15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik korupsi yang terjadi secara meluas dan sistematis dapat membawa bencana bagi kehidupan masyarakat dan juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi menggolongkan korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi telah menggolongkannya menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). 1 Mengingat demikian serius dan besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap masalah korupsi yang melanda berbagai negara berkembang, maka Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1996, mengeluarkan sebuah resolusi tentang pemberantasan korupsi. Resolusi tersebut dituangkan ke dalam sebuah dokumen, yaitu “United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International Commercial Transaction”. 2 Dalam deklarasi itu, PBB memintakan perhatian dan mendorong negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan, baik secara individual, atau melalui kerjasama internasional dan regional, berdasarkan 1 Bambang Waluyo, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Strategi dan Optimalisasi , Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 20. 2 The United Nations, United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International Commercial Transaction, 16 Desember 1996. Deklarasi PBB ini lebih lanjut dipublikasikan dalam sebuah Resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997.

BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan

masyarakat. Praktik korupsi yang terjadi secara meluas dan sistematis dapat membawa

bencana bagi kehidupan masyarakat dan juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial

dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi

menggolongkan korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi telah

menggolongkannya menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1

Mengingat demikian serius dan besarnya perhatian masyarakat internasional

terhadap masalah korupsi yang melanda berbagai negara berkembang, maka Sidang

Umum PBB tanggal 16 Desember 1996, mengeluarkan sebuah resolusi tentang

pemberantasan korupsi. Resolusi tersebut dituangkan ke dalam sebuah dokumen, yaitu

“United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International

Commercial Transaction”.2 Dalam deklarasi itu, PBB memintakan perhatian dan

mendorong negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan,

baik secara individual, atau melalui kerjasama internasional dan regional, berdasarkan

1 Bambang Waluyo, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Strategi dan Optimalisasi, Cetakan

Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 20. 2The United Nations, United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International

Commercial Transaction, 16 Desember 1996. Deklarasi PBB ini lebih lanjut dipublikasikan dalam sebuah

Resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

2

konstitusi dan prinsip-prinsip dalam sistem hukum masing-masing. Untuk mencapai

efektifitas penegakan hukum dalam penanggulangan korupsi, di dalam deklarasi itu

dianjurkan, agar negara-negara anggota dapat mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum

yang diperlukan sepanjang hal tersebut memang belum terdapat di dalam sistem hukum

masing-masing.3

Visi masyarakat internasional untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi menjadi semakin jelas terlihat dan menguat, yang ditandai dengan

“Declaration of 8th International Conference Against Corruptions” tahun 1997 di

Lima, Peru. Bagian penting yang patut dicatat dari deklarasi tersebut adalah adanya

klausula yang meletakkan keharusan bagi setiap negara untuk meningkatkan efektifitas

hukum yang berkaitan dengan korupsi semaksimal mungkin. Keharusan mana mesti

dijaga agar tetap berada dalam koridor konstitusi masing-masing negara dan norma-

norma hak asasi manusia yang bersifat universal. Perhatian masyarakat internasional

sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen di atas, paling tidak telah meletakkan

dasar-dasar yang kuat untuk menunjukkan arah, bahwa korupsi di masa mendatang

harus diberantas dan tidak bisa ditoleransi. Oleh sebab itu, penanggulangan dan

pemberantasan korupsi haruslah merupakan usaha bersama antar bangsa.

Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam rangka pemberantasan korupsi yang

tercermin dengan adanya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta terwujudnya Pengadilan Tindak Pidana

3Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional,

Pusat Pendidikan dan Latihan BPKP, Jakarta, 1999, hlm. 417-418.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

3

Korupsi yang terpisah dari Pengadilan Umum. Mengingat Indonesia dalam keadaan

darurat korupsi maka terdapat dilema dalam penegakannya yaitu negara dituntut untuk

memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi demi memberikan keadilan

bagi masyarakat yang telah dilanggar hak asasinya, namun disisi lain negara juga

dituntut untuk melindungi hak-hak narapidana korupsi salah satunya adalah hak remisi.

Dasar hukum pemberian remisi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan)

dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut

PP 99 tahun 2012). Berdasarkan Pasal 14 huruf i UU Pemasyarakatan, “Remisi

merupakan hak yang diberikan terhadap narapidana dan anak pidana yang telah

berkelakuan baik selama menjalani pidana.” Dalam Pasal 1 angka 6 PP 99 tahun 2012,

“Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana

dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) PP 99

tahun 2012, “Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.”

Syarat khusus dan tata cara untuk mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi diatur

dalam Pasal 34A dan 34 B PP 99 tahun 2012 yang berbunyi:

Pasal 34 A

(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak

pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

4

kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang

berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus

memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu

membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan

pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak

pidana korupsi; dan

c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh

LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta

menyatakan ikrar:

1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara

tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara

tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana

karena melakukan tindak pidana terorisme.”

(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan

prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun.

(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak

hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.4

Pasal 34 B

(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh

Menteri.

(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1)

diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri

dan/atau pimpinan lembaga terkait.

(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan

oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling

lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan

dari Menteri.

(4) Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pemberian remisi bagi narapidana korupsi merupakan isu hukum yang telah dikaji

dalam berbagai forum termasuk di Mahkamah Konstitusi. Sekedar contoh, dalam

4 Yang dimaksud dengan “instansi penegak hukum” adalah instansi yang menangani kasus terkait, antara

lain: a. Komisi Pemberantasan Korupsi; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Kejaksaan Republik

Indonesia; d. Badan Narkotika Nasional.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

5

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 tentang uji materi UU

Pemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Pokok Pasal yang diuji adalah Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang

ditujukan untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman yang sedang dijalani.Dalam

argumentasinya, pemohon menilai bahwa hak-hak konstitusional sebagaimana diatur

dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum” dan 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang

berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” terhalang karena adanya

ketidakpastian hukum yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i yaitu mendapatkan

pengurangan masa pidana (remisi) dan k yaitu mendapatkan pembebasan bersyarat, dan

ayat (2) UU Pemasyarakatan yang membuka berbagai penafsiran berbeda yang

membatasi hak-hak pemohon untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Berdasarkan putusannya Mahkamah Konstitusi menolak pengujian yang diajukan oleh

pemohon. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “Remisi adalah hak hukum (legal

rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-

syarat tertentu. Artinya remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi

manusia (human rights) dan juga bukan tergolong ke dalam hak konstitusional

(constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.”5

5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 (putusan tersebut bukan untuk di studi secara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

6

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017yang telah

diuraikan diatas dijelaskan bahwa remisi merupakan hak hukum yang diberikan oleh

negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang terkait. Artinya hak remisi merupakan hak yang

muncul saat seseorang telah di jatuhi pidana penjara.Pidana penjara bagi pelaku tindak

pidana korupsi tidak akan menimbulkan efek jera apabila berbagai kemudahan terus

diberikan (remisi). Sifat kejahatan luar biasa korupsi harus sampai pada pelaksanaan

putusan dalam lembaga pemasyarakatan.

Kebijakan pemberian remisi oleh pemerintah, di satu sisi harus diakui telah berdampak

positif terhadap perkembangan pembinaan di LAPAS terutama untuk mengurangi

kelebihan kapasitas, tetapi di sisi lain menimbulkan aspek negatif yaitu akibat

ketidakjelasan kriteria pemberian remisi, terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam

pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana korupsi dan anak pidana di LAPAS.

Kriteria pemberian remisi yang disyaratkan oleh Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor

99 Tahun 2012 dan penjelasannya menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan

”berkelakuan baik” adalah tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu

6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan telah

mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat

baik”

Pada dasarnya manusia (dalam hal ini pelaku tindak pidana korupsi) secara alamiah

merupakan makhluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lainnya serta

khusus melainkan untuk memberikan pandangan).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

7

mempunyai kehormatan dan hak yang sama, maka hak alamiah yang menjadi miliknya

tersebut harus dibatasi. Batasannya adalah hak dan kebebasan orang lain, sehingga pada

setiap hak yang timbul muncul kewajiban untuk menghormatinya secara timbal balik.

Kewajiban dasar manusia dalam menghormati hak dan kebebasan orang lain adalah

seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan

terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 1

angka 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan

demikian, pembatasan-pembatasan hak tersebut bukan dimaksudkan untuk sekedar atau

mengurangi hak tersebut, akan tetapi untuk meneguhkan adanya hak individu tersebut.

Menurut Baharuddin Lopa, HAM adalah hak –hak yang diberikan langsung oleh Tuhan

Yang Maha Pencipta ( hak-hak yang bersifat kodrati ). Oleh karenanya tidak ada

kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan

berarti manusia dengan haknya dapat berbuat semau-maunya, sebab apabila seseorang

melakukan sesuatu yang dapat memperkosa hak-hak asasi orang lain, maka dengan

sendirinya ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.6

Lebih lanjut Baharuddin Lopa, yang mengutip pengertian HAM menurut PBB yang

menyatakan bahwa : human rights could be generally defined as those rights which are

inherent in our nature and without which we cannot live as human being, berpendapat

bahwa pengertian tersebut perlu dilengkapi. Kalimat mustahil dapat hidup sebagai

manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung

6 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Cetakan Kedua, Dana Bhakti Prima Yasa,

Yogyakarta, 1996, hlm. 10.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

8

jawab. Alasan penambahan kata bertanggung jawab karena selain memiliki hak,

manusia juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.7

Hak lebih berkaitan dengan kebebasan sedangkan kewajiban lebih berkaitan dengan

tanggung jawab namun kedua aspek tersebut saling bergantung satu sama lain demi

terciptanya keseimbangan. Menurut pendapat Rhona K.M Smith, disamping

keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban

yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami, dan dipertanggungjawabi untuk

dilaksanakan. Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari

nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia

dalam hubungan dengan sesama manusia. Apapun diartikan atau dirumuskan dengan

hak asasi, gejala tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang

kemudian dikonkretkan menjadi kaidah hidup bersama.8

Menurut Majda El Muhtad tanggung jawab negara (state obligation) dalam memajukan

hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak hanya dituntut dalam bentuk kewajiban hasil

(obligation of result), tetapi sekaligus dalam bentuk kewajiban bertindak (obligation of

conduct). Dalam konteks tanggung jawab yang demikian ini, kebijakan-kebijakan

negara dalam memajukan hak-hak ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya

kedua bentuk kewajiban tersebut.9

7 Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Cetakan Pertama,

Prenada Media Group, Makassar, 2009, hlm. ix. 8 Rhona K.M. Smith, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press, Oxford, 2005,

hlm. 5. 9 Majda El Muhtad, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2013, hlm. xxxii.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

9

Berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam memajukan hak-hak sosial dan

ekonomi sejatinya telah tertuang dalam tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Atas dasar tersebut maka negara

memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kemiskinan

dan kesenjangan sosial yang salah satu faktor penyebabnya adalah korupsi.

Instrumen HAM yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial

dan budaya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan

Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sebagai hak positif (positive

rights) cara pemenuhannya diukur dengan seberapa jauh kehadiran tanggung jawab

negara dalam pemenuhan hak-hak yang masuk dalam kategori ekonomi, sosial, dan

budaya.10 Dalam Pembukaan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk

memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya

untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penataan HAM yang diatur dalam Kovenan ini

dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai

dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik

serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah

10 Ismail Hasani, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Mahkamah Konstitusi Sebagai

Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Pustaka Masyarakat Setara,

Jakarta, 2013, hlm. 383.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

10

tercipta kondisi bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya

serta hak-hak sipil dan politiknya.

Negara sebagai pemegang kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi

HAM kepada individu ataupun masyarakat, tidak boleh mengorbankan HAM yang

dimiliki masyarakat hanya untuk melindungi hak segilintir orang saja. Dalam pemberian

remisi yang menjadi hak narapidana juga harus dilihat konteks sifat kejahatan korupsi.

Langkah luar biasa dalam memberantas korupsi sangat diperlukan yaitu bukan saja

mengembalikan uang negara yang diambil melainkan juga untuk menimbulkan efek

jera. Salah satu bentuknya adalah dengan menghapus remisi bagi koruptor.

Penghapusan remisi bagi narapidana korupsi tidak bertentangan/melanggar HAM

karena sejatinya remisi merupakan hak hukum yang berarti bahwa negara tidak

diwajibkan untuk memberikan hak remisi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis akan membahas mengenai perlindungan

terhadap hak masyarakat sehubungan dengan hak remisi bagi narapidana korupsi.

Terhadap isu tersebut penulis berargumen bahwa pemberian remisi bagi narapidana

korupsitidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sebab korupsi

telah bertentangan/melanggar HAM yang dimiliki masyarakat. Pengetatan pemberian

remisi bagi narapidana korupsi sebagaimana tercantum dalam PP 99 tahun 2012

sejatinya telah sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi, namun dalam

prakteknya pemberian remisi rawan disalahgunakan yaitu terkait dengan kriteria,

transparansi, dan kepastian hukum yang mengakibatkan keadilan bagi masyarakat tidak

tercapai.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

11

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan penjelasan latar belakang masalah diatas maka isu hukum/rumusan

masalah penelitian ini adalah :

Mengapa pemberian remisi bagi narapidana korupsi bertentangan/melanggar HAM

masyarakat ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

Menjelaskan bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi

bertentangan/melanggar HAM masyarakat.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian hukum untuk kepentingan akademis digunakan untuk menyusun karya

akademis dan posisi peneliti dalam penyusunan karya akademis bersikap netral.

Langkah pertama adalah peneliti harus dapat memisahkan dirinya dari kepentingan-

kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu.11

2. Praktis

Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum untuk kegiatan praktik hukum

akan menghasilkan argumentasi hukum. Langkah pertama dalam penelitian hukum

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 225.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

12

untuk keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal

yang tidak relevan. Dengan membedakan fakta hukum dan fakta nonhukum peneliti

dapat menetapkan isu yang hendak dipecahkan.12

Berdasarkan pengertian diatas, dalam penelitian ini telah dihasilkan argumentasi

hukum bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi merupakan pelanggaran HAM

masyarakat, sehingga diperlukan langkah luar biasa dari pemerintah yaitu dengan

menghapus pemberian remisi bagi koruptor yang dapat dijadikan bahan kajian dalam

upaya penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah menemukan kebenaran koherensi,

yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa

perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang

sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.13

Dalam penelitian ini terdapat pembahasan bahwa pemberian remisi bagi narapidana

korupsi tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dimana

korupsi telah melanggar HAM masyarakat yang telah diatur dalam Deklarasi HAM

Universal dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

12Ibid., hlm. 214. 13 Peter Mahmud Marzuki, Loc, cit.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

13

Disamping itu dalam pembahasan juga dimuat mengenai perlindungan hukum berkaitan

dengan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh narapidana korupsi.

2. Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, maka untuk

menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai

berikut:

2.1.Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Dalam metode pendekatan perundang-undangan diperlukan pemahaman

mengenai hirerarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.

Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan

menggunakan legislasi dan regulasi.14 Pendekatan ini dilakukan untuk

mempelajari dan memahami mengenai kandungan normatif yang ada

dalamUndang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

2.2.Pendekatan Konseptual (conseptual approach)

Pendekatan Konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan

hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan

hukum untuk masalah yang dihadapi.15 Pendekatan ini dilakukan untuk

14Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hlm. 215. 15Ibid., hlm. 215.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

14

mempelajari tentang keabsahan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana

korupsi dari pandangan para sarjana dan doktrin hukum.

3. Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah

penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang

berkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini telah disebutkan bahwa

pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan

pendekatan konseptual. Maka dalam penelitian ini terdapat peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan pemberian remisi dan HAM. Bahan hukum yang dikaji

meliputi beberapa hal berikut:

3.1.Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian, yaitu:

1) UUD 1945;

2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;

4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; dan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - UKSW · 2020. 6. 29. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan masyarakat. Praktik

15

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017.

3.2.Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks

yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, dan pendapat para sarjana

yang relevan dengan penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disusun secara sistematis dalam 3 subtansi utama, yaitu pendahuluan,

pembahasan dan penutup. BAB I dari skripsi ini berisi Pendahuluan, yang terdiri dari

latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Disamping ketiga komponen

tersebut dalam BAB I juga dikemukakan manfaat penelitian, dan metodologi penelitian.

BAB II berisi Pembahasan yang berisi Tinjauan Pustaka, Hasil Penelitian, dan

Analisisa mengenai tinjauan umum HAM yang di dalamnya terdapat hak masyarakat

(hak ekonomi, sosial dan budaya), serta diuraikan pula konsep pemasyarakatan di

Indonesia yang berhubungan dengan hak narapidana khususnya hak remisi. Dalam

analisisa akan diuraikan alasan-alasan mengapa pemberian remisi bagi narapidana

tindak pidana korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dimiliki masyarakat.

BAB III merupakan Penutup dari penelitian yang berisi kesimpulan yang diambil

berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.