Penelitian Tindakan Kelas

Embed Size (px)

Citation preview

Penelitian Tindakan EKelas mail PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE PERMAINAN RAKYAT MEGALA-GALA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIIIA SMP NEGERI 4 NUSA PENIDA OLEH : I WAYAN GDE WIRADANA,S.PD NIP : 132253763 SMP NEGERI 1 NUSA PENIDA

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida dalam pembelajaran pokok bahasan getaran dan gelombang serta mendeskripsikan tanggapan siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida terhadap pembelajaran Kooperatif dengan metode permainan rakyat megalagala. Kerangka teori dari penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif yang berakar pada pandangan filosofis dan persepektif psikologis. Dengan strategi pembelajaran kooperatif dalam kelompok kecil diharapkan untuk dapat bekerjasama untuk memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik. Metode permainan rakyat megala-gala menuntuk siswa untuk bisa berkonsentrasi dalam pembelajaran dan berkompetisi untuk lolos ke kelompok berikutnya (materi berikutnya). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Nusa Penida tahun pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 35 siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 2 siklus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, 1) Aktivitas siswa bisa ditingkatkan yaitu dari 65,9 dengan katagori sedang menjadi 77,1 dengan berkatagori baik yang merupakan langkah awal untuk meningkatka proses pembelajaran, 2)restasi belajar siswa juga meningkat dari siklus pertama yaitu 74,9 menjadi 77,6 pada siklus ke dua dengan ketuntasan 100% pada siklus ke dua, 3)Tanggapan siswa pada pembelajaran kooperatif dengan metode permainan rakyat megala-galabersipat positif yaitu siswa yang setuju 62,9% dan yang sangat setuju 37,1%. Berdasarkan temuan di atas disarankan yaitu : temuan tentang efektifnya penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode permaian rakyat megala-gala

sebagai salah satu alternatif dalam proses pembelajaran berikutnya dan selanjutnya. Kelompok dalam pembelajaran kooperatif menjadi point penting dalam proses pembelajaran sehingga kelompok menjadi perhatian penting dalam menerapkan pembelajaran kooperatif, sehingga kelompok perlu dimodifikasi setiap saat supaya siswa tidak cepat bosan dalam pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang Masalah Tujuan mata pelajaran IPA di SMP yang terdapat dalam permen 22 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar adalah agar peserta didik memiliki kemampuankemampuan berikut: meningkatkan keyakinan, mengembangkan pemahaman, mengembangkan rasa ingin tahu, melakukan inkuiri ilmiah, meningkatkan kesadaran, meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. (7) Meningkatkan pengetahuan. Tujuan mata pelajaran tersebut di atas tampaknya sesuai dengan hakekat IPA yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi produk dan dimensi proses. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas telah ditempuh beberapa cara antara lain perbaikan kurikulum dan penataran-penataran bagi guru-guru. Namum kenyataannya pembelajaran sering dijalankan secara monotun, yaitu dengan metode ceramah. Proses pembelajaran IPA yang dilakukan selama ini masih didominasi oleh metode ceramah dengan lebih banyak menyelesaikan soal-soal hitungan agar mudah menjawab soal ulangan maupun ujian. Hal itu dapat dilihat dari pencapaian nilai rata-rata ulangan semester ganjil tahun pelajaran 2008/2009 yaitu 33,2 pada skala 100 dengan nilai terendah 18 dengan nilai tertinggi 64. Jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 63 adalah 2 orang dari jumlah keseluruhan siswa kelas II yaitu sebanyak 116 orang. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran maka diperlukan penyempurnaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan dan hakekat IPA. Siswa harus dirangsang untuk dapat berinteraksi dengan temannya dalam memperoleh pengetahuan, dan diberikan tanggung jawabmenemukan dan memperoleh pengetahuannya sendiri, sehingga siswa merasa adanya persaingan yang sehat dan dapat meningkatkan motivasinya dalam proses belajar mengajar. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat diajukan rumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pembelajaran Kooperatif dengan permainan rakyat magala-gala dapat meningkatkan aktivitas siswa? 2. Bagaimanakah pembelajaran Kooperatif dengan permainan rakyat magala-gala dapat meningkatkan prestasi belajar siswa? 3. Bagaimanakah tanggapan siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida terhadap pembelajaran Kooperatif dengan metode permainan rakyat magala-gala pada pokok bahasan getaran dan gelombang? 1. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari permasalahan yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan aktivitas siswa 2. Meningkatkan prestasi belajar siswa 3. Mendeskripsikan tanggapan siswa 1. Manfaat Penelitian 1. Agar PBM lebih bermakna dan efektif 2. Pembelajaran kooperatif cocok diterapkan di sekolah.. BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran dalam kelompok kecil yang bekerja sama untuk memaksimalkan penguasaan tentang apa yang dipelajari siswa. Dalam pembelajaran kooperatif terjadi proses saling membantu di antara anggota-anggota kelompok. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif (Aryana, 2006) adalah (1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi pelajarannya, (2) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3) bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin, dan agama yang berbeda, (4) penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Tujuan utama pembelajaran kooperatif (Aryana, 2006) yaitu (1) meningkatkan hasil belajar akademik, bahwa strategi ini unggul dalam membantu siswa memahami konsepkonsep yang sulit, (2) penerimaan terhadap perbedaan individu, karena akan terbentuk sikap menerima adanya perbedaan ras, agama, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan

perbedaan-perbedaan lainnya, (3) pengembangan keterampilan sosial, bahwa pembelajaran kooperatif dapat mengajarkan keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Ada 4 model pembelajaran kooperatif yaitu: 1. 2. 3. 4. Model Group Investigation (GI) Model Kooperatif STAD Model Kooperatif Jigsaw Model Kooperatif MURDER

2.2 Permainan Rakyat Megala-gala Cara memainkannya adalah jumlah pemain harus bilangan genap 8, 10, atau 12 orang. Pemain-pemain itu dibagi menjadi dua kelompok yang sama. Jumlah pemain yang 10 orang misalnya, terlebih dahulu membagi diri menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang. Kelompok A terdiri dari pemain A-1 sampai dengan A-5 dan kelompok B terdiri dari B-1 sampai dengan B-5. Seandainya kelompok B yang kalah sut, maka kelompok B dihukum menjadi kelompok nyaga, yakni menjaga ruangan-ruangan atau petak rumah supaya aman. Sedangkan kelompok A menjadi kelompok penyerang yang disebut mentas, artinya melintasi pintu dan ruang rumah. Kelompok nyaga yang terdiri dari lima orang itu menjaga petak-petak ruangan melalui garis pintu masingmasing. Ia hanya boleh menghadang penyerang melalui garis yang berada dalam wilayah kotanya, kecuali pengunci (B-5) yang diperbolehkan menghadang melalui garis sumbu. Kelompok mentas (penyerang) mula-mula berkumpul di depan pintu rumah. Tugasnya adalah melintase semua ruangan yang di jaga B-1 sampai dengan B-5, kemudian balik kembali ke pintu rumah semula. Penyerangan dilakukan satu per satu atau lebih, asalkan dalam satu petak (ruangan) tidak boleh berdiri lebih dari seorang penyerang. Kelompok penyerang dinyatakan mati kalau tersentuh, maka kelompok mentas (A) dinyatakan kalah. Tetapi kalau salah seorang kelompok penyerang itu berhasil balik ke pintu rumah semula (halaman depan), walaupun pemain-pemain lainnya sudah mati, maka kelompok A tampil sebagai pemenang.

2.3 Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Permainan Rakyat Megala-gala Pembelajaran kooperatif dengan metode permainan rakyat magala-gala dimulai dengan penjelasan sederhana (sebagian kecil materi) oleh guru. Selanjutnya materi yang lain dicari di dalam kelompoknya. Tetapi, pembentukan kelompok berdasarkan penjaringan yang ditentukan saat pemberian tes (hasil tes dalam menentukan kelompok). Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dengan metode permainan rakyat megalagala adalah sebagai berikut.

1. Guru mengawali pembelajaran dengan memberikan penjelasan mengenai materi awal. 2. Siswa diberikan tes tentang materi yang telah dijelaskan. 3. Setelah tes siswa dikelompokkan menjadi kelompok yang sudah mampu menguasai materi (kelompok II) dan kelompok yang belum menguasai materi (kelompok I) penjelasan di awal pembelajaran. 4. Setelah terbentuk kelompok, kelompok I diberikan mendiskusikan meteri yang sama dengan materi awal, Sedangkan kelompok II diberikan mendiskusikan materi lanjutan. Di akhir diskusi dilakukan tes kembali untuk menentukan kelompok berikutnya. 5. Hasil tes pada kelompok I dicari yang belum bisa menguasai tetap kelompok I, sedangkan yang sudah dapat menguasai menjadi kelompok II. Hasil tes pada kelompok II juga dicari yang belum menguasai tetap pada kelompok II, sedangkan yang sudah menguasai berubah menjadi kelompok III, selanjutnya siswa diminta kembali untuk berdiskusi pada masing-masing kelompok. 6. langkah 5 diulangi sampai pada akhir pembelajaran. 2.4 Keaktifan Belajar 1. Pengertian Keaktifan Belajar Keaktifan belajar terdiri dari kata kreativitas dan kata belajar. Keaktifan memiliki kata dasar aktif yang berarti giat dalam belajar atau berusaha (Ratmi, 2004). Keaktifan belajar berarti suatu usaha atau kerja yang dilakukan dengan giat dalam belajar. 1. Ciri-ciri Keaktifan Belajar Ada empat ciri keaktifan belajar siswa yaitu 1) Keinginan dan keberanian menampilkan perasaan, 2) Keinginan dan keberanian serta kesempatan berprestasi dalam kegiatan baik persiapan, proses dan kelanjutan belajar, 3) Penampilan berbagai usaha dan kreativitas belajar mengajar dalam menjalani dan menyelesaikan kegiatan belajar mengajar sampai mencapai keberhasilannya, 4) Kebebasan dan kekeluasaan melakukan hal tersebut di atas tanpa tekanan guru atau pihak lain 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hasil belajar, Nana Sudjana (dalam Ratmi,04) menyatakan bahwa ada lima hal yang mempengaruhi keaktifan belajar, yakni: 1) stimulus belajar, 2) perhatian dan motivasi, 3) respon yang dipelajarinya, 4) penguatan, 5) pemakaian dan pemindahan 2.5 Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar

Menurut Nurkancana (dalam Ratmi, 2004) bahwa hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai seseorang dalam kegiatan belajar selama kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk angka atau nilai. Sedangkan Hadari Nawawi (1981) menyatakan bahwa: hasil belajar diartikan sebagai tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. 1. Ciri-ciri Hasil Belajar Dalam buku terbitan Direktorat Pendidikan Dasar Depdikbud (1998:82) menyebutkan bahwa ciri-ciri hasil belajar adalah 1) adanya kemampuan siswa untuk mengingat kembali informasi atau materi yang telah dipelajari, 2) adanya kemampuan siswa yang nampak dalam keterampilan mengelompokkan, menyajikan dan menafsirkan data, 3) adanya kemampuan siswa untuk menghasilkan suatu nilai dari materi pelajaran berdasarkan kriteria nyata, jelas dan obyektif. Mencermati uraian tersebut maka ciri-ciri hasil belajar terwujud dalam ranah kognitif, afektif, psikomotor serta kreativitas pada diri secara wajar tanpa tekanan orang lain. 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Sumadi Suryabrata (dalam Ratmi, 2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar yaitu 1) faktor dari dalam diri siswa meliputi bakat, minat, intelegensi, keadaan indera, kematangan, kesehatan jasmani, 2) faktor dari luar diri siswa meliputi fasilitas belajar, waktu belajar, media belajar, cara guru mengajar dan memotivasi. 2.5 Hipotesis Tindakan Bertitik tolak dari pembahasan di atas maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1. Penerapan pembelajaran Kooperatif dengan metode permainan rakyat megalagala dapat meningkatkan aktivitas siswa kelas VIIIA SMP negeri 4 Nusa Penida pada pokok bahasan getaran dan gelombang. 2. Penerapan pembelajaran Kooperatif dengan metode permainan rakyat megalagala dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIIIA SMP negeri 4 Nusa Penida pada pokok bahasan getaran dan gelombang.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN3.1 Seting Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada semester II bulan Januari, Pebruari dan Maret 2009 tahun pelajaran 2008/2009. 3.2 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan seluruh siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida Semester II tahun pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 35 orang. 3.3 Sumber Data Sumber data untuk aktivitas siswa di dapat dari lembar observasi dan observasi langsung pada saat pembelajaran tiap siklus. Sedangkan sumber data dari prestasi belajar siswa adalah jawaban siswa dari tes yang diberikan pada akhir siklus, serta tanggapan siswa di dapat pada saat akhir pembelajaran dalam bentuk angket mengetahui tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. 3.4 Teknik dan Alat Pengumpulan Data Untuk data tentang aktivitas siswa dijaring dengan lembar observasi. Data tentang prestasi siswa yang diambil melalui pemberian soal pada tiap-tiap siklus. Soal tersebut diberikan skor 5 untuk tiap tiap item soal. Untuk menentukan prestasi siswa ditentukan dengan jumlah jawaban benar dikalikan skor, selanjutnya dicari ketuntasannya dengan cara membandingkan prestasi siswa dengan KKM sekolah untuk mata pelajaran IPA kelas VIII. Instrumen penelitian/ alat pengumpulan data dan teknik pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tes untuk menentukan kelompok yang diberikan pada saat berakhirnya diskusi tiap-tiap kelompok. Tes ini terdiri dari soal esay yang menanyakan konsep tentang materi yang terdapat pada masing-masing kelompok, dengan tiap-tiap kelompok soalnya berbeda. 2. Tes yang diberikan di akhir siklus yang berisikan 20 soal obyektif untuk menentukan pencapaian siswa untuk pokok bahasan pada tiap siklus. 3. Tanggapan siswa yang diambil dalam bentuk angket kepada siswa untuk mengetahui pendapat mereka tentang pembelajaran yang telah dilakukan. 3.5 Analisis Data Untuk data tentang aktivitas siswa dianalis dengan cara penilaian setiap siswa diberikan penilaian 1 untuk yang memenuhi/sesuai dengan indikator sedangkan yang tidak memenuhi indikator diberikan skor nol, selanjutnya skor masing-masing siswa dicari melaui jumlah skor yang didapat siswa dibagi dengan julah skor maksimal yaitu 20 dikalikan dengan 100, selanjutnya dikonversi kedalan pedoman konversi berikut.

85 100 Sangat baik 75 84,9 baik 55 74,9 sedang 40 54,9 kurang 0 39,9 sangat kurang Untuk data tentang prestasi belajar siswa dianalisis dengan memberikan skor 5 pada setiap item soal, sedangkan prestasi masing-masing siswa di dapat dari jumlah item soal benar dikalikan dengan 5, selanjunya baru dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran IPA kelas VIII yaitu 63 untuk menentukan apakah siswa tersebut sudah tuntas atau belum. 3.6 Indikator Kinerja Indikator keberhasilan kinerja dalam penelitian ini dapat ditetapkan sebagai berikut. 1. Aktivitas siswa dikatakan berhasil jika kualifikasinya berkatagori baik atau dengan nilai paling rendah 75. 2. Prestasi belajar siswa dikatakan berhasil jika nilai rata-rata yang diperoleh siswa lebih besar dari KKM yaitu 63. 3. Tanggapan siswa dikatakan positif jika 75% siswa setuju dengan penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode permainan gala-gala. 3.7 Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian meliputi beberapa tahap adalah sebagai berikut. 1. Perencanaan Penelitian (Proses merencanakan penelitian) 2. Pelaksanaan Penelitian (Proses pelaksanaan penelitian) Penelitian ini terdiri dari dua siklus masing-masing siklus dilaksanakan melalui 4 tahapan, yaitu: 1) perencanaan penelitian, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi/evaluasi, dan 4) refleksi. 1. Tahap evaluasi Penelitian 2. Tahap refleksi penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil Penelitian Pada siklus pertama didapatkan hasil sebagai berikut : Aktivitas klasikal 65,9 berkatagori sedang dengan 4 orang yang berkatagori kurang sedangkan prestasi belajar dengan ratarata 74,9 yang tergolong di atas KKM dengan 4 orang yang belum tuntas. Pada siklus kedua didapatkan hasil sebagai berikut : Aktivitas klasikal 77.1 yang

berkatagori baik tanpa ada siswa yang berkatagori kurang sedangkan prestasi 77,6 yang tergolong di atas KKM

4.2 Pembahasan Untuk aktivitas ada peningkatan baik secara klasikal maupun individual sedangkan prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu jauh karena nilai yang diperoleh sudah tergolong besar di bandindingkan dengan dengan sebelum dilakukan penelitian.

BAB V PENUTUP5.1 Simpulan Berdasarkan temuan-temuan penelitian dan pembahasan yang dilakukan sebelumnya, dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut. Pertama, aktivitas siswa bisa ditingkatkan yaitu dari 65,9 dengan katagori sedang menjadi 77,1 dengan berkatagori baik yang merupakan langkah awal untuk meningkatka proses pembelajaran. Kedua, prestasi belajar siswa juga meningkat dari siklus pertama yaitu 74,9 menjadi 77,6 pada siklus ke dua dengan ketuntasan 100% pada siklus ke dua. Ketiga, Tanggapan siswa pada pembelajaran kooperatif dengan metode permainan rakyat megala-galabersipat positif yaitu siswa yang setuju 62,9% dan yang sangat setuju 37,1%. 5.2 Saran-saran Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka kami sarankan beberapa hal yaitu temuan tentang efektifnya penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode permaian rakyat megala-gala sebagai salah satu alternatif dalam proses pembelajaran berikutnya dan selanjutnya. Kelompok dalam pembelajaran kooperatif menjadi point penting dalam proses pembelajaran sehingga kelompok menjadi perhatian penting dalam menerapkan pembelajaran kooperatif, sehingga kelompok perlu dimodifikasi setiap saat supaya siswa tidak cepat bosan dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKAHilda Karli dan Margaretha Sri Yuliariatiningsih. 2002. Implementasi Kurikulum berbasis Kompetensi (Model-model Pembelajaran). Bina Media Informasi, Bandung

Ratna Willis Dahar. 1989. Teori-teori Belajar. Erlangga: Jakarta Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: karnisius. Putu Aryana, Ida Bagus, 2006. Penerapan Model PBL Pada Pelajaran Biologi Untuk Meningkatkan Kompetensi dan Kemampuan berpikir Siswa Kelas x SMA Negeri 1 Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan ) IKIP Negeri Singaraja. Ratmi, Ni Wayan, 2004. Implementasi metode demonstrasi dan beberapa media belajar untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar mata pelajaran matematika pada siswa kelas III semester II tahun pelajaran 2003/2004 di sekolah dasar nomor 13 sesetan kecamatan denpasar selatan. Skripsi (tidak diterbitkan) IKIP Negeri Singaraja. Santyasa, I Wayan. 2007a. Penelitian Tindakan Kelas (konsep dasar, teknik penyusunan proposal, dan sistematika laporan Penelitian. Makalah disajikan dalam pelatihan tentang penelitian tindakan kelas (PTK) bagi guru-guru SMP dan SMA di Nusa Penida pada tanggal 29 sampai 1 juni 2007. ---------------------. 2008b. Pelatihan penyusunan Penelitian Tindakan Kelas. Makalah disajikan dalam pelatihan penelitian tindakan kelas bagi Guru-guru Sekolah Menengah di kecamatan Nusa Penida di Nusa Penida tanggal 25 Agustus 2008 --------------------, 2008c. Teknik Penyusunan laporan penelitian tindakan kelas dan artikel ilmiah. Makalah disajikan dalam pelatihan penelitian tindakan kelas bagi Guruguru Sekolah Menengah di kecamatan Nusa Penida di Nusa Penida tanggal 25 Agustus 2008 --------------------, 2008d. Pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kooperatif. Makalah disajikan dalam pelatihan tentang pembelajaran dan asesmen inovatif bagi guru-guru Sekolah Menengah di kecamatan Nusa Penida di Nusa Penida tanggal 22, 23, dan 24 Agustus 2008 Suastra, I Wayan. 2006. Pembelajaran komparatif (comparative Learning). Makalah disampaikan pada pelatihan Stategi Pembelajaran Inovatif bagi para Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Klungkung tanggal 1 sampai 12 September 2006 Suma, Ketut 1996. Metode dan Proses Penelitian. Makalah Disajikan dalam seminar peningkatan kualitas penelitian program Studi Fisika. Singaraja 29 Maret 1996 --------------------. 2007b. Model-model pembelajaran Inovatif. Disajikan dalam pelatihan tentang penelitian tindakan kelas (PTK) bagi guru-guru SMP dan SMA di Nusa Penida pada tanggal 29 sampai 1 juni 2007.

--------------------. 2007c. Model pembelajaran Konstruktivistik (suatu model pembelajaran berdasarkan paradigma konstruktivisme). Disajikan dalam pelatihan tentang penelitian tindakan kelas (PTK) bagi guru-guru SMP dan SMA di Nusa Penida pada tanggal 29 sampai 1 juni 2007. Sumadi, I Nengah, 2008 . Penyusunan Proposal Penelitian Tindakan Kelas. Disajikan dalam seminar pembelajaran dan asesmen inovatif, Lesson Study, dan penelitian tindakan kelas bagi guru-guru Sekolah Dasar dan Menengah di provinsi Bali di Singaraja pada tanggal 12 Juli 2008 Taro.Made, 2003, Plekuncang. Tersedia pada http://www.BaliPost.htm. Diakses pada tanggal 5 januari 2009 Yasa, dkk. 1998. Pembinaan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Pendekatan Starter Eksperimen Dengan Percobaan Awal Memanfaatkan Teknologi Masyarakat Sebagai Intensifikasi Keterampilan Proses Pada SLTP Negeri Di Kota Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). STKIP Negeri Singaraja.

PTK 2007PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM-BASED LEARNING) DENGAN BANTUAN LKS MASALAH UNTUK MENGUBAH MISKONSEPSI SISWA PADA PEMBELAJARAN SUHU DAN MASSA JENIS

OLEH : I WAYAN GDE WIRADANA,S.Pd NIP 132253763

SMP NEGERI 4 NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI SEPTEMBER 2007 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendiskripsikan konsepsi awal siswa kelas VII A SMP Negeri 4 Nusa Penida pokok bahasan suhu dan massa jenis, 2) mengubah konsepsi siswa menjadi konsep ilmiah melalui pembelajaran berbasis masalah, 3) Menganalisis/mendiskripsikan respon siswa terhapap pembelajaran berbasis masalah. Kerangka teori dari penelitian ini berpijak dari pandangan konstruktivisme dalam belajar dan mengajar, dengan asumsi dasar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pebelajar yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah ada pada diri siswa dalam wujud pengetahuan awal. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP Negeri 4 Nusa Penida tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah 38 siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 2 siklus dengan dua kali pertemuan tiap-tiap siklusnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, 1) konsepsi siswa beragam variasinya, yang sebagian besar masih berlabel miskonsepsi, 2) terjadi penurunan miskonsepsi, dan peningkatan konsep ilmiah setelah pembelajaran, 3) Respon siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah berkatagori baik Berdasarkan temuan di atas disarankan 1) para guru dalam mengajar IPA agar menerapkan pembelajaran berbasis masalah, 2) pengetahuan awal siswa sebelum pembelajaran harus mendapat perhatian dan 3) perlu dirancang pembelajaran dengan memperhatikan miskonsepsi siswa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Prinsip kegiatan belajar mengajar IPA Yang termuat dalam sampul belakang buku Fisika Kelas I terbitan PT Intan Pariwara tahun 2003 termuat : (1) berpusat pada siswa, (2) belajar dengan melakukan, (3) mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-tuhan, (4) mengembangkan keterampilan memecahkan masalah (5) mengembangkan kreativitas siswa, (6) mengembangkan kemampuan mengunakan ilmu dan teknologi, (7) menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik dan (8) Perpaduan kompetensi, kerja sama dan solidaritas, sedangkan prinsip motivasi belajar

yaitu: (1) kebermaknaan, (2) pengetahuan dan ketrampilan prasyarat, (3) contoh model, (4) komunikasi terbuka, (5) keaslian dan tugas menantang, (6) latihan yang tepat dan aktif, (7) penilaian tugas, (8) kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan, (9) keragaman pendekatan, (10) mengembangkan keberagaman kemampuan, (11)

melibatkan sebanyak mungkin indra dan (12) keseimbangan pengaturan pengalaman belajar. Prinsip pembelajaran tersebut diatas juga termuat dalam tujuan pembelajaran IPA yang termuat dalan Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu : 1. 1. Meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya 2. Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari 2. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat 3. 4. Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta berkomunikasi 4. 5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam

memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam

5. 6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan 6. 7. Meningkatkan pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang

selanjutnya. Prinsip KBM tersebut di atas tampaknya sesuai dengan hakekat IPA yang memiliki dua dimensi yaitu : dimensi produk, berupa ilmu pengetahuan yang berisi faktafakta, konsep-konsep, hukum-hukum, dan prinsip-prinsip tentang alam yang dipelajari, dimensi proses mencangkup sejumlah keterampilan dalam proses bagaimana Ilmu Pengetahuan Alam itu ditemukan yaitu melalui kaidah-kaidah ilmiah. Di samping keterampilan juga mencangkup sikap yang berupa sikap ilmiah yang merupakan ciri dari IPA. Dimensi proses yang berupa sikap akan mencerminkan tumbuhnya minat siswa untuk mengenal dan mempelajari IPA serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut di atas seharusnya membuat siswa setelah mempelajari IPA diharapkan dapat lebih mengenal alam dan memiliki keinginan lebih banyak untuk mengetahui alam atau mempelajari alam secara bijaksana. Serta dapat menyelesaikan masalah-masalah sederhana dalam kehidupan sehari dengan menerapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip IPA yang telah mereka pelajari. Tetapi harapan tersebut tinggal harapan, siswa belajar IPA hanya menginginkan nilai yang tinggi setelah itu pelajaran IPA dianggap sudah selesai. Hal tersebut di atas mungkin disebabkan oleh pembelajaran di SMP masih mementingkan dimensi produk dan kurang mempertimbangkan dimensi prosesnya. Ini

terlihat dari soal ulangan maupun ujian masih bentuk pilihan ganda dan lebih banyak menghitung. Proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 4 Nusa Penida masih pun sangat dominan menggunakan metode ceramah dengan lebih banyak menyelesaikan soal-soal hitungan agar mudah menjawab soal ulangan maupun ujian. Hal tersebut juga disebabkan oleh keadaan siswa, yaitu Lembongan sebagai daerah pariwisata sangat berpengaruh terhadap siswa. Banyak masyarakat yang mendapatkan uang dengan menjual tanah atau sebagai maklar tanah dan sebagian lagi bekerja di sektor pariwisata yang mendatangkan uang dengan mudah dan banyak, sehingga segala sesuatu itu diukur dengan uang. Hal ini berpengaruh kepada siswa dan dibawanya ke sekolah. Siswa merasa enggan untuk belajar karena dianggap tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan banyak uang. Minat siswa yang sedikit untuk belajar akan membawa miskonsepsi siswa menjadi banyak dan beragam (kompleks) karena siswa tidak akan berusaha mengkaitkan pengalaman mereka dengan konsep yang ilmiah atau pengetahuan ilmiah yang mereka dapatkan di bangku sekolah. Kalau miskonsepsi ini tidak ditangani akan berpengaruh terhadap pembelajaran dan prestasi belajar mereka. Pembelajaran dengan metode ceramah disertai berbagai alasan klasik seperti waktu yang sangat sempit, kurikulum yang terlalu padat masih sangat mendominasi pembelajaran IPA di SMP. Hal ini dibuktikan dengan adanya alat laboratorium yang tidak tertata dengan rapi dan bahkan terkesan tanpa pernah disentuh karena terlihat kotor dan semua alat dalam kondisi rusak sehingga susah untuk dipakai. Pembelajaran dengan metode ceramah tidak akan dapat mengurangi miskonsepsi siswa, bahkan akan membuat miskonsepsi itu menjadi lebih kuat dan menjadi lebih kompleks.

Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran maka diperlukan penyempurnaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan dan hakekat IPA seperti yang telah diuraikan di atas. Pembelajaran IPA haruslah dapat menciptakan kondisi di mana siswa dapat mengembangkan secara optimal kemampuan berpikir dan kreativitasnya untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Pembelajaran IPA harus dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan konsep awal ( pengetahuan awal) yang telah dimiliki, sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya yang masih bersifat miskonsepsi. Kondisi ini sesuai dengan pandangan konstruktivisme yang pertama kali dikemukakan oleh Piaget. Pandangan konstruktivisme Piaget pada pokoknya menggambarkan siswa membentuk atau membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya (Hidayat dalam yasa dkk, 1998). Ini berarti pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa. Interaksi individu dengan lingkungan ditransformasikan dalam pikiran dengan menggunakan struktur kognitif yang telah ada. Pandangan ini memberikan siswa sebelum memperoleh pembelajaran di sekolah telah mempunyai gagasan-gagasan atau konsepsi-konsepsi tentang gejala alam yang dialami selama interaksi dengan lingkungan. Gagasan-gagasan tersebut sering disebut dengan pengetahuan awal (prior knowledge). Dalam proses pembelajaran, guru kadang kala tidak menyadari akan gagasangagasan awal siswa yang dibawa ke kelas, dan terus mengajar untuk memberikan pengalaman-pengalaman yang didasarkan atas asumsi sendiri. Pembelajaran dengan cara demikian dapat menyebabkan gagasan-gagasan siswa tidak terpengaruh oleh

pengalaman-pengalaman di kelas atau dapat menyebabkan miskonsepsi siswa kompleks dan stabil. Pembelajaran yang didasarkan oleh asumsi-asumsi bahwa pikiran siswa adalah kotak hitam yang siap diisi oleh guru cenderung membatasi antivitas siswa yang lebih menonjolkan dominasi guru di dalam pembelajaran. Keadaan seperti ini masih sering ditemukan dalam pembelajaran IPA, dimana guru mengajarkan tentang IPA tanpa mempertimbangkan latar belakang siswa tetapi lebih mempertimbangkan untuk mengejar materi cepat selesai. Dari uraian permasalahan di atas maka sebagai upaya penyempurnaan pembelajaran IPA perlu diupayakan suatu strategi Pembelajaran IPA yang mampu memberikan kondisi kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativitasnya secara optimal. Mengurangi bahkan meniadakan dominasi guru dalam belajar dengan menempatkan guru sebagai mediator dan fasilitator. Sebagai upaya penyempurnaan proses belajar mengajar IPA maka perlu diperhatikan konsep awal atau gagasan-gagasan siswa yang dibawa ke kelas sebagai referensi dalam proses belajar mengajar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang di atas maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan LKS masalah dapat mengurangi miskonsepsi siswa tenteng pokok bahasan Suhu dan Massa Jenis di kelas VIIA pada SMP Negeri 4 Nusa Penida. 2. Bagaimana respon siswa tentang pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan LKS masalah pokok bahasan Suhu dan Massa Jenis di SMP Negeri 4 Nusa Penida. 1.3 Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari permasalahan yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendiskripsikan konsepsi awal siswa kelas VIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida pokok bahasan Suhu dan Massa Jenis. 2. Untuk mengubah konsepsi siswa menjadi konsep ilmiah melalui pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dengan bantuan LKS masalah. 3. Untuk menganalisis/mendiskripsikan respon siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dengan bantuan LKS masalah. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai beriku:

Pertama bagi praktisi pendidikan khususnya para guru. Gagasan awal siswa perlu diperhatikan dan ditindak lanjuti agar mendapatkan hasil belajar siswa yang memuaskan dan bertahan lama. Kedua bagi teoritisi pendidikan, khususnya yang berkecimpung dalam pendidikan IPA. Gagasan awal siswa perlu diperhatikan dalam mengembangkan model pembelajaran yang akan dipakai secara umum Ketiga bagi siswa. Dengan pengungkapan konsep awal dan dimanfaatkan dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan keinginan siswa dalam mendalami Mata Pelajaran IPA yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konstruktivisma Teori tentang konstruktivisme dikemukakan pertama kali oleh Piaget, Yang menyatakan bahwa organisme menyusun pengalaman dengan jalan menciptakan struktur mental dan menerapkannya dalam pengalaman (dalam sudiatmika, 1996). Piaget mempelajari pola berpikir anak, sebab ia percaya hanya itulah yang merupakan cara praktis untuk menjawab pertanyaan Bagaimana kita memperoleh pengetahuan ? Piaget berargumentasi bahwa pengetahuan dikonstruksi sebagai usaha keras siswa untuk

mengorganisasi pengalaman-pengalaman dalam hubungannya dengan struktur mental yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak memperoleh pengetahuan, Piaget sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan anak dibangun dalam pikiran anak (dalam sudiatmika, 1996). Piaget membedakan antara pengetahuan fisik (physical knowledge), pengetahuan logika-matematika (logoco-mathematical) dan pengetahuan sosial (social knowledge) (dalam Sadia 1996). Contoh dari pengetahuan fisik antara lain fakta sebuah benda terapung di air, sebuah gelas akan pecah jika dijatuhkan di lantai, dan es jika dipanaskan akan mencair. Sedangkan pengetahuan logika-matematik terdiri atas hubungan objek-objek, seperti perbandingan antara tinggi lemparan bola yang dilempar secara vertikal dan yang dilempar dengan sudut elevasi tertentu, perbandingan skala suhu antara thermometer Celsius dan termometer Fahrenheit, hubungan antara gaya beban dengan gaya kuasa dengan lengan beban dan dengan lengan kuasa. Fakta bahwa hari dalam satu minggu, simbul-simbul unsur periodik merupakan contoh pengetahuan sosial. Piaget juga membedakan antara fungsi kognitif dan struktur kognitif (dalam Sadia 1996). Fungsi kognitif seperti organisasi dan adaptasi yang selalu konstan sepanjang perkembangannya dan struktur kognitif yang berubah baik kuantitas maupun kualitasnya sesuai dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Adaptasi yang juga disebut equilibrasi dalam model Piaget merupakan suatu mekanisme regulasi diri internal yang beroperasi melalui dua proses biologi yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dan akomodasi hanya dapat dipahami dalam konteks struktur kognitif Piaget. Alam dapat diasimilasi, dalam arti bahwa kita dapat melihatnya dengan cara kita sendiri. Ketidakseimbangan atau disekuilibrasi terjadi jika siswa tidak dapat mengasimilasi pengalaman-pengalaman mereka ke dalam struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya. Ekuilibrasi akan terjadi jika siswa memodifikasi struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya sehingga pertentangan itu terpecahkan. Proses dimana terjadi modifikasi strukturstruktur kognitif yang telah ada agar cocok dengan data sensori yang baru diasimilasi disebut akomodasi.

Konstrutivisme dalam salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam paul suparno 1997:18) Von Glesersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari realita. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari struktur kognitif suatu realita melalui kegiatan mental seseorang. Karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia realita yang lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksi dari pengalamannya. 2.1.2 Pandangan Konstruktivisma Tentang Pengetahuan Pandangan tradisional tentang pengetahuan memandang pikiran siswa sebagai sebuah kotak hitam (black box). Disisi lain, pandangan konstruktivisma, memandang linkungan sebagai kotak hitam. Struktur mental siswa dalam pandangan kontruktivisme merupakan hal yang esensial dan sangat perlu diperhatikan pada saat pembelajaran. Masing-masing orang mengetahui apa yang terjadi di dalam pikirannya, namun hanya dapat menebak tentang hubungan antara struktur mentalnya dengan dunia realita. Wheatly (dalam Sadia, 1996) mengemukakan dua prinsip pokok

konstruktivisme. Pertama, bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh subjek atau siswa. Ide-ide dan pikiran-pikiran tidak dapat dipaket ke dalam kata-kata lalu dikirim kepada orang lain. Guru tidak dapat menaruh ide yang ia miliki ke dalam kepala siswa. Kedua, bahwa fungsi kognitif dalam adaftasi dan melayani organisasi dunia pengalaman. Bahwa siswa tidak menemukan pengalaman tetapi mengkonstruksi penjelasan yang masuk akal dari pengalaman siswa.

Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan berasal dari aktivitas siswa yang ditampilkan dalam objek-objek. Misalnya, jika siswa memikirkan sebuah mobil, maka dalam pikirannya dibangunkan konsep tentang mobil. Penganut konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan bukanlah tidak berujud, tetapi berhubungan erat dengan tindakan dan pengalaman kita. Bahwa pengetahuan itu selalu bersifat konstektual dan tidak pernah terpisahkan dari subjek yang memiliki pengetahuan yang bersangkutan. Fosnot (dalam Sadia, 1996) mengemukakan empat prnsip dasar

konstruktivisme sebagai berikut : 1. Pengetahuan terdiri atas konstruksi-konstrusi masa silam (fast constructions). Pengalaman dibangun atau dikonstruksi tentang dunia objek dengan memandangnya melalui struktur kognitif yang mengtransportasi, mengorganisasi dan menginterpretasi pengalaman. Struktur-struktur kognitif itu sendiri dikonstruksi dan berkembang melalui suatu proses pengembangan sepanjang ada interaksi dengan lingkungan dan mencoba untuk memahami pengalaman. 2. Pengkonstrusian pengetahuan terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi sebagai suatu kerangka logis dalam rangka menginterpretasi baru dan dengan akomodasi dalam rangka memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas. Asimilasi merupakan pengintegrasian unsur eksternal ke dalam struktur kognitif yang telah ada, sedangkan akomodasi merupakan proses adaptasi struktur kognitif yang telah ada agar cocok dengan data sensori yang baru diasimilasi.

3. Mengacu kepada belajar sebagai proses organik dari penemuan, lebih dari suatu proses mekanik yang akumulatif. Konstruktivisme mengambil posisi bahwa siswa harus mendapat pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, meneliti dan menemukan dalam upaya mengembangkan konstruksi-konstruksi baru atau dalam mengembangkan struktur kognitifnya. Dari pandangan ini jelaslah bahwa dalam model belajar konstruktivis diperlukan suatu proses pembelajaran yang berpusat pada siswa dan model instruksional yang aktif dan fleksibel. 4. Mengacu kepada mekanisme yang memungkinkan berlangsungnya perkembangan kognitif. Belajar bermakna akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi dari konflik kognitif. Menurut fosnot konflik kognitif terjadi jika siswa mengalami ketidak sesuaian antara dua skemata yang kontradiktif. Guru meskipun dapat membantu untuk menengahi konflik kognitif yang dialami siswa, namun perubahannya dapat terjadi atas inisyatif siswa. Bagaimana proses asimilasi dan akomodasi terjadi, dapat dijelaskan dengan model interaksi piaget. Dalam mengadaptasi lingkungan, individu berusaha mencapai struktur kognitif atau skemata yang stabil. Stabil dalam arti terjadi keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi yang oleh piaget disebut ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi tersebut dapat dilihat dalam gambar 01 sebagai berikut : Hal baru

(benda, peristiwa, ide) Mengingat konsep yang sudah dimiliki Cocok sekali Asimilasi Penguatan Tidak cocok disekuilibrasi Akomodasi Jalan buntu (tidak mengerti) Adaptasi (belajar) Cocok Ekuilibrasi Mengerti

Gambar 01. Model Interaksi Piaget (Sadia 1996) Hewson dan Hewson (dalam sadia, 1996) mengemukakan tiga kondisi yang harus dipenuhi oleh konsep baru yang akan diajarkan. Pertama, konsep baru itu harus dapat terpahami (intelligible) bagi siswa. Kedua, bahwa konsep baru tersebut harus bermanfaat, dan dapat memecahkan masalah yang sebelumnya tidak dapat dipecahkan, dan dapat memberi ide-ide baru (fruitful) bagi siswa. Ketiga, kondisi di atas harus diperhatikan secara seksama oleh para guru, terutama upaya mengubah miskonsepsi siswa menuju pengetahuan ilmiah.

2.1.3 Implikasi Konstruktivisma Dalam Belajar Dan Mengajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai pembentukan makna secara aktif oleh siswa terhadap masukan sensori baru yang didasarkan atas struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya, atau belajar dapat dipandang sebagai perubahan konsepsi siswa (dalam sadia, 1996). Perubahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perubahan konsepsi siswa yang masih bersifat miskonsepsi menjadi konsep yang ilmiah. Terlihat bahwa pengetahuan awal atau struktur kognitif yang telah ada sebelumnya pada diri siswa mempunyai peran yang sentral dalam proses pembelajaran. Belajar merupakan modifikasi dari ide-ide yang telah ada pada diri siswa. Karena itu, belajar dapat dipandang sebagai pembentukan pengertian atas pengalamanpengalaman dalam hubungannya dengan pengetahuan awal. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran di kelas penting bagi siswa untuk berbicara guna mengemukakan gagasan-gagasannya. Maka para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi makna dan dicapainya konsensus. Penekanan dalam belajar bukan pada korespondensi dengan suatu otoriter eksternal tetapi pada penyusunan skemata-skemata yang berguna bagi siswa. Dalam pandangan belajar konstruktivisma, belajar bukanlah penambahan informasi baru secara sederhana tetapi melibatkan interaksi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Melalui interaksi itu, pengetahuna baru dapat berkonsiliasi dengan pengetahuan sebelumnya. Proses rekonsiliasi mungkin melibatkan penolakan terhadap beberapa konsepsi siswa.

Pandangan konstruktivisma dalam belajar dapat dijelaskan sebagai berikut : (dalam sadia 1996) Pertama, siswa aktif secara mental untuk memilih dan mengamati masukan sensori baru dari lingkungannya, baik masukan sensori yang berasal dari buku teks, maupun dari pengalaman belajar lainnya yang disajikan guru. Pengetahuan awal siswa sangat berpengaruh dalam pemilihan masukan sensori. Umpamanya, masukan sensori yang tidak cocok dengan pengetahuan awal siswa akan membuat siswa tidak menerima bahkan menolak masukan sensori itu. Kedua, memberi tekanan pada keterlibatan struktur kognitif yang telah ada sebelumnya pada diri siswa dalam rangka membangun makna atas masukan sensori baru. Struktur kognitif yang telah dimiliki siswa juga berpengaruh dalam pembelajaran. Hubungan antara masukan sensori baru dengan pengetahuan awal juga berpengaruh dalam pembelajaran. Aliran informasi dalam dua arah perlu mendapat perhatian jika seorang guru ingin model konstrutivis dalam pembelajaran. Jawaban siswa dari pertanyaan yang diajukan oleh guru selalu diperhatikan dan dicermati secara seksama, apakah jawaban itu masuk akal atau tidak. Guru yang mengatakan salah pada jawaban yang dikemukakan siswa akan membawa efek yang kurang bagus pada siswa. Siswa akan merasa kecewa dan itu akan menganggu dirinya. Jawaban siswa yang menurut guru salah, tetapi menurut siswa sendiri itu merupakan jawaban yang masuk akal pada saat itu. Guru harus memberikan jalan pada siswa untuk mendapatkan jawaban yang lebih baik.

Pandangan

konstruktivisma

tentang

belajar

menghendaki

penganut

konstruktivis adanya pergeseran yang tajam bagi seorang guru. Pergeseran seorang guru dari yang mengajar menjadi seorang guru sebagai fasilitator atau sebagai mediator yang kreatif dalam proses pembelajaran. Guru harus bernegosiasi dengan siswa di dalam proses pembelajaran. Dalam model belajar konstruktivis, guru dalam kapasitas sebagai fasilitator atau mediator mempunyai ciri-ciri : (dalam sadia, 1996) 1) menyiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya proses pembelajaran dengan menyajikan problem-problem yang menantang bagi siswa, 2) berupaya untuk menggali dan memahami pengetahuan awal siswa, 3) Pengetahuan awal siswa harus selalu diperhatikan dan digunakan baik dalam merancang maupun mengimplementasikan program pembelajaran, 4) Gagasan siswa dirangsang dan diberi kesempatan untuk mengemukakannya saat pembelajaran, 5) Alasan dari jawaban siswa, bukan pada benar atau salahnya alasan siswa, 6) tidak melakukan upaya transper pengetahuan pada siswa dan selalu sadar bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran-pikiran siswa, 7) menggunakan strategi pengubahan konseptual (conceptual change) dalam upaya mengubah miskonsepsi-miskonsepsi yang dibawa siswa menuju konsep ilmiah, dan 8) Menyiapkan dan menyajikan pada saat yang tepat berbagai konflik kognitif dan contoh tandingan yang dapat mengarahkan siswa dalam merekonstruksi gagasan-gagasan menuju pengetahuan ilmiah. 2.1.4 Konsep Menurut Ausubel, 1968 (dalam Ratna Wilis Dahar, 1988:81) konsep-konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep

terutama merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkrit. Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah. Banyak dari konsep-konsep yang sudah diperoleh, berkembang semasa kita kecil. Tetapi, konsep-konsep itu telah mengalami modifikasi atau perubahan disebabkan karena pengalaman-pengalaman kita. Waktu anak-anak mulai masuk sekolah mereka sudah memperoleh konsep-konsep tentang benda-benda yang berada di sekitar mereka. Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Bila anak dihadapkan pada stimulus-stimulus lingkungan, ia akan mengabstraksi sifat-sifat tertentu atau atributatribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus-stimulus. Pembentukan konsep merupakan suatu bentuk belajar penemuan, paling sedikit dalam bentuk primitif, yang melibatkan proses-proses psikilogi seperti analisis diskriminatif, abstraksi, diferensiasi, pembentukan hipitesis dan pengujian, dan generalisasi. Pembentukan konsep ini juga ditunjukan oleh orang-orang lebih tua dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan dalam laboratorium, tetapi dalam tingkat yang lebih tinggi (Ausubel, 1968 dalam Ratna Wilis Dahar, 1988:81). Abstraksi-abstraksi primitif yang pertama dapat dikenakan pada suatu contoh dari suatu konsep. Waktu anak dihadapkan pada contoh-contoh dan noncontohnoncontoh lain dari konsep itu, abstraksi semula mungkin harus dipersempit atau diperluas sedemikian rupa hingga atribut-atribut yang umum tidak lagi merupakan kreteria konsep yang baru.

Pembentukan konsep mengikuti pola contoh atau aturan. Anak yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh dari konsep tertentu. Melalui proses diskriminasi dan abstraksi, anak menetapkan suatu aturan yang menentukan kreteria untuk konsep itu. Setelah masuk sekolah, anak-anak diharapkan belajar banyak konsep melalui proses asimilasi konsep. Demikian pula orang-orang dewasa. Dalam proses ini anak-anak diberi nama konsep dan atribut-atribut dari konsep itu. Ini berarti, bahwa mereka akan belajar arti konseptual baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kreteria dari konsep, dan kemudian mereka akan menghubungkan atribut-atribut ini dengan gagasan relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka (Ausubel, 1968 dalam Ratna W.D, 1988:82). Untuk memperoleh konsep-konsep melalui proses asimilasi, orang yang belajar harus sudah memperoleh definisi formal dari konsep-konsep itu. Suatu definisi formal dari suatu kata menunjukan kesamaan-kesamaan dengan konsep itu dan membedakan kata itu dari konsep-konsep lain (Rosser, 1984 dalam Ratna W.D,1988:82). Sesudah definisi dari konsep itu disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh-contoh atau deskripsi verbal dari contoh-contoh. 2.1.5 Miskonsepsi dan Resistensi Miskonsepsi Setiap orang membangun tafsiran terhadap suatu data sensori yang diterimanya, baik yang berupa benda-benda, gejala-gejala, maupun peristiwa-peristiwa. Tafsiran yang dibangun oleh masing-msing orang terhadap suatu data sensori dapat

berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya dan bergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Jadi tafsiran terhadap suatu realita bersifat personal. Hal ini seirama dengan pandangan konstruktivisma yang menyatakan bahwa suatu keadaan tidak terletak pada realita itu sendiri, tetapi bahwa manusia membangun makna terhadap realita itu. Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut konsepsi. (Van Den Berg dalam Sadia, 2006:8). Beberapa literatur dan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak telah mengembangkan gagasannya tentang gejala alam sebelum mereka diajar di sekolah (Driver, 1986; Ratna Wilis Dahar, 1988; Trumper, 1990; Gusntone, 1990 dalam sadia, 2006: 8). Gagasan-gagasan tersebut merupakan pengetahuan pribadi mereka, yaitu gagasan-gagasan yang dibangun melalui belajar informal dalam proses memahami pengalaman sehari-hari dan disebut pengetahuan awal (prior knowledge) atau prakonsepsi. Dalam arti luar prakonsepsi diartikan sebagai konsepsi yang dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran, meskipun mereka sudah pernah mendapat pelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya. Konsepsi siswa pada umumnya berbeda dengan konsep ilmuwan. Konsepsi ilmuwan bersifat ilmiah, lebih canggih, lebih konpleks dan melibatkan lebih banyak hubungan antar konsep. Jika konsepsi siswa bertentangan dengan konsep ilmiah, maka disebut miskonsepsi. Nama lain dari istilah miskonsepsi yang digunaklan oleh para peneliti diantaranya adalah konsepsi alternatif (alternatif conception), kerangka alternatif (alternatif framework), intuisi (intuitions), dan teori naf (Driver dalam Sadia, 2006:8). Ada pula yang memberi nama sains anak (Gunstone dalam Sadia, 2006:8) sedangkan E.

Boyes (dalam Sadia, 2006:8) memberi nama ide anak (pupils ideas). Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menghindari label salah, karena miskonsepsi siswa sering merupakan bagian dari teori siswa yang tampaknya cukup logis dan cukup konsisten, meskipun tidak cocok dengan konsepsi ilmiah. Miskonsepsi siswa sering muncul karena mereka hanya menggunakan pola pikir intuitif atau akal sehat (common sense) dan tidak menggunakan pola berpikir ilmiah dalam menanggapi dan menjelaskan permasalahan yang mereka hadapi. Bahkan sering terjadi bahwa dalam situasi formal di sekolah, misalnya dalam ujian, para siswa menggunakan konsepsi ilmiahnya, tetapi saat mereka berhadapan dengan masalahmasalah dalam hidupnya sehari-hari (dalam situasi tidak formal), mereka kembali menggunakan konsepsinya yang miskonsepsi (Gilbert, Osborne, dan Frensham dalam sadia, 2006:9). Penelitian-penelitian terhadap miskonsepsi siswa menunjukkan bahwa pada umumnya miskonsepsi siswa bersifat resisten dalam proses pembelajaran (Hewson dan Hewson, 1983; Thomas Marilia F, et.al, 1995,; Sadia dkk, 1996 dalam sadia, 2006:9), dalam arti bahwa gagasan-gagasan siswa yang miskonsepsi cukup sulit untuk diubah menjadi konsepsi ilmiah. Oleh karena itu, agar dapat menyiapkan strategi pembelajaran yang lebih tepat untuk mengubah miskonsepsi siswa menuju konsep ilmiah. Munculnya pertanyaan baru, bagaimana para guru dapat mengetahui pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa ? Ada tiga cara yang mungkin dapat digunakan untuk menelusuri pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa (dalam Sadia, 2006:10) yaitu : 1) tes tulis bentuk uraian; 2) interviu klinis; 3) peta konsep. Berdasarkan argumentasi yang dikemukakan siswa pada lembar jawaban testulis, dapat ditelusuri pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa serta latar penyebabnya. Di sisi lain, melalui interviu klinis dapat

diungkap pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa secara lebih dalam dan orisinil. Dalam interviu klinis diperlukan keahlian dan pengalaman yang cukup memadai agar gagasan-gagasan orisinil siswa dapat terungkap dengan baik. Cara lain adalah dengan mengunakan peta konsep. (Novak, 1985 dalam Sadia 2006:10) dalam bukunya Learning how to Learn. Mengemukakan bahwa penelusuran pengetahuan awal siswa dapat dilakukan dengan batuan peta konsep. Mengapa miskonsepsi siswa bersifat resisten dalam pembelajaran?

Jawabannya adalah karena setiap orang membangun pengetahuannya persis dengan pengalamannya (Borner, 1986 dalam Sadia 2006:10) Sekali kita telah membangun pengetahuan itu, maka tidak mudah untuk menyadari bahwa pengetahuan yang kita bangun itu salah. Resistensi miskonsepsi dalam pembelajaran di bawa ke dalam pikiran. Kuhn (dalam Sadia, 2006:10) mengajukan argumentasi bahwa seseorang tidak dapat membuktikan suatu teori salah melalui eksperimen. Para pendukung teori ini akan lebih mudah memodifikasi untuk menjelaskan hasil eksperimen-eksperimen baru. Cara membuang teori lama adalah dengan membangun teori baru yang dapat memberi penjelasan yang lebih baik dalam menjelaskan bukti-bukti eksperimen. Sehubungan dengan cara itu, maka cara untuk mengubah suatu miskonsepsi adalah dengan membangun konsep baru yang lebih cocok untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman kita. Di samping cara tersebut di atas, untuk mengubah miskonsepsi siswa menuju konsep ilmiah dapat dilakukan dengan cara menurunkan status pengetahuan siswa yang miskonsepsi. Hal itu dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif, sehingga gagasan siswa yang semula cukup stabil dan diyakini kebenarannya menjadi goyah dan

siswa menjadi ragu akan kebenaran konsepsinya. Dalam kondisi demikian, guru akan lebih mudah untuk mengubah gagasan siswa yang miskonsepsi menjadi konsep ilmiah. 2.1.6 Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dan menggunakan instruktur sebagai pelatih. Prosedur pembelajaran Problem Based Learning, setting awalnya adalah penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai setelah siswa diajak berdiskusi dengan struktur masalah riil, sehingga dengan cara itu siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Masalah yang disajikan juga hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun prinsip-prinsip yang relevan. Melalui Problem Based Learning siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu proses interaktif dalam mengevaluasi apa yang mereka ketahui, mengumpulkan informasi, dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data yang telah mereka kumpulkan. Sedangkan guru lebih berperan sebagai tutor dan fasilitator dalam menggali dan menemukan hipotesis, serta dalam mengambil kesimpulan. Savoi & Andrew 1994 (dalam Sadia 2006), Mengemukakan enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut : 1. Mulai dengan penyajian masalah; 2. masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil)

3. organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; 4. memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pelajarannya sendiri. 5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses pembelajaran. 6. Menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari. Beberapa ciri penting Problem Based Learning (Brook Martin, 1993 dalam Sadia, 2006) : 1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar (siswa) dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan. 2. Sifat masalah yang disajikan dalam proses pembelajaran adalah berlanjut. Dalam hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, masalah harus dapat memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan situasi yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya bersifat riil sehingga memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antar siswa. 3. Adanya presentasi permasalahan. Siswa dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan tersebut. 4. Guru berperan sebagai tutor dan fasilitator. Dalam hal ini, peran guru sebagai fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri.

Barrows (dalam Sadia, 1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem Based Learning in Medicine and beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based Learning sebagai berikut : 1. Proses Pembelajaran Bersifat Studen-Centered. Melalui bimbingan guru siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasikan apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan, dan menentukan dimana mereka akan memperoleh informasi. 2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri atas 4-6 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum lainnya. Kondisi demikian akan memberikan pengalaman praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensip dan efektif dalam variasi kelompok yang berbeda. 3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai pemberi ceramah atau pemberi informasi faktual. Dalam peranannya sebagai fasilitator, guru tidak memberi tahu siswa apakah pemikiran siswa benar atau salah, dan juga tidak memberi tahu siswa tentang apa yang harus mereka pelajari atau baca. Siswa itu sendiri (secara kelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan masalah yang telah disajikan guru pada awal seting pembelajaran.

4. Permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Permasalahan diciptakan agar dapat menantang dan menghadapkan siswa dalam situasi praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar, serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu. 5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri. Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui belajar secara mandiri, dan dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereviu, serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari. 6. Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan siswa sesuai dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, melakukan test fisik, test laboratorium, dan runtutan lainnya. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang program pengajaran yang berorientasi pada Problem Based Learning sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada siswa adalah sebagai berikut (Sadia, 2006):

1. Fokus permasalahan sekitar pembelajaran konsep-konsep sains yang esensial dan strategi. Gunakan permasalahan dan konsep untuk membantu siswa dalam melakukan investigasi isi. 2. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. 3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka miliki, yang merupakan proses latihan. 4. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi yang mereka kemukankan. Penyajiannya dapat dilakuakan dalam diskusi kelas. STARTING A NEW CLASS PROBLEM FOLLOW-UP STARTING A NEW PROBLEM

PERFORMNACE PRESENTATION

AFTER CONCLUSION OF PROBLEM

Gambar. 2 Alur pembelajaran berbasis masalah 2.1.7 Lembar Kerja Siswa Masalah Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan sekumpulan perintah yang sistematis dan mudah dimegerti tentang materi pelajaran yang akan diajarkan. LKS biasanya digunakan dalam percobaan di laboratorium sehingga memudahkan dalam melakukan kegiatan. LKS juga merupakan salah satu media pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa dalam mempercepat memahami pelajaran. Lembar Kerja Siswa Masalah dibuat didasar pada pembelajaran berbasis masalah dengan unsure utama adalah masalah sebagai bagian awal dari pembelajaran. Selanjutnya dari masalah tersebut siswa memehami pelajaran berdasarkan pemecahan

masalah yang terdapat dalam LKS. LKS masalah juga menuntut siswa untuk meyelesaiakan masalah dan mengambil kesimpulan 2.2 Kerangka berpikir Pendekatan konvensional dalam pengajaran IPA adalah suatu proses belajar IPA yang pengajarannya dimulai dari pengenalan difinisi-difinisi, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip IPA kemudian diikuti dengan pemberian contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari sebagai aplikasai teori yang telah diberikan. Kegiatan siswa yang menonjol dalam pengajaran ini adalah lebih banyak mencatat, membaca mendengar dan menyimpulkan informasi yang diberikan guru. Telah diketahui kemampuan individu untuk menyimpan informasi terbatas dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Keterbatasan ini akan menimbulkan kesulitan pada siswa dalam usaha menguasai pelajaran IPA. Sedangkan kesempatan bertanya kepada guru sangat terbatas karena arus informasi searah. Peran siswa sangat pasif sebagai pendengar saja dan kurang mendapat kesempatan untuk mengikuti bagaimana informasi itu diperoleh. Hal ini memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan pada siswa dan akibatnya dapat diduga bahwa prestasi belajar yang dicapai siswa kurang maksimal sesuai dengan potensi akademik maksimal yang mungkin dimiliki siswa. Pembelajaran konvensional yang didasari atas asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Proses pembelajaran yang berpusat pada guru, seakan-akan siswa tidak dapat berbuat apa-apa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran model ini pada umumnya kurang memperhatikan gagasangagasan yang dibawa siswa ke dalam kelas.

Pandangan

konstruktivisma

tentang

pengetahuan

bahwa

pengetahuan

dibangun dalam pikiran siswa. Model belajar konstruktivis, menginginkan siswalah yang aktif secara mental dalam pembentukan pengetahuan. Struktur kognitif yang dimiliki sebelumnya oleh siswa berpengaruh dalam keberhasilan belajar. Struktur kognitif yang akan dibangun siswa dalam pembelajaran. Guru yang menganut pandangan konstruktivisme harus memperhitungkan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Siswa yang masuk ke dalam kelas sudah memiliki gagasan-gagasan tentang peristiwa-peristiwa ilmiah. Gagasan-gagasan ini merupakan pengetahuan pribadi, yang terbentuk berdasarkan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan-gagasan siswa ini, berupa pengetahuan awal yang harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar. Dalam model konstruktivis, pengetahuan awal sebagai dasar dalam merencanakan dan mengimplementasikan program pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar berdasarkan model konstruktivis, siswa menjadi pusat pembelajaran. Guru memperhatikan argumen yang dikemukakan oleh siswa. Argumen itu bukan dicari salah atau benarnya melainkan apa alasan siswa mengemukakan argument tersebut. Guru harus bisa menjadi fasilitator dan mediator dalam pembelajaran. Pembelajaran terjadi melalui negosiasi antara guru dengan siswa. Pengetahuan dibangun secara aktif oleh siswa, melalui proses asimilasi dan akomodasi. Data sensori baru yang diberikan guru, akan disesuaikan dengan struktur kognitif yang ada pada diri siswa. Jika data itu sesuai dengan struktur kognitif siswa, maka struktur kognitif siswa akan mengalami penguatan (terjadi proses Asimilasi). Jika sensori baru itu tidak sesuai dengan struktur kognitif siswa bahkan sampai bertentangan,

maka akan menimbulkan disekuilibrasi. Dalam proses pembelajaran disekuilibrasi yang terjadi harus ditanggulangi supaya mencapai ekuilibrasi. Proses disekuilibrasi menjadi ekuilibrasi terjadi melalui proses akomodasi. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut di atas dipandang perlu bagi kami untuk menerapkan pembelajaran yang berpedoman pada pandangan konstruktivisme untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA di SMP yang akam bermuara pada kualitas out put siswanya nanti. 2.3 Hipotesis Tindakan Bertitik tolak dari pembahasan di atas maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Penerapan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dengan bantuan LKS masalah dan dengan menganalisis miskonsepsi dapat mengurangi miskonsepsi siswa pada pokok bahasan suhu dan massa jenis di kelas VIIA SMP negeri 4 Nusa Penida. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Setting Penelitian Penelitian ini dilakukan pada semester I bulan agustus dan september 2007 Tahun pelajaran 2007/2007 karena materi suhu dan massa jenis sesuai dengan kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (Kompetensi dasar dan Satandar Konpenti) muncul di semester I kelas I. Penelitian ini mengambil tenpat di kelas VII A SMP Negeri 4 Nusa Penida karena peneliti sebagai salah satu guru IPA di SMP Negeri 4 Nusa Penida dan Salah satu Guru yang ditunjuk sebagai tim pengajar IPA kelas I pada tahun Pelajaran 2007/2008 oleh sekolah serta kemampuan dan biaya yang dimiliki oleh peneliti maka diambil hanya satu kelas saja. 3.2 Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan seluruh siswa kelas VIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida Semester I tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah 38 orang. 3.3 Sumber Data Sumber data untuk konsepsi siswa didapat dari hasil jawaban siswa terhadap pre test yang di berikan awal pembelajaran dan post tes yang diberikan pada saat akhir pelajaran. Sumber data untuk respons siswa di dapat dari hasil test yang diberikan pada akhir pelajaran. 3.4 Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah dengan cara pemberian tes baik untuk konsepsi siswa maupun respon siswa. Alaat pengumpulan data adalah sebagai berikut :

a. Tes untuk menjaring konsepsi siswa, yang diberikan pada saat pre test dan post test. Tes ini berisikan soal yang menanyakan konsep dengan meminta siswa memberikan alasan dari jawaban yang diberikan, dengan tujuan agar guru dapat mengetahui sejauhmana siswa sudah dapat menguasai konsep tersebut. b. Pertanyaan yang terdapat dalam LKS. Pertanyaan ini memuat apa pendapat siswa tentang permasalah yang diajukan dan pemecahannya. Untuk mengukur sejauh mana siswa mampu memecahkan permasalah yang diberikan. c. Tes respon siswa yang diberikan pada akhir pembelajaran. Tes ini berisikan pernyataan yang bersifat positif maupun negatif tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah. 3.5 Analisis Data Untuk memperoleh kesimpulan dari penelitian ini dilakukan analisis data. Data tentang miskonsepsi siswa dan profil konsepsi siswa baik pre test maupun post test, dianalisis secara deskriptif dan dinyatakan dengan persentase. Criteria keberhasilan terjadinya perubahan konsepsi siswa dari yang masih miskonsepsi menjadi konsep yang ilmiah. Untuk data tentang respon siswa (hasil kuisioner) dianalisis dengan cara memberi skor 1 untuk tidak setuju, 2 untuk setuju dan 3 untuk sangat setuju pada pernyataan yang bersifat positif. Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatife skor 1 untuk sangat setuju, 2 untuk setuju dan 3 untuk tidak setuju. Selanjutnya skor yang diperoleh masing-masing siswa dicari rata-ratanya. Dalam penelitian ini jumlah item kuisioner 20 buah sehingga

skor maksimum 60 dan skor minimum 20. Berdasarkan skor maksimum dan skor minimum maka rata-rata idealnya adalah skor maksimum ditambah skor minimum dibagi dua. Sedangkan standar deviasinya adalah skor maksimum dikurangi skor minimum dibagi enam. Berdasarkan rata-rata ideal dan standar deviasi maka dibuat interval skor dan kualifikasi sebagai berikut : Tabel 01. Pedoman konversi respon siswa. No. 1 2 3 4 5 Interval skor (Mi + 1,5 SDi) (Mi + 3,0 SDi) (Mi + 0,5 SDi) (Mi + 1,5 SDi) (Mi - 0,5 SDi) (Mi + 0,5 SDi) (Mi - 1,5 SDi) (Mi - 0,5 SDi) (Mi - 3,0 SDi) (Mi - 1,5 SDi) Kualifikasi Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang

3.6 Indikator Kinerja Indikator keberhasilan kinerja dalam penelitian ini dapat ditetapkan sebagai berikut. a. Untuk konsepsi siswa indikatornya adalah adanya peningkatan dalam bentuk persentase konsep ilmiah siswa pada saat pre test dibandingkan dengan post test (konsep ilmiah yang dicapai lebih besar pada saat post test dari pada pada saat pre test), sedangkan miskonsepsi siswa mengalami penurunan pada saat pre test dibandingkan dengan post test (miskonsepsi siswa pada saat post test lebih kecil dari pre test). b. Untuk respon siswa dikatakan bagus atau bersifat positif jika berkatagori baik.

3.7 Prosedur Penelitian Pelaksanaan penelitian meliputi beberapa tahap yaitu : A. Perencanaan Penelitian Pada tahap perencanaan penelitian dilakukan kegiatan meliputi : 1. Mengadakan observasi ke Kelas VII SMP Negeri 4 Nusa Penida. Dari hasil observasi dilakukan penelitian dilaksanakan di Kelas VIIA SMP Negeri 4 Nusa Penida dengan alasan, bahwa kemampuan dan biaya yang dimiliki peneliti maka diambil satu kelas saja yaitu kelas VIIA. 2. Menyususn tes untuk menjaring konsepsi siswa. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis miskonsepsi siswa yang berkaitan dengan pokok bahasan suhu dan massa jenis dengan memberi Pre-test. 4. Menyusun program pembelajaran berdasarkan miskonsepsi yang telah teridentifikasi. B. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini meliputi dua siklus dan masing-masing siklus terdiri dari dua kali pertemuan, dengan langkah-langkah setiap siklus terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi dan refleksi seperti pada gambar di bawah,

Siklus 1Siklus 2

Refleksi awal

Refleksi Perencanaan

Observasi

Tindakan

Refleksi Perencanaan

Observasi

Tindakan

Mengadakan analisis/Evaluasi untuk rekomendasi Gambar 3. Paradigma Penelitian Tindakan Kelas (Adaptasi Kemis and McTaggart, dalam Putu Aryana, 2006 :23) Siklus pertama Pokok bahasan pada siklus pertama adalah suhu. I.1 Perencanaan Tindakan Perencanaan tindakan pada siklus pertama meliputi : a. Memilah miskonsepsi siswa (dijaring melalui pre test) yang berkaitan dengan pokok bahasan siklus pertama yaitu : suhu. b. Merancang pembelajaran untuk pokok bahasan pada siklus pertama dengan mempertimbangkan pengalaman dari guru. c. Menyiapkan alat dan bahan pembelajaran berupa LKS dan termometer. d. Menyiapkan alat observasi dan evaluasi. I.2 Pelaksanaan Tindakan Adapun kegiatan yang dilakukan pada saat pelaksanaan tindakan yaitu mengajar di depan kelas dengan kegiatan sebagai berikut :

a. siswa diberikan LKS yang sudah berisi masalah yang akan dipecahkan siswa. Selanjutnya siswa disuruh membentuk kelompok untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam LKS. Setelah selesai berdiskusi masing-masing kelompok diharuskan untuk melaporkan hasil diskusi yang mereka lakukan dan kelompok yang lain menanggapinya atau memberikan masukan tentang hal yang disampaikan oleh temannya. Terakhir baru guru memberikan kesimpulan dari hasil diskusi tersebut. b. Setelah selesai diskusi berdasarkan hasil diskusi, guru memberikan penjelasan tambahan mengenai materi yang lain selaian cangkupan masalah yang terdapat dalam LKS dan sesekali guru memberikan permasalahan tambahan untuk dipecahkan oleh siswa. I.3 Observasi/Evaluasi Tindakan Pada tahap observasi dan evaluasi tindakan dilakukan kegiatan meliputi: a. Mengamati tingkah laku siswa dalam proses pembelajaran. b. Mencatat segala perkembangan yang dimiliki oleh siswa. I.4 Refleksi Siklus. Dari hasil observasi dan evaluasi siklus pertama akan didapatkan hasil bagaimana pelaksanaan siklus pertama. Hal ini akan dipakai refleksi pada siklus kedua. Refleksi mengenai keberhasilan yang telah

dicapai, akan tetap dipertahankan pada siklus kedua. Melalui wawancara (interviu) dengan beberapa siswa kemudian hasilnya dianalisis apa yang menyebabkan keberhasilannya. Sedangkan beberapa siswa yang belum berhasil juga diwawancarai (interviu) apa penyebab atau kendala yang mereka hadapi dalam pembelajaran untuk dilakukan perbaikan pada siklus kedua. Siklus Kedua. Pokok bahasan pada siklus Kedua adalah Massa Jenis I.1 Perencanaan Tindakan Perencanaan tindakan pada siklus kedua meliputi : a. Memilah miskonsepsi siswa (dijaring melalui pre test) yang berkaitan dengan pokok bahasan siklus kedua yaitu : Massa Jenis. b. Merancang pembelajaran untuk pokok bahasan pada siklus kedua dengan mempertimbangkan hasil observasi dan evaluasi pada siklus pertama c. Menyiapkan alat dan bahan pembelajaran berupa LKS dan sepotong kayu. d. Menyiapkan alat observasi dan evaluasi. I.2 Pelaksanaan Tindakan

Adapun kegiatan yang dilakukan pada saat pelaksanaan tindakan yaitu mengajar di depan kelas dengan kegiatan sebagai berikut : a. siswa diberikan LKS yang sudah berisi masalah yang akan dipecahkan siswa. Selanjutnya siswa disuruh membentuk kelompok yang berbeda dengan kelompok pada siklus pertama untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam LKS. Setelah selesai berdiskusi masing-masing kelompok diharuskan untuk melaporkan hasil diskusi yang mereka lakukan dan kelompok yang lain menanggapinya atau memberikan masukan tentang hal yang disampaikan oleh temannya. Terakhir baru guru memberikan kesimpulan dari hasil diskusi tersebut. b. Setelah selesai diskusi berdasarkan hasil diskusi, guru memberikan penjelasan tambahan mengenai materi yang lain selaian cangkupan masalah yang terdapat dalam LKS dan sesekali guru memberikan permasalahan tambahan untuk dipecahkan oleh siswa. I.3 Observasi/Evaluasi Tindakan Pada tahap observasi dan evaluasi tindakan dilakukan kegiatan meliputi: c. Mengamati tingkah laku siswa dalam proses pembelajaran. d. Mencatat segala perkembangan yang dimiliki oleh siswa. I.4 Refleksi Siklus.

Dari hasil observasi dan evaluasi siklus kedua tidak akan dilakukan refleksi, karena sudah merupakan akhir pelaksanaan tindakan. Hasil yang didapat tetap dianalisis kebaikan dan kelemahannya, yang akan dipakai refleksi penelitian. C. Tahap evaluasi Penelitian Tahap akhir dalam penelitian ini adalah setelah selesai

pembelajaran (siklus kedua), dilakukan kegiatan meliputi : 1. Pemberian tes, berupa post test 2. Pemberian kuisioner untuk menjaring pendapat siswa terhadap tindakan yang dilakukan. D. Tahap refleksi penelitian Dari observasi dan evaluasi yang dilakukan pada seluruh proses penelitian ini, bisa dipakai acuan dalam penelitian-penelitian sejenis. Kendala-kendala yang dihadapi selama proses penelitian dan sekaligus perbaikannya (apakah berhasil atau tidak) dipakai refleksi untuk penelitianpenelitian lain yang sejenis. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Proses Penelitian. Dalam penelitian ini peneliti sebagai pengajar karena untuk kelas I tahuan pelajaran 2007/2008 peneliti sebagai tim pengajar IPA. Tetapi karena kami mengajar IPA dalam bentuk Tim peneliti sering dibantu oleh anggota tim yang lain sebagai pengawas dibelakang atau sebagai pembantu dalam membimbing siswa untuk melakukan diskusi. Untuk tes menjaring konsepsi siswa diberikan sebelumnya sehingga dapat dianalisis untuk membuat rancangan pembelajaran. Siklus Pertama. Pada siklus pertama pokok bahasan yang diajarkan adalah suhu dengan dua kali pertemuan. Sebelum pembelajaran dimulai peneliti menjelaskan tentang lembar kerja siswa dengan permasalahan Sakit Panas (yang sudah dibagikan sebelumnya), secara klasikal tentang apa yang diminta dan apa yang harus siswa lakukan sehingga tidak melenceng dari tujuan yang ingin dicapai. Permasalahan yang ada di lembar kerja siswa harus disimak dengan baik-baik sehingga dapat menjawab pertanyaan yang ada di lember kerja siswa. Pada awal pembelajaran siswa diminta membuat kelompok berdasarkan tempat duduknya, karena jumlah siswa 38 orang maka dibagi menjadi 7 kelompok selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan kembali lembar kerja siswa. Dalam diskusi peneliti dan guru tim IPA yang lain berkeliling untuk mengawasi jalannya diskusi supaya tujuan dapat tercapai secara maksimal. Setelah lima belas menit berlangsung masing-masing kelompok diminta

menyampaikan hasil diskusinya dimulai dari kelompok yang mengangkat tangan terlebih dahulu dan kelompok yang lain menanggapi atau memberikan tambahan dari apa yang disampaikan oleh kelompok yang lain sedangkan peneliti menginventaris jawaban dari masing-masing kelompok di papan secara ringkas dan berdasarkan ragam jawaban yang ada. Setelah selesai diskusi peneliti menjelaskan tentang pengertian suhu berdasarkan inventaris jawaban siswa di papan dicari pembenar atau diperbaiki bahkan diberi kontroversinya supaya siswa dapat lebih mengerti. Setelah pengertian suhu baru dijelaskan tentang thermometer yaitu mengenai titik tetap atas, titik tetap bawah dan skala serta zat cair pengisi termometer sambil juga memberikan permasalahan tambahan agar siswa lebih mengerti dan dapat menerima pelajaran dengan baik. Pertemuan kedua peneliti menjelaskan tentang skala empat termometer yaitu Celsius, Reamur, Fahrenheit dan Kelvin. Awal pembelajaran siswa diberikan permasalahan sebagai berikut : Peneliti ambil ember karena di sekolah tidak ada termometer, maka termometer hanya diandaikan, jika benda yang ada diember diukur dengan dua termometer yang berbeda misalnya Celsius dan Reamur apakah menunjukkan angka atau skala yang sama, kenapa ? Siswa sudah dapat menjawab berbeda tapi tidak dapat membuat alasan yang tepat, sehingga peneliti memberikan penjelasan tambahan Refleksi Siklus Pertama

Hal-hal yang ditemukan dalam siklus pertama adalah siswa sudah mampu berdiskusi sehingga sudah mendapatkan hasil yang disampaikan dalam diskusi kelas, siswa sudah mampu memanfaatkan buku sumber yang lain disamping LKS yang disarankan untuk mendapatkan informasi tambahan agar diskusi yang mereka lakukan yang terbaik, munculnya persaingan yang sehat agar hasil pendapat yang mereka lakukan yang terbaik dan benar. Dari hasil observasi yang dilakukan dengan cara menanyakan langsung dengan siswa di dapat dari LKS yang diberikan berisikan permasalahan yang menarik bagi siswa, hal-hal ini akan berusaha dipertahankan pada siklus kedua. Hal-hal lain yang ditemukan dalam siklus pertama adalah ada siswa yang terkesan enggan melakukan diskusi hal ini disebabkan oleh teman yang sekelompok sudah melakukannya dan dia merasa temannya itu lebih mampu dari dirinya serta tugas itu dikerjakan secara kelompok. Hal ini akan diperbaiki pada siklus kedua dengan cara memberikan perhatian yang bersifat menyeluruh kepada semua siswa dan juru bicara masing-masing kelompok ditentukan oleh peneliti sehingga mereka semua merasa bertanggung jawab atas hasil diskusi serta memanfaatkan lebih banyak tim pengajar IPA untuk dapat ikut mengawasi siswa terutama kelompok yang aktivitas atau pergerakannya lebih banyak (ribut). Hal ini disebabkan karena siswa yang tergolong nakal dikumpulkan jadi satau kelompok karena kelompoknya memilih sendiri. Hal ini akan diperbaiki pada siklus kedua dengan cara pembagian kelompok dilakukan peneliti sendiri sehingga mendapatkan kelompok yang berbeda dengan pada siklus pertama.

Siklus Kedua Pokok bahasan pada siklus kedua yaitu massa jenis yang terdiri dari 2 kali pertemuan. Sebelum pembelajaran siswa sudah diberikan Lembar Kerja Siswa yang berisikan tentang Ombak Besar. Pertemuan pertama siswa diminta berdiskusi kelompok tentang permasalahan yang sudah diberikan melalui Lembar Kerja Siswa dengan pembentukan kelompok diatur oleh peneliti supaya diskusi dapat berjalan lebih baik serta lebih banyak memenfaatkan tim pengajar IPA supaya anak-anak dapat terkontrol. Setelah lima belas menit berdiskusi kelompok, masing-masing kelompok menyampaikan hasil diskusi dan kelompok yang lain menanggapinya. Hasil diskusi yang didapat dari diskusi ini belum dapat menjawab permasalahan yang diajukan, walaupun kelompok satu sudah dapat menyebutkan tantang massa jenis tetapi belum tepat, sehingga peneliti memberikan penjelasan tentang massa jenis sampai pada konsep terapung, melayang, dan tenggelam yang dikaitkan dengan massa jenis. Setelah itu baru dijelaskan bahwa konsep massa jenis ini dapat menjawab tentang permasalahan yang diajukan tadi. Kemudian peneliti memberikan pertanyaan tambahan tentang konsep massa jenis yaitu jika suatu kayu yang panjang dipotong-potong menjadi beberapa bagian apakah massa jenisnya berbeda atau tidak, tetapi kebanyakan siswa menjawab berbeda karena massanya berbeda. Untuk menjawab pertanyaan ini maka akan dilakukan demonstrasi pada pertemuan kedua.

Pertemuan berikutnya dilakukan dengan demonstrasi yaitu sepotong kayu yang agak panjang dimasukkan ke dalam air, ternyata terapung. Setelah itu kayu itu ditimbang dan diukur volumenya. Kemudian kayu tersebut dipotong-potong dengan ukuran yang berbeda, kemudian dimasukkan dalam air ternyata semuanya terapung. Hal ini dijelaskan peneliti bahwa kayu yang panjang massa jenisnya lebih kecil dari massa jenis air sedangkan kayu yang ukuran lebih kecil tadi juga memiliki massa jenis lebih kecil karena sama-sama terapung. Selanjutnya kayu yang ukuran kecilkecil ditimbang dan diukur volumenya, kemudian dari data yang tadi semua kayu dihitung massa jenisnya. Hasil yang didapat ternyata massa jenisnya hampir sama hanya memiliki perbedaan 0,01 saja, sehingga siswa diminta memberikan kesimpulan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa orang. Barulah siswa dapat memahami bahwa kayu yang dipotong-potong tidak mempengaruhi massa jenis atau massa jenisnya tetap. Selanjutnya supaya lebih mengerti peneliti memberikan analogi tentang massa jenis dengan kerapatan orang di dalam kelas, sehingga menambah pemahaman siswa tengtang massa jenis menjadi lebih sempurna. Repleksi Siklus Kedua. Hal-hal yang ditemukan dalam siklus kedua ini adalah siswa masih tidak cakap dalam melaksanakan diskusi ini dapat dilihat dari tidak adanya interaksi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Bahkan peneliti sudah menunjuk satu persatu kelompok untuk memberikan tanggapan tetapi tidak ada respon bahkan karena diharuskan siswa menanggapinya dengan pernyataan yang sama dengan jawaban yang didapat dari hasil diskusi kelompoknya tadi.

Hal lain yang ditemukan adalah situasi ribut sudah bisa dikurangi tetapi kalau siswa diminta untuk mengemukakan pendapat secara mandiri, semua siswa ingin mengemukakan pendapat walaupun ada pendapat yang ngawur tetapi harus ditanggapi kalau tidak terciptalah situasi yang ribut. Repleksi Penelitian. Sesuai dengan hail evaluasi dan observasi yang dilakukan didapatkan bahwa siswa sudah dapat menerima pelajaran IPA tetapi mereka masih belum bisa berdiskusi secara benar dan berinteraksi lebih banyak dengan temannya. Hal ini dapat diatasi dengan adanya latihan lebih banyak diskusi yang melibatkan semua guru di sekolah. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama siswa sudah dapat berdiskusi dan berinteraksi dengan teman-temannya lebih banyak dan sering sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik. 4.1.2 Profil Konsepsi siswa Profil konsepsi siswa baik itu pada saat pre tes maupun post tes terlihat seperti tabel di bawah A. Siklus pertama. 1. Apa yang dimaksud dengan suhu ? Persentase No. Jawaban Siswa Pre test Post test Mis KI Mis KI 1 Suatu besaran yang menyatakan derajat panas suatu 52,5 92,1

2 3 4

benda Besaran yang dapat diukur dengan termometer 13,2 Panas suatu benda 13,2 Suatu besaran yang menyatakan panas/ dingin suatu21,1 benda Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi 47,5 52,5 4

2,6 5,3 7,9 39,6 92,1 3

2. Apa yang digunakan untuk mengukur suhu ? Persentase Pre test Post test Mis KI Mis KI 89,5 97,4 10,5 2,6 10,5 89,5 2,6 97,4 2 2 7,9

No. 1 2

Jawaban Siswa Termometer Thermometer Celsius, reamur, fahrenheit Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi

3. Jika dalam ruangan terdapat kaca dan berbingkai kayu. Manakah yang lebih besar suhu kaca dengan suhu bingkai kayu ? a. kayu b. kaca c. sama semuanya alasannya .. Persentase Pre test Post test Mis KI Mis KI 7,9 15,8 2,6 2,6 2,6

No.

Jawaban Siswa

1 2 3 4 5 6 7

a. Kayu dengan alasan : - Bingkai kayu lebih besar 2,6 - kayu menyerap panas 2,6 - Kena sinar matahari - Kayu benda tebal - Kayu tidak bisa ditembus sinar matahari - kaca dapat ditembus sinar matahari jika kayu tidak b. Kaca dengan alasan : - kaca menyerap sinar matahari 5,3

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

- kaca terbuat dari marmer 5,3 - kaca tidak mendapat suhu 2,6 - kaca lebih mengembang jika kena panas 7,9 - kayu ada celahcelah sedangkan kaca tidak 7,9 - kaca kena panas lebih banyak 39,5 - sinar matahari bisa menembus kaca 5,3 - suhu kaca lebih besar 2,6 - pembiasan kaca lebih keras dari pada pembiasan2,6 kayu - Panas melekat keras di kaca dari pada di kayu 5,3 - kaca lebih tipis dari kayu 2,6 - Kaca menentukan panas c. sama semuanya. - memiliki tekanan 5,3 - karena sama 2,6 - Sama-sama berada dalam ruangan (dalam keadaan suhu setimbang) - Suhu pada kaca merambat ke kayu - Memiliki panas yang sama - Kaca tembus sinar matahari Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi

2,6 2,6 7,9 36,8 5,3 2,6 7,9 63,2 36,8

100

0 15

36,8 12

4. Jika air di dalam gelas diukur dengan thermometer Celsius dan reamur. Maka akan menunjukkan angka (skala ) yang .. a. Sama b. Berbeda Alasannya Persentase Pre test Post test Mis KI Mis KI 2,6 2,6

No.

Jawaban Siswa

1 2 3

a. Sama dengan alasan : - karena diukur menggunakan termometer 2,6 b. berbeda - Tanpa alasan 5,3 - Termometer Celsius lebih besar dari thermometer13,2

4 5 6 7 8 9 10

reamur - Termometer Celsius berbeda dengan thermometer5,3 reamur - perbandingan besar thermometer berbeda 2,6 - kekuatan kedua thermometer berbeda 2,6 - angka thermometer berbeda 5,3 - alat ukur thermometer berbeda 2,6 - titik didihnya berbeda - termometer Celsius untuk mengukur badan2,6 sedangkan thermometer reamur untuk mengukur

7,9

2,6

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

suhu kamar - alatnya berbeda - angka Celsius lebih besar - titik didih air berbeda - tekanannya tidak sama - satuannya berbeda - termometer Celsius dan reamur skalanya berbeda - suhu Celsius lebih tinggi - skalanya lebih besar - jaraknya berbeda - Memiliki skala yang berbeda - Nilainya berbeda Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi

2,6 2,6 2,6 5,3 5,3 5,3 2,6 7,9

21,1 2,6 15,8

2,6 36,8 86,8 13,2 18 10,5 60,6 26,2 39,4 9

B. siklus kedua 5. Kenapa plastik terapung di air ? Persentase Pre test Post test Mis KI Mis KI 21,1 26,3 2,6 52,6 2,6 2,6 2,6 2,6 5,3 21,1

No. 1 2 3 4 5 6 7

Jawaban Siswa Daya tekan plastik lebih kecil dari pada air Plastik tidak memiliki tekanan Daya tekan air lebih besar dari pada plastik Suhu plastik lebih rendah Tekanan angina di air lebih besar Plastik ringan tidak memiliki tekanan Plastik ringan

8 9 10 11 12 13 14 15

Plastik memiliki lubang atau celah-celah 2,6 Plastik tidak memiliki tekanan 2,6 Plastik benda yang sangat tipis 2,6 Berat benda lebih ringan dari pada tekanan keatas 5,3 Plastik tidak mudah ditembus air 2,6 Plastik mengandung butiran-butiran udara yang2,6 menempel pada plastik Massa jenis plastik lebih kecil Plastik lebih ringan Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi

2,6

47,4 100 0 13 18,4 52,6 47,4 47,4 6

6. Kenapa kalau air dicampur dengan dengan minyak tanah tidak mau tercampur bahkan minyak tanah selalu berada di atas air? Persentase Pre test Post test Mis KI Mis KI Air memiliki suhu yang berbeda 2,6 Minyak tidak mau larut dalam air 21,1 10,5 Minyak tanah mengandung gas pembakaran 2,6 Air dan minyak tanah berbeda 2,6 Minyak tanah mengandung zat kimia 7,9 Air lebih berat dari pada minyak 15,8 Minyak tanah banyak mengandung cairan-cairan2,6 Jawaban Siswa tertentu Tekanan air lebih besar 26,3 Dorongan dari bawah air lebih besar 2,6 Minyak lebih ringan 7,9 Minyak dan air mempunyai tekanan sendiri-sendiri 2,6 Air agak berat 2,6 Daya tekan minyak ke bawah lebih besar dari pada2,6 daya tekan ke atas Massa jenis minyak lebih kecil Derajat minyak tanah lebih kecil Tekanan minyak jauh lebih besar Jumlah Jumlah Konsepsi Penurunan Miskonsepsi 2,6

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

57,9 100 0 13 2,6 2,6 42,5 57,5 57,5 5

7. Sepotong kayu yang panjangnya 1 meter dimasukkan air ternyata kayu itu terapung. Jika kayu itu dipotong menjadi tiga bagian, satu bagian 5 cm disebut kayu A satu bagian 15 cm disebut kayu B dan satu bagian lagi dipotong 80 cm disebut kayu C, Jika ketiga bagian kayu ini dimasukkan ke dalam air maka a. Kayu