10
Dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia (27-28 Oktober 2015) Yang diadakan oleh Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI) V Bekerjasama dengan FPBS Universitas Pendidikan Indonesia KAJIAN SEMIOTIKA C.S. PIERCE DALAM KESENIAN BANTENGAN (Upaya Revitalisasi Nilai-Nilai Kesenian Daerah Malang) Oleh: Kisno Umbar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected] ABSTRAK Kesenian Bantengan merupakan warisan budaya yang banyak dikenal di daerah Malang. Terlihat dari banyaknya grup Bantengan yang ada, seperti Bantengan Nuswantoro yang terkenal. Kesenian Bantengan sering dihadirkan dalam hari kemerdekaan, kegiatan bersih desa, dan dalam berbagai kegiatan karnaval. Namun semakin berkembangnya dunia kesenian Bantengan, ia hanya dipandang sebagai panggung hiburan dan jarang sekali yang memahami makna dibalik kesenian Bantengan tersebut. Padahal, menurut pendapat Geertz (Sobur, 2006: 178) bahwasannya simbol-simbol yang dikemas dalam sebuah budaya masa lalu adalah realitas empiris yang diwariskan secara empiris dan berfungsi sebagai petunjuk kehidupan Berdasarkan problematika demikian, pemahaman makna menjadi hal yang harus diusahakan untuk melestarikan kenenian Bantengan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan sumber data observasi serta wawancara dan didukung dengan adanya penelitian terdahulu tentang Bantengan. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis semiotika C.S Pierce. Simbol yang tersimpan dalam kesenian Bantengan, meliputi segala sesuatu yang ada di dalamnya seperti topeng banteng, macan, dan kera menggambarkan komponen tertentu yang di masyarakat saat masa penjajahan. Topengtopeng tersebut menjadi simbol perwatakan dari golongan-golongan yang digambarkan, yakni banteng sebagai perjuangan rakyat, macan sebagai penjajah, dan kera sebagai golongan yang licik sebagai penghasut. Adegan para pemain menunjukkan, realitas empiris pertempuran antara rakyat melawan penjajah. Kata Kunci: kesenian bantengan, simbol, semiotika C.S Pierce, makna simbol. PENDAHULUAN Kesenian menurut Akhadiat K. Miharja menjelaskan bahawasanya seni sebagai kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas dalam suatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohani manusia (Sujarwa,2011:313). Sujarwa menambahkan bahwasanya kesenian hadir sebagai ungkapan perasaan manusia yang diabstraksikan melalui sebuah media tertentu yang serat dengan simbol, makna, dan kesan (2011: 314). Dengan demikian kesenian merupakan sesuatu yang berharga, karena memiliki manfaat menghibur dan serat dengan makna-makna tertentu. Makna dan kesan dalam sebuah kesenian tidak hadir begitu saja tanpa pengaruh apapun. Kesenian hadir dengan banyaknya pengaruh banyak hal seperti, kondisi sosial, politik, dan geografis. Hal inilah yang kemudian menjadikan kesenian yang berkembang antara lingkungan masyarakat satu dan lainnya berbeda, karena latar belakangnya juga berbeda. Demikian ini juga yang menjadi keistimewaan Indonesia. Indonesia merupakan negara yang

KAJIAN SEMIOTIKA C.S. PIERCE DALAM KESENIAN BANTENGAN (Upaya Revitalisasi Nilai-Nilai Kesenian Daerah Malang)

  • Upload
    uinjkt

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah

Indonesia (27-28 Oktober 2015)

Yang diadakan oleh Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI) V

Bekerjasama dengan FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

KAJIAN SEMIOTIKA C.S. PIERCE DALAM KESENIAN BANTENGAN

(Upaya Revitalisasi Nilai-Nilai Kesenian Daerah Malang)

Oleh: Kisno Umbar

Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

[email protected]

ABSTRAK

Kesenian Bantengan merupakan warisan budaya yang banyak dikenal di daerah

Malang. Terlihat dari banyaknya grup Bantengan yang ada, seperti Bantengan Nuswantoro

yang terkenal. Kesenian Bantengan sering dihadirkan dalam hari kemerdekaan, kegiatan

bersih desa, dan dalam berbagai kegiatan karnaval. Namun semakin berkembangnya dunia

kesenian Bantengan, ia hanya dipandang sebagai panggung hiburan dan jarang sekali yang

memahami makna dibalik kesenian Bantengan tersebut. Padahal, menurut pendapat Geertz

(Sobur, 2006: 178) bahwasannya simbol-simbol yang dikemas dalam sebuah budaya masa

lalu adalah realitas empiris yang diwariskan secara empiris dan berfungsi sebagai petunjuk

kehidupan

Berdasarkan problematika demikian, pemahaman makna menjadi hal yang harus

diusahakan untuk melestarikan kenenian Bantengan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif dan sumber data observasi serta wawancara dan didukung

dengan adanya penelitian terdahulu tentang Bantengan. Dalam hal ini peneliti menggunakan

analisis semiotika C.S Pierce.

Simbol yang tersimpan dalam kesenian Bantengan, meliputi segala sesuatu yang ada

di dalamnya seperti topeng banteng, macan, dan kera menggambarkan komponen tertentu

yang di masyarakat saat masa penjajahan. Topeng–topeng tersebut menjadi simbol

perwatakan dari golongan-golongan yang digambarkan, yakni banteng sebagai perjuangan

rakyat, macan sebagai penjajah, dan kera sebagai golongan yang licik sebagai penghasut.

Adegan para pemain menunjukkan, realitas empiris pertempuran antara rakyat melawan

penjajah.

Kata Kunci: kesenian bantengan, simbol, semiotika C.S Pierce, makna simbol.

PENDAHULUAN

Kesenian menurut Akhadiat K. Miharja menjelaskan bahawasanya seni sebagai

kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas dalam suatu karya, yang berkat bentuk

dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohani

manusia (Sujarwa,2011:313). Sujarwa menambahkan bahwasanya kesenian hadir sebagai

ungkapan perasaan manusia yang diabstraksikan melalui sebuah media tertentu yang serat

dengan simbol, makna, dan kesan (2011: 314). Dengan demikian kesenian merupakan sesuatu

yang berharga, karena memiliki manfaat menghibur dan serat dengan makna-makna tertentu.

Makna dan kesan dalam sebuah kesenian tidak hadir begitu saja tanpa pengaruh apapun.

Kesenian hadir dengan banyaknya pengaruh banyak hal seperti, kondisi sosial, politik, dan

geografis. Hal inilah yang kemudian menjadikan kesenian yang berkembang antara

lingkungan masyarakat satu dan lainnya berbeda, karena latar belakangnya juga berbeda.

Demikian ini juga yang menjadi keistimewaan Indonesia. Indonesia merupakan negara yang

kaya akan kesenian. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan beragam kesenian yang

memiliki kekhasan tersendiri yang bercorak keindonesiaan. Salah satunya adalah kesenian

Bantengan yang berkembang di Malang dan Mojokerto.

Istilah “Bantengan” diambil dari salah satu simbol yang digunakan dalam kesenian

tersebut. Tetapi sesungguhnya tidak hanya simbol banteng saja yang terdapat dalam kesenian

Bantengan namun ada simbol kepala singa juga, namun banteng lebih dominan, sehingga

banyak orang menyebutnya sebagai kesenian Bantengan. Dua simbol tersebut adalah simbol

utama yang terdapat dalam kesenian Bantengan, yang kemudian menjadi perwujudan

perjuangan yang herois dalam melawan penjajah. Kesenian Bantengan muncul sejak zaman

kolonial Belanda, namun siapa pengagasnya tidak ditemukan secara jelas (Desprianto, 2013:

151). Karena pada saat itu, kesenian Bantengan muncul sebagai bentuk pengecohan terhadap

kaum kolonial, lantaran seni pencak silat dilarang (Desprianto, 2013: 151). Dan sebagai

perwujudannya, seni pencak silat kemudian digabungkan dengan simbol-simbol tersebut, dan

seolah-olah menjadi panggung hiburan bagi kaum kolonial.

Kesenian Bantengan ini layaknya kesenian jawa lainnya, yakni memiliki kandungan

mistik. Mistik disini dipandang dari bagaimana seoarang pawang ahli yang kemudian

memanggil ruh dengan simbol-simbol yang ada. Sehingga para pemain Bantengan bergerak

bukan karena kemauan diri sendiri, tetapi ruh-ruh yang dipanggil tersebut yang

menggerakkannya. Adegan tersebut menjadi pertunjukan yang sangat dinantikan oleh

masyarakat. Ada anggapan bahwa adegan tersebut hadir sebagai media berkomuniasi dengan

nenek moyang dan masyarakat sekarang (Maulana, 2014: 1-3).

Beberapa hal mistik yang berkembang di dalam kesenian Bantengan adalah sesuatu

hal yang wajar, karena hal tersebut merupakan bentuk kepercayaan nenek moyang. Bahkan

nilai-nilai mistik ini tetap ada hingga sekarang ini. Hampir disetiap pertunjukan kesenian

Bantengan ada pemain yang kesurupan, sehingga kesenian Bantengan semakin menarik.

Melihat perkembangan dunia kesenian Bantengan masa lalu dengan sekarang

sangatlah berbeda. Dahulu kesenian ini terbentuk melalui kondisi sosial dibawah tekanan

kolonialisme, sedangkan sekarang sudah terlepas dan Indonesia menjadi negara yang

merdeka. Kehadiran kesenian Bantengan di zaman sekarang ini sudah berubah menjadi dunia

pertunjukkan dan berfungsi sebagai hiburan (Desprianto, 2013: 151). Hal tersebut memang

tidak dapat dipungkiri, karena pengaruh budaya-pop yang ada lebih kuat dan masa penjajahan

sudah terlepas. Bahkan dalam perkembangnnya, sudah banyak ditemukan inovasi dalam

kesenian Bantengan ini untuk menyesuaikan dengan kebudayaan masyarakat modern. Namun

dengan bergesernya tujuan dari pertunjukkan kesenian Bantengan, juga berdampak negatif.

Masyarakat modern hanya mengenal kesenian Bantengan sebagai hiburan, dan sebagian besar

mengabaikan nilai-nilai yang disampaikan di dalamnya. Dengan demikian kesenian

Bantengan akan rentan untuk ditinggalkan.

Tantang zaman, dan pengaruh budaya-pop memang tidak dapat dihindarkan.

Pergeseran nilai-nilai pemaham tentang kesenian juga berbeda. Sebagai warisan budaya,

hendaknya nilai-nilai yang hadir dalam kesenian harus tetap terjaga dari generasi ke-generasi.

Posisi kesenian Bantengan saat ini, menempati posisi yang baik, karena hingga kini masih

dapat dilestarikan dan dipertunjukan. Masyarakat Malang kabupaten khususnya sangat

antusias dengan kesenian tersebut, walau memandangnya hanya sebagai hiburan tradisional.

Melihat kesenian Bantengan yang hadir sebagai warisan budaya. Banyak simbol yang

digunakannya. Menjadi menarik apabila simbol-silmbol tersebut dapat diinterpretasikan serta

dapat memberikan kepahaman. Dengan memberikan kepahaman, diharapkan mereka

mengetahui maksud yang terkandung dan nilai-nilai yang disampaikan, sehingga nantinya

akan menambah kepedulian mereka dalam melestarikan.

Melihat banyaknya simbol yang digunakan dalam kesenian berarti banyak makna

budaya yang diciptakan, sebagaimana disampaikan oleh James P. Spradley. Clifford Geertz

juga menyampaikan bahwasanya makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Dengan

demikian, dalam kesenian Bantengan ada paduan dari beberapa simbol yang memiliki makna

tertentu. Simbol tersebut bisa berupa gerakan, pakaian, ekspresi dan lain sebagainya, dan

antara simbol yang satu dan lainnya juga saling berhubungan untuk menjadikan kesenian

Bantengan menjadi lebih indah (Sobur, 2006, 177). Simbol dalam kesenian Bantengan ini

dapat dikatakan sebagai realitas empiris yang kemudian diwariskan secara historis dengan

banya muatan nilai di dalamnya. Dengan simbol tersebut, realitas yang terjadi dalam masalalu

akan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat yang hidup di zaman sekarang dan

berfungsi sebagai petunjuk masyarakat tertentu dalam menjalani kehidupan.

Namun realitas yang ada berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam pemaparan di atas.

Pemahaman akan makna sering terabaikan. Sehingga diperlukan upaya revitalisasi dalam

memahami makna dibalik simbol dalam kesenian Bantengan. Dalam menyikapi persoalan ini,

peneliti menuntukan fokus terhadap simbol-simbol yang digunakan dalam kesenian

Bantengan. Hal yang ingin diungkapkan adalah makna simbol dalam kesenian Bantengan,

karena hadir kesenian tersebut sangat erat dengan warisan historis perjuangan Indonesia.

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah pemahaman makna simbol dalam

kesenian Bantengan. Manfaatnya diharapkan dapat memberikan hal lebih dalam kesenian

Bantengan dari pada hanya sekedar dunia pertunjukan kesenian biasa, melainkan

pertunjukkan yang penuh makna dan sangat patut diapresiasi. Untuk penelitian tersebut,

peneliti menggunakan teori Semiotika C.S. Pierce sebagai peletak dari perkembangan teori

semiotika. Karena teori Pierce sangat kompleks dalam memandang sebuah tanda dan tanpa

mengabaikan subjek, yang dalam teori Pierce dikenal dengan semiosis triadik, yakni ada

representamen, object, dan interpretant.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena data yang digunakan berupa

data-data kualtatif. Pendekatan kualitatif dipilih, karena dapat digunakan untuk menganalisis

lebih mendalam pada fokus tertentu (Moleong, 2012: 4). Jenis penelitian ini adalah penelitian

deskriptif. Jadi dengan metode ini nantinya diharapkan telaah terhadap makna simbol dibalik

kesenian Bantengan daerah Malang dapat dianalisis dan dideskripsikan dengan mendalam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan metode Observasi dan wawancara

terhadap pelaku Bantengan dan masyarakat tempat berkembanganya kesenian Bantengan

tersebut. Adapun yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah masyarakat dan

pelaku Bantengan serta data sekundernya berupa literatur terdahulu yang telah mengkaji

tentang kesenian daerah, khususnya kesenian Bantengan. Adapun lokasi yang akan menjadi

fokus dalam penelitian ini adalah di daerah kabupaten Malang, yakni di daerah Tumpang Kab.

Malang.

Data yang tersedia dianalisis dengan teori semiotika C.S Pierce yakni dengan teori

trikotominya yang terdiri dari tanda, objek, dan interpretan. Pierce menjelaskan bahwasanya

satu bentuk tanda adalah kata, objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, dan interpretan adalah

tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk dari tanda (Sobur, 2006:

114-115). Kemudian Pierce juga menjelaskan, bahwasanya tanda dibagi menjadi ikon. Indeks,

dan simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan,

indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda

yang bersifat kausal (sebab-akibat) atau tanda yang mengacu pada kenyataan, dan simbol

adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya (Sobur,

2003: 41-42).

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan analisis menggunakan semiotika C.S Pierce dalam memaknai simbol-

simbol kebudayaan dalam kesenian Bantengan adalah sebagai berikut:

1. Topeng Bantengan menginterpretasikan rakyat di masa penjejahan. Lambang

banteng dipilih, karena banteng adalah binatang yang kuat dan memiliki rasa

kerjasama antara satu dan yang lain.

2. Topeng macan menginterpretasikan golongan koloanial. Disimbolkan dengan

macan, karena macan adalah penguasa rimba dengan kekuatannya, dan semua

binatang tunduk dengannya.

3. Topeng kera ini mewakili golongan yang licik, yang selalu mengambil keuntungan

diantara perlawanan banteng (rakyat) terhadap macan (kolonial).

4. Solah banteng ini menunjukkan perjuangan rakyat dengan segala usahanya untuk

mengusir golongan kolonial. Oleh sebab itu, solah Bantengan ini dihiasi dengan

seni pencak silat, karena kemampuan rakyat pada zaman dahulu hanya ddengan

pencak silat dalam melawan penjajah.

5. Solah macan selalu menekan terhadap pergerakan banteng dan gerakan macan ini

lebih gesit ketimbang solah banteng. Ini menunjukkan bahwasanya, kolonial sangat

kuat dalam memberikan tekanan terhadap rakyat pribumi dengan mereka memiliki

pertahanan yang kokoh diidentikan dengan gerakan kuda-kudanya.

6. Kera memiliki peran licik, bergerak ketika keduanya sedang bertarung dan

memberikan pembelaan dengan mendukung sepihak. Hal ini menunjukkan

golongan tertentu yang memanfaatkan kelengahan dari dua golongan yang

bertarung, terkadang goloangan yang dijelmakan sebagai kera itu mendukung

sepihak demi mendapatkan apa yang diinginkan.

7. Alunan Musik tersebut diinterpretasikan sebagai semangat yang terus digelorakan

oleh rakyat dalam melawan kolonial. Bahkan dalam pertunjukkan kesenian

Bantengan, musik tersebut tidak boleh berhenti. Ini menunjukkan bahwasanya

semangat yang tidak boleh surut sebelum perjuangan melawan kolonialisme selesai.

8. Adegen berdoa tersebut diinterpretasikan dengan doa-doa rakyat kepada Tuhan-nya

untuk memperoleh kemenangan dalam melawan kolonialisme.

9. Pemanggilan roh diinterpretasikan permohonan rakyat terhadap apa yang diyakini

terhadap roh nenek moyang dalam membantu mereka dalam mengusir penjajah.

10. Kesurupan (trance) menunjukkan adanya bantuan dari Tuhan melalui roh yang

merasuki mereka, sehingga adegan tidak terkendali.

11. Kemenangan diakhir pertunjukkan Bantengan, selalu dimenangkan oleh banteng.

Karena banteng hadir sebagai simbol kebaikan dan macan sebaliknya. Ini adalah

doa dari setiap penampilan kesenian Bantengan sebelum penjajahan dan hingga kini

istilah Bantengan itu tetap disematkan karena bantenglah pemenangnya.

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kesenian Bantengan

Kesenian Bantengan merupakan salah satu seni pertunjukan yang menggabungkan

unsur sendra tari, olah kanuragan atau seni pencak silat, dan unsur-unsur mistis (Maulana,

2014: 67). Kesenian Bantengan juga diiringi seni musik gamelan, yang dapat membawa

para pemain mengikuti alunannya kemudian berpadu dengan adegan-adegan heroisme.

Unsur mistis dalam kesenian Bantengan juga menjadi hal yang sangat menarik, karena

beberapa mantra yang diucapkan oleh pawang, dapat mendatangan ruh dan pemain

kesenian Bantengan menjadi media ruh tersebut. Dengan demikian apa yang ditampilkan

oleh pemain dikendalikan oleh ruh, dan adegan inilah yang mayoritas sangat ditunggu –

tunggu oleh masyarakat.

Menurut sejarah, seni Bantengan sendiri sudah ada sejak jaman Kerajaan Singasari

(situs Candi Jago, Tumpang) dan berkembang pesat pada era 1960-an ketika masa Orde

Lama. Perkembangan kesenian Bantengan ini mayoritas berada di desa-desa atau wilayah

pinggiran kota yang tepatnya berada di daerah lereng pegunungan seperti Bromo-Tengger-

Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, Raung-Argopuro (Despiranto, 2013: 154).

Kesenian Bantengan menggunakan dua simbol utama, yakni simbol banteng dan

simbol singa. Dalam adegan kesenian tersebut ada gambaran hegemoni singa dan perlawan

dari banteng. Pada masa penjajahan, Bantengan juga dikaitkan dengan makna-makna

simbolik yang terdapat pada hewan banteng itu sendiri. Sebagai contohnya misalnya

penokohan banteng yang dilambangkan sebagai hewan yang hidup berkoloni

(berkelompok) yang juga dilambangkan sebagai simbol dari rakyat jelata. Kemudian

macan (harimau) yang dilambangan sebagai penjajah pada masa itu (wawancara 7 Oktober

2015). Seni Bantengan ini dimainkan oleh dua orang, satu orang dibagian depan sebagai

pemegang kepala banteng sekaligus pengendali banteng, yang kedua dibagian belakang

berperan sebagai ekor banteng. Kostumnya sendiri terdiri dari kain hitam panjang sebagai

badan banteng sekaligus menutupi pemain yang ada di dalamnya, kemudian untuk topeng

kepala banteng yang terbuat dari kayu dan tanduk banteng asli.

Pada setiap pertunjukan Bantengan, orang di bagian depan yang memegang kepala

banteng tak jarang dia mengalami kesurupan, istilah “dhanyangan” yang mereka berikan

kepada roh yang merasuki tubuh pemain Bantengan itu mereka percayai “dhanyangan”

tersebut adalah leluhur dari banteng itu sendiri. Sedangkan orang yang di bagian belakang

hanya mengikuti kemana pemain yang di depan bergerak. Tak jarang juga pemain di

bagian belakang mengalami kesurupan, namun hal itu sangat jarang sekali terjadi. Untuk

membantu agar kesurupan, Bantengan dibantu dengan seseorang yang berpakaian serba

merah yang disebut juga sebagai abangan dan juga orang berpakaian serba hitam atau yang

sering dikenal dengan “irengan” (wawancara 7 Oktober 2015).

Dalam setiap pertunjukannya Bantengan juga selalu disertai oleh macanan,

macanan ini hanyalah seseorang yang berkostum seperti macan (harimau) yang terbuat dari

kain biasa kemudian diberi pewarna paduan kuning, orange, dan hitam lorengnya. Peran

Bantengan sendiri juga membantu Bantengan untuk kesurupan, selain itu macanan juga

biasanya menahan pemain Bantengan tersebut apabila pada saat kesurupan sudah diluar

kendali dan terlalu ganas.

Kegiatan kesenian bentengan dilengkapi dengan ornament-ornament sebagai

berikut ini (Flather, 2015):

1. Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll)

2. Kepala banteng yang terbuat dari kayu (waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang,

dll).

3. Klontong (alat bunyi di leher).

4. Keranjang penjalin, sebagai badan.

5. Kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang.

6. Gongseng kaki.

7. Keluhan (tali kendali).

B. Komponen Kesenian Bantengan

Dalam pertunjukan kesenian Bantengan dibutuhkan beberapa komponen.

Komponen tersebut tidah hanya berfungsi sebagai pelangkap, namun menjadi bagian

penting dalam kesenian Bantengan, tanpa komponen tersebut kesenian Bantengan tidak

akan memiliki kekhasan tersendiri. Adapun beberapa komponen tersebut sebagai berikut

(Flather, 2015):

1. Pemain Bantengan

Orang yang berperan memainkan topeng banteng dan topeng kera, serta beberapa

penari yang dibutuhkan dalam kesenian Bantengan. Karena hadirnya penari adalah

sebagai tambahan dalam kesenian Bantengan.

2. Atribut Pemain

Atribut dalam kesenian Bantengan ini menjadi komponen yang penting. Karena

dengan adanya atribut, maka kesenian Bantengan akan dikenali oleh masyarakat.

Adapun beberapa atribut yang dibutuhkan dalam pementasan kesenian Bantengan

sebagai berikut:

a. Topeng

Topeng dalam kesenian Bantengan menjadi komponen utama, seperti topeng

banteng dan topeng macan. Namun biasanya ada beberapa topeng tambahan,

seperti topeng kera. Topeng tersebut dikenakan oleh pemain yang sudah ahli dan

menutup seluruh muka dan kepala pemain.

b. Cemeti

Cemeti ini digunakan sebagai alat untuk atraksi dan pengontrol gerakan bagi

pemain yang kesurupan. Selain itu, cemeti juga berfungsi sebagai pembantu

untuk menghadirkan nuansa mistik, yakni mengundang arwah-arwah tatkala

pementasan Bantengan.

c. Gongseng kaki

Gongseng kaki ini digunakan sebagai alat tambahan yang dipasang di kaki

pemain. Alat ini dapat berbunyi, sehingga menambah irama musik sesuai dengan

gerakan pemain.

d. Keranjang menjalin

Alat ini digunakan sebagai pelengkap pemain Bantengan dan digunakan sebagai

punggung banteng.

e. Kain hitam

Kain hitam atau lebih akrab disebut prabot irengan. Kain hitam ini digunakan

untuk badan Bantengan. Namun ada juga yang menggunakan warna merah.

3. Iringan Musik

Iringan musik menjadi bagian penting dalam kesenian tradisional. Seni musik yang

meniringi kesenian Bantengan berfungsi sebagai pemeriah serta pedamping pemain

dalam banyak adegan atraksi. Dalam perkembangan modern ini, banyak sekali alat

musik yang digunakan. Namun alat musik pokok yang digunakan dalam kesenian

Bantengan adalah jidor dan kendang. Alat musik tersebut harus ditabuh selama

pertunjukkan Bantengan.

C. Solah dalam Kesenian Bantengan

Solah dalam kegiatan Bantengan diartikan gerakan atau tarian. Dalam kesenian

Bantengan, pemai tidak bisa bergerak semaunya. Karena dalam kesenian tersebut

memadukan seni bela diri, jadi pemain harus paham betul bagaimana cara bermainnya,

sehingga nilai seninya lebih kentara. untuk lebih jelasnya peneliti menyajikan hal

berikut ini (Despiranto, 2013: 157-158):

1. Solah Bantengan

Solah dalam memainkan Bantengan terdiri dari gerakan mengayun tanduk ke kiri

dan ke kanan yang biasanya disebut sabetan. Langkah Bantengan terdiri dari

gerakan jalan berputar yang disebut langkah kliter. Gerakan ini dilakukan berulang-

ulang. Terlihat seperti hal biasa, namun jika dilakukan oleh orang yang normal

tanpa mengalami kesurupan mungkin akan mengalami kesulitan bahkan tidak akan

lebih dari 20 menit saja. Hal ini diihat dari apa yang dibawa yakni kepala

Bantengan yang ukuran kisaran 15 s/d 20 kg, dan dilakukan dengan mode berputar.

2. Solah Macan

Solah macan lebih menguatamakan kuda-kuda, gerak kepala, cakaran dan koprol.

Solah macan lebih atraktif ketimbang solah Bantengan.

3. Solah Tarung Banteng Macan

Pertarungan antara dua simbol ini menunjukkan pertemuan antara kebaikan dan

kejahatan. Ditengah-tengah pertarungan biasanya akan muncul pemain yang

menggunakan topeng kera yang menggambarkan kelicikan dan memanfaatkan

pertarungan tersebut. Dalam kesenian Bantengan ini, pertarungan banteng yang

mewakili kebaikan selalu menang. Karena banteng bekerjasama untuk bertarung

mengalahkan macan. Adegan ini diakukan manakala pemain masih sadar dan

dalam kendali, tetapi jika sudah mengalami kesurupan gerakannya kadang tidak

menentu.

D. Membaca Tanda dengan Semiotika C.S Pierce

Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika yang menjadi tokoh utama dalam

seajarah semiotika. Ia juga dikenal sebagai penemu modern tentang tanda (Noth, 2006:

39). Pierce mendefinisikan tanda dengan sesuatu yang mengacu pada seseorang atas

sesuatu dalam beberapa hal dan kapasitas. Menurutnya, tanda merujuk pada seseorang,

yakni menciptakan di dalam benak orang suatu tanda yang setara, atau mungkin lebih

maju, dan tanda yang diciptakan disebut interpretan (Budiman, 2011: 17). Pierce

menklasifikasikan tanda menjadi tiga tipe yang biasa disebut dengan trikotomi, yakni

ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa”

(resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Indeks adalah tanda yang

memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

Bagian yang terakhir adalah simbol. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer

dan konvensional (Budiman, 2011: 20-22).

Dalam memnaca tanda-tanda tersebut, Pierce menggunakan konsep triadik.

Kategori pertama disebut representamen, kemudian terdapat object, dan bagian ketiga

adalah interpretant. Dasar dari ketiga konsep triadik ini adalah adanya representamen

kemudian menuju object, barulah kemudian didapatkan interpretan (Noth, 2006: 42).

Adapun bentuk hubungan ketiga konsep triadik tersebut, sebagai berikut:

interpretan

representament object

Dalam konsep triadik tersebut terdapat proses semiosis (proses triadik), dan

hubungan tidak pernah putus, yakni interpretan akan berkembang menjadi representemen

dan seterusnya. Tapi perlu diperjelas, bahwasanya interpretant adalah apa yang

diproduksi tanda dan di dalam kuasi-pikiranlah yang jadi penginterpretasinya, namun dia

juga dapat dipahami sebagai representemen. Sehingga akan terjadi proses perkembangan

dalam interpretasi yang tidak berkesudahan sesuai dengan perkembangan kurun waktu

yang ada (Eco, 2015: 99).

E. Membaca Simbol dalam Kesenian Bantengan Simbol merupakan salah satu pembagian trikotomi tanda versi Pierce. Simbol

menurut semiotika aliran Pierce adalah tanda yang mengacu pada objek yang

digambarkan oleh suatu hukum biasanya berupa asosiasi ide umum karena sifatnya

konvensional. Pengertian simbol ini sama halnya definisi Sassure terhadap tanda

(Budiman, 1999: 108). Adapun yang termasuk dalam simbol dalam pandangan Pierce

adalah istilah sehari-hari yang lazim disebut kata, nama, dan label (Sobur, 2006: 159).

Karena klasifikasi simbol didasarkan terhadap hubungan antara representemen

dan objek, maka peneliti akan langsung masuk terhadap proses interpretant. Namun

untuk lebih jelasnya perhatian tabel berikut:

No. Simbol Interpretant

1 Topeng Banteng

Topeng banteng dalam kesenian Bantengan

mewakili peran dan watak rakyat di masa

penjejahan. Lambang banteng dipilih, karena

banteng adalah binatang yang kuat dan memiliki

rasa kerjasama antara satu dan yang lain. Dalam

kesenian Bantengan ini ditnjukkan dengan jumlah

pemakai topeng banteng yang lebih dari satu.

2 Topeng Macan

Topeng macan ini mewakili dari golongan

koloanial. Disimbolkan dengan macan, karena

macan adalah penguasa rimba dengan

kekuatannya, dan semua binatang tunduk

dengannya. Dalam kesenian Bantengan, Indonesia

di masa itu disamakan dengan rimba, maka hukum

rimba sangat berlaku disana.

3 Topeng Kera

Topeng kera ini mewakili golongan yang licik,

yang selalu mengambil keuntungan diantara

perlawanan banteng (rakyat) terhadap macan

(kolonial).

4 Solah Banteng

Solah banteng ini menunjukkan perjuangan rakyat

dengan segala usahanya untuk mengusir golongan

kolonial. Oleh sebab itu, solah Bantengan ini

dihiasi dengan seni pencak silat, karena

kemampuan rakyat pada zaman dahulu hanya

ddengan pencak silat dalam melawan penjajah,

manakala Indonesia masih belum memiliki

persenjataan.

5 Solah Macan

Solah macan selalu menekan terhadap pergerakan

banteng dan gerakan macan ini lebih gesit

ketimbang solah banteng. Ini menunjukkan

bahwasanya, kolonial sangat kuat dalam

memberikan tekanan terhadap rakyat pribumi

dengan mereka memiliki pertahanan yang kokoh

diidentikan dengan gerakan kuda-kudanya. Karena

hadirnya kolonial di masa lalu dilengkapi dengan

segala persenjataan

6 Solah Kera

Kera memiliki peran licik, bergerak ketika

keduanya sedang bertarung dan memberikan

pembelaan dengan mendukung sepihak. Hal ini

menunjukkan golongan tertentu yang

memanfaatkan kelengan dari dua golongan yang

bertarung, terkadang goloangan yang dijelmakan

sebagai kera itu mendukung sepihak demi

mendapatkan apa yang diinginkan.

7 Suara Musik

(jidor & kendang)

Alunan Musik tersebut diinterpretasikan sebagai

semangat yang terus digelorakan oleh rakyat

dalam melawan kolonial. Bahkan dalam

pertunjukkan kesenian Bantengan, musik tersebut

tidak boleh berhenti. Ini menunjukkan

bahwasanya semangat yang tidak boleh surut

sebelum perjuangan melawan kolonialisme

selesai.

8 Adegan Berdoa

Adegen tersebut diinterpretasikan dengan doa-doa

rakyat kepada Tuhan-nya untuk memperoleh

kemenangan dalam melawan kolonialisme.

9 Pemanggilan Roh

Permohonan rakyat terhadap apa yang diyakini

terhadap roh nenek moyang dalam membantu

mereka dalam mengusir penjajah.

10 Pemain kesurupan

Menunjukkan adanya bantuan dari Tuhan melalui

roh yang merasuki mereka, sehingga adegan tidak

terkendali. Dan dalam adegan Bantengan yang

lebih mudah mengalami kesurupan adalah pemain

yang menggunakan topeng banteng, artinya

rakyatlah yang mudah mendapatkan bantuan

nenek moyang mereka dalam melawan penjajah.

11 Kemenangan

Diakhir pertunjukkan Bantengan, selalu

dimenangkan oleh banteng. Karena banteng hadir

sebagai simbol kebaikan dan macan sebaliknya.

Ini adalah doa dari setiap penampilan kesenian

Bantengan sebelum penjajahan dan hingga kini

istilah Bantengan itu tetap disematkan karena

bantenglah pemenangnya.

Ada beberapa hal yang mungkin tidak diinterpretasikan, karena hadirnya simbol

tersebut hanya sebagai pelengkap dalam pertunjukkan Bantengan. Ternyata dari beberapa

hal yang pertunjukkan dalam kesenian Bantengan sangat erat hubunganya dengn sejarah

perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, khususnya di daerah Malang.

F. Upaya Revitalisasi Kesenian Bantengan

Kesenian Bantengan sangatlah banyak yang berkembang di daerah Malang, yakni

ada disekitar situs candi Jago, Tumpang, di Poncokusumo, kemudian yang lebih terkenal

berada di daerah Batu yakni grup Bantengan Nuswantoro. Namun keberadaan Bantengan

di daerah Malang, tidak sepenuhnya mendapatkan dukung dari pemerintahan. Kebanyak

grup Bantengan yang ada berdiri dengan asas gotong royong anggota, karena masih

belum mempunyai legal formal atau naungan formalnya.

Melihat hal demikian ini, sesungguhnya sangat disayangkan. Bantengan adalah

sebagai bentuk perwakilan sejarah yang dihadirkan dalam zaman kemerdekaan ini,

seharunya mendapat perhatian lebih dari pemerintahan terlepas dari semua kepentingan.

Karena pada hakikatnya itu adalah salah satu kesenian bangsa yang harus dilestarikan

sebagaimana reog, batik dan lain-lain.

Sebagai upaya konkrit dalam pelestarian kesenian Bantengan daerah Malang,

sebagai berikut:

1. Pemahaman akan makna dari pertunjukkan Bantengan secara kepada masyarakat

melalui narator, sehingga mereka mengetahui kenapa banteng dan macan yang

dalam kesenian Bantengan tersebut.

2. Pendekatan dengan pemerintah, agar kesenian Bantengan mendapatkan tempatnya

yang layak dan para pemainnya lebih diapresiasi.

3. Perlunya sanggar kesenian Bantengan untuk melahirkan generasi-generasi baru

yang dapat meneruskan dalam pelestarian kesenian Bantengan.

4. Pemahahan bahwsanya, kesenian Bantengan tidak hanya sekadar pertunjukkan

hiburan biasa, namun warisan dari para pejuang Indonesia yang mencita-citakan

sebuah kemerdekaan.

KESIMPULAN

Dari beberapa pemarapan di atas, maka dapat disimpulkan, beberapa hal sebagai

berikut ini:

Sebagai upaya revitalisasi kesenian Bantengan yang ada di kota Malang, simbol-

simbol yang terdapat di dalamnya menjadi sangat perlu untuk dipahami. Simbol-simbol yang

digunakan dalam kesenian Bantengan merupakan perwujudan dari realitas sosial rakyat dalam

mengusir penjajah. Sebuah realitas yang digambarkan dengan topeng-topeng binatang seperti

banteng, macan, dan kera, memberikan pelajaran akan watak-watak golongan yang ada di

masa penjajahan. Nuansa-nuansa heroisme yang selalu ada dalam kesenian Bantengan,

memberikan pesan tersendiri bahwsanya perjuangan merebut kemerdekaan harus semangat.

Melihat perkembangan kesenian Bantengan di daerah Malang, diperlukan sinergitas

antara grup-grup kesenian Bantengan dengan pemerintah. Karena selama ini keberadaan

kesenian Bantengan kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual (Konsep Isu, dan Problem Ikonisitas). Yogyakarta:

Jalasutra

Desprianto, Ruri Darma. No. 1 Januari 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna

Simbolik dan Nilai Moral. Jurnal AVATARA Vol. 1

Eco, Umberto. 2015. Teori Semiotika Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori

Produksi Tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Flather.http://www.academia.edu/8963352/Analisis_Foklor_pada_Kesenian_Bantengan.

Diakses (6 Oktober 2015)

Maulana, M. Lutfia Syifa. 2014. Tradisi Bantengan dan Modernisasi (Studi Tentang

Eksistensi Tradisi Bantengan di Dusun Banong Desa Gebangsari Kecamatan Jatirejo

Kabupaten Mojokerto). Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya

Noth, Winfried. 2006. Semiotika. Surabaya: Airlangga University Press.

Observasi Sanggar kesenian Bantengan Nuswantoro Batu. 4 Oktober 2015

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sujarwa. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wawancara dengan Agus Tobron Ketua Bantengan Nuswantoro, Batu. 7 Oktober 2015