View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Dasar Koping
a. Pengertian
Setiap manusia tidak akan pernah lepas dari permasalahan
(problem) dan sering kali masalah-masalah tersebut menyebabkan
individu mengalami stress. Tiap-tiap individu mempunyai reaksi yang
berbeda-beda untuk mengatasi setiap permasalahannya masing-
masing. Setiap individu mempunyai cara atau perilaku untuk
menghindari atau mengalihkan perasaan hati yang menekan atau stres
yang sering disebut dengan koping (El-Nafis, 2009).
Koping adalah cara yang dilakukan individu, dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang
akan dicapai, dan respons terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi
diri individu (Keliat, 1999). Sedangkan menurut Lazarus (1985),
koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam
upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus
yang melelahkan atau melebihi sumber individu.
Berdasarkan kedua definisi maka yang dimaksud mekanisme
koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan
masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang
mengancam baik secara kognitif maupun perilaku (Mustikasari, 2006).
Roy (1991) menguraikan bagaimana individu mampu
meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku
secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang mal adaptif. Secara
ringkas, menurut Roy (Roy dalam Hidayat) mengemukakan bahwa
individu sebagai makhluk biospsikososial dan spiritual sebagai satu
kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan sehingga individu selalu berinteraksi
terhadap perubahan lingkungan (Hidayat, 2004).
Roy (1991) mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus,
merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon (adaptasi). Terdapat tiga
tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh Roy, antara
lain: (1) Fokal stimulus yaitu stimulus yang langsung beradaptasi
dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap
individu; (2) Konsektual stimulus merupakan stimulus lain yang
dialami seseorang, baik stimulus internal maupun eksternal, yang dapat
mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan observasi dan diukur secara
subjektif; (3) Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang
merupakan ciri tambahan atau sesuai dengan situasi dalam proses
penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan observasi
(Hidayat, 2004).
7
b. Sumber Koping
Dalam sistem yang sederhana, proses kontrol datang dari sebuah
mekanisme internal. Roy mengartikan proses kontrol yang kompleks
di dalam seseorang adalah sebagai mekanisme koping dan mekanisme
kontrol ini memiliki kategori yang luas yaitu mekanisme regulator
subsistem dan kognator subsistem (Roy, 1991).
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen proses
input dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal, yang
merespon secara otomatis melalui saraf, kimia, dan kelenjar endokrin.
Refleks otonom adalah respon saraf dan sistem otak dan sumsum
tulang belakang yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator
subsistem.
Stimulus pada subsistem kognator dapat berupa eksternal
maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat
menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Subsistem ini
merespon melalui empat saluran kognitif-emosional yaitu pengolahan
informasi, belajar, keputusan dan emosi.
Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses
internal dalam memilih perhatian, mencatat dan mengingat. Belajar
berhubungan dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan
pengertian yang mendalam (insight). Penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan
dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk
8
mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang (Roy,
1991).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), sumber koping terdiri atas 2
faktor yaitu faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal)
yaitu:
1) Faktor internal meliputi : kesehatan dan energi, sistem kepercayaan
seseorang termasuk kepercayaan eksistensial (iman, kepercayaan,
agama), komitmen atau tujuan hidup, perasaaan seseorang seperti
harga diri, kontrol dan kemahiran, ketrampilan, pemecahan
masalah, ketrampilan sosial.
2) Faktor eksternal meliputi : dukungan sosial dan sumber material.
Dukungan sosial sebagai rasa informasi terhadap seseorang atau
lebih dengan tiga kategori yaitu: dukungan emosi dimana se-
seorang merasa dicintai; dukungan harga diri berupa pengakuan
dari orang lain akan kemampuan yang dimiliki; perasaan memiliki
dalam sebuah kelompok.
c. Jenis Koping
Lazarus mengemukakan 2 jenis proses koping yaitu koping yang
berfokus emosi (Emotional focus coping) dan koping yang berfokus
pada masalah (Problem focus coping). Fokus emosi ini digunakan
untuk mengatur respon emosinal terhadap stres. Pengaturannya melalui
perilaku individu, bagaimana menghilangkan fakta-fakta yang tidak
menyenangkan dengan strategi kognitif. Metode ini dipakai jika
9
individu merasa tidak mampu mengubah kondisi yang membuat stres.
Sedangkan koping yang berfokus pada masalah adalah koping yang
digunakan untuk mengurangi stresor individu, mengatasi dan
mempelajari cara-cara baru atau ketrampilan baru. Individu akan
menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat mengubah situasi
(Smet, 1994).
Menurut Potter and Perry, (2005) ada dua jenis mekanisme koping:
1) Reaksi berorientasi pada tugas (Task oriented reaction)
Cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan
konflik dan memenuhi kebutuhan. Ada 3 macam reaksi
berorientasi pada tugas yaitu perilaku menyerang, dapat konstruktif
(akan bertindak asertif) dan dapat juga destuktif (akan bertindak
agresif dan bermusuhan); perilaku menarik diri (with drawl
behavior) yaitu bisa secara fisik berupa melarikan diri atau menarik
diri dari sumber stress (menjauhi polusi, menjauhi sumber infeksi),
bisa juga secara psikologis yaitu apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai perasaan takut dan bermusuhan;
kompromi (compromise), ini merupakan cara yang konstruktif
yaitu terjadi pendekatan dan penyelesaian masalah dengan
negosiasi.
2) Reaksi berorientasi pada ego (Ego oriented reaction)
Sering disebut mekanisme pertahanan mental. Reaksi ini berguna
untuk melindungi diri yang merupakan garis pertahanan jiwa
10
pertama. Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan
sering berubah untuk mengatasi stressor karena dapat melindungi
individu dari perasaan tidak adekuat, tidak berguna, tidak berharga,
dan mencegah kesadaran terhadap stres. Jika berlangsung lama
dapat mengakibatkan gangguan orientasi realistis, gangguan
hubungan interpersonal dan menurunnya produktivitas. Koping ini
berorientasi secara tidak sadar sehingga penyelesai-
an.sering.tidak.realistis.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koping
Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi
oleh perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme
koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal
mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang
stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator,
Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka
untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator
sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya Roy
mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi
dengan menetapkan sistem efektor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
mekanisme koping, yaitu: fungsi fisiologis, (physiological), konsep
diri (self concept), fungsi peran (role function), dan interdependensi
(interdependence) (Roy, 1991).
11
Fungsi fisiologis berhubungan dengan struktur tubuh dan
fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis
yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi
menjadi dua bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri
dari lima kebutuhan yaitu oksigenasi , nutrisi, eliminasi, aktivitas dan
istirahat, dan perlindungan; dan fungsi fisiologis dengan proses yang
kompleks terdiri dari empat bagian yaitu : perasaan (the senses), cairan
dan elektrolit, fungsi syaraf atau neurologis, dan fungsi endokrin.
Oksigenasi merupakan kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan
prosesnya, yaitu ventilasi, pertukaran gas dan transport gas.
Nutrisi, mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk
mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti
jaringan yang rusak Eliminasi yaitu ekskresi hasil dari metabolisme
dari instestinal dan ginjal. Aktivitas dan istirahat merupakan kebutuhan
keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat yang digunakan untuk
mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan
memulihkan semua komponen-komponen tubuh. Proteksi atau
perlindungan, sebagai dasar pertahanan tubuh termasuk proses
imunitas dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal
ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan
suhu. Perasaan meliputi penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan
bau memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi
nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan. Cairan dan
12
elektrolit meliputi keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya
termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi
sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem fisiologis dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Fungsi syaraf / neurologis,
hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian integral dari
regulator koping mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi
untuk mengendalikan dan mengkoordinasi pergerakan tubuh,
kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik untuk mengatur
aktivitas organ-organ tubuh. Fungsi endokrin, adalah pengeluaran
hormon sesuai dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan
mengkoordinasi fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran
yang signifikan dalam respon stress dan merupakan dari regulator
koping mekanisme (Roy, 1991).
Konsep diri mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal
pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain dan
difokuskan pada aspek psikologi dan spiritual seseorang. Konsep diri
menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the
personal self. The physical self, yaitu bagaimana seseorang
memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan
gambaran tubuhnya. Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat
merasa kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi atau hilang
kemampuan seksualitas. The personal self, yaitu berkaitan dengan
konsistensi diri, ideal diri, moral - etik dan spiritual diri orang tersebut.
13
Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang
berat dalam area ini.
Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan
bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial
dalam berhubungan dengan orang lain. Fokusnya pada bagaimana
seseorang dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai dengan
kedudukannya.
Interdependensi berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
memberi dan menerima cinta, kasih sayang, penghormatan, dan nilai.
Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai
ekstrim, yaitu memberi dan menerima (Roy, 1991).
e. Mekanisme Koping
Mekanisme koping diartikan sebagai cara yang diturunkan sejak
lahir (innate) atau diperoleh (acquired) untuk merespon terhadap
perubahan lingkungan. Mekanisme koping innate adalah diturunkan
secara genetik atau umum dengan jenis dan biasanya dilihat sebagai
proses yang otomatis. Mekanisme koping acquired dapat
dikembangkan melalui proses seperti belajar. Roy mengkategorikan
lebih lanjut mekanisme koping innate dan acquired menjadi dua
subsistem utama, yaitu subsistem regulator dan subsistem kognator
(Roy, 1991).
14
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta
respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).
Menurut Stuart,dan,Sundeen,(1995),,mekanisme koping berdasarkan
penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu:
1) Mekanisme koping adaptif
adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif,
teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.
2) Mekanisme koping maladaptif
Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi,
memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan atau
tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.
Secara Umum Mekanisme Koping pada Remaja antara lain:
(1) Penguasaan Kognitif, merupakan usaha untuk belajar terhadap
situasi atau stresor, dengan cara memperbaiki informasi atau
pengetahuan dengan berbagi (sharing) dan diskusi; (2) Penyesuaian
(conformity), dengan menyesuiakan diri remaja akan mendapatkan
pengakuan dalam kelompok; (3) Perilaku terkontrol, remaja
membutuhkan perubahan dalam hidupnya, tidak dapat menerima
peraturan keluarga dan sekolah tanpa bertanya; (4) Fantasi, membantu
15
mengembangkan berfikir fantasi yang kreatif; (5) Aktivitas gerak,
dapat membantu mengalihkan perhatian dari stresor (Yamin, 2008).
f. Karakteristik Mekanisme Koping
Menurut Roy (1991), rentang respon mekanisme koping dibagi
menjadi dua, yaitu respon adaptif dan respon inefektif (tidak efektif).
Respon adaptif merupakan promosi integritas seseorang dalam tujuan
adaptasi yaitu untuk kelangsungan kehidupan, pertumbuhan, reproduksi,
dan keunggulan. Respon inefektif merupakan respon yang tidak
mendukung integritas juga tidak membantu kepada tujuan adaptasi. Itulah
sebabnya, mereka mungkin, dalam situasi yang langsung atau jika terjadi
terus melalui sepanjang waktu, dapat mengancam kelangsungan
kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, atau keunggulan. Jika menolak
untuk makan selama satu hari tidak dapat menjadi ancaman serius untuk
hidup, tetapi jika berkelanjutan seperti puasa selama bertahun-bulan
mungkin akan menjadi ancaman serius dan tidak efektif untuk kehidupan.
Dalam menilai efektivitas, maka satu melihat efek dari perilaku pada
umumnya dari tujuan adaptasi. Pada saat yang sama, dari tujuan individual
seseorang adalah pertimbangan yang utama. Tanggapan tidak efektif
dalam situasi ini akan menjadikan orang-orang yang tidak memberikan
kontribusi kepada orang yang memiliki tujuan adaptif (Roy, 1991).
Sistem adaptasi menurut Roy dapat digambarkan sebagai berikut :
Respon Adaptif
dan Inefektif
Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran Interdepedensi
Mekanisme Koping Regulator Kognator
Stimulus Tingkat Adaptasi
(Roy, 1991)
16
Roy dan McLeod (1981) menjelaskan tingkat adaptasi sebagai
standar terhadap variabel yang mempunyai dampak stimuli baru dan
tanggapan dari tanggapan sebelumnya dibandingkan untuk tanggapan
selanjutnya output langsung dari sistem. Selain dari interaksi stres, atau
output dimensi, melibatkan aktivasi satu atau beberapa mekanisme koping
(subsystem kognator dan regulator), yang kemudian menghasilkan
perilaku yang adaptif atau tidak efektif (inefektif). Dalam memelihara
integritas seseorang, regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering
bekerja sama (Roy, 1991).
Menurut Roy dan McLeod (1981), seorang individu akan
memperlihatkan tanggapan yang adaptif dalam dua situasi. Yang pertama
adalah situasi ketika ada perbedaan antara fokal stimuli dan tingkat
adaptasi yang cukup kecil, orang biasa memberikan tanggapan yang
cukup untuk mengatasi keadaan. Contoh yang kedua terjadi ketika
tanggapan pertama individu yang tidak memadai. Namun, orang tetap
memiliki kemampuan untuk mengaktifkan subsistem kognator dan atau
regulator, yang pada akhirnya akan membuktikan keadekuatan koping
dengan situasi.
Meskipun kedua subsistem kognator dan regulator menentukan
total respon tubuh terhadap stres, bagian dari adaptasi respon yang terkait
dengan fungsi kelenjar endokrin berada dalam mekanisme koping
regulator. Bagian utama dari subsistem regulator adalah saraf, kimia, dan
17
kelenjar endokrin, ketiganya sudah diaktifkan dalam menanggapi
rangsangan yang besar (Roy, 1991).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), rentang respon mekanisme
koping dapat digambarkan sebagai berikut :
Adaptif Maladaptif
Jadi karakteristik mekanisme koping adalah sebagai berikut : 1) Adaptif, menurut Friedman dalam Carpenito (2000), jika memenuhi
kriteria sebagai berikut : (1) Dapat menceritakan secara verbal tentang
perasaannya, (2) Mengembangkan tujuan realistis, (3) Dapat
mengidentifikasi sumber koping, (4) Dapat menimbulkan mekanisme
koping yang efektif, (5) Mengidentifikasi alternative strategi, (6)
Memilih strategi yang tepat, (7) Menerima dukungan.
2) Maladatif jika memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) Merasa tidak
mampu, (2) Tidak mampu menyelesaikan masalah secara efektif, (3)
Perasaan lemas, takut, marah, iritable, tegang, gangguan fisiologis,
adanya stress kehidupan, (4) Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
(Taylor, 1997).
g. Adaptasi
Adaptasi merupakan suatu proses perubahan yang menyertai individu
dalam berespon terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat
mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis
yang akan menghasilkan perilaku adaptif. Hasil dari perilaku adaptif ini
18
dapat berupa semua respon dengan berusaha mempertahankan
keseimbangan dari suatu keadaan. Selain itu, respon adaptif juga
merupakan suatu totalitas respon dari manusia sebagai makhluk holistik,
yang memerlukan waktu dalam proses penyesuaian dan setiap orang akan
berbeda dalam proses penyesuaian, adakalanya orang cepat dalam
beadaptasi, namun adakalanya lambat dalam beradaptasi dan semua respon
adaptif tidak selamanya cukup dalam menghadapi perubahan akan tetapi
terkadang dijumpai tidak adekuat dan pada dasarnya respon adaptif itu
melelahkan mengingat membutuhkan tenaga dan sumber yang cukup
(Hidayat, 2004).
Roy (1991) menjelaskan sebagai penerima asuhan keperawatan adalah
individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai
“Holistic adaptive system” dalam segala aspek yang,merupakan,satu
kesatuan. Sistem adalah suatu kesatuan yang di hubungkan karena
fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling
ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses
input, output, kontrol dan umpan balik (Roy, 1991). Input bagi manusia
telah disebut stimulus dan mungkin datang dari luar lingkungan (eksternal
stimuli) dan internal dari diri sendiri (internal stimuli). Input sebagai
stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga
tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. Proses
kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di
19
gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang
merupakan subsistem atau dapat disebut subsistem regulator dan kognator.
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau
secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari
luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy
mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon
yang tidak efektif (inefektif). Respon adaptif dapat meningkatkan
integritas individu sedangkan respon inefektif tidak dapat mendukung
untuk pencapaian tujuan perawatan individu (Roy, 1991).
Menurut Roy (1991) stimulus yang berasal dari individu dan sekitar
individu merupakan elemen dari lingkungan. Lingkungan didefinisikan
oleh Roy adalah “Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh
disekitar individu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku
individu dan kelompok” (Roy and Adrews, 1991). Dalam hal ini Roy
menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi
pada individu terhadap adanya perubahan.
Menurut Roy (1991), integritas individu dapat ditunjukkan dengan
kemampuan untuk mempertahankan diri, tumbuh, reproduksi dan
keunggulan. Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon
adaptifnya.
20
Tujuan keperawatan menurut Roy (1991) adalah meningkatkan respon
adaptif individu dan menurunkan respon inefektif individu, dalam kondisi
sakit maupun sehat. Selain meningkatkan kesehatan di semua proses
kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk mengantarkan individu
meninggal dengan damai. Untuk mencapai tujuan tersebut, perawat harus
dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan residual yang ada pada
individu.
Menurut Roy (1991) elemen dari proses keperawatan meliputi
pengkajian tingkat pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan
tujuan, intervensi dan evaluasi. Empat mode adaptasi dapat digunakan
sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian. Mode ini juga
meliputi psikologis, konsep diri, fungsi peran dan model interdependensi.
Ada beberapa macam adaptasi, antara lain:
1) Adaptasi Fisiologis
Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau
secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dari berbagai
faktor yang menimbulkan atau mempengaruhi keadaan menjadi tidak
seimbang, contohnya masuknya kuman penyakit, maka secara
fisiologis tubuh berusaha untuk mempertahankan baik dari pintu
masuknya kuman atau sudah masuk dalam tubuh. Adaptasi secara
fisiologis dapat dibagi menjadi dua yaitu apabila kejadiannya atau
proses adaptasi bersifat lokal, maka disebut dengan Local Adaptation
Syndroma (LAS) seperti ketika daerah tubuh atau kulit terkena infeksi,
21
maka akan terjadi daerah sekitar kulit tersebut kemerahan, bengkak,
nyeri, panas, dan lain-lain yang sifatnya lokal. Akan tetapi apabila
reaksi lokal tidak dapat diatasi dapat menyebabkan gangguan secara
sistemik tubuh akan melakukan proses penyesuaian seperti panas
seluruh tubuh, berkeringat dan lain-lain, keadaan ini disebut sebagai
General Adaptation Syndroma (GAS). Pada adaptasi fisiologis,
melalui tiga tahap yaitu tahap alarm reaction, tahap resistensi dan
tahap terakhir.
Tahap alarm reaction merupakan tahap awal dari proses adaptasi
di mana individu siap untuk menghadapi stresor yang akan masuk ke
dalam tubuh. Tahap ini dapat diawali dengan kesiagaan (fight or
flight), di mana terjadi perubahan fisiologis yaitu pengeluaran hormon
oleh hipotalamus yang dapat menyebabkan kelenjar adrenal
mengeluarkan adrenalin yang dapat meningkatkan denyut jantung dan
menyebabkan pernafasan menjadi cepat dan dangkal, kemudian
hipotalamus juga dapat melepaskan hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dapat merangsang adrenal untuk mengeluarkan kotikoid
yang akan mempengaruhi berbagai fungsi tubuh, apabila respon tubuh
terhadap stresor mengalami kegagalan, tubuh akan melakukan tahap
resistensi untuk mengatasinya. Tahap resistensi (stage of resistance)
merupakan tahap kedua dari fase adaptasi secara umum di mana tubuh
akan melakukan proses penyesuaian dengan mengadakan berbagai
perubahan dalam tubuh yang berusaha untuk mengatasi stresor yang
22
ada, seperti jantung bekerja lebih keras untuk mendorong darah yang
pekat untuk melewati arteri dan vena yang menyempit. Tahap terakhir
(stage of exhaustion) dapat ditandai dengan adanya kelelahan, apabila
selama proses adaptasi tidak mampu mengatasi stresor yang ada, maka
dapat menyebr ke seluruh tubuh. Efeknya dapat menyebabkan
kematian tergantung dari stresor yang ada.
2) Adaptasi Psikologis
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stresor yang
ada, dengan cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan
harapan dapat melindungi atau bertahan dari serangan-serangan atau
hal-hal yang tidak menyenangkan. Dalam proses adaptasi secara
psikologis terdapat dua cara untuk mempertahankan diri dari berbagai
stresor yaitu dengan cara melakukan koping atau penanganan
diantaranya berorientasi pada tugas (task oriented) yang dikenal
dengan problem solving strategi dan ego oriented atau mekanisme
pertahanan diri.
Task oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas
merupakan koping yang digunakan dalam mengatasi masalah dengan
berorientasi pada proses penyelesaian masalah, meliputi afektif
(perasaan), kognitif dan psikomotor. Reaksi ini dapat dilakukan
seperti: berbicara dengan orang lain tentang masalah yang dihadapi
untuk dicari jalan keluarnya, mencari tahu lebih banyak tentang
keadaan yang dihadapi melalui buku bacaan, ataupun orang ahli, atau
23
juga dapat berhubungan dengan kekuatan supra natural, melakukan
latihan-latihan yang dapat mengurangi stres serta membuat alternatif
pemecahan masalah dengan menggunakan strategi prioritas masalah.
Ego oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada ego dikenal
dengan mekanisme pertahanan diri secara psikologis agar tidak
mengganggu gangguan psikologis yang lebih dalam. Di antara
mekanisme pertahanan diri yang dapat dilakukan untuk melakukan
proses adaptasi psikologis antara lain: (1) Rasionalisasi, merupakan
suatu usaha untuk menghindari masalah psikologis dengan selalu
memberikan alasan secara rasional, sehingga masalah yang dihadapi
dapat teratasi; (2) Displacement, merupakan upaya untuk mengatasi
masalah psikologis dengan melakukan pemindahan tingkah laku
kepada objek lain, sebagai contoh apabila seseorang terganggu akibat
situasi yang ramai, maka temannya yang disalahkan; (3) Kompensasi,
upaya untuk mengatasi masalah dengan cara mencari kepuasan pada
situasi yang lain, seperti seseorang memiliki masalah karena
menurunnya daya ingat maka akan menonjolkan kemampuan yang
dimilikinya; (4) Proyeksi, merupakan mekanisme pertahanan diri
dengan menempatkan sifat batin sendiri ke dalam sifat batin orang lain,
seperti dirinya membenci orang lain kemudian mengatakan pada orang
bahwa orang lain yang membencinya; (5) Represi, upaya untuk
mengatasi masalah dengan cara menghilangkan pikiran masa lalu yang
buruk dengan melupakannya atau menahan kepada alam tidak sadar
24
dan sengaja dilupakan, contohnya suatu pengalaman traumatis menjadi
terlupakan; (6) Supresi, upaya untuk mengatasi masalah dengan
menekan masalah yang tidak diterima dengan sadar dan individu tidak
mau memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan; (7) Denial,
upaya pertahanan diri dengan cara penolakan terhadap masalah yang
dihadapi atau tidak mau menerima kenyataan yang dihadapinya.
3) Adaptasi Sosial Budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan
proses penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat, berkumpul dengan masyarakat dalam kegiatan
kemasyarakatan.
4) Adaptasi Spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang
didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai
dengan agama yang dianutnya. Apabila mengalami stres, maka
seseoang akan giat melakukan ibadah, seperti rajin melakukan ibadah.
(Hidayat, 2004).
2. Menstruasi
a. Pengertian
Setiap remaja pasti akan mengalami pubertas. Pubertas pada
remaja putri umumnya terjadi pada usia 10 – 16 tahun. Tampaknya
25
usia pubertas dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, faktor sosial
ekonomi dan keturunan. Pubertas merupakan masa awal pematangan
seksual, yaitu suatu periode di mana seorang anak mengalami
perubahan fisik, hormonal, dan seksual. Pada awal masa pubertas,
pada remaja putri, kadar kadar hormon LH (luteinizing hormone) dan
FSH (follicle-stimulating hormone) akan meningkat. Peningkatan
kadar hormon tersebut menyebabkan pematangan payudara, ovarium,
rahim dan vagina serta dimulainya siklus menstruasi (Nita, 2009).
Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari
uterus, disertai pelepasan endometrium (Wiknjosastro, et al., 2005).
Menstruasi juga diartikan sebagai proses pelepasan dinding rahim
(endometrium) yang disertai dengan perdarahan dan terjadi secara
berulang setiap bulan kecuali pada saat kehamilan (Nita, 2009).
b. Siklus Menstruasi
Panjang siklus menstruasi yang normal atau dianggap siklus
menstruasi yang klasik adalah 28 hari. Wanita dengan siklus
ovulatorik, selang waktu antara awal menstruasi hingga ovulasi, fase
folikular, bervariasi lamanya. Siklus yang diamati terjadi pada wanita
yang mengalami ovulasi. Selang waktu antara awal perdarahan
menstruasi hingga fase luteal relatif konstan dengan rata-rata 14
ditambah atau dikurangi 2 hari pada kebanyakan wanita (Wiknjosastro,
et al., 2007).
26
Siklus menstruasi dibagi menjadi 3 fase, antara lain:
1) Fase Folikuler
Fase folikuler dimulai dari hari pertama sampai sesaat sebelum
kadar LH meningkat dan terjadi pelepasan sel telur (ovulasi).
Pada saat ini terjadi pertumbuhan folikel di dalam ovarium. Pada
pertengahan fase folikuler, kadar FSH sedikit meningkat sehingga
merangsang pertumbuhan sekitar 3 sampai 30 folikel yang masing-
masing mengandung 1 sel telur. Tetapi hanya 1 folikel yang terus
tumbuh, yang lainnya hancur. Pada suatu siklus, sebagian
endometrium dilepaskan sebagai respon terhadap penurunan kadar
hormon estrogen dan progesteron. Endometrium terdiri dari dua
lapisan, yaitu lapisan basal dan lapisan fungsional. Di bawah
pengaruh estrogen, lapisan fungsional akan berproliferasi dan di
bawah pengaruh estrogen dan progesteron lapisan itu akan
mengalami sekresi.
2) Fase Ovulatoir
Fase ovulatoir dimulai ketika kadar LH meningkat dan pada fase
ini dilepaskan sel telur. Sel telur biasanya dilepaskan dalam waktu
16 – 32 jam setelah terjadi peningkatan kadar LH. Folikel yang
matang akan menonjol dari permukaan ovarium, akhirnya pecah
dan melepaskan sel telur (ovum).
27
3) Fase Luteal
Fase ini terjadi setelah ovulasi dan berlangsung selama sekitar 14
hari. Setelah melepaskan ovumnya, folikel yang pecah kembali
menutup dan membentuk korpus luteum yang menghasilkan
sejumlah besar progesteron. Setelah 14 hari, korpus luteum akan
hancur dan siklus yang baru akan dimulai, kecuali jika terjadi
pembuahan (Nita, 2009).
Lama menstruasi bervariasi; pada umumnya antara 3 sampai 6 hari,
tetapi antara 2 sampai 8 hari masih dapat dianggap normal.
Pengeluaran darah menstruasi terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan
endrometrium yang bercampur dengan darah yang banyaknya tidak
tentu. Biasanya darahnya cair, tetapi apabila kecepatan aliran darahnya
terlalu besar, bekuan dengan berbagai ukuran sangat mungkin
ditemukan.
Rata-rata banyaknya darah yang keluar pada wanita normal selama
satu periode menstruasi adalah 33,2 ditambah atau dikurangi 16 cc.
Jumlah darah menstruasi lebih dari 80 cc dianggap patologik.
Kebanyakan wanita tidak merasakan gejala-gejala pada waktu
haid, tetapi sebagian kecil merasa berat di pinggul atau merasa nyeri
(dismenorhea). Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya
mendapat haid (menarche) bervariasi, yaitu antara 10 - 16 tahun,
namun rata-ratanya 12,5 tahun. Menarche terjadi di tengah-tengah
masa pubertas. Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa
28
reproduksi, yaitu masa di mana ia dapat memperoleh keturunan, masa
ini berlangsung 30 - 40 tahun dan berakhir pada masa mati haid atau
menopause (Wiknjosastro, et al., 2005).
c. Gangguan Menstruasi
Gangguan menstruasi dan siklusnya khususnya dalam masa
reproduksi dapat digolongkan dalam:
1) Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan pada
saat menstruasi:
a) Hipermenorea atau menoragia, yaitu perdarahan haid yang
lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih
dari 8 hari).
b) Hipomenorea, ialah perdarahan haid yang lebih pendek (kurang
dari 2 hari) atau lebih kurang dari biasa.
2) Kelainan siklus:
a) Polimenorea, yaitu siklus haid lebih pendek dari biasa (kurang
dari 21 hari).
b) Oligomenorea, di sini siklus haid lebih panjang, lebih dari 35
hari.
c) Amenore, adalah keadaan tidak adanya menstruasi sedikitnya
dalam 3 bulan berturut-turut.
3) Perdarahan di luar haid: Metroragia, ialah perdarahan yang terjadi
dalam masa antara 2 haid atau 2 jenis perdarahan menjadi satu;
29
yang pertama dinamakan metroragia, yang kedua disebut
menometroragia.
4) Gangguan lain yang ada hubungan dengan menstruasi:
a) Premenstrual tension (ketegangan prahaid), merupakan
keluhan-keluhan yang biasanya muncul mulai satu minggu
sampai beberapa hari sebelum datangnya haid, dan menghilang
sesudah haid datang.
b) Mastalgia, ialah rasa nyeri dan pembesaran mammae sebelum
haid.
c) Mittlelschmerz, merupakan rasa nyeri antara haid terjadi kira-
kira sekitar pertengahan siklus haid, pada saat ovulasi.
d) Dismenorhea, ialah nyeri saat menstruasi.
3. Dismenorhea
a. Pengertian
Dismenorhea atau nyeri haid mungkin merupakan suatu gejala
yang paling sering menyebabkan para wanita muda pergi ke
klinik/dokter untuk berkonsultasi dan pengobatan (Wiknjosastro, et al.,
2005). Menurut Price (2005), Dismenorhea adalah nyeri selama
menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus.
Dismenorhea atau nyeri haid ialah nyeri yang bersifat cramping
(dipuntir-puntir), di bagian bawah perut, punggung bawah bahkan
sampai paha (Widjajanto, 2005). Dismenorhea merupakan rasa sakit di
30
perut bagian bawah, kadang meluas ke pinggul, punggung bagian
bawah atau paha (Nita, 2009).
b. Jenis-Jenis Dismenorhea
Ada dua jenis Dismenorhea, yaitu:
1) Dismenorhea primer (esensial, intrinsik, idiopatik), tidak terdapat
hubungan dengan kelainan ginekologik.
2) Dismenorhea sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, aquired),
disebabkan oleh kelainan ginekologik.
Dismenorhea,Primer
Dismenorhea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan
alat-alat genital yang nyata. Dismenorhea primer (primary
dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 12 bulan pertama atau lebih
setelah menarche (haid pertama) umumnya berjenis anovulatoar, yang
tidak disertai rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau
bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung untuk beberapa
jam, walaupun ada yang dapat berlangsung beberapa,hari.
Dismenorhea,Sekunder
Dismenorhea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan
saja setelah menarche (haid pertama), namun paling sering muncul
pada usia lebih dari 20 tahun, setelah bertahun-tahun siklus normal,
siklus tanpa adanya rasa nyeri. Peningkatan prostaglandin dapat
berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian,
penyakit pelvis yang menyertai haruslah ada.
31
Dismenorhea sekunder dikaitkan dengan penyakit pelvis organik,
seperti: endometriosis, penyakit radang pelvis, stenosis serviks, polip
uterus, neoplasma ovarium atau uterus, dan penggunaan peralatan
kontrasepsi Intrauterine,device (IUD),(Bobak,et,al,,2004).
c. Derajat Dismenorhea
Pembagian derajat nyeri haid (Dismenorhea) adalah sebagai berikut:
1) Derajat 0 : Haid tanpa rasa nyeri dan aktivitas sehari-hari tidak
terpengaruhi.
2) Derajat 1 : Nyeri haid ringan dan memerlukan obat penghilang rasa
nyeri, namun aktivitas sehari-hari jarang terpengaruhi.
3) Derajat 2 : Nyeri haid sedang dan dapat tertolong dengan obat
penghilang rasa nyeri, tetapi aktivitas sehari-hari terganggu.
4) Derajat 3 : Nyeri haid sangat hebat dan tidak berkurang walaupun
telah menggunakan obat dan tidak dapat bekerja. Kasus ini harus
segera dikonsultasikan dengan dokter agar segera ditangani oleh
dokter (Riyanto, 2002).
d. Etiologi
Beberapa faktor yang memegang peranan sebagai penyebab. atau
etiologi,dismenorhea,primer,,antara,lain:
1) Faktor endokrin. Pada umumnya dismenorhea primer disebabkan
oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Menurut penelitian yang
telah dilakukan Novak dan Reynolds pada uterus kelinci
berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas
32
uterus, sedang hormon progesteron menghambat atau
mencegahnya. Tetapi, teori ini tidak dapat menerangkan fakta
mengapa tidak timbul rasa nyeri pada perdarahan disfungsional
anovulatoar, yang biasnya bersamaan dengan kadar estrogen yang
berlebihan tanpa adanya progesteron.
Penjelasan lain diberikan oleh Clitheroe dan Pickles, bahwa karena
endometrium dalam fase sekresi memproduksi Prostaglandin F2
yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah
Prostaglandin yang berlebihan dilepaskan ke dalam peredaran
darah, maka selain dismenorhea, dapat dijumpai pula efek umum,
seperti diarea, nausea, dan muntah.
2) Faktor obstruksi kanalis servikalis. Salah satu teori yang paling tua
untuk menerangkan terjadinya dismenorhea primer adalah stenosis
kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi
mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis.
3) Faktor kejiwaan, pada gadis-gadis yang secara emosional tidak
stabil, apalagi jika tidak mendapat penerangan yang baik tentang
proses menstruasi, mudah timbul dismenorhea.
4) Faktor konstitusi. Faktor-faktor seperti: anemia, penyakit menahun,
dan sebagainya dapat.mempengaruhi.timbulnya.dismenorhea.
5) Faktor alergi. Teori ini dikemukakan oleh Smith setelah
memperhatikan adanya asosiasi antara dismenorhea dengan
33
urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith menduga bahwa
sebab alergi ialah toksin haid.
Penyebab atau etiologi dismenorhea sekunder dikaitkan dengan
penyakit pelvis organik seperti: Endometriosis, polip uterus (uterine
polyps), penyakit radang pelvis, stenosis serviks, kista ovarium
(ovarian cysts), dan pemakaian kontrasepsi Intrauterine devices (IUD)
(Wiknjosastro, et al., 2005).
e. Patofisiologi
Dismenorhea primer terjadi, jika tidak ada penyakit organik. Faktor
psikogenik dapat mempengaruhi gejala, tetapi gejala pasti
berhubungan dengan ovulasi. Selama fase luteal dan aliran menstruasi
berikutnya, prostaglandin F2 (PGF2) disekresi. Pelepasan PGF2 yang
berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus dan
menyebabkan vasospasme arteriol uterus, sehingga mengakibatkan
iskemia dan kram abdomen bawah yang bersifat siklik. Respon
sistemik terhadap PGF2 meliputi nyeri punggung, kelemahan,
pengeluaran keringat, gejala gangguan saluran cerna (anoreksia, mual,
muntah, dan diare), dan gejala sistem saraf pusat (pusing, sinkop, nyeri
kepala, dan konsentrasi buruk) (Bobak et al, 2004).
Dismenorhea sekunder timbul karena adanya masalah fisik seperti
endometriosis, polip uterus, stenosis serviks, atau penyakit radang
pelvis. Pada kasus pemeriksaan pelvis abnormal, dibutuhkan evaluasi
selanjutnya untuk menentukan diagnosis. Dismenorhea dapat timbul
34
pada perempuan dengan menometroragia yang meningkat. Evaluasi
yang hati-hati harus dilakukan untuk mencari kelainan dalam kavum
uteri atau pelvis yang dapat menimbulkan kedua gejala tersebut (Price,
2005).
f. Gejala Klinis
Gejala klinis pada dismenorhea primer antara lain : utamanya
adalah nyeri, dimulai pada saat awitan menstruasi. Nyeri dapat tajam,
tumpul, siklik atau menetap; dapat berlangsung dalam beberapa jam
sampai 1 hari. Kadang-kadang, gejala-gejala tersebut dapat lebih lama
dari 1 hari tetapi jarang melebihi 72 jam. Gejala-gejala sistemik yang
menyertai berupa mual, diare, sakit kepala, dan perubahan emosional.
Gejala klinis pada dismenorhea sekunder adalah nyeri yang timbul
karena adanya masalah fisik. Sifat nyeri pada dismenorhea sekunder
sama dengan dismenorhea primer (Price, 2005).
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada Dismenorhea Primer antara lain:
1) Penerangan dan nasihat
Perlu dijelaskan kepada penderita khususnya remaja putri bahwa
dismenorhea adalah gangguan yang tidak berbahaya bagi
kesehatan. Kemungkinan salah informasi mengenai menstruasi
atau adanya tabu atau takhyul mengenai menstruasi mengenai
menstruasi perlu dibicarakan. Kadang-kadang diperlukan
psikoterapi. Nasihat-nasihat mengenai makanan sehat, istirahat
35
yang cukup dan olahraga mungkin berguna. Untuk beberapa
wanita, kompres hangat atau mandi air hangat, massase, distraksi,
tidur cukup dapat meredakan dismenorhea.
2) Pemberian obat analgesik
Obat analgesik yang sering diberikan adalah preparat kombinasi
aspirin, fenasetin, dan kafein. Obat-obat yang beredar di pasaran
ialah novalgin, ponstan, acet-aminophen dan sebagainya.
3) Terapi hormonal
Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi. Tujuan ini dapat
dicapai dengan pemberian salah satu jenis pil kombinasi
kontrasepsi.
4) Terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin, memegang
peranan yang penting terhadap dismenorhea primer. Termasuk di
sini ialah indometasin, ibuprofen, dan naproksen; kurang lebih
70% penderita dapatdisembuhkan atau mengalami banyak
perbaikan. Hendaknya pengobatan diberikan sebelum haid mulai; 1
sampai 3 hari sebelum haid, dan pada hari pertama haid.
5) Dilatasi kanalis servikalis dapat memberi keringanan karena
memudahkan pengeluaran darah haid dan prostaglandin di
dalamnya. Pada kasus-kasus dismenorea yang tidak memberikan
respon dengan obat (refractory), tindakan laparoscopic presacral
neuroectomy amat manjur pada beberapa pasien selama 12 bulan
setelah terapi treatment. Ditambah dengan neurektomi ovarial
36
(pemotongan urat saraf sensorik yang ada di ligamentum
infundibulum) merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha
lain gagal (Wiknjosastro, et al., 2005).
Penatalaksanaan pada Dismenorhea Sekuder, adalah:
Pada dismenorhea sekuder dibutuhkan evaluasi untuk menentukan
diagnosis. Histeroskopi, histerosalpingogram (HSG), sonogra
transvaginal (TSV), dan laparoskopi, semuanya dapat digunakan untuk
evalusi. Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan yang
mendasarinya. (Price, 2005).
h. Dismenorhea pada Remaja
Kebanyakan remaja putri sering mengalami kram sewaktu
menstruasi. Rasa sakit di perut bagian bawah, kadang meluas ke
pinggul, punggung bagian bawah atau paha (Nita, 2009).
Andersh dkk (1982) melakukan penelitian di Swedia yang
menyatakan sekitar 72 % dari 596 gadis berumur 19 tahun menderita
nyeri haid primer dan 15 % diantaranya sangat berat sehingga
memerlukan pengobatan menghilangkan nyeri haid. Sundell dkk
(1994) melaporkan, sekitar 84 % dari 1.278 gadis yang berumur
kurang dari 20 tahun menderita nyeri haid sekunder alias sudah
diketahui penyebabnya (Widjajanto, 2005).
Hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak di perut bagian
bawah sebelum dan selama haid. Bahkan, sering juga diikuti rasa
mual. Umumnya terjadi pada remaja putri umur 15--25 tahun. Nyeri
37
pada waktu haid pada istilah kedokteran disebut dismenorhea
(lampungpost.com, 2004).
4. Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari, tahu dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya perilaku
seseorang (Notoatmodjo, 2007).
b. Proses Adopsi Perilaku
Penelitian Rogers (1974) menyimpulkan bahwa sebelum seseorang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1) Kesadaran (Awareness), yakni orang (subjek) tersebut menyadari
dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,
2) Ketertarikan (Interest), yakni orang mulai tertarik kepada
stimulus,
3) Evaluasi (Evaluation), yaitu mempertimbangkan baik atau
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi,
38
4) Mencoba (Trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru,
5) Memakai (Adoption), subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses
seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya
apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran
maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).
c. Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif ada enam
tingkatan, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di
pelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik
dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemempuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
39
paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3) Menerapkan (application)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah di pelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang nyata.
4) Analisa (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke
dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan
dan sebagainya.
5) Sintesis (Synthesis)
Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk
menyusun formulasi–formulasi yang ada.
40
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemempuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi.
Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria
yangditentukan sendiri atau menggunakan kriteria–kriteria yang
telah ada (Notoatmodjo, 2007).
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun
orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas
pengetahuan seseorang.
2) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.
Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
3) Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa
mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya
positif maupun negatif.
41
4) Fasilitas
Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat
mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi,
majalah, koran, dan buku.
5) Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan
seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar
maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-
fasilitas sumber informasi.
6) Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat
mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang
terhadap sesuatu.
e. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain
di atas (Notoatmodjo, 2007).
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan
determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan,
antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo,2003)
42
mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non
behaviour causes).
Perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor, yaitu :
1) Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai–nilai.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas–fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan.
3) Faktor-faktor penguat ( reinforcing factor) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan.
43
B. Kerangka Teori
Fokal Stimulus
Kontekstual Stimulus
Respon Inefektif Respon Adaptif
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi Peran
Interdependensi Regulator
Kognator
Sistem Adaptasi
Residual Stimulus
Sumber : Roy, 1991
C. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Pengetahuan Remaja Tentang Menstruasi
Variabel Terikat Koping Remaja Dalam Menghadapi Dismenorhea
Faktor X : Pengetahuan remaja putri tentang menstruasi.
Faktor Y : Koping remaja putri dalam menghadapi dismenorhea.
44
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pengetahuan
remaja tentang menstruasi.
2. Variabel Terikat (Dependen)
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu koping remaja
menghadapi dismenorhea
E. Hipotesa
Berdasarkan kerangka konsep tersebut diatas maka dalam hipotesis
penelitian yang ditegakkan adalah:
Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan remaja putri tentang menstruasi
dengan koping menghadapi dismenorhea.
45
Recommended