Dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah
Indonesia (27-28 Oktober 2015)
Yang diadakan oleh Ikatan Dosen Budaya Daerah Indonesia (IKADBUDI) V
Bekerjasama dengan FPBS Universitas Pendidikan Indonesia
KAJIAN SEMIOTIKA C.S. PIERCE DALAM KESENIAN BANTENGAN
(Upaya Revitalisasi Nilai-Nilai Kesenian Daerah Malang)
Oleh: Kisno Umbar
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAK
Kesenian Bantengan merupakan warisan budaya yang banyak dikenal di daerah
Malang. Terlihat dari banyaknya grup Bantengan yang ada, seperti Bantengan Nuswantoro
yang terkenal. Kesenian Bantengan sering dihadirkan dalam hari kemerdekaan, kegiatan
bersih desa, dan dalam berbagai kegiatan karnaval. Namun semakin berkembangnya dunia
kesenian Bantengan, ia hanya dipandang sebagai panggung hiburan dan jarang sekali yang
memahami makna dibalik kesenian Bantengan tersebut. Padahal, menurut pendapat Geertz
(Sobur, 2006: 178) bahwasannya simbol-simbol yang dikemas dalam sebuah budaya masa
lalu adalah realitas empiris yang diwariskan secara empiris dan berfungsi sebagai petunjuk
kehidupan
Berdasarkan problematika demikian, pemahaman makna menjadi hal yang harus
diusahakan untuk melestarikan kenenian Bantengan. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif dan sumber data observasi serta wawancara dan didukung
dengan adanya penelitian terdahulu tentang Bantengan. Dalam hal ini peneliti menggunakan
analisis semiotika C.S Pierce.
Simbol yang tersimpan dalam kesenian Bantengan, meliputi segala sesuatu yang ada
di dalamnya seperti topeng banteng, macan, dan kera menggambarkan komponen tertentu
yang di masyarakat saat masa penjajahan. Topeng–topeng tersebut menjadi simbol
perwatakan dari golongan-golongan yang digambarkan, yakni banteng sebagai perjuangan
rakyat, macan sebagai penjajah, dan kera sebagai golongan yang licik sebagai penghasut.
Adegan para pemain menunjukkan, realitas empiris pertempuran antara rakyat melawan
penjajah.
Kata Kunci: kesenian bantengan, simbol, semiotika C.S Pierce, makna simbol.
PENDAHULUAN
Kesenian menurut Akhadiat K. Miharja menjelaskan bahawasanya seni sebagai
kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas dalam suatu karya, yang berkat bentuk
dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohani
manusia (Sujarwa,2011:313). Sujarwa menambahkan bahwasanya kesenian hadir sebagai
ungkapan perasaan manusia yang diabstraksikan melalui sebuah media tertentu yang serat
dengan simbol, makna, dan kesan (2011: 314). Dengan demikian kesenian merupakan sesuatu
yang berharga, karena memiliki manfaat menghibur dan serat dengan makna-makna tertentu.
Makna dan kesan dalam sebuah kesenian tidak hadir begitu saja tanpa pengaruh apapun.
Kesenian hadir dengan banyaknya pengaruh banyak hal seperti, kondisi sosial, politik, dan
geografis. Hal inilah yang kemudian menjadikan kesenian yang berkembang antara
lingkungan masyarakat satu dan lainnya berbeda, karena latar belakangnya juga berbeda.
Demikian ini juga yang menjadi keistimewaan Indonesia. Indonesia merupakan negara yang
kaya akan kesenian. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan beragam kesenian yang
memiliki kekhasan tersendiri yang bercorak keindonesiaan. Salah satunya adalah kesenian
Bantengan yang berkembang di Malang dan Mojokerto.
Istilah “Bantengan” diambil dari salah satu simbol yang digunakan dalam kesenian
tersebut. Tetapi sesungguhnya tidak hanya simbol banteng saja yang terdapat dalam kesenian
Bantengan namun ada simbol kepala singa juga, namun banteng lebih dominan, sehingga
banyak orang menyebutnya sebagai kesenian Bantengan. Dua simbol tersebut adalah simbol
utama yang terdapat dalam kesenian Bantengan, yang kemudian menjadi perwujudan
perjuangan yang herois dalam melawan penjajah. Kesenian Bantengan muncul sejak zaman
kolonial Belanda, namun siapa pengagasnya tidak ditemukan secara jelas (Desprianto, 2013:
151). Karena pada saat itu, kesenian Bantengan muncul sebagai bentuk pengecohan terhadap
kaum kolonial, lantaran seni pencak silat dilarang (Desprianto, 2013: 151). Dan sebagai
perwujudannya, seni pencak silat kemudian digabungkan dengan simbol-simbol tersebut, dan
seolah-olah menjadi panggung hiburan bagi kaum kolonial.
Kesenian Bantengan ini layaknya kesenian jawa lainnya, yakni memiliki kandungan
mistik. Mistik disini dipandang dari bagaimana seoarang pawang ahli yang kemudian
memanggil ruh dengan simbol-simbol yang ada. Sehingga para pemain Bantengan bergerak
bukan karena kemauan diri sendiri, tetapi ruh-ruh yang dipanggil tersebut yang
menggerakkannya. Adegan tersebut menjadi pertunjukan yang sangat dinantikan oleh
masyarakat. Ada anggapan bahwa adegan tersebut hadir sebagai media berkomuniasi dengan
nenek moyang dan masyarakat sekarang (Maulana, 2014: 1-3).
Beberapa hal mistik yang berkembang di dalam kesenian Bantengan adalah sesuatu
hal yang wajar, karena hal tersebut merupakan bentuk kepercayaan nenek moyang. Bahkan
nilai-nilai mistik ini tetap ada hingga sekarang ini. Hampir disetiap pertunjukan kesenian
Bantengan ada pemain yang kesurupan, sehingga kesenian Bantengan semakin menarik.
Melihat perkembangan dunia kesenian Bantengan masa lalu dengan sekarang
sangatlah berbeda. Dahulu kesenian ini terbentuk melalui kondisi sosial dibawah tekanan
kolonialisme, sedangkan sekarang sudah terlepas dan Indonesia menjadi negara yang
merdeka. Kehadiran kesenian Bantengan di zaman sekarang ini sudah berubah menjadi dunia
pertunjukkan dan berfungsi sebagai hiburan (Desprianto, 2013: 151). Hal tersebut memang
tidak dapat dipungkiri, karena pengaruh budaya-pop yang ada lebih kuat dan masa penjajahan
sudah terlepas. Bahkan dalam perkembangnnya, sudah banyak ditemukan inovasi dalam
kesenian Bantengan ini untuk menyesuaikan dengan kebudayaan masyarakat modern. Namun
dengan bergesernya tujuan dari pertunjukkan kesenian Bantengan, juga berdampak negatif.
Masyarakat modern hanya mengenal kesenian Bantengan sebagai hiburan, dan sebagian besar
mengabaikan nilai-nilai yang disampaikan di dalamnya. Dengan demikian kesenian
Bantengan akan rentan untuk ditinggalkan.
Tantang zaman, dan pengaruh budaya-pop memang tidak dapat dihindarkan.
Pergeseran nilai-nilai pemaham tentang kesenian juga berbeda. Sebagai warisan budaya,
hendaknya nilai-nilai yang hadir dalam kesenian harus tetap terjaga dari generasi ke-generasi.
Posisi kesenian Bantengan saat ini, menempati posisi yang baik, karena hingga kini masih
dapat dilestarikan dan dipertunjukan. Masyarakat Malang kabupaten khususnya sangat
antusias dengan kesenian tersebut, walau memandangnya hanya sebagai hiburan tradisional.
Melihat kesenian Bantengan yang hadir sebagai warisan budaya. Banyak simbol yang
digunakannya. Menjadi menarik apabila simbol-silmbol tersebut dapat diinterpretasikan serta
dapat memberikan kepahaman. Dengan memberikan kepahaman, diharapkan mereka
mengetahui maksud yang terkandung dan nilai-nilai yang disampaikan, sehingga nantinya
akan menambah kepedulian mereka dalam melestarikan.
Melihat banyaknya simbol yang digunakan dalam kesenian berarti banyak makna
budaya yang diciptakan, sebagaimana disampaikan oleh James P. Spradley. Clifford Geertz
juga menyampaikan bahwasanya makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Dengan
demikian, dalam kesenian Bantengan ada paduan dari beberapa simbol yang memiliki makna
tertentu. Simbol tersebut bisa berupa gerakan, pakaian, ekspresi dan lain sebagainya, dan
antara simbol yang satu dan lainnya juga saling berhubungan untuk menjadikan kesenian
Bantengan menjadi lebih indah (Sobur, 2006, 177). Simbol dalam kesenian Bantengan ini
dapat dikatakan sebagai realitas empiris yang kemudian diwariskan secara historis dengan
banya muatan nilai di dalamnya. Dengan simbol tersebut, realitas yang terjadi dalam masalalu
akan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat yang hidup di zaman sekarang dan
berfungsi sebagai petunjuk masyarakat tertentu dalam menjalani kehidupan.
Namun realitas yang ada berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam pemaparan di atas.
Pemahaman akan makna sering terabaikan. Sehingga diperlukan upaya revitalisasi dalam
memahami makna dibalik simbol dalam kesenian Bantengan. Dalam menyikapi persoalan ini,
peneliti menuntukan fokus terhadap simbol-simbol yang digunakan dalam kesenian
Bantengan. Hal yang ingin diungkapkan adalah makna simbol dalam kesenian Bantengan,
karena hadir kesenian tersebut sangat erat dengan warisan historis perjuangan Indonesia.
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah pemahaman makna simbol dalam
kesenian Bantengan. Manfaatnya diharapkan dapat memberikan hal lebih dalam kesenian
Bantengan dari pada hanya sekedar dunia pertunjukan kesenian biasa, melainkan
pertunjukkan yang penuh makna dan sangat patut diapresiasi. Untuk penelitian tersebut,
peneliti menggunakan teori Semiotika C.S. Pierce sebagai peletak dari perkembangan teori
semiotika. Karena teori Pierce sangat kompleks dalam memandang sebuah tanda dan tanpa
mengabaikan subjek, yang dalam teori Pierce dikenal dengan semiosis triadik, yakni ada
representamen, object, dan interpretant.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena data yang digunakan berupa
data-data kualtatif. Pendekatan kualitatif dipilih, karena dapat digunakan untuk menganalisis
lebih mendalam pada fokus tertentu (Moleong, 2012: 4). Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Jadi dengan metode ini nantinya diharapkan telaah terhadap makna simbol dibalik
kesenian Bantengan daerah Malang dapat dianalisis dan dideskripsikan dengan mendalam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan metode Observasi dan wawancara
terhadap pelaku Bantengan dan masyarakat tempat berkembanganya kesenian Bantengan
tersebut. Adapun yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah masyarakat dan
pelaku Bantengan serta data sekundernya berupa literatur terdahulu yang telah mengkaji
tentang kesenian daerah, khususnya kesenian Bantengan. Adapun lokasi yang akan menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah di daerah kabupaten Malang, yakni di daerah Tumpang Kab.
Malang.
Data yang tersedia dianalisis dengan teori semiotika C.S Pierce yakni dengan teori
trikotominya yang terdiri dari tanda, objek, dan interpretan. Pierce menjelaskan bahwasanya
satu bentuk tanda adalah kata, objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, dan interpretan adalah
tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk dari tanda (Sobur, 2006:
114-115). Kemudian Pierce juga menjelaskan, bahwasanya tanda dibagi menjadi ikon. Indeks,
dan simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan,
indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda
yang bersifat kausal (sebab-akibat) atau tanda yang mengacu pada kenyataan, dan simbol
adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya (Sobur,
2003: 41-42).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan analisis menggunakan semiotika C.S Pierce dalam memaknai simbol-
simbol kebudayaan dalam kesenian Bantengan adalah sebagai berikut:
1. Topeng Bantengan menginterpretasikan rakyat di masa penjejahan. Lambang
banteng dipilih, karena banteng adalah binatang yang kuat dan memiliki rasa
kerjasama antara satu dan yang lain.
2. Topeng macan menginterpretasikan golongan koloanial. Disimbolkan dengan
macan, karena macan adalah penguasa rimba dengan kekuatannya, dan semua
binatang tunduk dengannya.
3. Topeng kera ini mewakili golongan yang licik, yang selalu mengambil keuntungan
diantara perlawanan banteng (rakyat) terhadap macan (kolonial).
4. Solah banteng ini menunjukkan perjuangan rakyat dengan segala usahanya untuk
mengusir golongan kolonial. Oleh sebab itu, solah Bantengan ini dihiasi dengan
seni pencak silat, karena kemampuan rakyat pada zaman dahulu hanya ddengan
pencak silat dalam melawan penjajah.
5. Solah macan selalu menekan terhadap pergerakan banteng dan gerakan macan ini
lebih gesit ketimbang solah banteng. Ini menunjukkan bahwasanya, kolonial sangat
kuat dalam memberikan tekanan terhadap rakyat pribumi dengan mereka memiliki
pertahanan yang kokoh diidentikan dengan gerakan kuda-kudanya.
6. Kera memiliki peran licik, bergerak ketika keduanya sedang bertarung dan
memberikan pembelaan dengan mendukung sepihak. Hal ini menunjukkan
golongan tertentu yang memanfaatkan kelengahan dari dua golongan yang
bertarung, terkadang goloangan yang dijelmakan sebagai kera itu mendukung
sepihak demi mendapatkan apa yang diinginkan.
7. Alunan Musik tersebut diinterpretasikan sebagai semangat yang terus digelorakan
oleh rakyat dalam melawan kolonial. Bahkan dalam pertunjukkan kesenian
Bantengan, musik tersebut tidak boleh berhenti. Ini menunjukkan bahwasanya
semangat yang tidak boleh surut sebelum perjuangan melawan kolonialisme selesai.
8. Adegen berdoa tersebut diinterpretasikan dengan doa-doa rakyat kepada Tuhan-nya
untuk memperoleh kemenangan dalam melawan kolonialisme.
9. Pemanggilan roh diinterpretasikan permohonan rakyat terhadap apa yang diyakini
terhadap roh nenek moyang dalam membantu mereka dalam mengusir penjajah.
10. Kesurupan (trance) menunjukkan adanya bantuan dari Tuhan melalui roh yang
merasuki mereka, sehingga adegan tidak terkendali.
11. Kemenangan diakhir pertunjukkan Bantengan, selalu dimenangkan oleh banteng.
Karena banteng hadir sebagai simbol kebaikan dan macan sebaliknya. Ini adalah
doa dari setiap penampilan kesenian Bantengan sebelum penjajahan dan hingga kini
istilah Bantengan itu tetap disematkan karena bantenglah pemenangnya.
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kesenian Bantengan
Kesenian Bantengan merupakan salah satu seni pertunjukan yang menggabungkan
unsur sendra tari, olah kanuragan atau seni pencak silat, dan unsur-unsur mistis (Maulana,
2014: 67). Kesenian Bantengan juga diiringi seni musik gamelan, yang dapat membawa
para pemain mengikuti alunannya kemudian berpadu dengan adegan-adegan heroisme.
Unsur mistis dalam kesenian Bantengan juga menjadi hal yang sangat menarik, karena
beberapa mantra yang diucapkan oleh pawang, dapat mendatangan ruh dan pemain
kesenian Bantengan menjadi media ruh tersebut. Dengan demikian apa yang ditampilkan
oleh pemain dikendalikan oleh ruh, dan adegan inilah yang mayoritas sangat ditunggu –
tunggu oleh masyarakat.
Menurut sejarah, seni Bantengan sendiri sudah ada sejak jaman Kerajaan Singasari
(situs Candi Jago, Tumpang) dan berkembang pesat pada era 1960-an ketika masa Orde
Lama. Perkembangan kesenian Bantengan ini mayoritas berada di desa-desa atau wilayah
pinggiran kota yang tepatnya berada di daerah lereng pegunungan seperti Bromo-Tengger-
Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, Raung-Argopuro (Despiranto, 2013: 154).
Kesenian Bantengan menggunakan dua simbol utama, yakni simbol banteng dan
simbol singa. Dalam adegan kesenian tersebut ada gambaran hegemoni singa dan perlawan
dari banteng. Pada masa penjajahan, Bantengan juga dikaitkan dengan makna-makna
simbolik yang terdapat pada hewan banteng itu sendiri. Sebagai contohnya misalnya
penokohan banteng yang dilambangkan sebagai hewan yang hidup berkoloni
(berkelompok) yang juga dilambangkan sebagai simbol dari rakyat jelata. Kemudian
macan (harimau) yang dilambangan sebagai penjajah pada masa itu (wawancara 7 Oktober
2015). Seni Bantengan ini dimainkan oleh dua orang, satu orang dibagian depan sebagai
pemegang kepala banteng sekaligus pengendali banteng, yang kedua dibagian belakang
berperan sebagai ekor banteng. Kostumnya sendiri terdiri dari kain hitam panjang sebagai
badan banteng sekaligus menutupi pemain yang ada di dalamnya, kemudian untuk topeng
kepala banteng yang terbuat dari kayu dan tanduk banteng asli.
Pada setiap pertunjukan Bantengan, orang di bagian depan yang memegang kepala
banteng tak jarang dia mengalami kesurupan, istilah “dhanyangan” yang mereka berikan
kepada roh yang merasuki tubuh pemain Bantengan itu mereka percayai “dhanyangan”
tersebut adalah leluhur dari banteng itu sendiri. Sedangkan orang yang di bagian belakang
hanya mengikuti kemana pemain yang di depan bergerak. Tak jarang juga pemain di
bagian belakang mengalami kesurupan, namun hal itu sangat jarang sekali terjadi. Untuk
membantu agar kesurupan, Bantengan dibantu dengan seseorang yang berpakaian serba
merah yang disebut juga sebagai abangan dan juga orang berpakaian serba hitam atau yang
sering dikenal dengan “irengan” (wawancara 7 Oktober 2015).
Dalam setiap pertunjukannya Bantengan juga selalu disertai oleh macanan,
macanan ini hanyalah seseorang yang berkostum seperti macan (harimau) yang terbuat dari
kain biasa kemudian diberi pewarna paduan kuning, orange, dan hitam lorengnya. Peran
Bantengan sendiri juga membantu Bantengan untuk kesurupan, selain itu macanan juga
biasanya menahan pemain Bantengan tersebut apabila pada saat kesurupan sudah diluar
kendali dan terlalu ganas.
Kegiatan kesenian bentengan dilengkapi dengan ornament-ornament sebagai
berikut ini (Flather, 2015):
1. Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dll)
2. Kepala banteng yang terbuat dari kayu (waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang,
dll).
3. Klontong (alat bunyi di leher).
4. Keranjang penjalin, sebagai badan.
5. Kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang.
6. Gongseng kaki.
7. Keluhan (tali kendali).
B. Komponen Kesenian Bantengan
Dalam pertunjukan kesenian Bantengan dibutuhkan beberapa komponen.
Komponen tersebut tidah hanya berfungsi sebagai pelangkap, namun menjadi bagian
penting dalam kesenian Bantengan, tanpa komponen tersebut kesenian Bantengan tidak
akan memiliki kekhasan tersendiri. Adapun beberapa komponen tersebut sebagai berikut
(Flather, 2015):
1. Pemain Bantengan
Orang yang berperan memainkan topeng banteng dan topeng kera, serta beberapa
penari yang dibutuhkan dalam kesenian Bantengan. Karena hadirnya penari adalah
sebagai tambahan dalam kesenian Bantengan.
2. Atribut Pemain
Atribut dalam kesenian Bantengan ini menjadi komponen yang penting. Karena
dengan adanya atribut, maka kesenian Bantengan akan dikenali oleh masyarakat.
Adapun beberapa atribut yang dibutuhkan dalam pementasan kesenian Bantengan
sebagai berikut:
a. Topeng
Topeng dalam kesenian Bantengan menjadi komponen utama, seperti topeng
banteng dan topeng macan. Namun biasanya ada beberapa topeng tambahan,
seperti topeng kera. Topeng tersebut dikenakan oleh pemain yang sudah ahli dan
menutup seluruh muka dan kepala pemain.
b. Cemeti
Cemeti ini digunakan sebagai alat untuk atraksi dan pengontrol gerakan bagi
pemain yang kesurupan. Selain itu, cemeti juga berfungsi sebagai pembantu
untuk menghadirkan nuansa mistik, yakni mengundang arwah-arwah tatkala
pementasan Bantengan.
c. Gongseng kaki
Gongseng kaki ini digunakan sebagai alat tambahan yang dipasang di kaki
pemain. Alat ini dapat berbunyi, sehingga menambah irama musik sesuai dengan
gerakan pemain.
d. Keranjang menjalin
Alat ini digunakan sebagai pelengkap pemain Bantengan dan digunakan sebagai
punggung banteng.
e. Kain hitam
Kain hitam atau lebih akrab disebut prabot irengan. Kain hitam ini digunakan
untuk badan Bantengan. Namun ada juga yang menggunakan warna merah.
3. Iringan Musik
Iringan musik menjadi bagian penting dalam kesenian tradisional. Seni musik yang
meniringi kesenian Bantengan berfungsi sebagai pemeriah serta pedamping pemain
dalam banyak adegan atraksi. Dalam perkembangan modern ini, banyak sekali alat
musik yang digunakan. Namun alat musik pokok yang digunakan dalam kesenian
Bantengan adalah jidor dan kendang. Alat musik tersebut harus ditabuh selama
pertunjukkan Bantengan.
C. Solah dalam Kesenian Bantengan
Solah dalam kegiatan Bantengan diartikan gerakan atau tarian. Dalam kesenian
Bantengan, pemai tidak bisa bergerak semaunya. Karena dalam kesenian tersebut
memadukan seni bela diri, jadi pemain harus paham betul bagaimana cara bermainnya,
sehingga nilai seninya lebih kentara. untuk lebih jelasnya peneliti menyajikan hal
berikut ini (Despiranto, 2013: 157-158):
1. Solah Bantengan
Solah dalam memainkan Bantengan terdiri dari gerakan mengayun tanduk ke kiri
dan ke kanan yang biasanya disebut sabetan. Langkah Bantengan terdiri dari
gerakan jalan berputar yang disebut langkah kliter. Gerakan ini dilakukan berulang-
ulang. Terlihat seperti hal biasa, namun jika dilakukan oleh orang yang normal
tanpa mengalami kesurupan mungkin akan mengalami kesulitan bahkan tidak akan
lebih dari 20 menit saja. Hal ini diihat dari apa yang dibawa yakni kepala
Bantengan yang ukuran kisaran 15 s/d 20 kg, dan dilakukan dengan mode berputar.
2. Solah Macan
Solah macan lebih menguatamakan kuda-kuda, gerak kepala, cakaran dan koprol.
Solah macan lebih atraktif ketimbang solah Bantengan.
3. Solah Tarung Banteng Macan
Pertarungan antara dua simbol ini menunjukkan pertemuan antara kebaikan dan
kejahatan. Ditengah-tengah pertarungan biasanya akan muncul pemain yang
menggunakan topeng kera yang menggambarkan kelicikan dan memanfaatkan
pertarungan tersebut. Dalam kesenian Bantengan ini, pertarungan banteng yang
mewakili kebaikan selalu menang. Karena banteng bekerjasama untuk bertarung
mengalahkan macan. Adegan ini diakukan manakala pemain masih sadar dan
dalam kendali, tetapi jika sudah mengalami kesurupan gerakannya kadang tidak
menentu.
D. Membaca Tanda dengan Semiotika C.S Pierce
Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika yang menjadi tokoh utama dalam
seajarah semiotika. Ia juga dikenal sebagai penemu modern tentang tanda (Noth, 2006:
39). Pierce mendefinisikan tanda dengan sesuatu yang mengacu pada seseorang atas
sesuatu dalam beberapa hal dan kapasitas. Menurutnya, tanda merujuk pada seseorang,
yakni menciptakan di dalam benak orang suatu tanda yang setara, atau mungkin lebih
maju, dan tanda yang diciptakan disebut interpretan (Budiman, 2011: 17). Pierce
menklasifikasikan tanda menjadi tiga tipe yang biasa disebut dengan trikotomi, yakni
ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa”
(resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Indeks adalah tanda yang
memiliki keterikatan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.
Bagian yang terakhir adalah simbol. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer
dan konvensional (Budiman, 2011: 20-22).
Dalam memnaca tanda-tanda tersebut, Pierce menggunakan konsep triadik.
Kategori pertama disebut representamen, kemudian terdapat object, dan bagian ketiga
adalah interpretant. Dasar dari ketiga konsep triadik ini adalah adanya representamen
kemudian menuju object, barulah kemudian didapatkan interpretan (Noth, 2006: 42).
Adapun bentuk hubungan ketiga konsep triadik tersebut, sebagai berikut:
interpretan
representament object
Dalam konsep triadik tersebut terdapat proses semiosis (proses triadik), dan
hubungan tidak pernah putus, yakni interpretan akan berkembang menjadi representemen
dan seterusnya. Tapi perlu diperjelas, bahwasanya interpretant adalah apa yang
diproduksi tanda dan di dalam kuasi-pikiranlah yang jadi penginterpretasinya, namun dia
juga dapat dipahami sebagai representemen. Sehingga akan terjadi proses perkembangan
dalam interpretasi yang tidak berkesudahan sesuai dengan perkembangan kurun waktu
yang ada (Eco, 2015: 99).
E. Membaca Simbol dalam Kesenian Bantengan Simbol merupakan salah satu pembagian trikotomi tanda versi Pierce. Simbol
menurut semiotika aliran Pierce adalah tanda yang mengacu pada objek yang
digambarkan oleh suatu hukum biasanya berupa asosiasi ide umum karena sifatnya
konvensional. Pengertian simbol ini sama halnya definisi Sassure terhadap tanda
(Budiman, 1999: 108). Adapun yang termasuk dalam simbol dalam pandangan Pierce
adalah istilah sehari-hari yang lazim disebut kata, nama, dan label (Sobur, 2006: 159).
Karena klasifikasi simbol didasarkan terhadap hubungan antara representemen
dan objek, maka peneliti akan langsung masuk terhadap proses interpretant. Namun
untuk lebih jelasnya perhatian tabel berikut:
No. Simbol Interpretant
1 Topeng Banteng
Topeng banteng dalam kesenian Bantengan
mewakili peran dan watak rakyat di masa
penjejahan. Lambang banteng dipilih, karena
banteng adalah binatang yang kuat dan memiliki
rasa kerjasama antara satu dan yang lain. Dalam
kesenian Bantengan ini ditnjukkan dengan jumlah
pemakai topeng banteng yang lebih dari satu.
2 Topeng Macan
Topeng macan ini mewakili dari golongan
koloanial. Disimbolkan dengan macan, karena
macan adalah penguasa rimba dengan
kekuatannya, dan semua binatang tunduk
dengannya. Dalam kesenian Bantengan, Indonesia
di masa itu disamakan dengan rimba, maka hukum
rimba sangat berlaku disana.
3 Topeng Kera
Topeng kera ini mewakili golongan yang licik,
yang selalu mengambil keuntungan diantara
perlawanan banteng (rakyat) terhadap macan
(kolonial).
4 Solah Banteng
Solah banteng ini menunjukkan perjuangan rakyat
dengan segala usahanya untuk mengusir golongan
kolonial. Oleh sebab itu, solah Bantengan ini
dihiasi dengan seni pencak silat, karena
kemampuan rakyat pada zaman dahulu hanya
ddengan pencak silat dalam melawan penjajah,
manakala Indonesia masih belum memiliki
persenjataan.
5 Solah Macan
Solah macan selalu menekan terhadap pergerakan
banteng dan gerakan macan ini lebih gesit
ketimbang solah banteng. Ini menunjukkan
bahwasanya, kolonial sangat kuat dalam
memberikan tekanan terhadap rakyat pribumi
dengan mereka memiliki pertahanan yang kokoh
diidentikan dengan gerakan kuda-kudanya. Karena
hadirnya kolonial di masa lalu dilengkapi dengan
segala persenjataan
6 Solah Kera
Kera memiliki peran licik, bergerak ketika
keduanya sedang bertarung dan memberikan
pembelaan dengan mendukung sepihak. Hal ini
menunjukkan golongan tertentu yang
memanfaatkan kelengan dari dua golongan yang
bertarung, terkadang goloangan yang dijelmakan
sebagai kera itu mendukung sepihak demi
mendapatkan apa yang diinginkan.
7 Suara Musik
(jidor & kendang)
Alunan Musik tersebut diinterpretasikan sebagai
semangat yang terus digelorakan oleh rakyat
dalam melawan kolonial. Bahkan dalam
pertunjukkan kesenian Bantengan, musik tersebut
tidak boleh berhenti. Ini menunjukkan
bahwasanya semangat yang tidak boleh surut
sebelum perjuangan melawan kolonialisme
selesai.
8 Adegan Berdoa
Adegen tersebut diinterpretasikan dengan doa-doa
rakyat kepada Tuhan-nya untuk memperoleh
kemenangan dalam melawan kolonialisme.
9 Pemanggilan Roh
Permohonan rakyat terhadap apa yang diyakini
terhadap roh nenek moyang dalam membantu
mereka dalam mengusir penjajah.
10 Pemain kesurupan
Menunjukkan adanya bantuan dari Tuhan melalui
roh yang merasuki mereka, sehingga adegan tidak
terkendali. Dan dalam adegan Bantengan yang
lebih mudah mengalami kesurupan adalah pemain
yang menggunakan topeng banteng, artinya
rakyatlah yang mudah mendapatkan bantuan
nenek moyang mereka dalam melawan penjajah.
11 Kemenangan
Diakhir pertunjukkan Bantengan, selalu
dimenangkan oleh banteng. Karena banteng hadir
sebagai simbol kebaikan dan macan sebaliknya.
Ini adalah doa dari setiap penampilan kesenian
Bantengan sebelum penjajahan dan hingga kini
istilah Bantengan itu tetap disematkan karena
bantenglah pemenangnya.
Ada beberapa hal yang mungkin tidak diinterpretasikan, karena hadirnya simbol
tersebut hanya sebagai pelengkap dalam pertunjukkan Bantengan. Ternyata dari beberapa
hal yang pertunjukkan dalam kesenian Bantengan sangat erat hubunganya dengn sejarah
perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, khususnya di daerah Malang.
F. Upaya Revitalisasi Kesenian Bantengan
Kesenian Bantengan sangatlah banyak yang berkembang di daerah Malang, yakni
ada disekitar situs candi Jago, Tumpang, di Poncokusumo, kemudian yang lebih terkenal
berada di daerah Batu yakni grup Bantengan Nuswantoro. Namun keberadaan Bantengan
di daerah Malang, tidak sepenuhnya mendapatkan dukung dari pemerintahan. Kebanyak
grup Bantengan yang ada berdiri dengan asas gotong royong anggota, karena masih
belum mempunyai legal formal atau naungan formalnya.
Melihat hal demikian ini, sesungguhnya sangat disayangkan. Bantengan adalah
sebagai bentuk perwakilan sejarah yang dihadirkan dalam zaman kemerdekaan ini,
seharunya mendapat perhatian lebih dari pemerintahan terlepas dari semua kepentingan.
Karena pada hakikatnya itu adalah salah satu kesenian bangsa yang harus dilestarikan
sebagaimana reog, batik dan lain-lain.
Sebagai upaya konkrit dalam pelestarian kesenian Bantengan daerah Malang,
sebagai berikut:
1. Pemahaman akan makna dari pertunjukkan Bantengan secara kepada masyarakat
melalui narator, sehingga mereka mengetahui kenapa banteng dan macan yang
dalam kesenian Bantengan tersebut.
2. Pendekatan dengan pemerintah, agar kesenian Bantengan mendapatkan tempatnya
yang layak dan para pemainnya lebih diapresiasi.
3. Perlunya sanggar kesenian Bantengan untuk melahirkan generasi-generasi baru
yang dapat meneruskan dalam pelestarian kesenian Bantengan.
4. Pemahahan bahwsanya, kesenian Bantengan tidak hanya sekadar pertunjukkan
hiburan biasa, namun warisan dari para pejuang Indonesia yang mencita-citakan
sebuah kemerdekaan.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemarapan di atas, maka dapat disimpulkan, beberapa hal sebagai
berikut ini:
Sebagai upaya revitalisasi kesenian Bantengan yang ada di kota Malang, simbol-
simbol yang terdapat di dalamnya menjadi sangat perlu untuk dipahami. Simbol-simbol yang
digunakan dalam kesenian Bantengan merupakan perwujudan dari realitas sosial rakyat dalam
mengusir penjajah. Sebuah realitas yang digambarkan dengan topeng-topeng binatang seperti
banteng, macan, dan kera, memberikan pelajaran akan watak-watak golongan yang ada di
masa penjajahan. Nuansa-nuansa heroisme yang selalu ada dalam kesenian Bantengan,
memberikan pesan tersendiri bahwsanya perjuangan merebut kemerdekaan harus semangat.
Melihat perkembangan kesenian Bantengan di daerah Malang, diperlukan sinergitas
antara grup-grup kesenian Bantengan dengan pemerintah. Karena selama ini keberadaan
kesenian Bantengan kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual (Konsep Isu, dan Problem Ikonisitas). Yogyakarta:
Jalasutra
Desprianto, Ruri Darma. No. 1 Januari 2013. Kesenian Bantengan Mojokerto Kajian Makna
Simbolik dan Nilai Moral. Jurnal AVATARA Vol. 1
Eco, Umberto. 2015. Teori Semiotika Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori
Produksi Tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Flather.http://www.academia.edu/8963352/Analisis_Foklor_pada_Kesenian_Bantengan.
Diakses (6 Oktober 2015)
Maulana, M. Lutfia Syifa. 2014. Tradisi Bantengan dan Modernisasi (Studi Tentang
Eksistensi Tradisi Bantengan di Dusun Banong Desa Gebangsari Kecamatan Jatirejo
Kabupaten Mojokerto). Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya
Noth, Winfried. 2006. Semiotika. Surabaya: Airlangga University Press.
Observasi Sanggar kesenian Bantengan Nuswantoro Batu. 4 Oktober 2015
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sujarwa. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wawancara dengan Agus Tobron Ketua Bantengan Nuswantoro, Batu. 7 Oktober 2015
Recommended