21
MAKALAH AR-RAHN Disusun Oleh: SAIFUDIN NIM. ......................... SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI AL-MA’ARIF BARADATU WAY KANAN – LAMPUNG i

Makalah tentang ar rahn

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah tentang ar rahn

MAKALAH AR-RAHN

Disusun Oleh:SAIFUDIN

NIM. .........................

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMSTAI AL-MA’ARIF BARADATU

WAY KANAN – LAMPUNG

i

Page 2: Makalah tentang ar rahn

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

limpahan rahmat, taufiq dan hidayahNya kami mampu menyelesaikan tugas

Makalah ini.

Kami berharap tugas yang kami selesaikan ini dapat bermanfaat bagi penyusun

maupun bagi pembacanya. Agar dapat memahami betapa pentingnya ilmu pendidikan di

dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita ketahui di zaman modern ini semua

manusia dituntut untuk mengenyang pendidikan baik di kota maupun di desa. Kita

dituntut untuk menempuh pendidikan hingga tahap yang tinggi. Supaya kita menjadi

tenaga pengajar yang professional.

Penyusun menyadari bayak kekurangan dalam menyelesaikan tugas ini. Maka

dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak supaya kami bisa lebih

baik dan memperbaiki kekuarangan kami.

Baradatu, November 2015

Penyusun

ii

Page 3: Makalah tentang ar rahn

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................iKATA PENGANTAR ..........................................................................iiDAFTAR ISI .....................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................2A. Pengertian dan Dasar Hukum ....................................................2B. Rukun dan Syarat ......................................................................4C. Hukum-hukum Gadai dan Efeknya ............................................7D. Pertambahan Gadai ...................................................................8E. Berakhirnya Akad Gadai .............................................................9

BAB III PENUTUP .............................................................................10Kesimpulan ....................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii

Page 4: Makalah tentang ar rahn

iv

Page 5: Makalah tentang ar rahn

BAB I

PENDAHULUAN

Islam sebagai agam yang universal, mengatur seluruh kegiatan manusia. Dalam

kehidupan perekonomian, Islam bahkan mengaturnya dengan sebuah sistem yang

sekarang disebut dengan sistem ekonmi syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap

akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus

selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa

hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh

dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu,

seperti munculnya praktik riba, atau gharar.

Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya masing-

masing,  akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam

syari'ah Islam. Gadai dalam Islam bertujuan untuk memberikan keamanan bagi pemberi

hutang agar ia dapat tenang dan tak khawatir bahwa hutangnya tidak akan dilunasi.

Akan tetapi sikap saling percaya dan amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih

penting agar terbentuk ukhuwah Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat

Islam.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai seluk beluk akad rahn, mulai dari

pengertian, syarat dan rukunnya, manfaatnya, hukum-hukum yang ditimbulkannya,

sampai hal-hal yang mengakhiri akad rahn.

1

Page 6: Makalah tentang ar rahn

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Dasar Hukum

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu

jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian ar-

rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang

berarti tetap dan kekal. Pengertian tetap dan kekal yang dimaksud merupakan makna

yang tercakup dalam kata al-habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna

yang bersifat materiil. Karena itu secara bahasa kata ar-rahn  berarti “menjadikan suatu

barang yang bersifat materi sebagai pengikat uang”.[1]

Adapun menurut pengertian syara’ adalah : menjadikan barang yang mempunyai

nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang

bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)

barang itu.[2]

Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad ar-rahn seperti berikut : menjadikan

barang sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang

tersebut ketika pihak yang berutang tidak bisa membayar utang tersebut. Ulama

Hanabilah mendefinisikan ar-rahn seperti berikut : harta yang dijadikan sebagai jaminan

utang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut

dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan

tersebut. Ulama Malikiyah mendefinisikannya sebagai berikut : sesuatu yang berbentuk

harta dan mempunyai nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan jaminan utang

yang keberadaannya sudah positif dan mengikat.[3]

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak

yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu

barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang

mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu

barang gadaian dalam hukum perundangan disebut sebagai barang jaminan, atau agunan

atau rungguhan.[4]

2

Page 7: Makalah tentang ar rahn

Kesemua pengertian yang tersebut diatas pada intinya sama, akan tetapi ada

beberapa perbedaan yang disebabkan oleh syarat-syarat akad ar-rahn yang berbeda yang

dipahami oleh masing-masing definitor yang pada subbab selanjutnya akan dibahas

perbedaan pendapat tersebut.

Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai dalam Islam didasari dari Al-

Quran surah Al-Baqarah : 283,

Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....

Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya boleh, baik ketika berada dalam

perjalan maupun ketika menetap. Karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan ar-

rahn secara mutlak, baik ketika sedang di tengah perjalanan maupun ketika sedang

menetap. Penyebutan as-safar pada ayat di atas hanya berdasarkan kebiasaan yang

lumrah berlaku saja, bukan merupakan syarat. Karena pada masa dahulu, biasanya di

tengah perjalan, sulit untuk menemukan juru tulis.[5]

Adapun dalil dari hadits yaitu[6] :

شعيرا : منه اخذ و بالمدينة يهودي عند له درعا الله رسول رهن قال انس عن

( ماجه ( ابن و النسائي و البخاري دو اهمد رواه الهله

Artinya : Dari Anas, ia berkat, Nabi SAW pernah menggadaian sebuah baju besi

kepada seorang Yahudi di Madinah dan Nnabi SAW mengambil gandum dari si Yahudi

itu untuk keluarganya. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Dari dalil-dalil yang didapatkan, ulama sepakat hukum ar-rahn adalah boleh

(jaiz), tidak wajib. Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib.

Adapun bunyi ayatfarihaanum maqbuudhah (maka hendaklah ada barang tanggungan

3

Page 8: Makalah tentang ar rahn

yang dipegang), perintah tersebut bersifat irsyad ( pengarahan kepada yang lebih baik)

bagi kaum mukminin, bukan perintah yang wajib. Hal ini berdasarkan bunyi ayat

setelahnya yang artinya akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain, maka

hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya). Juga karena di

dalam ayat ini Allah memerintahkan adanya ar-rahn ketika tidak menemukan seorang

juru tulis. Karena menuliskan dan mendokumntasikan utang hukumya tidak wajib,

maka begitu juga solusi pengganti penulisan, hukumnya juga tidak wajib.[7]

Rahn dalam syariat memiliki beberapa manfaat, yaitu[8] :

-          Menjaga kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan hutangnya

-          Memberikan kemanan bagi murtahin.

B.      Rukun dan Syarat

Sebagaimana akad jual beli memiliki rukun dan syarat, maka ar-rahn juga

memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar akad ar-rahn sah dan mengikat bagi

pihak-pihak yang melakukan akad. Adapun rukun ar-rahn yaitu :

a.       Rahin (pihak yang menggadai)

b.      Murtahin (pihak yang menerima gadai)

c.       Marhun (barang yang digadaikan)

d.      Marhun bih (tanggungan utang)

Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, rukun ar-rahn adalah ijab dari rahin dan

qabul darimurtahin, tetapi akad ar-rahn belum sempurna dan belum berlaku mengikat

kecuali setelah adanya al-qabdhu (serah terima barang yang digadaikan).

Adapun syarat-syarat akad rahn sebagai berikut[9] :

a.      Syarat ‘aqid (rahin dan murtahin)

Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar akad rahn yang dilakukan

berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah yakni memiliki kelayakan,

kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad. Para pihak harus berakal dan

mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh, selama ia mumayyiz. Jadi anak yang belum

baligh sah melakukan akad rahn, namun statusnya digantungkan kepada persetujuan dan

pengesahan pihak wali. Pendapat ini menurut ulama Hanafiyyah. Adapun menurut

Jumhur ulama akad rahn tidak sah  dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan

4

Page 9: Makalah tentang ar rahn

terpaksa, anak yang belum baligh, orang gila, dan orang bangkrut. Akad rahn juga tdak

sah dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada alasan kondisi darurat demi kebaikan si anak

yang berada dalam perwalian.

b.      Syarat marhun bih

Marhun bih adalah tanggungan utang pihak rahin kepada pihak marhun. Syarat-

syaratnya yaitu :

-     Marhun bih harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya,

maksudnya marhun bih harus berupa utang yang ditanggung yang wajib dibayar dan

diserahkan olehrahin

-     Marhun bih harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dibayar dan dipenuhi

darimarhun, karena tujuan menerima gadai adalah untuk mendapatkan jaminan

pembayaran utang. Oleh karena itu jika marhun tidak mampu mengganti

pembayaran utang, maka akad rahn tidak sah.

-     Hak yang menjadi marhun bih  harus diketahui dengan jelas dan pasti .

c.       Syarat marhun

Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan

pemenuhan atau pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun sama

jenisnya dengan marhun bih, maka pelunasan utang dapat langsung diambil dari

marhun. Jika berbeda jenis maka pelunasan dilakukan dengan menjual marhun terlebih

dahulu untuk diambil harganya dan mengembalikan kelebihan harga itu (jika ada)

kepada rahin.

Menurut ulama Hanafiyyah, marhun harus memenuhi syarat sebagai berikut :

-     Marhun telah ada saat akad berlangsung, maka tidak ah menggadaikan sesuatu yang

tidak ada ketika akad, seperti menggadaikan buah yang akan dihasilkan oleh

pohonnya tahun ini, karena belum tentu pohon itu akan berbuah.

-     Marhun harus bisa dijual dan bernilai.

-     Marhun harus berupa harta, maka tidak sah menggadai bangkai.

-     Marhun tidak boleh berupa kemanfaatan, contohny tidak sah menggadai

kemanfaatan menempati rumah dalam tempo tertentu. Karena menurut ulama

Hanafiyyah kemanfaatan bukanlah harta, dan selain ulama Hanafiyyah beralasan

5

Page 10: Makalah tentang ar rahn

karena kemanfaatan tidak bisa diserhterimakan pada waktu akad dan tidak memiliki

sifat yang pasti dan tetap.

-     Marhun harus diketahui dengan jelas dan pasti

-     Marhun harus berstatus milik rahin atau milik orang yang berada dalam

perwalian rahinatau telah mendapat izin dari pemiliknya untuk digadaikan

oleh rahin. Maka, sah seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada dalam

perwaliannya. Begitu juga, sah menggadaikan harta orang lain atas izin pemilik

harta tersebut.

-      Marhun harus mufarragh dan muhawwaz, maksudnya barang yang digadaikan

tidak melekat dengan barang yang tidak digadaikan. Contohnya, tidak sah

menggadai sebidang tanah saja tanpa mengikutsertakan tanamannya.

Qabdhu   (serah terima marhun)

Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi pada rukun-rukunnya, akad rahn juga

mempunyai syarat lain yaitu Qabdhu, penyerahterimaan marhun kepada murtahin. Hal

ini didasari oleh bunyi ayat yang artinya maka hendaklah ada berang tanggungan yang

dipegang oleh yang berpiutang(Al-Baqarah : 283). Qabdhu disyaratkan ada untuk

menerapkan tujuan dari gadai itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan

pada murtahin dan kepastian bahwa hutang yang diberikannya padarahin akan dibayar.

Jumhur ulama berpendapat bahwa qabdhu bukanlah syarat sah akad rahn, akan

tetapi syarat berlaku mengikatnya akad rahn. Oleh karena itu akad rahn belum mengikat

kecuali setelah adanya qabdhu, maka sebelum adanya qabdhu rahin masih memiliki

kebebasan unutk membatalkan akad secara sepihak. Namun setelah adanya qabdhu,

akad telah saling mengikat pihak, sehingga pihak yang berakad tidak boleh

membatalkan akad secara sepihak.

Qabdhu baru dianggap sah jika memenuhi syarat sebagai berikut :

-          Qabdhu harus atas izin dari pihak rahin,

-          Ketika dilakukan qabdhu, kedua pihak harus memiliki ahliyah.

Qabdhu tidak mesti dilakukan oleh rahin atau murtahin, melainkan boleh juga

dilakukan oleh wakilnya. Kedua belah pihak (rahin dan murtahin) juga boleh

melakukan kesepakatan untuk menitipkan marhun  kepada pihak ketiga yang

disebut ‘adl karena mungkin rahin  tidak suka jikamarhun berada di

6

Page 11: Makalah tentang ar rahn

tangan murtahin, dan terkadang murtahin sendiri tidak suka marhun berada di

tangannya. ‘Adl  adalah pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak, maka dari

itu dia harus memenuhi syarat sebagai ’adl , yaitu mumayyiz, berakal, tidak boros, dan

dia bukan merupakan seorang yang memiliki bagian harta dari marhun tersebut.

C.      Hukum-Hukum Gadai dan Efeknya

Akad rahn ada yang  sah dan ada yang tidak sah. Akad rahn yang sah adalah

akad yang memenuhi syarat-syarat akad rahn, sedangkan akad yang tidak sah adalah

akad yang tidak terpenuhi syaratnya. Menurut Hanafiyyah, akad yang tidak sah terbagi

menjadi akad baathil(batal) dan akad fasid (rusak).

Akad yang batal yaitu yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan

dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad tidak memiliki ahliyah. Akad

yang fasid yaitu akad ang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat

akad, seperti marhun tidakmufarragh dan muhawwaz. Sedangkan menurut jumhur, akad

yang tidak sah hanya satu yaitu akad batal, kad yang tidak terpenuhi syaratnya.

a.      Hukum akad rahn yang sah

Berlaku mengikatnya akad rahn adalah hanya sepihak, yaitu hanya

bagi rahin saja, bukan bagi murtahin. Oleh karena itu rahin tidak memiliki hak unutk

membatalkan akad, karena akad rahn adalah jaminan utang. Adapun murtahin, maka ia

memiliki hal untuk membatalkannya kapan saja karen akad rahn dalah unutk

kemashlahatan dan kepentingan dirinya. Akad rahn belum memiliki konsekuensi apa-

apa kecuali dengan adanya qabdhu. Oleh karena itu harga barang yang digadaikan

belum bisa hanya diperuntukkan bagi murtahin saja atau dengan kata lain blum

memiliki hak priorotas terhadap harga barang yang digadaikan itu sebelum

tejadi qabdhu.

Setelah terjadinya akad rahn yang sah, maka akan timbul efek-efek hukum yang

terikat bagi kedua pihak, seperti berikut ;

-      Marhun terikat dengan hutang yang ada. Jika barang yang digadaikan sebagai

jaminan hutang, maka seluruh bagian dan satuan dari barang itu terikat dengan

hutang tersebut. Marhun tidak terikat dengan hutang yang tidak dilalui dengan

akad rahn, ia hanya terikat dengan sejumlah utang yang dilalui dengan akad rahn.

7

Page 12: Makalah tentang ar rahn

-      Murtahin berhak untuk menahan marhun, akan tetapi tidak berhak untuk

memilikinya.Murtahin hanya berhak terhadap harga barang itu sebanyak nilai

hutang yang diberikannya, jika rahin tidak mampu untuk membayar hutangnya.

-      Ulama Hanafiyyah tidak memperbolehkan pihak rahin meminta

kembali marhun untuk dimanfaatkan. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah

memperbolehkan hal tersebut.

-      Menurut ulama Hanafiyyah, murtahin wajib menjaga marhun seperti menjaga

hartanya sendiri. Jika marhun  rusak maka, murtahin bertanggung jawab atas

kerusakan tersenut.

-      Manfaat yang dihasilkan dari marhun  adalah unutk rahin.

-     Menurut Jumhur, seluruh biaya pengurusan dan penjagaan marhun dibebankan

padarahin. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa biaya penjagaan dibebankan

pada murtahinsedangkan biaya pengurusan dibebankan pada rahin.

-      Ulama Syafi’iyyah berpendapat marhun boleh dimanfaatkan oleh rahin selama

tidak merugikan murtahin. Jumhur berpendapat rahin sama sekali tidak boleh

memanfaatkanmarhun.

b.      Hukum akad rahn yang tidak sah

Para imam mazhab sepakat bahwa akad rahn yang batal tidak memiliki efek

hukum apa-apa. Oeh karena itu murtahin  tidak memiliki hak menahan dan rahin berhak

meminta kembali marhundari tangan murtahin. Apabila murtahin tidak menyerahkan

atau merusak marhuun tanpa menggantiya maka ia dianggap menguasai harta orang lain

secara zalim. Penahanan murtahinterhadap marhun dihukumkan sebagai harta amanat

bukan sebagai barang gadaian.

D.      Pertambahan Gadai

Menambah marhun atau marhun bih dalam akad rahn dijelaskan dseperti

berikut.

Menambah marhun adalah memberikan lagi barang gadaian disamping barang

gadaian yang ada dengan utang yang sama. Hal ini hukumnya bolleh menurut Jumhur

Ulama, karena itu merupakan bentuk tambahan penguat jaminan yang merupakan

tujuan inti dari akad rahn. Sedangkan tambahan utang  atas marhun yang sama,

8

Page 13: Makalah tentang ar rahn

maksudnya rahin meminjam utang lagi dengan barang gadai yang sama, terdapat

perbedaan pendapat tentang kebolehannya : Imam Hanafi dan Ulama Hanabilah

berpendapat hal tersebut tidak diperbolehkan, karena tambahan seperti itu merupakan

akad rahn baru, yang berarti menggadaikan lagi barang sudah digadaikan. Sementara itu

Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsur berpendapat hal itu boleh. Karena tambahan

dalam marhun bih berarti menghapus akad rahn yang lama dan mengadakan akad rahn

yang baru dengan jumlah marhun bih yang baru juga.

E.      Berakhirnya Akad Gadai

Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, diantaranya :

a.    Diserahkannya marhun kepada pemiliknya. Menurut jumhur selain Syafi’iyyah,

jikamarhun diserahkan kepada pemiliknya maka jaminan penguat utang akan

hilang sehingga akad rahn menjadi batal.

b.   Terlunasinya seluruh marhun bih.

c.    Penjualan marhun secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah hakim, atau

yang dilakukn oleh hakim ketika rahin menolak menjual marhun.

Apabila marhun dijual dan utang terlunasi dengan harga penjualan itu,maka akad

rahn telah selesai.

d.    Terbebasnya rahin dari utang yang ada wlau dengan cara apapun.

e.       Binasanya marhunf.       Marhun ditasharufkan oleh salah satu pihak seperti meminjamkannya, menjualnya

atau menyedekahkannya.

9

Page 14: Makalah tentang ar rahn

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas secara global, dapat dirangkum bahwa Rahn adalah

menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai

jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa

mengambil sebagian (manfaat) barang itu.

Rukun akad rahn yaitu :

a.       Rahin (pihak yang menggadai)

b.      Murtahin (pihak yang menerima gadai)

c.       Marhun (barang yang digadaikan)

d.      Marhun bih (tanggungan utang).

Akad rahn terbagi dua yaitu :

a.       Akad rahn yang sah, yakni akad rahn yang terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya

b.      Akad rahn yang tidak sah yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi seluruh syaratnya.

10

Page 15: Makalah tentang ar rahn

DAFTAR PUSTAKA

Ali,  Zainuddin, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).

Antonio,  Muhammad Syafi’i , Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001).

Az-Zuhaili , Wahbah, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011).

Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000).

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987).

[1] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008). Halaman 1.

[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987). Halaman 150.

[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011). Halaman 107.

[4] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah,... Halaman 2.

[5] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 108.

[6] Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000). Halaman

1771.

[7] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 111.

[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001). Halaman

129.

[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 112-138.

11