View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Diskursus kehadiran agama di ruang publik bukan hal baru, penelitian-
penelitan semacam ini telah dilakukan di mana-mana. Salah satu wujud agama di
ruang publik adalah dengan membicarakan relasi gereja dan negara. Relasi kedua
institusi ini diamati sebagai jalinan relasi dalam satu ruang, yaitu “publik”.
Beberapa tulisan yang dikembangkan di Indonesia, lebih menekankan ruang
publik, dari sisi pendekatan filsafat ketimbang fitur-fitur yang mengisi ruang
tersebut. Ada juga yang melihat agama sebagai fitur ruang publik, dengan
pendekatan yang sama. Lain dari itu, pendekatan sosiologi agama di Indoensia turut
memberi sumbangsi untuk melihat relasi agama dan negara.1 Penelitian ini
cenderung melihat dari sisi komunikasi publik sebagai posisi yang harus dilakukan
oleh gereja (GPM) dalam pendekatan tindakan komunikasi menurut Habermas.
Walaupun begitu, dengan reposisi gereja pendekatan komunikasi publik, tidak
mampu menguari gejolak internal gereja yang selalu membagi dunia sakral dan
profan dalam satu kondisi internal agama. Artinya, tanpa memberi ekplanasi dasar
bagi posisi gereja (agama) dalam masyarakat sebagai struktur politik.
Penelitian ini akan lebih menitikberatkan pada posisi agama sebagai struktur
sosial-politik. Melihat keberadaan individu-individu dengan pendekatan tindakan
1 Ronny Helweldery, Gereja dalam Konteks Negara dan Masyaraka: Sebuah Upaya MemahamiReposisi Peran Politis Gereja. Ejournal.uksw.edu/waskita/article/download. (Diakses pada Kamis, 14Desember 2017).
2
sosial, yang menjadikan gereja secara tidak langsung sebagai fitur ruang publik.
Gereja berperan secara tidak langsung secara sosial politik di Maluku. Berdasarkan
itu, penelitian ini akan lebih menarik jika dilihat individu membentuk diri sebagai
aktor di dalam kelompok, berperan di publik sebagai representasi gereja, terhkusus
Gereja Protestan Maluku (GPM) di kota Ambon.
Dalam konteks Maluku, tentu pelajaran paling besar dari satu kesadaran historis
adalah masa konflik tahun 1999. Konflik masyarakat Maluku memang meledak
dengan pemicu kecil, didompleng oleh elit penguasa. Pada periode tertentu, Maluku
menjadi satu pola mobilisasi kelompok masyarakat, berubah wujud dalam identitas
agama dan teroganisir, berpadu dengan kelompok broker sebagai kaki tangan
kekuatan kapital. Elit partai menjadi pihak yang turut mengambil andil, bermain
dalam konteks politik.2 Dengan kesadaran itu, konflik Maluku memiliki kaitan erat
dengan endapan konteks kehidupan secara historis sebagai kota bekas jajahan.
Konflik Maluku memiliki dampak politik pada aspek budaya-sosial, terutama pada
basis multikultur. Kenyataan ini harus dikelola untuk kebaikan hidup bersama dalam
lingkaran relasi yang ada. Kehadiran gereja harus masuk dalam pergulatan umat dan
masyarakat.
Gereja Protestan Maluku (GPM)3 melakukan peran dan tugas pokok sebagai
lembaga rohani, yaitu membangun spiritual umat dalam pemberitaan mimbar. GPM
secara gamblang menyatakan dalam pembukaan tata gereja poin lima: memahami
2 Gerry Van Klinken, Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small TownWars, (USA anda Canada: The Taylor & Francis e-Library, 2007), 142.
3 Gereja Protestan Maluku, biasanya disingkat sebagai GPM. Selanjutnya, dalam tulisan iniakan menyebutnya dengan menggunakan singkatan tersebut.
3
misinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, perdamaian sebagai bentuk
menghadirkan Kerajaan Allah di dunia.4
Dalam tata gereja GPM, poin sembilan, secara tegas dan jelas GPM memahami
dirinya dalam hubungan dengan negara untuk bertanggungjawab menghormati,
mengingatkan, dan saling membantu. Sebagai bagian dari rakyat, gereja turut
mendorong setiap upaya mengamalkan Pancasila dan Unadang-Undang Dasar
(UUD) 1945 untuk memberi dasar etika dan moral dalam hidup berbangsa dan
bermasyarakat. Artinya, gereja mengakui adanya relasi gereja dan pemerintah dalam
batasan kewenangan masing-masing. Akan tetapi, gereja secara tegas membangun
relasi sekaligus jarak kritis terhadap pemerintah sebagai organisasi sosial.5
GPM hidup dalam konteks dan memahami dirinya, hadir dan melakukan peran-
peran stategis dalam wujud kehadirannya di tenagah permasalahan kehidupan umat.
Persoalan sosial politik, sebagaimana konteks Maluku, pasca konflik 1999-2014,
menjadi tantangan dan pergumulan yang tidak bisa dihindari. Esensinya sebagai
lembaga spiritual, harus memberi penguatan rohani, sekaligus sebagai organ sosial
masyarakat. GPM melakukan tindakan advokasi dan pemulihan kepada jemaat
sebagai korban konflik adalah bentuk bertanggungjawab. GPM Hadir dengan
pelayanan secara nyata untuk mendampingi dan menggumuli permasalahan di luar
gereja, yang berdampak langsung secara internal. Gereja keluar dan berjumpa dalam
4 Tata Gereja, Pembukaan: poin 5, bahwa Gereja Protestan Maluku memahami misinya dalamterang kedatangan Kerajaan Allah yang menghadirkan kasih, pertobatan dan pembaruan, pembebasan,keadilan, kebenaran, perdamaian dan damai sejahtera untuk seluruh ciptaan.
5 Tata Gereja, Pembukaan, poin 9, bahwa Gereja Protestan Maluku memahami hubungangereja dan negara sebagai dua lembaga dengan kewenangan masing-masing, namun mengembangkanhubungan kemitraan yang saling menghormati, saling mengingatkan dan saling membantu. Sebagaibagian dari rakyat, gereja turut mendorong setiap upaya untuk memberlakukan Pancasila sebagaimanaterdapat dan terjabar dalam pembukaan UUD NKRI 1945, sebagai landasan etik dan moral kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tata Gereja Protestan Maluku.
4
wujud relasi sosial, melakukan pemulihan etik dan moral tetapi juga kepada
pemulihan ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
Selain permasalahan relasi geraja dan politik, fakta lain tentang ketakutan gereja
akan terperangkap sebagai lembaga sosial adalah, wacana keterlibatan gereja di
masyarakat. Jika gereja banyak mengambil peran mengurus hal-hal yang tidak dunia
sosial, gereja akan menjadi lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ketakutan ini
cenderung muncul ketika gereja turut terlibat mengorganisir proses pemulangan
pengungsi, membangun relasi antar agama—relasi perdamaian dan upaya-upaya di
luar gereja dalam konteks masyarakat.6 Pandangan demikian adalah upaya
memisahkan sakral dan profan, tetapi dari sudut pandang berbeda adalah gereja dan
negara, agama dan masyarakat, sebagai dua hal yang berbeda dalam konteks
masyarakat. Pembatasan memisahkan kedua relasi gereja dan negara, merupakan
upaya memposisikan gereja hanya sebagai lembaga rohani yang mengurusi spiritual.
Walaupun begitu, gereja harus menyadari posisinya dalam masyarakat sebaga
struktur sosial. Gereja dan negara adalah dua institusi sosial berfungsi untuk menata
dan menjaga equilibrium sosial. Keberdaan dalam satu ruang, menjadikan agama dan
negara berdiri pada tatanan yang sama yaitu, masyarakat dan umat. Deang dinamika
masing-masing, memungkinkan keduanya membangun relasi—mitra sebagaimana
yang tertuang dalam pembukaan Tata Gereja. Dalam konteks itu, keberadaan aktor
individu sebagai pekerja sosial dan politik dan birokrasi adalah fenomena-fenomena
dari kedua relasi tersebut.
6 Wawancara dengan Jack Manuputty, Sabtu, 08 April 2017. Beliau adalah seorang pendetaGPM yang aktif dalam tugas-tugas advokasi sosial-masyarakat.
5
Pendeta dan Awam sering kali memainkan fungsi komunikasi dalam realitas ini.
Respons terhadap kebutuhan yang mampu melakukan komunikasi antar masyarakat,
gereja dan pemerintah. Boleh dikatakan hal ini merupakan bentuk dari teori
komunikatif tindakan, proses pembangunan sosial dan reproduksi di dalam
masyarakat sebagai komunikasi sehari-hari. Hal ini memiliki dua tingkatan, yaitu
tingkatan life world (komunikasi antar pribadi, yang bebas dan terbuka dalam dunia
hidup) dan tingkatan system (sistem masyarakat, misalnya birokrat).7
Banyak pendeta dan awam GPM yang terjun mengambil bagian dalam fungsi
tindakan komunikasi. Baik itu sebagai pekerja sosial, politik dan birokrat. Selain itu,
secara khusus peran pendeta dalam jabatan-jabatan strategis gereja seperti ketua
klasis, ketua sinode, ketua organisasi pemuda gereja memiliki fungsi yang sama
dalam komunikasi, baik internal maupun eksternal. Pemuka agama merupakan posisi
yang menentukan arah kehidupan umat. Sebagai seorang figur, tentunya tokoh-tokoh
GPM menjadi teladan bagi kehidupan umat. Apa yang menjadi profil sebagai tokoh
merupakan cerminan, baik secara internal gereja maupun eksternal dengan lembaga
pemerintah maupun antar agama.8
Komunikasi-komunikasi itu, hadir dengan peran aktif individu di dalam lembaga
swadaya masyarakat (LSM), partai politik, perkantoran, berkutat dengan persoalan
pendidikan, ekonomi, advokasi lingkungan, mengawal kebijakan pemerintah dan
7 Luke Goode, Jürgen Habermas: Democracy and the Public Sphere, (London: Pluto Press,2005), 63.
8 John Chr. Ruhulessin, dalam refleksi pengalamannya memimpin gereja. Ia mengatakanpolitik adalah ruang pelayanan yang sangat penting. Politik seharusnya netral ketika kini tidak netral,dimanfaatkan sebagai jalan korupsi, melakukan penindasan dan tidak melayani masyarakat. Karenaitu, gereja harus mengambil peran, karena jarak kritis yang dimiliki berdasarkan dimensi etik terhadappolitik dan kekuasaan. Itu adalah tugas gerja sebagai tangungjawab Iman. John Chr. Ruhulessin,Gereja Dalam Kepemimpinan Publik: Sepuluh Tahun Menanam dan Menyiram, (Salatiga: SatyaWacana University Pres, 2015), 339-341.
6
membangun relasi-relasi antar komunitas agama. Citra GPM turut ditentukan oleh
individu-individu tersebut. Mereka adalah pendeta dan awam yang menjadi bagian
integral dalam kelompok gereja.
Sejak tahun 1980-2000 sampai sekarang telah banyak tokoh-tokoh gereja dan
awam yang masuk dalam partai dan parlemen, maupun lembaga negara lainya untuk
melakukan peran pengabdian, seperti: Pdt. DR. Nick Radjawane, Pdt. DR. Pieter
Tanamal, Dr. Japy Patty, Drs. John Mailoa, Franskois Nikijuluw, Pdt. DR. Jafet
Damain, Pdt. DR. John. Chr Ruhulessyn, Pdt. Dr. Jack Ospara, MH, Drs. Lucky
Wattimurry, M.Th, Pdt. Dirk Mailoa, Johan Rahantoknam, ST, Jafry Tahuttu, SH,
Lucky Nikijulu, M.Si, Pdt. Gerry Radjoeland, M.Th, dan lain-lain. Tokoh-tokoh
politik ini, semuanya merupakan pendeta dan awam GPM yang terlibat sebagai
pekerja gereja dan berprofesi sebagai politisi.9
Dalam perkembanganya, peran politik terlihat dari peran yang dilakukan oleh
para pendeta sebagai pekerja gereja bersama-sama dengan jemaat dalam menghadapi
permasalahan sosial: ekonomi-politik, kehadiran perusahan-perusahan investasi
sumber daya alam (SDA) di Maluku menjadi pergumulan bersama.
Rangkaian bentuk dan tindakan tersebut terlihat sebagaimana cara menolak dan
berhadapan melawan ancaman ekonomi global10 dalam wujud korporasi sebagai satu
bentuk ekonomi-Politik.11 Terlihat dari beberapa kasus yang telah ditolak oleh GPM,
9 Untuk politisi awam, latar semuanya berlatar belakang dalam keterlibatan sebagai MajelisGereja, Pengurus GMKI, GMKI, dan AM-GPM sebagai satu kesatuan persekutuan organisasi Gereja.10 Menurut Leslie Sklair, sebagaimana pandangan Karl Marx, Global Kapital (KapitalismeTransnasional) dilihat sebagai polarisasi kelas dan kekacauan ekologis. Fokus pada ekonomi, dalamkonteks inilah korporasi transnasional bergerak sebagai satu gagasan kapitalisme, bergerak dari satusistem internasional menuju sistem global yang terlepas dari wilayah geografis atau negaratertentu................Teori Sosial Modern, 554.
11 Ekonomi politik, teori tentang masyarakat industri kapitalis berdasarkan Adam Smith yangmeiliki pengaruh besar dari Karl Marx. Paham ini melihat kekuatan tak terlihat (invisible hand) pasar
7
berhasil mengadvokasi masyarakat. Desain-desain gerakan seperti itu dibangun dari
gereja dengan sinergitas peran pendeta GPM dan juga lembaga-lembaga kompeten
lainnya dan basis masyarakat (umat).
Pada tahun 1995-1996, GPM bersama jemaat Haruku, di Kabupaten Maluku
Tenagah, melakukan penolakan tehadap tambang emas yang akan dikelola oleh
perusahaan investasi PT. Ama Tabung. Perusahaan tersebut berdiri tanpa
sepengetahuan masyarakat lewat pemerintah. Dalam proses itu, jemaat berhasil
menghalau terjadinya penambangan yang dikendalikan langsung oleh pemerintah
daerah. Perlawanan tersebut dikarenakan beberapa alasan, selain proses yang tidak
partisipatif, tetapi juga berdasarkan kajian-kajian terhadap lingkungan, regulasi dan
kemaslahatannya bagi kehidupan masyarakat, ternyata tidak memberikan dampak
positif yang begitu besar.12
Pada tahun 2014, GPM dan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AM-
GPM), bersama-sama ikut mendampingi hak ulayat (tanah adat) masyarakat dalam
untuk memberikan pengutan dan advokasi dan sekaligus melakukan pemulihan hutan
di Seram Utara, Kabupatena Maluku Tenagah. Walaupun dalam penanganannya
terlambat, perampasan tanah milik rakyat lokal, masih bisa dipertahankan atas
kehadiran Ketua Umum dan Ketua Daerah AMGPM bersama kader AM-GPM
sebagai Aliansi Masyarakat Adat (Aman).13
barang dan tenaga kerja. Dalam pandangan sosiolog dan ekonom inggris secara positif melihatekonomi politik sebagai sumber keteraturan dan harmonisasi pemersatu masyarakat. Berbeda denganMarx yang melihat, ekonomi sebaga satu sistem kelas yang membangun proses alienasi bagimasyarakat.................Ibid., 48.
12 Wawancara Jacky Manuputty, 11 April 2017.13 Yohanes Balubun, SH sebagai ketua AMAN meninggal secara misterius pada tahun 2016,
hal masih berkaitan dengan tindakan-tindakan advokasi masyarakat Adat, termasuk kasusSeramUutara.
8
Hal ini harus berurusan dengan situasi konstalasi politik dan berhadapan dengan
pemerintah yang pro kepada perusahaan. Dampaknya adalah terjadi kriminalisasi
hutan, yang memberhanguskan seantero wilayah hutan. Tujuannya tidak lain untuk
melakukan evakuasi sekaligus, melancarkan strategi ambil alih. Dalam peran
organisasi gereja dan AM-GPM, ada peran aktor yang berperan dan berhasil menjaga
kehidupan masyarakat dari berbagai ancaman masalah ekonomi politik dan dampak
lingkungannya.14
Pada tahun 2013, GPM membicarakan secara khusus persoalan masuknya kebun
gula di daerah Kepulauan Aru. Dalam persidangan, diputuskan untuk melakukan
komunikasi dan penguatan pada pada level pendeta jemaat di wilayah pelayanannya
masing-masing di Kepulauan Aru. Gereja mendampingi dengan membangun
sejumlah jaringan, baik itu para pendeta maupun lembaga terkait dan masyarakat.
Desain strateginya adalah melawan masuknya perkebunan gula di pulau-pulau kecil
seperti Kabupaten kepulauan Aru. Hal ini memang menjadi hal yang sangat populer,
karena proses ketelibatan masyarakat secara langsung di tempat tinggalnya.
Masyarakat di Aru melibatkan publik untuk melawan kehadiran korporasi yang
membawahi sembilan belas perusahaan dan kekuasaan setempat (pemerintah), oleh
peran pendeta seperti Pdt. Jacky Manuputty, dkk. Dengan kajian melibatkan berbagai
pihak (termasuk potensi gereja), GPM bersama masyarakat berhasil menegosiasikan
sampai kepada pemerintah pusat, dikarenakan pertimbangan ekosistem pulau-pulau
14 Elizabet Marantika, dkk. Delapan Dekade GPM Menanam, Menyiram, Bertumbuh danBerbuah: Teologi GPM Dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat (Salatiga: Satya WacanaUniversity Pres, 2015), 533-534.
9
kecil yang diatur dalam undang-undang, dan perlindungan hak ulayat tanah
masyarakat adat.15
Berdasarkan definisi gereja sebagai organisasi dan gereja sebagai persekutuan,
maka ada beberapa tipe aktor GPM yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Kategori aktor pendeta:
Pendeta yang memiliki jabatan strategis dalam organisasi gereja.
Pendeta yang menjadi politisi.
Pendeta yang terlibat sebagai pekerja sosial.
b) Kategori aktor awam:16
Awam yang terlibat sebagai sebagai politisi.
Awam yang terlibat sebagai pekerja sosial.
Awam yang menjadi terlibat aktif dalam organisasi gereja.
Apakah gereja boleh berpolitik? Pertanyaan yang sampai saat ini mengundang
perdebatan di mana-mana, baik umat maupun dalam gereja. Pendapat umat secara
umum, gereja merupakan lembaga sakral. Hal-hal diluar gereja bukan urusan gereja.
Pemahaman demikian adalah isi dari perdebatan di kalangan umat, dan menjadi
bagian dari gereja itu sendiri baik dogma maupun secara kelembagaan. Sulit
15 Ronny Tamaela, Laporan Vikaris GPM tahun 2014-2015.16 Berdasarakan Konsili Vatikan II: 1662-1965, sidang ke-V pada 21 November 1964.
Mengenai Konstitusi Dogmatis “LUMEN GENTIUM” tentang gereja. Bab IV: Para Awam, dalamPoint 31. Dimaksud dengan istilah “awam” di sini ialah semua orang beriman kristiani kecualimereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam gereja. Jadi kaumberiman kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota tubuh Kristus, terhimpun menjadiumat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawiKristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenapumat kristiani dalam gereja dan di dunia. http://ekaristi.org/vat ii/Dekrit ttg Kerasulan Awam.php(diakses pada 7 Agustus 2017). Awam di GPM sudah mengalami perkembangan perkembanganpemaknaan di dalam PIP/RIP GPM 2010-20125. GPM memaknai kata awam sebagai warga gerejayang ahli dibidangnya atau yang di sebut sebagai warga gereja profesi (WGP). Berkaitan dengan itu,GPM sedang merumuskan konsep warga gereja propesi sebagai bentuk dan model pembinaan terkaidengan profesi dan keahlian warga gereja.
10
dijelaskan seperti apa maksud dari kehadiran gereja dalam konteks sosial-politik
masyarakat. Hal ini jelas berbeda dengan gereja pada masa pencerahan, yang lebih
menekankan pada pemikiran keluar dari pada asketisme.17
Gereja dan politik, sama-sama sebagai struktur sosial yang hidup dalam satu
kesatuan masyarakat dengan dinamika yang saling terhubung secara dialektis-
dinamis. Dialektika dimaksudkan sangat terkait dengan harapan yang diberikan
sebagai etika tanggung jawab. Antara pemerintah dan gereja harus mampu melihat
nilai-nilai rasionalitas yang lebih luas.18
Dua unsur penting yang harus dijelaskan lebih awal adalah gereja dan politik
untuk melihat lebih lanjut. Gereja sendiri memiliki beberapa dimensi yang harus
dijelaskan. Pertama, gereja merupakan persekutuan orang percaya. Kedua, gereja
merupakan satu struktur (organisasi) sosial dalam konteks masyarakat dengan
berbagai ritual di dalamnya.19 Dimensi ini memiliki satu cakupan yang sama, yaitu
persekutuan dan masyarakat yang tidak terlepas sebagai satu kesatuannya, namun
berbeda ruang makna secara operisonal. Politik sendiri merupakan satu sistem relasi
sosial, melaluinya masyarakat diatur sebagai satu sistem kekuasaan. Politik sebagai
alat untuk melakukan dan menentukan kebijakan terkait kehidupan masyarakat. Dua
pendapat ini yang menjadi ukuran perdebatan, terkait dengan sikap gereja di tenagah
hiruk-pikuk dinamika masyarakat sosial-politik.
17 Tentunya, perbedaan pandangan tentang agama dan politik dapat dibandingkan dengansituasi pada abad ke-17, di mana gejolak aliran-aliran gereja seperti Lutheran, Calvinis, Metodis,Anglikan, melakukan kebangkitan dalam semangat pietisme. Perlahan berubah seiring denganperkembangan konsepsi teologi “panggilan” yang dikembangkan Luther, kemudian Calvin dalammemandang dunia.
18 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial: Dari Teori Sosial Klasik SampaiPerkembangan Mutakhir Teoris Sosial Postmodern, terj. Nurhadi (Bantuk : Kreasi Wacana 2016),143.
19 Ibid,140-142.
11
Pasca Orde Baru, negara secara tegas melakukan pemisahan antara negara dan
agama. Bentuk nyata pemisahan tersebut dengan cara pemerintah meminimalisir
partispasi politik agama dalam negara. Agama memiliki posisi sebagai bagian dari
negara dengan merujuk pada undang-undang ormas.20 Agama berbentuk organisasi,
yang dengan sendirinya merupakan organisasi masyarakat (ORMAS) di dalam
naungan negara. Dengan poin penjabaran peraturan tentang ORMAS, maka sebagai
pembatasan secara jelas tentang partisipasi politik masyarakat harus termediasi
berdasarkan UU ORMAS No. 4. Hal Ini merupakan batasan yang cukup jelas antara
gereja dan pemerintah sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Bagaimana gereja tetap menjalin relasi, tentunya terbatas. Kembali kepada
pembukaan Tata Gereja GPM sebagai dasar organisasi, bagaimana menjalin
hubungan setara dan kritis sebagai mitra pemerintah, bukan saja secara kelembagaan
berdasarkan undang-undang, tetapi mampu mengejewantahkan peran gereja
sebagaimana dikatakan dalam poin 9 pembukaan Tata Gereja tersebut. Secara
otomatis, hubungan ini ditafsirkan sebagai hubungan politik. Pada bagian ini,
keterhubungan gereja terputus dengan negara. Sebagaimana dalam UU ORMAS poin
tiga, tentang DPR sebagai unsur penyelenggara daerah, ditafsirkan sebagai
perwakilan rakyat sebagaimana diatur dalam UU no.17 tahun 2014.21 Di sinilah
20 UU No. 17 Tahun 2013, mengatur tentang oraganisasi kemasyarakatan. Lebih jelas,mengatur tetang 13 poin penting, di antaranya: 1). Aktifitas dan tujuan organisasi betujuanmembangun negara kesatuan berdasarkan panasila. 2). Pemerintah pusat adalah Presiden dan WakilPresiden Republik Indonesia dibantu oleh menteri-menteri sebagai mana diatur dalam UUD 1945. 3).Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah yang menjadikewenagan daerah otonom. 4). Dewan Perwakilan Daerah disingkat DPR adalah unsur penyelenggaradaerah. 5). Anggaran dasar selanjutnya disingkat sebagai AD adalah dasar peraturan ormas, dst.
21 BAB I Ketentuan Umum, poin 4, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnyadisingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB III tetang DPR, bagian ke satutentantang susunan dan kedudukan. Pasal 66, mengatakan DPR, terdiri atas anggota partai politik
12
peran politik gereja secara luas dibatasi dalam dalam regulasi UU, sehingga terjadi
keterputusan antara gereja dan politik itu sendiri.
Pada tahun 2009 dan 2014, banyak pendeta di Maluku ikut dalam proses
pemilihan legislatif, namun tidak terpilih. Hal ini disebabkan belum tuntasnya
pandangan tentang peran politik gereja, bahkan tugas-tugas profetis gereja dalam
masyarakat. Tahun 2016, ada opini dalam persidangan Sinode GPM, lewat komisi
ajaran gereja yang mengusulkan tentang pembatasan keterlibatan pendeta di dunia
politik. Dalam persidangan tersebut, usulan itu ditolak dan tidak menghasilkan
keputusan apapun tetang keterlibatan pendeta dalam politik.22
Berjalan bersamaan dengan itu, reformasi pada tahun 1998 menjadikan
masyarakat berubah secara total. Ruang patisipasi masyarakat sebagai warga negara
terbuka seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam politik di partai-partai. Ruang
agama dan negara makin terbatas secara mekanisme di dalam negara. Selain itu,
ketidakstabilan demokrasi sebagai hasil reformasi menjadi ruang ancaman bagi
keberagaman dalam berbagai kebijakan yang tidak mampu mengakomodir berbagai
kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bersamaan dengan itu, muncul
gejolak-gejolak konflik agama di beberapa wilayah seperti Poso dan Ambon, pasca
reformasi.
Para pendeta dan awam yang terlibat masuk dalam pesta demokrasi,
mengambil posisi di parlemen sebagai legislatif. Keterlibatan semacam itu menurut,
Leimena, orang-orang Kristen yang baik, mereka menjadi nasionalis-nasionalis yang
peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 66, mengatakan DPRmerupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
22 Wawancara dengan Daniel Wattimanela, Sabtu, 08 April 2017, beliau adalah seorangpendeta GPM.
13
bertangung jawab. Selanjutnya, “politik telah menjadi religi mereka” karena sebagai
orang kristen mereka berada dalam dua dunia sekaligus, yaitu bangsa Indonesia dan
Kerajaan Allah.23 Keterlibatan seperti ini merupakan peran kritis gereja yang secara
tidak langsung didelegasikan kepada aktor dalam kreatifitas perannya sebagai tokoh
gereja, politisi, birokrat dan pekerja sosial.
Tesis ini adalah upaya untuk melihat relasi gereja dan politik dalam konteks
GPM dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Penulis akan memakai beberapa
pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Max Weber, tentang individu, tindakan aktor dan
bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian sebagai perilaku seseorang atau
beberapa manusia individual. Weber mengakui bahwa untuk beberapa tujuan
seharusnya memperlakukan kolektivitas sebagai tindak individu. Kolektivitas harus
diperlakukan semata-mata sebagai model organisasi dari tindakan tertentu, karena
semua itu diperlakukan sebagai aktor dalam tindakan yang harus dipahami secara
makna subjektif.24
Gereja dan politik harus memiliki arti dan tindakan secara dialektis. Dua entitas
ini tidak bisa dipisahkan, melainkan harus dimuarakan pada kepentingan etis dan
moral kemanusiaan, sehingga politik pantas dibicarakan dalam ranah bergereja.
Demikian halnya yang diletakan Leimana dalam pemikirannya, yaitu perlunya
keterlibatan diri sebagai gereja secara hakiki. Politik adalah etika melayani.25
23 Kewarganegaraan yang bertangungjawab: Mengenang Dr. J Leimena......33.24 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial: Dari Teori Sosial Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teoris Sosial Postmodern...137.25 Merupakan tujuan utama gereja untuk memberitakan Injil, melayani Sakramen dan
sebagainya. Tetapi Gereja adalah juga tanda yang menujuk kepada Kristus sebagai Hakim danJuruselamat manusia dan masyarakat. Gereja harus menghakimi kekeliruan sosial, ekonomi dankehidupan umum, dan gereja harus ikut serta dalam pembaharuan masyarakat.
14
Berdasarkan paparan di atas, penting bagi penulis untuk menggali makna peran
pendeta dan awam dalam konteks relasi gereja dan politik, dari sisi konteks gereja
Kristen Protestan di Maluku (GPM) dengan sudut pandang represntasi pendeta dan
awam GPM sebagai jalan untuk menjembatani kedua relasi ini yang menjadi fitur
penting di ruang publik Maluku.26
Penelitian ini berupaya melakukan reposisi pemikiran dan pengetahuan
terhadap pemahaman terhadap tindakan dan relasi sosial-politik, dan posisi agama
sebagai basis normatif (etika dan moral) lewat kiprah dan aktor gereja di ruang
publik.
1.2 PERMASALAHAN
Sehubungan dengan itu, maka ada pokok yang perlu diteliti, dikaji dan diberi
pemaknaan, yakni:
1. Bagaimana pendeta dan awam memahami keterlibatan gereja dalam
politik?
2. Bagaimana pendeta dan awam memahami perannya sebagai aktor
perubahan sosial-politik?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Penulisan ini bertujuan untuk penulisan karya ilmiah dengan pendekatan,
yaitu:
26 Dalam hal ini, GPM belum benar-benar yakin dan besifat malu-malu untuk memutuskan,bahwa aktor adalah bagian dari cara menjembatani permasalahan relasi gereja dan politik, itu terbuktimasih banyak perbedaan pendapat dalam memahami kedua relasi lembaga ini baik peran dan fungsi.Sementara GPM secara khusus telah menyiapkan format/model pendidikan politik gereja.
15
1. Mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman para pendeta dan awam
dalam melihat keterlibatan gereja dan politik.
2. Menemukan makna yang terkandung dalam pemahaman aktor
berdasarkan ketelibatan secara sosial-politik di ruang publik.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan dan
pembentukan pemahaman keilmuan, terutama aspek-aspek keilmuan dalam sosiologi
agama yang dapat membantu proses analisis.
Penulis juga berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi Gereja Protestan
Maluku, secara khusus di kota Ambon, untuk memahami secara benar relasi agama
dan politik bukan dari sisi kelompok, tetapi pendekatan tindakan sosial aktor
(individu) mampu membuka ruang dan menjadikan sebagai bahan diskursus gereja
tentang makna kehadiran gereja secara sosial di ruang publik.
Penulis juga melihat dengan adanya perkembangan pemahaman dan
pengetahuan, penelitian ini dapat menjadi kontribusi secara khusus kepada para
politisi, aktivis, birokrat dan pimpinan gereja untuk melihat peluang-peluang
pengembangan dan penataan strategi potensi gereja dalam model-model pelayanan
gereja di ruang publik.
1.5 METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang akan digunakan penulis adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan wawancara mendalam. Metode penelitian ini bertujuan untuk
16
membuat gambaran atau mendapatkan data secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fenomena atau dinamika yang diselidiki. 27
Agar data yang diperoleh lebih alamiah, maka penulis akan mengunjungi
beberapa lokasi di lingkup Sinode, Klasis dan Jemaat. Institusi terkait lainnya seperti,
partai, lembaga birokrasi, LSM dan DPR.D di kota Ambon. Tempat-tempat ini
merupakan tempat di mana mereka sementara bekerja melangsungkan pekerjaan.
Kegiatan wawancara ini dilakukan kepada tokoh-tokoh kunci yang tahu dan
terlibat sebagai pengurus organisasi politik, gereja, legilatif, LSM dan aktif dalam
proses advokasi sosial. Diharapkan hasil wawancara yang diperoleh dari tokoh kunci
dan sumber-sumber yang dianggap penting sebagai sumber primer. Di dalam
mengeskplorasi serta memahami makna tersebut, penulis akan menghasilkan data
deskriptif (gambaran sebagaimana di lapangan), berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang dan perilaku yang dapat diamati, agar dapat mamahami sikap, pandangan,
perasaan serta perilaku baik individu atau sekelompok orang. Penelitian ini juga akan
dilakukan melalui studi pustaka berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dianggap
penting, seperti arsip organisasi, dan sejenisnya.
Proses penelitian diharapkan berlangsung selama lima atau enam bulan, dengan
perincan waktu empat bulan untuk pengumpulan data melalui observasi parsipatif
dan indep interview, dan satu bulan untuk melakukan analisa data. Jika data yang
diperoleh belum maksimal dan mencapai target penelitian maka penulis akan
kembali ke lapangan selama satu bulan untuk melengkapi data yang ada.
27John. W. Creswell, Research Design “Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, danCampuran”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 4.
17
1.6 SITEMATIKA PENULISAN
Tulisan ini disajikan dalam enam bab. Pada bab I ada beberapa hal yang akan
dibahas yaitu; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teoritik, dan metode penelitian. Di dalam metode penelitian,
penulis membaginya kedalam beberapa bagian, mengingat metode yang digunakan
adalah kualitatif maka pembagiannya adalah; jenis penelitian, waktu penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, definisi operasional dan
cara penyajian. Bab II Kerangka terori Tindakan Sosial dan Ruang Publik. Bab III
berisi Gambaran umum GPM, Organiasi GPM, dinimika jemaat, dan sejarah GPM.
Bab IV Mendeskripsikan pemahaman Pendata dan Awam tentang keterlibatan gereja
dan politik dan makna tindakan sebagai aktor perubahan sosial-politik politik di
ruang publik. Bab V, berisikan analisis temuan, dan Bab VI yang berisi kesimpulan
dan saran.
Recommended