28
TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI SOSIAL PENGARUH SOSIAL KONFORMITAS, COMPLIANCE, DAN OBIDIENCE DISUSUN OLEH: 1. SELY ANANDA 46112010018 2. DESI NURMALASARI 46112010099 3. ALITA DESTIYAMDA PERTIWI 46112010060 UNIVERSITAS MERCUBUANA FAKULTAS PSIKOLOGI

Psikologi sosial pengaruh sosial-kelompok 10

  • Upload
    sely-ai

  • View
    5.447

  • Download
    13

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Mata Kuliah Psikologi Sosial Pengaruh Sosial (Konformitas, Compliance, dan Obidience) Disusun Oleh : 1. Sely Ananda 2. Desi Nurmalasari 3. Alita Destyanda Pertiwi Universitas Mercubuana Fakultas Psikologi

Citation preview

TUGAS MATA KULIAH

PSIKOLOGI SOSIAL

PENGARUH SOSIAL

KONFORMITAS, COMPLIANCE, DAN OBIDIENCE

DISUSUN OLEH:

1. SELY ANANDA 46112010018

2. DESI NURMALASARI 46112010099

3. ALITA DESTIYAMDA PERTIWI 46112010060

UNIVERSITAS MERCUBUANA

FAKULTAS PSIKOLOGI

Jl. Raya Meruya Selatan Kembangan, Jakarta Barat 11650

2013

Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari pengaruh sosial (social influence) yang akan mempengaruhi bagaimana ia bertingkah laku dalam lingkungannya. Secara definitif, pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnya (Caldini, 1994 dalam Sarworno & Meinarno, 2012). Seperti definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Contohnya saja ketika seorang wanita dari kalangan keluarga pesantren yang sangat taat, dan menjunjung tinggi nilai bahwa wanita harus segera dinikahkan ketika dewasa agar tidak menimbulkan fitnah meskipun wanita tersebut sebenarnya ingin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi namun karena pengaruh sosial yang sangat kuat terhadap dirinya maka ia tidak dapat mempengaruhi lingkungan sosialnya dalam mengambil keputusan tetapi lingkungan sosialnyalah yang mempengaruhi ia dalam mengambil keputusan.

Pengaruh sosial amat kuat dan pervasif terhadap individu (Sarwono & Meinarno, 2012), karena hal inilah individu berusaha untuk menahan control dirinya yang tidak sesuai dengan keingininan kelompok sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam mengambil sebuah keputusan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya.

Pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap prilaku individu (Sarwono & Meinarno, 2012), Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial. Namun sayang nya, kecendrungan untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosial tidak selalu berarti positif karena bisa saja suatu individu mengikuti norma-norma yang berlaku dalam lingkungan sosial yang berprilaku negatif. Seperti konformitas pada prilaku perkelahian pelajar.

Terdapat tiga tipe penaruh sosial yaitu: konformitas, kepatuhan, dan ketundukan pada otoritas.

A. KONFORMITAS

Secara sadar maupun tidak, individu pada dasarnya cenderung untuk mengikuti aturan-aturan yang terdapat di lingkungan sosialnya. Seperti ketika seseorang memilih pakaian yang sama dengan orang lain dalam lingkungannya karena mengikuti tren berpakaian yang ada di lingkungannya, padahal orang tersebut bisa saja tidak memilih pakaian yang sama dengan orang lain jika ia mau tetapi ia memilih untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang disekitarnya agar sesuai dengan prilaku orang lain dan hal inilah yang disebut dengan konformitas (conformity).

Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Ketika seseorang ada dalam suatu kelompok sosial, pasti ia akan mengikuti norma sosial yang ada di dalam kelompok social tersebut hal ini dilakukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya untuk dapat bertahan hidup. Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku (Saworno & Meinarno, 2012). Norma social dapat berupa injunctive norms, yaitu hal apa

yang seharusnya kita lakukan dan descriptive norms, yaitu hal apa yang kebanyakan orang lakukan.

Injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit, misalnya setiap mahasiswa di Universitas Mercubuana harus memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan setiap mahasiswa harus menggunakan sepatu tertutup ketika berada di lingkungan kampus atau peringatan tidak boleh merokok pada area kampus. Jadi injuctive norms adalah norma yang dinyatakan secara tegas dan memiliki sangsi ketika tidak dilakukan. Sedangkan descriptive norms biasanya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara tegas dan tertulis. Misalnya saja ketika hari Raya Lebaran sudah menjadi tradisi untuk bermaaf-maafan, atau ketika kita menjenguk orang sakit kita biasanya membawa buah-buahan.

Norma juga bisa jadi mendetail dan eksplisit, lihat saja perbedaan norma nikah pada adat Islam dan adat Jawa. Jika dalam adat Islam norma nikahnya adalah adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi minimal dua orang, dan dilakukan akad nikah maka pernikahan dapat dikatakan sah. Tetapi adat Jawa memiliki norma nikah yang lebih mendetail dan lebih eksklusif, dalam adat Jawa terdapat malam midodareni dan siraman pada malam sebelum pernikahan. Saat siraman air yang digunakan harus terdapat kembang tujuh rupa untuk kedua mempelai dan sebagian air siraman dari mempelai wanita harus diantarkan kepada mempelai pria untuk kemudian digunakan kepada mempelai pria. Pada saat akad nikah, orang tua calon pengantin pria/wanita tidak hadir. Sedangkan saat prosesi menuju pelaminan ada kegiatan injak telur, balangan, dan kacar-kucur.

Manusia dapat mengikuti norma sosial karena adanya tekanan-tekanan untuk berprilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial yang ada, tekanan tersebut juga dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Misalnya ketika dua orang yang sudah sepakat untuk menikah secara sederhana tanpa rumit dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap menjelang pernikahan Karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya yang menginginkan untuk melangsungkan pernikahan dengan cara adat tertentu.

Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2008 dalam Sarwono & Meinarno, 2012), hal ini dapat dilihat ketika sebuah masjid disuatu daerah mengadakan penggalangan dana untuk korban bencana alam, dapat dilihat bahwa beberapa orang melihat berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya dan cendrung untuk mengikuti berapa besar sumbangan yang diberikan oleh tetangganya. Atau ketika penggunaan smartphone Blackberry mulai menyebar, sebelumnya hanya masyarakat lapisan menengah atas yang menggunakan smartphone Blackberry tetapi kemudian merambah ke lapisan masyarakat yang lain, yang dapat dikatakan bahwa terjadi konformitas yang memiliki tujuan agar dapat disukai dan dapat bertindak benar menurut kelompok sosialnya. Terdapat beberapa riset awal mengenai konformitas dalam psikologi social, antara lain penelitian dari Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dan Salomon Asch (1951, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

Dalam riset yang dilakukan oleh Muzafer Sherif (1936 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) tentang autokinetic phenomenon, beberapa mahasiswa pria yang menjadi partisipan diminta untuk duduk diruang gelap dan melihat satu titik cahaya. Sebelumnya setiap mahasiswa diberi tahu bahwa titik tersebut bergerak dan tugas mereka adalah memperkirakan

berapa jauh cahaya tersebut bergerak. Sebagian besar partisipan merasa kesulitan untuk membuat perkiraan karena menurut mereka cahaya tersebut bergerak dalam kecepatan bervariasi dan ke arah yang berbeda. Sebenarnya, penelitian tersebut menggunakan ilusi perseptual yang disebut “efek autokinetik”: salah satu titik cahaya yang terlihat dalam gelap tampak seperti bergerak, meskipun sesungguhnya cahaya itu tetap diam di tempat. Karena ambiguitas situasi ini, para partisipan tidak dapat memastikan penilaiannya. Banyak partisipan yang mengatakan bahwa cahaya tersebut bergerak sekitar 1 atau 2 inci tetapi ada pula partisipan yang beranggapan bahwa cahaya tersebut bergerak sejauh 800 kaki, hal ini terjadi mungkin karena partisapan tersebut mengira bahwa ia berada dalam ruangan gymnasium.

Dalam serangkaian eksperiamen yang Sherif lakukan, ia membagi kelompok dalam dua atau tiga orang. Dalam eksperimen tersebut partisipan diminta untuk mengatakan perkiraannya dengan keras segera ketika cahaya diperlihatkan. Dalam percobaan pertama, umumnya jawaban para partisipan beragam. Tetapi ketika berulangkali dilakukan percobaan, jawaban para partisipan menjadi semakin sama. Dalam hal ini para partisipan mempertimbangangkan jawaban lain dari dalam kelompok mereka. Apa yang ingin di perlihatkan Sherif dalam eksperimen ini adalah kemunculan norma atau standar kelompok untuk menilai cahaya tersebut. Akhirnya, ketika partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan sendiri tanpa adanya kelompok jawaban mereka tetap terpengaruh oleh jawaban yang diberikan oleh kelompok mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat kemunculan suatu norma social saat kelompok pertemanan kita mulai membuat aturan mengenai tempat yang rutin dikunjungi ketika selesai kegiatan perkuliahan, atau dalam gaya berpakaian dan berprilaku.

Dalam eksperimen lain yang dilakukan oleh Sherif, dia melakukan variasi lain yaitu dengan cara partisipan memberi penilaian dalam satu kelompok yang terdiri dari dua orang. Tetapi, sebenarnya hanya satu orang yang menjadi partisipan rill; sedangkan orang kedua sebenarnya adalah periset yang membantu peneliti untuk memberikan penilaian yang lebih tinggi atau lebih rendah dari penilaian partisipan rill. Dalam kondisi ini, partisipan rill mulai memberi penilaian yang lebih mendekati penilaian periset. Jika misalnya pada percobaan pertama partisipan rill memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut bergerak antara 10 sampai 15 inci dan periset memberikan penilaian bahwa cahaya tersebut hanya bergerak sejauh 2 sampai 3 inci maka pada percobaan berikutnya partisipan rill akan cendrung menurunkan penilaiannya. Pada akhirnya, penialain partisipan rill akan sama dengan penilaian periset tersebut. Dalam eskperimen ini Sherif telah membuktikan bahwa dalam situasi yang tidak pasti dan ambigu, orang cendrung menyesuaikan diri dengan norma yang dibangun oleh rekannya yang lebih konsisten. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat ketika seorang anggota baru dalam kelompok kemahasiswaan akan mengikuti cara berprilaku dan cara berpakaian anggota lain yang sudah lebih dulu ada dalam kelompok tersebut.

Salomon Asch (1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) dalam penelitiannya ingin mengetahui apakah konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, seperti yang ditunjukan oleh penelitian Sherif, dimana orang tidak mengetahui apakah jawab yang benar. Apakah orang akan menyesuaikan dirinya jika situasi stimulusnya pasti atau jelas? Asch berpendapat bahwa ketika orang menghadapi situasi yang tidak ambigu, mereka akan percaya pada persepsinya sendiri dan memberi penilaian yang independen, bahkan ketika anggota lain dari

kelompoknya tidak setuju dengannya. Asch melakukan penelitian untuk menguji hipotesisnya tesebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asch, partisipannya adalah lima orang mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam studi tentang persepsi. Para pastisipan tersebut diminta duduk di sekitar sebuah meja dan diberi tahu bahwa mereka harus menilai panjang garis. Mereka diberikan dua kartu, satu kartu berisi garis “standar” dan kartu kedua berisi tiga kartu berbeda yang salah satunya sama panjangannya dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu pertama. Parisipan diminta untuk memilih garis mana yang panjangannya sama dengan garis “standar” yang terdapat pada kartu pertama.

Lima partisipan diminta untuk menjawab dengan mejawab dengan suara keras secara bergiliran sesuai dengan urutan tempat duduknya ketika garis di tunjukan kepada meraka, orang pertama memberikan jawaban selanjutanya orang kedua dan seterunya sampai orang kelima. Karena penilaian pada percobaan pertama mudah, maka tidak ada perbedaan jawaban antara partisipan. Ketika semua partisipan sudah memberikan jawaban, selanjutnya diberikan kembali satu set kartu kedua, dan mereka menjawab lagi, dan kemudian diberikan lagi satu set kartu ketiga.

Pada titik ini, eksperimen tersebut tampaknya membosankan dan tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi pada percobaan eksperimen ketiga, partisipan pertama melihat garis tersebut secara lebih teliti dan kemudian memberi jawaban yang keliru. Partisipan selanjutnya juga memberi jawaban yang salah, begitupun dengan partisipan ketiga dan keempat. Partisipan kelima tampak merasa penasaran, dia jelas melihat bahwa keempat partisipan sebelumnya memberi jawaban yang salah. Misalnya jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi keempat partisipan sebelumnya memilih jawaban garis 1. Partisipan kelima mengetahui bahwa jawaban yang benar adalah garis 2, tetapi sepertinya semua orang memilih garis 1 sebagai jawaban yang benar.

Dalam situasi ini, kadang-kadang partisipan kelima memberikan jawaban yang salah seperti keempat partisipan lain meskipun ia tahu bahwa jawaban itu salah. Sebagian partisipan memberi jawaban salah dalam 35% dari seluruh jumlah percobaan. Beberapa partisipan tidak memberikan jawaban yang salah, dan sebagian lagi memberi jawaban yang selalu salah. Biasanya dari tiga orang partisipan, satu orang memberikan jawaban yang salah. Sebenarnya dalam eksperimen ini situasinya sudah direkayasa. Empat partisipan pertama adalah pembantu peneliti dan mereka sudah diminta untuk memberikan jawaban sesuai permintaan peneliti. Tetapi, partisipan real tidak mengetahui hal tersebut, dan ikut – ikutan memberi jawaban yang salah.

Penting untuk mengingat penilaian seperti ini. Perkiraan bahwa subjek yang memberikan jawaban tidak yakin dengan jawaban yang benar dan juga karena dipengaruhi oleh orang lain. Tetapi pemikiran ini salah. Partisipan disini cukup yakin pada jawaban yang benar dan ketika tidak ada tekanan kelompok dia selalu memilih jawaban yang benardalam percobaan. Mereka ikut menyesuaikan diri meski mereka tahu mana jawaban yang benar.

Jumlah konformitas yang ditemukan dalam studi yang dilakukan Asch terhadap mahasiswa di AS belum dapat dikatakan tinggi atau rendah. Kebanyakan partisipan menyesuaikan diri setidaknya sekali selama eksperiment berlangsung. Disisi lain, kebanyakan jawaban yang diberikan oleh partisipan adalah benar meski terdapat tekanan kelompok. Dalam hal ini jelas ada konformitas, tetapi itu independent dari penilaian. Asch

tampaknya melihat bahwa ia hanya menemukan sedikit konformitas dalam penelitiannya ini dan karena itu dia merasa agak cemas : “Kami menemukan tendensi kuat untuk melakukan konformitas dimasyarakat kita, dan bahkan sangking kuatnya orang-orang muda yang cerdas tampaknya bisa terpengaruh karenanya” (Asch, 1955 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

Penelitian Asch memicu timbulnya banyak studi lain mengenai konformitas. Riset telah menunjukan efek konformitas yang sama pada berbagai tugas eksperimen, seperti mengevaluasi pernyataan opini, pernyataan fakta, dan silogisme logis (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dengan kata lain, terlepas dari stimulus yang diberikan dan kejelasan jawaban yang benar ketika individu dihadapkan pada penilaian kelompok yang seragam, tekanan mayoritas dari kelompok akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya.

Myres (1988 dalam Saworno & Meinarno, 2012) membagi konformitas menjadi dua bentuk, yaitu:

1. Konformitas compliance, dalam bentuk konformitas ini individu bertindak sesuai dengan tekanan kelompok. Meskipun sebenarnya dirinya sendiri tidak menyetujui tindakan tersebut. Pada konformitas compliance, individu berusaha menghindari penolakan kelompok dan mengharapkan penerimaan kelompok (normative influence).

2. Konformitas acceptance, dalam bentuk konformitas ini tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Pada konformitas acceptance, konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu (informational influence).

Seorang individu memiliki kencendrungan untuk menyesuaikan diri meskipun tidakan tersebut bertentangan dengan persepsinya sendiri secara personal. Dalam banyak kasus, banyak individu yang memiliki anggapan bahwa persepsi kelompoknya salah sedangkan persepsinyalah yang benar. Tetapi ketika individu tersebut diminta untuk memberikan jawaban terbuka, mereka cenderung untuk memberikan jawaban kelompok yang bahkan menurut mereka salah. Kecenderungan untuk melakukan konformitas sebenarnya tidak selalu pada hal-hal positif, tetapi juga konformitas terhadap hal-hal yang negative. Seperti yang terjadi pada perkelahian pelajar, dalam perkelahian pelajar dapat dilihat bahwa manusia cendrung untuk melakukan konformitas pada hal-hal negatif. Terdapat beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengkaji masalah perkelahian pelajar tersebut, seperti penelitian yang dilakukan oleh Soekadji, dkk (1992, dalam Sarwono & Meinarno, 2012) yang mengatakan bahwa perkelahian pelajar terjadi karena siswa-siswa baru suatu SMU mewarisi tradisi perkelahian tersebut dari kakak-kakak kelas mereka. Biasanya siswa-siswa baru tersebut diindoktrinasi oleh kakak kelas mereka, indoktrinasi disini maksudnya adalah meraka harus mau membela kawan sekolah mereka dimana pun, kapan pun, dan dengan cara apapun. Dan apabila mereka melakukan penolakan terhadap hal tersebut, maka mereka akan mendapatkan hukuman berupa kekerasan fisik dan dikucilkan oleh teman-teman sekolahnya. Karena adanya tekanan dari kelompok sosialnya, sehingga mereka pun melakuakan perkelahian antar pelajar.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ronni Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012), sample penelitiannya adalah siswa pelajar SMU yang menjadi pelaku perkelahian pelajar dengan rentang usia 15-19 tahun dan pernah terlibat perkelahian pelajar delam 6 bulan terakhir. Dengan 60 partisipan Rambe mengukur dengan menggunakan alat ukur konformitas

dan menggunakan selfesteem inventory dari Coopersmith. Hasil penelitian yang dilakukan Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) tidak menunjukan adanya hubungan antara konformitas dengan harga diri yang dimiliki pelajar yang terlibat perkelahian, tidak selalu pelajar dengan harga diri rendah menampilakan konformitas compliance, begitu juga tidak selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilkan konformitas acceptance. Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan tingkah laku konformitas dalam perkelahian pelajar:

1. Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain sebagai pengalihan untuk melupakan masalah personal, membangun rasa percaya diri, menghilangakan beban pelajaran, melampiaskan kekesalan, dan menambah pengalaman.

2. Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat dalam perkelahian, suka bekelahi meskipun tahu bahwa perkelahiandapat membuat terluka.

3. Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara lain buang-buang waktu danmerasa takut atau was-was akan di pukul.

4. Faktor ke empat adalah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan masalah dengan berkelahi

5. Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang dipukul oleh siswa sekolah lain.

Rambe (1997 dalam Saworno & Meinarno, 2012) menyimpulkan bahwa faktor pertama, kedua, dan kelima beracuan kepada konformitas acceptance. Sementara faktor ketiga dan keempat mengacu kepada konformitas compliance. Tetapi prilaku konformitas kelompok tidak berarti tidak memiliki tujuan, seperti yang diungkapkan dalam jurnal psikologi; “But herd behavior does not mean behavior without purpose. Usually, the purpose is clear. For example, a clerk may follow the orders of his/her superior because he/she can benefit by doing so. In this case, his/her purpose is very clear. Of course, herd behavior can also be purposeless, for example, the instinctive reflex of organisms.” (Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin, 2012) jadi dapat dilihat bahwa prilaku konformitas pada kelompok memiliki tujuan-tujuan yang jelas.

Perlu diketahui bahwa tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompok, karena ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauh mana individu melakuakan konformitas atau justru malah menolaknya. Baron, Branscombe, dan Byrne (2008 dalam Saworno & Meinarno) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi terjadi konformitas, yaitu :

1. Kohesivitas kelompok adalah sejauh mana kita tertarik terhadap suatu kelompok social tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok social tersebut. Karena semakin menarik sebuah kelompok sosial maka semakin besar kemungkinan bagi individu untuk melakukan konformasi terhadap norma kelompok tersebut.

2. Besar kelompok menunjukan berapa banyak orang yang berprilaku dengan norma-norma tertentu yang terdapat dalam kelompok tersebut, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya.

3. Norma yang bersifat injuctive cenderung di abaikan, sedangkan norma yang bersifat descriptive cendrung diikuti.

Tidak semua orang melakukan konformitas terhadap norma kelompoknya, dikarenakan individu kadang memiliki keinginan untuk menjadi unik dan beda dari yang lain (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2012 dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Dalam sebuah jurnal yang berjudul On Being Loud and Proud: Non-Conformity and Counter-Conformity to Group Norms pada tahun 2003 menunjukan dalam dua eksperimen yang dilakukan bahwa terjadinya prilaku konformitas terkait dengan landasan moral pada individu; “In both experiments, it was found that participants who had a weak moral basis for their attitude conformed to the group norm on private behaviours. In contrast, those who had a strong moral basis for their attitude showed non-conformity on private behaviours and counter-conformity on public behaviour. Incidences of non-conformity and counter-conformity are discussed with reference to theory and research on normative influence (Hornsey, Matthew J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M; Sep 2003). Tetapi dibandingkan dengan yang tidak melakukan konformitas, lebih banyak individu yang melakukan konformitas. Hal ini dapat dipandang secara positif ataupun negatif, hal positif dari adanya konformitas adalah kecendrungan individu untuk mengikuti aturan atau norma yang berlaku di masyarakat sehingga terciptanya keteraturan. Disamping konformitas dalam hal positif, juga terdapat konformitas negatif seperti perkelahian antar pelajar yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Pengalaman konformitas sehari-hari dibentuk oleh kontes kultural (Kim & Markus, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), konformitas dipandang berbeda-beda dalam berbagai kultural yang ada. Misalnya saja di AS dan Eropa Barat yang menekankan kepada kultur induvidualis menekankan kepada kebebasan dan kemandirian personal (Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan dapat membatasi kebebasan personal. Sebaliknya, di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang memiliki kultur kolektivis menekankan kepada pentingnya ikatan pada kelompok sosial. Dalam kultur kolektivis orang tua sangat menjunjung tinggi kepatuhan, perilaku yang tepat, dan penghormatan terhadap tradisi kelompok (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 1992 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), sehingga konformitas dianggap sebagai cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk memenuhi kewajiban moral. Dalam bahasa Korea konformitas mengandung arti kedewasaan dan kekuatan batin (Kim & Markus, 1999 Taylor, Peplau, Sears, 2009). Ada nya konsistensi antara nilai-nilai kultural yang dipelajari seseorang saat mereka masih dalam tahap tumbuh-kembang dan yang mereka lihat di media massa, dan preferensi dan perilaku yang mereka tunjukan pada tahap dewasa (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kultur dapat memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas. Pada penelitian mengenai konformitas terbaru yang dilakukan oleh Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica pada tahun 2008 mengenai persepsi konformitas, diketahui bahwa orientasi politik seseorang juga mempengaruhi persepsinya mengenai konformitas. “Our findings also confirm that political orientation can affect perceptions of conformity, as left-wing participants evaluated conformity more negatively and were less ambivalent toward it than were right-wing participants.” (Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica, 2008).

Dalam melakukan konformitas individu biasanya memiliki alasan. Diantaranya adalah dua alasan penting, yakni ingin melakukan hal yang benar dan ingin disukai (Martin & Hewstone, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya lebih menyukai untuk

menyesuaikan diri dengan perilaku kelompok yang ia anggap benar dan apabila ia ingin disukai atau diterima oleh anggota kelompok tersebut.

Salah satu alasan seseorang melakukan konformitas adalah ketika orang lain memberikan informasi yang bermanfaat bagi dirinya, hal ini disebut informational influence atau pengaruh informasi yang ditimbulkan dari keinginan untuk bertindak benar sesuai keinginan kelompok sosial. Misalnya ketika seseorang baru pertama kali menonton film di bioskop, maka orang tersebut akan memperhatikan orang lain yang dia anggap sudah terbiasa menonton di bioskop, seperti mengamati perilaku mereka dalam membeli tiket. Dengan cara seperti itu orang tersebut dapat menguasai dasar-dasar sistem pembelian tiket di bioskop tersebut. Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini kelompok, semakin mungkin kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pada dasarnya tingkat konformitas pada seseorang akan meningkat seiring dengan meningkatnya kepercayaan pada kebenaran suatu kelompok dimana ia melakukan konformitas.

Keyakinan kepada kelompok harus diimbangi dengan keyakinan kepada diri sendiri. Studi-studi awal menemukan bahwa semakin ambigu atau semakin sulit tugas, semakin cenderung orang menyesuaikan diri dengan penilaian kelompok (Coleman, Blake, & Mouton, 1958 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009), hal ini mungkin terjadi karena kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri. Kurangnya keyakinan terhadap penilaian sendiri bisa saja disebabkan karena kurangnya pengetahuan.

Bila konformitas terjadi karena adanya pengaruh informasi yang menimbulkan keyakinan bahwa anggota kelompok benar, individu biasanya mengubah cara berfikir dan berperilaku yang mereka miliki. Pengaruh informasi karenanya dapat dilihat sebagai proses rasional yang menyebabkan perilaku orang lain bisa mengubah keyakinan atau interprestasi kita atas situasi dan konsekuensinya membuat kita bertindak sesuai dengan kelompok itu (Grivvin & Buehler, 1993 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

Alasan kedua dari terjadinya konformitas adalah keinginan agar diterima secara sosial, hal ini dinamakan normative influence atau pengaruh normatif (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Individu biasanya ingin agar dapat diterima, disukai, dan diperlakukan dengan baik oleh individu lain dalam kelompok sosial. Secara bersamaan, kita ingin menghindari penolakan, pelecehan, dan ejekan (Janes & Olson, 2000 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pengaruh normative terjadi ketika individu mengubah perilakunya untuk menyesuaikan diri terhadap norma kelompok agar dapat diterima secara sosial. Dalam situasi semacam ini, konformitas menimbulkan perubahan lahiriah didalam perilaku publik, tetapi tidak selalu mengubah opini pribadi kita.

Individu cenderung menyesuaikan diri dalam suatu situasi ketimbang situasi lain (Cialdini & Trost, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Yang dimaksud dalam hal ini adalah, individu cenderung menyesuaikan diri kedalam situasi dimana ia dipengaruhi oleh ukuran kelompok; konformitas biasanya meningkat apabila ukuran kelompok meningkat, keseragaman atau kekompakan opini kelompok; seorang yang berhadapan dengan mayoritas akan cenderung untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan mayoritas itu, dan komitmen; konformitas dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar individu dengan kelompok (Forsyth, 1999 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) kita kepada kelompok yang dapat mempengaruhi konformitas. Selain pengaruh yang telah disebutkan tadi, ada perbedaan individu dalam keinginan akan individuasi yang juga dapat mempengaruhi apakah kita akan

menyesuaikan diri atau membangkang dalam kelompok sosial. Keinginan individuasi adalah keinginan individu untuk menjadi berbeda dan mencolok dari orang lain.

Konformitas terhadap mayoritas adalah aspek dasar dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, pengaruh minoritas bukanlah tidak penting. Terkadang kubu minoritas yang kuat dengan ide baru dan unik dapat merubah pandangan mayoritas (DeDreu & DeVries, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Agar minoritas dapat efektif, minoritas harus konsisten dan kuat (Wood et al., 1994 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

B. COMPLIANCE (KETUNDUKAN)

Salah satu cara orang untuk saling mempengaruhi satu sama lain adalah dengan meminta orang lain melakukan hal yang sama (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Seperti ketika seseorang meminta temannya untuk menilai bagaimana penampilannya, atau ketika seseorang meminta untuk dipinjamkan uang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali prilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain (Saworno & Meinarno, 2012). Dalam psikologi sosial hal ini merupakan suatu bentuk dari pengaruh sosial, yaitu compliance atau ketundukan. Compliance (ketundukan memenuhi permintaan orang lain) didefinisikan sebagi melakukan apa-apa yang diminta orang lain, walau mungkin kita tidak suka (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Hal utama dari compliance adalah kemauan kita untuk merespon permintaan orang lain, misalnya ketika kita sedang berjalan disebuah mall dan ada seseorang yang menawarkan anda selebaran promosi suatu produk, biasanya meskipun anda tidak menginkan membeli produk tersebut anda akan tetap mengambil brosur yang ditawarkan. Atau bisa jadi ketika orang tersebut menawarkan potongan harga, kita akan tertarik untuk membeli pruduk itu karena kita berfikir kita akan mendapat keuntungan dari potongan harga tersebut. Dalam kasus ini terkadang kita memenuhi permintaan begitu saja, tanpa ada sebabnya.

Atau dalam kasus lain, seorang adik meminta untuk diambilkan mainan di atas lemari oleh kakaknya yang berdiri dekat dengan lemari dan kakaknya mengambilkan mainan tersebut. Ellen Langers menyebut prilaku ini sebagai “tanpa berfikir,” sebab respon itu diberikan hampir tanpa dipikirkan dahulu. Mungkin karena kebiasaan, kita belajar ketika seseorang meminta atau membutuhkan sesuatu, khususnya sesuatu yang sepele atau biasa saja, dan orang tersebut memberikan alasan (meski alasanya tidak bermakna ataupun tidak masuk akal), maka kita seharusnya memenuhi permintaan tersebut (Taylor, Peplau, Sears, 2009).

Compliance memiliki berbagai prinsip dasar yang di utarakan oleh beberapa ahli, seperti French dan Bertman Raven serta Robert C. Cialdini. French dan Raven membagi prinsip dasar compliance dalam enam dasar kekuasaan yaitu (Frence & Raven, 1959 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009):

1. Imbalan, salah satu basis kemampuan adalah kemampuan untuk memberi hasil positif bagi orang lain, memberi hasil positif disini dapat berarti membantu orang lain mendapatkan tujuan yang diinginkan atau menawarkan imbalan yang bermanfaat. Misanya, orang tua yang menjanjikan hadiah kepada anaknya jika anak tersebut dapat meraih peringkat pertama di kelasnya.

2. Koersi, koersi atau pemakasaan dapat berupa paksaan fisik sampai ancaman hukuman atau tanda ketidaksetujuan. Misanya ketika seorang mahasiswa yang seharusnya

mengikuti kegitan perkuliahan dengan serius malah menggunakan telephone genggam di kelas ketika perkuliahan berlangsung, lalu dosennya mengancam akan mengambil telephone genggam mahasiswa tersebut.

3. Keahlian, pengetahuan khusus, training, dan keterampilan juga dapat menjadi sumber kekuasaan. Hal ini didasari karena kita akan lebih mengikuti saran dari ahli daripada bukan dari ahlinya. Misanya, seorang bapak yang lebih menengarkan perkataan dokter daripada perkataan anaknya untuk sesering mungkin istirahat agar kesehatannya segera pulih.

4. Informasi, usaha mempengaruhi orang lain dengan memberi mereka informasi atau argument yang logis tentang tindakan yang seharusnya mereka lakukan. Kekuatan informasi juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan compliance, meskipun yang mengutarakan informasi tersebut bukanlah seorang yang ahli. Misalnya, ketika seseorang mengajak temannya untuk mengikuti seminar dan mengatakan bahwa salah satu pembicarnya adalah penulis buku yang disukai temanannya.

5. Kekuasaan rujukan, kekuasaan ini eksis ketika kita mengidentifikasi atau ingin menjalin hubungan dengan kelompok atau orang lain. Dalam sebuah kelompok, kecendrungan seseorang untuk dapat diterima dalam kelompok tersebut dapat menimbulkan compliance. Misalnya, anggota-anggota yang ada dalam sebuah kelompok pertemanan akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut.

6. Otoritas yang sah, norma sosial yang mengizinkan orang yang berkuasa untuk mengajukan permintaan. Misalnya, ketua kelompok kepanitiaan memiliki kekuasaan untuk membagi tugas pada anggota-anggotanya.

Selain enam dasar kekuasaan yang diatas, Frence dan Raven juga memasukan kekuatan ketidak berdayaan dan manipulasi evironmental ke dalam prinsip dasar compliance. Dalam kekuatan ketidak berdayaan, Misalnya saja ketika di dalam perpustakaan seseorang ingin meminta tolong kepada orang yang postur tubuhnya lebih tinggi untuk meraih buku yang akan dia pinjam, dia tidak dapat meraihnya karena buku tersebut terdapat pada rak tertinggi. Dalam kasus tersebut, orang yang meminta bantuan itu adalah orang yang ada dalam keadaan tidak berdaya, dan dalam kasus tersebut orang cendrung untuk memenuhi permintaan, karena menghormati norma tanggung jawab sosial (norms of social responsibility). Sedangkan manipulasi environmental dapat terjadi ketika apabila pihak yang mempengaruhi mengubah situasi sehingga target pengaruh harus tunduk (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Contohnya, ketika seorang adik yang dijahili oleh kakaknya akan memperingatkan kakaknya dengan mengancam akan memberitahukan perlakuan kakaknya kepada ayahnya. Disini tujuan dari peringatan adiknya adalah untuk mengubah sikap kakaknya agar tidak menjahili dia lagi dengan kekuasaan ayahnya.

Sedangkan menurut Robert C. Cialdini dalam compliance dipengaruhi oleh prinsip dasar, yaitu (Cialdini, 1995, 2006 dalam Saworno & Meinarno, 2012):

1. Pertemanan atau rasa suka, kecenderungan untuk lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada orang yang belum dikenal atau dibenci. Misalnya, seorang anak yang memuji ibunya agar ibunya menyukainya dan mau menuruti keinginannya.

2. Komitmen dan konsisten, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten ketika kita berada dalam suatu posisi atau tindakan. misalnya seseorang yang merasa sebagai bangsa Indonesia dan merasa memiliki sifat nasionalisme yang kuat maka ia akan memasang bendera merah-putih di halaman rumahnya atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

3. Kelangkaan, kecendrungan untuk menghargai dan mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya yang memicu untuk memenuhi permintaan yang menekan kelangkaan daripada yang tidak. Misalnya, seorang penjual mengatakan kepada pembeli bahwa barang yang ia jual adalah barang-barang yang langka dan sulit ditemukan sehingga hanya beberapa orang yang mungkin memilikinya dan membuat pembeli tersebut ingin membeli barang yang dijual oleh penjual tersebut.

4. Timbal-balik, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan dari seseorang yang yang sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Misalnya, seseorang yang menerima orang lain sebagai karyawan di perusahaannya karena pernah dibantu oleh orang tersebut dan merasa harus membalas budi.

5. Validasi sosial, keinginan untuk bertingkah laku benar dengan cara bertingkah laku dan berfikir seperti orang lain. Misalnya, dalam suatu kelompok pertemanan ada salah beberapa anggota yang mengatakan bahwa memakai baju berkerah itu adalah hal yang aneh dan anggota yang lain ikut untuk berfikir demikian.

6. Otoritas, akan lebih mudah untuk memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas atau yang setidaknya tampak memiliki otoritas. Misalnya, seseorang mahasiswa yang duduk didekat pintu yang terbuka, akan menuruti perintah dari dosennya untuk menutup pintu daripada perintah yang sama dari temannya sesame mahasiswa.

Selain prinsip-prinsip compliance di atas, mood juga dapat berpengaruh terhadap compliance. Seseorang lebih mau melakukan compliance ketika ia merasa senang dibandingkan ketika ia merasa sedih (Forgas, 1998 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Dari hasil eksperimennya mengenai hal ini Josep Forgas mengambil kesimpulan bahwa mood memberikan efek yang signifikan terhadap reaksi permintaan tolong, efek mood akan lebih besar apabila permintaannya bersifat kasar: orang yang sedang senang cenderung mengabaikan cara permintaan yang disampaikan, dan orang yang sedang sedih akan lebih merespons permintaan yang sopan daripada yang kasar (Forgas, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009).

Beberapa riset telah meneliti teknik-teknik spesifik dari compliance, seperti (Taylor, Peplau, Sears, 2009):

1. Tenik Foot-in-the-Door

Salah satu cara untuk membuat seseorang tunduk adalah dengan mengajukan permintaan kecil pada awalnya, lalu mengajukan permintaan besar setelahnya. Studi klasik yang dilakukan oleh Freedman dan Fraser (1966 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) telah menunjukan efek ini. Dalam efektivitas teknik ini, berperan beberapa proses psikologi seperti persepsi diri dan keinginan untuk dianggap sebagai seorang yang konsisten (Guadano, Asher, Demaide, & Cialdini, 2001 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Misalnya ketika seseorang meminta temannya untuk datang ke

rumahnya, dan ketika temannya tiba di rumahnya ia meminta agar temannya membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

2. Teknik Door-in-the-Face

Dalam teknik ini, seseorang mengajukan permintaan yang besar dan kemudian mengajukan permintaan yang kecil. Studi yang dilakukan oleh Cialdini et al (1975 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) membuktikan keefektivan teknik ini. Tenik ini biasa ditemukan dalam kegiatan tawar-menawar. Misalnya, seorang pedagang menjual barang seharga Rp 10.000 dan kemudian pembeli menawarnya menjadi Rp 8.000, padahal penjual sengaja memberikan harga Rp 10.000 kepada pembeli tersebut agar dia mendapatkan uang Rp 8.000 seperti yang sebenarnya ia inginkan.

3. Teknik Low-Ball

Dengan teknik ini awalnya mendapatkan persetujuan dengan permintaan yang tidak memiliki informasi lengkap, dan kemudian memberikan informasi yang lengkap setelahnya. Teknik ini tampaknya sukses karena begitu seseorang telah membuat komitmen public untuk melakukan suatu tindakan, dia akan enggan untuk menarik komitmennya (Burger & Cornelius, 2003 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009). Misalnya ketika seorang mahasiswa meminta kepada temannya sesama mahasiswa untuk mengadakan rapat angkatan di kampus, tetapi dia tidak diberi tahu bahwa dalam rapat tersebut mahasiswa yang datang diminta untuk wajib membayar uang kas. Kemungkinan besar jumlah mahasiswa yang ikut rapat tersebut akan lebih banyak jika tidak diberikan informasi lengkap mengenai pembayaran wajib uang kas.

4. Teknik That’s-Not-All

Yang dimaksud dengan teknik ini adalah memberikan kesepakatan dan kemudian menaikan tawaran. Eksperimen yang dilakukan oleh Burger (1986 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009) menunjukan efektivitas teknik ini. Misalnya, seorang sales di supermarket menawarkan pan happy call kepada salah satu pengunjung mall tersebut dan ketika pengunjung tersebut sedang berfikir apakah ingin membeli atau tidak, sales tersebut mengatakan bahwa jika pengunjung itu membeli pan happy call tersebut maka ia akan mendapatkan hadiah berupa buku resep masakan. Padahal buku tersebut sudah termasuk kedalam pembayaran pembelian pan happy call itu.

5. Teknik Pique

Permintaan yang tidak lazim dan dapat menarik perhatian adalah inti dari teknik ini, karena kadang orang akan menolak permintaan tanpa berfikir panjang terlebih dahulu maka untuk meminimalisir hal tersebut permintaan yang diajukan harus dapat menarik perhatian orang lain. Misalnya seorang pejalan kaki mengabaikan atau menolak langsung permintaan seorang peminta-minta karena merasa jengkel, tetapi ketika di hari berikutnya peminta-minta tersebut membuat tulisan “berikan saya 100 perak dan saya akan kenyang” maka tulisan tersebut akan menarik perhatian pejalan kaki dan memungkinkan ia untuk memenuhi permintaan peminta-minta itu.

C. OBDIENCE (KEPATUHAN)

Selain dipenuhi oleh Konformitas dan Compliance, perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Dikantor, atasan memerintahkan bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Disekolah guru melarang murid untuk membawa benda-benda tajam dan merokok. Dirumah, orang tua menyuruh anaknya untuk beribadah. Dalam perilaku-perilaku diatas, apakah orang yang diperintah akan mematuhi permintaan tersebut? Biasanya orang-orang mengikuti permintaan atau perintah orang lain yang dianggap memiliki Power (kekuatan). Perilaku-perilaku ini dalam psikologi sosial, disebut sebagai obedience atau kepatuhan dalam psikologi social.

Obdience merupakan salah satu jenis pengaruh social, di mana seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscombe, dan Bryrne, 2008)

Aspek lain dari pengaruh social adalah kepatuhan (obedience), keadaan di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih jarang terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih menggunakan pengaruhnya melalui (velvet glove) melalui permintaan dan bukannya perintah langsung.

Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power.

Empat penyebab obedience menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008)

1) Melepas tanggung jawab pribadi. Artinya individu menilai bahwa tanggung jawab ada pada orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribady, Misalnya atasannya yang dianggap menanggung semua tanggung jawab.

2) Individu yang memberi perintah menggunakan symbol-simbol, seperti lencana, seragam, dan yang lainnya untuk mengingatkan orang yang diperintah akan kekuasaan serta peran yang diemban.

3) Hal-hal yang terjadi secara gradual, yaitu perintah yang dimulai dari hal kecil kemudian meningkat menjadi lebih besar.

4) Proses yang terjadi sangat cepat sehingga individu tidak bisa merefleksikan dan berpikir secara mendalam tindakan yang mestinya ia lakukan.

Dalam hal ini terdapat konsep Experimental realism, yakni realitas terhadap pengalaman yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dimana individu menafsirkan situasi yang sangat kuat, membuat kebanyakan individu sulit untuk melawan. Meskipun kita terdorong untuk menanyakan “Orang seperti apa yang akan mematuhi perintah untuk menyakiti orang yang tidak bersalah?”, tetapi dalam psikologi sosial, pertanyaan yang lebih bermanfaat adalah “Aspek – aspek apakah dari situasi yang membuat orang sulit untuk tidak mematuhi perintah?”

Penelitian tentang kepatuhan dilakukan oleh “Stanley Milgram” sejak tahun 1963. Penelitian ini menggunakan alat yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menimbulkan efek sebagaimana dikemukakan kepada subjek. Penelitian terdiri dari tiga orang yaitu subjek, eksperimenter dan seorang yang berpasangan dengan subjek (Learner). Prosesnya adalah

eksperimenter meminta subjek untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh subjek dengan kejutan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt. Sebelum eksperimen berlangsung, alat ini dicobakan kepada subjek agar dapat merasakan sengatan listrik tersebut. Ketika sengatan mencapai voltage tinggi, biasanya subjek meminta pertimbangan eksperimenter untuk menghentikannya. Eksperimenter meminta kepada subjek untuk terus melakukan hingga penelitian berakhir pada saat hukuman mencapai 450 volt. Peristiwa memberikan hukuman tersebut sebenarnya tidak benar-benar terjadi. Ekspresi Learner ketika subjek menekan tombol hukuman disebut sedemikian rupa, padahal sesungguhnya dia tidak merasakan apapun. Semua peristiwa tersebut sudah diatur, yang ingin diteliti dalam eksperimen ini adalah “ seberapa jauh kepatuhan subjek terhadap perintah eksperimenter” ?

Hasil Penelitian :

- Ternyata hanya 12.5 % subjek yang berhenti sesudah memberi hukuman pada batas 300 volts. Lebih dari 60 % subjek mematuhi perintah hingga akhir eksperimen.

- Penelitian ini kemudian dimodifikasi dengan memperdengarkan jeritan Learner. Hasilnya 37.5 % subjek tidak lagi mematuhi perintah eksperimenter. Apabila subjek dengan Learner berada dalam satu ruangan, 60 % tidak mematuhi perintah; dan 70% subjek tidak mematuhi perintah apabila ia harus ikut memegangi alat eksperimennya.

- Dalam keadaan sendirian hanya 5 % subjek yang mau memberi hukuman hingga di atas 150 volts, sedangkan jika dalam kelompok 67.5 % mau meneruskan eksperimen.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OBEDIENCE

1) Jenis kelamin. Dalam hubungannya dengan perintah dan tingkat otoritas orang yang memerintah. Untuk hal-hal yang mengerikan, wanita lebih tidak patuh karena merasa ngeri melihat dan mendengarkan korban; maka dalam penelitian Milgram, wanita cenderung lebih menolak perintah.

2) Tingkat otoritas. Pengaruh terhadap kepatuhan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Orang diperintah atasan akan lebih patuh dibandingkan yang memerintah adalah teman yang setingkat. Perlu ditambahkan bahwa semakin tinggi status dari figure yang mempunyai otoritas serta adanya keyakinan bahwa yang bertanggung jawab terhadap perilaku kepatuhannya itu adalah sumber otoritas maka orang akan semakin patuh untuk bertingkah laku ( misal: dosen - mahasiswa).

3) Seseorang akan menjadi penurut apabila dirasakan meningkatnya situasi yang menuntut kepatuhan (contoh : dalam ujian )

4) Terbatasnya peluang untuk tidak patuh.

Individu yg mematuhi perintah yg merusak, menyakiti, dan menghancurkan orang lain ketika berada dlm situasi diperintahkan untuk melakukannya disebut destructive obedience.

Kepatuhan yang merusak berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri.

Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:

1. Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu yang buruk terjadi.

2. Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya.

3. Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya.

4. Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.

Berikut ini cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:

1. Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan—bukan pihak otoritas.

2. Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak.

3. Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut.

4. Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.

Hal ini bisa dicegah dengan diingatkan bahwa ia sendiri mengemban tanggung jawab, individu harus diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang dekskrutif tidak diperbolehkan, dan juga individu perlu meninjau ulang motif dari atasannya.

KESIMPULAN

Pada dasarnya pengaruh sosial sangat berpengaruh terhadap diri individu dan dapat membuat individu mengubah suatu sikap, kepercayaan, persepsi atau pun tingkah lakunya agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh sosial dapat mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan agar keputusan tersebut dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, hal ini dikarenakan pengaruh sosial amat kuat dan pervasive terhadap diri individu. Masyarakat dapat terbentuk dengan tatanan sosial yang teratur karena kecendrungan manusia untuk mengikuti norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya, hal ini merupakan dampak positif karena adanya pengaruh sosial dalam masyarakat.

Terdapat tiga tipe dalam pengaruh sosial yaitu, konformitas, kepatuhan, dan ketundukan. Konformitas adalah suatu bentuk dari pengaruh sosial diman individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma norma sosial. Salah satu alasan mengapa individu mengikuti norma sosial yang ada di masyarakat adalah karena individu tersebut ingin dapat bertahan hidup dengan cara mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosialnya. Norma sosial adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku. Norma sosial dapat dibagi menjadi dua yaitu, injuctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit dan descriptive norms yang dinyatakan secara implisit. Salah satu faktor konformitas yang di kemukakan oleh Rambe pada tahun 1997 dalam penelitiannya mengenai perkelahian pelajar adalah kesenangan hal ini dikarenakan seseorang melakukan konformitas karena hal-hal yang ada di dalam kelompok sosialnya sesuai dengan dirinya, sehingga keinginan untuk melakukan konformitas besar. Konformitas juga dipengaruhi oleh kultur, karena perbedaan kultur dapat memberikan makna yang berbeda terhadap konformitas, sehingga kultur seseorang dapat mempengaruhi tindakan konformitas pada diri individu tersebut. Konformitas merupakan hal yang berbeda dengan atribusi sosial karena dalam pengertiannya saja konformitas adalah bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial, sedangkan pengertian dari atribusi sosial adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berprilaku tertentu jelas dilihat dari pengertiannya saja antara atribusi sosial dan konformitas berbeda.

Tipe kedua dari pengaruh sosial adalah compliance atau ketundukan, dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari sebenarnya prilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung dari orang lain hal inilah yang dinamakan compliance atau ketundukan. Hal yang paling utama dalam terjadinya prilaku compliance adalah kemauan kita untuk merespon ucapan orang lain, seperti permintaan orang lain terhadap kita.

Tipe terakhir dari pengaruh sosial adalah obdience atau kepatuhan. Prilaku kita sehari-hari, selain dipengaruhi oleh konformitas dan compliance juga dapat dipengaruhi oleh obdience atau kepatuhan. Dalam prilaku obdience biasanya seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tindakan atau tingkah laku tertentu karena adanya unsur power,

DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, W., Sarwinto. Meinarno, A., Eko. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Taylor, E., Shelley. Peplau, A., Letitia. dan Sears, O., David. 2009. Psikologi Sosial edisi keduabelas. Jakarta: Kencana.

Baron, Robert A., Byrne, Donn. (10 th Eds). (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hornsey, Matthew J; Majkut, Louise; Terry, Deborah J; McKimmie, Blake M. Sep 2003. “On being loud and proud: Non-conformity and counter-conformity to group norms.”. British Psychological Society. Volume 42. http://search.proquest.com/docview/219172185?accountid=34643, 5 januari 2014.

Cavazza, Nicoletta; Mucchi-Faina, Angelica. Jun 2008. “Me, Us, or Them: Who Is More Conformist? Perception of Conformity and Political Orientation.”. The Journal of Social Psychology. Volume 148. http://search.proquest.com/docview/199842490?accountid=34643, 13 Januari 2014.

Song, Guandong; Ma, Qinhai; Wu, Fangfei; Li, Lin. 2012. “THE PSYCHOLOGICAL EXPLANATION OF CONFORMITY.”. Social Behavior and Personality. Volume 40. http://search.proquest.com/docview/1143352377?accountid=34643, 13 Januari 2014.