20
2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada Perkerasan Lentur Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis. Solusi analitis untuk menyatakan hubungan tegangan dan regangan didasarkan atas beberapa asumsi berikut (Yoder & Witczak, 1975) : - Sifat-sifat bahan untuk setiap lapis adalah homogen dan isotropis, - Setiap lapis pada arah lateral mempunyai ketebalan tertentu kecuali pada lapis paling bawah (tanah dasar, subgrade), - Geser penuh terjadi di antara lapis perkerasan ( interface), - Tidak ada kekuatan geser yang timbul pada bagian atas dari lapis permukaan, - Solusi tegangan berhubungan dengan 2(dua) parameter sifat material yakni Poisson's ratio (μ) dan modulus kekakuan (E). Pada gambar 2.1 diberikan diagram tegangan yang terjadi pada perkerasan lentur. Tegangan dan regangan kritis terjadi pada bagian bawah lapis permukaan dan dipermukaan tanah dasar. Umumnya regangan yang terjadi pada bagian bawah lapis permukaan (ε r 1 ) adalah regangan tarik ( tensile strain) sebaliknya pada permukaan tanah dasar regangan yang terjadi adalah regangan tekan (compressive strain). Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis. 2.2.Konsep Modulus Kekakuan Aspal adalah material yang bersifat visko-elastis dan deformasi yang timbul akibat adanya tegangan merupakan fungsi dari temperatur dan waktu pembebanan. Pada temperatur yang tinggi atau waktu pembebanan yang panjang berperilaku viscous-liquid dan pada suhu yang rendah atau waktu pembebanan yang pendek (seketika) bersifat solid-elastic (brittle). 5

2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

2. LANDASAN TEORI

2.1.Tegangan dan Regangan pada Perkerasan Lentur

Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan

didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis. Solusi analitis untuk

menyatakan hubungan tegangan dan regangan didasarkan atas beberapa asumsi

berikut (Yoder & Witczak, 1975) :

- Sifat-sifat bahan untuk setiap lapis adalah homogen dan isotropis,

- Setiap lapis pada arah lateral mempunyai ketebalan tertentu kecuali pada lapis

paling bawah (tanah dasar, subgrade),

- Geser penuh terjadi di antara lapis perkerasan (interface),

- Tidak ada kekuatan geser yang timbul pada bagian atas dari lapis permukaan,

- Solusi tegangan berhubungan dengan 2(dua) parameter sifat material yakni

Poisson's ratio (µ) dan modulus kekakuan (E).

Pada gambar 2.1 diberikan diagram tegangan yang terjadi pada perkerasan

lentur. Tegangan dan regangan kritis terjadi pada bagian bawah lapis permukaan

dan dipermukaan tanah dasar.

Umumnya regangan yang terjadi pada bagian bawah lapis permukaan (εr1)

adalah regangan tarik (tensile strain) sebaliknya pada permukaan tanah dasar

regangan yang terjadi adalah regangan tekan (compressive strain).

Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan

didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis.

2.2.Konsep Modulus Kekakuan

Aspal adalah material yang bersifat visko-elastis dan deformasi yang

timbul akibat adanya tegangan merupakan fungsi dari temperatur dan waktu

pembebanan. Pada temperatur yang tinggi atau waktu pembebanan yang panjang

berperilaku viscous-liquid dan pada suhu yang rendah atau waktu pembebanan

yang pendek (seketika) bersifat solid-elastic (brittle).

5

Page 2: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Van der Poel (1954) memperkenalkan konsep modulus kekakuan aspal

(stiffness modulus of bitumen) sebagai parameter dasar untuk menjelaskan sifat-

sifat mekanisme aspal. Pada saat awal (t = 0) tegangan tarik (σ) yang diberikan

pada material visko-elastis tersebut menyebabkan regangan tarik (ε t) namun tidak

bertambah secara proporsional terhadap waktu pembebanan, sehingga modulus

kekakuan aspal yang terjadi tergantung pada waktu atau lamanya pembebanan.

Karena bersifat visko-elastis, modulus kekakuan aspal juga tergantung pada

temperatur.

2.1.

6

Page 3: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Modulus kekakuan aspal dapat didefinisikan sebagai :

Sbit = σ / ε(t,T) ................................................................................... (2.1)

dimana :

Sbit = modulus kekakuan aspal tergantung pada waktu pembebanan (t)

dan temperatur (T)

σ = Tegangan tarik yang terjadi (applied tensile stress)

ε(t,T) = Regangan tarik, tergantung pada waktu pembebanan (t) dan

temperatur (T).

2.3.Kriteria Desain Kelelahan

Sasaran disain adalah untuk membatasi bertambahnya pengaruh retak

(cracking dan/ atau wheel track rutting) yang terjadi selama umur layan.

2.3.1 Pengujian Kelelahan

Kelelahan merupakan suatu fenomena pengulangan beban lalu lintas yang

menimbulkan retak yang direpresentasikan oleh terjadinya repetisi tegangan atau

regangan pada tingkat tertentu dibawah kekuatan batas dari material (Yoder &

Witczak, 1975)

Pengujian terhadap retak akibat kelelahan didapatkan dari hubungan antara

tegangan dan regangan dengan jumlah pengulangan beban hingga terjadinya

keruntuhan. Pengujian kelelahan dapat dilakukan atas beberapa metoda pengujian,

moda pembebanan, pola pembebanan dan frekuensi pembebanan dengan variasi

ukuran benda uji.

Data pengujian adalah bersifat menyebar (scatter) yang menggambarkan

beragamnya kondisi pembebanan dan lingkungan. Data kelelahan umumnya di

plot pada skala logaritma (tegangan atau regangan tarik awal) dengan logaritma

(umur kelelahan).

7

Page 4: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

2.3.2 Moda Pembebanan

Moda pembebanan yang umum dilakukan dengan cara kontrol tegangan

(controlled-stress) dan kontrol regangan (controlled- strain).

Pada kontrol tegangan, amplitudo tegangan siklik pada benda uji

diusahakan konstan selama pengujian berlangsung dan amplitudo regangan siklis

dibiarkan bertambah. Amplitudo regangan yang meningkat mengakibatkan

melemahnya benda uji selama pengujian berlangsung. Keruntuhan didefinisikan

sebagai jumlah pengulangan yang menyebabkan keruntuhan benda uji atau jumlah

pengulangan yang menyebabkan amplitudo regangan bertambah hingga mencapai

batas pengulangan yang ditentukan, misalnya 100 persen (jumlah pengulangan

yang mengakibatkan perubahan kemiringan yang tajam pada kurva lendutan

dengan pengulangan tegangan).

Pada cara kontrol regangan, amplitudo regangan diberikan konstan selama

pengujian berlangsung. Benda uji akan melemah sehingga amplitudo yang

dibutuhkan akan berkurang. Keruntuhan benda uji didefinisikan sebagai jumlah

pengulangan regangan yang menyebabkan besar tegangan menurun menjadi 50%

dari nilai awal yang diberikan.

2.3.3 Metoda Pengujian

Menurut SHRP-A-404 (1994) metoda pengujian laboratorium yang cukup

baik digunakan untuk menguji kinerja campuran beraspal terhadap karakteristik

kelelahan seperti : rotating bending, flexural fatigue test (dengan variasi 2 point

loading dan 3 and 4 point loading) seperti Gambar 2.2, indirect tensile (Marshall

briquettes) serta direct axial.

8

Page 5: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

2.3.4 Umur Kelelahan

Menurut Cooper and Pell (1974), pengujian beton aspal dengan moda

pembebanan kontrol regangan diperoleh suatu hubungan yang linear antara

regangan dengan umur kelelahan (dalam skala logaritma) pada suhu dan

kecepatan pembebanan yang konstan. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai

berikut :

N = C (1/ε)m ........................................................................... (2.2)

Secara reversal pola penelitian terhadap moda pembebanan kontrol

tegangan juga memberikan hubungan yang linear antara regangan dan umur

kelelahan dengan tegangan jika digambarkan dalam skala logaritma, dan

dinyatakan sebagai berikut :

N = C (1/σ)n ........................................................................... (2.3)

P2

P2

a a

L

b

h

Gambar 2.2. Flexural Fatigue Test 4 Point Loading

9

Page 6: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Dimana :

N = umur kelelahan (jumlah pengulangan yang menimbulkan retak)

ε = amplitudo regangan yang diberikan

σ = amplitudo tegangan yang diberikan

m,n = faktor kemiringan garis kelelahan

C = konstanta pengujian kelelahan

Umur kelelahan juga dipengaruhi oleh komposisi beton aspal seperti jenis

agregat, kandungan aspal, kandungan rongga udara dan kepadatan campuran yang

dihasilkan. Pada gambar 2.3. diperlihatkan hubungan antara tegangan dan umur

kelelahan dalam skala logaritma untuk beberapa variasi temperatur dan komposisi

beton aspal.

2.3.5 Pola Pembebanan

Pola-pola pembebanan pada pengujian kelelahan adalah sebagai berikut

(bentuk pembebanan diperlihatkan pada gambar 2.4.) :

- Full sine wave (sinusoidal wave), pola ini pada bagian serat yang paling

ekstrim dari benda uji aspal mengalami pembalikan tegangan secara penuh

pada setiap siklus beban,

- Half sine wave, hampir sama dengan diatas tetapi tidak ada pembalikan

tegangan,

- Haversine wave with delay, dan block loading.

10

Page 7: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Sumber : SHRP-A-404, 1994

Gambar 2.3. Hubungan Tegangan dan Umur Kelelahan dalam Skala Logaritma dalam Pengujian Kontrol Tegangan akibat pengaruh Komposisi Beton Aspal

dan Temperatur

11

Page 8: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Secara umum pada pengujian di laboratorium, kurva kelelahan tegangan

dan regangan untuk benda uji berbentuk balok yang dipadatkan menunjukkan

bahwa benda uji dengan pembalikan tegangan memiliki umur kelelahan yang

lebih pendek daripada benda uji tanpa pembalikan tegangan (Irwin & Gallaway,

1974).

Rantetoding (1988) meneliti bahwa pola sinusoidal (full sine) lebih

mewakili pola pembebanan akibat beban kendaraan yang bekerja pada bagian atas

lapis permukaan jalan.

2.3.6. Frekuensi Pembebanan

Disamping karena pengaruh temperatur (T), sifat visko-elastis material

aspal juga dipengaruhi oleh waktu pembebanan (t). Parameter ini berhubungan

dengan frekuensi pembebanan yang akan menentukan ketahanan terhadap

kelelahan akibat retak. Frekuensi dan waktu pembebanan dihubungkan dengan

rumus sebagai berikut :

f = 1/(2πt) ..................................................................................... (2.4)

Dimana :

f = Frekuensi (Hz)

t = Waktu pembebanan (detik)

Menurut Brown (1973), perhitungan pembebanan yang terjadi pada bagian

bawah lapis aspal dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :

Log(t) = 5 x 10-4h – 0,94 log (v)................................................... (2.5)

dimana :

t = Waktu pembebanan, detik

h = Ketebalan lapisan, mm

v = Kecepatan kendaraan, km/jam

12

Page 9: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Gambar 2.4. Pola – Pola Pembebanan

Loa

dL

oad

Loa

dL

oad

time

time

time

time

13

Page 10: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Untuk ketebalan lapisan aspal antara 150 mm sampai 300 mm, Brown dan

Brunton (1980) menyarankan waktu pembebanan dapat dihitung dengan

hubungan linear terhadap kecepatan, yaitu :

t = 1 / v .................................................................................... (2.6)

dimana

t = Waktu pembebanan, detik

v = Kecepatan, km/jam

The Asphalt Institute dan TRRL mendasarkan frekuensi pembebanan pada

10 Hz dan 5 Hz yang kira-kira sama dengan waktu pembebanan 0,016 dan 0,032

detik. SHRP-A-90-011 (1990) memberikan indikasi bahwa waktu pembebanan

antara 0,004 sampai 0,1 detik relatif sesuai untuk digunakan pada pengujian

kelelahan.

2.3.7 Mesin Uji Kelelahan DARTEC

Peralatan yang dipakai untuk pengujian adalah mesin uji kelelahan

DARTEC 100 kN yang terdapat pada Puslitbang Teknologi dan Prasarana Jalan,

Bandung dan dapat melakukan uji statik (kapasitas maksimum 100 kN) dan uji

dinamis (kapasitas 150 kN) dengan rentang gerak beban (stroke), untuk pengujian

statik maksimum 150 mm. Kontrol informasi dapat dilakukan secara manual pada

kontrol kabinet maupun dengan perangkat lunak menggunakan komputer.

Komponen utama mesin uji kelelahan DARTEC terdiri atas 3(tiga) buah

komponen, yaitu rangka mesin terdiri atas aktuator, pompa hidrolik sebagai

tenaga penggerak, lemari kontrol dan komputer sebagai pengontrol. Kerangka

mesin dengan palang atas dan bawah terdiri dari alat pengukur pembebanan

"servo-hydraulic actuator", alat pengukur perpindahan dengan LVDT (Linearly

Variable Differential Transformer), katup penggerak, akumulator, dan bagian

elektronik untuk mengontrol sinyal kondisi dan rangkaian. Semua data pengujian

disimpan secara otomatis oleh komputer. Lemari kontrol memiliki 5(lima) modul,

yaitu :

14

Page 11: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

- Modul kontrol (kode 9500 – B10), pengontrol mesin utama mesin,

memasukkan data secara manual parameter pengujian seperti beban, batas

beban dan lain- lain,

- Modul indikator (kode 9500 – E40) untuk memonitor nilai sesaat beban,

rentang gerak dan tanda-tanda lain,

- Modul pembangkit fungsi (kode 9500 – P20) untuk menentukan tingkat beban

atau tegangan maksimum dan minimum, frekuensi beban, jumlah siklus

maksimum dan bentuk pembebanan,

- Modul transfer data (kode 9500 – H30) memnerikan fasilitas untuk mencatat

data beban, rentang gerak dan tanda-tanda lain,

- Modul trip (kode 9500 – V50) digunakan untuk menghentikan generator

fungsi dan pompa jika mesin mengalami gangguan selama pengujian

berlangsung.

Benda uji diletakkan diatas dua perletakkan dan dibebani pada tengah bentang

3(tiga) titik pembebanan. Rangkaian mesin uji kelelahan DARTEC diperlihatkan

pada Gambar 2.5. dan komponen-komponen dari lemari kontrol DARTEC

diperlihatkan pada Gambar 2.6.

2.4.Beton Aspal

Perencanaan beton aspal memerlukan bermacam-macam percobaan

laboratorium, meliputi pemeriksaan bahan seperti aspal, bahan agregat dan

pemeriksaan campuran. Tahapan dasar yang perlu diperhatikan dalam pengujian

laboratorium adalah sebagai berikut :

- Melakukan pemeriksaan terhadap aspal yang dipakai, misalnya pemeriksaan

untuk menentukan viskositas, penetrasi dan berat jenis aspal, viskositas

diperlukan guna menentukan suhu pencampuran maupun suhu pemadatan.

- Menentukan spesifikasi gradasi agregat yang akan dipakai.

- Melakukan pemeriksaan mutu agregat.

- Menentukan kombinasi beberapa fraksi agregat untuk mendapatkan gradasi

campuran yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan.

15

Page 12: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

- Apabila mutu bahan terpenuhi dan harga viskositas aspal serta kombinasi

fraksi sudah diketahui, dibuat campuran agregat dengan berbagai kadar aspal.

Selanjutnya dilakukan percobaan Marshall guna mendapatkan stabilitas dan

kelelahan dari beton aspal.

Pada penelitian ini digunakan agregat yang memenuhi spesifikasi Bina

Marga untuk beton aspal (AC) type XI (SNI No. 1737-1989-F, 1989). Batas

gradasi Type XI spesifikasi Bina Marga untuk beton aspal diberikan pada tabel

2.1.

Gambar 2.5. Rangkaian Mesin Uji Kelelahan DARTEC

16

Page 13: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Gambar 2.6. Komponen-komponen dari Lemari Kontrol Dartec

17

Page 14: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Tabel 2.1 : Batas Gradasi type XI spesifikasi Bina Marga

Batas Tengah Persentase Lolos Lolos Tertahan

Ukuran Saringan

(%) (%) (%) ¾" (19.1 mm) 100 100 0 ½" (12.7 mm) - - - 3/8" (9.52 mm) 74-92 83 17

No. 4 (4.76 mm) 48-70 59 24 No. 8 (2.36 mm) 33-53 43 16 No. 30 (0.59 mm) 15-30 22.5 20.5 No. 50 (0.279 mm) 10-20 15 7.5 No. 100 (0.149 mm) - - - No. 200 (0.074 mm) 4-9 6.5 8.5

Sumber : SNI No. 1737-1989-F

2.4.1 Aspal

Penyebutan aspal menurut spesifikasi Bina Marga, berdasarkan jenis

penetrasinya. Jenis aspal yang umum di pakai di Indonesia adalah penetrasi 60/70

dan penetrasi 80/100. Tabel 2.2 pada bagian C memberikan sifat-sifat aspal

penetrasi 60/70 yang mengikuti Standard Nasional Indonesia (SNI No. 1737-

1989-F).

2.4.2. Mineral Agregat

Agregat pada campuran beton aspal terbagi atas kelompok agregat kasar

dan agregat halus. Agregat kasar terdiri dari batu pecah dan kerikil pecah yang

tertahan pada saringan no.8 menurut standard Bina Marga, atau ukuran saringan

2.36 mm. Agregat kasar harus bersih, kuat dan bebas dari zat-zat asing yang

merugikan campuran beraspal. Persyaratan yang harus dipenuhi menurut

spesifikasi Bina Marga diberikan pada tabel 2.2 pada bagian A.

Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan no.8 menurut Bina

Marga atau ukuran saringan 2.36 mm, terdiri dari batu pecah dan/atau pasir alam,

18

Page 15: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

harus bersih, bebas dari lempung atau abu. Persyaratan yang harus dipenuhi

menurut spesifikasi Bina Marga diberikan pada tabel 2.2 pada bagian B.

Bahan pengisi terdiri dari abu batu, kapur (hydrated lime), abu (dolomite),

semen Portland (PC), abu terbang atau bahan non plastis lainnya serta terbebas

dari zat asing yang merugikan. Bahan pengisi harus lolos saringan no.200 atau

ukuran saringan 0.074 mm.

2.4.3. Alat Pemeriksaan Marshall

Kinerja campuran beraspal dapat diperiksa dengan alat pemeriksaan

Marshall (SNI No.06-2489-1991). Pemeriksaan dimaksudkan untuk menentukan

ketahanan (stabilitas) terhadap kelelahan plastis beton aspal. Kelelahan plastis

adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban

dan sampai pada batas runtuh, yang dinyatakan dalam mm atau 0.01’.

Perencanaan campuran diperlukan untuk mendapatkan resep campuran

yang memenuhi spesifikasi, menghasilkan campuran dengan kinerja yang baik

dari agregat yang tersedia. Pada beton aspal yang umum, dikenal dengan metode

kepadatan rongga dan metode stabilitas leleh.

Beton aspal dengan menggunakan metode kepadatan rongga diharapkan

mempunyai durabilitas yang tinggi terhadap pengaruh disintegrasi dan pengaruh

cuaca. Kandungan aspal yang dibutuhkan lebih tinggi karena stabilitas dibentuk

atas dasar ikatan antar butiran agregat kasar, halus dan aspal.

Beton aspal dengan menggunakan metode stabilitas leleh didasarkan atas

criteria stabilitas yang berasal dari kuncian antar agregat, sehingga kadar aspal

yang dibutuhkan lebih rendah dari pada metode kepadatan rongga.

19

Page 16: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Tabel 2.2 : Spesifikasi Bina Marga untuk Material Agregat dan Aspal

Batas Spesifikasi No. Jenis Pengujian Satuan Min. Maks.

A. Agregat Kasar 1. Penyerapan Air 2. Berat Jenis Bulk 3. Kelekatan Aspal 4. Keausan Agregat dengan Mesin

Los Angeles 5. Indeks Kepipihan

% - %

% %

-

2.5 95 - -

3 - -

40 25

B. Agregat Halus 1. Penyerapan Air 2. Berat Jenis Bulk 3. Sand Equivalent

% - %

-

2.5 50

3 - -

C. Aspal Pen 60/70 1. Penetrasi (25°C, 5sec, 100 gr.) 2. Titik Lembek (Ring&Ball) 3. Titik Nyala 4. Kehilangan Berat (163°C, 5 jam) 5. Kelarutan dalam CCl4, CS2 atau

C2HCL3 6. Daktilitas (25°C, 5 cm/mnt) 7. Penetrasi dari Residu 8. Daktilitas dari Residu 9. Berat Jenis (25°C)

0.1 mm

°C °C

% berat

% berat %

semula cm

60 48 200

-

99 100 54 50 1.0

79 58 -

0.5 - - - - -

Sumber : SNI No. 1737-1989-F, 1989

Beton aspal diharapkan mempunyai sifat dasar seperti :

1. Stabilitas, kemampuan untuk menahan deformasi atau lendutan akibat beban

lalu lintas.

2. Fleksibilitas, kemampuan untuk menahan deformasi tanpa mengalami retak.

3. Durabilitas, beton aspal harus mampu bertahan disintegrasi akibat beban lalu

lintas dan cuaca, serta ketahanan terhadap kelekatan antara aspal dan mineral

agregat.

4. Skid Resistance, berhubungan dengan ketahanan gelincir

5. Kemudahan pekerjaan.

6. Kerataan (Evenness) yang baik.

7. Impermeabilitas yang baik.

20

Page 17: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

8. Noise of traffic yang rendah (umumnya sangat diperlukan untuk perkerasan

kaku).

Lima persyaratan awal merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi

oleh sifat-sifat beton aspal. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh campuran

menurut spesifikasi Bina Marga diberikan kepada tabel 2.3.

Tabel 2.3 : Kriteria Pemeriksaan Marshall untuk Beton Aspal

Lalu Lintas Berat (2x75 Tumbukan)

Lalu Lintas Sedang

(2x50 Tumbukan)

Lalu Lintas Ringan (2x35 Tumbukan)

Kriteria Campuran

Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Stabilitas, kg 550 - 450 - 350 -

Flow, mm 2,0 4,0 2,0 4,5 2,0 5,0 Stabilitas/flow

(kg/mm) 200 350 200 350 200 350

VIM (%) 3 5 3 5 3 5 Indeks

Perendaman (%) 75 - 75 - 75 -

Sumber SNI No. 1737-1989-F, 1989

2.5.Gilsonite

Penggunaan gilsonite sebagai bahan aditif untuk campuran beton aspal

karena gilsonite dapat mengatasi kerusakan dini yang terjadi pada perkerasan

seperti deformasi, retak-retak dan naiknya aspal ke permukaan. Komposisi kimia

gilsonite menunjukkan adanya kandungan asphaltene sebesar 71%, maltene 27%,

dan oli 2%. Dengan kadar asphaltene yang tinggi diharapkan dapat memberikan

kekuatan yang lebih tinggi pada campuran aspal. Selain itu tingginya kadar

nitrogen dalam gilsonite sebesar 3,2% diharapkan dapat memperbaiki adhesi

agregat dan mengurangi stripping karena nitrogen dapat memperbaiki adhesi

agregat sehingga mengurangi penyerapan air. Kadar nitrogen yang relatif lebih

tinggi daripada kadar oksigen menunjukkan bahwa komponen utama gilsonite

adalah nitrogen [Iriansyah, 1993].

Gilsonite adalah mineral hidrokarbon alami yang berwarna. Penggunaan

aditif sebagai bahan tambahan dapat bertujuan untuk meningkatkan mutu aspal

21

Page 18: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

minyak dan kualitas campuran aspal karena gilsonite dapat meningkatkan

viskositas dan titik leleh aspal. Peningkatan ini diperlukan karena iklim tropis di

Indonesia kurang menguntungkan untuk perkerasan jalan. Penggunaan gilsonite

ini merupakan alternatif teknologi dalam industri konstruksi jalan. Dengan

meningkatnya kualitas campuran aspal diharapkan kerusakan dini yang terjadi

pada perkerasan seperti deformasi, retak-retak dan naiknya aspal ke permukaan

dapat diatasi [Iriansyah, 1993].

Sifat-sifat gilsonite antara lain :

a. Kandungan asphaltene yang tinggi.

b. Kandungan nitrogen yang tinggi.

c. Berat molekul tinggi.

d. Komposisi fisika dan kimia tetap.

e. Tingkat kemurnian tinggi.

U.S. Food and Drug Administration telah membuktikan bahwa penggunaan

gilsonite aman terhadap manusia. Gilsonite telah terbukti non carcinogenic, non-

mutagenic, dan non-toxic melalui beberapa tes, yaitu Ames Assay Test, studi

kelayakan makanan untuk National Toxicology Program (NTP) dan NIOSH

protocols.

Gilsonite ditambang pertama kali pada sekitar tahun 1880 di Uintah, Utah.

Pada tahun 1883, gilsonite dinamakan uintaite oleh W.P. Blako sesuai nama

tempat ditemukannya gilsonite. Kemudian nama uintaite diganti menjadi gilsonite

sebagai penghargaan kepada Samuel H. Gilson yang mempopulerkan kegunaan

gilsonite untuk cat, tinta printer, coating, furnish dan produk lainnya. Pada tahun

1886, klaim atas gilsonite diperebutkan oleh nama Samuel dan partnernya,

Seaboldt dengan beberapa penambang lainnya. Seaboldt melakukan eksperimen

yang membuktikan bahwa gilsonite tahan terhadap asam dan kelembaban udara

sehingga klaim atas gilsonite diberikan kepada Samuel dan Seaboldt oleh Uintah

Reservation. Pada tahun 1888, Gilsonite Manufacturing Company telah

memproduksi 3000 ton gilsonite dengan harga $ 80.00 per ton. Pada tahun 1889,

perusahaan tersebut dijual kepada Gilson Asphaltum Company of Missouri dan

pada tahun 1900 dibeli oleh Gilson Asphaltum Company of New Jersey.

22

Page 19: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Di Indonesia, gilsonite telah dipakai sekitar 10 tahun yang lalu (tahun 1990-

an). Dua perusahaan besar gilsonite yaitu Ziegler Chemical and Mineral

Corporation dan American Gilsonite Company mempunyai kantor cabang di

Jakarta. Penggunaan gilsonite di Indonesia meliputi daerah Lampung, Batam,

Yogyakarta, Surabaya dan beberapa daerah lainnya. Sampai saat ini penggunaan

gilsonite di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Amerika dan Eropa

namun Indonesia dan negara Asia lainnya diyakini erupakan pangsa pasar yang

potensial untuk masa mendatang. Hal ini disebabkan penggunaan gilsonite sangat

menguntungkan di daerah beriklim tropis seperti penjelasan tersebut diatas. Selain

itu gilsonite diyakini merupakan salah satu aditif paling ekonomis untuk

meningkatkan rutting resistance karena harga gilsonite kurang lebih 1/3 dari

harga aditif lainnya. Rutting resistance adalah ketahanan terhadap deformasi

akibat beban, dimana rutting resistance dapat dilihat dari nilai Rate of

Deformation (RD).

Gilsonite dibedakan berdasarkan titik lelehnya dan telah dilakukan banyak

pengujian untuk mengetahui komposisinya. Diantaranya Vacuum Thermal

Gravimetric Analysis (TGA), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), Fourier

Transform Infrared Spectrometry (FTIR), Vapor Pressure Osometry (VPO), High

Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Rapid Capillarry Gas

Chromatography (RCGC) [http://www.zieglerchemical.com,1997-2000].

Semakin tinggi titik leleh gilsonite maka semakin besar kemampuan gilsonite

untuk menurunkan penetrasi aspal namun yang paling umum digunakan adalah

gilsonite dengan titik leleh 350 °F [http://www.americangilsonite.com, 2000].

Komposisi kimia gilsonite pada masing-masing titik leleh dan komponen-

komponen yang terkandung

dalam gilsonite dapat dilihat pada tabel berikut ini.

23

Page 20: 2. LANDASAN TEORI 2.1.Tegangan dan Regangan pada

Tabel 2.4 : Komposisi Kimia Gilsonite

Titik Leleh (°F) Komposisi Kimia 290 320 350 375 Asphaltene 57 66 71 76 Maltene 37 30 27 21 Oil 6 4 2 3 Total 100 100 100 100 Sumber : http://www.zieglerchemical.com

Tabel 2.5 : Komponen-komponen Gilsonite

Komponen berat (%) Carbon 84,9 Hidrogen 10,0 Nitrogen 3,3 Sulfur 0,3 Oksigen 1,4 Unsur lain 0,1 Total 100 Sumber : http://www.zieglerchemical.com

24