81
1 BAB I PENDAHULUAN Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi pra-kanker dari karsinoma endometrium tipe 1 (estrogen dependent-disease) yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan uterus yang abnormal. Angka kejadian hiperplasia endometrium sangat bervariasi, umumnya terjadi pada wanita perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa reproduktif ataupun pasca menopause. Pasien dengan hiperplasia endometrium dapat diterapi dengan pengobatan medis ( terapi hormon progestin) maupun bedah (histerektomi) tergantung dari diagnosis histopatoligi dan kondisi pasien 1,2 . Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai diperkirakan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler 3 . Pengendalian hipertensi yang agresif akan akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal , penyakit oklusi dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi 4 .

Abstrak Lapsus Obes

Embed Size (px)

DESCRIPTION

abstrak laporan kasus

Citation preview

53

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi pra-kanker dari karsinoma endometrium tipe 1 (estrogen dependent-disease) yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan uterus yang abnormal. Angka kejadian hiperplasia endometrium sangat bervariasi, umumnya terjadi pada wanita perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa reproduktif ataupun pasca menopause. Pasien dengan hiperplasia endometrium dapat diterapi dengan pengobatan medis ( terapi hormon progestin) maupun bedah (histerektomi) tergantung dari diagnosis histopatoligi dan kondisi pasien1,2.Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai diperkirakan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler3. Pengendalian hipertensi yang agresif akan akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal , penyakit oklusi dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi4. Konsekuensi dari penggunaan obat anti hipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak obat yang harus dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia. Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbukan akibat hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif5.Obesitas atau kelebihan berat badan menjadi kesulitan tersendiri untuk ahli anestesi terkait begitu banyaknya komplikasi dari obesitas contoh : diabetes tipe II, obstructive sleep apnea, hipertensi atau penyakit kardiovaskuler yang dapat mmberikan implikasi signifikan pada pasien yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi Tindakan intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan tekhnik khusus. Ahli anestesi harus siap dan antisipatif terhadap kesulitan yang mungkin terjadi, sehingga dokter anestesi dapat meminimalisir resiko dan menurunkan terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi6.Pada laporan kasus ini akan membahas pasien hiperplasia endometrium yang akan menjalani operasi total histerektomi dengan kondisi penyulit hipertensi dan obesitas. Sangat penting bagi seorang ahli anestesi untuk dapat mengerti tentang fisiologi, anatomi, obat pasien terkait hubungannya dengan kemungkinan kesulitan dan komplikasi anestesi yang akan dihadapi di meja operasi selama perioperatif.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA1. HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

1.1 Definisi dan klinis

Hiperplasia endometrium merupakan suatu keadaan patologis pada endometrium berupa peningkatan proliferasi kelenjar endometrium yang mengakibatkan adanya perubahan rasio kelenjar dan stroma, bentuk dan ukuran kelenjar, susunan kelenjar berubah menjadi 2-3 lapis serta memiliki potensial menjadi suatu bentuk sel yang atipik bila tidak ada suatu keseimbangan inhibitor dan inisiator dari sel kelenjar tersebut. Kelenjar endometrium dan stroma mengalami perubahan morfologi dan biologi mulai dari keadaan fisiologis berlebihan hingga karsinoma in situ. Kondisi ini secara klinis biasanya tidak menimbulkan suatu gejala, tetapi gejala umum pada kelainan ini adalah adanya perdarahan per vaginam yang tidak normal berupa perdarahan yang jumlahnya banyak lebih dari normal (lebih dari 80 ml/ periode atau ganti pembalut lebih dari 4/hari) atau lebih lama dari normal (lebih dari 7 hari ) dan perdarahan diluar fase menstruasi dalam siklus haid. Gejala ini biasanya berupa perdarahan disfungsi pre-menopause dan post-menopause1,2.

1.2 Etiologi Dan Faktor Resiko

Hormon estrogen dan progesterone mengatur perubahan endometrium dimana estrogen merangsang pertumbuhannya dan progesterone mempertahankannya. Sekitar pertengahan siklus haid terjadi ovulasi. Jika sel telur tidak dibuahi, maka kadar progesterone akan menurun sehingga timbulah menstruasi

Hiperplasia endometrium terjadi karena ketidakseimbangan hormone estrogen dan progesterone yang dihasilkan oleh ovarium. Bila stimulasi estrogen berlebihan tanpa adanya pengaruh progesteron atau tubuh memproduksi estrogen lebih banyak dari progesterone. Hal ini berhubungan dengan siklus anovulatoir. Dalam keadaan ini folikel tidak pecah tetapi berproliferasi dengan sangat cepat dan menyebabkan pertumbuhan yang abnormal dari endometrium Wanita yang beresiko tinggi terkena hyperplasia endometrium 1,2,7:

1) Tidak menstruasi

2) Obesitas

3) Sindrom polikistik ovarium

4) Perimenopause

5) Pengguna estrogen dalam jangka panjang tetapi tanpa progesterone untuk mengurangi efek dari gejala menopause.

6) Penggunaan tamoxifen untuk mencegah/ mengobati kanker payudara

7) Ada tumor ovarium yang mensekresi estrogen .

1.3 Histopatologi dan klasifikasi

Gambaran histopatologi yang dapat dilihat dari hyperplasia endometrium adalah terjadinya peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma, tepi kelenjar menjadi tidak teratur dengan ukuran kelenjar yang bervariasi. Aktivitas mitosis kelenjar tampak jelas dengan derajat yang berbeda. Sering terjadi peningkatan vaskularisasi stroma di dalam epitel7,8.

Klasifikasi hyperplasia endometrim oleh WHO (1994) dan ahli Internasional Society of Gynecologic Pathologist didasarkan pada bentuk dan sitologi serta studi jangka panjang yang mencerminkan awal lesi7.Tabel 1.

Klasifikasi Hiperplasia Endometrium

Tipe Hiperplasia

Perkembangan kanker (%)

Non Atipik

Simple (kistik )

1

Kompleks (adenomatosa)

3

Atipik

Simple (kistik dengan atypia)

8

Kompleks (adenomatosa dengan atypia)

29

Dari Kurman RJ, Kaminski PF, Norris HJ. The behavior of endometrial hyperplasia : a long term study of untreatedhyperplasia in 170 patients. Cancer 1985;56:403-412, with permission

1.3.1 Hiperplasia non atipik

1.3.1.1 Hiperplasia simpleks

Sebelumnya disebut sebagaai hyperplasia kistika atau ringan. Gambaran yang tampak adalah banyak kelenjar yang mengalami proliferasi dan dilatasi dengan tepi yang tidak teraturdan terdapat penonjolan dan perlekukan kelenjar yang menonjol serta sering ada gambaran kistik, dan dipisahkan oleh stroma yang masih bnayak9,10.

1.3.1.2 Hiperplasia kompleks

Hiperplasia kompleks sebelumnya dikenal sebagai hiperplasoa moderat atau adenomatosa, dengan gambaran susunan kelenjar yang padat.. Pada kelenjar terdapat gambaran irregular, dengan ukuran bervariasi, sebagian berdilatasi bercabang dengan lekukan dan tonjolan. Lebih banyak adanya penonjolan dan perlekukan kelenjar. Rasio kelenjar dan stroma 2:1. Derajat kepadatan kelenjar inilah yang membedakan simpleks dan kompleks9,10.

1.3.2 Hiperplasia atipik

Hiperplasia atipik dapat berbentuk simpleks dan kompleks. Secara umum hyperplasia atipik berbentuk kompleks dengan kelenjar yang sangat padat. Bentuk dan ukuran kelenjar sangat tidak beraturan bentuk papiler atau bertumpuk, dengan sedikit inti fibrivaskuler dalam lumen. Walaupun kompleks dan sangat padat, kelenjar pada hyperplasia endometrium atipik dikelilingi oleh stroma dengan adanya gambaran kelenjar yang saling menempel, tiap kelenjar mempunyai membrane basalis dengan tepi tipis. Hiperplasia atipik simpleks memperlihatkan gambaran kelenjar yang kurang padat dibandingkan dengan jenis kompleks, sehingga resiko untuk berkembangnya menjadi adenokarsinoma endometrium lebih tinggi pada yang kompleks9,10.

1.4 Diagnosis

Penegakan diagnosis hyperplasia endometrium dilakukan dengan anamnesis adanya perdarahan pervaginam yang abnormal, meliputi usia diatas 40 tahun dengan perdarahan abnormal dan usia kurang dari 40 tahun dengan adanya perdarahan yang persisten dan mempunyaifaktor resiko paparan estrogen endogen dan eksogen seperti terdapat anovulasi kronik. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG), biopsy, dilatasi dan kuretase, histeroskopi11.

1.5 Penatalaksanaan

Penderita hyperplasia endometrium mendapatkan terapi antara lain sebagai berikut11 :

1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnose sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.

2) Terapi progesterone untuk menyeimbangkan kadar hormone di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, diantaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan di dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hyperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hyperplasia dengan atipi.

3) Histerektomi metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan unterus abnormal. Khusus bagi penderita hyperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah histerektomi.

2. HISTEREKTOMI

2.1 Definisi

Histerektomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada wanita. Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari penanganan kelainan atau gangguan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter. Namun tindakan ini sangat berpengaruh terhadap sistem reproduksi wanita. Diangkatnya uterus, tidak atau dengan tuba fallopi atau ovarium akan mengakibatkan perubahan pada sistem reproduksi wanita, seperti tidak bisa hamil, haid dan perubahan hormone12.2.2 Jenis Histerektomi

1) Histerektomi parsial (subtotal )

Pada histerektomi jenis ini, uterus diangkat, tetapi cerviks tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear secara rutin12.

2) Histerektomi total

Pada histerektomi ini, uterus dan cervix diangkat secara keseluruhan. Operasi dapat dilakukan dengan tetap meninggalkan atau mengeluarkan ovarium padasatu atau keduanya. Pada penyakit yang kemungkinan dilakukannya ooforektomi unilateral atau bilateral harus didiskusikan dengan pasien. Seringkali, pada keganasan tidak ada pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan ovarium karena sudah sering terjadi mikrometastase12.

3) Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral

Histerektomi ini mengangkat uterus, cerviks, kedua tuba falopii, dan kedua ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan keadaan penderita seperti menopause meskipun usianya masih muda12.

4) Histerektomi radikal

Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita12.

2.3 Teknik operasi Hiterektomi.

Pilihan teknik pembedahan tergantung pada indikasi pengangkaatan uterus, ukuran uterus, lebarnya vagina, dan juga kondisi pendukung lainnya. Lesi prekanker serviks, uterus dan kanker ovarium biasanya dilakukan histerektomi abdominal, sedangkan pada leiomioma uteri dilakukan histerektomi abdominal jika ukuran tumor tidak memungkinkan diangkat melalui histerektomi vaginal13.

1) Histerektomi abdominal

Pengangkatan kandungan dilakukan melalui irisan pada perut, baik irisan vertical maupun horizontal. Keuntungan teknik ini doktewr dapat melihat leluasa dan jaringan sekitarnya memiliki cukupruang untuk melakukan pengangkatan uterus. Kekurangannya, menimbulkan rasa nyeri yang lebih berat, menyebabkan masa pemulihan yang lebih panjang, serta menimbulkan jaringan parut yang lebih banyak.

2) Histerektomi Vaginal

Dilakukan irisan kecil pada bagian atas vagina. Melalui irisan tersebut, uterus (dan cerviks) dipisahkan dari jaringan dan pembuluh darah disekitarnya kemudian dikeluarkan melalui vagina. Prosedur ini biasanya digunakan pada prolaps uteri. Kelebihan tindakan ini adalah kesembuhan lebih cepat, sedikit nyeri, dan tidak ada jaringan parut yang tampak.

3) Histerektomi laparoskopi

Teknik ini ada dua macam yaitu histerektomi vagina yang dibantu laparoskop (laparoscopically assisted vaginal hysterectomy, LAVH) dan histerektomi supraservikal laparoskopi (laparoscopic supracervical hysterectomy, LSH). LAVH mirip dengan histerektomi vaginal, hanya saja dibantu oleh laparoskop yang dimasukkan melalui irisan . LSH tidak menggunakan irisan pada bagian atas vagina, tetapi hanya irisan pada perut. Melalui irisan tersebut laparoskop dimasukkan. Uterus kemudian dipotong-potong menjadi bagian kecil agar dapat keluar melalui lubang laparoskop. Kedua teknik ini hanya menimbulkan sedikit nyeri, pemulihan yang lebih cepat, serta sedikit jaringan parut.

2.4. Pilihan Anestesi

Anestesi untuk tindakan histerektomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu umum dan regional14.

Resiko yang terkait dengan anestesi umum adalah kematian, cedera gigi dan jaringan lunak, aspirasi isi lambung, kesadaran saat anestesi, nyeri tenggorokan, mual dan muntah pasca operasi dan kemungkinan penggunaan ventilasi mekanik pasca operasi. Keuntungannya adalah pasien akan tertidur selama bedah histerektomi dan terbangun di recovery room14.

Resiko yang menyertai anestesi regional adalah nyeri kepala pasca pungsi lumbal , hipotensi, reaksi alergi terhadap anestesi local, cedera neurologi yang jarang, hematom, spotty block, dan infeksi. Keuntungannya adalah pasien tetap sadar, sehingga ia mempertahankan reflex spontan dan kognitif14.

Pilihan anestesi juga diatur oleh dokter bedah, kondisi pasien, penghitungan lamanya prosedur pembedahan, dan urgensi dari operasi. Anestesi epidural memiliki manfaat tambahan memungkinkan analgesic dosis terus-menerus melalui kateter untuk manajemen nyeri pascaoperasi. Anestesi spinal memberikan relaksasi otot yang sangat baik dan tepat untuk operasi yang berlangsung antara satu sampai tiga jam. Sebaliknya, koagulopati, trauma atau perdarahan pasien yang memerlukan histerektomi darurat umumnya tidak dapat menggunakan anestesi regional. Kebutuhan untuk mendapatkan hemostasis bedah yang cepat dan kerjasama psikosomatis pasien menyingkirkan penggunaan teknik regional14.

3. HIPERTENSI

3.1 Definisi

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah. Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan aliran darah vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding pembuluh darah.

3.2 Diagnosis dan klasifikasi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan darah diatas nilai normal. Menurut The Joint National Comitee 7 (JNC 7) on prevention, detection and evaliaton, and treatment of high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas pre hipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 ( table 2)15 :

Tabel. 2 Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7

Klasifikasi TD

TDS(mmHg)

TDD(mmHg)

Normal

16,5 cm, polisitemia, hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi ventrikel kanan atau abnormalitas EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif dengan pemeriksaan polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.

4.2.3 Implikasi Anestesi

4.2.3.1. Premedikasi

Pemeriksaan preoperative pada penderita obesitas meliputi kemampuan pasien untuk bernafas dalam dan patensi dari jalan nafas. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang dicurigai OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi29.

4.2.3.2. Durante Anestesi

Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko kesulitan atau gagal saat intubasi karena adanya obstruksi saluran nafas bagian atas dan menurunnya compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi gaster. Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak dipengaruhi oleh pengalaman dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa ahli menyarankan intubasi dengan kesadaran penuh terutama jika BB sesungguhnya > 175% BB ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi jalan nafas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic dapat dipilih ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek samping lain29. Pasien obesitas tidak diperbolehkan bernafas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah terjadinya hipoventilasi, hipoksia, hiperkapnia. Posisi litotomi atau tredelenburg dihindari mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol dengan fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen arterial yang adekuat, yang nantinya pemeriksaan serial gas darah diperiksa untuk mengontrol hal ini27.

4.2.3.4. Post Anestesi

Komplikasi pulmonal sering terjadi pada pasienobesitas. Pemerriksaan fungsi paru preoperative tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap obat sedative, analgesic opioid dan anestesi meningkat. Pemberian ventilasi pasca operasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut. Selain dapat diberikan pada mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui sebelumnya, retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu lama atau mengalami pyrexia pasca operasi. Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernafas seperti biasa27.

1.3 Sistem Gastrointestinal Pada Pasien Obesitas.

Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis aspirasi. Zacchi melakukan studi yang menunjukkan bahwa pada penderita obesitas tanpa gejala gastro-esofageal ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal (baik pada posisi duduk atau berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume dalam gasternya 75% lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas, terutama pada intake energy tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko aspirasi asam, maka ada keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antacid dan prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada krikoid dan rkstubasi trakea ketika pasien sadar penuh. Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan sistem gastrointestinal, diantaranya27 :

Diabetes mellitus

Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa gula drahnya , baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon katabolic selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada periode iskemia miokard.

Penyakit tromboembolik

Resiko thrombosis vena dalam pada pendetita obesitas dapat disebabkan karena imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen dengan peningkatan stasis vena terutama pada ekstrimitas bawah. Gagal jantung dan berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan keadaan tersebut.

BAB III

KASUS

3.1. EVALUASI PRA ANESTESI3.1.1. Identitas Pasien

Nama

: Ny. S

Umur

: 43 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Palembang

Status Perkawinan

: Menikah, 2 anak

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

NO RM

: 847023

Diagnosis

: PUA ec Hiperplasia Endometrium

Tindakan

: Histerektomi Total Salfingoooforektomi Bilateral

MRS

: 5 November 2014

Operasi

: 8 November 20143.1.2. Anamnesis

Perdarahan dari jalan lahir sejak 4 bulan yang lalu. Perdarahan terjadi diluar waktu menstruasi. Riwayat Hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, terkontrol dengan Amlodipin 1x10mg dan candesartan 1x8 mg. Tekanan darah tertinggi 180/100 mmHg, tekanan darah harian 130-140/90-100 mmHg. Riwayat tidur mendengkur (+), terbangun tengah malam karena sesak disangkal.Riwayat penyakit sistemik yang lain seperti DM, Asma, Stroke disangkal

Riwayat Alergi obat obatan disangkal

Riwayat Operasi 1x, Histerescopi 1 bulan yang lalu, dengan anestesi umum, masalah anestesi tidak ada.3.1.3. Status Present

Kesadaran

: Composmentis

Respirasi

: 20x/menit

Tekanan Darah: 170/100 mmHg dengan Amlodipin 1x10mg dan Candesartan 1x8mgNadi

: 88x/menit, isi dan tegangan cukup Suhu Aksila

: 36,5 derajat celciusBerat Badan

: 90 kgTinggi Badan

: 158 cmBMI

: 36,1 kg/m2 (Obesitas)3.1.4. Pemeriksaan Fisik

Kepala

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,

malampati 1, buka mulut 3 jari

Leher

: TMD > 3 jari, gerakan leher baik

Thorax: Cor

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop(-)

Pulmo: Suara nafas: vesikuker +/+ normal, Rh-/-, Wh-/-, retraksi (-)

Abdomen

: bising usus (+) hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

: Edema -/-

Sistem Saraf Pusat

: Normal

Sistem Sirkulasi

: Hipertensi

Sistem Respirasi

: Normal

Sistem Hematologi

: Normal

Sistem Gastrointestinal: Normal

Sistem Hepatobilier

: Normal

Sistem Urogenital

: Normal

Sistem Metabolik

: Obesitas

Sistem Otot Skelet

: Normal

3.1.5. Pemeriksaan PenunjangDarah Rutin (28 Oktober 2014)

Hb

: 10,6 g/dl

Wbc

: 8,2 103/L

Ht

: 34%

Plt

: 467 103/L

BT

: 2 menit

CT

: 10 menit

Kimia Darah SGOT

: 19 U/L

SGPT

: 23 U/L

Glukosa Sewaktu: 124 mg/dl

Ureum

: 32 mg/dl

Creatinin

: 1,0 mg/dl

Natrium

: 147mEq/L

Kalium

: 3,7 mEq/LRontgen Thorax

: Cardiomegali

EKG

: Irama sinus 88x/menit, Left Ventrikel Hipertrofi

Echocardiografi

: Hipertesion Heart Disease (HHD)

EF 62,3%Kesimpulan: Pasien dengan keadaan status fisik ASA II 3.2. Persiapan Pra Anestesi

3.2.1. Persiapan di Ruang Perawatan

a. Anamnesis umum dan anamnesis khusus

b. Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarga tentang rencana anestesi yang akan dilakukan.

c. Puasa 6 jam sebelum operasi

d. Memberikan informasi kepada penderita supaya melepaskan perhiasan, gigi palsu jika ada

e. Memberikan surat persetujuan anestesi

3.2.2. Persiapan di ruang penerimaan pasien di COT

a. Memeriksa kembali catatan medik penderita, identitas, dan persetujuan operasi dan anestesi

b. Evaluasi ulang status present dan status fisik

c. Memasang iv line, cairan pengganti puasa dan maintenance dengan RL

3.2.3. Persiapan di kamar operasi

a. Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas

b. Menyiapkan monitor dan status anestesi

c. Mempersiapakan obat dan alat anestesi, terutama peralatan untuk mengatasi kesulitan intubasi.d. Mengevaluasi ulang status present penderita.

3.3. Pengeloaan AnestesiJenis Anestesi : Anestesi Umum dengan intubasi nafas kendali

a. Penderita dengan posisi terlentang

b. Memasang iv line, cairan pengganti puasa dan maintenance dengan RL

c. Induksi dengan propofol 150 mg, fentanyl 200 mikrogram

d. Fasilitasi intubasi dengan atrakurium 30 mg

e. Setelah ditunggu 3 menit dilakukan laringoskopi intubasi dengan ETT No. 7 Cuff

f. Pemeliharaan anestesi dengan O2, Air dan Sevoflurane

g. Respirasi kontrol manual

h. Sebelum insisi diberikan fentanyl 100gi. Berikan fentanyl patch 25 di daerah sternum ics 2

j. Sebelum operasi selesai berikan ketorolac 30 mg, ondancetron 8 mg dan tramadol suppose 200 mg.

k. Respirasi spontan belum adekuat, diberikan reverse untuk pelumpuh otot dengan sulfas atrofin 0,5 mg dan prostigmin 1,5 mgl. Respirasi spontan adekuat dan membersihkan jalan nafas

m. Pasien sadar penuh, dapat mengikuti perintah, saturasi O2 97-99%

n. Dilakukan ektubasi o. Sungkup muka dengan oksigen 8 liter/menit sampai penderita sadar baik

Tabel Hemodinamik Intra OperatifWaktuTD (mmHg)N (x/menit)RR (x/menit)SpO2 (%)Keterangan

13.00 WIB140/83882099Induksi dengan Propofol 150 mg, Fentanyl 200g, Atracurium 30mg

13.05 WIB120/76801899Intubasi dengan ETT 7,0 kaf

13.10 WIB110/68701899Maintenance O2, Air, Sevoflurane

13.15 WIB103/72751899Fentanyl 100g sebelum insisi

13.30 WIB107/65801499Nafas Kendali

13.45 WIB120/70871498

14.00 WIB118/76901498

14.15 WIB118/79831499Fentanyl 50 g

14.30 WIB121/78841499

14.45 WIB120/73851697Nafas Spontan Assisted

15.00 WIB118/70881697Nafas Spontan Assisted

15.15 WIB121/73871898Operasi selesai, diberikan reverse SA 0,5mg, Neostigmin 1,5mg

15.25 WIB124/74952298Lidokain 90 mg

15.30 WIB128/75972298Pasien sadar, Ekstubasi, Sungkup Muka 8L/menit

15.45 WIB130/78982298Pasien dipindahkan ke RR

Pukul 15.45 16.30 Pasien diobservasi di ruang pemulihan. Komplikasi pasca operasi tidak ada, sesak nafas tidak ada, VAS 2, PONV tidak ada. Aldrete skor 10 kemudian pasien dipindahkan ke ruangan.

Durasi Operasi 2 jam 15 menit

Durasi Anestesi 2 jam 30 menit

Rekapitulasi Cairan:

Maintenance

: 130 cc/jamDefisit Puasa 6 jam

: 780 cc/jam

Kehilangan cairan pembedahan besar

: 540 cc/jam

Kebutuhan cairan durante operasi

1 jam pertama : 1060 cc

1 jam kedua : 865 cc

Estimated Blood Volume: 7200 cc

Estimated Blood Lose

: 720 cc

Jumlah perdarahan durante operasi: 400 cc

Total Urin Output

: 60 ccJumlah cairan masuk

: 600 cc

Penggunaan Obat obatan

Propofol 150 mg

Fentanyl 350 gAtracurium 30 mg

Fentanyl patch 25 gOndancetron 8 mg

Ketorolac 30 mg

SA 0,5 mg

Prostigmin 1,5 mg

Hari ke IV Pasca Operasi pasien dipulangkan.BAB IV

PEMBAHASANPenderita adalah wanita, usia 43 tahun, sudah menikah, suku Palembang, dengan diagnosis PUA ec Hiperplasia Endometrium yang akan dilakukan tindakan histerektomi total.Evaluasi Pra OperatifBerdasarkan anamnesis didapatkan penderita mempunyai riwayat penyakit hipertensi. Pada evaluasi ini perlu ditanyakan berat ringan dan lamanya hipertensi, pengobatan yang sedang berlangsung, dan ada tidaknya komplikasi hipertensi. Gejala-gejala dari iskemia miokard, kegagalan ventrikel, perfusi cerebral lemah, atau penyakit vaskuler perifer harus diperoleh informasinya.Pasien ini diketahui menderita hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, terkontrol dengan Amlodipin 1x10 mg dan candesartan 1x8 mg. Tekanan darah tertinggi 180/100 mmHg, tekanan darah harian 130-140/90-100 mmHg. Keluhan seperti nyeri dada, sesak nafas (terutama pada malam hari), sering pingsan disangkal. Efek samping obat valsartan dan amlodipin yang dikonsumsi 1 tahun terakhir seperti hipotensi, gagal ginjal, edema perifer tidak didapatkan. Riwayat penyakit sistemik yang lain seperti DM, Asma, Stroke disangkal. Riwayat Alergi obat obatan disangkal. Riwayat Operasi 1x, Histerescopi 1 bulan yang lalu, dengan anestesi umum, tidak ada komplikasi anestesi.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan status present dengan hipertensi stage 2, berat badan 90 kg, tinggi badan 158 cm, BMI 36,1 kg/m2 dengan kesan Obesitas. Pemeriksaan fisik organ lain dalam batas normal. Pasien obesitas seringkali mengalami hipoksia, hanya sebagian kecil yang hiperkapnia, sehingga perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada pasien-pasien ini rangsangan untuk bernapas menjadi tumpul, penderita sering tidur dengan mendengkur yang keras disertai obstruksi jalan napas atas (obstructive sleep apnea syndrome / OSAS). Gejalanya antara lain mulut kering, terbangun saat tidur, henti napas saat tidur. Pada pasien ini didapatkan riwayat tidur mendengkur, terbangun saat tidur karena sesak disangkal.Selain masalah hipoksia, kesulitan tatalaksana jalan napas saat induksi dan obstruksi jalan napas saat pemulihan perlu juga diantisipasi. Untuk menilai kemungkinan adanya kesulitan ventilasi digunakan kriteria OBESE yaitu Over weight, Beard, Elderly (>55tahun), Snoring, Edentulous. Pada pasien ini didapatkan 2 kriteria yang memenuhi yaitu over weight dan snoring.Kemungkinan adanya kesulitan intubasi dapat dinilai dengan menggunakan kriteria LEMON. Pada pasien ini hanya didapatkan jarak antara mandibula dan lemak sternal yang relatif pendek. Selain itu dengan buka mulut 3 jari, malampati 1 dan neck mobility yang luas sehingga kemungkinan kecil terjadinya kesulitan intubasi.

Durante Operasi

Pasien ini dikelola dengan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal nafas kendali. Selain anestesi umum, pilihan anestesi regional dapat dipertimbangkan pada pasien dengan obesitas, anestesi regional merupakan pilihan yang lebih menguntungkan dari sisi komplikasi respirasi. Anestesi Epidural continuous memiliki keuntungan untuk penanggulangan nyeri pasca bedah dan mengurangi risiko komplikasi respirasi pasca operasi. Kesulitan teknis pada pasien obesitas dalam melakukan anestesia regional seperti Landmarks yang tidak jelas, posisi pasien yang sulit, dan jaringan adiposa yang tebal menyebabkan kesulitan dalam melakukan anestesia regional. Pasien telah dijelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan anestesi umum maupun anestesi regional, namun pasien tetap menolak untuk dilakukan anestesi regional karena takut dengan prosedur operasi.Pasien diinduksi pukul 13.00 dengan propofol 150 mg, fentanyl 200g, dengan fasilitasi atrakurium 30 mg dilakukan intubasi endotrakeal tube ETT No.7,0 kaf (+). Pemeliharaan anestesi dengan O2, Air dan Sevoflurane. Pernafasan selama operasi dikontrol secara manual. Sebelum dilakukan insisi diberikan lagi fentanyl 100g dan fentanyl patch 25g untuk analgetik post operasi.

Tindakan pada operasi ini adalah total histerektomi salfingoooforektomi bilateral dimana operasi ini dilakukan pengangkatan uterus, cerviks, kedua tuba falopii, dan kedua ovarium. Operasi berlangsung selama 2 jam. Sebelum operasi selesai diberikan ketorolac 30 mg untuk analgetik post operasi, Ondancetron 8 mg untuk profilaksis PONV. Ekstubasi dan PemulihanEkstubasi dilakukan saat pasien sadar penuh, pernafasan spontan adekuat dengan tidal volume dan frekuensi pernafasan yang cukup. Sebelum ekstubasi diberikan reverse obat pelumpuh otot dengan SA 0,5 mg dan prostigmin 1,5 mg. Untuk menumpulkan rangsang simpatis dan gejolak hemodinamik saat ekstubasi, pasien juga diberikan lidokain 90 mg 2 menit sebelum ekstubasi. Setelah pasein sadar penuh yang ditandai dengan membuka mata, pasien dapat menuruti perintah dan saturasi O2 97-99% kemudian dilakukan diekstubasi. Pasien diobservasi diruangan pemulihan selama 45 menit. Analgetik Post Operatif

Opioid parenteral untuk postoperatif analgesia harus diberikan secara hati-hati karena dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat dan hipoventilasi. Pemilihan opioid yang ideal adalah yang tidak mempunyai metabolit aktif dan tidak tergantung dengan ekskresi renal. Operasi Histerektomi mempunyai skala nyeri 8. Pemberian analgesia postoperatif disesuaikan dengan pain ladder dari WHO. Pasien ini diberikan kombinasi ketorolac 30 mg dan Fentanyl patch 25 g

BAB VKESIMPULAN

Telah dilakukan manajemen anestesi pada pasien wanita usia 43 tahun dengan diagnosa hiperplasia endometrium yang dilakuan tindakan histerktomi total. Pasien dengan berat badan 96 kg, tinggi badan 157 cm, BMI 37,6 dengan obesitas dan hipertensi stage II. Pasien dikelola dengan anestesi umum dengan nafas kendali. Operasi berjalan dengan lancar, tidak didapatkan komplikasi.

Penting bagi ahli anestesi mempersiapkan operasi dengan baik, dimulai dari preoperatif dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit pasien termasuk obat-obatan yang dikonsumsi, komplikasi, dan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi selama periode operasi melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada saat operasi penting diperhatikan untuk mencegah resiko aspirasi, mencegah gejolak hemodinamik, posisi yang benar untuk memperlancar intubasi, monitoring tanda tanda iskemia, pemberian ventilasi yang adekuat. Pasca operatif pemberian ventilasi juga penting untuk diperhatikan karena pasien obesitas, selain itu nyeri pasca operasi harus dihindari dengan pemberian analgetik post operatif yang adekuat sesuai dengan step ladder dari WHO. DAFTAR PUSTAKA

1. Hammond R, Johnson J. Endometrial hyperplasia. Curr Obstet Gynecol 2001; 11 : 160-3

2. Marsden D, Hacker N. The classification, diagnosis and management of endometrial hyperplasia. Rev in Gynecol Prac 2003;3: 87-90.

3. Murray MJ. (1998)Perioperative hypertension : evaluation and management.ASA refresher courses in anesthesiology. (1998)vol 26; available from: http://www.anesthesia.org.cn//asa2002/rcl.source/512Murray.pdf .(11 Desember 2014)

4. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: McGraw-Hill 2013;21:375-434.

5. Schwer WA.(2013). Perioperative educative management.(online) Available from: http://emedicine.medscapecom/article/284801-author. (11 Des 2014)

6. American society of anesthesiology.(2010). Obesity and anesthesia-yes, there is a connection. (online).Available from : http//www.asahqorg/For-the-Public-and-Media/Press-Room/Anesthesiology-and-Other-Scientific-Press-Releases/Obesity-and-Anesthesia.aspx .(11 desember 2014)

7. Johnattan S. Berek. Hyperplasia endometrium. Berek & Novaks Gynecology 14th ed. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilikins 2007.p.1348-9.

8. Rosai J. The female reproductive system. In Roasai and Ackermans Surgical Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004 : P1676-80

9. Mazur MT. Endometrial hyperplasia/ adenocarcinoma. Aconventional approach. Anal Diag Pathol 2005; 174-81

10. Horn L, Meinel A, Handzel R, Einenkel J. Histopathology of endometrial hyperplasia and endometrial carcinoma an update. Anal Diag Pathol; 2007.p. 297-311.

11. Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E.C.& Bowdler, N. C.. Abnormal Uterine Bleeding : A management algorithm. 2006. p.590-602.

12. Kasdu, Dini. Histerektomi. Solusi Problem Wanita Dewasa. Jakarta : Puspawarna.2008.p.67-8

13. Rasjidi,Imam. Teknik operasi histerektomi. Manual Histerektomi. Jakarta : EGC.2008.P.204-6

14. Smith, Victoria. Anesthetic Management: Hysterectomy.(online). Vol 1 (2). Available from: http://dalemed.com/Portals/0/pdf/clinical_references/Armboard%20-%20Anesthetic%20Mngt,%Hysterectomy.pdf .(12 Des2014)

15. The seventh report of Joint National Commite on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.03-5233, December2003

16. Yao FSF Ho CYA. Hypertension. Anestehesiology problem oriented patient management 5th ed. Philadelphia: Elsevier. 2003.p. 337-57

17. James, Paul AS. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults Report from the panel members appointed to the JNC 8. American medical association. Published 18 Dec 2013.

18. Stoelting RK, Hillier SC. Anti hypertensive drugs. Pharmacology and physiologi in Anesthetic practice 4th ed. Philadelphia : Lippincot Willias and Wilkins;2005.p.338-52.

19. Stier GR. Preoperative evaluation amd testing. In : Hines RL, editor. Adult perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier.2004.p. 3-82

20. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient undergoing anesthesia and elective surgery. British journal of Anesthesia.2001;86(6):789-93

21. Hanada, et all. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia. Current opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9

22. Howel SJ, Foex P. Hypertension, Hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. British journal of anesthesia.2004;92(4):570-83

23. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. 6th ed. Philadelphia: Elsevier;2012.p. 104-19

24. Neligan P. Hypertension and anesthesia. Available from: http://www.4um.com/tutorial/anaesthbp.htm.

25. Ccheng DCH, David TE. Common problem in the cardiac surgery recovery unit in perioperative care. Cardiac anesthesia and surgery. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.2006.1178-22

26. CDC U.S. Departement of Health and Human Services(2014). Body Mass index.(online) Available from: http://m.cdc.gov/en/HealthSafetyTopics/HealthyLiving/HealthyWeight/AssessingYourWeight/BodyMassIndex/ introBodyMassIndex. (12 Des 2014)

27. Adams, JP and Murphy, PG.(2000). Obesity in Anesthesia and Intensive care.British Journal of Anesthesia. (online) Available from: http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/91.(12 des 14)

28. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with Endokrin Disease:obesity. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: McGraw-Hill 2013.727-46.

29. Weaver, Joel M. Increased anesthetics risk for patient with obesity and obstructive sleep apnea.US National Library.Anesth Prog.2004. 51 (3) :75.

tidak