29
FENOMENOLOGI Kata kunci bagi fenomenologia adalah kembali kepada benda-benda itu sendiri. Gerak kembali kepada benda-benda berada dalam kerangka berpikir yang bermaksud menemukan suatu fondasi yang solid dan pasti bagi permenungan filosofis. Tanpa kepastian dan kejelasan tidak akan pernah ada ilmu dan pengetahuan. Karena itu, pencaharian dan penyelidikan atas realitas harus bertitik tolak dari data-data yang pasti dan tak teragukan. Ketika orang sudah sampai pada batas kejelasan dan kepastian (apodiktis), maka itu berarti bahwa kemampuan berpikir nalar telah mencapai titik demarkasinya. Pemikiran-pemikiran dan permenungan-permenungan sebelumnya telah mencapai titik akhirnya, oleh karena itu satu-satunya hal yang tidak dapat disangkal adalah hal-hal yang menampakkan diri secara telanjang di depan panca indera kita, fenomen-fenomen yang tampak jelas dan pasti, sehingga tiada ruang bagi kita untuk menyangkal maupun menolaknya. Dengan demikian, fenomenologi berupaya menemukan modalitas benda-benda menghadirkan diri dalam kesadaran subyek pengenal. Bagaimana fenomenologi sampai pada kepastian dan kejelasan benda-benda? Caranya, subyek pengenal harus menelisik lebih mendalam lagi, mempertanyakan keaslian, kejelasan, kepastian dan kebenaran dari apa yang dicerap dan menghadirkan diri dalam kesadaran, entah berupa argumen filosofis, keyakinan apapun maupun hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Subyek pengenal harus menunda setiap keputusan berkaitan dengan segala sesuatu yang belum pasti dan belum jelas hingga ia pada akhirnya menemukan sebuah kenyataan yang mustahil diragukan maupun disangkal keberadaannya. Metode mempertanyakan dan menunda keputusan dinamakan epoche. Namun mesti diingat bahwa keberadaan benda yang mustahil diragukan dan disangkal lagi, bukan dalam artian realitas konkrit atau di luar subyek pengenal, melainkan ditemukan dalam kesadaran. Untuk itu, sang fenomenolog mencoba memilah-milah dan mengungkapkan cara-cara khas yang dipakai benda-benda untuk menghadirkan diri dalam kesadaran. Nah cara yang khas tersebut tiada lain adalah esensi, eidos, Wesen. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa fenomenologi adalah disiplin ilmu tentang hakekat, esensi dari segala sesuatu dan bukan ilmu pengetahuan tentang fakta, benda konkrit. Hal yang diperhatikan dan dicari oleh sang fenomenolog adalah mengapa benda A disebut kursi, benda B dinamakan kayu dan benda C disebu meja. Ketika orang menyebut kursi, kayu dan meja tentu saja sebutan itu dilandaskan pada pengetahuannya mengenai makna kayu, meja dan kursi. Maka tahu perbedaan di antara ketiganya, mengerti makna sama artinya dengan mengerti causa formalis, menangkap forma dari benda-benda tersebut. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa fenomenologi mencari hakekat dan menelaah ide-ide universal . Pada titik ini, seorang fenomenolog memiliki peran yang khas dalam menelisik dan memahami realitas ada. Wilayah garapan sang fenomenolog adalah ruang kesadaran. Kesadaran merupakan kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi dan kesadaran itu sendiri merupakan kesadaran tentang sesuatu yang hadir secara khas. Tugasnya adalah mengkaji hakekat yang 1

Fil Kontemporer 2012_Bab 3-4.docx

  • Upload
    stftws

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

FENOMENOLOGI

Kata kunci bagi fenomenologia adalah kembali kepada benda-benda itu sendiri. Gerak kembali kepada benda-benda berada dalam kerangka berpikir yang bermaksud menemukan suatu fondasi yang solid dan pasti bagi permenungan filosofis. Tanpa kepastian dan kejelasan tidak akan pernah ada ilmu dan pengetahuan. Karena itu, pencaharian dan penyelidikan atas realitas harus bertitik tolak dari data-data yang pasti dan tak teragukan. Ketika orang sudah sampai pada batas kejelasan dan kepastian (apodiktis), maka itu berarti bahwa kemampuan berpikir nalar telah mencapai titik demarkasinya. Pemikiran-pemikiran dan permenungan-permenungan sebelumnya telah mencapai titik akhirnya, oleh karena itu satu-satunya hal yang tidak dapat disangkal adalah hal-hal yang menampakkan diri secara telanjang di depan panca indera kita, fenomen-fenomen yang tampak jelas dan pasti, sehingga tiada ruang bagi kita untuk menyangkal maupun menolaknya. Dengan demikian, fenomenologi berupaya menemukan modalitas benda-benda menghadirkan diri dalam kesadaran subyek pengenal.

Bagaimana fenomenologi sampai pada kepastian dan kejelasan benda-benda? Caranya, subyek pengenal harus menelisik lebih mendalam lagi, mempertanyakan keaslian, kejelasan, kepastian dan kebenaran dari apa yang dicerap dan menghadirkan diri dalam kesadaran, entah berupa argumen filosofis, keyakinan apapun maupun hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Subyek pengenal harus menunda setiap keputusan berkaitan dengan segala sesuatu yang belum pasti dan belum jelas hingga ia pada akhirnya menemukan sebuah kenyataan yang mustahil diragukan maupun disangkal keberadaannya. Metode mempertanyakan dan menunda keputusan dinamakan epoche.

Namun mesti diingat bahwa keberadaan benda yang mustahil diragukan dan disangkal lagi, bukan dalam artian realitas konkrit atau di luar subyek pengenal, melainkan ditemukan dalam kesadaran. Untuk itu, sang fenomenolog mencoba memilah-milah dan mengungkapkan cara-cara khas yang dipakai benda-benda untuk menghadirkan diri dalam kesadaran. Nah cara yang khas tersebut tiada lain adalah esensi, eidos, Wesen.

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa fenomenologi adalah disiplin ilmu tentang hakekat, esensi dari segala sesuatu dan bukan ilmu pengetahuan tentang fakta, benda konkrit. Hal yang diperhatikan dan dicari oleh sang fenomenolog adalah mengapa benda A disebut kursi, benda B dinamakan kayu dan benda C disebu meja. Ketika orang menyebut kursi, kayu dan meja tentu saja sebutan itu dilandaskan pada pengetahuannya mengenai makna kayu, meja dan kursi. Maka tahu perbedaan di antara ketiganya, mengerti makna sama artinya dengan mengerti causa formalis, menangkap forma dari benda-benda tersebut. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa fenomenologi mencari hakekat dan menelaah ide-ide universal.

Pada titik ini, seorang fenomenolog memiliki peran yang khas dalam menelisik dan memahami realitas ada. Wilayah garapan sang fenomenolog adalah ruang kesadaran. Kesadaran merupakan kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi dan kesadaran itu sendiri merupakan kesadaran tentang sesuatu yang hadir secara khas. Tugasnya adalah mengkaji hakekat yang

1

ditangkap dan dipahami oleh kesadaran dan bukan fakta dan data empiris yang diterima dan dicerap oleh panca indera.

Pertanyaan penting adalah apakah hakekat dari obyek-obyek teramati dan segala sesuatu yang ada dalam realitas merupakan produk rekayasa atau bentukan kesadaran atau sang fenomenolog sendiri mengintuisi kehadiran obyektif hakekat tersebut? Dua alternatif ini selanjutnya membedakan Husserl dari Scheler.

EDMUND HUSSERL

Fenomenologi merupakan sebuah aliran filsafat yang digagas oleh Edmund Husserl (☼ Prossnitz, Moravia 1859, + 1938). Konteks historis fenomenologi dapat ditempatkan dalam peninjauan kembali secara kritis pola berpikir dan cara pemahaman manusia terhadap suatu obyek. Setelah dunia pemikiran dikuasai oleh Hegelianisme dan berikutnya segenap reaksi atasnya, lalu muncul beberapa aliran pemikiran contro-Hegelianisme yang menghiasi panorama peradaban dunia, misalnya, marxisme, eksistensialisme dan positivisme. Secara pribadi, Husserl mempunyai perhatian terhadap marxisme, neokantianisme, historisisme, eksistensialisme dan terutama memiliki kedekatan metodologis dengan positivisme, meskipun bapak fenomenologia ini mengkritik secara keras muatan doktrinal positivisme dan keyakinan mereka terhadap kepastian ilmu pengetahuan.

a) Polemik dengan Psikologisme

Dalam Filsafat Aritmatika, Husserl mempertahankan reduksi konsep bilangan pada proses psikis yang bertalian dengan aktivitas membilang. Matematika dan logika bagi Husserl mampu sampai pada konsep tertinggi dan paling sederhana yang tak terdefinisi. Yang bisa dikerjakan dalam kasus ini hanyalah memperlihatkan fenomen konkret dari mana dan melalui mana diabstraksikan.

Pendapat Husserl tentang bilangan dipengaruhi oleh Frege yang beranggapan bahwa suatu diskripsi mengenai proses mental yang mendahului enunsiasi dari suatu keputusan numeris meski tepat sekalipun mustahil mengganti determinasi yang benar dari konsep bilangan. Kita tidak dapat mendapatkannya melalui pembuktian dari beberapa teorema maupun memahami proprietas bilangan. Representasi psikologis bersifat partikular, empiris dan subyektiv, sehingga hanya memberikan keputusan faktual dan bukan keputusan matematis yang berciri universal, ideal dan obyektiv. Bagi Frege, bilangan merupakan kelas dari semua kelas di mana semua elemen saling terkait secara biunivox.

Akibatnya, Husserl menolak psikologisme. Baginya, kaidah logika adalah universal dan niscaya, sehingga mustahil bergantung pada hukum psikologis, yang walaupun generalisasi yang didapat dari induksi, bukanlah niscaya. “Berbagai fakta kesadaran merupakan singularitas riil, tertentu secara temporal, muncul dan menghilang. Sebaliknya, kebenaran adalah abadi atau lebih

2

tepat merupakan satu ide dan bersifat metatemporal”. Maka, prinsip non-kontradiksi bukanlah satu hipotesis induktiv, melainkan kebenaran universal dan niscaya. Itulah logika murni.

Setiap ilmu pengetahuan memiliki premis tersendiri dengan mana ia menata argumentasi atau pembuktiannya. Hanya saja, untuk menjadi sah, argumentasi demikian harus dituntun seturut prinsip logika bahwa suatu argumentasi adalah valid ketika semua premis adalah benar dan deduksi lurus adanya. Prinsip deduksi yang lurus adalah prinsip logika, sehingga logika murni merupakan teori dari teori, ilmu dari segala ilmu.

Dalam logika murni, kejelasan terlepas sama sekali dari perasaan atau keyakinan pasti seseorang tatkala merumuskan sesuatu. Malah perasaan atau keyakinan timbul dari validitas apodiktis atau keabsahan tak tersangkalkan. Misalkan, afirmasi “Ateng adalah pendek” atau “Coloseum adalah tua” bukan bergantung pada observasi empiris semata, tetapi mengungkapkan suatu ide tentang “pendek” dan “tua”. Begitu pula kategori penghubung (konjungsi) dan pemisah (disjungsi) melampaui data observasi, sehingga kekeliruan dalam pemakaiannya pasti membawa pada nirmakna (semut adalah tumbuhan). Jadi, kepastian apodiktis merupakan prinsip logika dan kaidah dasar matematika murni.

b) Intuisi Eidetis

Dari distingsi mengenai proposisi universal dan niscaya dari proposisi empiris-induktiv terbuka jalan bagi Husserl untuk membedakan intuisi data faktual dari intuisi hakekat. Apa arti intuisi?

Pengetahuan manusia berawal dari pengalaman tentang benda konkret, fakta. Seluruh pengalaman kita disuguhi terus menerus oleh data pengalaman tentang benda atau fakta yang terjadi hic et nunc. Maka, fakta atau benda konkret bersifat kontingen dan fakta demikian merupakan sesuatu yang membuat kita asyik dalam dunia dan mengenal dunia secara ilmiah.

Dalam setiap fakta atau benda faktual terdapat sesuatu yang tidak terlihat. Dalam artian, manakala suatu benda hadir dalam kesadaran, kita mencerap bukan lagi benda itu sendiri, tetapi hakekatnya, esensi (Wesen, species). Semakin beragam benda fisik dihadirkan dalam kesadaran, makin umum pula esensi yang ditangkapnya (esensi umum). Kita menangkap esensi dalam fakta atau yang individual dan partikular dan kemudian dinyatakan kepada kesadaran melalui yang universal.

Ketika kesadaran menangkap sebuah fakta hic et nunc, ia menangkap esensi, quiditas, di mana fakta partikular dan kontingen ini merupakan kasus partikular: suara ini merupakan kasus partikular dari esensi alat, kumpulan tanaman ini merupakan kasus partikular dari esensi umum tanaman ini. Jadi, quiditas atau esensi merupakan modus khas penampakan fenomen.

Esensi atau quiditas tidak diperoleh dengan komparasi maupun abstraksi melalui suatu kemiripan. Esensi manusia tidak didapat lewat abstraksi dengan membuang semua kekhususan guna menemukan kesamaan maupun melalui perbandingan atas 5 dan 10 individu. Lima atau

3

sepuluh individu yang dihadirkan kini dan di sini merupakan dimensi atau kasus partikular dari esensi 5 dan 10 individu. Dengan kata lain, untuk membandingkan sejumlah fakta perlulah lebih dulu menangkap quiditasnya yang membuat mereka mirip.

Pengetahuan tentang esensi atau quiditas merupakan sebuah intuisi. Intuisi yang beragam memungkinkan kita menangkap tiap fakta dalam singularitasnya. Proses pengetahuan mencerap esensi dinamakan intuisi eidetis, intuisi esensi (eidos). Eidos bukanlah fakta maupun realitas riil. Eidos adalah konsep dan obyek ideal yang memungkinkan pembedaan, pengenalan, penggolongan tiap fakta yang ditangkap kesadaran hic et nunc.

c) Ontologi Regional dan Ontologi Formal

Fenomenologi dimaksud sebagai ilmu tentang hakikat dan bukan data faktual, fenomeno-logia, diskursus seputar fenomen. Tujuannya adalah menggambarkan cara-cara khas dengan mana fenomen dihadirkan pada kesadaran. Modalitas khas ini (misalkan karena apa cahaya adalah cahaya dan bukan yang lain) adalah hakikat.

Fenomenologi merupakan pengetahuan tentang pengalaman, tetapi bukan kumpulan data faktual. Obyek fenomenologi adalah hakekat dari semesta data faktual, universalitas yang diintuisi kesadaran ketika fenomen dihadirkan. Pada fase ini berlangsunglah apa yang disebut reduksi eidetis, yaitu intuisi terhadap hakekat, sehingga dalam deskripsi fenomen yang hadir dalam kesadaran, dapat ditarik dari aspek empiris dan persoalan yang menalikan kita dengan mereka.

Hakikat tidak berubah dan dalam tulisan postumi Husserl, hakikat diperoleh melalui metode tentang variasi eidetis. Contoh, untuk satu konsep yang hendak dijelaskan, diambil model tertentu dan dihadirkan variasinya dalam beragam sifat. Sifat yang dihadirkan terus berubah-ubah hingga sampai pada satu titik di mana variasi berhenti. Maka, “proprietas hakiki merupakan tapal batas dari yang tetap dan yang berubah”.

Pembedaan fakta (ini) dari hakekat (apa) memungkinkan Husserl menjustifikasi logika dan matematika. Kedua disiplin ilmu ini tidak mengacu pada pengalaman seperti dasar validitas mereka. Proposisi “luas adalah panjang kali lebar” menandai hubungan antarhakikat sehingga tidak memerlukan pengalaman untuk membuktikannya. Adapun dasar validitas proposisi adalah pengalaman, karena akan berkaitan dengan keluasan yang diukur.

Distingsi fakta dan hakekat memberi peluang kepada Husserl untuk mendalami dan memunculkan apa yang dinamakan ‘ontologi regional’ dan ‘ontologi formal’. Regio adalah alam, masyarakat, moral, agama. Eksplorasi dalam regio demikian ini bermaksud menangkap dan menggambarkan hakekat atau modalitas tipe yang menjadi jalan bagi fenomen moral atau religius tampil dalam kesadaran. Sementara ontologi formal adalah logika.

d) Intensionalitas Kesadaran

4

Fenomenologi merupakan disiplin ilmu tentang hakekat atau modalitas tipe dari fenomen untuk menampilkan diri pada kesadaran. Karakter dasar dari penampakan fenomen dalam kesadaran adalah intensionalitas.

Kesadaran merupakan kesadaran tentang sesuatu. Semua aktivitas penginderaan, ingatan maupun pemikiran senantiasa terarah pada sesuatu. Konsekwensi dari intensionalitas kesadaran adalah pembedaan subyek dan obyek bersifat langsung. Subyek adalah pelaku, saya yang mampu menyadari (menginderai, menilai, membayangkan, mengingat, memutuskan), sedangkan obyek adalah sesuatu yang menampakkan diri dalam perbuatan: benda yang berwarna warni, gambar, pikiran, ingatan.

Selanjutnya, Husserl membedakan penampilan obyek dan obyek yang tampil. Jika benar sesuatu menampilkan diri, maka benar pula dihidupi tampilan dari sesuatu yang menampakkan diri.

Dalam semesta ide, Husserl membedakan noesis dan noema. Memiliki kesadaran disebut noesis, sementara sesuatu yang disadari adalah noema. Dari sejumlah noema Husserl telah membedakan secara tegas fakta dan hakikat.

Kesadaran adalah intensional. “Intensionalitas merupakan sesuatu yang mencirikan kesadaran secara berisi. Saya tidak melihat sensasi warna, tetapi sesuatu yang berwarni, tidak mendengar sensasi suara tetapi lagu seorang penyanyi”. Semua aktivitas manusia selalu terarah pada obyek.

Perlu diingat bahwa karakter intensional kesadaran tidak mengakibatkan satu konsepsi realistis. Dalam artian bahwa kesadaran memang terarah pada sesuatu, meski demikian belum tentu sesuatu tersebut sungguh berada di luar kesadaran.

Yang patut diperhitungkan adalah menggambarkan sesuatu yang disodorkan kepada kesadaran, yang memanifestasikan diri dan dalam batasan manifestasi dirinya dalam kesadaran. Apa yang mengungkapkan diri adalah fenomen. Fenomen tidak berarti penampakan yang dilawankan dengan benda in se. Saya mendengar musik, bukan tampilan dari musik, mencium bau kopi, bukan tampilan kopi, terkenang teman SMA, bukan tampilan kenangan tentang teman SMA.

Dengan demikian, intensionalitas kesadaran bertumpu pada prinsip dasar ini: setiap intuisi yang menghadirkan secara asali sesuatu merupakan sumber pengetahuan; segala sesuatu yang ditawarkan kepada kita secara awali dalam intuisi haruslah dipahami seperti ditawarkan, termasuk dalam batasan penghunjukkannya. Jadi, yang ditawarkan kepada kesadaran adalah obyek dalam totalitasnya sebagai ada.

e) Epoche/Reduksi Fenomenologis

5

Melalui prinsip dasar fenomenologi di atas, Husserl bermaksud mendirikan fenomenologi sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu sebagai sesuatu apa adanya. Semboyan fenomenologi adalah zu den Sachen selbst – pada benda itu sendiri!

Bagaimana kita dapat bertumpu dan mengacu pada benda itu sendiri? Untuk mencapai tujuan tersebut Husserl memperkenalkan prinsip epoche atau reduksi fenomenologis.

Epoche mempunyai kemiripan dengan keraguan skeptis maupun metodologis (karena berakar pada έποχή). Hanya saja, reduksi fenomenologis, epoche Husserlian jangan dipahami sebagai tindakan meragukan. Epoche lebih menunjuk pada aksi menunda keputusan terhadap segala sesuatu yang dikatakan oleh beragam doktrin filosofis, pengetahuan dan keyakinan harian atau perilaku alamiah.

Perilaku alamiah merupakan fakta dari beragam persuasi yang berguna dan perlu bagi hidup harian. Persuasi demikian tanpa kejelasan yang memaksa, sehingga ditempatkan dalam tanda kurung, mengabaikannya. Jadi, semua keyakinan dan pemikiran yang dihidupi harus ditunda, diperiksa dan dievaluasi untuk menemukan makna sejati.

Dari segala yang ada, apa yang mampu bertahan dari ujian epoche? Menurut Husserl yang tahan uji adalah kesadaran atau subyektivitas. Yang tampil jelas secara absolut adalah cogito et cogitata, kesadaran dan semua muatannya. Kesadaran merupakan sisa fenomenologis yang bertahan dalam serangan epoche.

Kesadaran merupakan realitas terjelas dan absolut. Fondasi realitas adalah realitas yang nulla re indiget ad existendum. Dunia terdiri atas kesadaran, kesadaran yang memberikan pemaknaan dan pemahaman atas eksistensi kebendaan dunia. “Saya, saya saja yang melakukan epoche, saya yang mempertanyakan dunia sebagai fenomen, dunia yang berarti bagiku dalam keberadaannya dan keberadaannya apa adanya dengan umat manusia yang memahaminya, yang saya amini dengan pasti; jadi saya yang berada di atas setiap ada fisik yang memuat makna bagiku. Saya adalah sudut subyektiv hidup transendental di mana pada tempat pertama dunia bermakna bagiku sebagai dunia murni: dalam kekonkretanku, aku merangkul semua”.

f) Krisis Dunia Pengetahuan Eropa

Krisis yang Husserl maksudkan berkisar pada krisis makna pengetahuan bagi hidup manusia. “Eksklusivitas, dengan mana pada pertengahan abad ke 19, visi menyeluruh dunia tentang manusia modern memasrahkan diri ditentukan oleh ilmu positiv dan dengan itu membiarkan diri disilaukan oleh kemakmuran yang mengalir dari padanya, berarti penjauhan dari berbagai problem yang menentukan bagi kemanusiaan yang otentik. Ilmu pengetahuan tentang fakta murni melahirkan manusia fakta belaka”.

Kritik Husserl tertuju pada dua gagasan yang cukup dominan masa itu, yakni naturalisme dan obyektivisme. Seakan kebenaran ilmiah merupakan kebenaran tunggal yang sah dan dunia yang digambarkan oleh pengetahuan positiv adalah realitas sejati.

6

“Dalam kemalangan hidup kita [...] ilmu demikian tidak mengatakan apapun pada kita. Secara prinsipil, ia menyingkirkan semua masalah yang amat menyesakkan bagi manusia, di dalam waktu yang terdera ini, kita merasa berada di pusaran nasib; masalah makna dan tak-bermakna eksistensi manusia dalam kompleksitasnya [...] Apa yang dikatakan ilmu tersebut tentang nalar dan non-nalar, tentang kita manusia sebagai subyek kebebasan ini? Sudah jelas, ilmu murni tentang fakta tidak mengatakan apapun pada kita menyangkut persoalan demikian: ia terlepas dari semua subyek”.

Krisis ilmu pengetahuan merupakan “kejatuhan intensionalitas filosofis”, “kejatuhan dalam naturalisme”, reduksi rasionalitas pada rasionalitas ilmiah. Yang konkret, Lebenswelt, dunia kehidupan, yang merangkum hidup yang ilmiah maupun harian, terumuskan maupun asali, perasaan, kebutuhan, niat, khayalan dan kenangan kini diganti dengan kategori ilmiah.

Drama “era modern dimulai oleh Galileo. Ia memutus dimensi fisik matematis dari dunia kehidupan dan memposisikannya sebagai hidup konkret”. Fenomenologia bermaksud mengembalikan manusia sebagai makhluk bebas yang melampaui semua batasan yang telah dibuat oleh manusia dan ilmu pengetahuan. Manusia adalah subyek, yang “dengan aktivitas filosofis, kita adalah aparatur kemanusiaan”, membuat kemanusiaan dalam situasi memahami diri secara bebas dan mandiri.

MAX SCHELER(1875 – 1928)

Garis Besar Pemikiran

a) Melawan konsepsi etika Kantian yang memposisikannya di antara keharusan dan kesenangan: orang menginginkan suatu obyek atau karena dituntut oleh hukum moral atau obyek demikian menarik. Pada posisi demikian yang berlangsung adalah menguraikan relasi kebaikan dan hukum moral yang dapat dijadikan universal dan bukan memberikan yustifikasi penilaian moral apapun. Jadi imperativ kategori Kantian “Kamu harus, karena wajib” berciri arbitrarial; perintah tersebut tidak teryustifikasi.

b) Konsep dasar etika adalah nilai. Kant tidak membedakan nilai dari kebaikan. Baik berarti sesuatu memiliki nilai, sementara nilai merupakan hakekat Husserlian atau kualitas yang membuat segala yang baik adalah kebaikan. Contoh: sebuah mobil adalah baik, nilai mobil adalah kegunaan; hukum adalah baik, nilai hukum adalah keadilan. Jadi, baik adalah semua fakta, sementara nilai merupakan hakekat.

c) Disanggah juga identifikasi a priori dan formal Kantian. Scheler mempertahankan universalitas dan apriorisme norma moral, dengan mendefinisikan secara konkret atau secara

7

material tataran nilai. Scheler mempertahankan proposisi universal dan niscaya (a priori) norma etika, tetapi diambil dalam pengertian material. Materialitas proposisi moral etika bukan berkenaan dengan fakta (baik), melainkan hakekat atau nilai.

d) Manusia hidup dalam dunia moral yang bukan dihasilkan, tetapi diakui dan ditemukan. Nilai didapat melalui intuisi emosional-sentimental yang berciri innativ-bawaan dan mewujud dalam pribadi (model-jenis), bukan obyek aktivitas teoretis. “Ada legitimitas rasa yang absolut dan abadi seperti logika murni; hanya tak tersempitkan pada legitimitas aktivitas intelektual jenis apapun”. Apa yang dialami rasa adalah hakekat sebagai nilai, karena “ada satu jenis pengalaman di mana obyek mustahil ditembusi oleh intelek; rasio buta di hadapan obyek demikian, seperti telinga dan pendengaran di depan warna; pengalaman sejenis memposisikan kita di depan semua obyek sejati dan tatanan abadi yang berada di tengah mereka, yakni dunia nilai dan hirarkinya”.

e) Nilai material dan Hirarkinya

NILAI MATERIAL HIRARKI NILAINilai sensorial: gembira-hukuman, senang-derita ceria

Nilai peradaban: berguna - berbahaya teknisiNilai vital: agung – vulgar pahlawanNilai budaya atau rohani:

- Estetis : indah - buruk- Etis-yuridis: adil - curang- Spekulativ: benar – keliru

genialsenimanlegislator

bijakNilai religius: suci – profan santo

f) Pribadi

Gagasan mengenai nilai dan hirarki mempunyai dua manfaat bagi Scheler: pertama mempertajam analisa kritis tentang subyektivisme etis dalam dunia modern dan antropologi berjuis; kedua, memberi peluang bagi pembangunan antropologi personal dengan kata kunci subyek sebagai ada spiritual dan persona.

Menurut Scheler manusia mampu bertanya diri tentang apa arti sesuatu dalam dirinya, menangkap hakekat dengan berangkat dari interes vital tentang maknanya masing-masing. Ia sanggup “melepaskan diri dari kekuasaan, tekanan, ikatan dengan hidup dan segala sesuatu yang dimiliki”. Pada tingkatan tersebut, manusia adalah ada spiritual, dia yang terlepas dari dorongan insting dan lingkungan, sehingga terbuka bagi dunia dan menguasai dunia.

Sebagai makhluk spiritual, manusia adalah pribadi, pusat dari tindakan intensional, manusia nyata, kesatuan organis dari makhluk spiritual yang memerlukan badan sebagai sarana

8

untuk mengejawantahkan semua nilai. Dari konsepsi manusia yang demikian, Scheler membuka relasi manusiawi yang berciri tridimensi: dengan sesama, alam dan Allah.

Hubungan tridimensional memperlihatkan hakekat manusia sebagai makhluk yang selalu terarah pada subyek yang lain dalam artian keterbukaan dan penerimaan dan bukan kekuasaan dan penguasaan. Hubungan dengan yang lain berawal dari level terendah yang dijiwai oleh jalinan perasaan belaka hingga tingkatan tertinggi yang disemangati oleh cinta.

Level terendah ditandai oleh massa, kemudian tingkatan berikut: masyarakat yang timbul dari kontrak sosial, terus komunitas vital atau bangsa; lalu komunitas yuridis-kultural (sekolah, negara) dan terakhir komunitas kasih atau gereja.

Dasar otentik bagi hubungan interpersonal adalah simpati. “Fungsi sejati simpati terletak pada penghancuran ilusi solipsisme atau keakuan dan dalam penyataan kita sebagai pembawa nilai yang sepadan dengan realitas kita bagi yang lain sebagai yang lain”. Simpati merupakan satu bentuk pemahaman interior terhadap sesama sebagai subyek yang sama sepertiku. Sesama bukanlah alter ego, aku yang lain, solipsisme, melainkan pribadi yang otonom dan bebas. Saya bersimpati padanya sejauh dia ambil bagian dalam komunitasku, suku bangsaku, keluargaku, rekanku, kelompokku. Jadi, batas simpati adalah bagian ke-aku-annya.

Yang mengatasi bagian keakuan adalah kasih. Kasih menghargai kemajemukan, memberi ruang dan peluang bagi kebebasan dan kemandirian. Sesama berbeda dari diriku dan aku lain daripada sesama. “Kasih sejati berada dalam pemahaman terukur terhadap individualitas lain yang berbeda dari cara keberadaanku, memperlakukan sesama dan menempatkan cara beradanya pada posisi yang pantas, walau secara bersamaan kutegaskan ke-lain-an dan realitas dirinya dengan penuh semangat”. Kasih merupakan jalan yang menuntun individu untuk bertemu dengan yang lain sebagai yang lain.

Berkenaan dengan relasi manusia dengan Allah, Scheler menekankan keabadian manusia. Kejelasan filosofis pertama adalah keberadaan sesuatu, keabsenan ketiadaan. “Barang siapa tidak memandang ke dalam jurang keabsolutan ketiadaan, ia tidak akan sadar akan positivitas tegas muatan intuisi bahwa ada sesuatu daripada ketiadaan”.

Dari primitas ada muncul kejelasan langsung tentang keberadaan yang absolut. Eksistensi yang absolut dinyatakan dalam kedirian, kemahaan dan kesucian yang mengalir dari kesadaran diri sebagai ciptaan. Kesadaran diri sebagai ciptaan merupakan ungkapan perasaan tentang yang kudus dan tanggapan iman padanya. Kita mengerti Allah hanya dalam Allah. “Allah kesadaran religius ada dan hidup secara unik dalam aktus religius, bukan dalam pikiran metafisik yang dibangun di atas muatan dan realitas di luar agama. Agama terarah bukan pada pengetahuan ilmiah tentang realitas asali, melainkan kesalamatan manusia melalui persekutuan hidup dengan Allah, suatu divinisasi”. Dia adalah pribadi yang hidup dan menyelamatkan, bukan sekedar konsep dan temuan dalam rumusan logis abstrak.

9

g) Sosiologi Pengetahuan

Permenungan yang berpusat pada persona sebagai subyek religius yang terbuka pada kehadiran yang lain merupakan bagian integral dari rencana Scheler untuk mengembangkan antropologi filosofis. Proyek filosofis ini terhenti oleh kematiannya.

Dalam beberapa tulisan yang sudah dibuat untuk proyek antropologi filosofis dapat ditemukan tema yang berkenaan dengan sosiologi pengetahuan. Scheler menggarisbawahi pengaruh berbagai faktor sosial-religius dalam pembentukan tatanan atau pranata sosial.

Scheler amat menekankan realisasi bermacam faktor sosial dan otonomi roh melawan spiritualisme abstrak dan determinisme naturalistis. Baginya, pengkondisian sosial pengetahuan secara substansial mengedepankan bentuk pengetahuan sebagai cara untuk berkontak dengan realitas fisik, psikis dan spiritual.

Dari tiga cara berkontak demikian, maka terdapat kaidah tri-tingkatan pengetahuan: i) pengetahuan religius: menyangkut keselamatan penuh pribadi lewat hubungan dengan Ada tertinggi. Itulah pengetahuan tentang keselamatan; ii) pengetahuan metafisik: menempatkan manusia dalam hubungannya dengan kebenaran dan perangkat nilai. Ini adalah pengetahuan “formativ”; iii) pengetahuan teknis: kecakapan yang memungkinkan manusia memanfaatkan alam dan menguasainya.

Ketiga bentuk pengetahuan berada dalam relasi yang dinamis dan dialektis, dalam artian ada yang lebih dominan daripada yang lain, tetapi bukan melenyapkannya. Malah, di antara beraneka jenis pengetahuan terdapat hubungan interfungsional, misalkan realisme filosofis dengan masyarakat feodal, nominalisme dan krisis feodalisme, kemenangan kaum berjuis dan rasionalisme mekanistis, kapitalisme dengan positivisme.

Satu aspek penting dalam relasi pengetahuan adalah perhatian Scheler pada hubungan monoteisme Yudais-kristiani dan pengetahuan. Baginya, agama janganlah takut dengan ilmu pengetahuan. Agama dapat berlawanan dengan agama lain dan pengetahuan metafisik, tetapi mustahil bertentangan dengan pengetahuan.

Dalam relasi ilmu pengetahuan dengan agama terjadi bahwa selama aktivitas ilmiah aspek sakralitas terabaikan dan bahkan melenyap. “Semasa penuh dengan kelompok tertentu, daya personal dan kehendak, ilahi dan satanis, alam semesta merupakan tabu bagi pengetahuan. Yang menganggap bintang-bintang sebagai ilah yang tampil, belumlah dewasa untuk astronomi ilmiah”.

“Monoteisme Yudais-kristiani dan kemenangannya atas semua agama dan metafisika dari dunia klasik secara meyakinkan merupakan kemungkinan dasar pertama bagi kebebasan dalam riset tentang semesta secara ilmiah. Menempatkan alam semesta secara bebas bagi ilmu pengetahuan pada tatanan keluasan yang mungkin saja melampaui segala ukuran hingga hari ini hanya berlangsung di Barat.

10

Allah roh yang berkehendak dan bekerja, Pencipta merupakan santifikasi ide kerja dan dominasi atas segala sesuatu yang bukan manusia; Allah berada di luar jangkauan pengenalan orang Yunani dan Romawi, Platon maupun Aristoteles. Pada saat bersamaan Dia melakukan penabaran hati, mortifikasi, distansiasi dan rasionalisasi alam yang tiada pernah mendapat tempat dalam kebudayaan Asia dan klasik”.

MARTIN HEIDEGGER(1889-1976)

GARIS BESAR PEMIKIRAN

1. Dari Fenomenologi ke Eksistensialisme

Pada permulaan Heidegger dipengaruhi oleh pemikiran Husserl. Pengaruh tersebut dapat dimengerti karena Heidegger adalah asisten Husserl di Universitas Freiburg.

Heidegger melepaskan diri dari Husserl ketika menerbitkan Sein und Zeit. Walaupun Heidegger mengakui metodologi yang digunakan tetap setia pada fenomenologi Husserl, filsafat yang digagasnya ternyata jauh berbeda daripada fenomenologi Husserlian.

Heidegger berupaya bagaimana makna ada dapat ditentukan secara pantas. Sebelum bisa mulai menemukan makna ada, langkah paling mendasar adalah mengkaji siapa yang bertanya tentang makna ada. Sein und Zeit dicirikan oleh kajian tentang apriorisme eksistensial, analitis eksistensial tentang subyek yang bertanya tentang makna ada.

Heidegger mengubah fokus refleksi filosofis sesudah Sein und Zeit pada persoalan tentang Ada sebagai ada yang menampilkan diri. Ia sadar bahwa sejarah ada menyangga dan menentukan semua kondisi dan situasi manusia.

2. Dasein dan Analitis Eksistensial

“Penggagasan tentang persoalan ada berarti memperjelas ada, menempatkan si pencari makna ada dalam keberadaannya”. Sein und Zeit berada dalam kerangka untuk menampilkan ada secara jelas dan tegas, menemukan makna ada. Persoalan yang timbul dari pencaharian makna ada adalah dengan ada macam apa makna ada dapat dipahami?

Maka Heidegger menegaskan bahwa “jika persoalan ada diposisikan secara jelas dalam tampilan yang tuntas, maka perlulah ditunjukkan beragam cara masuk dalam ada, pemahaman, kepemilikan konseptual makna ada, penjelasan mengenai kemungkinan pilihan tepat atas ada dan indikasi tentang jalan yang tepat untuk memasuki ada demikian. Penetrasi, pemahaman, penjelasan, pilihan, akses merupakan momen dasar dalam mencari dan sekaligus cara berada ada tertentu dan lebih tepat lagi ada itu yang adalah kita sendiri yang mencari”. Itulah makna analitis eksistensial ada

Manusia adalah ada yang bertanya tentang makna ada. Dengan demikian upaya untuk memahami dengan tepat makna ada mesyarakatkan keterangan awal tentang ada yang bertanya tentang makna ada. “Ada ini yang kita sendiri sudah berada demikian, dan di tengah berbagai kemungkinan ada, telah mencari, kita

11

tunjuk dengan sebutan Dasein”. Manusia bila dipandang dari cara berada adalah Da sein, berada di sini. Di sini menunjukkan bahwa manusia senantiasa berada dalam situasi, terjatuh dan terkurung di dalam kondisi tertentu dan berhubungan dengan situasi demikian.

Bagi Heidegger makna Dasein melampaui fakta subyek yang mempertanyakan makna ada. Dasein adalah subyek yang mustahil direduksikan pada pengertian ada sebagai obyektivitas murni sebagaimana diterima oleh metafisika terdahulu. Dasein bukan sekedar tampilan semata, kehadiran sederhana. Segala sesuatu yang bukan Dasein merupakan obyek (ob-jecta) yang ditempatkan di hadapanku. Dasein, aku bukanlah obyek murni dan simpel dalam dunia, malah dia adalah ada yang membuat segala sesuatu berada dan hadir sebagai ada.

Dunia Dasein adalah eksistensi: “kodrat, hakekat Dasein terletak pada eksistensinya”. Semua sifat yang melekat pada Dasein berbeda sama sekali dari sifat yang ada pada ada yang hadir secara simpel dan murni – obyek. Dasein adalah ada yang mungkin, bukan sekedar ada bukan sekedar ada yang mempunyai syarat untuk menjadi sesuatu. Dasein senantiasa adalah sesuatu yang dapat berada.

Potensialitas hakiki berada yang melekat pada Dasein melibatkan modalitas yang dicirikan oleh merawat dunia, peduli dengan yang lain. Hakekat eksistensi diberikan oleh kemungkinan, kemampuan ada yang mengatasi bidang logika maupun kontingensi empiris. Keberadaan manusia adalah kemampuan yang direalisir, diwujudkan. Dalam daya yang mewujud dan diwujudkan terkandung pilihan dan dalam pilihan termuat menaklukan dan kehilangan diri.

Dasein adalah pengada yang menjadi tujuan keberadaannya dan eksistensi diputuskan oleh setiap pribadi Dasein entah dalam artian sukses maupun gagal.

3. Ada dalam dunia dan Ada dengan yang lain

Kemampuan Daseini untuk mengaktualisir diri, menjadi ada yang terwujud mengandung arti merencanakan, merancang. Dalam artian kemampuan merancang dan merencanakan cara untuk mewujud menandakan bahwa Dasein memiliki kemampuan melampaui realitas konkrit. Dasein bersifat transenden dan transendensi merupakan jiwa dasarnya. Sementara segala sesuatu yang lain merupakan sarana bagi perwujudan diri manusia. Jadi ciri dasar Dasein adalah berada dalam dunia, in der-Welt-sein.

Manusia berada dalam dunia. Mengingat ciri dasar manusia sebagai pengada, subyek yang dapat mewujudkan diri dan merencanakan hidupnya, maka keberadaan Dasein dalam dunia berarti menjadikan dunia sebagai obyek dari proyek tindakan manusia dan semua kegiatan yang mungkin . Transendensi melembagakan proyek tentang dunia dan tindakan demikian merupakan aktus kebebasan atau kebebasan itu sendiri.

Makna transendensi Dasein sebagai pengolah dunia dalam rangka mewujudkan diri merupakan titik pembeda Heidegger dari Husserl. Dunia bukan lagi menjadi obyek yang hadir secara murni dan sederhana sebagai bahan kontemplasi seperti digagas Husserl, melainkan satu kumpulan sarana bagi manusia, perkakas dan barang untuk bekerja dan dikerjakan.

Meskipun “proyek menjadi dan melampaui” berakar pada aksi kebebasan dan kebebasan itu sendiri, manusia tetap tinggal sebagai subyek yang bergantung dari dunia. Manusia dibatasi oleh proyeknya yang secara kodrati bergantung pada keperluan dan dibatasi oleh dunia sebagai sarana kerjanya. Karena itu,

12

berada dalam dunia berarti merawat dunia, peduli, menaruh perhatian dengan segala sesuatu yang berguna untuk merealisir proyek.

Dunia adalah kumpulan dari segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan. Dunia menjadi ada, bermakna sebagai ada berkat keberadaannya sebagai ada yang dapat digunakan. Keberadaan dari segala sesuatu sama dengan keberadaan sesuatu sejauh dimanfaatkan oleh manusia. Dengan mengubah dunia, manusia mengubah dirinya.

Bila hakekat keberadaan benda terletak pada kegunaan, dunia sebagai obyek kontemplasi merupakan salah satu dimesi dari kegunaan: memuaskan kesenangan estetis. Dunia bisa dilihat secara ilmiah atau obyektiv ketika tahu apa yang harus dilakukan terhadapnya.

Secara epistemologis, Heidegger menolak gagasan pengetahuan yag menempatkan buah pengetahuan dalam subyek penahu. Teori epistemologi demikian lahir dari pemahaman yang keliru, seakan mengetahui merupakan kualitas internal subyek dan cara asali manusia menjadi relasi dengan dunia.

Dalam kenyataan, subyek membuka diri bagi dunia dan pengetahuan bukanlah cara awali manusia mempertalikan diri dengan dunia. “Problem apakah dunia ada dan keberadaannya bisa dibuktikan, seperti persoalan yang ditempatkan oleh manusia seperti berada dalam dunia (dan siapa yang dapat melakukannya?) adalah nirmakna”.

Jika in der-Welt-sein merupakan eksistensial, berada dengan yang lain Mitsein adalah eksistensial pula. Premis “tiada subyek tanpa dunia” sejajar dengan “tidak ada aku yang terisolir tanpa yang lain”. Heidegger mengikuti alur Husserl yang menentang alterisme atau solipsisme. Yang lain bukanlah aku yang lain; dia adalah lain, berbeda dariku. Ia berpartisipasi pada dunia sepertiku juga.

Sepadan dengan berada dalam dunia berarti merawat dan menaruh perhatian terhadap dunia, demikian pula berada bersama yang lain sama dengan merawat yang lain. Peduli dengan sesama tertuju pada dua arah: pertama upaya mengurangi yang lain dari kepeduliannya dan kedua membantunya mendapatkan kebebasan untuk menanggung kepeduliannya.

Dalam pengertian pertama terdapat sebuah “kebersamaan”, yakni satu bentuk hidup bersama yang tidak otentik. Sementara dalam pengertian kedua terdapat kebersamaan yang tulen.

4. Ada otentik dan tak otentik

Dasein, manusia berada dalam dunia dan keberadaannya selalu dalam cakrawala menjadi, merancang sesuatu, mengolah alam untuk mempertahankan diri. Keberadaan Dasein menjadi tidak otentik manakala mengarahkan seluruh perhatian dan tindakan kepedulian pada benda, materi, semesta raya. Ia memakai dan memanfaatkan benda dalam relasi dengan sesama dan bahkan menilai sesama dengan ukuran kebendaan. Benda menjadi tujuan, sehingga mereduksi manusi pada tingkatan benda.

Pembendaan manusia berdampak pada bahasa. Bahasa kehilangan makna hakiki sebagai alat untuk mengatakan kebenaran dan berfungsi sekedar sebagai gurauan, omongan tentang eksistensi tanpa nama. Dalam perbincangan, individu hanya bisa berkata bahwa ‘sesuatu berada secara demikian, karena dikatakan begitu’. Karena dikatakan begitu berarti berada pada tataran informasi tanpa fondasi: gosip.

13

Dalam dunia gosip demikian, yang justru berkembang adalah keingintahuan, curiosity. Diskursus diwarnai oleh lautan gosip dan pemberitaan yang terarah pada pemuasan kebutuhan ingin tahu dan selesai. Investigasi lebih lanjut terhenti pada layar, berita dan fakta.

Gosip dan kuriositas melahirkan salah paham dan konflik tak berkesudahan. Konflik dan salah paham merupakan konsekwensi dari kedangkalan berpikir dan berbicara yang bersumber dari apa yang dikatakan dan yang dikerjakan seseorang. Cognosco, ergo loquorque facio sudah tidak berlaku lagi. Manusia jatuh ke dalam urusan duniawi.

Keberadaan otentik adalah cara berada yang memaknai keberadaan benda. Manusia tidak hanya menjadi pemakai buta tanpa mengerti makna dan manfaat bagi dirinya. Keberadaan otentik selalu diawali oleh pertanyaan apa arti dunia bagiku. Keakuan dalam gagasan Heidegger mengacu pada kesadaran diri terdalam, yakni eksistensi dapat-mengada yang memberi ruang bagi manusia untuk merancang atau melampaui faktualitas diri.

Kemampuan melampaui faktitas menandakan bahwa segala sesuatu bergantung padaku. Bergantung padaku menandai kemampuanku untuk membuat pilihan dan keputusan. Saya bisa melakukan apa saja yang kukehendaki atau malah tidak melakukan apapun. Pada titik inilah manusia memutuskan untuk dan terjerembab dalam eksistensi tak otentik.

5. Ada untuk mati

Kemampuan memilih dan memutuskan berhenti ketika manusia berhadapan dengan maut. Di depan kematian mustahil ada pilihan dan keputusan. Maut merupakan realitas yang harus dihadapi, kemungkinan abadi yang selalu menanti, momen yang meniadakan semua pilihan dan kemungkinan. “Maut, sebagai kemungkinan, tidak memberikan peluang merealisir apapun bagi manusia”. Maut adalah kemungkinan yang memustahilkan semua rencana dan hidup manusia. Kematian merupakan kemungkinan kemustahilan itu sendiri.

Pada titik ini, kesadaran individu meminta perhatian pada makna maut. Eksistensi sejati Dasein adalah ada untuk mati. “Maut merupakan kemungkinan berada yang Dasein mesti pikul sendiri. [...] Dalam kemungkinan ini tertera bagi Dasein keberadaannya secara murni dan simpel dalam dunia. Maut merupakan kemungkinan menjadi bukan Dasein lagi. [...] Dengan diharuskan demikian, semua relasi dengan Dasein yang lain terburai. Kemungkinan absolut ini demikian ekstrem. Sejauh sebagai dapat-berada, Dasein mustahil melangkahi kemungkinan maut. Maut merupakan kemungkinan murni dan simpel kemustahilan Dasein. Dengan demikian, kematian disibak sebagai kemungkinan terasli, tanpa syarat dan tak teratasi”.

Maut adalah kemungkinan terakhir bagi eksistensi manusia. “Tiada seorang juga sanggup memikul kematian yang lain. [...] Tiap Dasein harus menanggung kematiannya. Sejauh maut ada, ia selalu secara kodrati menjadi kematianku”.

6. Keberanian di hadapan Kegalauan

Kesadaran mengenai keberadaan manusia untuk mati memberikan makna ada bagi segala makhluk melalui pengalaman tentang kemustahilan. Dengan maut manusia mustahil membuat rencana dan melakukan kemungkinan lain. Pengalaman tentang kemustahilan menghasilkan rasa galau dalam diri manusia. “Berada untuk mati” tegas Heidegger “secara hakiki merupakan kegalauan. [...] Situasi perasaan yang selalu terkuak

14

di hadapan ancaman tetap dan radikal, ancaman yang lahir dari ke-ada-an Dasein yang terisolir dan riil adalah kegalauan. Di dalamnya, Dasein mendapati ketiadaan kemungkinan bagi eksistensinya”.

Berada secara otentik, bersikap ksatria berarti berani menatap kemungkinan kemustahilan diri berada. Seorang ksatria mesti tangguh di hadapan kegalauan eksistensial di depan maut, rendah hati menerima keterbatasan diri.

Individu yang hidup dalam ketidakotentikan selalu takut dengan maut dan kegalauan. “Eksistensi anonim dan banal bersikap pengecut terhadap kegalauan di hadapan maut”. Sikap takut “merupakan kegalauan yang terjerumus pada tingkatan dunia, tidak otentik dan tertutup pada diri sendiri sebagai kegalauan”. Seorang yang hidup dalam ketidakotentikan mustahil merasa aman; ia selalu cemas dan takut pada sesuatu, walau tiada hal yang harus ditakuti.

“Dalam kegalauan di hadapan maut, Dasein ditempatkan di hadapan diri sendiri seakan diserahkan pada kemungkinan diri yang tak teratasi. Eksistensi banal diperhatikan guna membalik kegalauan ini dalam ketakutan di hadapan kejadian yang akan tiba. Kegalauan, dibanalkan menjadi ketakutan, dihadirkan sebagai kelemahan yang Dasein dengan rasa percaya diri tidak boleh kenali. Apa yang pantas menurut kaidah tersembunyi eksistensi yang dibanalkan adalah ketenangan acuh tak acuh di hadapan fakta yang meninggal”. Kemustahilan hadir dengan segenap kekuatan yang membatalkan semua kemungkinan ada.

7. Waktu

Dalam keberadaan yang sarat dengan rencana, maka hal yang mendasar adalah masa depan, ke-nanti-an. “Merancang diri ke nanti dalam cara pandang tentang diri sendiri, merancang diri yang berdasar pada kekinian merupakan sifat hakiki eksistensialitas. Makna pertamanya ialah kekinian”.

Kelampauan merupakan gerak kembali pada situasi yang telah terjadi dan menerimanya sebagaimana ada yang purna. Kekinian ialah ke-ada-an bersama dengan semua dan kenantian merupakan ke-ada-an yang menjelang. Itulah tiga momen berada di luar, ekstasi. “Kekinian, kelampauan dan kenantian menyingkap karakter ‘ke-untuk’, ‘di belakang menuju’ dan ‘besua dengan’. Fenomen kini, dulu dan nanti mengungkapkan waktu sebagai έκστατιόν. Temporalitas secara asali merupakan “berada di luar, dalam diri dan untuk diri”. Kita menamakan fenomen terurai sebagai menjadi, telah terjadi dan kehadiran ekstasi temporalitas”.

Ketiga momen waktu tidaklah tetap secara absolut. Momen waktu berubah seturut waktu otentik atau waktu tak otentik. Waktu otentik sejajar dengan berada otentik dan waktu tak otentik sepadan dengan keberadaan yang mengutamakan harta benda, prestasi.

Bagi momen otentik masa depan merupakan aktivitas, bertatap muka dengan kegalauan dan maut, persiapan diri yang keluar dari skema urusan duniawi. Adapun masa lalu merupakan momen refleksi guna menemukan makna dari beragam peristiwa dan norma yang merekam jejak cara hidup generasi terdahulu. Kekinian merupakan kesempatan bagi individu untuk keluar dari ketidakaslian, dari dominasi dunia dan memutuskan nasib sendiri.

Konsekwensi yang dapat ditarik dari gagasan Heidegger berkaitan dengan waktu adalah: a) waktu yang digunakan dalam pemikiran publik dan ilmu pengetahuan adalah momen tak otentik karena mencemplungkan individu pada dunia; b) eksistensi otentik merupakan eksistensi galau yang melihat segala proyek dan maksud manusia sebagai nirmakna. Kesadaran mengenai kenirmanaan segala sesuatu dan

15

kegalauan yang muncul di hadapan maut, membuat individu bisa menerima diri dan kekinian guna mengantisipasi maut menjelang; c) Rupa-rupa sejarah mengandaikan kesejarahan Dasein. “Bukan sekedar pengetahuan rupa sejarah adalah sejarah sejauh menampilan proses menyejarah Dasein, melainkan keterbukaan rupa kesejarahan sejarah, [..] yang in se berakar dalam historisitas Dasein dan hak itu selaras dengan struktur ontologisnya. Adalah pada keterjalinan ini persoalan tentang asal muasal eksistensial historigafi bertitik tolak dari historisitas Dasein mengacu”.

8. Metafisika dan Pelupaan Ada

Upaya untuk menemukan makna ada atau analisa mengenai struktur eksistensi membuka kekeliruan yang selama ini dianggap sebagai kebenaran filosofis. Kekeliruan tersebut terletak pada anggapan bahwa analitis eksistensial mesti berawal dari realitas ada (konkrit). Analisa atas struktur ada memperlihatkan bahwa makna ada mustahil ditemukan pada pada ada, bahkan pada manusia, Dasein yang mempertanyakan makna ada sekalipun. Analitis eksistensial justru menunjukkan bahwa yang ditemukan bukanlah makna ada melainkan kemustahilan ada.

Kekeliruan yang berlangsung sejak jaman Yunani klasik hingga sebelum Heidegger selalu berkeyakinan bahwa pencaharian makna ada harus berawal dari ada konkret (entis). Jadi, metafisika memahami ada sebagai obyektivitas, kehadiran murni ada konkrit. Dengan demikian, metafisika klasik-modern pra-Heidegger tiada lain adalah fisika, ilmu yang telah terserap oleh benda.

Identifikasi ada dengan obyektivitas berakibat bahwa ada sejati dilupakan. Tokoh yang memulai peralihan metafisika ke fisika, yang melupakan ada sejati adalah Platon. Para filosop pra-Platon memahami kebenaran sebagai penyataan, penyingkapan ada, disvelatio, άλήθεια (altheia), yang berasal dari α = tidak dan λανθάνω (lanthano) = selubung.

Platon menolak kebenaran sebagai άλήθεια, penyingkapan ada. Lebih parah lagi, ia membalik urutan logis relasi ada dengan kebenaran, dengan menempatkan kebenaran sebagai dasar dan ada sebagai bangunan yang dibuat pikiran. Kebenaran terletak dalam pikiran, muatan atau isi yang ditangkap pikiran dan bukan ada yang membuka diri pada pikiran. Sebagai akibat, ada dibatasi dan dihubungkan dengan pikiran semata: verbum mentis, bahasa.

9. Bahasa Puitis: Bahasa Ada

Bahasa dengan segenap struktur dan kaidahnya merupakan ciri khas manusia. Hanya saja dalam tataran filosofis, bahasa yang digunakan mengungkapkan ada konkret, bukan ada sejati. Ada tidak dapat dikomunikasikan oleh ada konkret, termasuk manusia sebagai ada yang istimewa. Manusia mustahil menemukan makna ada.

Ada menyingkap diri sendiri. Manusia hanyalah gembala ada, bukan tuan ada. Martabat manusia “terletak pada panggilan, undangan ada untuk menjaga kebenarannya”. Ada adalah misteri, bukan karya cipta manusia.

Kapan ada menyingkapkan diri dan lewat sarana bahasa macam apa? Ada membuka diri dalam bahasa puitis. “Bahasa adalah rumah ada. Di kediaman ini menetap manusia. Pemikir dan penyair adalah penjaga rumah ini”. Bahasa puisi memberikan nama dan menyingkap ada. Dalam bahasa penyair, yang berbicara adalah bahasa dan ada sendiri. Kata dan bahasa bersifat suci.

16

Lalu sikap apa yang harus diambil manusia? Ia harus membuka mata dan memasang telinga untuk mendengar sabda da. Ia mesti memasrahkan diri pada ada; membuat diri bebas bagi kebenaran. Pada saat ada membuka diri dan manusia memasrahkan diri, di situ kebenaran dan kebebasan menjadi identik. Jadi baik kebenaran maupun kebebasan merupakan anugera ada.

10. Teknik dan Dunia Barat

Penyamaan metafisika dengan fisika selama puluhan abad membawa akibat yang besar sekali bagi peradaban Barat. Penguasaan atas benda menghasilkan peradaban yang bertumpu pada teknik, sehingga menghasilkan dominasi teknologi.

Teknologi merupakan konsekwensi logis dari dominasi fisika dan pelupaan ada oleh manusia. Melupakan ada, mendominasi ada konkret secara otomatis menguasai manusia, Dasein, ada istimewa. Keyakinan pada teknik sedemikian berakar dan kaku sehingga menutup mata bahkan ketika perangkat teknis tersebut mengancam dan membinasakan hidup.

EKSISTENSIALISME

Latar belakang pemikiran eksistensialisme adalah beragam pola pikir yang menyiratkan optimisme tentang Nalar sebagai jaminan bagi sejarah pengetahuan dan kesejahteraan hidup manusia. Optimisme tentang nalar diperlihatkan dalam positivisme, idealisme dan marxisme. Positivisme bertumpu pada kemampuan absolut nalar dalam memahami realitas empiris seturut kalkulasi, eksperimen dan bangunan teoretis yang sarat dengan fakta dan data yang valid dan tahan uji. Idealisme membangun sistem berpikir yang berpusat pada ide, universalitas dan yang umum sebagai kebenaran dan hakekat dari berbagai fenomen. Marxisme menyandarkan diri pada daya nalar sebagai motor utama bagi perubahan nasib umat manusia.

Eksistensialisme membangun argumentasi yang bertolak belakang dengan optimisme nalar yang menjamin roda sejarah peradaban, ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Argumentasi eksistensialisme dan filsafat eksistensial berpusat pada manusia sebagai individu, makhluk, pribadi yang terbatas, tercampak di dalam dunia dengan beragam kesulitan dan persoalan.

Sentralitas filsafat eksistensial adalah manusia nyata dan tunggal. Eksistensi merupakan cara berada utama manusia nyata. Eksistensi bertalian langsung dengan dunia atau Tuhan sebagai realitas yang mengatasi singularitas individu. Aspek transendensi ada diterima sebagai realitas yang nyata bagi eksistensi. Dalam kaitan dengan ada yang mentransenden, maka cara berada dasariah eksistensi adalah kemungkinan, peluang menjadi ada, gerak keluar dari diriku sebagai ada yang terbatas, ex-sistere.

Gerak keluar dari kedirian berarti proses menjadi yang memuat risiko, soal, kegalauan, kecemasan, kekelaman, keberanian dan ketangguhan lewat keputusan menatap masa depan. Ex-sistere berarti menantang waktu, mengisi ruang, mewujudkan suatu proyek. Apa proyek masa depan yang ingin diwujudkan? Tujuan apa yang hendak diraih dari gerak keluar dari kedirian?

Berkenaan dengan tujuan gerak keluar, terdapat beragam pendapat dan keragaman ini menjadi tanda pembeda dari aliran dalam eksistensialisme. Ada yang mengarahkan gerak pikiran pada Allah, ada pula yang berhenti pada kemanusiaan dan kebebasannya, terdapat pula orientasi pada dunia.

17

Dari sudut sejarah pemikiran, eksistensialisme merupakan turunan dari refleksi polemis yang berkembang di antara para pemikir. Hegelianisme telah melahirkan perdebatan yang sangat panjang dan melahirkan krisis yang amat signifikan dalam sejarah ide. Krisis tersebut bisa ditemukan dalam serangkaian kritik yang ditujukan pada Hegelianisme berupa materialisme- humanis Feuerbachian, materialisme historis Marxian, pesimisme Schopenhauerian, humanisme Nietzscheian, humanisme religius Kierkegaardian serta das ding an sich Husserlian.

Kekhasan eksistensialisme terletak pada media ekspresi yang semakin beragam, meliputi literatur (buku, novel, roman) maupun seni teater. Gerak kembali pada teater menampilkan wajah refleksi yang tidak lagi berkutat pada dunia ide; ide kini diturunkan dalam dunia tampilan, gerak gerik, mimik dan bahasa harian individu. Teater menjadi medium pengetahuan konkret tentang hidup manusia dan semesta relasinya dengan sesama dan lingkungan sekitar. Teater ialah mikrokosmos.

18

KARL JASPER(1883-1969)

GARIS BESAR PEMIKIRAN

1. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan sikap ilmiah. “Sikap ilmiah merupakan kesiapsediaan ilmuan menerima setiap kritik terhadap pendapatnya. Bagi ilmuan kritik merupakan syarat penting dan hakiki. Dia hendaklah tidak pernah merasa puas dikritik hingga mencapai kejelasan. Bahkan kritik yang ‘serampangan’ bermanfaat bagi seorang ilmuan sejati. Dia yang alergi dengan kritik tidak menginginkan ‘pengetahuan’ dalam arti kata yang benar”.

Keterbatasan ilmu pengetahuan ilmiah ialah sebagai berikut: a) “pengetahuan ilmiah tentang segala sesuatu bukanlah pengetahuan tentang ada; terarah pada obyek tertentu, tetapi buta tentang apa arti ada; b) pengetahuan ilmiah tidak mampu memberikan tuntunan bagi hidup; tidak bertumpu pada nilai yang kokoh; sebagai ilmu, pengetahuan ilmiah tidak dapat menuntun hidup; untuk kejelasan dan keputusannya, pengetahuan ilmiah menyodorkan dasar yang lain bagi hidup kita; c) ilmu tidak bisa memberikan jawaban apapun pada pertanyaan tentang makna sejati dirinya; fakta bahwa ilmu didasarkan pada dorongan yang bahkan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai benar dan harus ada”.

Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan obyektiv, berciri dan berlaku umum. Namun, obyektivitas demikian berkisar pada dunia benda dan selalu berada dalam alur orientasi di dunia. “Disebut orientasi karena terus tak-tuntas, proses tanpa hingga dan di sebut orientasi dalam dunia karena diposisikan sebagai pengetahuan seputar ada tertentu dan lebih tepat lagi pengetahuan tentang sesuatu yang ada dalam dunia. Tiada ada yang dikenal adalah ada”. Meski berlaku umum, pengetahuan ilmiah bukanlah solusi bagi semua problem. Justru ciri obyektiv menjadi tembok yang membatasi pengetahuan ilmiah dari persoalan hakiki manusia dan semesta; ia berada di luar ada dan persoalan manusia.

2. Ada melampaui pengetahuan ilmiah.

Riset ilmiah tentu akan menghasilkan pengetahuan yang makin banyak dan cakrawalanya pun meluas. Hanya saja ruang gerak pada dunia fisik membuat alur pengetahuan ilmiah selalu berada pada horison tak-tuntas, inkonklusiv. Makna ada, pemahaman tentang totalitas terpahami tuntas menjadi wilayah misterius bagi pengetahuan ilmiah; yang absolut berada di luar jangkauannya.

Jika bermaksud memahami ada sebagai ada wajiblah mengubah haluan, mengingat dalam proses riset obyektiv kita sadar terus tentang tampilan totalitas, yang tidak pernah dibuktikan sebagai ada penuh dan otentik, sehingga harus di cari pada tataran yang melampaui realitas fisik dan konkret, data dan fakta empiris.

“Ada mustahil dikurung dan bagi kita cakrawala bersifat nirbatas. Ada menarik kita dalam segala sisi menuju nirbatas. Ia selalu menarik diri dan menjauh. Ada ialah semua-perangkul. Semua-perangkul merupakan sesuatu yang selalu dan terus dimaklumkan kepada kita, dan diwartakan bagi kita bukan

19

dalam artian mendatangi kita, melainkan sebagai sumber dari setiap hal”. Jadi, “kebenaran merupakan sesuatu yang lebih daripada kepastian ilmiah”.

Manusia bisa dipelajari dari beragam sudut pandang oleh berbagai disiplin ilmu, sebagai obyek dunia. Namun, studi demikian selalu menyisakan dan menempatkan eksistensi di luar wilayah kajiannya. Eksistensi dalam realitas riil, tunggal dan khusus mustahil direduksikan pada sekedar obyek murni dan benda yang terpetakan oleh teori dan penjelasan.

3. Nirobyektivabilitas Eksistensi

“Ada satu pikiran yang tiada bersangkut paut dengan validitas umum dan memaksa pada ke-absen-an, tetapi mampu menyibak muatan yang bermanfaat sebagai penyangga dan norma bagi hidup. Pikiran demikian (rasio) masuk dan membuat jalan dengan menyinari dan bukan mengenal [...]. Pada kasus demikian pikiran tidak menyodorkan padaku aneka pengetahuan yang asing, melainkan memperjelas apa yang kuinginkan, kumaksudkan dan kuimani dengan sungguh. Pada situasi demikian pikiran membuat dan menentukan bagiku dasar yang cerah tentang kesadaranku”.

Eksistensi adalah eksistensiku, mustahil diobyektivikasi dan disamakan dengan ada empiris dan inderawi. “Eksistensi merupakan persoalan personal. Aku adalah eksistensi sejauh tidak menjadi obyek. Di dalamnya saya tahu mandiri tanpa sanggup mengintuisi apakah aku. Aku menghidupi kemungkinannya; hanya dalam merealisirnya aku adalah aku”.

Aku bukan sekedar tulang dan daging, makhluk yang berjalan kian kemari karena guratan takdir, tunduk pada fatalitas tanpa kesadaran. Aku adalah subyek yang dapat berada secara lain. Berada secara lain berarti bahwa “aku milikku adalah identik dengan ruang realitas tempat aku berada”. Di sini subyek, aku membuat keputusan dan pilihan dengan mengakui dan menerima eksistensiku sebagai aku yang berada dalam dunia.

“Aku berada dalam situasi historis jika kusamakan dengan satu realitas dan dengan tugasnya yang begitu besar [...]. Aku hanya dapat ambil-bagian pada satu bangsa, memiliki orangtua ini dan bukan yang lain, bisa mencintai satu wanita saja”. Aku adalah aku sebagaimana diriku di sini dan kini. Itulah kebebasanku.

Nirobyektivabilitas eksistensi dan historisitasnya merupakan dua hasil yang menuntun pada iluminasi eksistensi. Pada titik demikian “eksistensi dan rasio bukanlah dua kekuatan yang saling bergulat, melainkan bahwa masing-masing berkat satu sama lain dan dalam aktus saling memasuki memberikan realitas dan kejelasan”.

4. Ketenggelaman Eksistensi dan Pijar Transendensi

“Tujuan yang dicapai dengan perubahan kondisi sosial menjadi tak tertanggungkan dan berantakan. Semua peluang yang terpikirkan kini terhisap tuntas. Beragam kekayaan hidup spiritual menguap. Sebesar apapun, semua telah melenyap. Pada tahap terakhir tersisa hanya ketenggelaman”. Semua menghilang, melenyap dan menguap, mulai dari semua hal, institusi hingga “segala sesuatu yang telah dihasilkan dan dicapai pikiran”.

20

“Segala situasi seperti keadaan selalu berada dalam situasi, dapat hidup tanpa pergulatan dan penderitaan, keharusan mengemban rasa bersalah yang tak tersembuhkan, aku harus mati, membentuk apa yang kusebut situasi-batas. Situasi-batas tidak mengalami perubahan substansial, tetapi perubahan fenomenis; dibandingkan dengan keberadaan kita situasi-batas mempunyai sifat tuntas. Mereka tidak kelihatan; dalam keberadaan kita tidak dimunculkan apapun yang melampaui situasi-batas demikian. Mereka bagaikan tembok yang kita hadapi dan kita roboh. Dari pihak kita, situasi-batas mustahil diubah, tetapi hanya bisa diperjelas”.

Kesadaran mengenai keterbatasan, ketenggelaman dan kefanaan segala sesuatu, eksistensi diri, institusi dan sejarah peradaban menyiratkan pijar transendensi. Tentu kehadiran yang transenden mustahil dikenal, karena bukan entitas fisik-inderawi; keberadaannya ditandai sebagai YANG LAIN oleh dunia. Realitas merupakan bahasa isyarat transendensi.

“Aku sejati, yang sungguh mau menjadi diri sendiri, mustahil berdiri tegak. Ketika aku gagal dalam keinginan cukup bagi diriku, bisa dikatakan bahwa aku siap bagi sesuatu yang lain, di hadapannya, yaitu Transendensi”.

Transendensi menyatakan diri dalam situasi-batas. Batas mengungkapkan sesuatu yang melampaui eksistensi, eksistensi yang berada dalam dua kutub yang berbeda. Keberadaan yang antagonistis demikian mesti diterima sambil berupaya mengenal dan memahaminya. Pada titik ini, transendensi hanya dirasakan dan ditilik, karena mengatasi segala kaidah ilmu pengetahuan.

“Aku bukanlah diriku sendiri tanpa transendensi. Pada siapa ditanyakan apa arti transendensi, mustahil diperoleh jawaban dalam istilah pengetahuan. Jawaban datang dari luar secara tidak langsung dalam ukuran di mana seseorang memperjelas struktur dunia, yang mustahil pula ditutup dalam dirinya dan struktur manusia yang mustahil mewujudkan diri secara sempurna, saat disibak kemustahilan sistemasi dunia secara berkala dan tuntas serta fatalitas kekaraman universal. Tanpa transendensi tiada eksistensi. Persoalan terakhir adalah mengetahui bila dari lembah kekelaman sebuah ada dapat bersinar”

5. Eksistensi dan Komunikasi

Transendensi mengungkapkan diri dalam bahasa isyarat situasi-batas, sehingga hendaklah dibaca dalam keintiman eksistensi diri. Pada tataran ini, kebenaran filosofis bersifat tunggal dan eksistensial, bukan anonim dan obyektiv. “Allah adalah senantiasa Allahku dan Dia tak kumiliki bersama dengan yang lain”. Transendensi adalah unik: aku adalah eksistensiku.

Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyampaikan kebenaran filosofis kepada yang lain bila berada di kedalaman jiwaku, dia pilih dan dia terima? Jika kebenaran adalah unik dan berada dalam setiap batin, maka kebenaran adalah jamak, majemuk, plural.

“Eksistensi menjadi ungkapan diri sendiri dan dengan demikian riil, bila bersama dengan eksistensi yang lain, lewat dan bersamanya, sampai pada dirinya”. Kebenaran yang hadir pada semua menandakan bahwa masing-masing berada dalam perziarahan guna menemukan Kebenaran sejati, Transendensi yang mengatasi semua kebenaran tunggal eksistensi.

21

Dengan mengakui kemajemukan kebenaran yang bersemayam dalam setiap eksistensi, Jaspers menghindari dogmatisme dan fanatisme yang mendakukan kebenaran maupun relativisme dan skeptisisme yang meyakini banyak kebenaran sebanyak eksistensi. Filosof yang awas “tidak jatuh ke dalam kekeliruan tentang kebenaran menyeluruh dan tuntas”. Ia selalu membuka diri tentang peluang untuk menjembatani aneka kebenaran yang dimiliki oleh setiap eksistensi.

Sistem totaliter “mendasarkan rencana yang menyeluruh di atas dasar pengetahuan yang menyeluruh pula. Namun mustahil bagi siapapun, entah melalui pengetahuan maupun aksi memahami totalitas dunia, dia yang berupaya melakukannya harus menaklukkan dunia dengan kekuatan, tetapi dia akan lakukan sebagai seorang pembunuh yang menguasai mayat dan bukan sebagai insan yang mencoba masuk dalam relasi dengan sesama manusia guna mendirikan dunia bersama”.

Penyakit utama kaum diktator dan dogmatis baik, Nazi maupun komunisme adalah bahwa “mereka menegaskan sesuatu yang mengatasi pengetahuan ilmiah seakan dia anggap sebagai pengetahuan yang lebih ilmiah lagi”.

Melawan dogmatisme dan kediktatoran, “tujuan filsafat adalah memperkokoh resistensi batin melawan propaganda mutakhir barisan partai, seperti melindungi individu dari mangsa iman yang absurd maupun pihak yang mencapai titik tertinggi dalam ‘pengakuan’ yang terjadi dalam beragam proses yang menggelikan”. Karena itu, “dalam oposisi terhadap pengetahuan totalitarian, filsafat harus membuat terjaga kemampuan berpikir mandiri dan kemandirian individu yang hendak dicekik oleh kekuasaan totaliter”.

Filsafat adalah lentera peradaban, penerang di kala kegelapan menyergap, daya vital ketika ada daya perusak yang meracuni badan sosial-individual, sang juruselamat manakala tangan kekuasaan dengan pedang teracung membabat kemanusiaan. Filsafat tidak boleh berdiam diri di menara gading idealisme; dia harus turun ke bumi bergulat dengan tadir manusia dalam ruang dan kekinian.

JEAN-PAUL SARTRE(1905– 1980)

1. Kritik atas Fenomenologi

Sartre sependapat dengan Husserl mengenai pengertian intensionalitas bahwa pikiran selalu mengacu pada ada, tahu tentang sesuatu. Kritik Sartre atas Husserl diawali dengan analisa kritis seputar AKU, IMAGINASI DAN EMOSI. Mengenai gagasan Husserl tentang subyek transendental, Sartre menyanggah secara demikian: “Aku bukanlah penghuni kesadaran, bukan dalam kesadaran, melainkan berada di luar kesadaran, dalam dunia: ia adalah ada dalam dunia seperti aku yang lain”.

Lebih lanjut dikatakan bahwa “sebuah meja bukan berada dalam kesadaran, apalagi representasinya. Sebuah meja berada dalam ruang, dekat dengan jendela dan seterusnya [...]. Langkah

22

pertama yang dilakukan filsafat adalah mencabut segala sesuatu dari kesadaran dan menata ulang relasinya dengan dunia, yaitu bahwa kesadaran merupakan kesadaran posisional dunia”.

2. Drama Eksistensial

Ada adalah keterlaluan. Eksistensi adalah keterlaluan; eksistensi bukanlah niscaya. Dunia adalah keterlaluan; tidak harus ada. Semua gratis, tanpa bayar, cuma-cuma, nirharga, tanpa alasan, tanpa dasar, sia-sia. Semesta tidak memiliki alasan berada sama sekali, sehingga mustahil dan keterlaluan. Yang hakiki adalah kontingensi. Kegratisan dan kesia-siaan eksistensiku dan ada telah melahirkan rasa muak.

‘Beberapa saat lalu, saya [Antoine Roquentin – tokoh rekaan) berada di taman kota. Akar berangan melingkar di tanah, tepat berada di bawah kursiku. Saya tak ingat lagi kalau itu akar. Semua kata menguap, dan bersama dengan itu menguap pula makna segala sesuatu, cara guna mereka, guratan-coretan yang telah orang tinggalkan [...]; akar, pagar [kawat], kursi, alur rumput, semua hilang; keragaman segala sesuatu dan ketunggalan mereka tidak lain adalah tampilan, pernis-cat. Cat itu telah mencair, tersisa noda yang buruk dan berair tak teratur, telanjang, ketelanjangan yang menakutkan dan buruk rupa. Kami hanyalah seonggok ada yang asing, malu dengan diri sendiri, tiada alasan sekecil apapun untuk di sana, yang satu maupun yang lain, setiap yang ada, bingung gelisah, merasa keterlaluan dalam relasi dengan yang lain. Terlalu: hanya itu relasi yang bisa saya jalin dengan pepohonan, pagar dan kerikil”.

“Momen ini begitu luarbiasa. Saya di sana, terdiam dan kedinginan, tenggelam dalam ekstasi yang mengerikan. Namun dalam lubuk ekstasi itu timbul sesuatu yang baru dan saya menyadari rasa muak, sekarang saya miliki”.

Dari rasa muak, Sartre menemukan realitas hakiki bahwa “yang hakiki ialah kontingensi. Per definisi, saya katakan bahwa eksistensi bukanlah keniscayaan. Berada berarti berada di sana belaka; yang ada tampil, saling bertemu: kontingensi bukanlah rupa yang palsu, tampilan yang dapat dibuang; ia adalah absolut, dan karena itu kegratisan sempurna. Semua gratis, taman ini, kota ini, saya sendiri. Ketika kalian sadar akan semua ini, perut kalian berontak dan semua muncrat... Itulah kemuakan”.

Kemuakan merupakan cara berada, pola interaksi, roh relasi dan jiwa ekspedisi manusia dalam semesta raya. Perziarahan semua yang ada disertai senantiasa oleh rasa muak, kemuakan yang mengalir dari kesia-siaan, kegratisan ada. Sarte menegaskan kembali apa yang diujar oleh Pengkhotbah: segala sesuatu adalah kesia-siaan.

3. Ontologi

Gagasan ontologi Sartrean berciri dualistis. Ada (riil) terbedakan dalam kesadaran dan obyek kesadaran, ada in-se (l’être en-soi) dan ada per-se (être pour-soi), ada dan tiada. Pemisahan demikian berakar dari pengalaman kemuakan yang mengungkapkan kesia-siaan dan kegratisan segala sesuatu. Ternyata, subyek berkesadaran berbeda dari obyek yang disadari; kesadaran senantiasa adalah kesadaran tentang sesuatu. Dalam praksis, kesadaran atau subyek dapat berubah rupa menjadi dan tenggelam dalam semesta benda.

Sartre memahami ontologi sebagai deskripsi fenomen ada yang menyatakan diri tanpa medium apapun. Ontologi mempunyai sifat deskriptiv, konstatativ. Ciri deskriptiv ontologi mengalir dari konsep ada sebagai tampilan. Ada adalah segala sesuatu yang tercerap oleh indra dalam realitas; ada sejauh tampil.

23

“Ada fenomen seluas apapun harus tunduk pada persyaratan fenomenis - fenomen berada sejauh disingkapkan - dan karena itu melampaui dan membentuk pengetahuan tentang fenomen”.

Sementara metafisika dipahami secara khusus sebagai “kajian tentang berbagai proses individual yang menjadi asal muasal dunia ini sebagai totalitas konkret dan tunggal. Dalam artian ini, metafisika berada dalam ontologi seperti sejarah dalam sosiologi”.

Ontologi Sartrean memiliki karakter formal. Ada adalah fenomen. Tampilan tidak menyembunyikan esensi, malah menyatakannya. Tampilan adalah hakekat, sehingga ontologi berciri fenomenologis. Ontologi merupakan subyektivitas intensional.

Ontologi mengolah semua data yang diperoleh dari pengalaman eksistensial. Ada tiada lain adalah situasi yang dihidupi oleh manusia. Titik tolak ontologi Sartrean adalah manusia dan pengalamannya dalam semesta realitas. Karena itu, ontologi Sartrean ialah gnoseologi, karena membentuk doktrin pengetahuan dan ada, berada di antara fenomenologi dan ontologi.

Ada mempunyai beragam makna: a) copula (adalah) dari satu keputusan, b) segala benda, c) manusia, d) kesadaran, e) reduksi, f) sesuatu yang abstrak, g) alam raya. Sartre mereduksir makna ada riil pada dua aspek belaka: ada in-se dan ada per-se. Ada in-se dan ada per-se bukan berada dalam relasi pertentangan. In-se dan per-se merupakan bagian integral ada, cara berada ada secara riil. Ada in-se dan ada per-se sejajar dengan ada dan ketiadaan.

Ada dalam arti yang penuh dan positiv adalah ada in-se, mengingat ada per-se adalah ketiadaan ada. Ada in-se adalah ada fenomen dan bersifat tak tercipta, ada sebagai ada yang bukan pasivitas maupun aktivitas. Ada in-se adalah ada, bukan berasal dari apapun entah yang menjadi maupun yang niscaya. “Ada in-se adalah nir-kreasi, tanpa alasan berada, tiada relasi dengan ada yang lain; ada in-se adalah keterlaluan bagi keabadian”. Ada in-se adalah kontingen, sia-sia, terlalu. Ada in-se adalah ada secara demikian.

Jika ada in-se bukan berasal dari ADA yang niscaya, ALLAH, apa alasan memadai yang dapat diajukan? Tentang persoalan demikian Sartre menjawab, “Jika ada berada di hadapan Allah berarti ada adalah penyangga dirinya sendiri dan tanpa melestarikan jejak terkecil sebagai ciptaan ilahi”.

Ada in-se secara ontologis mendahului ada kesadaran. Kesadaran menyembul dari ada seperti sesuatu yang melingkupinya. Titik tolak anterioritas ada adalah fenomen tanpa mediasi. Fenomen merupakan obyek terindera dan terimajinasi dan obyek demikian ditata dalam ruang kesadaran secara berantai. Kesatuan sintetis fenomen adalah hakekat obyek yang tampil.

Hakekat merupakan alasan ada yang tampak dan fenomen, ada yang tampak, menyingkap hakekat dan ada. Ada fenomen membuka diri secara langsung pada kesadaran, karena kita memiliki intuisi yang bertalian. Ada merupakan syarat bagi setiap penyingkapan, ada untuk tersingkap. Dengan demikian, ada fenomen berciri ontologis; ada adalah subyek dan di luar subyek. Ada adalah dasar subyek, terdapat di manapun, melawanku, di sekitarku dan bolak-balik dari ada ke ada yang lain.

Ada in-se bukan pasivitas, karena tidak bergantung pada Allah. Ketergantungan pada Allah berarti Allah terus berkarya, melestarikan karya cipta dan selalu berada di hadapan seluruh ciptaanNya. Kontinuitas karya dan kehadiran senantiasa menandakan bahwa individu adalah pasivitas murni.

Ada in-se bukan aktivitas, karena mensyaratkan sarana dan tujuan yang mendahuluinya dalam berada. Jika ada sarana dan tujuan yang telah ada lebih dahulu daripada ada in-se, maka anterioritas demikian

24

menandakan bahwa ada in-se berkaitan dengan keniscayaan. Sementara keniscayaan selalu bertalian dengan yang ideal.

Ada in-se bukan pula kemungkinan maupun kemustahilan, mengingat kemustahilan memiliki struktur per-se. Bukan pula kemungkinan, karena menuntut sesuatu yang mengawali, menyediakan hal ihwal yang harus direalisir dan sasaran yang hendak di raih. Jika demikian, ada in-se adalah ada begitu saja, kontingensi, bahkan keterlaluan bagi keilahian.

Ada per-se adalah kesadaran, manusia. Kesadaran berada dalam ada in-se, dalam dunia. Hanya saja, keberadaan dalam dunia jangan dipahami sebagai bertalian dengan ada in-se. Kesadaran, eksistensi, manusia berbeda dari dunia dan bebas secara absolut.

Kesadaran bukanlah obyek. Secara hakiki kesadaran adalah tabularasa. Kesadaran merupakan subyek dan secara esensial adalah opsional; dengan merealisir diri, kesadaran menstransenden. Ada transenden ialah ada yang berada di depanku, di hadapanmu dan yang lain adalah transenden di depanku. Kesadaran tidak memuat apapun, tanpa isi, ketiadaan, conscientia nulla est. Semua yang berada dalam pikiran merupakan konstruksi manusia, proyek yang direalisir. Kesadaran merupakan kemungkinan dan karena itu adalah kebebasan.

“Kebebasan bukanlah ada. Kebebasan adalah keberadaan manusia, yakni ke-bukan-an berada. Aku terhukum untuk selalu berada mengatasi semua penggerak dan motiv perbuatanku: saya terkungkung untuk bebas. Dalam artian tiada batasan apapun bagi kebebasanku selain kebebasan demikian; atau lebih pas, kita terpaksa untuk bebas senantiasa”.

Kebebasan adalah takdir, guratan nasib yang melekat dalam eksistensi, jiwa yang menghidupi kesadaran, daya yang menggerakkan badan. Kebebasan adalah kutukan eksistensi yang mustahil dihindari. Manusia adalah kebebasan.

Ada per-se yang terkutuk untuk bebas berupaya membangun keberadaannya. Hidupnya merupakan sebuah proyek berada. Gerak mengada manusia melahirkan ketiadaan. “Ada yang memunculkan tiada dalam dunia merupakan ada yang dalam keberadaannya mempersoalkan ketiadaan keberadaannya. Ada yang membuat tiada timbul dalam dunia hendaklah ketiadaannya sendiri”. Dengan manusia, “ketiadaan menyusup ke dalam dunia dan mewarnai segala sesuatu”.

Mengapa demikian? Karena “realitas manusia per-se dengan mengada sebagai annulasi ada in-se terbentuk secara bersamaan di bawah semua dimensi annulasi yang mungkin”. Tiada bukanlah statis, melainkan dinamis dan kedinamisan demikian terungkap dalam aksi nullifikasi ada. Ketiadaan bersemayam dalam ada dan sejenis penyakit ada. Jadi, ketiadaan adalah posterior dibandingkan dengan ada.

Posterioritas ketiadaan menunjukkan bahwa ketiadaan merupakan konsekuensi, akibat; bukan menientifikasi, melainkan dinientifikasi, tidak mengannulasi, tetapi diannulasi. Fakta bahwa ketiadaan merupakan “korban” dalam semesta ada menunjukkan bahwa ketiadaan memiliki asal usul dalam ada in-se. Dalam artian bahwa ada in-se ditatakelola seturut prinsip identitas. Ada adalah ada dalam kepenuhan dan kesempurnaannya. Ketiadaan merupakan negasi prinsip identitas.

Negasi prinsip identitas membuka peluang bagi ada untuk hadir bagi dirinya sendiri atau menjadi kesadaran, ada per-se. Presensi a se berarti membuat jarak dari diri sendiri, tindakan untuk menjadi causa sui, fondasi bagi diri sendiri. Upaya ada per-se menjadikan diri sebagai causa sui merupakan tindakan

25

dekompresi ada dan dekompresi ini membuka ruang dan celah dalam imperium ada. Dengan menjadi kesadaran, hadir a se, ketiadaan masuk ke dalam ada. Bagaimana ada celah bagi ketiadaan untuk masuk dalam ada, jika ada merupakan fondasi ketiadaan dan secara kronologis adalah anterior?

Sartre membuktikan eksistensi ketiadaan dengan menunjuk pada keputusan negativ, interogasi, keraguan, epoche, buruk hati. Semua fakta ini menunjukkan bahwa penyebab ketiadaan berada dalam keterbatasan obyektiv subyek dan kemampuannya.

4. Humanisme

Gagasan Sarte tentang manusia bernuansa negativ dan pesimistis, sekaligus mendua. Di satu sisi, ia memahami manusia sebagai seonggok daging yang berkesadaran; makhluk tanpa awal mula dan asal usul apapun selain rahim ibu. Ia menegaskan dengan lantang bahwa “tidak ada kodrat manusia, sebab tiada Allah yang menciptakannya”. Dalam kenyataan, “tiada kodrat manusia di atas mana aku dapat berpijak”. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa “esensi merupakan segala sesuatu yang realitas manusia pungut sendiri sebagai sesuatu yang terdahulu”.

Siapakah manusia menurut Sartre? Manusia adalah apa yang dilakukan, bukan apa yang ada. Ia adalah pembuat mukjizat bagi kekinian hidupnya. Dalam diri setiap manusia sudah terselip benih masa depan. Hidupnya adalah satu proyek, pilihan, keputusan dan kehendak untuk menjadi, bukan takdir ilahi. Dasar keberadaan yang memproyeksi adalah status manusia sebagai makhluk bebas dan duniawi. Saya melakukan apa yang kuinginkan seturut tujuanku. Maka, pilihan dan keputusan menciptakan hakekat manusia seturut maksudnya. Untuk manusia, eksistensi mendahului esensi.

“Allah tidak ada, di hadapan kita tidak ditemukan nilai dan tatanan yang bisa mensahkan perilaku kita. Dengan demikian, baik di muka maupun di belakang, dalam dominasi nilai yang berpijar, tidak kita temukan justifikasi atau maaf. Kita berada tanpa maaf. Apa yang kuungkap dengan kata-kata tersebut adalah manusia terhukum untuk bebas. Terhukum karena bukan swacipta dan meski bebas, ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan, karena telah tercampak ke dalam dunia”.

Manusia adalah tuan atas keberadaan, aktivitas dan takdir sendiri, sebab tiada Tuhan. “Ia (eksistensial) berpikir bahwa manusia adalah penanggungjawab atas hasratnya. Eksistensialis bahkan tidak pernah berpikir bahwa manusia dapat menemukan bantuan berupa isyarat sebagai orientasi di atas bumi; ia malah berpikir bahwa manusia mengukir sendiri isyarat seturut kehendaknya. Jadi, ia berpikir bahwa manusia tanpa bantuan dan sokongan yang lain, dihukum sepanjang waktu untuk menjadi manusia”. Manusia menciptakan manusia.

Ciri dasar manusia yang sekaligus membedakannya dari yang lain adalah i) eksistensi mendahului esensi, ii) tanpa kodrat, iii) bebas mengatur dan mengarahkan diri.

Manusia tanpa kodrat berarti bahwa hakekat manusia merupakan hasil karya manusia. Eksistensi mendahului menunjukkan bahwa hakekat merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dan diciptakan. Persoalan yang muncul adalah di mana martabat manusia yang lebih tinggi daripada semua ada yang lain harus didasarkan?

26

Menurut Sartre, walaupun tidak memiliki hakekat sejak awal, manusia mempunyai satu kondisi, yakni teknik memilih dan mengerjakan. Teknik membuat pilihan dan keputusan selalu cenderung membawa manusia pada ada in-se – per-se atau menjadi Allah.

Pada permulaan adalah aksi: mencipta diri dan mencipta, bekerja dan berkarya. Semua berada oleh dan untuk manusia: “semua nilai ada hanya untuk manusia”. “Tanpa spesies manusia, tiada kebenaran, dan premis ini bersifat pasti: hanya tinggal sebagai tunas irrasional dan kontingen pilihan individual, tanpa satu hukum jua dapat menguasainya. Jika ada sesuatu sebagai kebenaran terbuka peluang untuk memadukan pilihan individu, dan spesies manusia sanggup melakukannya”.

Adapun nilai proyek manusia semuanya setali. “Semua aktivitas manusia adalah setara [...] dan semua terarah pada jalan buntu. Secara hakiki semua senilai dengan mabuk dalam kesendirian atau memerintah penduduk. Jika salah satu dari sekian aktivitas adalah lebih tinggi dari yang lain, superioritas demikian lebih disebabkan oleh kesadaran yang mempunyai tujuan ideal tersendiri daripada tujuan riilnya; dan dalam kasus ini ketenangan si pemabuk solitario adalah lebih tinggi daripada agitasi fana seorang pemimpin bangsa”.

Secara singkat humanisme Sartrean bisa dirumuskan demikian. Manusia adalah makhluk yang tercampak ke dalam dunia. Sama seperti segala sesuatu dalam dunia adalah kemubaziran dan semua nilai setara, tanpa makna dan dasar, demikian pula eksistensi dan aksi manusia adalah nirmakna. Hidup merupakan pertualangan yang sia-sia belaka, karena selalu terarah ke luar diri: menjadi Allah. Jadi, manusia adalah hasrat yang nirguna.

Humanisme pesimistis Sartre diperluas dari wilayah individual ke ranah sosial. Berikut adalah daftar proposisi yang menggambarkan pesimisme Sartre tentang yang lain dan maknanya bagi eksistensi ku. Prinsip relasi interpersonal diringkas Sartre dengan videor ergo es, sum ergo es – saya tertatap, jadi kamu adalah kamu, saya adalah saya, maka kamu adalah kamu.

“Jika secara umu ada Yang lain, perlulah bahwa saya adalah dia yang bukan Yang lain, dan dalam negasi yang kulakukan atas diriku, saya mengadakan diri dan Yang lain muncul sebagai Yang lain”. “Konflik adalah makna asali dari ada bagi yang lain (être pour autrui)”. “Saya berada dalam bahaya. Bahaya ini bukanlah aksiden, melainkan struktur permanen keberadaannku bagi yang lain”, “Hakekat relasi antar-kesadaran bukanlah Mitsein, tapi konflik”, “neraka adalah mereka yang lain” (Pintu Tertutup § 26). “Masing-masing kita adalah penjagal yang lain”.

“Manusia atau ada per-se merupakan ada bagi yang lain. Yang lain bukan disimpulkan secara analog dari aku sendiri. Yang lain menyatakan diri sebagai yang lain dalam serangkaian pengalaman di mana ia menginvasi wilayah subyektivitasku dan mengubahku dari subyek menjadi obyek dunianya. Dengan demikian, yang lain tampil sebagai dia yang menatapku daripada yang kupandang, dia yang menghadirkanku, tanpa ragu, dia menempatkanku di bawah tindasan tatapannya”.

“Hanya di hadapan yang lain saya merasa bersalah. Rasa bersalah terutama di bawah tatapannya, kala saya merasakan keterasingan dan ketelanjanganku sebagai degradasi yang harus kutanggung; merupakan arti populer: ‘mereka menyadari diri telanjang’ dari Kitab Suci. Selain itu merasa bersalah karena saat setiap kali saya menatap yang lain, dengan menegaskan diri, saya menjadikannya obyek dan instrumen, dan saya membuatnya berada pada titik alienasi yang harus ditanggungnya. Dengan demikian,

27

dosa asal adalah kelahiranku di dunia di mana yang lain sudah ada, dan apapun jenis relasi terkiniku dengan yang lain, tiada lain adalah variasi dari tema asali rasa bersalahku.

Sartre mengungkapkan relasi konfliktual dengan sesama dalam karya terkenal Pintu Tertutup dengan tiga orang pelaku: Ines, Garçon dan Estelle (simbol dari relasi konfliktual antara Simmon de Beauvoire, Sartre dan Olga). Ketiga tokoh ini sudah terhukum dan merasa malu di hadapan satu sama lain. Rasa malu bukanlah perasaan personal, melainkan kesadaranku yang masih belum dan tidak lebih. Rasa malu merupakan kesadaran diri sebagai obyek, tergantung dan terkristalisasi bagi yang lain, kejatuhan asali ke dalam dunia, rasa perlu terhadap yang lain bagi pertumbuhan dan perkembangan diriku.

Dalam relasi dengan yang lain, kita saling memperlakukan sesama sebagai obyek. Relasi berciri konfliktual. Cinta menginginkan yang lain menjadi obyek: saya mau kamu mencintaiku dengan sungguh dan saya mengerahkan segenap daya untuk merealisir proyekku menjadi subyek dengan menjadi subyektivitas murni di hadapan obyektivitas absolut sesama. Jadi cinta adalah ilusi dan tipuan.

Garçon dan Estelle saling mencintai. Kehadiran Ines malah membuat cinta menjadi derita. Ines adalah gambaran rasa malu. Rasa malu merupakan perasaan awali. Mengapa Ines merasa malu? Karena dia adalah wanita dan jahat pula.

Yang lain berupaya agar dia menjadi titik tolak juga dari sudut estetika. Estella berupaya merayu Garçon, yakni merampas kebebasannya. Dalam rayuan tiada kebebasan; yang terungkap hanyalah menempatkan diriku di bawah tatapannya, menjadi obyek yang menggoda. Garçon menyimbolkan ketakutan dan sikap acuh tak acuh. Takut berarti saya tampil sebagai ancaman. Acuh tak acuh hendak mengisolirku, dengan melupakan kedua wanita dan membuat mereka melupakanku pula. Garçon tidak mau membuat mereka menjadi obyek pikirannya atau dia menjadi obyek pikiran mereka.

Estelle membenci Ines dan menyangkal keberadaannya. Dengan menindas Ines Garçon dan Estelle dapat saling mencintai. Mencintai berarti menindas seseorang, memperlakukan dia sebagai obyek. Hidup menjadi neraka dan neraka adalah kehadiran yang lain.

5. Kritik atas Nalar Dialektis

Manusia adalah sebuah proyek yang mesti direalisir dalam dunia. Dogma eksistensialis Sartrean tersebut menyiratkan bahwa manusia mesti mempertimbangkan dan memperhitungkan situasi dan kondisi yang mengitari dan menyelimutinya. Keterlemparan ke dalam dunia berarti hidup dalam tarik menarik dengan berbagai faktor dan unsur yang berada di luar kemauan dan kemampuan manusia. Jadi eksistensi manusia ditentukan oleh kondisi material.

Relasi tarik menarik dengan kondisi material mendekatkan Sartre dengan Marx yang telah menggarisbawahi dominasi produksi material atas perkembangan hidup bersama, politik dan budaya. Eksistensi manusia sebagai proyek bersua dengan materialisme historis Marxis.

Mengamini materialisme historis serta merta membawa Sartre menolak materialisme dialektis. Materialisme bukanlah “materialisme dialektis, jika dimaksudkan sebagai ilusi metafisik guna menemukan dialektika alam. Dialektika demikian dapat saja ada, tetapi perlu diketahui bahwa kita tidak mempunyai bukti secuil pun. Maka materialisme dialektis disempitkan pada diskursus yang membosankan dan sarat prasangka tentang ilmu fisika-kimia dan biologi serta bermanfaat hanya untuk menyamarkan, paling kurang di Perancis,

28

mekanisme analitis yang amat tipis”. Materialisme dialektis Engelsian ditolak mentah karena menundukkan manusia pada fatalitas hukum operasional mesin dialektis.

Lebih lanjut Sartre mengatakan bahwa “doktrin dialektis merupakan pengetahuan murni dan kaku, mustahil melakukan swa-koreksi, sebab kini telah menjadi dogma”. Di hadapan dogma hanya ada kepasrahan dan keyakinan buta; tiada diskursus maupun pengalaman yang berbeda. Dogma hanya mensyaratkan partisipasi pasiv pada ritus dan perayaan yang diadakan oleh pihak yang berwenang. Karena itu, “semesta konsep yang terbuka Marxisme kini tertutup; bukan lagi kunci, skema penafsiran; mereka telah memberlakukannya sebagai pengetahuan yang absolut dan abadi”, sehingga “ pencaharian yang menyeluruh telah menyisakan tempat bagi skolastikat totalitas”. Adagium permenungan “carilah totalitas melalui bagian-bagian” diganti dengan praktek teroris “lenyapkan partikularitas”.

Praktek teroris yang mengganyang partikularitas berakar dari kaum Marxis yang sudah tidak mengerti apapun jua. Marxisme telah disulap menjadi dogma: “semua konsepnya adalah Diktat; tujuannya bukan lagi memperoleh pemahaman, melainkan memantapkan diri a priori sebagai pengetahuan absolut”, dan karena itu “manusia pun dilebur ke dalam bak mandi berisi asam sulfur”.

Penyimpangan yang dibuat oleh kaum Marxis pro materialisme dialektis berakibat fatal. Fajar kebebasan kini dipadamkan dan layar pertunjukan kemanusiaan sebagai tuan atas hidup dan pilihannya ditutup kembali. Karena itu, eksistensialisme mempunyai tugas mulia dan para penganutnya dipanggil untuk menjaga pintu kemanusiaan agar tetap steril dari ulah para berandal yang bermaksud mengenakan kembali rantai perbudakan. Kierkegaard adalah teladan ulung bagi para eksistensialis karena dengan lantang meruntuhkan menara gading idealisme Hegelian.

29