34
TUGAS MAKALAH KECIL PEMIKIRAN JOHN LOCKE TENTANG NEGARA Disusun Oleh : Mohamad Ridwan Hendriawan NIM No. Absen : : 30 Dosen : Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. Mata Kuliah : Politik Hukum

PEMIKIRAN JOHN LOCKE TENTANG NEGARA

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS MAKALAH KECIL

PEMIKIRAN JOHN LOCKE TENTANG NEGARA

Disusun

Oleh

: Mohamad Ridwan Hendriawan

NIM

No. Absen

:

: 30

Dosen : Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,

M.H.

Mata

Kuliah

: Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN ………………………… 3

A. Latar Belakang ………………………… 3

BAB II PEMBAHASAN ………………………… 6

A. Biografi John Locke

B. Two Treatises of Civil

Government

C. Pembatasan Kekuasaan negara

…………………………

…………………………

…………………………

6

8

17

BAB III KESIMPULAN ………………………… 21

A. Kesimpulan

B. Saran

…………………………

…………………………

21

22

Daftar Pustaka ………………………… 25

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat tentang politik berkembang dari sebuah ilmu

filsafat praktis sejak zaman Yunani Kuno, sehingga

filsafat politik dan filsafat umum memiliki sebuah

kesamaan.1 Terdapat pengertian lain yang menjelaskan

keterkaitan antara filsafat politik dan filsafat umum.

1 Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai padatahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, danlainnya. terbukti dari hasil karya filosof seperti Plato danAristoteles. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiranilmu politik dikenal sebagai bapak  filsafat   politik,  sedangkanAristoteles yang  telah meletakan dasar-dasar keilmuan dalam kajianpolitik dikenal sebagai Bapak ilmu politik. Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 5.

3

Istilah Filsafat berasal dari bahsasa Yunani “ Philosofi ”

dan dalam perkembangan berikutnya dikenal di dalam

bahasa lain yaitu, Philosofie (Jerman, Belanda, dan

Prancis), Philosofhy (Inggris), Philosophia (Latin), dan

Falsafah (Arab).2 Filsafat juga dipejari sebagai sebuah

usaha mencari kebenaran hingga akar-akarnya, sedangkan

filsafat politik yang berasal dari kata “politis” (political)

menjadi perhatian dari kalangan para ahli teori dengan

mencari pokok masalah (subject matter) dalam hal ini

ditentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap sebagai

“publik”.3

Namun, filsafat dapat digambarkan sebagai usaha

sistematis untuk mempelajari sebuah prinsip yang mendasari

segala hal, yaitu penyelidikan tentang apa yang “politis”

(political) dianggap harus membentuk sebuah bagian dari usaha

yang berfilsafat secara umum (McBride, 1994:1)

Maka dari itu filsafat politik dapat dikatakan

sebagai usaha-usaha filsuf dalam memberikan sebuah panduan2 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Granpindo Persada,2010),hlm. 10.3 Wolin, Sheldon (2004). Politics and vision: continuity and innovationin Western political thought. Princeton, New Jersey: PrincetonUniversity Press.

4

dan jawaban untuk menanggapi suatu masalah dalam kehidupan

msyarakat secara umum. Bagi Plato, filsafat politik adalah

upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi

kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia

menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara

yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus

ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato,

manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena

itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila

manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk

berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah

cerminan mansuia yang menjadi warganya.4

Filsafat politik terus mengalami perkembangan

semenjak era Yunani Kuno hingga abad pertengahan, hingga

muncul filsuf pada era pencerahan yaitu John Locke pada

4 Bagi Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya. Dan bagiAritoteles, filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda.Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologia” atau“filsafat petama”. Politik adalah proses pembentukan dan pembagiankekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada prosespembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara sepertiIndonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama,Lembaga Eksekutif oleh Presiden Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR.Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ahmad Tafsir, FilsafatUmum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 8.

5

tahun 1632 dengan karyanya yang terkenal dengan nama

pandangan terhadap negara, terhimpun dalam buku yang

berjudul “Two Treatises of Civil Government”

Salah satu filsuf yang mencuat pada era pencerahan

yaitu John Locke (1632) yang terkenal dengan sumbangan

karyanya tentang pandangan terhadap negara. Salah satu

karya pemikirannya terhimpun dalam sebuah buku yang

berjudul “The Second Treatise of Government”5 yang akan dibahas

oleh penulis sebagai primary object dalam makalah kecil ini,

disertai penulisan mengenai latar belakang, pemikiran-

pemikiran John Locke mengenai negara.

5 Satya Arinanto, Politik Hukum 1 Edisi Pertama, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI JOHN LOCKE

John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28

Oktober 1704 pada umur 72 tahun) merupakan seorang filsuf

berasal dari Inggris yang menjadi salah satu penggas

7

penting dari pendekatan Empirisme.6 Empirisme adalah sebuah

aliran yang memaparkan bahwa segala pengerahuan berasal

dari sebuah pengalaman manusia. Kata empirisme berasal

dari bahasa yunani emperia yang berarti pengalaman. Jadi

empirisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa

pengalaman adalah sumber pengetahuan. Empirisme juga

berarti sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman

manusia didapat dari pengalaman-pengalaman yang nyata dan

faktual.

John Locke berusaha menggabungkan teori-teori

empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan

ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat

ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme

mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang

sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan

datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran

akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh

6 Franz Magnis-Suseno. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Hal. 73-74.

8

karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya

sendiri.7

John Locke berpendapat rasio manusia harus dianggap

sebagai lembaran kertas putih (as a white paper) dan

seluruh permukaan dan isinya berasal dari sebuah

pengalaman. Pengalaman tersebut dibagi menjadi dua yaitu

pengalaman lahiriah (sensation) dab pengalaman batiniah

(reflection) yang menghasilkan ide-ide tunggal.8

John Locke terkena sebagai filsuf negara liberal

dalam bidang fisafat politik bersama dengan rekannya,

Isaac Newton, keduanya dikenal sebagai salah satu tokoh

terpenting dalam era pencerahan.9 Selain itu John Locke

menandai munculnya era modern dan era pasca-Descartes (post-

Cartesian), karena pendekatan filsuf ini tidak lagi menjadi

satu-satunya pemikiran dominan di dalam pendekatan

filsafat pada zaman itu.

Pada tahun 1647, John Locke belajar di sebuah sekolah

ternama di Inggris, sekolah Wesminster, dimana7 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius.1993). Hal 36.8 Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). Hal. 271.9 Ibid., hlm. 272

9

pendidikannya terkonsentrasi pada ajaran bahasa-bahasa

kuno, yaitu bahasa Latin, bahasa Yunani dan juga bahasa

Ibrani. Kemudian pada tahun 1652, John Locke mendapatkan

beasiswadi sekolah Gereja Kristus, Oxford dan menetap

disana sejak bulan Mei 1652.10

John Locke tidak meminati metode skolastik dalam

sebuah perdebatan di sekolah tersebut termasuk tema-tema

metafisika dan logika, sehingga John Locke tidak dapat

hasil yang mengesankan ketika mendapatkan gelar strata

dua. Kesehariannya dihabiskan dengan membaca karya-karya

sastra, salah satunya drama, roman dan sebagainya hingga

menyenangi bidang medis, seperti yang tertulis dalam

beberapa catatan pribadi John Locke pada periode akhir

decade 1650-an, catatan tersebut berisikan tentang hal-hal

yang berkaitan tentang kesehatan dan pengobatan.11

John Locke perlahan mulai meminati filsafat alam

ketika menulis catatan keseharian medisnya pada tahun

1658. Pada awal tahun 1660, Robert Boyle bertemu dengan

10 Wikipedia, “John Locke” diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke, pada tanggal 2 Oktober 2014 pukul 23.2111 Ibid.

10

John Locke dan memberikan pengaruh kuat dengan filsafat

mekanisnya dan menarik minat John Locke juga karya-karya

Descartes.

Bergejolaknya politik di Inggris membuat John Locke

menaruh minatnya kepada politik karena Cromwell saat itu

mengubah sistem politik Inggris, hingga meninggal pada

tahun 1658 yang kemudian diperintah oleh raja Chales II

yang menghendaki pemerintahan dengan kuat, menguasai

negara dan gereja Inggris. Pada waktu itu John Locke

mendukung pemerinahan Charles II. Hingga pada bulan

November hingga Desember beliau membuat suatu karangan

singkat untuk menanggapi Edward Bagshaw yang berisikan

penegasan perlunya hakim sipil dalam menentukan bentuk-

bentuk ibadah keagamaan.12

.

B. Two Treatises of Civil Government

Pemikiran John Locke terhadap negara tertulis dalam

bukunya yang berjudul Two Treatises of Civil Government, penulisan

12 Amalia Wardahni., “Pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke tentang Kekuasaan Negara”, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, 2013

11

buku ini dilatat belakangi oleh kehidupan politik Inggris

dan Perancis abad XVII (17) yang didominasi oleh wacana

monarki absolut. Sejarah Inggris memandang bahwa doktrin

monarki absolut adalah jalan keluar terhadap kekacauan

sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang

agama yang kerap terjadi pada masa itu. Monarki absolut

dilandasi atas kepercayaan bahwa kekuasaan raja memiliki

sifat ilahi dan suci karena Tuhan yang telah

menganugrahkan kekuasaan tersebut kepada raja dan

kepercayaan ini kemudian terkenal dengn sebutan hak-hak

ketuhanan raja.13

Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarki

absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan

kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki

absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua,

sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan

Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan

cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di

dunia ini.

13 John Plamenatz, Man and Society, Vol. II. (London: Longmans, 1965), hlm. 172.

12

Sementara itu, John Locke Locke hadir sebagai penentang

gigih terhadap monarki absolut di negaranya. John Locke

menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip

civil society yang diyakininya.14 Civil society yaitu bentuk

masyarakat yang merupakan gugatan terhadap institusi

superiort yang semula diciptakan untuk mengatasi supremasi

naturalistik, membatasi wilayah dan ruang geraknya.15 Dari

sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan

Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme

kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam

karyanya Patriarcha.16

Karya John Locke dalam karya Two Treatises terbagi menjadi

2 yaitu First Treatise yang difokuskan pada sanggahan dari Sir

Robert Filmer, khususnya Patriarcha, yang berpendapat

14 Robert A. Dahl berpendapat, Locke memberikan kepada manusia sejenis persamaan intrinsik, yang meskipun jelas tidak ada relevansinya bagi banyak keadaan, namun pasti sangat menentukan untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama sekali untuk tujuan pemerintahan. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya [Democracy and its Critics], diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 122.15 Muhadjir effendi, masyarakat equilibrium.( Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002). Hlm. 6.16 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 118.

13

masyarakat sipil didirikan pada hak-hak ketuhanan seorang

raja dan Second Treatises mengurai teori masyarakat sipil.

John Locke dimulai dengan menggambarkan keadaan alam ,

gambar jauh lebih stabil dari Thozas Hobbes negara “perang

bagi setiap orang melawan setiap orang,” dan berpendapat

bahwa semua manusia diciptakan sama dalam keadaan alam oleh

Tuhan. Dari ini, ia melanjutkan dengan menjelaskan kenaikan

hipotetis properti dan peradaban, dalam proses menjelaskan

bahwa satu-satunya pemerintah yang sah adalah mereka yang

memiliki persetujuan rakyat. Oleh karena itu setiap

pemerintah bahwa aturan-aturan tanpa persetujuan dari orang

dapat secara teori digulingkan.17 Sehingga dalam Second

Treatise Locke mengembangkan sejumlah tema penting yaitu:

keadaan alamiah ,dimana individu tidak berkewajiban untuk

mematuhi satu sama lain, penaklukan dan perbudakan,

properti, pemerintahan perwakilan, dan hak revolusi.18

17 Satya Arinanto, Politik Hukum 1 Edisi Pertama, Op.cit.18 “Men being, as has been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent” Satya Arinanto, Politik Hukum 1 Edisi Pertama, Ibid, hlm 3.

14

Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga,

yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang

(the state of war), dan negara (commonwealth).

1. The State of Nature

Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan

masyarakat. Konsep Locke ini serupa dengan pemikiran Hobbes

namun bila Hobbes menyatakan keadaan alamiah sebagai keadaan

“perang semua lawan semua”, maka Locke berbeda. Menurut John

Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah

situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan

dan kesamaan hak yang sama.19

Dalam keadaan tersebut, setiap manusia bebas menentukan

dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa

bergantung kepada kehendak orang lain. Meskipun masing-

masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi

kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan

ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan.20 Yang

dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah

19 Ibid.20 Ibid.

15

larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan,

dan harta milik orang lain. Dengan demikian, Locke menyebut

ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam kodrat setiap

manusia dan merupakan pemberian Tuhan. Konsep ini serupa

dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam masyarakat

modern.

Bagi Locke, untuk memahami benar kekuatan politik dan

melacak asal-usulnya, kita harus mempertimbangkan keadaan

bahwa semua orang adalah di alam. Itu adalah keadaan

sempurna kebebasan bertindak dan membuang harta mereka

sendiri dan orang-orang yang mereka anggap baik dalam batas-

batas hukum alam. Orang-orang di negara ini tidak perlu

meminta izin untuk bertindak atau tergantung pada kehendak

orang lain untuk mengatur hal-hal atas nama negara. Keadaan

alamiah juga merupakan salah satu persamaan di mana semua

kekuasaan dan yurisdiksi timbal balik dan tidak ada yang

memiliki lebih dari yang lain. Ini adalah bukti bahwa semua

manusia sebagai makhluk memiliki spesies yang sama dan

peringkat dan lahir tanpa pandang bulu dengan semua

keunggulan alamiah yang sama.

16

I. Penaklukan dan Perbudakan

Dalam retorika abad ke-17 Inggris , mereka yang

menentang peningkatan daya raja-raja mengklaim bahwa negara

itu menuju suatu kondisi perbudakan. Oleh karena itu Locke

bertanya, dalam kondisi apa perbudakan seperti itu mungkin

dibenarkan. Dia mencatat bahwa perbudakan tidak sesuai

dengan prinsip civil society (yang menjadi dasar sistem

politik Locke). Locke berpendapat bahwa agresor dalam perang

yang tidak adil tidak bisa mengklaim hak penaklukan sehingga

sebuah perampasan kuno tidak menjadi halal.

II. Properti

Dalam Second Treatise, Locke mengklaim bahwa masyarakat

sipil diciptakan untuk perlindungan properti. Dengan

mengatakan ini ia mengandalkan akar etimologis “properti,”

Latin adalah proprius, atau apa seseorang sendiri, termasuk

diri sendiri (Perancis propre). Jadi, dengan “properti” ia

berarti “kehidupan, kebebasan, dan real.” Dia mulai dengan

menegaskan bahwa setiap individu minimal, “memiliki”

17

sendiri, ini adalah akibat wajar dari masing-masing individu

yang bebas dan sama dalam kondisi alamiah. Seorang pria

harus diperbolehkan untuk makan, dan dengan demikian

memiliki apa yang telah dimakan menjadi miliknya sendiri.

Hal ini sangat bertentangan dengan Filmer yang mengatakan

bahwa, jika ada bahkan adalah keadaan alamiah semuanya akan

dimiliki bersama: tidak mungkin ada milik pribadi, dan

karenanya tidak ada keadilan atau ketidakadilan.

Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu

didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara

didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk

mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang,

tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi

yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property)

yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik

(estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan

(liberties).

III. Pemerintahan Perwakilan

18

Locke tidak menuntut republik. Sebaliknya, Locke merasa

bahwa kontrak yang sah dengan mudah bisa ada di antara warga

negara dan monarki, oligarki atau beberapa bentuk campuran.

Ide-idenya sangat dipengaruhi baik Revolusi Amerika dan

Perancis. Gagasan hak-hak rakyat dan peran pemerintah sipil

memberikan dukungan kuat bagi gerakan intelektual dari kedua

revolusi.

IV. Hak Revolusi

Konsep hak revolusi itu juga diambil oleh John Locke di

Two Treatises Pemerintah sebagai bagian dari teori kontrak

sosialnya. Locke menyatakan bahwa menurut hukum alam, semua

orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan real; di

bawah kontrak sosial, orang bisa mengobarkan revolusi

melawan pemerintah ketika itu bertindak demi memperjuangkan

kepentingan warga, untuk mengganti pemerintah dengan yang

mampu melayani kepentingan warga.

2. The state of War

19

Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan

bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-

hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab

utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia

dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di

dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang

mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk

konsumsi masing-masing. Ketidaksamaan harta kekayaan membuat

manusia mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan

status-status yang hierarkis lainnya.

Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi

iri, saling bermusuhan,,dan bersaing. Masing-masing orang

menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri. Keadaan

alamiah yang harmonis dan penuh damai tersebut kemudian

berubah menjadi keadaan perang yang ditandai dengan

permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan.

Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia

jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang.

20

3. Commonwealth

Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar

dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka

masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal”. Maka

dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian,

yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan

pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).

Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian

membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk

membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap

kedua, para individu yang telah membentuk body politic

tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan

kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum

alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis

(perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).

Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu

menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi

tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama

negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para

warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara

21

meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang

penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan

kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan

masyarakat.21

Inilah saat lahirnya negara persemakmuran

(commonwealth). Dengan demikian, tujuan berdirinya negara

bukanlah untuk menciptakan kesamarataan setiap orang,

melainkan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap

warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut. Di dalam

perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan

penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada

negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan

bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk

menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari

Tuhan. Ajaran Locke ini menimbulkan dua konsekuensi:

1) Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan

tidak mutlak sebab kekuasaannya berasal dari warga

masyarakat yang mendirikannya. Jadi, negara hanya

21 Azhary, Sejarah Tipe Pokok Negara, (Jakarta: Permata Publishing Company, 1979), hlm. 5.

22

dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan

masyarakat terhadapnya.

2) Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin

hak-hak asasi warga, terutama hak warga atas harta

miliknya. Untuk tujuan inilah, warga bersedia

melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah

yang diancam bahaya perang untuk bersatu di dalam

negara.

Setting kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya

suatu negara substansi utamanya yaitu adanya keadaan yang

tidak nyaman menuju ke keadaan yang lebih nyaman dan lebih

baik dari debelumnya. Sehingga tugas dan kewajiban

pemerintahan negara adalah menghidupkan kesejahteraan

rakyat.22

C. Pembatasan Kekuasaan negara

22 Tumar Sumihardjo. Penyelenggaraan Pemda Melalui Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. (Bandung: Pusat Studi Pemerintahan Daerah, 2008). hlm. 20.

23

Menurut Locke ada dua cara untuk membatasi kekuasan

negara, yaitu

1. Konstitusi

Untuk mencegah munculnya negara dengan kekuatan absolut

dan terjaminnya kehidupan civil society, John locke berpendapat

mengenai peran startegis konstitusi dalam membatasi

kekuasaan negara menurut pemikirannya. Peranan penting

diposisikan kepada konstitusi dan memiliki fungsi yang

sangat penting dalam membatasi kekuasaan negara. Usaha untuk

mempertahankan hak-hak individu, didahulukan ketika membahas

konstitusionalisme terlepas dari tindakan hak-hak serupa

pada orang lain.

Karena itu, Konstitusionalisme John Locke tidak selalu

diartikan sebagai sebuah usaha perlindungan terhadap hak-hak

individu ketika berhadapan dengan kekuasaan negara dalam

bentuk penindasan (abuse of power).23 Terlepas dari perbedaan

penafsiran paham konstitusionalisme, pemikiran John Locke

telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara

kosntitusional dalam sejarah politik barat. Pada dasarnya,

23 C.B. Machperson, The Political Theory of Possesive Individualism, Hobbes to Locke, (Oxford: Oxford University Press, 1962), hlm. 257.

24

gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan

untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.24 Konstitusi

memiliki tujuan merumuskan cara-cara untuk membatasi dan

mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak asasi

rakyat.25

Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat

penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat

aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi

warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh

dilanggar oleh penguasa negara.

2. Pemisahan Kekuasaan

Menurut John Locke, kemungkinan munculnya negara

totaliter juga bisa dihindari dengan adanya pembatasan

kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan

cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan

atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan

cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk:

24 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 58.25 Tufiqurrohman Syahuri. Hukum Konstitusi. (Bogor:Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 17.

25

kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif

(executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).26

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat

undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental

lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang

melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum

yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan

federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah

hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,

perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-

transaksi dengan negara asing.27

Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu

sama lain baik mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai

alat perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan

demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan

kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah

konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang

26 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (DianRakjat, Jakarta Timur, 1983). hlm. 16.27 Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The Spirit of the Laws], (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55.

26

berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga

negara akan lebih terjamin.28

Kekuasaan legislatif, menurut John Locke, tidak boleh

dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun,29 karena

pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi

pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Undang-undang

yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat

kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak

boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan

oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan

kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan

eksekutif.30

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

28 John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 182-188.29 Legislatif tidak dapat mengalihkan kekuasaan membuat undang-undang ke tangan orang lain. karena kekuasaan tersebut tidak lain adalah kekuasaan yang didelegasikan dari rakyat, mereka yang memilikinya tidak dapat dialihkan ke orang lain. Locke, Ibid.30 Ibid.

27

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan

pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1) Di dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang telah termuat secara tegas mengenai

ketentuan subrogasi. Ketentuan tersebut juga

diperkuat di dalam Polis Standart Asuransi Kebakaran

Indonesia yang dikeluarkan oleh PT Wahana Tata Tahun

2005 tepatnya di dalam Pasal 16 dan juga termuat di

dalam Polis Standart Asuransi Kendaraan Bermotor

Indonesia yang dikeluarkan oleh Asosiasi Asuransi

Umum Indonesia (AAUI) melalui Surat Keputusan Nomor

06 Tahun 2007 di dalam Pasal 22. Secara nyata

mempunyai legitimasi hukum dimana proses pengalihan

kedudukan dari tertanggung kepada penanggung atau

yang disebut subrogasi hanya dapat terjadi apabila

penanggung telah memberikan penggantian kerugian

pada tertanggung.

28

2) Klaim terhadap asuransi kerugian yang diajukan oleh

tertanggung berlaku setelah Surat Permintaan

Penutupan Asuransi (SPPA) yang diserahkan

tertanggung kepada penanggung disetujui oleh

Penanggung. Dengan disetujuinya SPPA, berarti

Tertanggung sudah berhak mengajukan klaimnya kepada

penanggung. Namun ketika klaim yang diajukan oleh

tertanggung tersebut diakibatkan oileh sebuah

evenement yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka

setelah pembayaran klaim dilakukan oleh Penanggung,

penanggung dengan serta merta mempunyai hak

subrogasi kepada pihak ketiga. Meskipun pengaturan

prinsip subrogasi dalam praktek perasuransian di

Indonesia telah mendapat legitimasi berdasarkan

pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan

tercantum pula dalam polis, terkadang prinsip

subrogasi sulit untuk dilaksanakan karena hambatan-

hambatan dari berbagai factor baik dari tertanggung,

penanggung, maupun faktor-faktor dari unsur lain.

Tertanggung memiliki andil utama agar dapat

29

terlaksananya tahap berikutunya dalam subrogasi.

Artinya hak penanggung dalam subrogasi baru akan

timbul apabila tertanggung mau menyampaikan adanya

peran pihak ketiga dalam evenement yang terjadi dan

menimbulkan kerugian yang diderita oleh tertanggung.

Apabila tertanggung tidak jujur atau enggan

menjalani proses subrogasi, maka hak subrogasi

penanggung sulit untuk diwujudkan. Selanjutnya,

meskipun tertanggung telah memberitahukan adanya

andil pihak ketiga dalam kerugian yang dideritanya,

penanggung juga memberikan andil atas tidak

terlaksananya prinsip subrogasi tersebut apabila

memilih untuk menuntut ganti rugi dari pihak ketiga.

Pada umumnya, alasan yang dikemukakan adalah karena

jumlah nominal subrogasi jauh lebih kecil dan proses

pengurusan klaimnya yang lama. Dalam hal penanggung

dan tertanggung telah sama-sama menghendaki

dilakukannya proses subrogasi, dapat saja hak

subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena beberapa

factor, seperti : kesulitan menemukan kesalahan

30

pihak ketiga, pihak ketiga tidak dapat memberikan

ganti rugi, adanya kalusula dalam polis yang

menghambat klaim tertanggung, dan adanya knock for

knock agreement.

B. Saran

Beberapa saran atas penulisan hukum ini yang dapat

diberikan antara lain :

1) Hak atas subrogasi yang diperoleh oleh Penanggung

sudah terdapat di dalam ketentuan perundang-undangan

yang mengatur secara tegas tentang pemberlakuan

subrogasi baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang maupun Polis itu sendiri. Maka sebaiknya,

Penanggung tidak mengabaikan hak tersebut dan

memanfaatkan semaksimal mungkin.

2) Bagi Tertanggung yang merasa hak atas klaimnya tidak

terpenuhi segera setelah pengajuan SPPA, Tertanggung

dapat meminta penggantian kerugian kepada

Penanggung. Mengingat perjanjian asuransi yang telah

dibuat dan disepakati oleh para pihak. Selama itu

31

pula hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap

harus dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Arinanto, Satya. Politik Hukum 1 Edisi Pertama, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.

Bakshtiar, Amsal. Filasafat ilmu, Raja Granpindo

Persada, Jakarta, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

Effendi, Muhadjir. Masyarakat equilibrium, Benteng

Budaya, Yogyakarta, 2002

32

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius,

Yogyakarta 1993.

Locke, John. Two Treatises of Government, New Edition,

London, 1993

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa

Undang-Undang (The Spirit of The Laws), Jakarta, 1992

Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan,

Bandung, 2001

Plamenatz, John, Man and Society, Vol. III, Longmans,

London, 1965.

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Tata Negara di

Indonesia, Dian Rakjat, Jakarta, 1983.

Suseno., Magnis. Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,

Kanisius, Yogyakarta, 1992.

Syahuri, Tufiqurrohman. Hukum Konstitusi. Ghalia

Indonesia, Bogor, 2004

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, PT Remaja Rosdakarya,

Bandung, 1990.

Zainuddin, A. Rahman. Terjemahan Democracy and its Critics

Edisi I, Jakarta,1992

33

2. Artikel-artikel

Machperson, C.B. The Political Theory of Possesive Individualism.

Hobbers to Locke. Oxford University Press. Oxford,

1962.

Wolin, Sheldon. Politics and vision: continuity and innovation in

Western political thought. Princeton, Princeton University

Press. New Jersey, 2004.

3. Makalah

Wardahni, Amalia., (2013) “Pemikiran Thomas Hobbers dan

John Locke tentang kekuasaan Negara”, Makalah Departemen

Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Airlangga, Surabaya

4. Internet

Wikipedia. “John Locke”. 2 Oktober 2014.

http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke.

34