36
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK------------------------------------------------------------------------------------i ABSTRACT-----------------------------------------------------------------------------------ii DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------iii DAFTAR GAMBAR-----------------------------------------------------------------------v BAB I PENDAHULUAN----------------------------------------------------------1 1.1 Alasan Pemilihan Masalah------------------------------------------1 1.2 Metode dan Teknik Penulisan--------------------------------------1 1.3 Organisasi Karangan-------------------------------------------------1 BAB II TINJAUAN UMUM LUPUS ERITEMATOSUS -------------------3 2.1 Definisi Lupus Eritematosus-----------------------------------------3 2.2 Sejarah Lupus Eritematosus-----------------------------------------3 2.3 Klasifikasi Lupus Eritematosus -------------------------------------5 2.4 Epidemiologi Lupus Eritematosus----------------------------------6 2.5 Etiologi Lupus Eritematosus-----------------------------------------6 2.6 Patogenesis Lupus Eritematosus------------------------------------7 2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum---------8 2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit --------------------8 2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada SSP--------------------10 2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal-----------------11 2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata-------------------12 2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada GI----------------------13 2.8 Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus -------------------13 2.9 Diagnosis Lupus Eritematosus--------------------------------------15 2.10 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum--------15

Lupus Eritematosus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lupus Eritematosus

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK------------------------------------------------------------------------------------i

ABSTRACT-----------------------------------------------------------------------------------ii

DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------------iii

DAFTAR GAMBAR -----------------------------------------------------------------------v

BAB I PENDAHULUAN----------------------------------------------------------1

1.1 Alasan Pemilihan Masalah------------------------------------------1

1.2 Metode dan Teknik Penulisan--------------------------------------1

1.3 Organisasi Karangan-------------------------------------------------1

BAB II TINJAUAN UMUM LUPUS ERITEMATOSUS -------------------3

2.1 Definisi Lupus Eritematosus-----------------------------------------3

2.2 Sejarah Lupus Eritematosus-----------------------------------------3

2.3 Klasifikasi Lupus Eritematosus -------------------------------------5

2.4 Epidemiologi Lupus Eritematosus----------------------------------6

2.5 Etiologi Lupus Eritematosus-----------------------------------------6

2.6 Patogenesis Lupus Eritematosus------------------------------------7

2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum---------8

2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit --------------------8

2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada SSP--------------------10

2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal-----------------11

2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata-------------------12

2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada GI----------------------13

2.8 Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus -------------------13

2.9 Diagnosis Lupus Eritematosus--------------------------------------15

2.10 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum--------15

Page 2: Lupus Eritematosus

2.11 Prognosis Lupus Eritematosus----------------------------------- 16

2.12 Pencegahan Lupus Eritematosus-------------------------------- 16

BAB III MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS

PADA RONGGA MULUT---------------------------------------------- 18

BAB IV PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS

DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI---------------------------------- 22

BABV KESIMPULAN DAN SARAN----------------------------------------- 25

5.1 Kesimpulan----------------------------------------------------------- 25

5.2 Saran------------------------------------------------------------------- 25

DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------ 27

Page 3: Lupus Eritematosus

ABSTRAK

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa

penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus

eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun

yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf,

ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.

Etiologi lupus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat

menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.

Manifestasi klinis dan prognosis lupus bervariasi dari ringan sampai berat.

Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dapat berupa lesi yang

spesifik seperti ulser atau erosi pada bukal atau palatum, dan lesi seperti lichen

planus. Lesi yang tidak spesifik seperti herpes simpleks labialis, lesi prakanker

leukoplakia, atau kandidiasis. Lesi pada rongga mulut biasanya dipicu oleh

penggunaan obat kortikosteroid.

Dokter gigi hendaknya tidak hanya memeriksa keadaan gigi pasien saja tetapi

juga memperhatikan keadaan mukosa dalam rongga mulut. Manifestasi pada rongga

mulut yang berupa ulser bisa menjadi deteksi awal penderita lupus. Oleh karenanya

sebagai dokter gigi diharapkan terus menambah wawasan mengenai berbagai

kelainan/penyakit sistemik dan manifestasinya dalam rongga mulut serta

penatalaksanaannya di bidang Kedokteran Gigi.

Kata kunci : Faktor imun, lupus erithematosus, lesi oral, penatalaksanaan di bidang

Kedokteran Gigi.

Page 4: Lupus Eritematosus

ABSTRACT

Immune factors have an important role in human body. Immune disorders can

be found in lupus erythematosus patient. Lupus erythematosus is a chronic systemic

autoimmune disease affecting multiple organ sytems, include skin, nervous systems,

gastrointestinal system, eyes, also mouth.

The aetiology of lupus erythematosus still uncertain, but a lot of theorys has

been made according to the same pathogenesis. Prognosis of lupus erythematosus is

vary, from mild to severe.

Spesific oral lesions in lupus erythematosus include oral ulcer, and lichen

planus like lesion. Non specific oral lesions include herpes simplex labialis, Steven

Jhonson’s Syndrome, oral candidiasis, and oral precancer leukoplaqia or

erythroplaqia. Oral lesions usual triggered by corticosteroid drugs.

Dentist should not check only to the teeth but also have to give attention to

oral mucosa. Oral ulcer in lupus can be early sign to detect this patient. So, as a

dentist must up date him or herself about medical knowledge, include the oral

manifestation and its treatment in dentistry.

Keywords : Immune factors, lupus erythematosus, oral lesion, treatment in dentistry

Page 5: Lupus Eritematosus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Masalah

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi

lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum

pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada

beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit lupus yang bermanifestasi

pada kulit.

Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat dan melibatkan banyak

organ, termasuk rongga mulut. Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di

seluruh dunia maupun di negara berkembang termasuk Indonesia.

Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan

dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari dokter gigi. Dokter gigi diharapkan

dapat memahami berbagai kelainan pada mulut dan gigi, karena dapat membantu

mendeteksi penyakit / kelainan sistemik yang ada pada pasien.

Tulisan mengenai penyakit lupus eritematosus belum banyak didapat,

sehingga penulis merasa tertarik untuk membahasnya. Diharapkan makalah ini dapat

bermanfaat dalam menambah wawasan mengenai manifestasi penyakit sistemik

dalam rongga mulut dan penatalaksanaannya, terutama bagi para dokter gigi.

1.2 Metode dan Teknik Penulisan

Penulis menyusun makalah ini berdasarkan penelusuran pustaka dengan

mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan

masalah yang dibahas.

1.3 Organisasi Karangan

Penulis membagi makalah ini menjadi lima bab dengan sistematika sebagai

berikut :

Page 6: Lupus Eritematosus

Bab I : merupakan pendahuluan yang menguraikan alasan pemilihan masalah,

metode dan teknik penulisan serta organisasi karangan.

Bab II : merupakan tinjauan umum lupus eritematosus yng terdiri dari definisi

lupus eritematosus, sejarah lupus eritematosus, klasifikasi lupus

eritematosus, epidemiologi lupus eritematosus, etiologi lupus

eritematosus, patogenesis lupus eritematosus, manifestasi lupus

eritematosus secara umum, pemeriksaan penunjang lupus eritematosus,

diagnosis lupus eritematosus, prognosis lupus eritematosus, pencegahan

lupus eritematosus.

Bab III : menguraikan mengenai manifestasi klinis lupus eritematosus pada

rongga mulut.

Bab IV : menguraikan mengenai penatalaksanaan lupus eritematosus di Bidang

Kedokteran Gigi

Bab V : kesimpulan dan saran

Page 7: Lupus Eritematosus

BAB II

TINJAUAN UMUM LUPUS ERITEMATOSUS

2.1 Definisi Lupus Erythematosus

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan

dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. (1). Lupus

Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh

menyerang jaringannya sendiri (2).

2.2 Sejarah Lupus Eritematosus

Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu (3):

1. Periode Klasik

Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan dan

memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah lupus

muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis yang

mendeskripsikan classic malar rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit wajah yang

menyerupai gigitan serigala

Sejarah lupus pada zaman klasik berdasarkan atas gambaran klinis berupa lesi

di kulit yang meliputi lupus vulgaris, lupus profundus, lupus diskoid, dan

fotosensitivitas pada ruam malar/ butterfly rash.. Gambaran klasik penampakan kulit

lupus dideskripsikan juga oleh beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang

murid ahli kulit berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX,

kemudian oleh Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent

Biett, pada tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid

dan menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama Ferdinand von Hebra, pada

akhir abad XIX

Page 8: Lupus Eritematosus

Lesi berupa ruam diskoid pertama kali diperkenalkan pada tahun 1833 oleh

Cazenave dengan nama eritema sentrifugum, sedangkan ruam yang sekarang dikenal

sebagai ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh Hebra pada tahun 1846.

Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali dipublikasikan berasal dari tulisan

von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856.

2. Periode Neoklasikal

Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan manifestasi

penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus eritematosus, yaitu tipe

diskoid dan tipe disseminated. Kaposi juga menyebutkan beberapa tanda/gejala yang

menggambarkan tipe disseminated, yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi,

sinovial pada sendi kecil maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan

berkurang, anemia, keterlibatan SSP.

3. Periode Modern

Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh Hargraves

dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita lupus eritematosus

tipe disseminated akut.

Dua penanda imunologik pada penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950,

yaitu tes false-positif biologis untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk antinuclear

antibodi.

Ada dua kemajuan utama pada periode modern yaitu perkembangan studi

lupus pada binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik pada perkembangan

lupus.

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata

“lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani

yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung

dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi pendapat lain

menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah

Page 9: Lupus Eritematosus

topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di

wajahnya. Topeng ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala

atau ”wolf” dalam bahasa Inggris (3).

2.3 Klasifikasi Lupus Eritematosus

Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4

bagian besar, yaitu (4):

1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE)

Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :

a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi:

1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus

2) Oral Discoid lupus Erythematosus

3) Lupus Erythematosus panniculitis

b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)

2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)

Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE)

3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus

diklasifikasikan menjadi (2):

1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

3. Bullous form

4. Neonatal form (NLE)

5. Acute Cutaneous form (ACLE)

6. Subacute Cutaneous form (SCLE)

Page 10: Lupus Eritematosus

7. Chronic Cutaneous form (CCLE)

8. Childhood onset (CSLE)

9. Drug Induced (DILE)

2.4 Epidemiologi Lupus Eritematosus

Lupus Erithematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh

dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika

Serikat diperkirakan antara 270.000-1.500.000 orang mengidap lupus. Penyakit

lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding

pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45

tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun (2).

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika,

Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per

100.000 orangper tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9

pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika.

Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat

menjadi sukar dipahami (5).

2.5 Etiologi Lupus Eritematosus

Etiologi lupus eritematosus, seperti halnya penyakit autoimun lain, adalah

tidak diketahui (6). Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang

pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal

sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu

nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi

kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami

apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya

sendiri. Teori lainnya menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan

lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA (2).

Page 11: Lupus Eritematosus

Faktor-faktor seperti paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat

menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus eritematosus sistemik. Apapun etiologinya,

selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen

spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility

Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B,

begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya

peningkatan autoantibodi (2).

2.6 Patogenesis Lupus Eritematosus

Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan

anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti

oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,

termasuk kulit dan ginjal (7).

Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus,

yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8).

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi

lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human

Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major

Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita

lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau

C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh

sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga

komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6).

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi

ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity

dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar

UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang

Page 12: Lupus Eritematosus

peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya

kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok

yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,

berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik

aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.

Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor

lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada

penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel

permukaan dan apoptosis. (8)

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis.

Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari

patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara

langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan

dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (8).

2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum

Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah

”lupus”, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan

(2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50%

melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis

arteri dan vena (10).

2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit

Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam

diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan

ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal

maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam

malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut

Page 13: Lupus Eritematosus

dipicu oleh paparan cahaya matahari.(6,11,12).. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.

Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah

pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan

dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena

penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan

meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut (6).

Gambar 2.1. Lesi awal DLE Gambar 2.2. Butterfly Rash

Gambar 2.3.Jaringan atropi Gambar 2.4. Jaringan parut

Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia Gambar 2.6. Eritematosa pada jari

Page 14: Lupus Eritematosus

2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat

Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa

sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari

ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke).

Manifestasi utama dari Lupus SSP :

1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)

2. Sakit kepala

3. Seizure

4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)

5. Meningitis aseptik

6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian – bagian otak yang berbeda)

7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan

kaki)

8. Gangguan pergerakan

9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)

10. visual alternation

11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)

Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu

sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan

inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari

dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology.

Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat

lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien

lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness pada

leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark

singel atau multipel.

Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi

antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan

Page 15: Lupus Eritematosus

darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah

pada otak ( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya

tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara.

Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45-

50% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus

SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu

menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP.

Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan

komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau

kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai

terjadinya paraplegia.

Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana

SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak

disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi

gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a

mottled skin rash), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang

mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan,

kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan

kognitif adalah intermiten.

Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu

ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi

meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik

atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan

kerusakan permanen pada SSP (13).

2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal

Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira

50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik

sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal

Page 16: Lupus Eritematosus

yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus,

tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas

sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi

yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15).

2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata

Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek

eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan

ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering

yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogren’s sindrome atau

sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan

dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan

jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang

melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu

dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea.

Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi

pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat

kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit

berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada

retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini

dapat ditemukan walau disertai gejala lain.

Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ

lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi

cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada

kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat

menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy.

Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan

tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor

intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).

Page 17: Lupus Eritematosus

Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati

dapat menyebabkan kebutaan.

Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada

mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtscher’s retinopathy, adanya cotton

wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16).

2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal

Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling

mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase

keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%,

sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17).

Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan

beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi,

perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali

dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak

mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).

2.8 Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada penyakit lupus adalah

pemeriksaan laboratorium darah. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan

adanya anemia hemolitik, trombositopeni, limfopenia, atau leukopenia; erytrocyte

sedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, test Coombs mungkin

positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, serum globulin

meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering ditemukan pada urin (18).

Hasil pemeriksaan imunologis pada penderita lupus adalah untuk tes ANA,

positif pada 95% kasus lupus eritematosus sistemik. Tes sel lupus eritematosus

sebenarnya spesifik tapi tidak terlalu sensitif sehingga dihapus dari kriteria American

College of Rheumatology (ACR). Tes Double-stranded DNA/ ds-DNA , anti-dsDNA

sebetulnya spesifik tanpa tidak cukup sensitif, biasanya mengindikasikan adanya

Page 18: Lupus Eritematosus

penyakit pada ginjal. Tes antibodi anti-Sm, sensitifitas kurang dari 10% tetapi dengan

spesifitas yang tinggi. Tes antinuklear ribonucleic acid protein (anti-nRNP)

menunjukkan hasil titer yang rendah pada penderita lupus eritematosus sistemik. Tes

antibodi anti-La positif pada penderita lupus. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25%

penderita lupus, 40% penderita Sjogren’ syndrome. Tes komplemen serum, bila

rendah menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya disertai penyakit ginjal.

Tes band lupus, merupakan tes imunofluoresen langsung pada kulit. Tes

antiphopholipid termasuk antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Hasil tes

ini positif pada penderita lupus (18).

Bila tes ANA positif atau bila ada kecurigaan kearah lupus eritematosus

sistemik tetapi tes ANA negatif, dilakukan tes lain yaitu anti RNP, anti double

stranded DNA, dan antibodi anti-Smith. Pemeriksaan komplemen juga diperlukan.

Antibodi anti-Smith biasa ditemukan pada 20% penderita lupus (2)

Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi, dengan cara

biopsi. Hasil biopsi memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis yang signifikan,

infiltrasi limfosit yang dalam dan tidak sempurna dengan proses flame-shape rete dan

membran dasar yang menebal, hiperkeratosis, follicular plugging, dan adanya

infiltrasi sel inflamasi. Tes lupus band memperlihatkan deposit imunoglobulin pada

membaran dasar epitel. Deposit glanular terutama IgM ditemukan pada membran

dasar dari lesi (2,19)

Gambar 2.7 Gambaran Histologi lupus eritematosus

Page 19: Lupus Eritematosus

2.9 Diagnosis Lupus Eritematosus

Untuk membedakan lupus dengan penyakit lain, ahli medis dari American

Rheumatism Association telah nenetapkan 11 kriteria kelainan yang terjadi dalam

mendiagnosis lupus eritematosus yaitu bila ada 4 poin dari 11 manifestasi kelainan.

Kriteria ini dikemukan oleh Dr Graham Hughes pada tahun 1982 yaitu : ruam malar,

ruam diskoid, fotosensitifitas, ulser pada rongga mulut, artritis, serositis, gangguan

pada ginjal, gangguan pada sistem saraf, gangguan perdarahan, gangguan imunologis,

antibodi antinuklear (4,5,6,9)

2.10 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum

Tujuan penatalaksanaan pada penderita lupus adalah untuk meningkatkan

keadaan umum penderita, mengontrol lesi yang ada, mengurangi bekas luka, dan

untuk mencegah pertumbuhan lesi lebih lanjut. Penderita lupus juga perlu mengetahui

kemungkinan adanya manifestasi sistemik yang beresiko serius, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium secara reguler (19).

Pengobatan sesuai standar medis meliputi pemberian kortikosteroid (topikal

atau intralesi) dan antimalaria. Lupus Eritematosus memperlihatkan manifestasi dan

gejala-gejala pada banyak organ sehingga penatalaksanaan secara sistemik perlu

dilakukan. Drug of choice yaitu anti malaria hydroxychloroquine terutama pada

pasien dengan poliartralgia dan manifestasi pada kulit. Pengobatan ini memberi

resiko kecil terhadap terjadinya retinopathy, karena bersifat reversibel bila obat

dihentikan (2)., tetapi antimalaria kurang efektif pada pasien perokok. Alternatif obat

lainnya yaitu auranofin, thalidomide, topikal retinoid, interferon, dan agen

imunosupresif. Thalidomide memberi keberhasilan penyembuhan pada lesi DLE

tetapi sering menyebabkan teratogenik dan resiko neuropathy . Injeksi intralesi

dengan kortikosteroid (triamsinolon asetonid 3 mg/ml) juga berguna. Diantara agen

Page 20: Lupus Eritematosus

imunosupresif, methotrexate sering digunakan pada kasus lupus yang berat,

disamping azathioprine dan mycophenole mofetil yang sangat efektif (2,19).

2.11 Prognosis Lupus Eritematosus

Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita lupus

eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak

menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada beberapa kasus perlu dilakukan

dialisis dan transplantasi ginjal. Lebih dari 85% penderita lupus mengalami kelainan

darah seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang dapat terjadi

adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan miokarditis (2).

Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus lebih baik,

meskipun lesi secara kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan

biasanya tidak membuat penderita harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10%

penderita diskoid lupus yang berkembang menjadi sistemik lupus (11).

Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih

banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil yang

menyatakan kematian selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian

biasanya terjadi karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP

(36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum usia 15 tahun, maka

keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi dapat menyebabkan kematian (20).

2.12 Pencegahan Lupus Eritematosus

Etiologi dari lupus adalah belum diketahui secara pasti sampai saat ini, tetapi

beberapa tindakan pencegahan dapat saja dilakukan. Pencegahan yang dapat

dilakukan adalah pada penggunaan obat-obat terapeutik, sehingga dapat dikurangi

gejala dan tanda-tanda yang menjadi efek sampingnya. Selain itu perlu diperhatikan

Page 21: Lupus Eritematosus

pula penggunaan kacamata, sunscreen, pakaian yang melindungi dan minyak /

pelembab untuk melindungi kulit dari sinar UVA sehingga dapat mengurangi atau

mencegah ruam pada kulit dan kemungkinan naussea (2).

Penggunaan obat steroid dapat mencegah timbulnya poliartritis dan lesi pada

kulit, tetapi pada pasien dengan pengobatan steroid jangka panjang beresiko terkena

osteoporosis, sehingga dosis steroid perlu dikurangi sampai seminimum mungkin,

dan pasien juga perlu diberikan kalsium,vitamin D, kalsitonin, dan biophosphonates

untuk meningkatkan pembentukan tulang.

Page 22: Lupus Eritematosus

BAB III

MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS PADA RONGGA MULUT

Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada lupus

eritematosus, seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus eritematosus

sistemik. Lesi terlihat sebagai daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh

tepi putih yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum, mukosa bukal, dan

palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa sakit (2).

Gambar 2.8 Ulserasi putih ireguler pada bukal Gambar 2.9 erosi pada bukal

Gambar 2.9 Erosi pada palatum

Page 23: Lupus Eritematosus

Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti

rasa kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan panas dan

pedas. Infiltrasi limfosit kelenjar saliva minor ditemukan pada 50-75% pasien, baik

mereka mengeluhkan adanya rasa kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate

yang tidak terstimulasi menurun pada banyak penderita lupus eritematosus sistemik.

Lupus eritematosus sistemik juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s

Syndrome (2).

Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa

aphtae ( canker sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis

aphtous rekuren. Lesi ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya

berukuran kecil ( kurang dari 1 cm), terasa sakit, dapat ditemukan pada mukosa

bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih besar, dan terlihat

pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai plak berwarna

merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus (21)

Gambar 2.10 Lesi mirip lichen planus

Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat

berupa lesi herpes simplex labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil blister

pada bibir dan gusi. Lesi ada selama dua sampai empat minggu, dapat sembuh dengan

sendirinya. Penderita lupus eritematosus mendapatkan terapi imunosupresif sehingga

menyebabkan lesi kambuh lebih sering yaitu hampir setiap bulan. Lesi non spesifik

Page 24: Lupus Eritematosus

lainnya adalah Steven – Jhonson’s Syndrome (SJS). Penyakit ini merupakan

komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS dipicu oleh obat-

obatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan, dan obat pain killer. Pada

penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital, dn kulit biasanya dua

sampai empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada kulit disebut ”target” karena

adanya konfigurasi melingkar. Bila lesi ini bergabung sehingga terjadi erosi yang

meluas penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit.(21).

Gambar 2.10 Lesi herpes simplex

Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan

thrush, yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif

seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putih-merah yang dapat

ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut. Lesi biasanya asimtomatik, tetapi

penderita mengeluhkan rasa terbakar dan kesulitan menelan. Lesi lain yang dapat

ditemukan pada individu yang mendapat terapi imunosupresif adalah kanker pda

mukosa seperti karsinoma sel skuamosa, yang mempengaruhi kulit, oral dan genital.

Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak putih (leukoplakia) atau plak merah

(eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah (21)

Page 25: Lupus Eritematosus

Gambar 2.11 Thrush

.

Gambar 2.11 Lesi prekanker Leukoplakia

Page 26: Lupus Eritematosus

BAB IV

PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS DI BIDANG

KEDOKTERAN GIGI

Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor, yang

pertama yaitu komunikasi antara pasien, tenaga medis, baik dokter atau dokter gigi.

Pasien harus menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya, termasuk riwayat

pengobatan sebelumnya sehingga dokter gigi dapat mengetahui keadaan medis pasien

dengan baik, disamping mendapatkan informasi langsung dari dokter yang merawat

pasien sebelumnya. Jika pasien lupus membutuhkan operasi gigi, maka perlu

dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan dokter. Prosedur operasi mungkin

memerlukan perubahan pada dosis obat steroid dan memerlukan antibiotik profilaksis

terutama pada pasien lupus disertai penyakit jantung. Pemeriksaan setelah operasi

harus lebih sering dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan

pasien non lupus. Faktor kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self

examination). Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap

individu di rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut

dapat terdeteksi lebih dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin

menjaga kebersihan rongga mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan yang

cukup mengenai kesehatan rongga mulutnya maka keadaan yang lebih parah dapat

terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,misalnya untuk kasus periodontal, satu-

satunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang baik minimal dua kali sehari.

Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss, dental tape, dan rubber tips (22).

Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulser/ apthae pada penderita

lupus eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan

dengan anti-metabolit seperti azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil

(CellCept) dengan cyclophosphamide. Sebagai terapi tambahan dapat diberikan

Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150 mg/hari, atau thalidomide 100-

Page 27: Lupus Eritematosus

200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada diskoid lupus

eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi obat topikal dan sistemik. Terapi

topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel (diaplikasikan 4-5 kali

sehari), dengan atau tanpa topikal tacrolimus ointment (2-3 kali sehari). Thalidomide

100-200 mg sehari, dengan atau tanpa hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua

kali sehari sangat efektif. Pemberian terapi sistemik imunosupresif seperti

azathioprine, mycophenolate mofetil atau leflunomide (Arava) biasa diberikan pada

kasus yang lebih berat meskipun jarang terjadi (21,22).

Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex labialis

adalah dengan mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan menggantinya

dengan corticosteroid-sparing drugs seperti azathioprine, mycophenolate mofetil

dan cyclophosphamide yang diberikan sejak awal. Pada beberapa penderita lupus

eritematosus perlu juga memeberikan terapi herpes dengan obat antivirus seperti

valacyclovir (valtrex) atau famciclovir (Famvir), sedangkan untuk penatalaksanaan

Steven Jhonson’s Syndrome tidak ada terapi yang efektif karena penggunaan dosis

tinggi obat kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan kematian karena infeksi (21).

Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu untuk kandidiasis pada

penderita lupus dapat diberikan prednisone dengan dosis yang diturunkan, nystatin

oral lozenges atau pil, dan obat antifungal seperti fluconazole (Diflucan), sedangkan

penatalaksanaan lesi prekanker seperti leukoplakia atau eritroplakia dapat dilakukan

dengan operasi, electrocautery, dan freezing. Selain itu dapat diberikan krim topikal

imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat dilakukan penatalaksanaan dengan

operasi pengangkatan secara luas dengan radiasi atau kemoterapi. Cara terbaik untuk

mencegah komplikasi ini pada penderita lupus eritematosus adalah dengan

penggunaan yang tepat agen imunosupresif (21).

Page 28: Lupus Eritematosus

Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik maupun non spesifik, biasanya

penderita lupus eritematosus mngeluhkan rasa mulut kering, rasa sakit dan rasa

terbakar pada rongga mulut. Dry mouth atau mulut kering pada penderita lupus

eritematosus dapat terjadi salah satunya dari penggunaan obat sistemik. Untuk

membantu menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet

(yang mengandung sorbitol, bukan sukrosa), atau pemberian obat kolinergik

(sialogogues), tetapi terapi ini hanya boleh diberikan oleh dokter spesialis mengingat

efek samping yang bisa menyebabkan bradikargi, berkeringat, berkemih.

Pyridostigmine dapat juga diberikan karena memberi efek samping yang lebih kecil

(23).

Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakt dan rasa terbakar pada penderita

lupus eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian terapi untuk faktor

organik yang menyebabkan ketidaknyamanan misalnya terapi untuk kandidiasis atau

lichen planus baik secara sistemik maupun topikal, kemudian dapat dicoba pemberian

vitamin B1 300 mg dan vitamin B6 50 mg sebanyak tiga kali sehari selama empat

minggu sebagai placebo (23).

Page 29: Lupus Eritematosus

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penyakit Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis

yang melibatkan banyak organ. Etiologinya masih belum bisa dipastikan, tetapi teori-

teori yang ada memiliki patogenesis yang sama. Penderita lupus eritematosus

memiliki prognosis yang bervariasi dari ringan sampai berat . Untuk kasus ringan

prognosisnya baik bila diberikan terapi yang adekuat, meskipun untuk setiap terapi

dapat memberikan efek samping.

Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dibedakan menjadi lesi

spesifik biasanya berupa ulser, atau lesi seperti lichen planus dan bisa berupa lesi non

spesifik seperti lesi herpes simplex, Steven Jhonson’s syndrome, kandidiasis/ thrush,

atau lesi prekanker leukoplakia atau eritroplakia. Penatalaksanaan manifestasi lupus

eritematosus pada rongga mulut biasanya dengan pemberian obat steroid sistemik dan

topikal , atau obat anti jamur, disamping perlu juga pemberian vitamin sebagai

plasebo.

5.2 Saran

1. Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut yang paling sering adalah

berupa ulser, sehingga perlu adanya perhatian dari setiap dokter gigi terhadap

setiap kelainan mukosa karena dapat menjadi manifestasi dari penyakit sistemik,

seperti pada lupus eritematosus.

2. Sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan lab yang lengkap sebagai deteksi awal

bila ditemukan gejala yang dicurigai lupus eritematosus, dan perlu adanya

Page 30: Lupus Eritematosus

kerjasama dengan dokter bagian penyakit dalam untuk penatalaksanaan secara

sistemik penderita lupus eritematosus.

Page 31: Lupus Eritematosus

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS, Michael G. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment. 10th

ed. Hamilton: BC Decker Inc. 2003.

2. European Assosiation of Oral Medicine. Oral Lupus Erythematosus. School of

Dental Medicine University of Zagreb. 2005.

3. Hochberg MC. The History of Lupus Erythematosus. Lupus Foundation of America

Newsletter Article Library. 1993.

4. Myers SA, Mary HA. Cutaneous Manifestation of Lupus: Can You Recognize

Them all ? Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.

5. Manzi S. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. The American Journal

of Managed Care. Vol 7 No 16. 2001.

6. Kumar V, Abul KA, Nelson F. Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia:

Elsevier saunders. 2005.

7. Marks JG, Miller JJ. Lookingbill and Marks Principles of Dermatology. 4th ed.

Philadelphia: Elsevier inc. 2006.

8. Wolff K,Goldsmith LA,Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 7th ed. New york: McGraw Hill Medical. 2008.

9. Scully C, Roderick AC. Medical Problems in Dentistry. 5th ed. London: Elsevier

Churchill Livingstone. 2005.

Page 32: Lupus Eritematosus

10. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik Pada Lupus Eritematosus

Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

11. Carson R, De Witt. Discoid lupus Erythematosus. Gale encyclopedia of Medicine.

2002.

12. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatology

online Journal Vol 7 No 1.2001.

13. Venuturupalli RS, Allan LM. CNS Lupus: Neurologic nd Psychiatric manifestation

of Systemic Lupus Erythematosus. Lupus International. 2007

14. Gallelli B, De Angelis, Venture D, Meroni PL, Moroni G. SLE : Extra-renal

Clinical Manifestation and Lupus Nephritis. Milano : Divisi Nefrologi Dialisa.

2005.

15. Macanovic M. Lupus Nephritis: a Summary. Lupus UK News & Views .No.60.

2000.

16. Savage P. Lupus and the Eye. Lupus Foundation of America Lupus News vol 21

No 12. 2001.

17. Cibik GM. Gastrointestinal Involvement in systemic Lupus Erythematosus. Bay

Area Lupus Foundation,inc. 1984)

18. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of thr Skin Clinical

Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006.

19. Callen JP. Lupus Erythematosus,Discoid. e Medicine. 2007

Page 33: Lupus Eritematosus

20. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus

Eythematosus. American family Physician. 2003.

21. Nikolskaia O, Nousari HC. Oral Disease in Lupus Erythematosus.Lupus

News.No.2. 2002.

22. Denbo JA. Dental Problems and the Lupus Patient. Michigan lupus Information

and Resources. 2006.

23. Scully C, Dunitz M. Handbook of Oral Disease Diagnosis and Management.

Revised ed. London: Martin Dunitz Ltd. 2001.

Page 34: Lupus Eritematosus

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : LUPUS ERITEMATOSUS

PENYUSUN : Nanan Nur’aeny, drg.

NIP : 132316885

Bandung, 28 Februari 2008

Menyetujui,

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut

Tenny Setiani Dewi,drg.,MKes.,Sp.PM

NIP.131567581

Page 35: Lupus Eritematosus

LUPUS ERITEMATOSUS

TINJAUAN PUSTAKA

DISUSUN OLEH:

NANAN NUR’AENY,drg

NIP.132316885

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

BANDUNG

2008

Page 36: Lupus Eritematosus

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Teks Halaman

2.1 Lesi Awal DLE 9

2.2 Butterfly Rash 9

2.3 Jaringan atropi 9

2.4 Jaringan parut 9

2.5 Kebotakan / alopecia 9

2.6 Eritematosa pada jari 9

2.7 Gambaran histologi lupus eritematosus 14

2.8 Ulserasi putih ireguler pada bukal 18

2.9 Erosi pada bukal 18

2.10 Erosi pada palatum 18

2.11 Lesi mirip Lichen Planus 19

2.12 Lesi Herpes Simplex 20

2.13 Thrush 21

2.14 Lesi prekanker Leukoplakia 21