107
ditunjukkan dalam Gambar 4.36. Dalam rangka menumbuhkan kembali
industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia, maka pada tahun 2007
pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini tidak serta
merta menghidupkan kembali industri yang sudah terlanjur tidak
beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao
melalui Program Gerakan Nasional Kakao sejak tahun 2009. Hasil dari
upaya pemerintah tersebut dapat tercermin dari dominannya komposisi
penggunaan bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri
pada tahun 2009 (93,1 persen).
89.3 84.5 86.293.1
10.7 15.5 13.86.9
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2006 2007 2008 2009
Lokal Impor
Gambar 5.16. Perkembangan Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan
Impor dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia
Tahun 2006 dan 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dalam perkembangan pengeluaran pemakaian listrik dalam industri
Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia mengalami peningkatan pada
tahun 2007 menjadi Rp. 193,1 miliar, yang kemudian menurun hingga
tahun 2009 menjadi Rp. 112,6 miliar sebagaimana dapat dilihat pada
108
Gambar 4.37. Kenaikan TDL menjadi hambatan dalam proses produksi.
Pengeluaran pemakaian BBM dalam industri Cokelat dan Kembang Gula
cenderung fluktuatif sepanjang tahun 2006-2009. Pengeluaran pemakaian
BBM pada tahun 2009 merupakan pengeluaran terendah dibandingkan
dengan tahun lainnya, yakni sebesar Rp. 73,5 miliar.
126.6
193.1
154.1
112.6
165.2
108.7
140.8
73.5
2006 2007 2008 2009
Biaya Listrik BBM
Gambar 5.17. Perkembangan Pengeluaran Pemakaian Bahan Bakar
Minyak dan Listrik dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di
Indonesia Tahun 2006 dan 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 5.18. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Cokelat
dan Kembang Gula di Indonesia Tahun 2006 dan 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
109
Nilai tambah dalam industri Cokelat dan Kembang Gula mengalami tren
positif. Pada tahun 2009 nilai tambah industri Cokelat dan Kembang Gula
mencapai Rp 1,89 triliun sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 1,19
triliun. Hal ini tidak sejalan dengan output industri Cokelat dan Kembang
Gula yang cenderung menurun. Nilai output industri Cokelat dan
Kembang Gula pada tahun 2009 lebih rendah daripada tahun 2006
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.38.
Menurut Djoni Tarigan selaku Kepala Biro Perencanaan Kementerian
Perindustrian (2011), terdapat beberapa permasalahan utama dalam
industri pengolahan kakao yaitu kurang berminatnya perusahaan untuk
memanfaatkan instentif research and development (R&D), utilisasi
kapasitas produksi industri olahan kakao masih rendah (40 persen), belum
berkembangnya industri hilir yang mengolah biji kakao khususnya non
pangan, terbatasnya R&D untuk diversifikasi produk olahan kakao, dan
rendahnya konsumsi cokelat di dalam negeri.Dalam persaingan global
mengenai persaingan manufaktur atau produsen kakao, industri
manufaktur Indonesia masih sangat tertinggal, bahkan di belakang
Malaysia, yang notabene produksi biji kakao nasionalnya jauh di bawah
produksi biji kakao Indonesia.
5.5.3 Industri Barang dari Plastik
Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang
disusun menurut International Standard Industrial Classification of All
Economic Activities (ISIC) revisi 3 tahun 1990, industri Barang dari Plastik di
Indonesia diklasifikasikan menjadi subindustri sebagai berikut:
a. Industri Pipa dan Selang dari Plastik (25201)
b. Industri Barang Plastik Lembaran (25202)
c. Industri Media Rekam dari Plastik (25203)
d. Industri Perlengkapan dan Peralatan Rumah Tangga (25204)
e. Industri Kemasan dari Plastik (25205)
f. Industri Barang-barang dan Peralatan Teknik/Industri dari Plastik
(25206)
g. Industri Barang-barang Plastik Lainnya (25209)
110
Adapun jumlah perusahaan dalam industri Barang dari Plastik selama
periode 2006-2009 memiliki tren negatif sebesar 4,4 persen. Pada tahun
2006 jumlah perusahaan industri Barang dari Plastik di Indonesia
sebanyak 1.337 perusahaan, namun pada tahun 2009 hanya tinggal
sebanyak 1.167 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan dalam industri
Barang dari Plastik ini hampir terjadi dalam keseluruhan subindustri
(Gambar 4.39). BPS Provinsi Sulawesi Utara (2010) mencatat bahwa
Provinsi Sulawesi Utara memiliki dua perusahaan industri Barang dari
Plastik dengan bentuk status permodalan lainnya pada tahun 2009.
1,337
1,273
1,223
1,167
1,050
1,100
1,150
1,200
1,250
1,300
1,350
2006 2007 2008 2009
Gambar 5.19 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Barang
dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Sejalan dengan penurunan jumlah perusahaan, tenaga kerja yang terserap
dalam industri Barang dari Plastik Indonesia hanya mencapai 177.542
orang pada tahun 2009. Jumlah tenaga kerja industri Barang dari Plastik
di Provinsi Sulawesi Utara, baik tenaga kerja produksi maupun tenaga
kerja lainnya, sebanyak 209 orang. Padahal pada tahun 2006 industri
Barang dari Plastik di Indonesia mampu menyerap 197.220 orang tenaga
kerja. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Gambar 4.40.
111
197,220
181,942 179,741 177,542
160,000
170,000
180,000
190,000
200,000
2006 2007 2008 2009
Gambar 5.20. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Barang
dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 5.21. menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor dalam
industri Barang dari Plastik mengalami peningkatan dari semula 25,6
persen pada tahun 2006 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009. Adanya
kenaikan bahan baku impor tersebut disebabkan oleh keterbatasan bahan
baku dari dalam negeri. Produsen bahan baku plastik dalam negeri
memiliki kecenderungan mengekspor produknya dibandingkan dengan
mencukupi kebutuhan industri Barang dari Plastik di dalam negeri.
Bahan Baku Lokal
74.4%
Bahan Baku Impor25.6%
2006
Bahan Baku Lokal
72.6%
Bahan Baku Impor27.4%
2009
Gambar 5.21. Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan Impor dalam
Industri Barang dari Plastik di Indonesia Tahun 2006 dan 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
112
Ditinjau dari perkembangan pemakaian BBM dan listrik sebagai
komponen biaya input produksi, pemakaian BBM dan Listrik dalam
industri Barang dari Plastik mengalami kenaikan setiap tahunnya selama
periode 2006-2009. Pada tahun 2009 pemakaian BBM dan listrik tercatat
hampir sebanyak Rp. 4,1 triliun, meningkat secara drastis dibandingkan
dengan tahun 2006 yang hanya mencapai Rp. 1,5 triliun. Komposisi
pemakaian listrik lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BBM
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.22.
466 611 835 1,076
1,157
1,714
2,540
3,005
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
2006 2007 2008 2009
mili
ar R
p.
BBM Bahan Bakar Listrik
Gambar 5.22. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan
Listrik Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Makin tingginya biaya input produksi dalam industri Barang dari Plastik
di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya nilai output. Pada tahun
2006 output industri Barang dari Plastik di Indonesia sebesar Rp. 35,7
triliun, meningkat menjadi sebesar Rp. 50,5 triliun. Kenaikan tersebut
disebabkan oleh adanya peningkatan dalam kapasitas dan utilisasi
produksi industri Barang dari Plastik di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh
data dari Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
(2009) yang menunjukkan bahwa kapasitas produksi industri Barang dari
Plastik mengalami peningkatan dari 5,1 juta pada tahun 2006 menjadi 5,3
juta pada tahun 2009. Utilisasi produksi meningkat dari 77,7 persen pada
113
tahun 2006 menjadi 86,3 persen pada tahun 2009. Dari segi nilai tambah,
industri Barang dari Plastik mengalami hal yang sama dengan biaya input
dan output meskipun kenaikannya tidak sebesar keduanya. Nilai tambah
industri Barang dari Plastik mencapai Rp. 15,6 triliun pada tahun 2009,
sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 13,8 triliun.
2006 2007 2008 2009
Output 35,763 42,179 45,877 50,520
Nilai Tambah 13,772 15,686 14,747 15,638
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
mili
ar R
p.
Output Nilai Tambah
Gambar 5.23. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Barang
dari Plastik Indonesia Tahun 2006- 2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
5.5.4 Industri Furnitur
Industri Furnitur merupakan salah satu industri berbasis kayu/ rotan yang
memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian
Indonesia, baik dalam bentuk kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) maupun ekspor. Data Distribusi Persentase Produk Domestik
Bruto atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha yang
dipublikasikan oleh BPS menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi industri
Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya terhadap PDB Indonesia berkisar
1,4 persen selama tahun 2006-2009. Di sisi ekspor, industri Furnitur yang
meliputi industri pengolahan Kayu dan pengolahan Rotan Olahan
memiliki rata-rata kontribusi sebesar 6,2 persen terhadap total ekspor
industri pengolahan nonmigas pada periode yang sama.
114
Adapun penggolongan industri Furnitur di Indonesia berdasarkan Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang disusun menurut
International Standard Industrial Classification of All Economic Activities
(ISIC) revisi 3 tahun 1990 adalah sebagai berikut:
a. Industri Furnitur dari Kayu (36101), yaitu industri yang menghasilkan
perabotan rumah tangga dari kayu.
b. Industri Furnitur dari Rotan, dan atau Bambu (36102), yaitu industri
yang menghasilkan perabotan rumah tangga dari rotan dan atau
bambu, antara lain sofa, meja, kursi, lemari, buffet, dan sejenisnya.
c. Industri Furnitur dari Plastik (36103)
d. Industri Furnitur dari Logam (36104)
e. Industri Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok 36101 hingga
36104 (36109)
Secara umum jumlah perusahaan dalam industri Furnitur di Indonesia
menurun sejak tahun 2007 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.8.
Penurunan jumlah perusahaan tersebut terjadi karena adanya penurunan
jumlah perusahaan secara signifikan dalam subindustri Furnitur dari
Kayu. Jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu yang
semula sebanyak 1.737 perusahaan pada tahun 2006 menjadi 1.180
perusahaan pada tahun 2009. Meskipun secara keseluruhan mengalami
penurunan, jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Plastik,
Furnitur dari Logam, dan Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok
36101 s/d 36104 mengalami kenaikan pada periode yang sama. Namun,
kenaikan tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan jumlah
perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu. Industri Furnitur yang
tercatat dalam Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang
tahun 2006-2009 tersebar hampir di seluruh provinsi Indonesia dengan
sentra-sentra cukup besar yang terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo,
Surakarta, Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, dan lain-lain.
115
Tabel 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Furnitur
Indonesia Tahun 2006-2009
Kelompok Subindustri 2006 2007 2008*) 2009**)
Industri Furnitur dari Kayu 1,737 1,526 1,304 1,180
Industri Furnitur dari Rotan 300 305 287 281
Industri Furnitur dari Plastik 15 17 17 17
Industri Furnitur dari Logam 106 148 117 124
Industri Furnitur yang Belum
Tercakup dalam Kelompok
85 86 89 88
Total 2,243 2,082 1,814 1,690
Keterangan:
*) Angka sementara
**) Angka sangat sementara
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Di samping memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDB dan
ekspor, industri Furnitur dikenal sebagai salah satu industri padat karya
yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Rata-rata kontribusi
penyerapan tenaga kerja industri Furnitur terhadap total tenaga kerja
industri manufaktur Indonesia selama kurun waktu 2006-2009 adalah
sebesar 4,4 persen. Sejalan dengan menurunnya jumlah perusahaan dalam
industri Furnitur di Indonesia, penyerapan tenaga kerja juga mengalami
penurunan pada periode yang sama. Jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh industri Furnitur pada tahun 2006 mencapai 207.125 orang,
sedangkan penyerapan tenaga kerja dalam industri Furnitur pada tahun
2007 sebanyak 204.589 orang, 194.433 orang (2008), dan 191.466 orang
(2009). Dari tahun 2006-2009 tenaga kerja industri Furnitur
terkonsentrasi pada sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri
Furnitur dari Rotan dan atau Bambu. Penyerapan tenaga kerja dalam
kedua sub industri tersebut pada tahun 2006 mencapai 92,6 persen,
sedangkan pada tahun 2009 mencapai 82,5 persen. Jumlah tenaga kerja
yang diserap sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri Furnitur
dari Rotan dan atau Bambu pada tahun 2009 masing-masing sebanyak
127.624 orang dan 30.279 orang. Perkembangan tenaga kerja dalam
116
masing-masing sub industri Furnitur Indonesia selama kurun waktu 2006-
2009 dapat dilihat dalam Gambar 4.44. Penurunan tenaga kerja dalam
industri Furnitur Indonesia berpengaruh terhadap ketersediaan tenaga
terampil. Hal ini ditunjukkan dari hasil temuan lapangan yang mencatat
bahwa 37,5 persen dari total responden industri Furnitur di beberapa
sentra industri Furnitur seperti Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Denpasar,
dan Medan mengalami hambatan dalam ketersediaan tenaga terampil.
Makin tingginya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan menjadi hambatan
lain dalam proses produksi industri Furnitur Indonesia.
153,103
148,476
126,056
127,624
38,670
36,885
35,246
30,279
1,428
1,800
14,732
15,116
8,702
13,371
12,014
12,913
5,222
4,057
6,385
5,534
2006
2007
2008*)
2009**)
Industri Furnitur dari Kayu
Industri Furnitur dari Rotan dan atau Bambu
Industri Furnitur dari Plastik
Industri Furnitur dari Logam
Industri Furnitur yang Belum Tercakup dalam Kelompok 36101 s/d 36104
Gambar 5.24. Perkembangan Tenaga Kerja dalam Industri Furnitur
Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Data Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang tahun 2006-
2009 menunjukkan bahwa pengeluaran bahan baku dan bahan penolong
industri Furnitur Indonesia mengalami peningkatan, hingga puncaknya
pada tahun 2008 sebesar Rp. 11,6 triliun, di mana komposisi pengeluaran
bahan baku dan bahan penolong lokal mendominasi hampir mencapai
Rp. 10,4 triliun (90 persen). Pengeluaran bahan baku dan bahan
penolong industri Furnitur mengalami penurunan pada tahun 2009
menjadi Rp. 9,3 triliun dengan peningkatan komposisi pengeluaran bahan
117
baku dan bahan penolong impor sebesar 11,4 persen menjadi Rp. 1,1
triliun (Gambar 5.25). Besarnya dominasi penggunaan bahan baku lokal
ditunjukkan juga dari hasil temuan lapangan di mana hampir keseluruhan
responden industri Furnitur di Indonesia menggunakan bahan baku yang
berasal dari dalam negeri.
7.1
9.110.4
8.2
0.5
0.8
1.2
1.1
0
2
4
6
8
10
12
14
2006 2007 2008 2009
triliu
n Rp
Impor Lokal
Gambar 5.25. Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan
Penolong Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Ketergantungan industri Furnitur Indonesia yang tinggi terhadap bahan
baku yang berasal dari dalam negeri tidak ditunjang dari ketersediaannya.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roadmap Industri Furniture
(2009), industri Furnitur Indonesia menghadapi kesenjangan antara
pasokan dan kebutuhan bahan baku (Kayu dan Rotan) yang semakin
melebar. Kebutuhan kayu untuk industri Furniture pada saat kini
diperkirakan sekitar 1,7 juta m3 per tahun, pada umumnya selain berasal
dari sawn-timber, kayu rakyat sebagai solid-wood juga berasal dari
engineered-wood atau panel kayu (kayu lapis, block-board, papan
partikel, MDF dan sejenisnya) sekitar 3 juta ton. Kesenjangan ini akibat
dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal
trade. Di samping itu, masih belum optimalnya dukungan pasokan bahan
baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat (HR).
Bersamaan dengan sulitnya mendapatkan bahan baku kayu untuk industri
118
juga masih belum banyak industri yang memanfaatkan bahan baku
alternatif non hutan alam sebagaimana kayu kelapa, kayu kelapa sawit
dan kayu karet (tua). Ketidaktersediaan bahan baku lokal dan mahalnya
harga bahan baku lokal dianggap menjadi hambatan bagi 87,5 persen
responden industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk
sejenis dari negara lain seperti Republik Rakyat Tiongkok (Gambar 5.26).
Tidak menghambat
12.5%
Agak menghambat
37.5%Menghambat
25.0%
Sangat Menghambat
25.0%
Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal
Tidak menghambat
12.5%
Menghambat25.0%
Sangat Menghambat
62.5%
Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal
Gambar 5.26. Persepsi terhadap Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal dan
Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal
Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Melambungnya harga minyak mentah dunia dan melemahnya nilai tukar
rupiah serta krisis ekonomi global turut mempengaruhi pengeluaran
pemakaian BBM industri Furnitur Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam
Gambar 4.47, di mana terdapatnya peningkatan dalam pengeluaran BBM
industri Furnitur Indonesia sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 dengan
tren sebesar 18,5 persen. Pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur
Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2008 mencapai Rp. 248,1 miliar
karena pada tahun tersebut harga minyak mentah dunia sempat
menyentuh harga US$ 147 per barrel (11 Juli 2008) dan hancurnya pasar
modal sesudah kebangkrutan Lehman Brothers (15 September 2008).
Pada tahun 2009 pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur menurun
hingga mencapai Rp 178,3 miliar akibat kembali stabilnya harga minyak
mentah dunia dan menguatnya nilai tukar rupiah. Pengeluaran untuk
pemakaian bahan bakar listrik industri Furnitur Indonesia cenderung
mengalami tren meningkat sebesar 12,7 persen sepanjang tahun 2006-
119
2009. Kebutuhan listrik yang meningkat dalam industri Furnitur
Indonesia dan kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) untuk industri
menjadi penyebab dari besarnya pengeluaran dalam pemakaian BBM
industri Furnitur. Pengeluaran dalam pemakaian bahan bakar listrik
mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar Rp 425,3 miliar. Pada
tahun 2009 beban bahan bakar listrik yang ditanggung oleh industri
Furnitur sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
176.8
238.2 248.1
178.3
227.0
379.0
425.3
325.0
2006 2007 2008 2009
Bahan Bakar Minyak Bahan Bakar Listrik
Gambar 5.27. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan
Listrik Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu Kemendag).
Berdasarkan hasil temuan lapangan, makin mahalnya biaya BBM
dianggap oleh 37,5 persen dari responden dalam industri Furnitur sangat
menghambat, 25 persen responden dalam industri Furnitur
menganggapnya menghambat, dan sisanya tidak menghambat pada tahun
2011. Sementara itu, hanya sekitar 25 persen dari responden industri
Furnitur berpersepsi bahwa makin tingginya biaya listrik tidak
menghambat pada tahun 2011. Sebagian besar (75 persen) menganggap
bahwa makin mahalnya biaya listrik agak menghambat hingga sangat
menghambat seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.28.
120
Tidak menghambat
25.0%
Agak menghambat
25.0%Menghambat12.5%
Sangat Menghambat
37.5%
Makin Mahalnya Biaya Listrik
Tidak menghambat
37.5%
Agak menghambat
25.0%
Sangat Menghambat
37.5%
Makin Mahalnya Biaya BBM
Gambar 5.28. Persepsi terhadap Makin Mahalnya Biaya Listrik
dan Biaya BBM
Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Beberapa tahun terakhir industri Furnitur Indonesia dinilai mengalami
penurunan kinerja. Hal ini terlihat dari pertumbuhan negatif industri
Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya pada tahun 2006 sampai dengan
tahun 2009, yaitu pada tahun 2006 (-0,66 persen), tahun 2007 (1,74
persen), dan pada tahun 2008 tumbuh cukup signifikan yaitu 3,45 persen,
namun pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali menjadi -1,46
persen (Tabel 4.9). Menurunnya pertumbuhan tersebut disebabkan oleh
naiknya nilai tukar Rupiah dan menurunnya permintaan pasar dunia
karena belum pulihnya perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor
seperti Amerika Serikat dan Eropa akibat krisis ekonomi global.
Hambatan non tarif, terutama di Jepang sebagai salah satu negara
pengimpor terbesar produk-produk Furnitur di dunia, menjadi penyebab
lain dari menurunnya pertumbuhan industri Furnitur Indonesia
sebagaimana disampaikan oleh 50 persen responden industri Furnitur
Indonesia. Penerapan standar kualitas, desain, spesifikasi bahan, dan SPS
yang tinggi oleh Jepang menjadi hambatan.
121
Tabel 5.8. Perkembangan PDB Sektor Industri Pengolahan atas Dasar
Harga Konstan 2000 dan Realisasi Pertumbuhan Tahun 2005-2009
Penurunan kinerja industri Furnitur terlihat juga dari menurunnya
realisasi dan utilisasi produksi seperti yang dicatat oleh Direktorat
Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009). Nilai
realisasi dan utilitasi produksi pada sub industri Furnitur Kayu dan Rotan
Olahan pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.10. Penurunan terbesar dalam
kapasitas, realisasi, dan utilisasi produksi industri Furnitur terjadi pada
tahun 2008 diakibatkan oleh adanya krisis ekonomi global. Realisasi
produksi subindustri Kayu pada tahun 2008 sebesar 1.226.742 ton, hanya
mencapai 42,3 persen dari kapasitas produksi yang ada. Sementara itu,
realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun yang sama
sebesar 304.114 ton, pemanfaatannya hanya mencapai 70,7 persen dari
kapasitas terpasang. Pada tahun 2009 kinerja sub industri Furnitur dari
122
Kayu kembali meningkat dalam realisasi dan utilisasi produksi. Berbeda
halnya dengan peningkatan kinerja dalam sub industri Furnitur dari Kayu,
sub industri Rotan Olahan justru terpuruk dalam kinerja produksinya.
Realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun 2009 hanya
mencapai 269.871 ton (60,4 persen dari kapasitas produksi).
Tabel 5.9. Perkembangan Kapasitas, Realisasi, dan Utilisasi Produksi
Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009
Jenis Industri/ Komoditi 2006 2007 2008*) 2009**)
Kapasitas Produksi (ton) 3,401,350 3,411,554 2,899,821 3,411,554
Realisasi Produksi (ton) 2,258,882 2,265,660 1,226,742 1,990,319
Utilisasi (%) 66.4 66.4 42.3 58.3
Kapasitas Produksi (ton) 551,635 551,685 430,236 446,784
Realisasi Produksi (ton) 372,761 373,880 304,114 269,871
Utilisasi (%) 67.6 67.8 70.7 60.4
Furniture Kayu
Rotan Olahan
Keterangan:
*) Angka sementara
**) Angka sangat sementara
Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia,
Departemen Perindustrian (2009).
Dari sisi nilai, output industri Furnitur Indonesia cenderung mengalami
peningkatan sepanjang tahun 2006-2009. Nilai output industri Furnitur
mencapai Rp. 15,8 triliun pada tahun 2006, sedangkan pada tahun 2009
mencapai Rp. 19,1 triliun. Pada tahun 2008 nilai output industri mencapai
level tertinggi sepanjang tahun 2006-2009, yaitu sebesar Rp. 20,9 triliun,
meskipun utilisasi produksi pada tahun tersebut rendah sebesar 42,3
persen. Nilai tambah industri Furnitur cenderung fluktuatif sepanjang
tahun 2006-2009, meskipun demikian memiliki tren positif sebesar 3,6
persen. Nilai tambah pada tahun 2006 sebesar Rp. 7 triliun, meningkat
menjadi Rp. 8,7 triliun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 nilai tambah
industri Furnitur mengalami penurunan hingga menjadi Rp 7,1 triliun.
Penurunan tersebut tidak sejalan dengan peningkatan nilai output industri
Furnitur pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa
komposisi biaya input besar. Nilai output industri Furnitur pada tahun
123
2009 kembali meningkat hingga mencapai Rp. 8,4 triliun (Gambar 4.49).
15.8
20.4 20.919.1
7.08.7
7.18.4
0
5
10
15
20
25
2006 2007 2008*) 2009**)
triliu
n Rp
Output Nilai tambah
Gambar 5.29. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Furnitur
Indonesia Tahun 2006-2009
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS
(diolah Puska Daglu Kemendag).
Produk Furnitur Indonesia sebenarnya mempunyai ciri dan sifat khas
yang jarang dimiliki oleh negara-negara produsen Furnitur lainnya, di
antaranya memiliki sumber bahan baku yang beraneka jenis kayu
(tropical hard-wood), baik solid maupun engineered-wood, juga berbagai
jenis bahan baku rotan (natural dan hasil budidaya), di samping desain
yang bermuatan kearifan lokal (ciri khas ukir-ukiran). Mengingat di
negara-negara tersebut sudah tidak bisa mengembangkan lagi potensi
bahan bakunya secara signifikan dan biaya produksi yang relatif mahal,
sedangkan Indonesia terus mengembangkan hutan yang berwawasan
lingkungan melalui pembangunan Timber Estate sebagai HTI dan HTR.
Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang cukup
besar untuk meningkatkan perannya pada industri furnitur di dunia.
124
BAB VI
PEMANFAATAN SKA FORM IJ-EPA DAN KENDALA IMPLEMENTASI
6.1 Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan Kendala
Implementasi
Sebagai salah satu prasyarat kelengkapan dokumen dalam memperoleh tarif
preferensi pada barang ekspor maupun impor dalam kesepakatan IJ-EPA,
pemahaman tentang persyaratan dan prosedur penerbitan Surat Keterangan Asal
(SKA) atau biasa dikenal dengan Certificate of Origin (COO) menjadi suatu hal
yang perlu diketahui dan dipahami oleh para eksportir maupun importir.
Berdasarkan informasi dari Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indonesia memiliki
85 instansi penerbit SKA (IPSKA) yang berwenang untuk menerbitkan SKA di
mana sebanyak 28 IPSKA telah otomasi (online), dan 57 IPSKA masih dalam
proses otomasi (manual/offline).
Dalam proses penerbitan SKA terdapat beberapa persyaratan dokumen yang
harus dilengkapi, yakni aplikasi SKA Form IJ-EPA dan dokumen-dokumen
pendukung berupa fotokopi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), bill of lading
(B/L) atau air way bill (AWB) atau tanda terima kargo, fotokopi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), invoice, packing list, dan dokumen lain (struktur biaya dari
barang yang diekspor yang mengandung bahan baku dan/atau bahan penolong
yang diimpor, purchase order (untuk beberapa barang ekspor tertentu), dan/atau
Kartu Tanda Pengenal (KTP) atau paspor.
Untuk proses penerbitan SKA secara otomasi, para eksportir wajib
melakukan registrasi eksportir terlebih dahulu melalui situs http://e-
ska.kemendag.go.id/ dengan melengkapi data nama perusahaan, NPWP
perusahaan, No Reg AEKI diisi apabila ekspor di bidang Kopi, Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), nama penandatangan
SKA(eksportir), alamat perusahaan, alamat pabrik atau tempat produksi, lokasi
perusahaan, IPSKA yang dipilih (terdekat), user name, user ID, email perusahaan,
dan password. SOP registrasi eksportir dapat dilihat pada Gambar 6.1.
125
Gambar 6.1 Bagan SOP Registrasi Eksportir
Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/pendaftaran-eksportir
Adapun proses penerbitan SKA secara online dapat dilakukan dengan
langkah-langkah seperti yang tergambar dalam Gambar 6.2. Dalam penerbitan
SKA secara online eksportir dapat langsung melakukan permohonan melalui
website http://e-ska.kemendag.go.id/.
126
Gambar 6.2 SOP Penerbitan SKA secara Online
Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-online
Sementara prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA secara manual (offline)
dapat dilihat dari Gambar 6.3. Perbedaan mendasar dari prosedur penerbitan SKA
Form IJ-EPA secara online dengan manual adalah pihak eksportir diharuskan
datang ke IPSKA.
127
Gambar 6.3. Bagan SOP Penerbitan SKA secara Manual (Offline)
Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-offline-softcopy
Berdasarkan catatan Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, pangsa nilai SKA
Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang sepanjang tahun
2008-2010 dan Januari-September 2010/2011 cenderung fluktuatif. Pangsa nilai
SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang tahun 2008
sebesar 12,4 persen, terendah dibandingkan dengan pangsa nilai SKA preferensi
free trade area (FTA) lain terhadap ekspor non migasnya (misalnya, SKA Form
AK (AK-FTA) sebesar 63,1 persen, SKA Form D/ATIGA (AFTA) sebesar 40,5
persen, dan SKA Form E (AC-FTA) sebesar 23,2 persen) pada tahun yang sama.
Rendahnya pangsa SKA tersebut disebabkan oleh jangka waktu
128
pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA yang baru berjalan
selama enam bulan. Pada tahun 2009 pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap
ekspor non migas Indonesia ke Jepang naik menjadi 20,7 persen, kemudian turun
menjadi 16 persen pada tahun 2010. Selama periode Januari-September 2011
pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang
sebesar 28,6 persen, sedangkan pangsanya selama periode Januari-September
2011 mencapai 15,4 persen. Meskipun pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap
ekspor non migas Indonesia ke Jepang periode Januari-September 2011 lebih
tinggi dibandingkan dengan periode lainnya, pangsanya tetap lebih rendah
dibandingkan dengan pangsa nilai SKA tarif preferensi FTA lainnya (Gambar
6.4).
Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dalam kegiatan ekspor
Indonesia ke Jepang sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.4 menunjukkan
pertumbuhan yang relatif tinggi. Pada tahun pertama IJ-EPA diimplementasikan,
yakni tahun 2008, Indonesia telah mengeluarkan 16.226 lembar SKA Form IJ-
EPA. Kemudian terjadi peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun
2009 dan 2010 masing-masing sebesar 185,2 persen dan 5 persen menjadi
sebanyak 46.272 lembar dan 53.182 lembar. Penerbitan SKA Form IJ-EPA
periode Januari-September 2011 mencapai 43.580 lembar, melebihi jumlah
penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2010 sebanyak 39.119
lembar. Dengan kata lain, penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-
September 2011 naik sebesar 11,4 persen dibandingkan dengan periode Januari-
September 2010.
129
Pangsa Nilai SKA terhadap Ekspor Non Migas
22.1
31.1
41.5
6.9
40.5
39.1
9.2
63.1
31.0
59.2
3.1
37.8
46.1
12.4
20.7
16.0
28.6
4.6
48.1
2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011
%
TOTAL AFTA AKFTA ACFTA IJEPA AIFTA
2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)
Total 1,907 15,884 13,106 19,867 13,138 28,790 119.1
AFTA 1,360 9,434 6,417 8,710 6,094 9,680 58.8
AKFTA 343 2,942 1,603 2,776 1,712 3,393 98.2
ACFTA 204 1,804 2,607 5,287 3,520 6,875 95.3
IJEPA 0 1,705 2,479 2,642 1,811 3,909 115.8
AIFTA 0 - 0.0 452 - 4,934
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
US$
juta
Nilai SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA
2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)
Total 26,085 139,864 187,884 205,775 164,235 189,248 15.2
AFTA 2,332 11,604 16,606 103,334 84033 83,524 -0.6
AKFTA 4,262 22,937 27,210 28,622 23170 26,144 12.8
ACFTA 19,491 89,095 97,793 24,235 17913 26,580 48.4
IJEPA - 16,228 46,275 48,571 39119 43,580 11.4
AIFTA - - - 1,013 0 9,420 0.0
(50,000)
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Tota
l Jum
lah
SKA
Total Jumlah SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA
Gambar 6.4 Perkembangan Pemanfaatan Preferensi FTA
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah
Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari sisi nilai, terjadi juga peningkatan nilai ekspor dengan menggunakan
SKA Form IJ-EPA. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA
meningkat dari US$ 1,7 miliar pada tahun 2008 menjadi US$ 2,5 milliar pada
tahun 2009 dan US$ 2,9 milliar pada tahun 2010. Sementara itu nilai SKA Form
IJ-EPA periode Januari-September 2011 melonjak tajam sebesar 115,8 persen dari
periode sebelumnya. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA periode
Januari-September 2010 yang hanya mencapai US$ 1,8 miliar menjadi sebesar
US$ 3,9 miliar. Hal ini mengindikasikan semakin banyaknya para eksportir
Indonesia yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA
dalam melakukan ekspornya ke Jepang (Gambar 6.4).
Bertolak dari Gambar 6.4 dapat diperoleh rata-rata nilai ekspor SKA Form IJ-
EPA kurun waktu 2008-2010. Pada tahun pertama kesepakatan perdagangan
bebas IJ-EPA diimplementasikan, rata-rata nilai ekspor ke Jepang per dokumen
SKA sekitar US$ 105,1 ribu. Kemudian pada implementasi tahun berikutnya
turun hampir mencapai 50 persen, menjadi sebesar US$ 53,6 ribu per dokumen
130
SKA Form IJ-EPA. Pada tahun 2010 rata-rata nilai ekspor per dokumen SKA
Form IJ-EPA menjadi US$ 54,1 ribu.
Ditinjau dari jenis produk, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA selama tahun
2008-2010 didominasi oleh produk Plastik dan Barang Plastik, Bahan Bakar
Mineral, Ikan dan Udang, Kayu dan Barang dari Kayu, Serat Staple Buatan,
Peralatan Elektrik dan Elektronik, Kimia Organik, Katun, Furnitur, dan Aneka
Produk Kimia. Peralatan Elektrik dan Elektronik tercatat memiliki pertumbuhan
tertinggi dalam nilai ekspor Indonesia ke Jepang berdasarkan pemanfaatan SKA
preferensi pada tahun 2009 dibanding dengan tahun 2008 dengan nilai sebesar
216,1 persen, sedangkan Aneka Produk Kimia memiliki pertumbuhan tertinggi
pada tahun 2010 dengan nilai sebesar 104,1 persen (Gambar 6.5).
294.0
90.9
180.8
204.8
72.2
21.3
105.0
29.3
58.5
31.4
321.9
165.8
333.8
324.7
112.1
67.4
102.7
66.1
180.6
41.4
346.6
335.7
302.1
235.3
141.0
113.4
106.3
91.4
86.9
84.6
Plastik dan Barang dari Plastik
Bahan bakar mineral
Ikan dan Udang
Kayu, Barang dari Kayu
Serat Stapel Buatan
Peralatan Elektrik dan Elektronik
Kimia Organik
Katun
Furnitur
Aneka produk kimia
juta US$
2008 2009 2010
9.5
82.4
84.6
58.6
55.3
216.1
-2.1
125.4
209.0
32.1
7.7
102.5
-9.5
-27.5
25.7
68.2
3.4
38.3
-51.9
104.1
Pertumbuhan (%)
2009/2008
2010/2009
Gambar 6.5 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi
Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Gambar 6.6 memperlihatkan bahwa selain instansi penerbit SKA yang
berlokasi di wilayah Jakarta, penerbitan SKA Form IJ-EPA tertinggi sepanjang
tahun 2008-2010 terjadi pada IPSKA Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi
Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Jawa Barat. Tingginya
penerbitan SKA Form IJ-EPA di kelima IPSKA tersebut disebabkan kelimanya
berlokasi di daerah yang menjadi sumber penggerak perekonomian Indonesia.
131
Selain itu, kelima IPSKA tersebut merupakan IPSKA yang telah otomasi (online)
dalam menerbitkan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Merujuk dari penjelasan
tersebut, maka tim kajian menentukan daerah survei di Surabaya, Semarang,
Denpasar, Medan, dan Bandung. Selanjutnya Manado dipilih menjadi daerah
survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses otomasi atau
manual (offline).
PROP. JATIM23.3%
PROP. DKI JAKARTA
15.6%
PROP. BALI8.6%
JAKTIM7.1%
JAKBAR7.0%PROP. JATENG
6.9%
PROP. SUMUT5.7%
JAKPUS4.9%
OTORITA BATAM3.8%
PROP. JABAR3.5%
Lain-lain13.6%
2008
PROP. JATIM20.2%
PROP. DKI JAKARTA
15.1%
PROP. BALI10.2%
PROP. JATENG7.3%
JAKBAR6.4%
JAKTIM6.2%
PROP. SUMUT6.0%
JAKPUS5.8%
PROP. JABAR4.3%
OTORITA BATAM3.0%
Lain-lain15.4%
2009
PROP. JATIM19.5%
PROP. DKI JAKARTA
15.1%
PROP. BALI8.6%
JAKTIM7.2%
PROP. JATENG7.0%
PROP. SUMUT6.8%
JAKBAR5.8%
JAKPUS5.8%
PROP. JABAR4.8%
KAB. BEKASI2.9%
Lain-lain16.6%
2010
Gambar 6.6 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA Berdasarkan
Sepuluh IPSKA Utama di Indonesia
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Selain mempelajari data sekunder, tim kajian juga melakukan diskusi,
wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD) bersama pelaku usaha yang
bergerak pada industri yang menjadi fokus kajian.
Berdasarkan hasil temuan lapangan di daerah sampel, hampir tiga perempat
pelaku yang tim wawancarai yang bergerak dalam industri Pengolahan dan
Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, industri Cokelat dan Kembang
Gula, industri Barang dari Plastik, industri Furnitur, dan industri Tekstil dan
Produk Tekstil telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang selama lebih dari tiga
tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa para responden tersebut telah melakukan
ekspor ke Jepang jauh sebelum disepakatinya kesepakatan perdagangan bebas
antara Indonesia dengan Jepang melalui IJ-EPA yang mulai diberlakukan sejak
tanggal 1 Juli 2008. Sisanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan
ekspor ke Jepang pasca diberlakukannya IJ-EPA. Lebih dari setengah pelaku
132
usaha yang tim wawancarai telah mengetahui hingga sangat memahami tentang
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya hanya pernah
mendengar dan tidak mengetahui tentang IJ-EPA. Dari segi pemahaman akan tarif
preferensi IJ-EPA sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.7, sebanyak 25,6
persen pelaku usaha tidak mengetahui tentang adanya tarif preferensi IJ-EPA dan
pemanfaatannya. Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh ketidakpedulian para
pelaku usaha sebagai eksportir akan manfaat tarif preferensi IJ-EPA. Manfaat
keringanan tarif bea masuk preferensi IJ-EPA dinikmati oleh pihak pembeli atau
importir dari Jepang.
Pemahaman
tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
Pemahaman
tentang Tarif Preferensi IJ-EPA
Pemahaman
tentang Persyaratan dan
Prosedur Penerbitan SKA
Form IJ-EPA
23.1 25.612.8
17.9 17.9
15.4
46.2 43.6
43.6
7.7 7.7
12.8
2.6 2.65.1
2.6 2.6 10.3
Tidak Menjawab
Sangat Paham
Paham
Tahu
Pernah Mendengar
Tidak Tahu
Gambar 6.7 Pemahaman tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA,
Tarif Preferensi IJ-EPA, dan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan
SKA Form IJ-EPA
Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari pelaku usaha yang tim wawancarai sebanyak 23,1 persen tidak
mengetahui tentang persyaratan dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA.
Ketidaktahuan responden tersebut karena mereka menggunakan jasa perusahaan
Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA.
Alasan lainnya adalah masih adanya importir dari Jepang yang menginginkan
penggunaan SKA Form A dan tarif bea masuk untuk produk tertentu telah nol
persen sebelum diimplementasikannya IJ-EPA.
Penerbitan SKA Form IJ-EPA membutuhkan waktu satu hari kerja dari
penerimaan berkas aplikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA yang lengkap dengan
biaya penggantian aplikasi SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.000,-. Namun dalam
prakteknya, biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA beragam di berbagai daerah
133
survei. Gambar 6.8 menunjukkan bahwa hanya sebesar 25,6 persen dari total
responden yang mengeluarkan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sesuai dengan
ketentuan resmi sebesar Rp. 5.000,-. Sementara sekitar 23,1 persen dikenakan
biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.001 – Rp. 50.000, Rp. 50.001-
Rp. 70.000 (2,6 persen), dan biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL
(5,1 persen). Sekitar 43,6 persen dari total responden enggan menjawab mengenai
pengenaan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA.
Rp. 5.000 (sesuai dengan ketentuan
resmi)25.6%
Rp. 5.001- Rp. 50.00023.1%
Rp. 50.001-Rp.70.000
2.6%
Biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL
5.1%
Tidak menjawab43.6%
Gambar 6.8 Biaya Penerbitan SKA Form IJ-EPA
di Berbagai Daerah Survei di Indonesia
Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Secara keseluruhan, dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA sekitar 64,1
persen dari pelaku usaha yang tim wawancari menghadapi berbagai kendala.
Beberapa kendala utama yang dianggap menghambat dalam proses penerbitan
SKA Form IJ-EPA sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.6, antara lain
keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terdapat di berbagai IPSKA (28,2
persen), keenganan pencantuman struktur biaya dalam SKA Form IJ-EPA (25,6
persen), dan pemilihan kode HS yang sesuai (23,1 persen), dan kurangnya
sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA (20,5 persen).
Keterbatasan SDM yang memiliki pemahaman tentang persyaratan dan
prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA dan kompeten dalam bidangnya menjadi
suatu permasalahan tersendiri, baik bagi IPSKA yang telah melakukan otomasi
secara online maupun IPSKA yang masih melakukan penerbitan SKA Form IJ-
EPA secara manual (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi
Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung, Dinas Perindustrian dan
134
Perdagangan Kabupaten Gianyar). Sementara pencantuman struktur biaya dalam
SKA Form IJ-EPA menjadi hambatan bagi sebagian pelaku usaha karena dengan
pencantuman struktur biaya akan berpengaruh terhadap pajak yang harus
dibayarkan.
Pemilihan kode HS yang sesuai untuk dicantumkan dalam aplikasi SKA
Form IJ-EPA menjadi suatu permasalahan yang membingungkan bagi para pelaku
usaha yang tim wawancarai. Kadangkala importir Jepang meminta para pelaku
usaha untuk mencantumkan kode HS nasional Jepang dalam aplikasi SKA Form
IJ-EPA guna kepentingan tarif preferensi IJ-EPA. Adanya perbedaan dalam kode
HS nasional Indonesia (10 digit) dengan kode HS nasional Jepang (9 digit) dan
perbedaan dalam uraian barang tidak dapat secara langsung dapat dikonversikan ke
dalam HS nasional Jepang. Di samping itu, keterbatasan pengetahuan para
responden dan petugas IPSKA menjadi penyebab lain dalam penentuan kode HS
yang tepat. Untuk mengatasi permasalahan perbedaan kode HS dan pemilihan kode
HS yang tepat, maka selama ini digunakan kode HS nasional Indonesia dalam
aplikasi SKA Form IJ-EPA.
Minimnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA dirasakan oleh 20,5 persen
menjadi suatu kendala dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA di berbagai
daerah. Hal ini terkait dengan masih terdapatnya pelaku usaha yang tidak
mengetahui mengenai kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJ-
EPA, dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA.
135
15.4
12.8
25.6
23.1
15.4
17.9
28.2
17.9
12.8
20.5
84.6
87.2
74.4
76.9
74.4
82.1
71.8
82.1
87.2
79.5
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A untuk …
Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang
Keengganan mencantumkan struktur biaya
Pemilihan kode HS yang sesuai
Perubahan spesimen tanda tangan
Pergantian pejabat yang berwenang
SDM di IPSKA yang terbatas
Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA
Biaya penerbitan SKA
Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA
Ada Kendala Tidak Ada Kendala
Gambar 6.9 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya Kendala dalam
Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA
Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Kendala dalam pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA
yang didapatkan dari hasil survei, wawancara, dan FGD bersama para pelaku
usaha di beberapa daerah dapat diperlihatkan dalam Tabel 6.1.
Tabel 6.1 Matriks Kendala dalam Pengimplementasian Kesepakatan
Perdagangan Bebas IJ-EPA
Kendala dalam
Pengimplementasian IJ-EPA
Medan Denpasar Manado Bandung Surabaya Semarang
Penentuan pemilihan kode HS yang sesuai
1 2 6 3
Perubahan spesimen tanda
tangan
2 4 8 8
Mutasi pejabat berwenang
dalam verifikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA
3 7 4
Keterbatasan fasilitas
pendukung dalam penerbitan
SKA Form IJ-EPA
5 3 10 5
Kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA
1 5 3 6
Biaya penerbitan SKA Form IJ-
EPA
9 9
Keterbatasan sumber daya
manusia di IPSKA
8 4 2 1
Keengganan mencantumkan struktur biaya
1 2
Kurang beragamnya produk
ekspor ke Jepang
1 5 10
Masih terdapatnya penggunaan
SKA Form A untuk ekspor ke Jepang
3 7 1 4 7
Proses Penerbitan SKA Form
IJ-EPA masih dilakukan secara
manual
6
(Disperindag
Kab. Gianyar)
2
(Disperindag
Provinsi Sulut dan
Kota Bitung)
Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
136
6.1.1 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Surabaya
Berdasarkan data Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian
Perdagangan, penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Jawa Timur sepanjang tahun 2008-2010 cenderung
meningkat. Pada tahun 2010, jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan
naik 10,7 persen dibanding dengan tahun 2009. Peningkatan jumlah
penerbitan SKA Form IJ-EPA tersebut tidak dibarengi oleh kenaikan nilai
ekspor ke Jepang yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA. Nilai SKA
Form IJ-EPA Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 hanya mencapai US$
625,6 juta, turun satu persen dari tahun sebelumnya (Gambar 6.10).
3,780
9,357
10,354
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
0
100
200
300
400
500
600
700
2008 2009 2010le
mba
r
juta
US$
Nilai SKA Form IJ-EPA Jumlah
Gambar 6.10 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA
Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2010
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri,
Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Produk Krustasea (Udang), Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, Barang
dari Plastik, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa
Timur ke Jepang yang memanfaatkan fasilitas SKA Form IJ-EPA. Dari
Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa produk Ikan mengalami pertumbuhan
yang tinggi pada tahun 2010 sebesar 120,2 persen. Dari catatan Dit.
Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, produk Kakao dan
Kakao Olahan bukan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa Timur ke
Jepang. Meskipun ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan Provinsi Jawa
Timur ke Jepang mengalami pertumbuhan sebesar 179,5 persen pada
137
tahun 2010, nilai ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan hanya mencapai
US$ 1 juta.
129.8
104.4
79.8
51.2
49.4
40.1
36.0
34.1
31.0
11.1
73.9
131.7
79.3
34.7
11.2
43.2
35.5
25.4
48.5
5.0
60.5
56.6
92.1
19.4
2.6
27.4
8.8
10.1
18.3
4.0
0 20 40 60 80 100 120 140
KAYU OLAHAN
KRUSTASEA
BAHAN KIMIA ORGANIK
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
ANEKA PRODUK KIMIA
FURNITURE
KACA
MAKANAN OLAHAN
BARANG PLASTIK
IKAN
juta US$
2010
2009
2008
75.8
-20.8
0.7
47.3
339.9
-7.3
1.4
34.0
-36.2
120.2
22.1
132.8
-13.9
79.1
327.5
57.7
301.9
152.2
165.3
26.7
-100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400
Pertumbuhan (%)
2010/2009
2009/2008
Gambar 6.11 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Jawa Timur ke Jepang
Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dari hasil wawancara dan FGD dengan pelaku usaha di Surabaya, Provinsi
Jawa Timur, sebagian besar pelaku usaha di berbagai jenis industri belum
memahami kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, baik tarif preferensi
IJ-EPA dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA
sehingga dari sebagian besar pelaku usaha tersebut belum memanfaatkan
keberadaan SKA Form IJ-EPA secara maksimal. Diketahui pula bahwa
selama ini sebagian besar pelaku usaha di Surabaya melakukan
pengurusan penerbitan SKA Form IJ-EPA melalui pihak ketiga, yakni
perusahaan EMKL.
Adapun beberapa kendala utama yang dihadapi dalam proses penerbitan
SKA Form IJ-EPA oleh sebagian besar pelaku usaha di Surabaya adalah
keenganan mencantumkan struktur biaya dalam persyaratan penerbitan
SKA Form IJ-EPA, kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang
memiliki kapasitas dan kemampuan dalam menangani proses penerbitan
138
SKA Form IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa
Timur, dan kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA.
6.1.2 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Denpasar
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat bahwa
jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan pada tahun 2010 sebanyak
4.574 lembar, tiga kali lipat dari tahun 2008 atau sekitar 96,8 persen dari
jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2009. Sementara periode
Januari-April 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 1.605 lembar (Gambar 6.12).
Menurut pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, nilai realisasi ekspor Provinsi
Bali ke Jepang pada tahun 2010 mencapai US$ 26,9 juta, turun sebesar
77,2 persen dari tahun 2009. Nilai realisasi ekspor tersebut juga lebih
rendah daripada tahun 2008 sebesar US$ 31,6 juta. Penurunan realisasi
ekspor tersebut disebabkan oleh anomali cuaca yang mengganggu proses
ekspor dan adanya penurunan ekspor beberapa komoditi akibat kesulitan
dalam memperoleh bahan baku, terutama untuk produk Furnitur,
Anyaman, Perhiasan Logam Mulia, dan Tekstil dan Produk Tekstil
(Gambar 6.12).
Dibandingkan dengan SKA preferensi FTA lainnya, penerbitan SKA Form
IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali pada tahun
2010 menempati peringkat pertama dengan pangsa sebesar 65,5 persen
sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.12. Hal ini terjadi karena Jepang
merupakan negara tujuan utama ekspor Provinsi Bali. Kendatipun
demikian pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dinilai belum optimal karena
masih terdapatnya sejumlah pelaku usaha produk Furnitur yang masih
menggunakan SKA Form A. Selain itu, sejumlah pelaku usaha di Provinsi
Bali masih belum mengetahui kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA.
139
1,403
4,7254,574
1,605
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
0
20
40
60
80
100
120
140
2008 2009 2010 Jan-Apr 2011
lem
ba
r
juta
US
$
Nilai Jumlah
Form ATIGA/D
22.8%
Form E6.9%
Form AK4.6%
Form AI0.2%
Form IJ-EPA65.5%
2010
Gambar 6.12 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA dan Pangsa
Penerbitan SKA Preferensi Provinsi Bali
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,
BPPKP, Kemendag).
Produk Ikan, Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, dan Barang dari Plastik
termasuk ke dalam komoditi utama ekspor Provinsi Bali ke Jepang. Dari
Gambar 6.13 ditunjukkan bahwa produk Barang dari Plastik dan produk
Ikan mengalami pertumbuhan sebesar 188,4 persen dan 69,2 persen.
Meskipun Provinsi Bali mengekspor produk Udang (Krustasea) dan Kakao
dan Kakao Olahan ke Jepang, kedua komoditi tersebut bukanlah komoditi
utama karena nilainya kecil.
1,234.8
348.8
673.6
18,483.0
314.5
91.7
20.7
37.7
10,035.5
96.7
4,330.4
11,455.7
1,899.6
3,373.3
92,018.0
2,805.5
335.6
186.3
195.7
793.9
7,329.0
6,144.2
3,372.0
2,468.3
2,345.7
1,163.9
631.5
565.5
435.1
347.9
0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 100,000
IKAN
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
BARANG DARI KULIT SAMAK
KAYU OLAHAN
FURNITURE
ANYAMAN
ALAS KAKI
BARANG DARI BATU
PERHIASAN IMITASI
PERHIASAN LOGAM MULIA
ribu US$
2008 2009 2010
250.7
3,184.4
182.0
-81.7
29,158.0
2,960.0
1,521.5
394.3
-98.0
721.0
69.2
-46.4
77.5
-26.8
-97.5
-58.5
88.2
203.6
122.3
-56.2
-5,000 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000
Pertumbuhan (%)
2009/2008 2010/2009
Gambar 6.13 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Bali ke Jepang
Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,
BPPKP, Kemendag).
140
Beberapa kendala yang ditemukan dalam kaitannya dengan pemanfaatan
SKA Form IJ-EPA dan kinerja ekspor di Provinsi Bali, antara lain adanya
keterbatasan referensi yang dimiliki oleh IPSKA dalam kegiatan pemilihan
kode HS yang akan digunakan dalam penentuan klasifikasi barang yang
akan diekspor, terjadinya mutasi yang relatif sering pada pejabat yang
berwenang yang bertugas untuk memverifikasi SKA Form IJ-EPA. Untuk
IPSKA yang belum otomasi, khususnya Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kab. Gianyar, kendala yang dihadapi adalah masih belum
terkapitulasinya data mengenai penerbitan SKA Form IJ-EPA dengan
baik.
6.1.3 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Semarang
Penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2008-2010 cenderung meningkat.
Pada tahun 2008 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan sebanyak
1.116 lembar dengan nilai sebesar US$ 35,3 juta. Kemudian pada tahun
2009 naik sekitar dua kali lipat menjadi sebanyak 3.376 lembar dengan
nilai sebesar US$ 96 juta. Peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA
terjadi pula pada tahun 2010 hingga menjadi sebanyak 3.709 lembar
dengan nilai US$ 121,3 juta. Meskipun mengalami peningkatan dalam
penerbitan SKA Form IJ-EPA, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Tengah masih menemukan penggunaan SKA Form A dalam
ekspor ke Jepang. Yang menjadi dasar pertimbangan pemanfaatan SKA
Form A adalah permintaan importir Jepang. Hal ini mengakibatkan belum
optimalnya pemanfaatan SKA Form IJ-EPA.
141
1,116
3,376
3,709
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
0
20
40
60
80
100
120
140
2008 2009 2010
lem
bar
juta
US$
Nilai Jumlah
Gambar 6.14 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2010
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,
BPPKP, Kemendag).
Produk Tekstil dan Produk Tekstil, Barang dari Plastik, Udang
(Krustasea), Furnitur, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor
Provinsi Jawa Tengah ke Jepang. Nilai ekspor produk Tekstil dan Produk
Tekstil pada tahun 2009 sebesar US$ 17,2 juta sedangkan tahun 2010
sebesar US$ 26,2 juta. Untuk produk Barang dari Plastik, nilai ekspor pada
tahun 2009 dan 2010 berturut-turut sebesar US$ 10,2 juta dan US$ 13,3
juta. Meskipun nilai ekspor produk Tekstil dan Produk Tekstil dan Barang
dari Plastik Provinsi Jawa Tengah ke Jepang naik pada tahun 2009-2010,
pangsa ekspor kedua komoditi tersebut menurun pada periode yang sama
(Gambar 6.15). Hal ini terjadi karena ada lonjakan nilai ekspor beberapa
komoditi utama lainnya.
142
KAYU OLAHAN36.8%
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
20.9%
BARANG PLASTIK16.6%
MAKANAN OLAHAN6.0%
KRUSTASEA5.2%
FURNITURE3.5%
MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS
3.2%
REMPAH-REMPAH2.2%
GULA DAN KEMBANG GULA1.4% BARANG DARI
LOGAM TIDAK MULIA
0.8%
IKAN0.8%
LAINNYA2.6%
2008
KAYU OLAHAN40.0%
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
17.9%
BARANG PLASTIK10.6%
KRUSTASEA8.0%
FURNITURE4.8%
MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS
3.4%
REMPAH-REMPAH2.6%
MAKANAN OLAHAN2.5%
GULA DAN KEMBANG GULA2.3% SAYURAN
2.1%
IKAN1.1%
LAINNYA4.5%
2009
KAYU OLAHAN18.0%
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)
11.5%
BARANG PLASTIK5.8%
KRUSTASEA2.9%
MAKANAN OLAHAN2.5%
FURNITURE2.2% GULA DAN KEMBANG
GULA2.1%MESIN DAN PERALATAN
ELEKTRIS1.9%
REMPAH-REMPAH1.0%
SAYURAN1.0%
IKAN0.9%
LAINNYA50.0%
2010
Gambar 6.15 Pangsa Ekspor Komoditi Utama Provinsi Jawa Tengah
Menurut Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,
BPPKP, Kemendag).
Dari hasil wawancara, diskusi, dan FGD dengan para pelaku usaha di
Semarang maupun pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Jawa Tengah, tim kajian menemukan bahwa lebih dari 40 persen pelaku
usaha telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang sebelum disepakatinya
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sedangkan sisanya melakukan
kegiatan ekspor ke Jepang pasca implementasi IJ-EPA. Sekitar 75 persen
dari pelaku usaha telah mengetahui tentang kesepakatan perdagangan
bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya tidak mengetahui. Sama halnya dengan
hasil temuan di Surabaya, ketidaktahuan dari para pelaku usaha tersebut
karena mereka menunjuk perusahaan EMKL dalam melakukan proses
penerbitan SKA Form IJ-EPA. Dua pertiga pelaku usaha telah mengetahui
pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA dan prosedur penerbitan SKA Form
IJ-EPA.
Kendala utama yang ditemui oleh para pelaku usaha di Semarang yang
menjadi responden adalah keterbatasan SDM dalam IPSKA dan
keenganan mencantumkan struktur biaya. Secara umum, sebagian besar
pelaku usaha tidak menemui kendala dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6.16.
143
83.3
91.7
66.7
75.0
83.3
75.0
50.0
75.0
83.3
75.0
16.7
8.3
33.3
25.0
16.7
25.0
50.0
25.0
16.7
25.0
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A …
Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang
Keengganan mencantumkan struktur biaya
Pemilihan kode HS yang sesuai
Perubahan spesimen tanda tangan
Pergantian pejabat yang berwenang
SDM di IPSKA yang terbatas
Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA
Biaya penerbitan SKA
Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA
Tidak Kendala Ada Kendala
Gambar 6.16 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya
Kendala dalam Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA di
Provinsi Jawa Tengah
Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
6.1.4 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Medan
Sebagai salah satu IPSKA yang telah otomasi (online) dalam proses
penerbitan SKA Form IJ-EPA di Indonesia, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sumatera Utara telah menerbitkan SKA Form IJ-
EPA sebanyak 3.708 lembar pada tahun 2010, turun 7,3 persen dari tahun
2009. Dibandingkan dengan jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan di
Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 sebanyak 2.364 lembar, tentu
saja pada tahun 2010 mengalami lonjakan yang tinggi. Pada periode
Januari-Februari 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan
sebanyak 592 lembar. Nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara pada tahun
2010 mencapai US$ 231,5 juta sedangkan pada periode Januari-Februari
2011 sebesar US$ 44,7 juta. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan
dalam pencatatan data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sumatera Utara dengan Dit. Fasilitasi Ekspor dan
Impor Kementerian Perdagangan.
144
Dari SKA preferensi yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2010 jumlah penerbitan
SKA Form IJ-EPA menduduki posisi ke-3 setelah penerbitan SKA Form
ATIGA dan Form E. Akan tetapi jika dibandingkan dengan total SKA
yang diterbitkan baik preferensi maupun bukan preferensi, penerbitan
SKA Form IJ-EPA ada di peringkat ke-4 setelah jumlah penerbitan SKA
Form A, Form B, dan Form D/ATIGA (Gambar 6.17).
47.0 45.5 41.5
21.2 24.219.5
21.724.2
26.2
10.2 6.110.7
2.1
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2008 2009 2010
Form D/ATIGA (AFTA) Form E (AC-FTA) Form IJ-EPA Form AK (AK-FTA) Form AI (AI-FTA)
Gambar 6.17 Pangsa Pemanfaatan SKA Preferensi
Provinsi Sumatera Utara
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara (diolah Puska
Daglu, BPPKP, Kemendag).
Hasil rekapitulasi data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Utara menunjukkan bahwa produk Barang dari
Plastik, Ikan dan Udang, Furnitur termasuk ke dalam komoditi utama
ekspor Provinsi Sumatera Utara ke Jepang dengan pemanfaatan SKA
Form IJ-EPA pada tahun 2010 dengan pangsa masing-masing sebesar 16,8
persen (US$ 38,8 juta), 14,2 persen (US$ 32,9 juta), dan 1,3 persen (US$
3,1 juta). Pada periode Januari-Februari 2011 pangsa ketiga komoditi
tersebut secara berturut-turut sekitar 11,2 persen (US$ 5 juta), 0,7 persen
(US$ 301,6 ribu), dan 1,4 persen (US$ 616,6 ribu).
Dari catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera
Utara masih ditemui penggunaan SKA Form A dalam kegiatan ekspor ke
Jepang pada tahun 2010, meskipun jumlahnya lebih rendah daripada
145
penggunaan SKA Form IJ-EPA. Penggunaan SKA Form A ke Jepang
dikarenakan adanya permintaan importir dari Jepang, khususnya untuk
produk Lemak dan Minyak Hewan/Nabati; Kopi, Teh dan Rempah-
rempah; Bahan Kimia Organik; Ikan dan Udang (khususnya Kerang);
Berbagai Makanan Olahan; Kayu dan Barang dari Kayu; Daging dan Ikan
Olahan; dan Sayuran (Umbi-umbian). Dengan pertimbangan bahwa
dengan menggunakan SKA Form A tarif bea masuk MFN di Jepang lebih
rendah dibandingkan dengan tarif preferensi IJ-EPA.
Berdasarkan hasil temuan lapang di Medan, Provinsi Sumatera Utara
diketahui bahwa sebagian besar pelaku usaha telah mengetahui tentang
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJ-EPA, dan
prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA. Beberapa pelaku usaha yang tim
kajian temui dan wawancarai menyatakan bahwa pemilihan kode HS yang
sesuai dan spesimen tanda tangan menjadi kendala utama dalam proses
penerbitan SKA Form IJ-EPA.
6.1.5 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Bandung
Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Barat
dianggap cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5.15
di mana jumlah dan nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas
Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya meningkat selama periode 2008-
2010. Produk TPT mendominasi penerbitan SKA Form IJ-EPA di Provinsi
Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh produk Barang dari Plastik yang
menjadi produk utama (Gambar 6.18).
146
573
2,011
2,527
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
0
20
40
60
80
100
120
2008 2009 2010
lem
bar
juta
US$
Nilai Jumlah
Gambar 6.18 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA
di Provinsi Jawa Barat
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian
Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
2008 2009 2010
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 27,665.1 61,093.2 98,727.4
BARANG PLASTIK 492.6 2,703.0 3,385.7
ALAS KAKI 585.6 2,346.5 1,980.9
BARANG DARI KULIT SAMAK 317.2 1,459.9 1,407.6
KARET DAN BARANG DARI KARET 122.0 427.2 1,395.8
T E H 536.1 3,647.7 990.8
TEMBAGA DAN PRODUKNYA 152.9 467.3 459.8
ALUMINIUM DAN PRODUKNYA 90.3 578.9 447.9
PULP 67.8 91.6 104.7
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
rib
u U
S$
Gambar 6.19 Komoditi Utama Provinsi Jawa Barat Berdasarkan
Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA
Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian
Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Bertolak dari hasil survei, wawancara, dan diskusi dengan pelaku usaha
produk TPT di Bandung, tim kajian menyimpulkan bahwa pada umumnya
sebagian pelaku usaha yang bergerak di bidang industri TPT telah
147
memahami tentang keberadaan SKA Form IJ-EPA guna mendapatkan
preferensi tarif dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Diketahui
pula bahwa sebagian pelaku usaha telah memanfaatkan preferensi tarif
tersebut dan menggunakan SKA Form IJ-EPA dalam melakukan ekspor
dan impornya ke/dari Jepang. Namun demikian, masih terdapatnya juga
pelaku usaha yang tidak memanfaatkan SKA Form IJ-EPA karena selama
ini telah memanfaatkan adanya fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor
(KITE), yaitu apabila suatu perusahaan melakukan impor suatu produk
dengan tujuan untuk diekspor kembali maka akan mendapatkan
pengembalian bea masuk.
6.1.6 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di
Manado
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung merupakan dua IPSKA yang
masih dalam proses otomasi. Dari hasil rekapitulasi data yang dilakukan
oleh kedua IPSKA tersebut, jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada
tahun 2010 sebanyak sembilan lembar dengan nilai ekspor US$ 1,7 juta.
Jumlah penerbitan SKA tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun
2009 yang mencapai 13 lembar dengan nilai ekspor mencapai ¥ 132,8 juta.
Pangsa penerbitan SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan lebih sedikit jika
dibandingkan SKA preferensi FTA lainnya. Hal ini terkait dengan relatif
terbatasnya komoditi di Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang.
Adapun komoditi utama Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang
hanya terbatas pada komoditi Ikan dan produk Ikan, di mana Manado dan
Kota Bitung merupakan sentra untuk industri tersebut.
Keterbatasan jaringan internet dan kompetensi yang dimiliki oleh SDM di
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung menjadi kendala tersendiri
dalam proses penerbitan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Sistem
148
otomasi masih belum berjalan dengan lancar sehingga verifikasi SKA
dilakukan secara manual.
6.2 Pemanfaatan SKA JI-EPA dan Kendala dalam Implementasi
Sejak diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada
pertengahan tahun 2008, pemanfaatan SKA Form JI-EPA yang digunakan untuk
kegiatan importasi dari Jepang menunjukan peningkatan yang sangat drastis.
Gambar 6.20 memperlihatkan bahwa pada tahun 2008 SKA Form JI-EPA yang
diterbitkan oleh pihak Jepang hanya sebanyak 3.490 lembar, kemudian dalam
perkembangannya pada tahun 2009 dan 2010 penerbitan SKA Form JI-EPA
meningkat masing-masing menjadi 26.599 unit dan 48.564 unit.
3,490
26,599
48,564
14,078
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2008 2009 2010 Jan-Mar 2011
lem
bar
juta
US$
Nilai Impor Jumlah Dokumen
Gambar 6.20 Perkembangan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA
Tahun 2008-2010 dan Jan-Mar 2011
Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah
Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Selain dari peningkatan jumlah SKA, nilai importasinya juga dapat dilihat
mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Nilai importasi pada awal implementasi
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA hanya sebesar US$ 382,9 juta, kemudian
nilai tersebut telah meningkat menjadi US$ 1,28 milliar di tahun 2009 dan US$
2,9 miliar tahun 2010. Periode Januari-Maret 2011 nilai importasi dari Jepang
mencapai US$ 907,3 juta.
149
Gambar 6.21 menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen impor barang dari
Jepang yang menggunakan SKA Form JI-EPA masuk melalui Pelabuhan Tanjung
Priok (Provinsi DKI Jakarta), sedangkan sisanya tersebar di berbagai pelabuhan
bongkar lainnya. Impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok
mengalami peningkatan setiap tahunnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel
5.18. Pada tahun 2008 arus barang impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
mencapai 82,8 ribu ton, naik lebih dua kali lipat pada tahun 2009. Kemudian pada
tahun 2010 impornya sebanyak 579,5 ribu ton. Periode Januari-Maret 2011
volume impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok telah
mencapai 84,3 persen dari volume impor pada tahun 2009 (Tabel 6.2).
2008 2009 2010 Jan-Mar 2011
Tanjung Priok 358,040.8 1,160,447.2 2,656,175.1 798,705.8
Tanjung Perak 8,193.3 53,475.5 136,879.0 51,290.4
Merak 16,091.7 48,279.5 98,587.0 32,030.9
Cengkareng / Sukarno Hatta 506.2 6,691.0 14,046.4 5,867.2
Tanjung Emas 0.0 3,615.3 7,090.6 3,995.3
Belawan 112.6 2,665.2 3,536.4 2,243.6
Gresik 0.0 0.0 1,957.1 1,631.9
Surabaya /Juanda (u) 0.0 87.9 1,817.7 34.5
Balikpapan 0.0 1,448.2 1,795.6 847.1
Jambi 0.0 130.0 401.7 0.0
Perawang, Sumatra 0.0 0.0 285.3 14.4
Semarang (ptt) 0.0 0.0 47.7 52.6
Cigading 0.0 2,083.7 0.0 4,919.7
Tanjung Leneng 0.0 0.0 0.0 5,656.1
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
Nila
i im
po
r (r
ibu
US$
)
Gambar 6.21 Perkembangan Nilai Impor dari Jepang dengan Penggunaan
SKA Form JI-EPA Berdasarkan Pelabuhan Bongkar
Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah
Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
150
Tabel 6.2
Perkembangan Volume Impor dari Jepang dengan Penggunaan
SKA Form JI-EPA Menurut Pelabuhan Bongkar Pelabuhan Bongkar 2008 2009 2010 Jan-Mar 2011
Tanjung Priok 82,843.2 261,126.7 579,518.5 220,005.3
Merak 17,660.6 56,890.2 86,421.7 26,700.4
Tanjung Perak 1,006.1 20,481.8 58,717.5 21,705.4
Tanjung Emas 0.0 2,606.6 2,593.1 1,756.6
Gresik 0.0 0.0 2,104.4 959.9
Belawan 17.2 993.0 1,013.4 531.0
Cengkareng / Sukarno Hatta 17.5 58.0 336.1 27.3
Balikpapan 0.0 203.9 214.0 94.4
Jambi 0.0 100.0 209.2 0.0
Semarang (ptt) 0.0 0.0 20.6 103.0
Surabaya /juanda (u) 0.0 0.9 1.4 1.8
Cigading 0.0 1,922.3 0.0 2,900.6
Perawang, Sumatra 0.0 0.0 0.0 0.0
Tanjung Leneng 0.0 0.0 0.0 573.8 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag
diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
Dominasi impor Indonesia yang menggunakan SKA Form JI-EPA berasal
dari impor produk dalam HS 84 Mesin-Mesin/Pesawat Mekanik, HS 87-
Kendaraan dan Bagiannya, HS 85 Mesin/Peralatan Listrik, HS 72 Besi dan Baja,
HS 40 Karet dan Barang dari Karet, dan HS 39 Plastik dan Barang dari Plastik
(Tabel 6.3). Tingginya impor produk-produk tersebut karena adanya keterikatan
perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang.
Tabel 6.3
Sepuluh Komoditi Utama Produk Impor Indonesia dari Jepang
Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA
HS Deskripsi Barang 2008 2009 2010 Jan-Mar 2011
84 Mesin-mesin/Pesawat Mekanik 133.2 261.3 822.2 265.4
87 Kendaraan dan Bagiannya 24.2 331.8 617.3 161.6
72 Besi dan Baja 152.1 241.2 537.6 149.6
40 Karet dan Barang dari Karet 13.0 89.3 217.6 68.2
39 Plastik dan Barang dari Plastik 5.7 71.3 137.5 42.8
85 Mesin/peralatan listrik 11.8 65.5 128.4 35.4
29 Bahan kimia organik 18.2 70.6 124.5 66.6
55 Serat Stapel Buatan 5.5 28.5 45.8 10.9
78 Timah hitam 3.8 5.9 36.0 15.5
73 Benda-benda dari Besi dan Baja 3.0 14.4 34.8 11.0 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag
(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).
151
6.3 Studi Kasus Pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan IJ-EPA di Jepang
IJ-EPA bagi Jepang merupakan salah satu dari dua belas perjanjian kemitraan
ekonomi (Economic Partnership Agreement, EPA) yang bersifat bilateral dan
telah diimplementasikan. Kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA berimplikasi
terhadap meningkatnya kinerja perdagangan antara Jepang dengan Indonesia.
Ministry of Economy, Trade, and Industry (METI) Jepang mencatat bahwa ekspor
Jepang ke Indonesia pada tahun 2007 (sebelum diimplementasikannya IJEPA)
mencapai ¥ 766,9 miliar, sedangkan pada tahun 2010 sebesar ¥ 1,4 triliun. Tren
ekspor Jepang ke Indonesia selama tahun 2008-2010 mengalami penurunan
sebesar 2,6 persen. Beberapa komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia yang
mengalami kenaikan secara signifikan pasca diimplementasikannya IJEPA adalah
produk Mesin (HS 84) dari senilai ¥ 262,2 miliar pada tahun 2007 menjadi ¥
449,3 miliar pada tahun 2010, Elektronik (HS 85) senilai 574 juta menjadi ¥ 170,
1 miliar, dan Otomotif (HS 87) dari senilai ¥ 111,6 miliar menjadi ¥ 150,4 miliar.
Produk Otomotif menjadi salah satu komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia
karena perusahaan Otomotif Indonesia memiliki keterkaitan dengan perusahaan
Jepang (Tokyo Customs). Dalam Gambar 8. Ekspor Jepang ke Indonesia pada
tahun 2010 didominasi oleh produk Mesin (33,5 persen), Besi dan Baja (16,1
persen), Barang-barang Industri Kimia (13,3 persen), Mesin Elektrik (12,7
persen), dan Mobil (11,2 persen).
Mesin 33.5%
Besi dan Baja 16.1%Barang-barang
Industri Kimia
13.3%
Mesin Elektrik 12.7%
Mobil 11.2%
Logam 5.6%
Instrumen Presisi 2.4%
Produk-produk Tekstil 1.6%
Lainnya 3.7%
Ekspor Jepang ke Indonesia (2010) 1.3 triliun Yen
Minyak bumi dan Bahan Bakar46.8%
Produk Mineral14.3%
Barang-barang Industri Kimia8.3%
Logam7.1%
Mesin Elektrik5.5%
Produk Pertanian4.0%
Mesin
2.4%
Produk Tekstil2.3%
Produk Perikanan2.3%
Produk Kayu2.1% Mobil
1.3%
Barang-barang
beraneka macam1.0%
Lainnya
2.6%
Impor Jepang dari Indonesia (2010) 2.5 triliun Yen
Gambar 6.22 Kinerja Perdagangan Jepang-Indonesia Tahun 2010
Sumber: METI Japan
152
7,5836,423
7,669
15,625
9,183
14,824
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ekspor Jepang ke Indonesia (ratus juta Yen)
1,381
1,019 1,116
2,860
771
1,504
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Mobil (HS 87)
2,660
2,088
2,622
4,374
2,591
4,493
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Mesin (HS 84) (ratus juta Yen)
534430
574
2,053
1,180
1,701
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Elektronik (HS 85)(ratus juta Yen)
Gambar 6.23 Perkembangan Ekspor Jepang ke Indonesia
Tahun 2005-2010 Sumber: METI Japan.
Sementara itu, beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia setelah
diimplementasikannya IJ-EPA pada umumnya mengalami penurunan
dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan impor Jepang dari
Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur (HS 94), Barang dari Plastik (HS
39), Tekstil (HS 50-63), Ikan dan Krustasea (HS 3), Udang (HS 030613).
Sebaliknya, impor Kakao (HS 18) Jepang dari Indonesia justru mengalami
kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA. Impor Jepang dari Indonesia pada tahun
2010 mencapai ¥ 2,5 triliun dengan didominasi produk Minyak Bumi dan Bahan
Bakar (46,8 persen), produk Mineral (14,3 persen), Barang-barang Industri Kimia
(8,3 persen), Logam (7,1 persen), dan Mesin Elektrik (5,5 persen) dalam Gambar
6.24.
153
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Furnitur (HS 94) 230 238 248 236 215 220
Plastik (HS 39) 411 442 467 456 317 383
Kakao (HS 18) 13 8 6 6 11 10
Tekstil (HS 50-63) 536 597 606 592 465 560
Ikan dan Krustasea (HS 3) 640 647 640 609 547 558
Udang (HS 030613) 437 460 409 366 307 304
0
100
200
300
400
500
600
700ra
tus
juta
Ye
n
Gambar 6.24. Perkembangan Impor Beberapa Produk Tertentu Jepang dari
Indonesia Tahun 2005-2010
Sumber: METI Japan.
Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada Triwulan I 2011 dinilai
oleh METI Jepang berdampak terhadap perkembangan perdagangan Jepang-
Indonesia. Ekspor Jepang ke Indonesia mengalami penurunan, terutama ekspor
produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Hal ini disebabkan oleh rusaknya
sentra industri produk-produk tersebut akibat bencana yang melanda.
Kekhawatiran masyarakat terhadap tercemarnya produk-produk yang diproduksi
di daerah bencana karena penyebaran radiasi nuklir menjadi penyebab
menurunnya ekspor Makanan. Dari segi impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan
produk Makanan akibat bencana yang melanda Jepang impor produk Makanan
dari Indonesia mengalami peningkatan.
Berdasarkan keterangan perwakilan Tokyo Customs, pada tahun 2011
pemerintah Jepang sedang melakukan penyeragaman format dalam persyaratan
dan prosedur penerbitan COO untuk berbagai FTA/EPA yang dijalin dengan mitra
dagangnya guna meminimalisir perbedaan yang ada. Instansi yang berwenang
menerbitkan SKA di Jepang adalah Japan Chamber of Commerce and Industry
(JCCI) yang memiliki 21 kantor cabang yang tersebar di Sapporo, Sendai,
154
Kurobe, Chiba, Tokyo, Yokohama, Hamamatsu, Shimizu, Fuji, Nagoya,
Gamagori, Toyokawa, Yokkaichi, Fukui, Kyoto, Osaka, Kobe, Hiroshima,
Fukuyama, Takamatsu, Fukuoka. Adapun persyaratan untuk memperoleh baik
COO Form JI-EPA maupun COO preferensi serta non-preferensi lainnya adalah
para eksportir harus melakukan registrasi terlebih dahulu melalui situs JCCI
dengan melampirkan fotokopi pendaftaran yang disertifikasi oleh kantor
pendaftaran pemerintah, notifikasi pendaftaran spesimen tanda tangan, dan
notifikasi informasi dalam bahasa Inggris yang akan dicetak dalam COO.
Kemudian para eksportir melakukan aplikasi penentuan originalitas melalui situs
website JCCI dan mengirimkan data yang dibutuhkan. Pada tahap akhir, para
eksportir mengirimkan aplikasi penerbitan COO Form JI-EPA melalui situs JCCI
dengan melampirkan informasi tambahan berupa invoice atau dokumen termasuk
B/L dan melakukan pemeriksaan langsung di tempat eksportir. Jangka waktu
penerbitan COO Form JI-EPA adalah 1-2 hari kerja, sedangkan biaya penerbitan
COO Form JI-EPA sebesar ¥ 2.000 dan biaya tambahan sebesar ¥ 500 untuk
setiap produk setelah produk yang tercantum dalam COO melebihi 21 produk.
Ditinjau dari segi pemanfaatan, jumlah COO Form JI-EPA yang telah
diterbitkan oleh Jepang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah COO
Form JI-EPA yang diterbitkan sebanyak 6.579 lembar pada tahun 2008, 16.013
lembar (2009), dan 23.672 lembar (2010). Sementara itu, berdasarkan data Kobe
Chamber of Commerce and Industry (KCCI) sebagai perwakilan regional JCCI di
Kobe menunjukkan bahwa penerbit COO Form JI-EPA terbanyak pada tahun
2010 ditempati oleh Tokyo (65,6 persen), Osaka (15,7 persen), Nagoya (8,4
persen), Yokohama (6,8 persen), dan Kobe (3,5 persen). Sejak
diimplementasikannya IJ-EPA, jumlah COO yang diterbitkan oleh KCCI
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah penerbitan COO Form JI-EPA
pada tahun 2010 naik sebesar 72,9 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, yakni dari 602 lembar menjadi 1.041 lembar. Produk-produk utama
yang diekspor dari wilayah Kobe ke Indonesia berupa produk industri Sabuk (23
persen), Bagian-bagian Mesin (21 persen), Paper diapers (19 persen), dan Suku
Cadang Otomotif (16 persen).
155
Keterlambatan notifikasi perubahan spesimen tanda tangan dan stempel,
perbedaan uraian barang, dan klasifikasi kode HS dianggap oleh pihak Tokyo
Customs sebagai faktor-faktor penyebab penolakan SKA Form IJ-EPA.
Sementara penolakan COO Form JI-EPA oleh petugas Kepabeanan Indonesia
lebih disebabkan oleh lebih cepatnya tanggal penerbitan COO dibandingkan
dengan tanggal pengiriman barang. Permasalahan lain yang menghambat dalam
pemanfaatan COO Form JI-EPA adalah belum adanya pertukaran data antara
Indonesia dengan Jepang.
Dari segi tarif preferensi JI-EPA, rata-rata perbedaan tarif preferensi JI-EPA
cenderung rendah. Perbedaan tarif antara sebelum dan sesudah diberlakukannya
IJ-EPA untuk produk Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang masing-masing
sebesar 4,8persen, 6,5persen, dan 1persen. Rendahnya perbedaan tersebut terjadi
karena pada dasarnya tarif MFN Jepang sebelum kesepakatan IJ-EPA sudah
rendah atau bahkan nol persen. Perbedaan tarif preferensi JI-EPA yang cukup
tinggi terjadi untuk produk Kakao (29,8persen), Ikan dan Krustasea (15persen),
dan Tekstil dan Produk Tekstil (14,2persen).
Dalam memasyarakatkan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA,
pemerintah Jepang menyediakan informasi melalui link khusus EPA/FTA dalam
situs METI, menyebarluaskan brosur dan pamflet, mengadakan seminar tentang
EPA setiap tahunnya, mendirikan poin kontak, bekerjasama dengan Japan
External Trade Organization (JETRO) dan JCCI.
6.4 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Malaysia-Jepang
Malaysia merupakan salah satu negara yang melakukan kesepakatan
perdagangan bebas secara bilateral dengan Jepang melalui Malaysia-Japan
Economic Partnership Agreement (MJ-EPA) yang mulai berlaku efektif sejak 13
Juli 2006. Sama halnya dengan IJ-EPA, MJ-EPA adalah strategi kemitraan yang
bertujuan mempererat hubungan ekonomi melalui kerjasama, liberalisasi, fasilitasi
perdagangan, dan investasi di antara kedua negara.
Adapun unsur-unsur utama dalam kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA
meliputi beberapa sektor, yakni Industrial Goods, Agricultural, Forestry and
156
Fishery Products, Customs Procedures, Trade in Services, Investment,
Cooperation, Intellectual Property, Controlling Anti-competitive Activities,
Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment Procedures,
Sanitary and Phytosanitary Measures, Enhancement of Business Environment.
Yang membedakan unsur utama yang terdapat dalam MJEPA dengan IJ-EPA
adalah adanya Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment
Procedures, dan Sanitary and Phytosanitary Measures di mana ketiga unsur
tersebut tidak tercakup di dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA.
Dibandingkan dengan IJ-EPA, jangka waktu implementasi konsesi tarif yang
disepakati dalam MJ-EPA lebih panjang (lebih dari sepuluh tahun) dengan
fleksibilitas produk sensitif yang dipilih. Jangka waktu implementasi konsensi
tarif dalam IJ-EPA hanya selama lima tahun (2008-2012).
Skema kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA yang mulai diberlakukan
pada 13 Juli 2006 memunculkan peningkatan kinerja perdagangan Malaysia-
Jepang mengalami secara signifikan. Neraca perdagangan Malaysia-Jepang yang
semula mengalami defisit perdagangan yang cukup tinggi sebelum disepakatinya
MJ-EPA, pada tahun 2008 dan Januari-Agustus 2011 mengalami surplus
perdagangan dengan nilai sebesar RM 6,5 miliar dan 7,3 miliar. Ekspor Malaysia
ke Jepang cenderung mengalami kenaikan pasca implementasi MJ-EPA dengan
tren sebesar 4,8 persen, kecuali pada tahun 2009 dan Januari-Agustus 2011. Pada
tahun 2008 ekspor Malaysia ke Jepang mencapai level tertinggi pasca MJ-EPA
sebesar RM 71,7 miliar. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11
Maret 2011 sangat berpengaruh terhadap ekspor Malaysia ke Jepang. Penyebab
utamanya adalah keterkaitan antara bahan baku impor dan produk Listrik dan
Elektronik yang diekspor Malaysia ke Jepang. Kondisi tersebut tercermin dari
turunnya nilai ekspor Malaysia ke Jepang pada periode Januari-Agustus 2011
sebesar RM 50 miliar di mana nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
tahun 2010 sebesar RM 66,5 miliar. Adapun komoditi ekspor utama Malaysia ke
Jepang berupa produk Listrik dan Elektronik, Minyak Kelapa Sawit (CPO), Bahan
Kimia dan Produk Kimia, dan Gas Alam Cair (LNG). Sebaliknya, impor Malaysia
dari Jepang cenderung menurun pasca MJ-EPA (2006-2010) dengan tren sebesar
157
0,9 persen. Pada Januari-Agustus 2011 impor Malaysia dari Jepang sebesar RM
42,8 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan impor Malaysia
dari Jepang pada tahun 2003, yakni sebesar RM 54 miliar (Gambar 6.25).
42.548.6 49.9 52.2 55.1
71.7
54.2
66.5
50.054.0
63.7 63.0 63.665.6 65.2
54.4
66.7
42.8
-11.5-15.2 -13.1 -11.4 -10.5
6.5
-0.1 -0.2
7.3
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jan-Ags
2011
mil
iar
RM
Ekspor Impor Neraca
Gambar 6.25 Perkembangan Kinerja Perdagangan Malaysia-Jepang
Tahun 2003-2011 (Januari-Agustus)
Sumber: MITI Malaysia
Ditinjau dari perkembangan pangsa, setelah diimplementasikannya MJ-EPA
pangsa ekspor Jepang mengalami kenaikan dari semula 9,35 persen pada tahun
2005 menjadi 11 persen pada periode Januari-Agustus 2011. Makin tingginya
pangsa ekspor Malaysia ke Jepang menunjukkan semakin banyaknya produk-
produk Malaysia yang dapat terserap di pasar Jepang. Pada periode Januari-
Agustus 2011 Jepang menduduki peringkat ke-3 dalam negara tujuan ekspor
Malaysia. Posisi Jepang tersebut masih tetap sama dengan tahun 2005 (sebelum
diterapkannya MJ-EPA). Sebaliknya, pangsa impor Jepang mengalami penurunan
dari 13,1 persen pada tahun 2005 menjadi 11,4 persen pada periode Januari-
Agustus 2011.
158
9.3510.80
11.00
13.10
14.65
11.40
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jan-Ags 2011
Pe
rse
nta
se
Pangsa Ekspor Pangsa Impor
Gambar 6.26 Perkembangan Pangsa Ekspor dan Impor Malaysia –Jepang
Tahun 2005-2011 (Januari-Agustus)
Sumber: MITI Malaysia
Terkait dengan prosedur dan proses penerbitan Surat Keterangan Asal
(Certificate of Origin, COO) dalam skema MJ-EPA, penerbitan COO Form MJ-
EPA dilakukan oleh Ministry of Trade and Industry (MITI) Malaysia dan tujuh
cabangnya yang tersebar di negara bagian Penang, Perak, Kelantan, Sabah,
Sarawak, Johor, dan Pahang. Dalam penerbitan COO Form MJ-EPA, terdapat
beberapa dokumen yang dipersyaratkan yaitu surat pengesahan cost analysis dari
MITI Malaysia, formulir pendaftaran COO yang telah dilengkapi, kuitansi
penjualan, bill of lading, formulir deklarasi kepabeanan (K2), dan formulir BAK 1
(a) – 1(c). Untuk mendapatkan formulir pendaftaran COO Form MJ-EPA, para
eksportir dapat melakukan pendaftaran di Federation Malaysian Manufacture
(FMM) dengan melampirkan keseluruhan dokumen yang dipersyaratkan secara
online dengan biaya RM 10 dan kemudian akan diterbitkan oleh MITI. Proses
penerbitan COO Form MJ-EPA membutuhkan waktu dua hari kerja dari
penerimaan berkas aplikasi yang lengkap.
159
Gambar 6.27. Bagan Alur Kerja Proses Penerbitan COO Form MJ-EPA
Sumber: MITI Malaysia.
Untuk pengesahan cost analysis diperlukan beberapa dokumen, yakni
formulir pendaftaran cost analysis, Form BAK 1(a)-1(c), rincian informasi
mengenai perusahaan yang memproduksi/eksportir dan informasi produk,
sertifikat pendaftaran perusahaan, invoice, katalog produk/foto/sampel, analisis
biaya dari produk, kuitansi pembelian bahan baku, dan diagram alur proses
produksi. Surat notifikasi akan dikeluarkan dalam waktu tujuh hari kerja. Gambar
6.28 memperlihatkan alur proses pengesahan cost analysis.
Gambar 6.28 Bagan Alur Proses Pengesahan Cost Analysis
Sumber: MITI Malaysia.
160
Dari segi pemanfaatan COO dalam skema MJ-EPA, MITI Malaysia mencatat
bahwa pemanfaatan COO Form MJ-EPA tertinggi dibandingkan dengan
pemanfatan COO preferensi untuk kesepakatan perdagangan bebas bilateral
Malaysia dengan negara lainnya (Malaysia-Pakistan Comprehensive Economic
Partnership Agreement (MPCEPA), Malaysia-New Zealand Free Trade
Agreement (MNZFTA), Malaysia-Chile Free Trade Agreement. Tingginya
pemanfaatan tersebut dikarenakan selalu dilakukannya sosialisasi kepada para
eksportir Malaysia baik yang berada di Kuala Lumpur maupun negara-negara
bagian lainnya dan tersedianya situs khusus untuk mengedukasi para eksportir.
Royal Malaysian Custom Department mencatat bahwa komoditi ekspor utama
Malaysia ke Jepang yang memanfaatkan Form MJ-EPA adalah produk Listrik dan
Elektronik dan Oleo Kimia, sedangkan komoditi impor utama Malaysia dari
Jepang yang memanfaatkan Form JM-EPA adalah produk Elektronik.
6.5 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Thailand-Jepang
Thailand telah menyepakati empat kesepakatan perdagangan bebas bersifat
bilateral, yang salah satunya di antaranya adalah Japan-Thailand Economic
Partnership Agreement (JT-EPA) yang mulai diberlakukan pada 1 November
2007. Kesepakatan perdagangan bebas tersebut meliputi Trade in Goods, Rules of
Origin of Products, Trade in Services, Investment and the Movement of Natural
Persons, Cooperation.
Bidang kerjasama (cooperation) mencakup sembilan area (Agriculture,
Forestry and Fisheries, Education and Human Resource Development,
Enhancement of the Business Environment, Financial Services, Information and
Communication Technology, Science, Technology, Energy and the Environment,
Small and Medium Enterprises, Tourism, dan Trade and Investment Promotion
dan tujuh proyek kerjasama (Kitchen of the World Project, Japan-Thailand Steel
Industry Cooperation Programme, Automotive Human Resources Development
Institute Project, Energy Conservation Project, Value-creation Economy Project,
Public-private Partnership, dan Cooperative Project in the Textile and Garment
Industry).
161
Trade in Goods. Tarif mencakup 99,51 persen barang yang diimpor dari
Jepang pada tahun 2006, dengan jumlah sebesar 99,49 persen dari nilai total
perdagangan impor barang dari Jepang, telah diturunkan atau dihilangkan, atau
menerima sejumlah kuota khusus dari Jepang. Pada saat yang sama, tarif yang
meliputi 92,95 persen dari ekspor Thailand ke Jepang dikurangi atau dihilangkan
atau diberikan kuota khusus, terdiri dari 98,06 persen dari semua pos tarif untuk
ekspor Thailand ke Jepang pada tahun 2006. Adapun barang-barang Thailand
yang telah sepenuhnya dihilangkan tarifnya meliputi Batu Permata dan Perhiasan,
Tekstil dan Pakaian Jadi, Barang Petrokimia, Produk Plastik, dan Bahan Makanan
(termasuk Udang dan Udang yang diolah, diawetkan dan dibekukan, atau Udang
rebus dan Udang, Kacang-kacangan, Sayuran (Okra, Buah Zaitun, Kentang,
Asparagus), Buah-buahan Segar Dingin dan Beku (Durian, Pepaya, Mangga,
Manggis, Kelapa), Pati Singkong, dan Kentang baik diiris ataupun dalam bentuk
pelet. Sementara itu, barang-barang Thailand yang dikenakan kuota oleh Jepang
terdiri dari Pisang dan Nanas Segar, Daging Babi Olahan, Sirup, dan Tepung
Singkong. Untuk barang-barang Jepang yang telah dieliminasi tarifnya mencakup
Bahan Pangan (termasuk beberapa Ikan segar dingin atau beku, Kepiting, Udang
segar dan Udang diolah, diawetkan, dan dibekukan, atau Udang rebus dan Udang,
Buah-buahan Iklim seperti Apel, Persik, Pir, Plum dan berbagai buah berry),
Permata dan Perhiasan, Tekstil dan Pakaian Jadi, Baja dan Produk Baja,
sedangkan barang-barang Jepang yang diberlakukan kuota oleh Thailand meliputi
Kentang, Bawang besar dan biji, Bawang Putih, Kopra, Lada, Biji Kedelai,
Minyak Kedelai, Kelapa, Kopi, Teh, Beras, Minyak Kelapa Sawit, Minyak
Kelapa, Kopi Instan, Lengkeng, Gula, Susu Bubuk Bebas Lemak, Susu
Dilarutkan, dan Besi dan Produk Besi.
Services. Thailand telah berkomitmen mengizinkan Jepang untuk mendirikan
perusahaan dan menyediakan jasa dalam 14 subkategori wajib dalam perjanjian
WTO, sedangkan Jepang telah berkomitmen untuk mengizinkan pemerintah
Thailand mendirikan perusahaan dan menyediakan jasa, dan/atau untuk bekerja
menyedikan jasa di Jepang di bawah 65 subkategori terikat di bawah perjanjian
WTO dan telah menyesuaikan lebih dari 70 subkategori tambahan.
162
Investment. Thailand telah berkomitmen untuk mengizinkan Jepang dan
warga negara Jepang untuk memegang saham hingga 50 persen dalam perusahaan
produksi Otomotif (di mana sisa kepemilikan sahamnya dimiliki oleh orang
Thailand), dan perusahaan yang didirikan tidak diharuskan untuk meminta
perizinan operasional perusahaan. Pemerintah Jepang telah berkomitmen untuk
meliberalisasi keseluruhan wilayah investasi bagi investor Thailand, dengan
pengecualian industri yang terlibat dalam produksi Farmasi, Ruang Angkasa dan
Aeronautika, Minyak Bumi, Energi, Penyiaran, Pertambangan, Perikanan,
Pertanian, Kehutanan, dan Industri Dasar yang terkait.
Movement of Natural Persons. Thailand dan Jepang telah sepakat untuk
melonggarkan pembatasan dan memfasilitasi masuk dan tinggal sementara bagi
warga negara kedua negara untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi tertentu.
Berdasarkan Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand,
perkembangan realisasi ekspor Thailand ke Jepang dengan penggunaan Form JT-
EPA selama periode tahun 2008–2010 menunjukkan peningkatan. Hal ini sebagai
akibat dari turunnya tarif bea masuk dalam rangka JT-EPA. Dengan adanya
peningkatan ekspor tersebut, maka pada giliranya akan dapat mendorong
peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara mitra FTA. Ekspor Thailand yang
menggunakan Form JT-EPA pada tahun 2008 tercatat senilai US$ 4,5 miliar
(sekitar 22,4 persen dari total ekspor Thailand ke Jepang), sedangkan pada tahun
2010 ekspornya naik menjadi US$ 4,8 miliar (sekitar 23,4 persen dari total ekspor
Thailand ke Jepang). Sepuluh produk utama yang mendominasi ekspor Thailand
ke Jepang meliputi Daging Ayam yang diawetkan, Udang yang diawetkan,
Polyethylene Teraphalate, Udang Beku, Dextrin (produk dari Tapioka), Tepung-
tepungan, Fillet Ikan, Leaf Spring (bagian kendaraan bermotor), Karung Semen,
Polimer etilen, Struktur dan Bagian dari Aluminium. Dari segi impor, sejak
diimplementasikanya kerjasama JT-EPA, impor Thailand dari Jepang yang
menggunakan Form JT-EPA selama tahun 2008-2010 terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2008 impor Thailand yang menggunakan Form JT-EPA
tercatat senilai US$ 2,1 miliar (sekitar 6,2 persen dari total impor Thailand dari
Jepang, sedangkan pada tahun 2010 impornya naik menjadi US$ 3,9 miliar
163
(sekitar 10,2 persen dari total impor Thailand dari Jepang). Sepuluh komoditi
utama yang diimpor Thailand dari Jepang dengan menggunakan Form JT-EPA
terdiri dari Besi/Alloy Gulung Canai Panas, Besi/Alloy Gulung Canai Panas
dengan ketebalan < 0,5 mm, Gear Box, Kendaraan Bermotor Berpenumpang ≥ 10,
Plat Baja Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan ketebalan
< 3 mm, Plat Baja/Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan
ketebalan 3 mm-4,75 mm, Kendaraan Bermotor Berpenumpang 30 orang atau
lebih yang didesain untuk keperluan di Bandara Udara, Kawat/Batang Baja,
Peralatan Instrumentasi untuk Kontrol. The Custom Department of Thailand
menyampaikan bahwa tidak pernah terjadi penolakan barang impor dari Jepang
yang masuk ke Thailand, demikian juga barang ekspor Thailand ke Jepang.
Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 tidak
berpengaruh terhadap kegiatan ekspor dan impor Thailand.
Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand merupakan
instansi yang berwenang untuk mengeluarkan COO Preferensi, khususnya
JTEPA. Proses penerbitan COO Form JT-EPA di Thailand hanya memerlukan
waktu selama 30 menit dengan biaya THB 3.400 per COO dengan catatan
keseluruhan persyaratan telah dilengkapi. Sebelum COO diterbitkan oleh
Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand, dilakukan
verifikasi aplikasi COO. Penggunaan Form JT-EPA dalam kegiatan ekspor
Thailand ke Jepang mencapai 9,2 persen atau menempati peringkat ke-6 dari total
penggunaan preferensi sebanyak 15 preferensi. Pada Januari-Agustus 2011
penggunaan Form JT-EPA menduduki peringkat ke-5 dari total preferensi (20)
dengan pangsa 10,3 persen. Dalam rangka mendorong penggunaan COO Form
JT-EPA, The Custom Department of Thailand bekerjasama dengan Ministry of
Commerce of Thailand telah melakukan sosialisasi, seminar dan publikasi melalui
internet guna menyebarluaskan informasi tentang JT-EPA.
164
BAB VII
ANALISIS DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS
TERHADAP DAYA SAING PRODUK MANUFAKTUR INDONESIA
Analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas Indonesia
Jepang terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia menggunakan data
produk berdasarkan HS 2007 yang terdapat dalam Lampiran I kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA, namun diagregasikan dalam HS 6 digit sehingga
diperoleh produk sebanyak 4.471 pos tarif. Selanjutnya dipilih produk yang
merupakan hasil industri manufaktur. Kemudian, sebagai fokus kajian dipilih
produk-produk berdasarkan hasil kombinasi nilai ekspor industri manufaktur non
migas, analisis daya saing (Constant Market Share Analysis, CMSA), dan
dinamisasi kinerja ekspor (Export Product Dynamics, EPD) serta
mempertimbangkan pemanfaatan fasilitas Surat Keterangan Asal (SKA). Adapun
produk-produk tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan) - HS 0304.29 dan HS. 0304.99
2. Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang) - HS 0306.13
3. Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) - HS 1804.00
4. Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen) - HS 6210.10
5. Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) - HS 9403.60
6. Sak dan Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) -
HS 3923.21
Keenam produk tersebut adalah produk yang memiliki penurunan daya saing
setelah implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA di pasar Jepang.
Beberapa produk di antaranya seperti produk Furnitur, Udang, Ikan, dan Kakao
Olahan merupakan produk yang berbahan baku dari alam.
165
7.1 Analisis Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA terhadap
Daya Saing Produk Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Pangsa
Pasar
Berdasarkan hasil analisis export product dynamics (EPD), untuk Tekstil dan
Produk Tekstil, khususnya garmen, daya saing produk tersebut masuk dalam
kategori falling sebelum IJ-EPA diimplementasikan, yaitu permintaan pasar
Jepang akan produk ini menurun tetapi ekspor Indonesia meningkat. Setelah IJ-
EPA diimplementasikan, kategori daya saingnya adalah retreat, yaitu permintaan
akan produk tersebut di pasar Jepang menurun dan ekspor Indonesia ke Jepang
juga menurun.
Untuk produk Furnitur dengan HS 9403.60, baik sebelum maupun sesudah
implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya adalah retreat yang berarti baik
permintaan akan produk tersebut maupun ekspor Indonesia untuk produk tersebut
ke Jepang menurun.
Sebelum IJEPA diimplementasikan, kategori daya saing untuk produk Plastik
dan Barang dari Plastik berada pada posisi retreat, sedangkan setelah IJ-EPA
diimplementasikan posisinya tetap pada kategori retreat. Hal ini mengindikasikan
bahwa permintaan produk Plastik dan Barang dari Plastik tersebut menurun dan
ekspor kita juga menurun ke pasar Jepang.
Adapun untuk produk Udang dengan HS 0306.13, sebelum dan sesudah
implementasi IJ-EPA, daya saingnya berdasarkan EPD berada pada posisi retreat,
yaitu permintaan turun dan ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun.
Produk Ikan yang dikaji dalam kajian ini terdiri dari 2 pos tarif, yaitu HS
0304.29 dan HS 0304.99. Untuk HS 0304.29, daya saingnya sebelum dan sesudah
IJ-EPA adalah falling yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut turun
tetapi ekspor Indonesia meningkat ke pasar Jepang. Sedangkan untuk HS 0304.99
posisi daya saingnya adalah berada pada kategori rising sebelum IJ-EPA
diimplementasikan yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut
meningkat dan ekspor Indonesia ke Jepang juga meningkat. Tetapi setelah
implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya menjadi falling yaitu ekspor tetap
meningkat walaupun permintaan pasar Jepang untuk produk tersebut turun.
166
Untuk produk Kakao Olahan dengan HS 1804.00, posisi daya saingnya
sebelum IJ-EPA diimplementasikan adalah lost opportunities yaitu permintaan
akan produk tersebut meningkat tetapi ekspor Indonesia ke Jepang justru menurun
sehingga kita tidak memanfaatkan peluang yang ada. Setelah implementasi IJ-
EPA, posisi daya saingnya menjadi retreat yaitu permintaan menjadi turun akan
produk tersebut dipasar Jepang dan ekspor Indonesia juga menurun.
Gambar 7.1 Matriks EPD Sebelum Implementasi Kesepakatan
Perdagangan Bebas IJ-EPA
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Gambar 7.2 Matriks EPD Setelah Implementasi Kesepakatan
Perdagangan Bebas IJ-EPA
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
167
Di samping menggunakan EPD sebagai alat analisis untuk mengukur daya
saing produk manufaktur Indonesia, dilakukan juga perhitungan indeks analisis
CMSA. Secara umum hasil analisis CMSA memperlihatkan bahwa produk-
produk unggulan ekspor Indonesia di pasar Jepang dinilai berdasarkan positif dan
negatifnya. Hasil perhitungan tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 7.1.
Tabel 7.1 Nilai Indeks Hasil Analisis CMSA Beberapa HS Terpilih
HS DESCRIPTION NILAI CMSA KATEGORI
0304.29 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.000015 Berdaya Saing
0304.99 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.000010 Berdaya Saing
1804.00 Cocoa butter, fat & oil 0.000007 Berdaya Saing
0306.13 Shrimps & prawns, whether/not
fini sh
(0.000058) Penurunan Daya
Saing
6210.10 Garments made up of fabrics of
56.0
0.000001 Berdaya Saing
9403.60 Furniture 0.000038 Berdaya Saing
3923.21 Sacks & bags (incl. cones), of
poly
(0.000006) Penurunan Daya
Saing
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Tabel 7.1 di atas belum mampu memperlihatkan besarnya apa saja faktor
yang mempengaruhi perubahan nilai ekspor Indonesia ke pasar Jepang (atau nilai
Impor Jepang dari Indonesia). Dengan kata lain, belum adanya analisis
dekomposisi dari CMSA.
Secara teoritis, perubahan nilai Impor Jepang dari Indonesia memiliki tiga
komponen utama, yaitu:
1. Peningkatan impor Jepang secara keseluruhan atau peningkatan ekspor dunia
ke Jepang secara keseluruhan
2. Kompoisisi komoditas impor Jepang dari seluruh negara.
3. Sisanya yang tidak dapat dijelaskan merupakan efek daya saing yang
mengindikasikan perbedaan antara ekspor dunia aktual dengan peningkatan
secara hipotetis jika ekspor dunia dari masing-masing negara ke pasar Jepang
tersebut menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok komoditi.
168
Secara total, impor Jepang dari Indonesia mencapai US$ 28,1 miliar pada
tahun 2010, meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai US$ 26,5
miliar. Beberapa produk kita, seperti produk udang (HS 0306.13) mengalami
penurunan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007. Perubahan nilai
ekspor Indonesia ke pasar Jepang atau dalam hal ini ditunjukkan dengan data
impor Jepang dari Indonesia tersebut dapat dilakukan analisis dekomposisi
CMSAnya yang hasilnya dapat ditunjukkan pada Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Perubahan Nilai Impor Jepang dari Indonesia:
Analisis Dekomposisi CMSA (dalam ribu US$)
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Berdasarkan Tabel 7.2 dapat diilustrasikan analisis dekomposisi produk Ikan
(HS 0304.29). Peningkatan nilai impor produk ikan (HS 0304.29) Jepang dari
Indonesia pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 13,88
juta. Hasil peningkatan ini dapat didekomposisi menjadi sebesar US$ 2,6 juta
disebabkan oleh faktor peningkatan impor Jepang secara umum dari pasar dunia
dan faktor komposisi komoditas produk Ikan itu sendiri sebesar US$ 0,8 juta,
yaitu produk ini memiliki tingkat pertumbuhan impor Jepang yang lebih tinggi
dibandingkan tingkat pertumbuhan impor Jepang secara keseluruhan. Dengan kata
lain, pertumbuhan impor produk ini lebih besar dibandingkan dengan
pertumbuhan rata-rata impor Jepang dari pasar dunia. Di samping itu, disebabkan
Kode HS Description Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia
Peningkatan
Impor
Jepang dari
Dunia
Komposisi
Komoditas
Peningkatan
Daya Saing
Total
Perubahan
0304.29 Fish fillets&other fish
meat (excl.
2,589.27
844.68
10,446.69
13,880.64
0304.99 Fish fillets&other fish
meat (excl.
770.84
600.61
7,467.74
8,839.19
1804.00 Cocoa butter, fat & oil
362.85
(457.84)
4,467.40
4,372.41
0306.13 Shrimps & prawns,
whether/not in sh
39,370.99
284.54
(40,256.21)
(600.68)
6210.10 Garments made up of
fabrics of 56.0
1,144.91
2,822.86
681.52
4,649.29
9403.60 Furniture
10,554.32
1,521.44
27,003.01
39,078.77
3923.21 Sacks & bags (incl.
cones), of poly
12,809.58
(948.74)
(4,187.22)
7,673.63
169
juga oleh faktor daya saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 10,4
juta.
Selain itu, penurunan impor Jepang dari Indonesia pada tahun 2010
dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 600,68 ribu untuk produk Udang
Indonesia (HS 03061.3). Hasil penurunan ekspor ini dapat didekomposisi
menjadi sebagai berikut:
1. Seharusnya impor Jepang dari Indonesia meningkat sebesar US$ 39,4 juta jika
produk ini tumbuh sebesar angka peningkatan impor Jepang secara umum dari
pasar dunia.
2. Seharusnya terjadi peningkatan impor Jepang dari Indonesia karena produk ini
sendiri di pasar Jepang mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan
tingkat rata-rata impor Jepang dari pasar dunia sebesar US$ 0,28 juta.
3. Penurunan ini juga bagian terbesarnya disebabkan oleh menurunnya daya
saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 40,26 juta.
Gambaran analisis perubahan impor Jepang dari Indonesia tersebut juga
dapat ditunjukkan dengan %tase kontribusi daya saing terhadap perubahan impor
Jepang dari pasar dunia sebagaimana yang diperlihatkan dalam Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Persentase Kontribusi Setiap Faktor terhadap Perubahan Nilai Impor
Jepang dari Indonesia: Analisis Dekomposisi CMSA (dalam %)
Kode HS Description Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia (%)
Peningkatan
Impor
Jepang dari
Dunia
Komposisi
Komoditas
Peningkatan
Daya Saing
Total
Perubahan
0304.29 Fish fillets&other fish
meat (excl.
18.65
%
6.09 % 75.26 % 100.0
0 %
0304.99 Fish fillets&other fish
meat (excl.
8.72
%
6.79 % 84.48 % 100.0
0 %
1804.00 Cocoa butter, fat &
oil
8.30
%
-10.47
%
102.17 % 100.0
0 %
0306.13 Shrimps & prawns,
whether/not in sh
6554.
44 %
47.37
%
-6701.81 % -
100.00 %
6210.10 Garments made up of
fabrics of 56.0
24.63
%
60.72
%
14.66 % 100.0
0 %
9403.60 Furniture 27.01
%
3.89 % 69.10 % 100.0
0 %
3923.21 Sacks & bags (incl.
cones), of poly
166.9
3 %
-12.36
%
-54.57 % 100.0
0 %
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
170
Tingkat persaingan produk Indonesia di pasar Jepang dan negara lainnya
belum mampu diperlihatkan dari perhitungan dekomposisi CMSA. Dengan dasar
pertimbangan tersebut, maka dilakukan perhitungan nilai indeks konsentrasi pasar
produk Indonesia di pasar Jepang. Berdasarkan perhitungan nilai Indeks
Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dapat diperoleh ilustrasi tentang
tingkat persaingan yang dihadapi Indonesia terhadap produk yang sama dan
berasal dari negara lainnya. Peningkatan dan penurunan pangsa produk Indonesia
di pasar Jepang tersebut dapat memberikan indikasi awal tentang posisi Indonesia.
Hasil perhitungan IKP dan pangsa pasar produk Indonesia tersebut dapat
ditunjukkan pada Tabel 7.4.
Tabel 7.4 Nilai Indeks Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dan
Pangsa Pasar Produk Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2007 dan 2010
HS DESCRIPTION
NILAI IKP SHARE INDONESIA
2007 2010 2007 2010
0304.29 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.300 0.337 0.03 % 0.06 %
0304.99 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.443 0.412 0.01 % 0.03 %
1804.00 Cocoa butter, fat & oil 0.517 0.587 0.07 % 0.41 %
0306.13 Shrimps & prawns, whether/not in sh 0.353 0.359 3.99 % 3.21 %
6210.10 Garments made up of fabrics of 56.0 0.771 0.772 3.01 % 3.31 %
9403.60 Furniture 0.532 0.513 8.37 % 10.51 %
3923.21 Sacks & bags (incl. cones), of poly 0.597 0.596 1.46 % 1.36 %
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)
Semakin tinggi nilai IKP, maka semakin besar konsentrasi negara tertentu di
pasar Jepang serta sebaliknya. Produk Ikan Indonesia (HS 0304.29), sebagai
ilustrasi memperlihatkan nilai IKP produk impor di pasar Jepang semakin besar
sehingga semakin terkonsentrasi impor Jepang untuk produk ini pada negara
tertentu. Konsentrasi semakin tinggi ini relatif dimanfaatkan oleh Indonesia
karena adanya peningkatan pangsa pasar produk Indonesia untuk komoditas ini di
pasar Jepang dari 0,03 % menjadi 0,06 %.
171
7.2 Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Analisis Regresi
Profit Cost Margin (PCM)
Tujuan dari subbab ini adalah menganalisis kinerja industri Manufaktur di
Indonesia selama periode 2006-2009 baik secara keseluruhan dan sepuluh industri
Manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010. Pembahasan akan
memfokuskan pada lima industri Manufaktur yang menjadi fokus studi, yakni
1512-industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya;
1543-industri Cokelat dan Kembang Gula; 2520-industri Barang dari Plastik;
3610-industri Furnitur; dan 1810-industri Pakaian Jadi dan Perlengkapannya,
kecuali Pakaian Jadi Berbulu. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan
ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data
panel dengan software Eviews 5.1. Kinerja industri Manufaktur sendiri
dicerminkan oleh variabel nilai tambah (XEF) sebagai variabel endogen dengan
variabel eksogennya adalah jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L),
pengeluaran untuk bahan baku dan penolong lokal (PBBL), pengeluaran untuk
bahan baku penolong impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar
minyak (BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O).
7.2.1 Analisis Kinerja Industri Manufaktur Indonesia
Berdasarkan hasil pengujian Chow yang digunakan untuk menentukan
metode regresi data panel yang paling tepat di antara metode regresi data
panel dengan Fixed Effect Model (FEM) dan Common Pooled Least
Square (OLS) terhadap keseluruhan industri manufaktur Indonesia (126
industri) selama periode 2006-2009, ternyata didapatkan bahwa nilai F-
hitung (65,8) lebih besar dibandingkan dengan nilai F-tabel (2,44)
sehingga metode yang paling tepat untuk mengukur kinerja industri
Manufaktur Indonesia secara keseluruhan adalah Fixed Effect Model
dengan intersep tidak sama dan slope koefisien tetap.
8.65)8126481/()46555.17(
9/)46555.1729527.47(
)/(
/
knRSS
mRSSRSShitungF
UR
URR
F-tabel (α = 1 %) = 2,44; F-tabel (α = 5 %) = 1,90 (df: N1 = 9; N2 = 347)
172
Sementara itu, hasil pengujian Hausman yang digunakan untuk
menentukan metode yang lebih tepat antara FEM dengan Random Effect
menemukan bahwa FEM dianggap lebih cocok untuk mengestimasi data
panel kinerja industri Manufaktur di mana probabilita pengujiannya
mendekati nol dengan nilai Chi-Squares Statistik sebesar 61,3 (Tabel 5.8).
Oleh karena itu, metode regresi data panel dengan FEM dianggap paling
tepat menurut hasil pengujian Chow dan Hausman.
Tabel 7.5 Hasil Pengujian Hausman terhadap Model Kinerja Industri
Manufaktur Indonesia
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: POOL1
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 61.314257 7 0.0000
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
LOG(N?) -0.241144 0.000866 0.007442 0.0050
LOG(L?) 0.231968 0.085837 0.002516 0.0036
LOG(PBBL?) -0.236608 -0.226536 0.000316 0.5711
LOG(PBBI?) -0.105336 -0.044212 0.000106 0.0000
LOG(BBM?) -0.057380 -0.040556 0.000251 0.2881
LOG(BBL?) -0.082219 -0.062308 0.000205 0.1642
LOG(O?) 1.311020 1.297471 0.000778 0.6272
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Panel Least Squares
Date: 11/02/11 Time: 12:04
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 126
Total pool (unbalanced) observations: 481
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.505002 0.589082 0.857270 0.3919
LOG(N?) -0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087
LOG(L?) 0.231968 0.061349 3.781118 0.0002
173
LOG(PBBL?) -0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000
LOG(PBBI?) -0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000
LOG(BBM?) -0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172
LOG(BBL?) -0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005
LOG(O?) 1.311020 0.044175 29.67770 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924
Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385
S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255
Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913
Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699
Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006 - 2009, BPS
(diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
Guna memenuhi asumsi model regresi linear klasik (OLS), maka terhadap
hasil estimasi data dengan metode FEM dilakukan pengujian
heteroskedastisitas dan otokorelasi. Untuk pengujian masalah otokorelasi
dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dengan membandingkan nilai
Durbin-Watson statistik yang diperoleh dari hasil regresi (2,416417)
dengan nilai Durbin-Watson tabel (dL = 1,82488 ; dU= 1,87548; k = 7;
dan n = 481 ) pada tingkat signifikansi 5 % didapat kesimpulan bahwa
terdapat masalah otokorelasi negatif. Upaya mengatasi masalah
otokorelasi negatif telah dilakukan dengan mengupayakan baik cross-
section weights maupun period-section weights akan tetapi tidak dapat
mengatasi masalah yang ada.
Tabel 7.6. Kriteria Pengujian Durbin-Watson
Keputusan Hipotesis
Nol
Jika
Ada otokorelasi positif Tolak 0<d<dL
Tidak ada keputusan Tidak jelas dL d dU
Ada otokorelasi negatif Tolak 4 – dL d 4
Tidak ada keputusan Tidak jelas 4 – dU d 4 –dL
Tidak ada otokorelasi, positif atau negatif Tidak
ditolak
dU<d<4-dU
Sumber: Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics 4th Ed., New York: McGraw-Hill.
Inc, pp. 470
174
1.
2.
0 1,82488 1,87548 2.12452 2.17512 4
Gambar 7.3 Hasil Pengujian Masalah Otokorelasi dengan Metode Durbin
Watson terhadap Fixed Effect Model
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja industri Manufaktur Indonesia
periode 2006-2009 dengan metode FEM yang tercantum dalam Tabel 5.9
dapat diketahui bahwa variabel intersep tidak berpengaruh secara nyata,
sementara variabel jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L),
pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk bahan
baku impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak
(BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O)
berpengaruh nyata.
Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan dengan
asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan intersep antar
cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa dipengaruhi oleh
variabel-variabel independen dalam model regresi nilai tambah setiap
industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep tersebut
menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia ini memiliki
perbedaan dalam pola dan struktur. Nilai tambah untuk industri Pakaian
Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian Jadi Berbulu (1810)
merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan industri manufaktur
lainnya dengan nilai 1,241651 % Industri Barang dari Plastik (2520) dan
industri Furnitur (3610) memiliki nilai tambah yang tergolong tinggi juga
dengan nilai masing-masing sebesar 1,101009 % dan 1,030155 %.
Sementara nilai tambah industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan
Biota Perairan Lainnya (1512) dan industri Cokelat dan Kembang Gula
(1543) tergolong rendah dengan nilai kurang dari satu %, yakni 0,461358
H0 tidak ditolak
(tidak ada otokorelasi)
H0 ditolak
otokorelasi (+)
H0 ditolak
otokorelasi (-)
Ragu-
ragu
Ragu-
ragu
175
% dan 0,129368 %.Rendahnya nilai tambah berarti industri manufaktur
tersebut masih menghasilkan nilai tambah yang rendah.
Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh
negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Ini
mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah perusahaan belum tentu
meningkatkan nilai tambah industri Manufaktur Indonesia, malah justru
menurunkan nilai tambah. Hal ini karena adanya kemungkinan industri-
industri yang diteliti belum efisien dalam operasionalnya. Industri cokelat
dan kembang gula, khususnya industri pengolahan kakao dapat dinilai
sebagai salah satu contoh industri yang masih belum efisien karena harus
menghadapi persaingan dengan industri sejenis yang berasal dari luar
negeri.
Jumlah tenaga kerja (L) berpengaruh positif terhadap nilai tambah, di
mana ketika jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan maka semakin
meningkat nilai tambah industri Manufaktur. Hal ini mengindikasikan
bahwa industri Manufaktur Indonesia merupakan industri padat karya
yang lebih mengandalkan tenaga kerja dibandingkan dengan modal dan
penguasaan teknologi. Pengaruh yang kuat dari tenaga kerja sektor industri
manufaktur terhadap nilai tambah industri manufaktur di Indonesia
menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata (APL) dan produk marjinal
tenaga kerja (marginal product of labor, MPL) dalam sektor industri
Manufaktur di Indonesia cukup tinggi.
Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan impor (PBBI)
berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur. Ketika
pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai
tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar
makin tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) akan
memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai tambah.
Meskipun demikian, ketersediaan bahan baku lokal berperan penting
dalam menjaga stabilitas harga bahan baku dan keuntungan industri.
176
Pengaruh negatif bahan baku impor terhadap nilai tambah industri
Manufaktur di Indonesia berarti makin tingginya penggunaan bahan baku
impor semakin mendorong penurunan nilai tambah industri Manufaktur.
Peningkatan nilai input bahan lokal dan impor akan menurunkan PCM dan
nilai tambah. Implikasinya adalah dengan turunnya harga barang impor
jika barang tersebut diimpor dari Jepang maka akan menguntungkan
industri tersebut karena menerima penurunan tarif bea masuk IJ-EPA.
Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik
(BBL) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur
Indonesia. Dengan makin besarnya pengeluaran untuk pemakaian BBM
dan listrik, semakin besar pula komposisi biaya input dan pada akhirnya
semakin rendah nilai tambah.
Nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah industri Manufaktur
Indonesia. Semakin besar kenaikan output, maka ada kecenderungan nilai
tambah meningkat. Dengan kata lain, peningkatan produksi tanpa
peningkatan biaya tetap masih menguntungkan mengingat penambahan
ternaga kerja masih memiliki dampak positif terhadap industri manufaktur
Indonesia.
Tabel 7.7 Hasil Estimasi Kinerja Industri Manufaktur Indonesia
Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 11/02/11 Time: 11:20
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 126
Total pool (unbalanced) observations: 481
Cross sections without valid observations dropped
Variable
Coeffi
cient Std. Error t-Statistic Prob.
C
0.5050
02 0.589082 0.857270 0.3919
LOG(N?)
-
0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087
LOG(L?)
0.2319
68 0.061349 3.781118 0.0002
LOG(PBBL?)
-
0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000
177
LOG(PBBI?)
-
0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000
LOG(BBM?)
-
0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172
LOG(BBL?)
-
0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005
LOG(O?)
1.3110
20 0.044175 29.67770 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924
Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385
S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255
Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913
Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699
Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000
Industri Fixed Effect Cross
1810 - Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian JadiBerbulu
0.736649
2520 - Barang dari Plastik 0.596007
3610 - Furnitur 0.525153
1512 -Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya -0.043644
1543 -Cokelat dan Kembang Gula -0.375634
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska
Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
7.2.2 Analisis Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor
Terbesar di Indonesia
Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja sepuluh industri Manufaktur
Indonesia dengan nilai impor terbesar periode 2006-2009 dengan metode
FEM yang tercantum dalam Tabel 5.10 dapat diketahui bahwa variabel
intersep, jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pemakaian bahan
bakar minyak (BBM), dan pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL)
tidak berpengaruh secara signifikan. Sementara variabel jumlah tenaga
kerja (L), pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk
178
bahan baku impor (PBBI), dan nilai output (O) berpengaruh secara
signifikan.
Kelima industri manufaktur yang menjadi fokus kajian tidak tergolong ke
dalam sepuluh industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun
2010. Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan
dengan asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan
intersep antar cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa
dipengaruhi oleh variabel-variabel independen dalam model regresi nilai
tambah setiap industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep
tersebut menunjukkan bahwa ke-10 industri ini memiliki perbedaan dalam
pola dan struktur. Industri Kimia Dasar, kecuali Pupuk (2411), industri
Perlengkapan dan Komponen Kendaraan Bermotor Roda Empat atau
Lebih (3430), industri Logam Dasar Besi dan Baja (2710), dan industri
Logam Dasar Bukan Besi (2720) tergolong ke dalam industri manufaktur
yang berpengaruh positif terhadap nilai tambah. Sementara industri Plastik
dan Karet Buatan (2413), industri Transmisi Mekanik selain Kendaraan
Bermotor (2913), industri Pompa dan Kompresor (2912), industri
Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih (3410), industri Mesin-
mesin Khusus Lainnya (2929), dan industri Mesin-mesin untuk
Pertambangan, Penggalian, dan Konstruksi (2924) berpengaruh negative
terhadap nilai tambah.
179
Tabel 7.8 Hasil Estimasi Kinerja 10 Industri Manufaktur Indonesia dengan
Nilai Impor Terbesar Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 10/07/11 Time: 12:36
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.087107 2.826384 -0.030819 0.9757
LOG(N?) -0.381470 0.349716 -1.090799 0.2867
LOG(L?) 0.370020 0.215807 1.714587 0.0999
LOG(PBBL?) -0.275606 0.104581 -2.635341 0.0148
LOG(PBBI?) -0.288138 0.105236 -2.738013 0.0117
LOG(BBM?) -0.026176 0.095268 -0.274760 0.7860
LOG(BBL?) -0.157124 0.094382 -1.664770 0.1095
LOG(O?) 1.550411 0.252194 6.147685 0.0000
Fixed Effects
(Cross)
2411_--C 0.696105
2413_--C -0.031298
2710_--C 0.179862
2720_--C 0.125058
2912_--C -0.118440
2913_--C -0.078723
2924_--C -0.542604
2929_--C -0.434376
3410_--C -0.315682
3430_--C 0.520098
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.992991 Mean dependent var 21.85146
Adjusted R-squared 0.988116 S.D. dependent var 1.935203
S.E. of regression 0.210965 Akaike info criterion 0.022368
Sum squared resid 1.023646 Schwarz criterion 0.740142
Log likelihood 16.55264 F-statistic 203.6673
Durbin-Watson stat 2.158449 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh
Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)
180
Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh
negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Tambahan
nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit tenaga kerja lebih besar
daripada tambahan nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit
input (faktor produksi) lainnya. Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan
impor (PBBI) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur.
Ketika pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai
tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar makin
tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan penggunaan bahan baku
impor (PBBI) akan memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai
tambah. Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik
(BBL) berpengaruh negatif juga terhadap nilai tambah industri Manufaktur
Indonesia. Sementara itu, milai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah
industri Manufaktur Indonesia.
7.3 Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia
Merujuk pada hasil analisis EPD, indeks CMSA, IKP, dan analisis regresi
PCM, maka beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guna meningkatkan
daya saing produk manufaktur Indonesia khususnya di pasar Jepang adalah untuk
produk ikan Indonesia (HS030429 dan HS 030499) di pasar Jepang yang
memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif dan
mempunyai kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap produk
perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk produk ini,
maka strategi yang dapat dikembangkan adalah mempertahankan posisi pasar
Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang (terutama HS 030429) bahkan
meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS 030499). Kondisi ini dapat tercapai
dengan peningkatan standar mutu produk ekspor perikanan agar sesuai dengan
standard internasional yang berlaku.
Untuk produk Kakao Indonesia (HS 180400) di pasar Jepang yang
mempunyai kecenderungan terjadinya penurunan permintaan Jepang terhadap
produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan impor
181
kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan total
impornya, strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara
tujuan ekspor karena adanya kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang
terhadap kakao.
Untuk produk Udang (HS 030613), strategi yang harus kita kembangkan
untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas pada sektor hulu budidaya dan
penangkapan udang serta memperketat kepatuhan pada standar ekspor udang yang
sangat rigid seperti diatur dalam GAP Standard.
Adapun untuk produk Garmen (HS 621010), Indonesia harus mempertahankan
trend peningkatan daya saing, peningkatan nilai ekspor, peningkatan konsentrasi
pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus peningkatan market share untuk
produk ini.
Strategi yang dapat dilakukan untuk produk furnitur (HS 940360) adalah dengan
perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar Jepang
untuk mempertahankan konsentrasi pasar yang telah baik pada produk ini.
Untuk produk plastik (HS 392321), strategi untuk komoditas ini dilakukan
dua hal secara sekaligus yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk
Indonesia serta melakukan diversifikasi pasar untuk produk ini. Untuk lebih detil
dapat dilihat pada tabel 7.9 berikut ini.
182
Tabel 7.9 Matriks Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia Produk EPD CMSA IKP Pangsa Pasar
Indonesia di Jepang
Anali
sis PCM
Strategi
Sebelum IJ-
EPA
Setelah
IJ-EPA
2007 2010 2007 2010
Produk Furnitur Retreat Retreat Berdaya saing 0.532 0.513 8.37 % 10.51 % 1.030155 Perbaikan kualitas dan peningkatan
intensitas ekspor Indonesia ke pasar
Jepang untuk mempertahankan
konsentrasi pasar yang telah baik pada
produk ini.
Produk Pakaian
Jadi
Falling Retreat Berdaya saing 0.771 0.772 3.01 % 3.31 % 1.241651 Mempertahankan trend seperti ini akan
memberikan dampak yang positif bagi
perkembangan ekspor produk ini di pasar
Jepang.
Produk Barang
dari Plastik
Retreat Retreat Penurunan daya
saing
0.597 0.596 1.46 % 1.36 %
1.101009
1. Peningkatan kualitas dan daya saing
produk Barang dari Plastik Indonesia
2. Diversifikasi pasar untuk produk
Barang dari Plastik
Produk Ikan
(HS 0304.29)
Falling Falling Berdaya saing 0.337 0.300 0.03 % 0.06 % 0.461358 1. Perlunya mempertahankan ekspor
produk Ikan (HS. 0304.29) Indonesia
di pasar Jepang.
2. Industri Pengolahan dan Pengawetan
Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang
memproduksi produk Ikan (HS.
0304.29) perlu meningkatkan standar
mutu produk ekspor sesuai dengan
standar internasional yang berlaku,
khususnya di pasar Jepang.
3. Perlunya mengembangkan industri
Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan
183
Biota Perairan Lainnya yang memiliki
nilai tambah yang lebih tinggi.
Produk Ikan
(HS 0304.99)
Rising Falling Berdaya saing 0.412 0.443 0.01 % 0.03 % 0.461358 1. Meningkatkan ekspor produk Ikan
(HS. 0304.99) Indonesia di pasar
Jepang, dengan diiringi peningkatan
standar mutu produk ekspor sesuai
dengan standar internasional yang
berlaku, khususnya di pasar Jepang.
2. Peningkatan fasilitas/infrastruktur dan
teknologi penangkapan ikan.
3. Perlunya mengembangkan industri
Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan
Biota Perairan Lainnya yang memiliki
nilai tambah yang lebih tinggi.
Produk Kakao
Olahan
Lost
opportunities
Retreat Berdaya saing 0.517 0.587 0.07 % 0.41 % 0.129368 1. Perlunya pengembangan Industri
pengolahan kakao di dalam negeri
yang memiliki nilai tambah tinggi.
2. Perlunya diversifikasi pasar tujuan
ekspor produk kakao olahan selain
Jepang.
Produk Udang Retreat Retreat Penurunan daya
saing
0.353 0.359 3.99 % 3.21 %
0.461358 1. Peningkatan produktivitas pada sektor
hulu budidaya dan penangkapan udang
2. Memperketat kepatuhan pada standar
ekspor udang di pasar Jepang.
184
BAB VIII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan JI-EPA
a. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA sebagai salah
satu kelengkapan dokumen dalam mengalami peningkatan setiap tahunnya
selama periode 2008-2010. Produk plastik dan barang plastik, ikan dan
udang, dan kayu adalah beberapa produk yang dominan dalam
pemanfaatan SKA Form IJ-EPA. Seiring dengan makin tingginya
pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, semakin tinggi pula ekspor Indonesia ke
Jepang. Ditinjau dari sisi impor, pemanfaatan Certificate of Origin (COO)
Form JI-EPA dan nilai impor dari Jepang pasca diberlakukannya
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sejak 1 Juli 2008 mengalami
peningkatan yang sangat drastis. Impor Indonesia dari Jepang yang
menggunakan Form JI-EPA didominasi oleh produk mesin-mesin/pesawat
mekanik, kendaraan dan bagiannya, mesin/ peralatan listrik, besi dan baja,
karet dan barang dari karet, dan benda-benda dari besi baja. Gempa bumi
dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 tidak berdampak
signifikan pada ekspor Indonesia ke Jepang
b. Dari hasil temuan lapangan dan Focus Group Discussion (FGD) di
berbagai daerah, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di beberapa daerah telah
menunjukkan kinerja yang optimal. Ketidakoptimalan yang terjadi di
beberapa daerah lainnya dikarenakan masih adanya penggunaan Form A
dalam ekspor ke Jepang. Prosedur dan jangka waktu penerbitan SKA
Form IJ-EPA, baik di Instansi Penerbit SKA (IPSKA) yang telah otomasi
maupun sedang dalam proses otomasi, telah seragam. Namun, tidak
demikian halnya dalam biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA yang masih
beragam di beberapa daerah. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan
185
utama yang dihadapi oleh para eksportir dalam proses penerbitan SKA
Form IJ-EPA, antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang
terdapat di berbagai IPSKA, keenganan pencantuman struktur biaya dalam
SKA Form IJ-EPA, pemilihan kode HS yang sesuai, dan kurangnya
sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA.
c. Berdasarkan hasil studi banding dengan Jepang sebagai negara mitra
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, kinerja ekspor dan impor Jepang-
Indonesia mengalami perkembangan Meskipun terdapat kecenderungan
penurunan dalam ekspor Jepang ke Indonesia pasca IJ-EPA, ekspor Jepang
ke Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan untuk beberapa produk
tertentu seperti produk mesin, elektronik, dan otomotif. Di sisi impor,
beberapa komoditi beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia
setelah diimplementasikannya IJ-EPA pada umumnya mengalami
penurunan dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan
impor Jepang dari Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur, Barang
dari Plastik, Tekstil, Ikan dan Krustasea, Udang. Impor Kakao Jepang dari
Indonesia justru mengalami kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA.
Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011
berdampak terhadap ekspor Jepang ke Indonesia yang menurun, terutama
ekspor produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Sementara dari sisi
impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan produk Makanan akibat bencana
yang melanda Jepang impor produk Makanan dari Indonesia mengalami
peningkatan. Dalam halnya pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA, rata-rata
perbedaan tarif preferensi JI-EPA cenderung rendah, khususnya produk
Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang. Sedangkan perbedaan tarif
preferensi JI-EPA yang cukup tinggi terjadi untuk produk Kakao, Ikan dan
Krustasea, dan Tekstil dan Produk Tekstil. Adapun permasalahan yang
dihadapi oleh pihak Jepang dalam memverifikasi SKA Form IJ-EPA yang
berasal dari Indonesia adalah keterlambatan notifikasi perubahan spesimen
tanda tangan dan stempel dan perbedaan uraian barang serta kode
klasifikasi HS.
186
d. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah negara-
negara yang memiliki kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral
dengan Jepang. Berdasarkan perbandingan antara Malaysia-Japan
Economic Partnership Agreement (MJEPA) dan Japan-Thailand Economic
Partnership Agreement (JTEPA) dengan kesepakatan perdagangan bebas
IJ-EPA, terdapat beberapa hal yang membedakan kedua kesepakatan
perdagangan tersebut dengan IJ-EPA, yakni cakupan unsur dalam
kesepakatan perdagangan bebas, jangka waktu impelementasi konsensi
tarif, kuota, dan fleksibilitas produk sensitif. Dibandingkan dengan
Malaysia dan Thailand, Indonesia memiliki kesamaan dalam beberapa
ekspor produk ke Jepang, yakni produk Ikan dan Udang. Dari sisi impor,
Thailand dan Malaysia sebagai basis produksi otomotif di pasar ASEAN
seperti halnya Indonesia mengimpor bagian-bagian kendaraan otomotif
dan produk otomotif dari Jepang.
e. Sosialisasi, seminar, penyebaran brosur dan pamflet, dan publikasi melalui
link tertentu dalam situs website instansi-instansi yang terkait dengan
pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral
merupakan metode penyebarluasan informasi yang dilaksanakan, baik oleh
pemerintah Jepang, Malaysia maupun Thailand, guna meningkatkan
efektivitas pemanfaatan SKA dan tarif preferensi.
2. Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA
terhadap Daya Saing Produk Manufaktur
a. Berdasarkan hasil perhitungan Constant Market Share Analysis (CMSA)
terhadap produk manufaktur Indonesia dapat disimpulkan bahwa produk
ikan, kakao olahan, garmen, dan furnitur adalah produk yang berdaya
saing di pasar Jepang pasca diimplementasikannya kesepakatan
perdagangan bebas IJ-EPA. Besarnya perubahan ekspor produk ikan,
kakao olahan, dan furnitur Indonesia ke Jepang lebih didorong oleh
peningkatan daya saing, sedangkan komposisi komoditas dominan
mendorong perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk produk garmen.
Sementara produk udang dan barang dari plastik tergolong ke dalam
187
produk yang tidak berdaya saing pasca diimplementasikannya IJ-EPA.
Turunnya daya saing produk udang lebih disebabkan oleh anjloknya daya
saing, sedangkan besaran perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk
produk barang dari plastik diakibatkan oleh adanya peningkatan impor
Jepang dari dunia.
b. Hasil analisis Export Product Dynamics (EPD) yang disandingkan dengan
hasil perhitungan EPD menunjukkan bahwa daya saing produk ikan (HS
030429) sebelum dan sesudah IJ-EPA dapat dikategorikan ke dalam
falling-rising, sedangkan untuk (HS 030499) rising-falling. Untuk produk
kakao olahan (HS 180400), daya saing sebelum adanya kesepakatan IJ-
EPA menunjukkan lost-opportunities, sedangkan pasca IJEPA menjadi
retreat. Untuk produk furnitur (HS 940360), baik sebelum maupun
sesudah IJEPA, posisi daya saingnya adalah retreat. Terhadap produk
yang tidak berdaya saing berdasarkan hasil perhitungan CMSA, produk
garmen memiliki kategori falling-retreat untuk daya saing sebelum dan
setelah IJ-EPA dan kategori retreat-retreat untuk produk barang dari
plastik.
c. Pasca diberlakukannya kesepakatan IJ-EPA, produk ikan (HS 030429),
kakao olahan (HS 180400), udang (HS 030613), dan garmen (HS 621010)
semakin terkonsentrasi di pasar Jepang. Hal ini dapat terlihat dari semakin
tingginya nilai indeks konsentrasi Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) dan
pangsa pasar ekspor produk Indonesia di pasar Jepang dari keempat
produk tersebut. Untuk produk barang dari plastik, nilai IKP dan pangsa
pasarnya di pasar Jepang semakin rendah pasca pemberlakuan IJ-EPA. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa semakin tersebarnya impor Jepang untuk
kedua produk tersebut. Meskipun pangsa pasar produk ikan (HS 030499)
dan furnitur (HS 940360) mengalami kenaikan setelah adanya kesepakatan
IJ-EPA, namun nilai IKP menunjukkan penurunan dibandingkan dengan
sebelum adanya IJ-EPA.
d. Berdasarkan hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama
periode 2006-2009, baik secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh
188
industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010,
menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja, pengeluaran untuk
bahan baku lokal, pengeluaran untuk bahan baku impor, dan nilai output
berpengaruh signifikan terhadap nilai tambah industri manufaktur,
sedangkan variabel intersep tidak berpengaruh secara signifikan.
Sementara variabel jumlah perusahaan, pengeluaran untuk pemakaian
bahan bakar minyak, dan pengeluaran untuk pemakaian listrik
berpengaruh secara signifikan terhadao kinerja industri manufaktur
Indonesia (126 industri), sedangkan dalam hasil estimasi kinerja 10
industri manufaktur dengan nilai impor terbesar di Indonesia variabel-
variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Baik berdasarkan
hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama periode
2006-2009 secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh industri
manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010, variabel-variabel
yang berpengaruh negatif terhadap kinerja industri manufaktur antara lain
jumlah perusahaan, pengeluaran untuk bahan baku lokal, pengeluaran
untuk bahan baku impor, pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar
minyak, pengeluaran untuk pemakaian listrik, Sementara variabel jumlah
tenaga kerja dan nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah
industri manufaktur.
8.2 Rekomendasi
Terkait dengan pemanfaatan SKA IJ-EPA yang menemui kendala dalam
pengimplementasiannya di beberapa daerah di Indonesia, maka sosialisasi dan
seminar kepada stakeholders dibutuhkan, khususnya dalam pengimplementasian
kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA
dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA. Penyediaan link atau situs khusus untuk
mengedukasi dan menyebarluaskan informasi yang terintegrasi tentang
pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan
SKA Form IJ-EPA dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA sebagaimana yang
dilakukan oleh Jepang, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, peningkatan
189
kompetensi sumber daya manusia dan kapasitas fasilitas infrastruktur yang
memadai di berbagai instansi penerbit SKA guna mendukung proses penerbitan
SKA diperlukan.
Sementara itu, untuk daya saing beberapa produk industri manufaktur dapat
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Untuk produk ikan (HS030429 dan HS 030499) Indonesia di pasar Jepang
memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif . Selain
itu, terdapat pula kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap
produk perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk
produk ini. Strategi yang dikembangkan terhadap produk ini adalah
mempertahankan posisi pasar Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang
(terutama HS 030429) bahkan meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS
030499). Kondisi ini dapat tercapai dengan peningkatan standar mutu produk
ekspor perikanan agar sesuai dengan standard internasional yang berlaku.
2. Untuk produk kakao (HS 180400) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia relatif
tidak memiliki masalah terhadap daya saing untuk produk ini. Bahkan, nilai
ekspor kakao Indonesia meningkat ke pasar Jepang seiring adanya
peningkatan konsentrasi pasar produk kakao Indonesia ini di pasar Jepang.
Namun, terdapat kecenderungan penurunan permintaan Jepang terhadap
produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan
impor kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan total impornya. Fakta ini menunjukkan pentingnya bagi
Indonesia untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor karena adanya
kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang terhadap kakao.
3. Untuk produk udang (HS 030613) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia
merupakan salah satu negara utama pengekspor udang ke pasar Jepang.
Namun dalam periode 2007-2010, telah terjadi penurunan impor Jepang untuk
udang Indonesia seiring penurunan daya saing produk udang kita di pasar
Jepang. Permintaan Jepang untuk produk ini relatif tinggi, lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pertumbuhan impor Jepang untuk keseluruhan produk.
190
Pentingnya Indonesia sebagai pengekspor utama produk ini relatif terlihat
pada peningkatan konsentrasi pasar produk kita di pasar Jepang sekalipun
terjadi penurunan market share. Fakta ini menunjukan bahwa tingkat
persaingan produk udang di pasar Jepang semakin meningkat. Strategi yang
harus kita kembangkan untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas
pada sektor hulu budidaya dan penangkapan udang serta memperketat
kepatuhan pada standar ekspor udang yang sangat rigid seperti diatur dalam
GAP Standard.
4. Produk garmen (HS 621010) Indonesia di pasar Jepang relatif memiliki
kecenderungan yang positif. Terdapat peningkatan daya saing, nilai ekspor,
peningkatan konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus
peningkatan market share untuk produk ini. Mempertahankan trend seperti ini
akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekspor produk ini
di pasar Jepang.
5. Produk furniture (HS 940360) memberikan kecenderungan yang positif baik
dari sisi nilai ekspor, peningkatan market share, peningkatan permintaan
Jepang, serta daya saing produk ekspor Indonesia ini di pasar Jepang. Namun,
hasil perhitungan IKP memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan
konsentrasi pasar produk furniture Indonesia di pasar Jepang. Hal ini
mengindikasikan bahwa pemain furniture di pasar Jepang mengalami
peningkatan sehingga iklim pasar furniture semakin kompetitif. Strategi
perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar
Jepang untuk produk ini perlu dilakukan untuk mempertahankan konsentrasi
pasar yang telah baik pada produk ini.
6. Untuk produk plastik (HS 392321) Indonesia di pasar Jepang sekalipun
mengalami peningkatan ekspor pada periode 2007 – 2010, terdapat penurunan
daya saing produk Indonesia di pasar Jepang. Selain itu, permintaan Jepang
terhadap produk ini sendiri memiliki kecenderungan yang menurun
ditunjukkan dengan rendahnya pertumbuhan impor produk ini relatif
dibandingkan dengan pertumbuhan impor rata-rata Jepang untuk keseluruhan
191
produk. Penurunan daya saing produk Indonesia juga direfleksikan pada
penurunan market share dan tingkat konsentrasi pasar produk Indonesia di
pasar Jepang. Strategi untuk komoditas ini dilakukan dua hal secara sekaligus
yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk Indonesia serta melakukan
diversifikasi pasar untuk produk ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Sjamsul. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade
Setelah Krisis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. 2010. Statistik Industri Besar dan
Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009. Manado: Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Utara.
Balassa, Bela. 1961. The Theory of Economic Integration. Homewood: Richard
D. Irwin, Inc.
Bera, Soumitra Kumar. 7 Juni 2008. International Trade Modeling Indices &
Measurement Issues. Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No.
27890. Muenchen: MPRA. (diakses secara online melalui situs http:
//mpra.ub.uni-muenchen.de/27890/)
Dermoredjo, Saktyanu K., Wahida, dan Hutabarat, Budiman. 2007. Analisis
Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara Maju terhadap Produksi
Pertanian Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi
Rakyat” 2007. Penyunting: Kedi Suradisastra, Yusmichad Yusdja, Budiman
Hutabarat. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara, 2009, Komoditas
Potensial Ekspor Sulawesi Utara,Proyek Pengembangan Ekspor (P2E),
Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara.
Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation,
Ministry of States for National Development Planning/ The National
Development Planning Agency (Bappenas). 2009. Trade and Investment in
Indonesia: a Note on Competitiveness and Future Challenge. Jakarta:
Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation
Bappenas with Kemitraan/ Partnership.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.
Roadmap Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Laut. Jakarta:
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.
Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal
Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.
Roadmap Industri Furniture. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan
Kimia, Departemen Perindustrian.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Firdaus, Muhammad., et.al. 2008. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja
Industri Manufaktur Indonesia. Working Paper Series No. 04/A/III/2008.
Bogor: Department of Economics, Faculty of Economics and Management,
Bogor Agricultural University (IPB).
Gandolfo, Giancarlo. 1998. International Trade Theory and Policy. Berlin:
Springer-Verlag.
Gujarati, Damodar N. 2002. Basic Econometrics 4th
Edition. New York: McGraw-
Hill.
Haryadi, Oktaviani, Rina., Tambunan, Mangara., dan Achsani, Noer Azam. 2008.
Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian terhadap
Kinerja Ekonomi Negara Maju dan Berkembang. Makalah disampaikan
dalam Seminar Sekolah Pascasarjana IPB. (diakses secara online melalui
situs: http://haryadikamal.wordpress.com/2010/07/23/dampak-penghapusan-
hambatan-perdagangan-sektor-pertanian-terhadap-kinerja-ekonomi-negara-
maju-dan-berkembang/)
Indag Sulut 2010 dan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2010. List
Exporter of North Sulawesi. Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Sulawesi Utara (Indag Sulut).
Jovanović, Miroslaw N. 2006. The Economics of International Integration.
Northampton: Edward Elgar Publishing, Inc.
Juswanto, Wawan, dan Mulyanti, Puji. 2003. Indonesia’s Manufactured Exports:
A Constant Market Shares Analysis. Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 6
Nomor 2.
Kaesti, Atika Dwi. 2010. Analisis Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil
(TPT) di Indonesia Tahun 2000-2003 (Pendekatan Structure-Conduct-
Performance). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas
Diponegoro.
Krugman, Paul R. dan Obstfeld, Maurice. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan
Kebijakan, Edisi Kelima, Jilid 1. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Lindert, Peter H and Kindleberger, Charles P. 1986. International Economics, 8th
Edition. Homewood, IL: RD Irwin.
Masngudi. 2006. Diktat kuliah Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta:
Universitas Borobudur.
Putra, Elby Julian. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp
dan Kertas di Indonesia. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Soekarni, Hidayat, dan Suryanto. 2010. Peta Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol.18 Tahun 2010, Hal. 1-20. Jakarta: Pusat Penelitian
Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Sukirno, Sadono. Perdagangan Internasional. Wikipedia. Diakses secara online
melalui situs http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional
Suprihatini, Rohayati. Mei 2005. Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh
Dunia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 23 No. 1: 1-29. Bogor: Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian.
Suryawati. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan
Pakaian Jadi di Provinsi DIY. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol. 20 No.
1, April 2009, hal 35-46. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat STIE YKPN.
Tambunan, Tulus., Hakim, Lukman., dan Santosa, Budi. 1996. Daya Saing
Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas. Jakarta: Panitia
Dies Natalis ke-31 Usakti, Pusat Pengkajian Ekonomi Nasional dan
Perkotaan Usakti.
Tim Penulis Bank Indonesia. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015:
Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Editor: Arifin,
Sjamsul; Djaafara, Rizal A; Budiman, Aida S. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Urata, Shujiro and Kiyota, Kozo. August 2005. The Impacts of an East Asia FTA
on Foreign Trade in East Asia. International Trade in East Asia, NBER-East
Asia Seminar on Economics (Conference September 5-7), 2003, Volume 14.
Editors: Ito, Takatoshi., and Rose, Andrew K. Chicago: University of
Chicago Press. (diakses secara online melalui
http://www.nber.org/chapters/c0195)
Urata, Katsuhide and Urata, Shujiro. 2010. On the Use of FTAs by Japanese
Firms: Further Evidence. Business and Politics: Vol. 12 (1), Article 2.
Berkeley: Berkeley Electronic Press. (diakses secara online melalui situs:
http://www.bepress.com/bap/vol12/iss1/art2)
Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan
Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam
Indonesia.
Widyasanti, Amalia Adininggar. 2010. Perdagangan Bebas Regional dan Daya
Saing Ekspor: Kasus Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perdagangan
(BEMP) Volume 13 Nomor 1, Juli 2010. Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia.
Senin, 22 September 2008, Ekspor Ikan Utuh Dilonggarkan, Kompas.
(http://megapolitan.kompas.com/read/2008/09/22/00443495/Ekspor.Ikan.Utu
h.Dilonggarkan diakses pada 14 Oktober 2011)
Rabu, 19 Desember 2007, Nilai Ekspor Produk Perikanan Naik (http://
http://m.inilah.com/read/detail/4958/nilai-ekspor-produk-perikanan-naik/
diakses pada tanggal 13 Oktober 2011).
Lampiran 1. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Menurut Sektor, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro
dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 2. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Menurut Lokasi, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro
dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)
Menurut Negara Asal, Tahun 2006-2010 (Juta US$)
Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro
dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lampiran 4. Perbandingan Hasil Perhitungan antara Constant Market Share
Analysis (CMSA) dengan Export Product Dynamics (EPD)
X1 Nilai Impor Jepang dari Indonesia - WITS X4 Nilai Impor Jepang dari Dunia - WITS X7 Nilai Ekspor Indonesia ke DuniaX2 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia X5 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia X8 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke DuniaX3 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia (194 Komoditas) X6 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia (194 Komoditas) X9 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke Dunia (194 Komoditas)
NILAI CMSA KATEGORI SEBELUM SESUDAH X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 ISIC Rev.3Descriptions
030429 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.00001646 Berdaya Saing falling falling 36,773.76 0.14% 0.90% 1,510,973.28 0.24% 3.75% 197,011,890 0.12% 0.87% 7,503,270.39 0.11% 3.31% 1512 Processing and preserving of fish and fish products030499 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.00001127 Berdaya Saing rising falling 15,654.58 0.06% 0.38% 846,332.26 0.14% 2.10% 40,860,465 0.03% 0.18% 1,399,775.38 0.02% 0.62% 1512 Processing and preserving of fish and fish products030613 Shrimps & prawns, whether/not in sh (0.00006549) Tidak Berdaya Saing retreat retreat 347,499.64 1.28% 8.53% 1,940,218.06 0.31% 4.82% 790,572,834 0.50% 3.50% 8,065,367.60 0.12% 3.56% 1512 Processing and preserving of fish and fish products180400 Cocoa butter, fat & oil 0.00000834 Berdaya Saing lost retreat 7,580.57 0.03% 0.19% 118,568.68 0.02% 0.29% 236,808,094 0.15% 1.05% 2,268,039.63 0.03% 1.00% 1543 Manufacture of cocoa, chocolate and sugar confectionery
HS DESCRIPTIONImpor Dunia dari DuniaCMSA EPD Impor Jepang dr Indonesia Impor Jepang dr Dunia Ekspor Indonesia ke Dunia
Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan).
Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Model Kinerja
Industri Manufaktur Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 11/02/11 Time: 11:20
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 126
Total pool (unbalanced) observations: 481
Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.505002 0.589082 0.857270 0.3919
LOG(N?) -0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087
LOG(L?) 0.231968 0.061349 3.781118 0.0002
LOG(PBBL?) -0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000
LOG(PBBI?) -0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000
LOG(BBM?) -0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172
LOG(BBL?) -0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005
LOG(O?) 1.311020 0.044175 29.67770 0.0000
Fixed Effects (Cross)
1511_--C -0.121923 1722_--C -0.328038 2221_--C 0.342242 2620_--C -0.039299
1512_--C -0.043644 1723_--C -0.051958 2222_--C -0.101304 2631_--C -0.036231
1513_--C -0.344984 1729_--C 0.286680 2230_--C -0.350802 2632_--C 0.443319
1514_--C -0.042291 1730_--C 0.143589 2310_--C -0.760511 2641_--C 0.674465
1521_--C -0.297565 1740_--C -1.263897 2320_--C 0.372853 2642_--C 0.203391
1531_--C -0.601677 1810_--C 0.736649 2411_--C 0.623800 2650_--C 0.526248
1532_--C -0.459229 1820_--C -1.118884 2412_--C 0.332253 2660_--C -0.416740
1533_--C 0.044903 1911_--C -0.178367 2413_--C 0.017890 2690_--C -0.049255
1541_--C 0.326151 1912_--C 0.391618 2421_--C 0.078443 2710_--C 0.127659
1542_--C 0.194195 1920_--C -0.055894 2422_--C 0.192628 2720_--C 0.190688
1543_--C -0.375634 2010_--C 0.252323 2423_--C 0.295877 2731_--C 0.293389
1544_--C -0.401873 2021_--C 0.097696 2424_--C 0.475251 2732_--C -0.039559
1549_--C 0.612015 2022_--C 0.295404 2429_--C 0.367073 2811_--C 0.453679
1551_--C 0.064570 2023_--C -0.411272 2430_--C 0.101491 2812_--C 0.091252
1552_--C -0.134205 2029_--C 0.292434 2511_--C -0.257447 2891_--C 0.092113
1553_--C -0.077555 2101_--C 0.553131 2512_--C -0.268148 2892_--C 0.187603
1554_--C 0.500237 2102_--C 0.121094 2519_--C 0.056613 2893_--C 0.344003
1600_--C 0.629322 2109_--C 0.070268 2520_--C 0.596007 2899_--C 0.432420
1711_--C 0.549248 2211_--C 0.139714 2526_--C -2.057706 2911_--C 0.272618
1712_--C 0.451070 2212_--C 0.030850 2611_--C -0.208661 2912_--C -0.057007
1721_--C 0.201383 2219_--C 0.204290 2612_--C -0.176054 2913_--C 8.72E-05
2914_--C -0.466905 2930_--C 0.071863 3230_--C -0.232395 3520_--C -1.055082
2915_--C -0.344199 3000_--C -1.116154 3311_--C -0.276663 3530_--C -2.270410
2919_--C 0.044269 3110_--C -0.230828 3312_--C -0.245984 3591_--C 0.636851
2921_--C -0.461217 3120_--C -0.003397 3320_--C -0.555235 3592_--C -0.176149
2922_--C 0.230366 3130_--C -0.045945 3330_--C -0.346556 3610_--C 0.525153
2924_--C -0.315575 3140_--C 0.051608 3410_--C 0.166747 3691_--C -0.209731
2925_--C -0.235991 3150_--C 0.057270 3420_--C 0.166124 3692_--C -0.353589
2926_--C -0.368865 3190_--C 0.159107 3430_--C 0.499609 3693_--C -0.015410
2927_--C -0.682375 3210_--C 0.155899 3511_--C 0.403157 3694_--C 0.230457
2929_--C -0.187901 3220_--C -0.541960 3512_--C -1.196687 3699_--C 0.234889
3710_--C -0.443548
3720_--C -0.336496
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924
Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385
S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255
Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913
Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699
Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu
Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 6. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap
Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 11/02/11 Time: 11:21
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 126
Total pool (unbalanced) observations: 481
Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LOG(N?) 0.016088 0.023761 0.677085 0.4987
LOG(L?) 0.042183 0.029153 1.446966 0.1486
LOG(PBBL?) -0.233098 0.022972 -10.14700 0.0000
LOG(PBBI?) -0.021969 0.009017 -2.436232 0.0152
LOG(BBM?) -0.034826 0.016530 -2.106856 0.0357
LOG(BBL?) -0.026829 0.018547 -1.446520 0.1487
LOG(O?) 1.268563 0.032383 39.17377 0.0000
C -0.976418 0.225042 -4.338831 0.0000
R-squared 0.969904 Mean dependent var 21.14924
Adjusted R-squared 0.969458 S.D. dependent var 1.809385
S.E. of regression 0.316212 Akaike info criterion 0.551684
Sum squared resid 47.29527 Schwarz criterion 0.621137
Log likelihood -124.6801 F-statistic 2177.595
Durbin-Watson stat 1.037560 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu
Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 7. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Model Kinerja
Industri Manufaktur Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 11/02/11 Time: 12:03
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 126
Total pool (unbalanced) observations: 481
Swamy and Arora estimator of component variances
Cross sections without valid observations dropped
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LOG(N?) 0.000866 0.030333 0.028545 0.9772
LOG(L?) 0.085837 0.035325 2.429919 0.0155
LOG(PBBL?) -0.226536 0.023449 -9.660768 0.0000
LOG(PBBI?) -0.044212 0.010039 -4.403816 0.0000
LOG(BBM?) -0.040556 0.017988 -2.254587 0.0246
LOG(BBL?) -0.062308 0.018641 -3.342491 0.0009
LOG(O?) 1.297471 0.034250 37.88264 0.0000
C -0.931379 0.267656 -3.479761 0.0005 Random Effects
(Cross)
1511_--C 0.005597
1512_--C -0.289747
1513_--C -0.174193
1514_--C -0.210568
1521_--C -0.306374
1531_--C -0.575575
1532_--C -0.743277
1533_--C -0.196916
1541_--C 0.006533
1542_--C 0.118679
1543_--C -0.333475
1544_--C -0.376877
1549_--C -0.009457
1551_--C 0.180812
1552_--C 0.159345
1553_--C 0.261720
1554_--C 0.189606
1600_--C 0.183975
1711_--C 0.040421
1712_--C 0.035094
1721_--C -0.028909
1722_--C -0.057474
1723_--C 0.035411
1729_--C 0.048036
1730_--C -0.140562
1740_--C -0.497676
1810_--C 0.101750
1820_--C -0.154309
1911_--C -0.151166
1912_--C 0.089910
1920_--C -0.041305
2010_--C 0.043212
2021_--C 0.054470
2022_--C 0.069553
2023_--C -0.161078
2029_--C 0.071845
2101_--C 0.224288
2102_--C -0.092122
2109_--C 0.094977
2211_--C 0.081243
2212_--C 0.097885
2219_--C 0.097916
2221_--C 0.132514
2222_--C 0.224980
2230_--C 0.083157
2310_--C -0.142978
2320_--C 0.193119
2411_--C 0.104492
2412_--C 0.229176
2413_--C -0.067172
2421_--C 0.079778
2422_--C 0.038175
2423_--C -0.021376
2424_--C 0.267059
2429_--C 0.060888
2430_--C 0.173488
2511_--C -0.157191
2512_--C -0.259887
2519_--C -0.022233
2520_--C 0.018358
2526_--C -0.339489
2611_--C 0.036131
2612_--C -0.060801
2620_--C 0.008831
2631_--C 0.238598
2632_--C 0.029342
2641_--C 0.377368
2642_--C 0.001625
2650_--C 0.250787
2660_--C -0.117205
2690_--C 0.017585
2710_--C -0.139425
2720_--C -0.037921
2731_--C 0.273767
2732_--C 0.130062
2811_--C 0.131583
2812_--C 0.102119
2891_--C 0.015139
2892_--C 0.034065
2893_--C 0.142002
2899_--C 0.040416
2911_--C 0.187022
2912_--C 0.051182
2913_--C 0.130029
2914_--C 0.040137
2915_--C -0.116354
2919_--C 0.055722
2921_--C -0.203239
2922_--C 0.265791
2924_--C -0.089163
2925_--C 0.217618
2926_--C -0.088894
2927_--C 0.080962
2929_--C 0.093232
2930_--C 0.033364
3000_--C -0.303047
3110_--C -0.085383
3120_--C -0.007614
3130_--C -0.086878
3140_--C 0.102849
3150_--C 0.187352
3190_--C 0.274744
3210_--C 0.031080
3220_--C -0.108346
3230_--C -0.147321
3311_--C 0.012465
3312_--C 0.035887
3320_--C -0.113368
3330_--C 0.086184
3410_--C 0.346763
3420_--C 0.201713
3430_--C 0.153666
3511_--C 0.198788
3512_--C -0.125933
3520_--C -0.308448
3530_--C -0.619588
3591_--C 0.281363
3592_--C -0.032027
3610_--C 0.026716
3691_--C -0.255208
3692_--C -0.186349
3693_--C 0.035333
3694_--C 0.199899
3699_--C 0.027490
3710_--C -0.055451
3720_--C -0.244886 Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 0.208733 0.4647
Idiosyncratic random 0.224028 0.5353 Weighted Statistics
R-squared 0.933764 Mean dependent var 10.08864
Adjusted R-squared 0.932784 S.D. dependent var 0.913038
S.E. of regression 0.236714 Sum squared resid 26.50390
F-statistic 952.5978 Durbin-Watson stat 1.714160
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics
R-squared 0.968635 Mean dependent var 21.14924
Sum squared resid 49.28816 Durbin-Watson stat 0.921761
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu
Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Kinerja Sepuluh
Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 10/07/11 Time: 12:36
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.087107 2.826384 -0.030819 0.9757
LOG(N?) -0.381470 0.349716 -1.090799 0.2867
LOG(L?) 0.370020 0.215807 1.714587 0.0999
LOG(PBBL?) -0.275606 0.104581 -2.635341 0.0148
LOG(PBBI?) -0.288138 0.105236 -2.738013 0.0117
LOG(BBM?) -0.026176 0.095268 -0.274760 0.7860
LOG(BBL?) -0.157124 0.094382 -1.664770 0.1095
LOG(O?) 1.550411 0.252194 6.147685 0.0000
Fixed Effects (Cross)
2411_--C 0.696105
2413_--C -0.031298
2710_--C 0.179862
2720_--C 0.125058
2912_--C -0.118440
2913_--C -0.078723
2924_--C -0.542604
2929_--C -0.434376
3410_--C -0.315682
3430_--C 0.520098 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.992991 Mean dependent var 21.85146
Adjusted R-squared 0.988116 S.D. dependent var 1.935203
S.E. of regression 0.210965 Akaike info criterion 0.022368
Sum squared resid 1.023646 Schwarz criterion 0.740142
Log likelihood 16.55264 F-statistic 203.6673
Durbin-Watson stat 2.158449 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu
Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 9. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap
Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar
di Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled Least Squares
Date: 10/07/11 Time: 12:36
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2.282794 0.625510 -3.649493 0.0009
LOG(N?) 0.002249 0.095841 0.023462 0.9814
LOG(L?) 0.318829 0.114364 2.787848 0.0089
LOG(PBBL?) -0.331807 0.077840 -4.262661 0.0002
LOG(PBBI?) -0.291250 0.064777 -4.496232 0.0001
LOG(BBM?) -0.105460 0.083110 -1.268928 0.2136
LOG(BBL?) -0.113496 0.052171 -2.175473 0.0371
LOG(O?) 1.686263 0.132973 12.68129 0.0000
R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146
Adjusted R-squared 0.988418 S.D. dependent var 1.935203
S.E. of regression 0.208269 Akaike info criterion -0.123120
Sum squared resid 1.388025 Schwarz criterion 0.214655
Log likelihood 10.46241 F-statistic 476.4587
Durbin-Watson stat 1.826485 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu
Kemendag dengan Eviews 5.1)
Lampiran 10. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Kinerja
Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di
Indonesia
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 10/07/11 Time: 12:37
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.631383 1.929966 -0.327147 0.7465
LOG(N?) -0.645081 0.230715 -2.796013 0.0103
LOG(L?) 0.310094 0.146623 2.114910 0.0455
LOG(PBBL?) -0.379343 0.078589 -4.826939 0.0001
LOG(PBBI?) -0.341729 0.078168 -4.371737 0.0002
LOG(BBM?) 0.043356 0.057970 0.747912 0.4621
LOG(BBL?) -0.175522 0.045567 -3.851928 0.0008
LOG(O?) 1.749103 0.156664 11.16470 0.0000
Fixed Effects (Cross)
2411_--C 1.002062
2413_--C -0.062654
2710_--C 0.314934
2720_--C 0.206133
2912_--C -0.052747
2913_--C -0.178918
2924_--C -0.841890
2929_--C -0.436597
3410_--C -0.820749
3430_--C 0.870425 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics
R-squared 0.997720 Mean dependent var 35.95023
Adjusted R-squared 0.996134 S.D. dependent var 20.01983
S.E. of regression 0.183440 Sum squared resid 0.773957
F-statistic 629.0850 Durbin-Watson stat 2.209380
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics
R-squared 0.996700 Mean dependent var 21.85146
Sum squared resid 1.120158 Durbin-Watson stat 2.101990
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 10/07/11 Time: 12:37
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -2.282794 0.633609 -3.602842 0.0011
LOG(N?) 0.002249 0.097082 0.023162 0.9817
LOG(L?) 0.318829 0.115845 2.752212 0.0097
LOG(PBBL?) -0.331807 0.078848 -4.208172 0.0002
LOG(PBBI?) -0.291250 0.065615 -4.438758 0.0001
LOG(BBM?) -0.105460 0.084186 -1.252707 0.2194
LOG(BBL?) -0.113496 0.052846 -2.147664 0.0394
LOG(O?) 1.686263 0.134694 12.51919 0.0000 Random Effects
(Cross)
2411_--C 0.000000
2413_--C 0.000000
2710_--C 0.000000
2720_--C 0.000000
2912_--C 0.000000
2913_--C 0.000000
2924_--C 0.000000
2929_--C 0.000000
3410_--C 0.000000
3430_--C 0.000000 Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 0.000000 0.0000
Idiosyncratic random 0.210965 1.0000 Weighted Statistics
R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146
Adjusted R-squared 0.988418 S.D. dependent var 1.935203
S.E. of regression 0.208269 Sum squared resid 1.388025
F-statistic 476.4587 Durbin-Watson stat 1.826485
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics
R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146
Sum squared resid 1.388025 Durbin-Watson stat 1.826485
Dependent Variable: LOG(XEF?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 10/07/11 Time: 12:37
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 10
Total pool (balanced) observations: 40
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.631383 1.929966 -0.327147 0.7465
LOG(N?) -0.645081 0.230715 -2.796013 0.0103
LOG(L?) 0.310094 0.146623 2.114910 0.0455
LOG(PBBL?) -0.379343 0.078589 -4.826939 0.0001
LOG(PBBI?) -0.341729 0.078168 -4.371737 0.0002
LOG(BBM?) 0.043356 0.057970 0.747912 0.4621
LOG(BBL?) -0.175522 0.045567 -3.851928 0.0008
LOG(O?) 1.749103 0.156664 11.16470 0.0000
Fixed Effects (Cross)
2411_--C 1.002062
2413_--C -0.062654
2710_--C 0.314934
2720_--C 0.206133
2912_--C -0.052747
2913_--C -0.178918
2924_--C -0.841890
2929_--C -0.436597
3410_--C -0.820749
3430_--C 0.870425 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics
R-squared 0.997720 Mean dependent var 35.95023
Adjusted R-squared 0.996134 S.D. dependent var 20.01983
S.E. of regression 0.183440 Sum squared resid 0.773957
F-statistic 629.0850 Durbin-Watson stat 2.209380
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics
R-squared 0.996700 Mean dependent var 21.85146
Sum squared resid 1.120158 Durbin-Watson stat 2.101990