BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang
ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE
belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004).
Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum
pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang
berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang
meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE
yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat.
Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE
dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi
diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE
laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004).
Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi
lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak
diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai
pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.
Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan
kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering
terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1,
dan umumnya pada kelompok usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).
Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit SLE, maka
pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan SLE, dengan
tujuan untuk memudahkan memahami patofisiologi penyakit, diagnosis, dan
tatalaksana yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus)
adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi
yang muncul dan organ yang terkena.
2.2 Etiologi
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi
yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel
darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Telah
diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor
yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi
perdebatan faktor mana yang manjadi penyebab utama sehingga masih menjadi
fokus utama penelitian.
Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita
penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti
arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus
meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang
lupus.
Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 8:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor
hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus
dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehinggan harus
benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang
mengandung estrogen pada Odapus.
Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
o Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini
dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun
mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan
dengan penyebab lupus.
o Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan
racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
o Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya
lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya
seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
o Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan
manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan
munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari
dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah
namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat.
2.3 Patogenesis
Mekanisme patogenik dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi
antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respons imun
yang abnormal. Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel
dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam
RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun
(Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T
CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel apoptotik dan kompleks imun.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La;
fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel
apoptotik, sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun tersebut dapat
bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan
penyakit berkembang secara lambat (Hahn et al,2005).
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respons imun abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible. Keterangan: Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti
dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan
interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte
stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu
oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan
natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor
(TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah
produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun,
dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi
komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan
Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu
pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan
terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan
jaringan lainnya. (Hahn et al,2005)
Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia
memang memiliki respons antibodi yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita
yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih
hormone memiliki peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol
berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan
aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang
memanjang (Hahn et al,2005).
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE
(Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan
SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis
pada sel kulit atau adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan
membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons
imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-
antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi
autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi
hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan
bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum
kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang patogen cukup
untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen
infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi
genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV
dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV
mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam
beberapa dekade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan
sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh
autoantibodi pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi
genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan respons imun abnormal akan
mengakibatkan autoimunitas (Hahn et al,2005).
2.4 Gejala
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada
penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh
masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal
penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan
melibatkan organ lainnya.
Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari
tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar
oleh sinar matahari.
Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di
dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan
ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita
perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering
ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa
terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf.
Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa
kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai
akibat dari keadaan tersebut.
Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
Gejala dari penyakit lupus:
- demam
- lelah
- merasa tidak enak badan
- penurunan berat badan
- ruam kulit
- ruam kupu-kupu
- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
- sensitif terhadap sinar matahari
- pembengkakan dan nyeri persendian
- pembengkakan kelenjar
- nyeri otot
- mual dan muntah
- nyeri dada pleuritik
- kejang
- psikosa.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
- hematuria (air kemih mengandung darah)
- batuk darah
- mimisan
- gangguan menelan
- bercak kulit
- bintik merah di kulit
- perubahan warna jari tangan bila ditekan
- mati rasa dan kesemutan
- luka di mulut
- kerontokan rambut
- nyeri perut
- gangguan penglihatan.
2.5 Diagnosa dan Pemeriksaan
Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala
lupus yang khas, yaitu:
1. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung)
2. Ruam pada kulit
3. Luka pada mulut (biasanya tidak menimbulkan nyeri)
4. Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya
5. Artritis (artritis non-erosif yang melibatkan 2 atau beberapa sendi perifer,
dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan)
6. Kelainan fungsi ginjal
- kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++
- adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah
merah/putih maupuan sel tubulus ginjal
7. Fotosensitivitas (peka terhadap sinar matahari, menyebabkan pembentukan
atau semakin memburuknya ruam kulit)
8. Kelainan fungsi saraf atau otak (kejang atau psikosa)
9. Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibodi antinuklear
10. Kelainan imunologis (hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda, tes anti-
Sm, tes antibodi antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes sifilis)
11. Kelainan darah
-Anemia hemolitik atau
-Leukopenia (jumlah leukosit <4000 sel/mm?) atau
-Limfopenia (jumlah limfosit < 1500 sel/mm?) atau
-Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm?).
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa
ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA
rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk
lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang
berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya,
mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.
2. Ruam kulit atau lesi yang khas
3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung
5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
6. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
7. Biopsi ginjal
8. Pemeriksaan saraf.
2.6 Pengobatan
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang
efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan
secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan
darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga
mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu),
dapat mengganggu fungsi ginjal janin
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan
oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga
dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan
tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat.
Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan
osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit
jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan
bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian
bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama
dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat
imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi
diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi
pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis
yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis
avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama
dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan
obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat
merupakan kunci pengobatan yang baik.
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.
Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif,
Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan
untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk
jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol,
efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang
menetap serta cukup aman pada kehamilan.
4. Immunosupresan
Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi
biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel
sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi,
sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4%
kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki
gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama
kehamilan.
Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin,
proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid,
MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih
sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat
ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine
namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada
wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan.
Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam
minggu sebelum konsepsi yang direncanakan.
Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai
agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada selsel sistem
kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu
sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak
pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi
risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia,
trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat
terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan
penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi.
Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin
serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga
pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap
aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan
memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai
organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek
pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid
saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf
pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian
atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping
utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan
fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan.
Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria
maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan
sebelum konsepsi.
Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi
dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat
autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa
odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk
Lupus.
Recommended