Transcript
Page 1: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

1

RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN MILITER

TENTANG PEMANTAPAN SISTEM KAMAR UNTUK MEWUJUDKAN KESATUAN

HUKUM DAN MENINGKATKAN PROFESIONALISME HAKIM

Pada hari ini Rabu tanggal 31 Oktober 2012 dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah

Agung Republik Indonesia dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4

(empat) Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia di Manado, dengan tema

“Pemantapan Sistem Kamar untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim”.

Memperhatikan : 1. Pengarahan Ketua Mahkamah Agung RI.

2. Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang

Yudisial.

3. Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non

Yudisial.

4. Pengarahan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI.

5. Pengarahan Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI.

6. Pengarahan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan

Militer Mahkamah Agung RI.

Membaca : Paparan makalah yang disampaikan oleh Tuada Uldilmil MARI

(H. M. Imron Anwari, SH., Sp,N. MH.) tentang Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer dan Akibatnya.

Mendengar : 1. Tanggapan para peserta

2. Penjelasan :

a. Pemakalah.

b. Narasumber.

3. Permasalahan-permasalahan yang disampaikan dalam

Komisi III.

Page 2: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

2

Menimbang : A. Bidang Teknis

1. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer

menimbulkan akibat baik aspek sosiologis, psikologis terhadap Terdakwa,

maupun berdampak positif dan negatif bagi Kesatuan. Oleh sebab itu

pertimbangan Hakim dalam putusan terhadap penjatuhan pidana pemecatan

perlu disusun dengan cermat sehingga alasan penjatuhan hukuman

tambahan pemecatan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Norma dasar bagi Hakim Militer untuk menjatuhkan pidana tambahan kepada

Terdakwa berupa pemecatan dari Dinas Militer dengan atau tanpa

pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata adalah ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 26 KUHPM yang mengatur bahwa

pemecatan dari Dinas Militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk

memasuki Angkatan Bersenjata, selain itu harus memperhatikan ketentuan

Pasal 39 KUHPM. Pidana tambahan pemecatan terhadap prajurit pada

prinsipnya merupakan hukuman yang dirasakan sangat berat, yang secara

nyata dapat menimbulkan kerugian bagi kesatuan dalam hal prajurit tersebut

memiliki keahlian khusus yang dapat secara langsung mempengaruhi tugas

pokok kesatuan. Hal lain yang perlu disoroti terkait dengan penjatuhan pidana

tambahan pemecatan dari Dinas Militer adalah yang berkaitan dengan

kewenangan Hakim dalam melakukan pengawasan dan pengamatan

terhadap Prajurit TNI yang telah dipecat dari Dinas Militer dan menjalani

pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum, mengingat kewenangan

pengamatan oleh Hakim Pengawas sudah tidak ada lagi terhadap prajurit TNI

yang telah dipecat dan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum.

Dengan tidak adanya pengamatan secara berlanjut terhadap prajurit TNI yang

menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Umum, maka dapat

menimbulkan efek negatif apabila kelak setelah keluar dari Pemasyarakatan

Umum dengan keahliannya dapat digunakan untuk hal-hal yang negatif dan

tidak bertanggung jawab.

2. Upaya mediasi di lingkungan Peradilan Militer sampai saat ini tidak diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,

sedangkan ketentuan tentang prosedur mediasi di Pengadilan sebagaimana

Page 3: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

3

Perma Nomor 01 Tahun 2008 dalam Pasal 4 hanya mengatur semua

sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama. Kedepan

diharapkan lembaga mediasi ini dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara

pidana, termasuk penyelesaian perkara pidana di lingkungan Peradilan Militer.

Proses pemeriksaan perkara di lingkungan Peradilan Militer didasari pada

penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara (Papera) kepada

Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili (Vide Pasal 123

ayat (1) butir f Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan

Militer). Makna penyerahan perkara sebagai dimaksud dalam pasal tersebut

Pengadilan Militer diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili

perkara tersebut yang berarti Pengadilan Militer diberikan kewenangan

sepenuhnya untuk menyelesaikan perkara yang dilimpahkan oleh Papera baik

melalui persidangan. Prinsip mediasi seyogianya dilaksanakan diluar

persidangan yang menjadi kewajiban Kepala Pengadilan Militer atau dapat

menunjuk Hakim mediasi. Tujuan mediasi pada prinsipnya untuk

penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban

termasuk kerugian yang diderita oleh Korban (victim). Oleh sebab itu yang

menjadi persoalan bagaimana penerapan mediasi yang tepat di lingkungan

Peradilan Militer dan perkara-perkara apa saja yang dapat diselesaikan

melalui lembaga mediasi, termasuk siapa saja yang terlibat dalam mediasi

tersebut dan apa produk hukum dari Pengadilan terhadap mediasi tersebut.

3. Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang penyesuaian

batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, yang mengatur

tentang tindak pidana ringan terhadap kejahatan dalam Pasal 364, 373, 379,

384, 407 ayat (1) dan Pasal 482 KUHP yang ditentukan dengan nilai barang

atau uang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Pemeriksaan di persidangan atas perkara tersebut oleh Hakim Tunggal

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 205 ayat (1) jo ayat (3) sampai Pasal

210 KUHAP. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan tersebut tidak diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,

sebab sesuai ketentuan Pasal 211 ayat (1) jo ayat (3) Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1997 acara pemeriksaan cepat dengan Hakim Tunggal hanya

berlaku pada perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan raya. Pada

Page 4: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

4

prinsipnya pemeriksaan dengan Hakim Tunggal dalam perkara tertentu untuk

percepatan penyelesaian perkara dapat dilaksanakan di lingkungan Peradilan

Militer apabila berpedoman pada Perma Nomor 02 Tahun 2012, namun

demikian perlu ditentukan secara eksplisit tindak pidana ringan apa saja yang

dapat diperiksa dan diadili di lingkungan Peradilan Militer, mengingat

kejahatan dalam KUHPM tidak dikenal perkara dengan kualifikasi tindak

pidana ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan perkara dengan Hakim Tunggal di

lingkungan Peradilan Militer dapat menerapkan ketentuan tindak pidana

ringan sebagaimana dimaksudkan dalam Perma Nomor 02 Tahun 2012.

4. Penerapan Pasal 45 A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, terkait

dengan pembatasan Kasasi terhadap perkara pidana yang diancam dengan

pidana penjara 1 tahun ke bawah. Di lingkungan peradilan militer ancaman

pidana penjara 1 tahun ke bawah sering diikuti dengan pidana tambahan

berupa pemecatan dari Dinas Militer. Hal ini menimbulkan persoalan

mengingat hukuman tambahan pemecatan dirasakan lebih berat

dibandingkan dengan hukuman badan, sehingga perlu dipertimbangkan

adanya pengecualian upaya hukum kasasi terhadap penerapan Pasal 45 A

ayat (2) huruf b dalam hal adanya pidana tambahan pemecatan bagi Prajurit

TNI.

B. Bidang Non Teknis Peraturan Panglima TNI No. 11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 tentang tata

cara pernikahan, perceraian dan rujuk bagi Prajurit TNI, dalam Pasal 10 ayat (1)

menyatakan Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat

izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Persoalan yang timbul di

lapangan izin cerai bagi Prajurit TNI melalui prosedur yang berjenjang

dilaksanakan melalui penelitian oleh Bintal Satuan sebelum diajukan kepada

pejabat yang berwenang, sehingga Prajurit TNI yang mengajukan permohonan

cerai khususnya di Pengadilan Agama mendapat hambatan karena belum

adanya izin dari Komandan Satuan. Ada kalanya putusan perceraian oleh

Pengadilan Agama dijatuhkan sebelum adanya surat izin dari Komandan Satuan

Page 5: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

5

mengingat izin cerai dari Kesatuan terlalu lama, dan akibatnya menimbulkan

persoalan dalam pembinaan personel dan administrasi yang dilaksanakan oleh

Satuan. Untuk mengatasi persoalan tersebut telah dikeluarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 tentang

petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun 1983 yang

mengatur batas waktu 6 bulan yang diberikan oleh Pengadilan Agama sebelum

memutus perkara tersebut untuk menunggu surat izin dari Komandan Satuan,

namun surat edaran tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Disamping itu

yang menjadi persoalan Pengadilan Agama terbeban karena terjadi penumpukan

perkara menunggu lamanya waktu yang diperlukan untuk selesainya perkara

perceraian yang salah satu pihaknya adalah Prajurit TNI, dan perlu diperhatikan

lagi di Pengadilan Agama masalahnya tidak hanya sampai pada perceraian,

namun akan berlanjut pada penentuan/gugatan harta gono-gini, hak asuh anak

dan lain sebagainya. Oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah agar SEMA

tersebut dapat dilaksanakan dan juga menjadi pedoman bagi Peradilan Agama

maupun pejabat di lingkungan TNI yang berwenang mengeluarkan izin tepat

pada waktunya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas terdapat beberapa

permasalahan sebagai berikut:

A. Bidang Teknis: 1. Apakah akibat yang ditimbulkan dengan adanya penjatuhan pidana tambahan

pemecatan terhadap prajurit TNI sesuai ketentuan Pasal 26 KUHPM?

2. Apakah Perma Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di

Pengadilan dapat diterapkan di lingkungan Peradilan Militer ?

3. Apakah Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012 tentang

penyesuaian batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP,

dengan Hakim Tunggal dapat diterapkan di lingkungan Peradilan Militer ?

4. Apakah Pasal 45 A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung RI, dapat

dikecualikan dalam hal upaya hukum kasasi terhadap adanya penjatuhan

pidana tambahan berupa pemecatan dari Dinas Militer terhadap Prajurit TNI?

Page 6: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

6

B. Bidang Non Teknis Apakah surat izin cerai yang dikeluarkan oleh Komandan Kesatuan

terhadap prajurit TNI yang mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan

Agama dapat dikeluarkan dalam tenggang waktu 6 bulan sesuai dengan SEMA,

mengingat keterlambatan tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap

percepatan penyelesaian perkara di lingkungan Pengadilan Agama?

PEMBAHASAN A. Bidang Teknis

1. Penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer bagi Prajurit

TNI dirasakan lebih berat dari pada pidana pokok berupa pidana badan, hal ini

dapat dilihat dari aspek sosiologis dan psikologis terhadap Terdakwa di samping

itu penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit dapat

menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap Kesatuan.

Norma penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim dalam sidang

pengadilan adalah Pasal 26 KUHPM yang menegaskan bahwa Terdakwa

berdasarkan kejahatan yang dilakukannya dipandang tidak layak lagi untuk tetap

berada dikalangan Militer. Ukuran layak atau tidak layak tersebut tidak diberikan

definisi yang jelas dalam Undang-Undang, sehingga Hakim diberikan kebebasan

untuk menafsirkan ukuran layak atau tidak layak yang dijadikan dasar penjatuhan

hukuman tambahan pemecatan dari Dinas Militer.

Penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap Prajurit TNI juga

didasarkan penilaian Hakim Militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh

Terdakwa sehingga dianggap tidak layak lagi dipertahankan dalam kalangan

Militer. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim Militer tidak dapat dialihkan

kepada Hakim Peradilan Umum dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan.

Penjatuhan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim Militer harus tercakup dan

tersirat dalam pertimbangan hukum putusan Hakim dan hal yang paling essensial

apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan maka keberadaan Terpidana dalam

kalangan Militer setelah selesai menjalani pidana akan menggoyahkan sendi-

sendi ketertiban dalam masyarakat Militer.

Hakekat yang menjadi dasar mengapa Hakim Peradilan Umum tidak

berwenang menjatuhkan pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas

Militer, adalah disebabkan karena wewenang penjatuhan pidana tambahan

Page 7: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

7

pemecatan bersifat khas Militer dan menjadi kewenangan Hakim Militer,

walaupun mungkin dapat terjadi dalam hal seorang Prajurit TNI diperiksa di

Pengadilan Umum dalam perkara koneksitas, Hakim Militer juga turut duduk

dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka penjatuhan pidana

pemecatan dapat dilaksanakan. Selain itu akibat yang ditimbulkan dengan

adanya pidana tambahan pemecatan tersebut ditinjau dari aspek sosiologis

maupun psikologis akan berpengaruh langsung kepada Terdakwa, sedangkan

dampak bagi Kesatuan berpengaruh dalam pembinaan personel diantaranya

dapat menimbulkan efek jera terhadap Pajurit TNI yang lain, sehingga akan

menimbulkan kepatuhan para Prajurit terhadap peraturan yang ada. Ukuran

layak dan tidak layak selain berpedoman kepada peraturan yang berlaku juga

indikator yang digunakan adalah bahwa terdakwa pernah melakukan tindak

pidana (residivis) dan/atau melakukan tindak pidana berlanjut. Oleh sebab itu

ketentuan pasal 26 KUHPM wajib dicantumkan dalam setiap putusan pengadilan

dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer, apabila

dalam putusan tersebut tidak mencantumkan ketentuan pasal 26 KUHPM

berakibat putusan tersebut batal demi hukum.

2. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 123 ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Perwira Penyerah

Perkara mempunyai wewenang menyerahkan perkara ke Pengadilan dengan

mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) yang akan

digunakan sebagai dasar oleh Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara di

lingkungan Pengadilan Militer. Skeppera yang dikeluarkan oleh Papera tersebut

pada prinsipnya menyerahkan kepada Pengadilan Militer guna menyelesaikan

perkara tersebut. Sedangkan bagi Oditur dengan adanya Skeppera tersebut

diberi kewenangan untuk melaksanakan penuntutan terhadap perkara

sebagaimana yang tercantum dalam Skeppera tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

tidak dikenal lembaga mediasi, sebagaimana Undang-Undang Peradilan Umum,

Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan Perma

Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan dalam Pasal 4

hanya dikenal dalam perkara perdata melalui Hakim mediasi. Proses mediasi

dalam perkara pidana dimungkinkan dalam hal Terdakwa mengakui

Page 8: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

8

perbuatannya, mampu membayar ganti rugi kepada korban, dan perkara yang

ancaman pidananya tergolong ringan. Sebagai contoh perkara kealpaan yang

menyebabkan orang lain luka-luka dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP. Dalam kasus

seperti ini upaya mediasi dapat dilakukan di luar persidangan yang diprakarsai

oleh Kepala Pengadilan atau Hakim mediasi yang ditunjuk. Dari penjelasan

tersebut di atas maka mediasi dalam perkara pidana bertujuan untuk percepatan

penyelesaian perkara dan juga memperhatikan kepentingan Korban. Oleh sebab

itu untuk mengikat agar mediasi tersebut dilaksakan seyogianya ada produk

Pengadilan berupa “Penetapan”. Dengan demikian perlu diatur tata cara dan

proses mediasi yang akan berlaku di lingkungan Pengadilan Militer, di samping

itu perlu segera ditentukan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan

melalui cara mediasi. Mengingat mediasi yang akan diterapkan di lingkungan

Peradilan Militer tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,

maka diperlukan payung hukum berupa Peraturan Mahkamah Agung yang

mengatur tentang tata cara dan prosedur mediasi di lingkungan Peradilan Militer,

dan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan melalui cara mediasi

sebagai wujud dari restorative justice.

Mediasi tersebut juga sebagai upaya atau kehendak terdakwa dan korban

untuk tidak menyelesaikan perkaranya di pengadilan mengingat proses

berperkara di pengadilan memakan waktu yang cukup lama, sehingga ada

pandangan keadilan tidak saja diperoleh di persidangan namun dapat diperoleh

di luar persidangan.

3. Dalam KUHAP acara pemeriksaan tindak pindana ringan diatur dalam

paragrap 1 bagian ke-6 dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP disidangkan

dengan Hakim Tunggal, sedangkan ketentuan tindak pidana ringan tidak diatur

secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer. Dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pada

dasarnya pemeriksaan sidang Pengadilan Militer dilaksanakan oleh Majelis

Hakim, namun demikian pengecualian persidangan dengan Hakim tunggal

dimungkinkan dalam kaitannya perkara-perkara pemeriksaan cepat, sesuai

ketentuan Pasal 211 sampai dengan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1997 diatur acara pemeriksaan cepat yang hanya berlaku bagi

Page 9: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

9

pemeriksaan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan dengan pemeriksaan

oleh Hakim tunggal. Oleh sebab itu Perma Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27

Februari 2012 dalam rangka percepatan penyelesaian perkara seyogyanya dapat

diterapkan juga dalam lingkungan Peradilan Militer.

4. Hak setiap warga negara dijamin dalam ketentuan Undang-Undang Dasar

1945 pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J dan Undang-Undang Nomor 9

tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut memberikan jaminan

kepada setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum

(equality before the law). Jaminan tersebut seharusnya tidak memberikan

batasan kepada setiap warga negara maupun prajurit yang akan membela hak-

haknya dalam melakukan penegakan dan upaya hukum. Sebagaimana kita

ketahui pidana tambahan berupa pemecatan dari Dinas Militer merupakan

hukuman yang berat bagi setiap prajurit. Dengan adanya ketentuan Pasal 45 A

huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 yang telah membatasi upaya hukum kasasi, hal tersebut pada prinsipnya

akan membatasi hak prajurit dalam upaya melakukan pembelaan diri yang

berkaitan dengan hukuman pidana tambahan berupa pemecatan. Dengan

adanya prinsip bahwa hukuman tambahan pemecatan dari Dinas Militer

merupakan hukuman yang dirasakan sangat berat, maka sudah selayaknya

ketentuan pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 dikecualikan terhadap prajurit yang dijatuhkan

pidana tambahan pemecatan dari Dinas Militer untuk melakukan upaya hukum

kasasi.

B. Bidang Non Teknis Izin cerai bagi Prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Peraturan Panglima

TNI Nomor 11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 tentang tata cara pernikahan,

perceraian dan rujuk bagi Prajurit TNI. Pasal 10 ayat (1) mengatur Prajurit TNI

yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin terlebih dahulu dari

pejabat yang berwenang. Dalam pelaksanaanya mengingat lamanya dikeluarkan

izin perceraian oleh pejabat yang berwenang melebihi tenggang waktu 6 bulan,

sehingga masih terjadi sebelum surat izin dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang gugatan perceraian telah diputus oleh Pengadilan Agama. Hal ini

Page 10: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

10

menimbulkan kesulitan bagi Kesatuan dalam menertibkan administrasi personel

misalnya untuk menentukan status perkawinan yang masih tercatat di Kesatuan

terhadap istri yang sah. Oleh sebab itu dengan dikeluarkannya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 tentang petunjuk

pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun 1983 diharapkan

Pengadilan Agama yang menangani gugatan perceraian Prajurit TNI seyogianya

memperhatikan apakah prajurit tersebut sudah mendapat izin cerai dari

Komandan Satuan yang berwenang, sehingga tidak menimbulkan persoalan

dikemudian hari dalam pembinaan prajurit. Surat Edaran Mahkamah Agung

tersebut oleh Pengadilan Agama seyogianya dijadikan pedoman untuk

mengantisipasi terjadinya penyimpangan administrasi terkait dengan izin cerai

dari pejabat yang berwenang sebagai syarat formal yang harus dipenuhi oleh

setiap Prajurit TNI. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya

putusan perceraian oleh Peradilan Agama sebelum ada surat izin dari atasan

yang berwenang, maka perlu dilakukan koordinasi antara Pengadilan Agama

yang menerima gugatan perceraian Prajurit TNI untuk dapat menginformasikan

secara formal kepada Kepala Pengadilan Militer agar persyaratan surat izin cerai

dari Komandan Satuan dapat segera diterbitkan tidak melampaui tenggang

waktu 6 bulan sebagaimana ditentukan oleh surat edaran dimaksud. Agar

koordinasi antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer dapat berjalan

dengan baik, maka lebih tepat kiranya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung

yang bersifat penekanan kembali kepada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor

5 tahun 1984 tanggal 17 April 1984 yang berisi perlunya memberikan informasi

kepada Pengadilan Militer dalam hal ada Prajurit TNI yang mengajukan gugatan

perceraian di Pengadilan Agama. Tujuan yang diharapkan dengan

diinformasikannya gugatan perceraian Prajurit TNI di Pengadilan Agama, maka

Pengadilan Agama tidak terbebani menunggu surat izin cerai yang dikeluarkan

oleh Kesatuan, sehingga diharapkan Kepala Pengadilan Militer dapat membantu

mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan percepatan

dikeluarkannya surat izin cerai oleh Pejabat yang berwenang.

Page 11: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

11

KESIMPULAN A. Bidang Teknis

1. Pidana tambahan pemecatan Prajurit TNI dari Dinas Militer memiliki aspek

sosiologis maupun psikologis yang akan berpengaruh langsung kepada diri

pribadi Terdakwa, sedangkan dampak pada Kesatuan berpengaruh dalam

pembinaan personel diantaranya dapat menimbulkan efek jera terhadap

Pajurit TNI yang lain. Dalam menjatuhkan hukuman tambahan pidana

pemecatan dari Dinas Militer Hakim wajib mencantumkan ketentuan Pasal 26

KUHPM, apabila ketentuan Pasal 26 KUHPM tidak dicantumkan dalam

putusan dapat berakibat putusan batal demi hukum.

2. Pelaksanaan Mediasi dalam perkara pidana di lingkungan Pengadilan Militer

pada prinsipnya dapat dilaksanakan diluar persidangan oleh Kepala

Pengadilan Militer atau Hakim mediasi yang ditunjuk dalam perkara-perkara

tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008, dan

perkara-perkara lain yang oleh pendapat Ketua Pengadilan dapat

diselesaikan melalui mediasi, yang bertujuan untuk percepatan penyelesaian

perkara dan melindungi kerugian yang timbul dari pihak korban. Adapun

produk yang dikeluarkan Pengadilan dari hasil mediasi tersebut berupa

“Penetapan”. Oleh sebab itu diperlukan payung hukum berupa Peraturan

Mahkamah Agung yang mengatur tata cara dan prosedur mediasi di

lingkungan Peradilan Militer, dan tindak pidana apa saja yang dapat

diselesaikan melalui cara mediasi.

3. Acara pemeriksaan dengan Hakim Tunggal di lingkungan Peradilan Militer

hanya dikenal dalam perkara pemeriksaan cepat (perkara lalu lintas dan

angkutan jalan) sesuai ketentuan Pasal 211 sampai dengan Pasal 214

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Dengan berlakunya Perma Nomor

02 Tahun 2012 dalam rangka percepatan penyelesaian perkara, maka

pemeriksaan dengan Hakim Tunggal dapat diterapkan di lingkungan

Peradilan Militer, namun demikian perlu ditentukan secara jelas perkara apa

saja yang dapat diselesaikan dengan Hakim Tunggal, sehingga diperlukan

payung hukum berupa Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur tentang

hal tersebut.

Page 12: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

12

4. Ketentuan Pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 jo

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yang telah membatasi upaya hukum

kasasi, perlu adanya pengecualian bagi Prajurit TNI yang dijatuhi pidana

tambahan pemecatan dari Dinas Militer dapat mengajukan upaya hukum

kasasi, oleh sebab itu perlu didukung dengan Surat Edaran Mahkamah

Agung RI.

B. Bidang Non Teknis Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17

April 1984 tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 tahun

1983 adanya batas waktu 6 bulan yang diberikan oleh Pengadilan Agama

dikeluarkannya surat izin cerai oleh pejabat yang berwenang di lingkungan TNI,

seyogianya dipedomani sebagai syarat formal yang harus dipenuhi oleh setiap

Prajurit TNI. Oleh sebab itu perlu adanya koordinasi antara Pengadilan Agama

dengan Pengadilan Militer, sehingga surat izin cerai yang dikeluarkan oleh

pejabat yang berwenang di lingkungan TNI tidak melampaui batas waktu yang

sudah ditentukan.

SARAN Berkenaan dengan uraian pembahasan dan kesimpulan tersebut di atas,

bersama ini disampaikan saran / rekomendasi kepada Yang Mulia Ketua

Mahkamah Agung RI sebagai berikut:

1. Mohon menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai penekanan

kembali Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17

April 1984, yang berisi agar Pengadilan Agama menginformasikan kepada

Pengadilan Militer dalam hal adanya gugatan perceraian oleh Prajurit TNI di

Pengadilan Agama, guna membantu percepatan penyelesaian perkara.

2. Mohon menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berisi

pengecualian penerapan Pasal 45 A huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

terhadap Prajurit TNI yang mendapat hukuman tambahan dipecat dari Dinas

Militer berhak mengajukan upaya Hukum Kasasi.

Page 13: RUMUSAN HASIL DISKUSI KOMISI III BIDANG PERADILAN … RUMUSAN PIDANA MILITER 2012(1).pdf · penyelesaian percepatan perkara dan memperhatikan kepentingan Korban termasuk kerugian

13

3. Mohon menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai payung hukum

dalam rangka pelaksanaan mediasi dalam perkara pidana di lingkungan

Peradilan Militer.


Recommended