Transcript
Page 1: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam Konteks Perencanaan Kawasan Transmigrasi Berdasarkan Stadia Perkembangan

Permukiman serta Keterkaitan Antarkawasan

JUNAIDI

Workshop Penyusunan Bahan Kebijakan Perencanaan Kawasan

Transmigrasi Mendukung Penyusunan Permen Perencanaan

Pembangunan Kawasan Transmigrasi

Jakarta, 16 Desember 2014

Page 2: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 2

1 Pendahuluan

Berbagai realitas keberhasilan pelaksanaan transmigrasi di Indonesia

selama ini telah menunjukkan bahwa transmigrasi dapat menjadi salah satu

program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui

pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Transmigrasi juga dapat menjadi

contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan

menjadi sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah.

Namun, di era otonomi daerah, secara umum telah terjadi penurunan

kinerja transmigrasi terutama dilihat dari penurunan penempatan transmigran.

Pada Pelita VI (Orde Baru) rata-rata penempatan transmigran 350.064 KK

pertahun, pada era otonomi Tahun 2000– 2004 turun menjadi 87.571 KK

pertahun. Penurunan berlanjut pada Tahun 2005–2009 menjadi 41.853 KK

pertahun dan menjadi 7.234 KK pertahun pada Tahun 2010-2013.

Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya

kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta

rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan

biaya (Anharudin et al. 2008), penyebab penurunan ini adalah adanya

pembangunan transmigrasi yang bersifat eksklusif sehingga kurang adanya

keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya (Siswono, 2003).

Ini menyebabkan desa-desa transmigrasi yang berhasil, cenderung tumbuh

menjadi kawasan “enclave” yang hanya berhasil meningkatkan kesejahteraan

transmigran, dengan kontribusi yang rendah pada pengembangan wilayah

sekitarnya. Pada tahap selanjutnya, berdampak pada penolakan berbagai

daerah untuk menjadi daerah penempatan transmigran.

Pemukiman transmigrasi selain diharapkan mampu berkembang baik,

juga mampu berdampak positif pada pengembangan wilayah sekitarnya. Jika

perkembangan permukiman transmigrasi tidak terkait dengan wilayah

sekitarnya, akan mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat,

dan dapat memicu ketidakpuasan antar wilayah serta membuka peluang

munculnya ketidakstabilan politik daerah. Ketidakstabilan politik akan sangat

merugikan daerah dalam jangka menengah dan panjang.

Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan tidak berjalannya

struktur kawasan transmigrasi yang berpola hierarkis. Pembangunan

transmigrasi yang dilaksanakan sebelum otonomi, sebenarnya sudah dirancang

atas dasar struktur kawasan yang berciri hierarkis, dari satuan terkecil yaitu

Satuan Permukiman (SP) hingga terbesar yaitu Satuan Wilayah

Pengembangan (SWP). Dalam struktur perwilayahan ini, pengembangan

transmigrasi mengikuti mekanisme pasar dan berjenjang yaitu pola aliran

produksi yang dihasilkan dari SP ke pusat SKP (Satuan Kawasan

Pengembangan), dan pusat-pusat SKP menuju pusat WPP (Wilayah

Pengembangan Parsial) dan selanjutnya dikumpulkan di pusat SWP yang

merupakan pintu gerbang pemasaran ke arah luar wilayah. Selanjutnya, dalam

kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali

Page 3: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 3

masuk ke wilayah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian

didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah (SKP) sampai di pusat-pusat

SP. Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan

berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara

kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut.

Namun demikian, dalam prakteknya hal tersebut tidak selalu

berlangsung sesuai dengan perencanaan (Yuniarti dkk, 2008). Ini disebabkan

wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan sebagai pusat

pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan, pengolahan hasil

dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Faktor

penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan kelembagaan yang

memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah di

luar permukiman transmigrasi.

Setelah otonomi daerah, pada dasarnya sudah ada pergeseran paradigma

transmigrasi yang ekslusif ke paradigma inklusif, atau secara konseptual

melibatkan masyarakat desa-desa sekitar sebagai bagian dari kawasan

transmigrasi. Namun menurut Najiyati (2008) secara praktis masih ada

keterpisahan antara masyarakat transmigrasi yang berada di dalam unit

permukiman yang dibangun secara terkonsentrasi, dengan masyarakat sekitar

atau setempat yang berada di luar unit. Keterpisahan bukan saja secara

konseptual, tetapi juga terwujud dalam bentuk-bentuk perlakuan, program, dan

input (pemberian), yang bias ke warga di dalam unit permukiman transmigrasi.

Tulisan ini mengkaji mengenai stadia perkembangan permukiman (desa)

dan keterkaitan antarkawasan dalam konteks teori/konsep serta pengalaman

penerapannya pada pembangunan permukiman transmigrasi di Provinsi Jambi.

Dimaksudkan sebagai bahan diskusi dalam rangka penyusunan Kebijakan dan

Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam Konteks Perencanaan

Kawasan Transmigrasi Berdasarkan Stadia Perkembangan Permukiman serta

Keterkaitan Antarkawasan

2. Stadia Perkembangan Desa (Demand Side Strategy)

Dalam konteks transmigrasi sebagai suatu bentuk pengembangan

wilayah, pada dasarnya terdapat dua strategi yang dapat digunakan yaitu

supply side strategy dan demand side strategy (Rustiadi et al. 2009). Strategi

supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama

diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang

berorientasi ke luar. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang

akan meningkatan pendapatan lokal. Selanjutnya, hal ini akan menarik

kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut.

Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang

diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa setempat melalui

kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah

meningkatkan taraf hidup penduduknya.

Page 4: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 4

Melalui sudut pandang demand side strategy, Rustiadi et al. (2009)

mengemukakan stadia perkembangan desa, khususnya pada stadia

perkembangan kawasan transmigrasi. Stadia tersebut diberikan pada Gambar

1 sebagai berikut:

Gambar 1 Stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk

kawasan transmigrasi.

Sumber: Rustiadi et al. (2009)

1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam

stadia sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi

untuk kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah

juga membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian.

2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan

bermodal lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini,

transmigran diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi

kebutuhan pangannya sendiri (subsisten).

Stadia Industrialisasi

Perdesaan

Urbanisasi Kota Kecil/

Menengah

Stadia Industri

Non-Pertanian

Stadia Industri

Pertanian

Stadia Marketable

Surplus

Demand luxurious goods

Investasi pemerintah fasilitas2 urban

Ekspor

Demand barang sekunder dan tersier

Pendapatan, modal, investasi

Investasi pemerintah untuk prasarana

sistem industri Berkembangnya sektor non-pertanian

Diversifikasi usaha

Stadia Subsisten

Stadia Sub-Subsisten

Surplus Produksi

Demand barang sekunder dan tersier

Pendapatan, modal, investasi sektor

non pertanian

Subsidi pemerintah untuk kebutuhan

hidup dan produksi Investasi fasilitas/infrastruktur dasar

dan pertanian

Page 5: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 5

3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi

diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil

usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat

diusahakannya Lahan Usaha II.

4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap

ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk

memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Industri hasil

pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga

tidak perlu menjual ke kota.

5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang

diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk

pertanian. Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-

pertanian skala kecil.

6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah.

Pada tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan

barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.

Merujuk pada stadia perkembangan desa tersebut, dalam kasus

permukiman transmigrasi di Provinsi Jambi, stadia perkembangan desa eks

permukiman transmigrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dari

demand side strategy khususnya setelah berada pada stadia marketable surplus

(asumsi dasar ketika permukiman transmigrasi telah lepas bina dan diserahkan

ke pemerintah daerah). Dalam kasus eks permukiman transmigrasi, setelah

stadia marketable surplus tahapan yang dilalui desa-desa tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Stadia Awal Industri Pertanian Hulu dan Non Pertanian Primer.

Pada stadia ini mulai berkembang industri hulu pertanian yaitu industri yang

bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri antara

lain penggilingan padi, pembuatan berbagai macam tepung, industri minyak

mentah dari nabati dan hewani. Selain itu, pada stadia ini juga mulai

berkembangnya industri-industri non pertanian primer seperti industri

pengolahan tanah liat, barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan

sejenisnya, furnitur dan barang-barang logam lainnya. Kedua kelompok

industri ini merupakan industri-industri yang tumbuh karena didorong

kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat.

2. Stadia Industri Pertanian Hulu dan Non Pertanian Primer

Stadia ini ditandai dengan semakin berkembangnya industri hulu pertanian

dan industri non-pertanian primer. Berkembangnya industri-industri ini

disebabkan semakin meningkatknya pendapatan masyarakat baik sebagai

akibat meningkatnya permintaan hasil pertanian (untuk bahan industri)

maupun peluang kerja yang tercipta dengan adanya industri tersebut.

3. Stadia Industri Pertanian Hilir dan Non Pertanian Sekunder/Tersier

Page 6: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 6

Berlanjutnya peningkatan masyarakat menyebabkan meningkatnya

permintaan barang-barang sekunder dan tersier. Ini menyebabkan

tumbuhnya industri hilir pertanian dan industri non-pertanian

sekunder/tersier. Industri hilir pertanian adalah industri yang bersifat

mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi yang antara lain pembuatan

tempe dan tahu, makanan dari kedele dan kacang-kacangan, pembuatan

kerupuk, keripik dan sejenisnya dari ubi dan pisang, pengasinan/pemanisan

buah-buahan dan sayur-sayuran seperti asinan buah-buahan dan selai

pisang.

Stadia ini juga menandakan masuknya desa-desa pada tahapan urbanisasi

kota kecil/menengah. Hal ini disebabkan bersamaan dengan pergeseran-

pergeseran kebutuhan masyarakat dari kebutuhan primer ke tersier,

aktivitas-aktivitas perdagangan dan jasa lainnya juga berkembang dari

ragam jenis jasa pelayanan kebutuhan-kebutuhan primer ke arah kebutuhan-

kebutuhan sekunder dan tersier (ciri perkotaan). Selain itu, aktivitas

perdagangan dan jasa ini juga merupakan faktor yang mendukung terjadi

perubahan-perubahan dalam orientasi produksi industri berdasarkan

perkembangan stadia desa.

Selanjutnya, tidak seperti yang diharapkan pada demand side strategy,

stadia mengenai industrialisasi pedesaan, di Provinsi Jambi tidak ditemukan

stadia industrialisasi perdesaan, dalam artian berkembangnya industri-industri

skala menengah dan besar. Sampai pada stadia terakhir, industri-industri yang

berkembang adalah industri-industri skala kecil dan rumah tangga.

Terdapat dua faktor penyebab tidak ditemukannya stadia industrialisasi

perdesaan ini.

Tidak terdapatnya kebijakan yang jelas dalam pengembangan industri

di perdesaan yang berbasis pada sumberdaya spesifik (keunggulan

komparatif) pada masing-masing desa, sehingga jenis industri yang

berkembang relatif sama antar desa. Menyebabkan keterbatasan skala

produksi untuk membangun industri menengah besar. Ini disebabkan

Tidak terdapatnya kebijakan dalam pengembangan sarana prasarana dan pembinaan sistem industri pada permukiman transmigrasi lepas

bina (desa-desa eks transmigrasi)..

Model stadia perkembangan desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

diberikan sebagai berikut:

Stadia Industri Pertanian Hilir dan

Non Pertanian Sekunder/Tersier

Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah

Kebutuhan Sekunder/

Tersier

Akti

vit

as P

erdag

angan

dan

Jas

a la

innya

Non-Industrialisasi perdesaan

- Tdk ada kebijakan

industrialisasi perdesaan

- Tdk ada pembinaan pada

desa eks. transmigrasi

Page 7: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 7

Gambar 2 Model stadia perkembangan desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi.

Sumber: Junaidi, 2012

3 Keterkaitan Antar Wilayah

Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam

bentuk sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Untuk memenuhi

kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya

dari wilayah lain. Hubungan ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai

proses permintaan (demand) dan penawaran (supply).

Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages)

antarwilayah, yang dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah,

interaksi diartikan sebagai hal yang saling mempengaruhi. Rondinelli (1985)

mengemukakan bahwa proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan

di antara permukiman.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dan adanya disparitas

antarwilayah, maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah. Fu

(1981) menggambarkan keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan

dan kemiskinan. Terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar

wilayah, yaitu: 1) Utara–Selatan, menggambarkan keterkaitan antarwilayah

dalam suatu negara yang menggambarkan dua kutub; 2) Perkotaan–Pedesaan,

menggambarkan keterkaitan intra wilayah; 3) Formal–Informal,

menggambarkan keterkaitan kegiatan antarwilayah.

Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan

dalam perilaku yang kompleks, berbeda antara satu negara dengan negara lain

Stadia Industri Pertanian Hulu dan

Non Pertanian Primer

Stadia Awal Industri Pertanian Hulu dan

Non Pertanian Primer

Stadia Marketable Surplus

Stadia Subsisten

Stadia Sub-Subsisten

Kebutuhan

Primer

Page 8: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 8

yang tergantung pada faktor dominan dan sejarah masing-masing negara.

Faktor dominan tersebut adalah: 1) Resource endowment: pertanian, mineral

dan sumber daya alam lainnya; 2) Karakteristik demografi: kepadatan

penduduk, tingkat pertumbuhan dan urbanisasi; 3) Teknologi: tipe-tipe

teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal; dan 4) Development

ideologi: ideologi dalam pembangunan negaranya.

Menurut Rondinelli (1985) dalam pembangunan spasial, jenis-jenis

keterkaitan yang utama dapat dikelompokkan dalam tujuh tipe yaitu

keterkaitan fisik, ekonomi, pergerakan penduduk, teknologi, interaksi sosial,

delivery pelayanan, politik, administrasi dan organisasi. Dalam konteks yang

lebih khusus, Pradhan (2003) mengembangkan tipologi keterkaitan perkotaan-

perdesaan yaitu keterkaitan fisik/spasial, keterkaitan ekonomi, keterkaitan

sosial-budaya, keterkaitan teknologi, keterkaitan finansial, keterkaitan politik,

keterkaitan administrasi dan organisasi, keterkaitan delivery service.

Keterkaitan antarwilayah dapat menguntungkan, merugikan maupun

saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi

tersebut. Douglas (1998) serta Harris dan Harris (1984) diacu dalam Pradhan

(2003) mengemukakan bahwa apabila keterkaitan antarwilayah saling

mendukung atau saling memperkuat (mutually reinforcing) atau generatif atau

disebut partisipatif, maka kedua wilayah tersebut akan mendapat keuntungan

atau manfaat dengan adanya hubungan tersebut. Tetapi bila keterkaitan

antarwilayah lebih berbentuk eksploitatif atau parasitik, maka akan terjadi

suatu wilayah yang semakin kaya dan semakin miskin. Berdasarkan kajian yang dilakukan di Jambi, keterkaitan antar wilayah

desa eks permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya (yang didekati melalui perjalanan penduduk untuk berbagai aktivitas sosial-ekonomi) diberikan pada gambar berikut:

Page 9: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 9

Gambar 3 Interaksi Penduduk Desa Eks Transmigrasi di Provinsi Jambi dengan

Wilayah Sekitarnya

Sumber: Junaidi, 2012

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa 56,71 persen perjalanan dilakukan

penduduk di desa sendiri dan 43,29 persen di luar desa baik untuk aktivitas

belanja kebutuhan pekerjaan, belanja, penjualan produk, keuangan dan

kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Secara umum fakta ini menunjukkan

interaksi penduduk desa eks transmigrasi relatif tinggi dengan wilayah di luar

desa. Namun ditelusuri lebih jauh ternyata interaksi tersebut masih dalam

kisaran desa eks transmigrasi lain, yaitu mencapai 30,48 persen dari total

perjalanan. Dengan kata lain, dari total perjalanan yang dilakukan penduduk

desa eks-transmigrasi, 87,19 persen dilakukan di lokasi permukiman

transmigrasi (desa sendiri dan desa eks-transmigrasi lainnya). Sebaliknya

hanya 2,41 persen dari total perjalanan yang dilakukan ke desa-desa non-

transmigrasi, 5,57 persen ke ibukota kabupaten dan 4,83 persen ke ibukota

provinsi.

Rendahnya interaksi (keterkaitan kawasan) desa eks transmigrasi dengan

desa non-transmigrasi disebabkan dua hal:

1. Relatif jauhnya jarak desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-

transmigrasi

2. Ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi di desa non-

transmigrasi yang relatif kurang berkembang dibandingkan desa-

desa eks transmigrasi.

Desa Sendiri56.71%

Desa Eks Transmigrasi

Lain30.48%

Desa Non Transmigrasi

2.41%

Ibukota Kabupaten

5.57%

Ibukota Provinsi4.83%

Page 10: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 10

Fenomena ini sejalan dengan hukum gravitasi Newton yang

dikembangkan dalam interaksi sosial-ekonomi. Interaksi antara dua tempat

dipengaruhi oleh besarnya aktivitas sosial dan produksi yang dihasilkan oleh

masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan

besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut. Senada dengan hal tersebut

Rustiadi et al. (2009), juga menyatakan terdapat dua prinsip dari interaksi

yaitu: (1) mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dan

dorong-tarik dari supply-demand; dan (2) penghambat pergerakan dan

interaksi adalah pengaruh friction of distance.

Relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya

sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa

sekitarnya menjadi faktor penghambat terjadinya interaksi. Di sisi lain, tidak

terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa

sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam supply-

demand) dengan desa transmigrasi menyebabkan tidak terbentuknya mesin

penggerak dari interaksi.

Pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang tidak berimbang ini juga

mulai memunculkan fenomena yang biasanya dikenal dalam keterkaitan desa

kota, yaitu backwash effect. Meningkatnya sumber daya ekonomi di desa eks

transmigrasi tidak secara otomatis diikuti peningkatan aksesibilitas masyarakat

desa sekitarnya pada sumber daya ekonomi tersebut. Sebaliknya yang terjadi

adalah meningkatnya potensi masyarakat di desa eks transmigrasi dalam

memanfaatkan sumber daya desa-desa sekitarnya. Fenomena ini terlihat dari

mulai ditemukannya penduduk di desa-desa eks transmigrasi yang diteliti yang

memiliki lahan pertanian yang bersumber dari pembelian lahan penduduk desa

sekitarnya.

Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks

transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-

upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas. Menurut

Woolclock (1998), diacu dalam Rustiadi (2009) salah satu ciri penting modal

sosial pada tingkat komunitas adalah keterkaitan (linkage) dalam suatu

jaringan (network).

Berdasarkan unsur networking, modal sosial dapat dibedakan menjadi

tiga tipe yaitu (1) bonding social capital yang dicirikan oleh kuatnya ikatan

(pertalian) seperti antara anggota keluarga atau antara anggota dalam

kelompok etnis tertentu, yang terbangun dengan thick trust karena adanya rasa

percaya antar kelompok orang yang saling mengenal; (2) bridging social

capital yang dicirikan oleh semakin banyaknya ikatan antarkelompok

misalnya asosiasi bisnis, kerabat, teman dari berbagai kelompok etnis yang

berbeda, yang terbangun dengan thin trust, rasa percaya terhadap sekelompok

orang yang belum dikenal; dan (3) lingking social capital, yang dicirikan oleh

hubungan antara berbagai tingkat kekuatan dan status sosial yang berbeda

seperti antarindividu dari berbagai kelas yang berbeda.

Page 11: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 11

Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks

bridging social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya

forum-forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang melibatkan

secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan sekitar desa

transmigrasi. Di desa penelitian sebagai contoh, kelompok tani, koperasi,

arisan warga, perkumpulan olahraga terbentuk secara terpisah antara desa

transmigrasi dengan desa sekitarnya. Fakta ini diperkuat dengan kebijakan

menjadikan desa eks transmigrasi sebagai desa administratif baru yang terpisah

dari desa induknya maupun desa setempat.

Selain itu, pada tahap pembinaan, perlakuan hanya diberikan pada

transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara sosial

ekonomi, budaya dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama pada

masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya proses

penyesuaian masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari

pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya

antara penduduk setempat dengan transmigran.

4 Kebijakan dan Strategi

Tidak berkembangnya eks permukiman transmigrasi sampai pada stadia

industrialisasi perdesaan disebabkan dua faktor utama: 1) Keterbatasan skala

produksi untuk membangun industri menengah besar. Ini disebabkan tidak

terdapatnya kebijakan yang jelas dalam pengembangan industri di perdesaan

yang berbasis pada sumberdaya spesifik (keunggulan komparatif) pada

masing-masing desa, sehingga jenis industri yang berkembang relatif sama

antar desa; 2) Tidak terdapatnya kebijakan dalam pengembangan sarana

prasarana dan pembinaan sistem industri pada permukiman transmigrasi lepas

bina (desa-desa eks transmigrasi).

Terkait dengan hal tersebut, dalam kerangka perencanaan kawasan

transmigrasi perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sinkronisasi perencanaan kawasan transmigrasi khususnya dalam

perencanaan pengembangan industri perdesaannya dengan

perencanaan (masterplan) pengembangan industri perdesaan daerah

(kabupaten/provinsi) tujuan.

2. Skema pembinaaan kawasan transmigrasi dalam dua tahap

pembinaan. Pembinaan tahap 1 dirancang untuk tujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan transmigrasi

dari stadia sub-subsisten menuju stadia marketable surplus.

Pembinaan tahap 2 dirancang untuk tujuan mempersiapkan sarana-

prasarana dan sistem industri perdesaan.

Selanjutnya, pembangunan kewilayahan transmigrasi secara hirarkies

pada dasarnya mengacu pada teori tempat sentral yang menyatakan adanya

hirarkie tempat di mana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat

Page 12: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 12

yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku).

Pembangunan transmigrasi tersebut juga pada dasarnya mengacu pada teori

pusat pertumbuhan yang terlihat dari tujuan pembangunan transmigrasi untuk

membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah. Dengan berkembangnya

permukiman transmigrasi diharapkan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan

yang dapat mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitarnya melalui

perkaitan antarindustri serta demand-supply.

Namun hal tersebut tidak berlangsung sesuai dengan konsep yang

direncanakan, karena tidak tersedianya infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan

yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah-

wilayah di luar permukiman transmigrasi. Tidak terbangunnya berbagai

infrastruktur dan kelembagaan menyebabkan tidak tumbuhnya berbagai

aktivitas produksi di luar permukiman transmigrasi yang terkait secara

fungsional dengan permukiman transmigrasi.

Pada dasarnya, aplikasi konsep pusat pertumbuhan dalam pembangunan

wilayah tidak akan dapat menghasilkan ekspansi yang besar ke daerah

sekitarnya jika tidak terdapat interaksi yang kuat antara core (pusat

pertumbuhan) dengan daerah tepi (peripheri). Oleh karenanya dalam

pembangunan pusat pertumbuhan harus diikuti dengan kebijakan/intervensi

pemerintah untuk menumbuhkan interaksi antara core dan peripheri ini.

Selanjutnya, interaksi yang dibangun tidak hanya mencakup interaksi

demand-supply secara ekonomi, tetapi juga harus melibatkan interaksi sosial

antara permukiman transmigrasi dengan desa-desa setempat. Interaksi sosial

yang kuat diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik yang mungkin

terjadi antara pendatang dengan budaya yang berbeda terhadap penduduk

setempat. Interaksi sosial ini juga akan menjadi faktor pendukung ke

pencapaian interaksi demand-supply yang kuat.

Berdasarkan hal tersebut dalam pengembangan transmigrasi, diperlukan

pola pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan pusat

pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial melalui:

1. Peningkatan interaksi secara sosial. Dilakukan melalui pendekatan

pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam

konteks bridging social capital. Dalam peningkatan interaksi sosial

ini perlu dibentuk forum-forum atau pun lembaga/perkumpulan/

organisasi yang melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa

transmigrasi dan masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Selain itu,

pada tahap pembinaan (sub-tahap penyesuaian), perlakuan tidak

hanya diberikan kepada transmigran untuk bisa beradaptasi dengan

lingkungannya baik secara sosial ekonomi, budaya dan fisik, dan

tetapi perlakuan yang sama juga perlu diberikan kepada masyarakat

di sekitar desa transmigrasi dengan tujuan meningkatkan proses

penyesuaian masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya

baru dari pendatang.

Page 13: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 13

2. Peningkatan interaksi fungsional. Keterkaitan fungsional dalam hal

ini adalah keterkaitan antara core dan periphery. Oleh karenanya,

dalam perencanaan kawasan transmigrasi, perencanaan

pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan harus

memiliki dua pola yang terkaitm yaitu pola untuk wilayah core dan

pola untuk wilayah periphery.

3. Peningkatan interaksi spasial. Dilakukan melalui peningkatan

keterkaitan fisik yang kuat antardesa. Oleh karenanya dalam

perencanaan kawasan transmigrasi selain memperhatikan efisiensi

optimum perjalanan penduduk secara internal desa, juga perlu

mempertimbangkan optimisasi interaksi spasial antara desa.

REFERENCES 1. Adisasmita R. (2008). Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Jakarta: Graha

Ilmu.

2. Anharudin, Priyono, Susilo SRT. (2008). Transmigrasi di Era Kabinet Indonesia

Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana

3. Douglass M. (1998). A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban

Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third

World Planning Review 20(1): 1-22

4. Ernan Rustiadi, Junaidi. (2011). Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah.

Makalah. Jakarta. Kementerian Transmigrasi RI.

5. Fu CL. (1981). Rural-Urban Relations and Regional Development. Singapore:

Huntsmen Offset Printing Pte Ltd.

6. Hadjisarosa P. (1982). Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia.

Jakarta: BP PU.

7. Hardiani, Junaidi. (2011) Analisis Kuantitas dan Kualitas Penduduk sebagai

Modal dasar dan Orientasi Pembangunan di Provinsi Jambi. Jakarta. BKKBN RI

dan PSK UNJA

8. Junaidi. (2012). “Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi

dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi

Jambi)”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

9. Junaidi , Hardiani. (2009). Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan.

Jakarta. Hamada Prima

10. Junaidi,J; Rustiadi, E; Slamet, S; Juanda, B. (2012). Pengembangan

Penyelenggaraan Transmigrasi di Era Otonomi Daerah; Kajian Khusus Interaksi

Permukiman Transmigrasi dengan Desa Sekitarnya. Visi Publik 9 (1); 522-534

11. Junaidi. (2012). Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi

dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan ke depan (Kajian di Provinsi Jambi).

Disertasi. Bogor. IPB

Page 14: Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perkotaan dalam

Workshop ketransmigrasian, Jakarta Desember 2014 14

12. Malmberg A, Maskell P. (1997). Towards an Explanation of Industry

Agglomeraion and Regional Spezialitation. European Planning Studies 5(1): 25-

41.

13. Mercado RG. (2002). Regional Development in The Philippine: A Review of

Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action. Discussion

Paper Series. Phillipine: Institute for Development Studies.

14. Najiyati S. (2008). Transmigrasi dan Pengembangan Masyarakat Desa Sekitar.

Jakarta: Bangkit Daya Insana.

15. Pradhan PK. (2003). Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development

Analysis. Kirtipur Kathmandu: New Hira Books Enterprises.

16. Rondinelli DA. (1985). Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial

Dimention of Development Policy. London: Westview Press, Inc.

17. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. (2009). Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.

18. Siswono Y. (2003). Transmigrasi – Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk

Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara

Grafika.

19. Stimson RJ, Stough RR, Roberts BH. (2002). Regional Economic Development:

Analysis and planning Strategy. Berlin: Springer

20. Yuniarti L, Wibowo DP, Priyono, Nushah (2008). Kebijakan dan Pembangunan

KTM di Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Bangkit Daya Insana.


Recommended